BAB III KETENTUAN-KETENTUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL TENTANG IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI
A. Pengertian Perang dan Damai Perang terjadi antara negara pada dasarnya diawali dari pertikaian, yang kemudian akibatnya juga dirasakan oleh negara-negara lain. Oleh sebab itu masalah pertikaian yang kemudian mengakibatkan peperangan termasuk ke dalam bidang yang menjadi obyek pembahasan hukum internasional. Hukum internasional mendefinisikan perang sebagai suatu persengketaan antara dua atau lebih negara dengan menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya, yang tujuannya untuk menaklukan pihak lawan dan kemudian pihak yang memenangkan peperangan dapat menentukan syarat-syarat perdamaian menurut keinginannya. Sejak zaman dahulu praktek-praktek negara mengenai mulainya suatu perang berlainan satu sama lain. Akan tetapi perang sebagai suatu kondisi pertikaian bersenjata antar dua atau lebih negara tersebut, dapat terjadi karena halhal sebagai berikut : 1. Melalui pernyataan perang yang dinyatakan secara formal oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bertikai; 2. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, baik oleh satu atau sekelompok negara secara bersama-sama terhadap negara yang menjadi pihak lawan dengan menunjukan maksudnya dalam bentuk 40
Universitas Sumatera Utara
sikap-sikap permusuhan atau tanpa maksud tersebut namun oleh negara lawan dianggap sebagai tindakan perang; 3. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata kedua belah pihak yang bertikai yang dapat dianggap cukup serius untuk melahirkan status perang, meskipun kedua belah pihak tersebut menyanggah adanya maksud yang bersifat permusuhan. Sementara itu sebab-sebab terjadinya perang dipengaruhi oleh banyak hal. Masalah persatuan nasional atau keutuhan wilayah suatu negara dan kemerdekaan, persaingan antar dua negara, timbulnya cita-cita nasional suatu negara tertentu, usaha memperluas agama atau ideologi, sengketa wilayah, persaingan ekonomi antar negara dan masih banyak faktor-faktor lain yang apat menjadi sebab terjadinya perang.57 Tujuan perang itu sendri adalah ditentukan oleh sebab atau sebab terjadinya perang. Antara tujuan perang harus dibedakan dengan maksud perang. Maksud perang adalah selalu sama; munundukan lawan dengan kekerasan tetap tujuan perang selalu berbeda-beda. Di samping itu, perang juga merupakan alat kelanjutan dari suatu kebijaksanaan dan pada umumnya merupakan sanksi terakhir hukum internasional, bahwa perang dilakukan tidak sebagai tujuan, namun sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mempertahankan kekuasaan hukum (“rule of law”).58 Sementara itu mengenai pengertian atau definisi damai, kurang mendapat perhatian yang seharusnya dari banyak sarjana, berbeda dengan lawan katanya 57
G. P. H. Djatikoesomo, HukumInternasional Bagian Perang, Jakarta: Penerbit Pemandangan, 1965 hal. 13. 58 J. G. Starke Op. Cit., hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
perang, meskipun ide mengenai keduanya telah ada sejak awal peradaban manusia. Pengertian damai dikenal dalam pengertian hukum dengan suatu keadaan dimana terjadi keserasian antara kebebasan dengan ketertiban.59 Dalam hukum internasional masalah perang diatur secara khusus ke dalam salah satu bidang hukum internasional dikenal dengan “hukum perang” atau “hukum humaniter internasional”. Hukum perang atau hukum humaniter internasional ini terdiri atas sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang60, atau dengan kata lain hukum perang atau hukum humaniter internasional pada hakekatnya mengatur mengenai sebagai berikut: 61 a.
Jus ad bellum, yakni hukum tentang perang; mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
b.
Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Hukum ini dibagi dua,yaitu: 1. Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut: Hague Laws 2. Yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut dengan Geneva Laws
59
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Filsafat Hukum, Cet ke-5. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982 hal. 16. 60 J. G. Starke, Op. Cit., hal 727. 61 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, cet ke-1, Bandung: Binacipta, 1979 hal 12.
Universitas Sumatera Utara
Berasal dari kaedah-kaedah hukum kebiasaan, kaedah hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), pada tahun 1899 dan 1907 kemudiandibentuk ke dalam konvensi-konvensi yang dikenal dengan Konvensi The Hague 1899 dan 1907. Konvensi Hague ini berisi pengaturan-pengaturan hukum perang darat dan laut.62 Khusus mengenai kaedah-kaedah hukum perang laut selain diatur dalam Konvensi-konvensi The Hague 1907, yaitu Konvensi Hague VI (mengatur mengenai status kapal dagang pada saat pecahnya perang), Konvensi Hague VII (mengenai perubahan kapal dagang menjadi kapal perang), Konvensi Hague VIII (mengenai penempatan ranjau laut anti kapal selam), Konvensi hague IX (mengenai pemboman laut), Konvensi Hague X, Konvensi Hague XI, dan Konvensi Hague XII (mengenai hak-hak dan kewajibgan pihak netral dalam perang laut), sebagian lagi diatur dalam Deklarasi Paris 1856 (misalnya mengenai larangan penugasan kapal-kapal dagang swasta untuk melakukan serangan), dan sebagian lainnya dalam London Rules Protokol 1936 (mengenai larangan penggunaan kapal-kapal selam terhadap kapal-kapal dagang musuh).63 Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut, bahkan 62
Pada tahun lahirnya, Konvensi The Hague belum meliputi ketentuan-ketentuan hukum mengenai hukum perang udara, hal ini dikarenakan pada saat itu pesawat udara belum mendapatkan peranen yang cukup signifikan dalam perang, tidak seperti sekarang ini. 63 J.G. Starke, Op. Cit., hal 247-248.
Universitas Sumatera Utara
terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh.64 Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut,bahkan terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya ke negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh. Dari penjelasan-penjelasan mengenai pengertian perang dan damai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum internasional mengenal perbedaan kondisi perang dan damai. Oleh karena itu dalam hukum internasional dikenal istilah hukum internasional masa damai dan hukum internasional masa perang. Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang sedang penulis bahas yaitu mengenai kapal perang, maka dalam hal ini, kapal perang juga memperoleh pengaturan hukum internasional yang berbeda pada waktu masa perang dan masa damai.
64
J.G. Starke, Op. Cit., hal 247-248..
Universitas Sumatera Utara
B. Imunitas
Kapal
Perang
Dalam
Ketentuan-Ketentuan
Hukum
Internasional B.1. Konvensi Brussel Tahun 1926 Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tidak banyak ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur secara khusus mengenai imunitas negara, terutama ketentuan mengenai imunitas kapal perang. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa ketentuan mengenai imunitas kapal perang tideak diatur sama sekali dalam hukum internasional. Salah satu traktat multilateral internasional yang didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai imunitas kapal perang adalah Konvensi Brussel tahun 1926. Konvensi dengan nama International Convention for Unification of Certain Rules Concerning the Immunities of Goverment Vessels ini ditandatangani pada tanggal 10 April 1926, di Brussel, Belgia oleh sejumlah negara. Konvensi ini dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1934. Negara-negara yang meratifikasi dan mengaksesinya adalah Jerman, Belgia, Chili, Denmark, Eslandia, Sponyol, Estonia, Perancis, Inggris, Irlandia, India, Hungaria, Italia, Jepang, Latvia, Meksiko, Norwegia, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Kroasia, Slovenia,dan Swedia, Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1937.65 Konvensi
Brussel
tahun
1926
ini
sebenarnya
lebih
ditujukan
untukmengatur mengenai imunitas kapal dagang negara. Meskipun demikian
65
http://www.ricc.com.cn/Englishversion/library/huominae/frame.htm diakses tanggal 04 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
ketentuan mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam pasal 3 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut : “ The Provisions of the two proceeding articles shall not apply to ships of war, state-owned yachts, patrol vessels, hospital ships, fleet auxiliaries, supply ships an other vessels owned or operated by a state and employed exclusively at the time when the cause of action arises on government and non-commercial service, and such ships shall not be subject to seizure, arrest or detention by anu legal rocess, nor any proceedings in rem. Nevertheless, claimantsshall have the right to proceed before appropriate courts of the state which owns or operates the ship in the following cases : (i) Claims in respect of collision or other accidents of navigation; (ii) Claims in respect of salvage or in the nature of salvage and in respect of general average; (iii) Claims in respect of repairs, supplies, or other contracts relating to the ship; and the State shall not entitled to rely upon any immunity as a defence.” Jadi menurut ketentuan pasal 3 ayat 1 tersebut di atas kapal-kapal perang memiliki
imunitas
terhadap
gugatan-gugatan
yang
mungkin
dilakukan
terhadapnya, kecuali dalam beberapa hal berikut : 1. Dalam kaitannya dengan klaim-klaim yang berkaitan dengan tabrakan di laut dan kecelakaan yang berhubungan dengan pelayaran; 2. Yang berhubungan dengan klaim-klaim pengangkatan kapal karam dan hal-hal lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut; 3. Permasalahan yang terkait dengan kontrak-kontrak perbaikan kapal, penyediaan
suplai
dan
hal-hal
lain
yang
berkaitan
dengan
pemeliharaan kapal.
Universitas Sumatera Utara
B.2. Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 Ketentuan mengenai imuitas kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dapat ditemukan dalam Pasal 9 Konvensi II tentang Laut Bebas, yang berbunyi sebagai berikut : “Ships owned or operated by a state and used only on government noncommercial service shall, on the high seas, have complete immunity from jurisdiction of any state other than the flag state.” Yang artinya kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah negara dan hanya digunakan untuk melayani pemerintah non komersial di laut lepas yang memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain daripada negara bendera. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan “kapal perang”, ketentuan ini menjadi dasar keberlakuan imunitas yang dimiliki oleh kapal perang di laut bebas. Satu hal lain yang penting dari Konvensi ini yang berkaitan dengan imunitas kapal perang adalah pengaruh Konvensi Brussel 1926 terhadap ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yakni mengenai adanya pembedaan antara kapal-kapal pemerintah/ negara untuk tujuan komersial dengan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial di dalam konvensi.
B.3. Marpol 73/78 Konvensi ini lahir pada tahun 1973 dan ditujukan untuk mengatasi berbagai bentuk pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, diluarpencemaran dalam bentuk pembuangan limbah di laut. Konvensi dengan nama Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, juga dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1978. Konvensi dan protokol
Universitas Sumatera Utara
konvensi ini harus dipandang sebagai satu instrumen, yaitu MARPOL 37/78, keduanya mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. Sebagian besar langkah teknis yang berkaitan dengan pencegahan pencemaran laut oleh kapal, diatur dalam konvensi ini dalam kelima Annex-nya, yang masing-masing mengatur:66 1. Annex I, mengenai pencegahan pencemaran oleh minyak/oil; 2. Annex II, mengenai kontrol pencemaran oleh bahan-bahan cair beracun dalam jumlah besar (noxious liquid substances carried in bulk); 3. Annex III, berkaitan dengan pencegahan pencemaran yang diakibatkan oleh bahan-bahan yang berbahaya yang diangkut dalam bentuk terbungkus (harmful substances carried in packages), misalnya : Tangki-tangki dan peti-peti kemas; 4. Annex IV, mengenai pencegahan pencemaran oleh koitoran (sewage); 5. Annex V, berkaitan dengan pencegahan oleh sampah (garbage). Ketentuan mengenai imunitas kapal perang dalam Konvensi MARPOL 73 diatur dalam pasal 3 ayat 3, yang bunyinya sebagai berikut: “3. The present Convention shall not apply to any warship, naval auxiliary of other ships owned or operated by a state and use, for the time being only on government non-commercial service. However, each party shall ensure by adoption of appropriate measures not impairing the operations or oerational capabilities of such ships owned or operated by it, that such ships act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, wiht the present Convention.”
Yang artinya, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, 66
R.R. Churchill dan A. V. Lowe, Op. Cit., hal. 249-250.
Universitas Sumatera Utara
kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini. Jadi menurut ketentuan diatas, ketentuan-ketentuan dalam MARPOL 73 tidak
dapat
diterapkan
pada
kapal-kapal
perang
atau
kapal-kapal
pemerintah/negara untuk tujuan non-komersial.
B.4. Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 Ketentuan-ketentuan mengenai mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Berbeda dengan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yang hanya mengatur satu pasal mengenai imunitas kapal perang. Dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, imunitas kapal perang diatur dalam beberapa pasal, meliputi: Pasal 32 Konvensi HukumLaut 1982, yang bunyi pasalnya sebagai berikut: “ Whit such exception as are contained in subsection A and in articles 30 and 31, nothingin this Convention affects the immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes.” Artinya adalah, dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal-pasal 30 dan 31, tidak satupun ketentuan dalam konvensi ini
Universitas Sumatera Utara
mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi : “Warships on the high seas have complete immunity from the jurisdiction of any state other than the flag state.” Artinya adalah, kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh terhadap yuridiksi negara manapun selain negara bendera.
Pasal 236 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi: “The Provisions of this Convention regarding the protection and preservation of the marine environment do not apply to any warships, naval auxiliary, other vessels or aircraft owned or operated by a state and use, for time being, only on government non-commercial service. However, each state shall ensure, by the adoption of appropriate measures not impairing operations or operational capabilities of such vessels or aircraft owned or operated by it, that such vesels or aircraft act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, with this Convention.” Artinya adalah, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini.
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaturan Lintas Pelayaran Kapal Perang Dalam Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 Hukum laut internasional merupakan ketentuan hukum internasional yang paling besar dan terpenting bagi masyarakat dunia internasional. Hal tersebut dapat diketahui dan terefleksikan dari kayanya traktat-traktat hukum, hukumhukum kebiasaan dan yurisprudensi-yurisprudensi yang berkaitan dengan subyek ini.67 Permasalahan yang menyangkut hukum laut begitu luas. Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai kodifikasi hukum laut internasinal pada dasarnya berusaha memberikan pengaturan mengenai hukum laut secara komprehensif, dengan kata lain secara luas dan menyeluruh, meliputi semua obyek hukum laut, termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan mengenai kapal perang. Berkaitan dengan pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dibedakan pengaturannya atas lima rezim hukum sebagai berikut:68 1. Pengaturan lintas kepal perang melalui wilayah perairan pedalaman; 2. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah laut teritorial; 3. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui selat-selat internasional; 4. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah perairan laut negara kepulauan; 5. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui laut bebas. 67
M. Dixon dan R. McCorquodale, Cases and MNaterials on International Law, 2nd Ed., London: BlackstonePress Ltd, 1988 hal. 406. 68
http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional diakses tanggal 04 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
C.1. Melalui Perairan Pedalaman Sejak dahulu adalah sudah merupakan kebiasaan internasional bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi penuh atas perairan pedalamannya sama dengan wilayah teritorial darat dan udaranya. Konvensi Hukum Laut tahun 1982 memberikan pengertian perairan pedalaman sebagai berikut : “1. Except as provided in part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the state.”69 Dari definisi tersebut diatas, maka yang dimaksudkan dengan perairan pedalaman meliputi seluruh wilayah perairan yang berada pada sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial. Dalam hal ini teluk, muara sungai, pelabuhan dan perairan lain yang letaknya berada di sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial adalah merupakan perairan pedalaman. Setiap kapal-kapal asing yang berada di perairan pedalaman tunduk sepenuhnya atas yurisdiksi negara pantai. Tidak ada hak lintas pelayaran kapal asing di dalamnya,dengan kata lain bagi kapal-kapal asing yang bermaksud memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain harus terlebih dahulu mendapatkanizin dari negara pantai, dan dalam hal kapal perang asing diperlukan izin khusus dari negara pantai, kecuali dalam hal apabila suatu kapal asing tersebut dalam keadaan mengalami kesulitan atau force majeure,dalam kaitannya terhadap perrairan pedalamanyang terjadi sebagai akibatpenarikan garis pangkal
69
Pasal 8 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982
Universitas Sumatera Utara
lurus sebagaimana diatur dalam pasal 7 Konvensi hukum laut 198270, dan bila diantara negara kapal perang asing dan negara pantai telah terdapat perjanjian bilateral dan multilateral. Ketika memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain, kapal-kapal asing menempatkan diri mereka dalam kekuasaan teritorial negara pantai. Oleh karenanya negara pantai berhak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukumnya terhadap kapal dan orang-orang yang berada diatas kapal tersebut, pengecualian dari ketentuan-ketentuan umum ini adal;ah dalam hal kaitannya dengan imunitas negara dan imunitas diplomatik, dimana hal tersebut pada umumnya dimiliki kapal-kapal pemerintah/negara, termasuk kapal-kapal perang.71 Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 menetapkan lebar laut teritorial tersebut tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal/baseline.72 Setiap negara memiliki kedaulatan atas laut teritorialnya, sebagaimana halnya atas ruang udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya,73 akan tetapi dibatasi oleh berlakunya hak lintas lintas damai (rigt of innocent passage) bagi setiap kapalkapal asing yang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara.74 Pengertian setiap kapal disini artinya tentu termasuk kapal perang. Pengaturan lintas pelayaran melalui laut territorial dimuat dalam Section III. Section III ini terdiri atas tiga Subsection, yakni : 1. Subsection A berisi “Rules Applicable to All Ships” (pasal 17 s/d pasal 26) 70
Pasal 8 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 A.V. Lowe dan R.R. Churchill, Op. Cit., hal 54 72 A.M. Muhjiddin, Op. Cit., hal. 106 73 Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 74 Pasal 2 ayat 1 dan 2 Konvensi Hukum Laut 1982 71
Universitas Sumatera Utara
2. Subsection B berisi “Rules Appllicable to Merchant Ships and Government Ships Operated for Commercial Purposes” (pasal 27 dan pasal 28) 3. Subsection C berisi “Rules Applicable to Warships and Other Government Ships Operated for Non-Commercial Purposes” (pasal 29 s/d pasal 32) Pembagian tersebut diatas pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembagian dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun pada Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, perumusannya menjadi lebih jelas dan lebih luas jangkauan pengaturannya. Pengertian dari lintas (passage) menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah navigasi (pelayaran) melalui laut teritorial untuk keperluan: a.
hanya untuk melintas tanpa memasuki perairan pedalaman;
b.
singgah di dermaga di luar perairan pedalaman;
c.
ke atau dari perairan pedalaman;
d.
singgah di dermaga/fasilitas pelabuhan yang lain.75 Dihubungkan dengan definisi “lintas” yang termuat dalam pasal 14 ayat 2
dan 3 Konvensi Hukum Jenewa tahun 1958, maka definisi lintas yang diatur dalam pasal 18 tersebut lebih lua karena ada penambahan penyebutan dermaga (roadstead) di luar perairan pedalaman untuk melengkapi perumusan-perumusan dalam konvensi-konvensi sebelumnya. Lintas (passage) harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Jadi tidak termasuk berhenti atau buang jauh, kecuali apabila berhenti atau buang 75
Pasal 18 ayat 1(a) dan (b) Konvensi Hukum Laut 1982
Universitas Sumatera Utara
sauh terjadi karena mengalami keadaan bencana atau force majeure atau untuk maksud pembierian pertolongan kepada orang, kapal atau peawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau mendapat bencana.76 Menurut pasal 19 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 suatu lintas dinyatakan sebagai lintas damai, apabila lintas tersebut tidak membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan dari negara pantai (not prejudicial to the peace, good order and security of the coastal state). Tindakan-tindakan apa saja yang termasuk sebagai membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai, yang tidak terjawab dalam konvensi-konvensi sebelumnya, terjawab dan eijelaskan dalam paal 19 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982. Selanjutnya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 diatur mengenai keharusan kapal selam untuk melakukan navigasi diatas permukaan air dan menunjukan benderanya.77 Disamping itu, kapal-kapal yang bertenaga nuklir/yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang berbahaya, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang titetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal demikian.78 Berbeda dengan kapal dagang/kapal pemerintah yang dipergunakan untuk tujuan dagang, dimana terhadapnya selama berada di wilayah laut territorial suatu negara berlaku yurisdiksi kriminal dan sipil dari negara pantai, maka tidak
76
Pasal 18 ayat (2) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 20 Konvensi Hukum laut tahun 1982 78 Pasal 23 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 77
Universitas Sumatera Utara
demikian halnya bagi kapal perang dimana yurisdiksi kriminal dan sipil tidak berlaku terhadapnya. Apabila suatu kapal perang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang dikeluarkan negara pantai mengenai lintas damai di wilayahnya dan mengabikan permintaan untuk mematuhinya, negara pantai dapat meminta kapal perang itu segera meninggalkan laut territorialnya dengan segera.79 Selain itu Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga memuat ketentun yang mengatur mengenai tanggung jawab kapal perang sebagai akibat tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial.80 Pertanggungjawaban seperti ini diperlukan untuk tetap menjaga hubungan baik antar negara dalam lingkup pergaulan internasional. Menurut pasal 31 tersebut, bukanlah sebagai pengecualian dari imunitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 32 Konvensi Hukum Laut 1982, melainkan merupakan akibat hukum dari kenyataan bahwa kapal-kapal perang merupakan perangkat kedaulatan atau sebagai alat militer dan politik dari negara bendera, yang walaupun memiliki imunitas dari yurisdiksi negara pantai, akan tetapi dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak lintas damai ia tidak dapat mengelak dari keharusan mentaati peraturan negara pantai dan ketentuanketentuan konvensi tentang hak lintas damai terebut.
79 80
Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 31 Konvensi Hukum Laut tahun 1982
Universitas Sumatera Utara
C.2. Melalui Wilayah Laut Teritorial Kapal perang untuk maksud Konvensi Hukum Laut 1982, adalah suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler. Dalam melakukan lintas damai di laut teritorial suatu Negara, apabila suatu kapal perang tidak mentaati dan tidak mengindahkan peraturan perundangundangan Negara pantai mengani lintas damai yang disampaikan kepadanya, Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu meninggalkan laut teritorialnya. Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tidak dipatuhinya peraturan perundangundangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial yang dilakukan oleh kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (lihat pasal 30 dan 31 Konvensi Hukum Laut 1982).81 Adapun peraturan perundang-undangan yang dibuat Negara pantai sehubungan dengan lintas damai bagi kapal asing di laut teritorial sesuai dengan Konvensi ini dan hukum internasional lainnya mengenai setiap hal berikut : (a) Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim (b) Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas instalasi lainnya 81
http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional diakses tanggal 06 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
(c) Perlindungan kabel bawah laut (d) Konservasi kekayaan hayati laut (e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai (f) Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya (g) Penelitian ilmiah kelautan dan survey hodrografy (h) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai Dalam hal ini Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut. Dan bagi kapal asing harus mematuhi
semua
peraturan perundang-undangan demikian dan juga semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Bahkan apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran atau navigasi, kapal asing yang melakukan pelayaran di laut teritorialnya, dapat diwajibkan untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal (lihat pasal 21 dan 22 Konvensi Hukum Laut 1982). Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara
Universitas Sumatera Utara
manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya. Selanjutnya mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan ini berlaku setelah diumumkan terlebih dahulu. (Pihat pasal 25 Konvensi Hukum Laut 1982) Di dalam pasal 26 menyatakan, tidak ada pungutan biaya yang dapat dibebankan pada kapal asing yang melakukan lintas damai di laut teritorial oleh suatu Negara pantai. Kecuali pungutan dapat dibebankan
hanya untuk
pembayaran khusus dan dalam pemungutan ini dibebankan tanpa diskriminasi.
C.3. Melalui Wilayah Selat-selat Internasional Wilayah perairan yang brupa selat yang dipergunakan untuk perlayaran internasional yang terjadi karena perubahan lebar laut teritorial menjadi 12 mil, berubah statusnya menjadi berada dibawah kedaulatan negara yang berbatasan dengan selat tersebut.82 82
S.zM. Muhjiddin, Op. Cit., hal 106
Universitas Sumatera Utara
Dalam selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional di antara satu bagian laut bebas atau Zona ekonomi Eksklusif (ZEE), setiap kapal termasuk kapal perang dan pesawat udara menikmati hak lintas transit “transit passage” yang tidak dihalang-halangi (shall not be impeded). Namun demikian jika selat tersebut terbentuk oleh suatu pulau dan daratan utama dari suatu pulau dan daratan utama dari suatu negara maka ketentuan mengenai hak lintas transit tidak berlaku. Pengecualian lainnya yakni apabila ada rute lain yang melewati laut bebas atau ZEE dengan kenyamanan yang sama dalam kaitannya dengan karakteristik hidgorafi dan pelayaran.83 Pengertian lintas transit (Transit passage) adalah kebebasan untuk melakukan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin antara satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE. Namun demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi lintas pelayaran yang dilakukan melewati selat dengan tujuan memasuki meninggalkan atau kembali dari negara yang berbatasan dengan selat tersebut yang tunduk kepada syarat-syarat untuk memasuki negara tersebut.84 Kewajiban dari setiap kapal atau pesawat udara yang melakukan hak lintas transit, meliputi : 1.
Lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;
2.
Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-
83 84
Pasal 37 dan 38 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 38 ayat (2) Konvensi Hukum Laut tahun 1982
Universitas Sumatera Utara
asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 3.
Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan. Setiap kapal dari negara asing yang melakukan lintas transit (transit
passage) harus mematuhi hukum danpperaturan dari negara pantai. Jika hal terebut dilanggar, negara bendera kapal harus bertanggung jawab terhadap setiap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan terhadap negara yang berbatasan dengan selat.85 Kewajiban dari negara-negara pantai yang berbatasan dengan selat intrnasional, yaitu : a.
Tidak menghalangi hak linta transit;
b.
Memberikan pengumuman tentang adanya bahaya terhadap pelayaran di seluruh bagian selat;
c.
Tidak boleh ada penangguhan lintas transit.
Hal tersebut diatas merupakan perbedaan antasra lintas transit dengan lintas damai karena dalam lintas damai diperkenankan adanya penundaan. Ketentuan mengenai lintas damai berlaku pula terhadap selat-selat internasional, yaitu yang menurut ketentuan pasal 38 ayat 1, dikecualikan dari pelaksanaan rezim lintas transit; atau selat internasional yang terletak antar bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif dan laut territorial suatu negara asing. 85
Pasal 42 ayat (4) dan (5) Konvensi Hukum Laut 1982
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian satu hal yang perlu dicatat, meskipun berlaku lintas damai melalui selata-selat demikian tersebut, tidak berarti negara pantai boleh menunda atau menghalangi lintas damai di selat internasional. Sementara itu dalam kaitannya dengan hak lintas pelayaran kapal selam di selat-selat internasional, dikarenakan tidak adanya ketentuan yang secara jelas yang mengatur mengenai apakah kapal selam diharuskan berada di permukaan air pada saat melaksanakan lintas transit, akibatnya terdapat perbedaan penafsiran di antara negara-negara. Negara-negara maritim besar yang memiliki kepentingan atas armada lautnya agar bebas bergerak menganggap yang dimaksud “normal mode” pada pasal 39 ayat 1 (C) adalah tidak termasuk kewajiban untuk berada diatas lpermukaan dan menunjukkan bendara kapal, sementara negara-negara pantai beranggapan sebaliknya. Namun demikian apabila kita merujuk pada tujuan penggunaan dari kapal selam adalah untuk pelayaran dibawah air, maka terhadap arti kata “normal mode” tersebut, seharusnya dapat dibenarkan apabila kapal selam berlayar di bawah air, meskipun hal tersebut harus tetap memperhatikan kondisi geografis, densitas lalu lintas dan faktor keselamatan tidak memungkinkan atau adanya ketentuan yang mengharuskannya. C.4. Melalui Wilayah Perairan Negara Kepulauan Yang dimaksud dengan negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau ebih kepulaua dan dapat mencakup pulau-pulau lain.86 Pengertian “kepulauan” itu sendiri adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang 86
Pasal 46 butir (a) Konvensi Hukum Laut tahun 1982
Universitas Sumatera Utara
hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Kedaulatan dari suatu negara kepulauan meliputi perairan yang tercakup dalam garis pangkal yang disebut perairan kepulauan tanpa memperhitungkan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan tersebut meliputi pula ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber-sumber alam yang terkandung dibawahnya.87 Setiap kapal, termasuk kapal-kapal perang, menikmati hak lintas alur laut kepulauan di wilayah perairan kepulauan yang merupakan alur laut kepulauan88, dan menikmati hak lintas damai di wilayah perairan kepulauan di luar lalur laut kepulauan.89 Yang dimaksud dengan lintas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut bebas atau zona Ekonomi Eksklusif dan bagian laut bebas atau Zona Ekonomi Ekskusif lainnya.90 Menurut pasal 53 ayat 5 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa alur laut dean rute udara harus diartikan sebagai rangkaian dari garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute llintas hingga tempat ke luar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauantideak boleh 87
Pasal 46 butir (b) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 89 Pasal 52 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 90 Pasal 53 ayat 3 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 88
Universitas Sumatera Utara
menyimpang lebih daripada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau berbang dekat ke pantai kurang dari 108 jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau perbatasan dengan alur laut tersebut. Jadi misalnya alur laut kepulauan tersebut lebarnya 50 mil, maka kapal atau pesawat udara diperbolehkan menyimpang tidak lebih dari 15 mil ke tia sisi dari garis sumbu. Selain menentukan alur laut, negara kepulauan juga dapat menentukan skema pemisah lalu lintas (Traffic Separation Schemes) untuk keperluan keamanan pelayaran lintas kapal, dan apabila keadaan menghendaki, setelah mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya,dapat mengganti alur/skema pemisah lalu lintas terebut.91 Alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional.92 Dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, negara kepualauan harus mengajukannya kepada organisasi internasional yang berwenang.93 Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat di laksanakan melalui rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasinal.94 Hak lintas alur laut kepulauan apabila dilihat dari substansinya pada hakekatnya identik dengan hak lintas transit yang terdapat di selat internasional.95 91
Pasal 53 ayat 1, 6 dan 7 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 53 ayat 8 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 93 Pasal 53 ayat 9 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 94 Pasal 53 ayat 12 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 92
Universitas Sumatera Utara
C.5. Melalui Wilayah Laut Bebas Laut Bebas adalah terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut bebas menurut Konvensi Hulum Laut 1982, meliputi : a.
kebebasan berlayar;
b.
kebebasan penerbangan;
c.
kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;
d.
kebebasan untu membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasinal;
e.
kebebasan menangkap ikan;
f.
kebebasan riset ilmiah.96
Namun demikian kebebasan tersebut diatas, juga dengan memperhatikan kepentingan negara lain97, dan melaksanakan kedaulatannya di laut bebas.98 Setiap kapal, termasuk kapal perang menikmati kebebasan berlayar di laut bebas99, kebebasan berlayar tersebut bagi kapal-kapal perang adalah termasuk melakukan manuver-manuver, latihan-latihan perang,uji coba senjata dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan militr lainnya di laut.100 Meskipun demikian dalam pasal 88 dijelaskan pula bahwa negara-negara dalam menikmati kebebasan laut bebasnya tersebut harus dimaksudkan untuk tujuan-tujuan damai. 95
Lihat Pasal 54 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 87 ayat 1 Konvensi Hukum Laut thaun 1982 97 Pasal 87 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 98 Pasal 89 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 99 Pasal 90 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 100 United States Department of The Navy, “A Hasndbook for Naval Operations,”http;//www.opt.havy,mil/pages/legal/nwp 820-14/NWPCH2.htm., diakses 02Agustus 2010 96
Universitas Sumatera Utara
Dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga disebutkan mengenai sejumlah hak dan kewajiban kapal perang di laut bebas. Hak-hak tersebut antara lain meliputi : hak melakukan penyitaan karena perompakan/bajak laut101; hak melakukan pemeriksaan (right of visit)102 terhadap setiap kapal di laut bebas yang diduga terlibat dalam perompakan/bajak laut, perdagangan budak, penyiaran gelap, dan terhadap kapal tanpa kebangsaa; dan hak pengejaran seketika (hot pursuit).103 Sementara itu berkaitan dengan kewajiban kapal perang disebutkan; kewajiban setiap kapal memberikan bantuan terhadap kapal yang sedang membutuhkan pertolongan104, kewajiban berlayar dibawah satu bendera kapal105, dan kewajiban memiliki kelaian ketika kapal akan berlayar.106 Sementara itu berkaitan dengan pelaksanaan hak kebebasan berlayar bagi kapal perang tersebut,beberapa negara maritim besar (antara lain Amerika serikat, Uni Sovyet sekarang Rusia, dan Inggris) mengambil inisiatif dengan menghasilkan perjanjian bilateral mengenai pencegahan terjadinya insiden antar kapal perang dari angkatan laut masing-masing negara maritim besar tersebut, di luar laut territorial khususnya di laut bebas. Perjanjian bilateral dengan nama”The Agreement on The Prevention of Incidents on and Over the High Seas”, antara Amerika serikat dengan Uni Sovyet ditandangani pada tahun 1972, yang kemudian disusul dengan protokolnya pada tahun 1973. Sementara perjanjian yang sama ditandatangani antara Uni Sovyet dan Inggris pada tahun 1986.107 101
Pasal 107 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 110 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 103 Pasal 11 ayat 5 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 104 Pasal 98 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 105 Pasal 92 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 106 Pasal 94 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 107 R.R. Chuchill dan A.v. Lowe, Op. Cit., hal 313 102
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian bilateral yang dikenal dengan nama INCSEA ( Incidents at Sea) tersebut beri ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban kapal-kapal perang dan atau pesawat udara masing pihakuntuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya tabrakan antar kapal perang dengan cara mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam “Konvensi Mengenai Pengaturan Pencegahan Tabrakan Antar Kapal di Laut tahun 1972”, dikenal dengan nama COLREG 1972 (The International Regulations for Preventing Collisions at Sea), selain itu setiap kapal perang dan atau pesawat udara dan pesawat udara militer masing-masing pihak diwajibkan untuk menghindarkan diri dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memicu terjadinya insiden antar kapal perang dan pesawat udara militer, salah satunya dengan tidak mensimulasikan persenjataan yang dimilikinya ke arah kapal perang dan atau pesawat udara militer pihak lainnya, ketika kapal perang dan pesawat udara militer pihak lain berada didekatnya. Perjanjian bilateral ini juga berisi kewajiban masing-masing pihak untuk melakukan tukar menukar informasi apabila suatu saat terjadi insiden diantara kapal perang dan pesawat udara militer kedua belah pihak.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PEMBAHASAN ATAS MASALAH IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI
A. Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas Politik dan Nasional Negara Pantai Setiap negara yang berdaulat sudah pasti tidak menginginkan integritas politik dan nasional negaranya dilanggar oleh negara lain, karena hakekat berdirinya suatu negara itu adalah untuk memiliki kedaulatan secara penuh atas seluruh wilayah beserta isinya, bebas dari kontrol negara lain. Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai pemanfaatan laut secara komprehensif menekankan pentingnya menghormati kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekatan politik setiap negara di dunia. Hal tersebut tercermin dalam beberapa ketentuannya yang secara tegas melarang setiap negara untuk melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain. Dalam ketentuan pasal 19 ayat 2 butir a disebutkan bahwa setiap kapal dianggap melakukan lintas tidak damai apabila melakukan: “(a) any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the caoastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nations.” Yang artinya, setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain 68
Universitas Sumatera Utara
apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya dalam pasal 39 ayat 1 butir b disebutkan mengenai kewajiban setiap kapal dan pesawat udara sewaktu lintas trnsit untuk : “(b) refrain from any threat or use of force against the sovereignty territorial integrity or political independence of state bordering the strait, or any other manner in violation in principles of international law embodied in the charter of the United National.” Yang artinya, menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asasasas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa.
Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan pasal 54 mengenai hak lintas alur aut kepulauan dan pasal 301 mengenai penggunaan laut untuk maksudmaksud damai. Jadi meskipun setiap kapal termasuk kapal perang memiliki hak-hak berlayar yang dilindungi oleh ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat pula kewajiban untuk menghormati integritas politik dan nasional negara pantai. Ketentuan mengenai larangan untuk melakukan kegiatan yang mengancam dan melanggar integritas politik dan nasional negara llain, khususnya terhadap negara pantai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pada hakekatnya merupakan hasil kompromi dari dua kepentingan. Antara kepentingan negara-negara pantai untuk melindungi keamanan dan keutuhan wilayahnya dengan kepentingan
Universitas Sumatera Utara
negara-negara maritim besar yang menghendaki kebebasan dan nkelancaran pelayarannya melalui wilayah perairan negara lain untuk berbagai keperluan, termasuk untuk kepentingan mobilitas armada kapal perangnya. Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, adalah merupakan ketentuan hukum internasional yang sejak lama telah ada yang menyatakan bahwa kapal perang memiliki imunitas/kekebalan dari proses hukum, eksekusi dan tindakan-tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara selain negara bendera kapal perang. Dalam Konvensi Hukum laut tahun 1982 ketentuan-ketentuan mengenai imunitas kapal perang tersebut tercantum dalam pasal 32, pasal 95 dan pasal 236. Yang menjadi persoalan kemudian bagaimanakah apabila kapal perang suatu negara melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain yang berarti juga melakukan lintas tidak damai dan atau tidak melaksanakan kewajiban yang seharunya dilakukan pada waktu lintas transit atau lintas alur laut kepulauan. Sementara itu kapal perang memiliki imunitas, yang artinya negara yang dilanggar tentu tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang dimilikinya terhadap kapal perang yang melakukan pelanggaran tersebut. Menurut ketentuan dalam pasal 25 ayat 1 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, suatu negara pantai dapat “take the necessary steps” untuk mencegah terjadinya lintas yang tidak damai. Apabila kita memperhatikan bunyi kalimat dalam pasal 25 ayat 1 tersebut secara seksama, maka atas dasar panafsiran dari arti kalimat “the necessary steps”, negara yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat bergerak dari titik ekstrim yang satu titik ekstrim
Universitas Sumatera Utara
lain. Artinya tindakan tersebut bisa bersifat sangat lunak, bisa juga bersifat sangat keras. Apabila dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang, maka ltindakan yang sangat lunak tersebut kiranya dapat ditafsirkan dalam bentuk meminta kapal perang yang melanggar untuk segera meninggalkan perairan teritorial negara pantai108, yang dapat pula disertai dengan pernyataan protes melalui saluran diplomatik. Ketentuan dalam pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu bentuk metode konvensional yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 bagi negara-negara pantai untuk mengatasi masalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perang asing di wilayah perairan laut teritorialnya. Ketentuan ini akan akan cukup efektif untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang bersifat ringan seperti pelanggaran terhadap tidak dipatuhinya hukum dan peraturan negara pantai, mengenai navigasi misalnya.109 Sementara itu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang lebih besar eskalasenya seperti pelanggaran terhadap intergritas politik dan nasional, negara lain, tentu tidak cukup dengan hanya meminta kapal perang negara yang melanggar untuk dengan segera meninggalkan wilayah negara yang dilanggar. Menurut ketentuan hukum internasional klasik, suatu negara yang kedaulatannya dilanggar oleh negara lain dapat melakukan sejumlah tindakan bersifat non-yuridis terhadap negara yang melanggar kedaulatannya. Tindakan ini 108 109
Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Ibid., hal 73.
Universitas Sumatera Utara
dalam hukum internasional dikenal dengan hak pembelaan diri atau “self defence”. Dalam hukum ternasional hak pembelaan diri tersebut ada meskipun pelanggaran yang dilakukan bukan merupakan suatu serangan bersenjata/ “armed attack” dan pelanggaran yang dilakukan tersebut tidak harus merupakan suatu agresi, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa hak bela diri sepenuhnya berhubungan dengan tindakan yang bertujuan menghentikan pelanggaran memasuki wilayah negara lain tanpa izin. Oleh karena itu terkait dengan hakekat/sifat pengoperasian kapal perang itu sendri, maka pertimbangan penggunaan prinsip pembelaan diri menjadi sangat terkait erat. Aturan yang secara normal perlu dipenuhi mengenai penggunaan ketentuan hak pembelaan diri adalah adanya prinsip dasar bahwa penggunaan tindakan tersebut dilakukan atas dasar “necessary” atau keperluan, suatu kondisi yang timbul dari sebab/keadaan yang menyebabkan diperlukannya tindakan pembelaan diri dan aturan edua yang juga wajib untuk dipenuhi adalah bahwa tindakan tersebut harus dilakukan secara “proportional” atau seimbang, seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan.110 Namun demikian perlu juga diingat untuk mencegah adanya tuntutan dari negara yang ditindak setelah dilakukannya tindakan pembelaan diri, bahwa “tindakan berlebihan” telah dilakukan dan guna mencegah akibat dari tindakan tersebut
menjadi
konflik
dalam
eskalasi
yang
lebih
besar,
sebelum
dilaksanakannya tindakan tersebut negara yang dilanggar kiranya wajib terlebih dahulu melakukan verifikasi apakah kapal perang tersebut memasuki wilayah 110
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
karena mengalami kesulitan atau oleh karena sebab lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan sebelum langkah terakhir yaitu tindakan pembelaan diri terhadap kapal perang yang diduga melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai dilakukan. Yang dimaksud dengan imunitas dalam hukum internasional adalah bahwa seseorang atau suatu obyek itu dikecualikan dari yurisdiksi pengadilan lokal dan atas segala tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang negara lain. Imunitas yang dimiliki oleh kapal perang bersifat absolut atau mutlak, yang artinya dengan kata lain tidak ada jelan sedikitpun untuk membawa kapal perang ke hadapan forum hakim nasional negara lain. Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal ang yang melanggar
untuk segera
meninggalkan wilayah perairan teritorial negara pantai, yang dapat disertai dengan permintaan ganti rugi apabila pelanggaran kapal perang mengakibatkan kerugian bagi negara pantai, hingga tindakan yang lebih keras berupa tindakan
Universitas Sumatera Utara
pembelaan diri atau ”self defence”, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, apabila pelanggaran yang dilakukan dirasakan telah mengancam danelanghgar integritas politik dan nasional negara pantai. Terhadap imunitas yang dimiliki oleh sebuah kapal perang bersandar prinsip “par in parem non habet imperium”, yang artinya tidak ada satu negara yang dapat n\mengadili negara lainnya. Dan dalam kaitannya dengan masalah pelanggaran yang dilakukan kapal perang terhadap integritas politik dan nasional negara pantai, maka pengadilan lokal negara pantai dianggap tidak pantas untuk menyelidiki apakah benar suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai. Selain itu pengadilan lokal negara pantai juga tidak didesain untuk mengadili permasalahan antar negara, karena masalah antar negara lebih tepat untuk diselesaikan oleh hukum internasional.
B. Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuanketentuan Pencemaran di Laut Salah satu dari sumber pencemaran di laut adalah diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal. Kapal-kapal yang pada umumnya dioperasikan dengan mesin diesel dapat mencemarkan laut dengan tumpahan bahan bakarnya yang terkadang tanpa sengaja jatuh ke dalam laut, demikian pula halnya asap sisa pembakaran yang keluar dari saluran pembuangan asap pada akhirnya akan jatuh ke laut. Selain itu kapal-kapal bertenaga nuklir (pada umumnya kapal perang) dapat mengakibatkan pencemaran laut dengan bahan-bahan radioaktifnya. Setiap kapal, apapun
Universitas Sumatera Utara
jenisnya, pasti akan mencemari laut apabila mereka membuang sampahnya ke laut atau apabila kapal tersebut melepaskan secara langsung limbah kotorannya ke dalam laut tanpa diolah terlebih dahulu. Sementara itu sumber pencemaran terbesar dari kegiatan-kegiatan kapal adalah berasal dari kargo yang mereka angkut. Minyak adalah komoditi yang paling umum, selain itu kargo-kargo lain yang berbahaya karena dapat mencemari laut adalah antara lain; bahan-bahan kimia, LPG cair, dan bahan-bahan radioaktif. Ada dua ketentuan hukum internasional yang meruakansumber utama dalam rangka pengaturan masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang pertama adalah Konvensi Hukum Laut 1982 dan yang kedua adalah International Convention for The Prevention of Pollution from Ship tahun 1973 yang lebih dikenal dengan MARPOL Convention (Marine Pollution), ketentuan ini dilengkapi dengan Protokol tahun 1978. Oleh karena itu ketentuan hukum internasional ini dikenal dengan nama MARPOL 73/78. Namun
demikian
sangat
disayangkan
kedua
ketentuan
hukum
internasional utama mengenai pencemaran laut oleh kegiatan kapal tersebut hanya berlaku terhadap kapal-kapal dagang dan kapal-kapal umum lainnya dan tidak terhadap kapal perang dan kapal-kapal negara lainnya.111 Hal ini dikarenakan di dalam kedua ketentuan tersebut terdapat ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal-kapal negara/pemerintah dan kapal-kapal perang. Padahal banyak survey menunjukan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal
111
Jeffrey S. Dehner, Vessel Source Pllution and Public Vessels; Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental law, http://www.law.emory.edu/EILR/Volumes/fall95 /dehner, html diakses 05Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
negara/
pemerintah
turut
memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan
pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal. Setidaknya sejumlah angkatan laut di dunia dengan kira-kira 771.500 orang anggota awaknya setiap tahun berlayar ldi laut, menghasilkan lebih dari 74.000 ton sampah per tahunnya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang memiliki lebih dari 2000 kapal, termasuk 600 kapal perang dengan jumlah anggota awak kira-kira 300.000 orang, pada tahun 1993, menghasilkan setidaknya lebih dari 63.356 ton sampah per tahun, hal tersebut baru terhitung hanya untuk sampah yang dibuang di perairan domestik saja.112 Ketentuan mengenai masalah perlindungan lingkungan laut diatur oleh Konvensi Hukum, Laut tahun 1982 di dalam Bab XII, khususnya Bagian 5 yang berjudul “Peraturan-peraturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional untuk Mencegah, Mengurangi dan Mengendalikan Pencemaran Lingkungan Laut.” Bagian ini mengatur mengenai pencemaran laut yang berasal dari daratan,113 yang berasal dari kegiatan-kegiatan di kawasan dasar laut114, yang berasal dari dumping115, dan yang berasal dari kegiatan-kegiatan kapal.116 Khusus berakitan dengan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, pasal 211 Konvensi Hukum Laut 1982 menerangkan bahwa “negara-negara akan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan
112
Ibid. Pasal 207 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 114 Pasal 208 dan 209 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 115 Pasal 210 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 116 Pasal 211 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 113
Universitas Sumatera Utara
mengontrol pencemaran terhadap lingkungan laut yang diakibatkan oleh kegiatankegiatan kapal.” Kemudian dalam beberapa pasal berikutnya dijelaskan bahwa pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar hukum internasional tersebut dilaksanakan oleh negara-negara pantai117, negara-negara pelabuhan118, dan negara-negara bendera kapal.119 Ketentuan-ketentuan yang kiranya cukup baik tersebut menjadi tidak cukup efektif dikarenakan adanya ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal perang untuk mematuhinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 236 yang menyatakan bahwa kapal perang dan kapal pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-komersial, dikecualikan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Meskipun dalam lanjutan bunyi kalimat pasal 236 dijelaskan mengenai jaminan negara untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dan dapat dilakukan, agar kepal perang mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi. Kedua ketentuan tersebut diatas adalah merupakan ketentuan mengenai imunitas negara. Meskipun dalam kedua ketentuan tersebut juga dilengkapi dengan klausul “itikad baik” yang menyatakan bahwa negara-negara akan menjamin untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dapat dilakukan, agar kepal perangnya mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi, namun seberapa efektif klausul “itikad biaik” tersebut dapat berlaku adalah suatu 117
Pasal 220 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Pasal 218 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 119 Pasal 217 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 118
Universitas Sumatera Utara
masalah. Apabila kita merujuk pada bunyi kalimat yang ada dalam pasal, khususnya kalimat “reasonable and practicable” yang jika diartikan “sepanjang beralasan dan dapat dilakukan” jelas ltidak memberikan petunjuk pasti mengenai seberapa besar tingkat pemaksaan yang dapat diterima. Konsepsi imunitas negara berakar dari gagasan mengenai kedaulatan negara. Dalam konteks keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum internasional banyak fakta menunjukan bahwa gagasan kedaulatan negara telah mengalami erosi setidaknya dalam hal-hal tertentu. Masalah kejahtan internasional, misalnya dalam kaitan tersebut gagasan kedaulatan negara telah dapat diabaikan. Contoh lainnya yang relevan, mengenai masalah huykum lingkungan internasional, kasus Troa Smelter merupakan contoh lain dari dapat diabaikannya penggunaan alasan kedaulatan negara dan menunjukan penggunaan alasan kedaulatan menjadi sesuatu gagasan yang tidak menjanjikan. Meskipun demikian dalam konteks kepentingan-kepentingan negara atas laut dan hukum laut, persoalan kedaulatan negara menjadi sesuatu lebih rumit. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara negara- pantai yang menginginkan perluasan kontrol atas wilayah perairannya dan kepentingankepentingan negara maritim besar akan kebebasan berlayar. Selain itu apabila kita berbicara mengenai hakekat imunitas kapal perang, maka hal tersebut akan sangat terkait erat dengan kepentingan negara atas laut di bidang keamanan (security interest). Meskipun terdapat kecenderungan pada saat sekarang dalam hukum internasional
yang
mengarah
kepada
pertanggungjawaban
negara
dan
Universitas Sumatera Utara
akuntabilitas, namun pada umumnya kapal perang dan kapal negara/pemerintah lainnya tetap beroperasi berdasarkan prinsip imunitas yang absolut/mutlak. Sementara itu masalah kewajibanuntuk mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan hidup laut adalah sesuatu yang seharunya berlaku terhadap setiap obyek hukum laut internasional. Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian apakah ide-ide mengenai keamanan dalam imunitas kapal perang tersebut dapat diubah dalam rangka memaksa kapal perang mentaati ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut. Jawabannya adalah sangatlah tidak realistis untuk memaksa kapal perang terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tersebut, sementara diketahui adalah penting bagi kapal perang tetap mempertahankan fungsi kepentingan keamanannya. Alasan mengapa negara-negara mengecualikan pengaturan ketentuan pasal 236 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, maupunpasal 3 ayat 3 ketentuan MARPOL 73/78 adalah karena dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi tersebut, brarti negara yang meratifikai harus bersiap untuk menyesuaikan segala hal yang berkaitan dengan pengoperasian, ketahanan, pemeliharaan dan terhadap kualitas dari kapal perang, dimana hal tersebut rasanya sulit untuk dilakukan, bahkan akan membebankan, ketika kapal perang harus terbentur dengan masalah kepentingan keamanan.120 120
“Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Neval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”, http://www.nato.int/structur/AC/141/documents/D8 20for 20 Publc 20 Domain 20Web 20Site,doc diakses pada 15 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu salah satu jalan keluar yang paling tepat adalah tidak dengan menghapus imunitas yang imiliki kapal perang, akan tetapi dengan tetap mempertahankan imunitas kapal perang dalam ketentuan hukum internasional dengan memberikan wewenang mengnai pelaksanaannya pentaatan sepenuhnya kepada negara bendera kapal perang. Cara pemaksaan pentaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut khususnya terhadap kapal prang seperti tersebut diatas, telah mulai banyak dilakukan oleh beberapa negara. Amerika Serikata,
misalnya
telah
membentuk
ketentuan-ketentuanhukum
nasional
mengenai pencemaran laut oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang brlaku juga terhadap kapal perang, ketentuan-ketentuan tersebut adalah implementasi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam MARPOL 73/78.121 Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kerjasama antara negara. Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, misalnya telah membentuk suatu kelompok kerjasama, dikenal dengan Special Working Group Twelve disingkat dengan SWG/12, kelompok kerjasama ini bertujuan mengembangkan “The Environmentally Sound Ship of The Twenty-First Century”, yaitu suatu kapal yang dapat dioperasikan dalam segala macam kondisi perairan di seluruh dunia, tanpa menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan hidup sehingga dapat mematuhi setiap ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai lingkungan hidup yang berlaku.
121
Undang-undang dengan nama Marine Plastic Pollution Research and Control Act 1987, atau disingkat dengan MPPRCA 1987, adalah merupakan ketentuan yang merupakan implementasi dari Annex V MARPOL 73/78.
Universitas Sumatera Utara
Tugas SWG/12 adalah untuk mempromosikan melalui p;ertukaran informasi, pengembangan kemampuan diantara negara NATO untuk mematuhi ketentuanketentuan dan peraturanper-peraturan hukum internasional dan nasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, dan untuk membantu melalui usaha-usaha kerjasama untuk menghasilkan kapal yang ramah lingkungan. Ada tiga bidang kerja utama yang kini dilakuan SWG/12, meliputi : 1) mengerjakan perltukaran
informasi
dan
persiapan
dokumen-dokumen;
2)
melakukan
identifikasi terhadap peluang kerjasama di bidang teknologi; 3) melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi dalam NATO lainnya.122 Mengharapkan dihapuskannya status imunitas mutlak yang dimiliki oleh kapal perang sekarang ini sepertinya akan sangat sulit untukdilakukan. Hal tersebut dikarenakan masalah status imunitas kapal perang sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara di bidang keamanan, khususnya negara maritim besar. Sehingga solusi yang paling mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memajukan kerjasama antara negara di bidang perlindungan lingkungan laut, selain dengan terus mendorong negara-negara agar terus mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan-kegiatan kapal terhadap kapal perang.
122
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
C. Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut Teritorial Pertanyaan mengenai apakah kapal perang memiliki hak lintas damai telah menjadi salah satu persoalanyang paling kontroversial dari pembahasan hukum laut.123 Hukum kebiasaan internasional yang merupakan salah satu sumber hukum dari hukum laut internasional tidak mengatur hal tersebut secara konsisten, demikian pula halnya praktek negara-negara dan ketentuan-ketentuan hukum nasional di tiap negara yang saling bertentangan satu sama lain. Sumber permasalahan mengapa hal tersebut menjadi kontroversi adalah jelas, negara-negara maritim besar (salah satu diantaranya setelah perang dunia pertama adalh Amerika serikat) mengharapkan kebebasan untuk melakukan manuver kapal perangnya secara maksimal, dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan, sementara itu di lain pihak negara-negara lain (pada umumnya negara-negara kecil dan berkembang) menolak ke madirian kapal-kapal perang asing mendekati wilayah perairan pantainya, dalam rangka melindungi kepentingan keamanan nasionalnya.124 Pembahasan atas masalah hak lintas damai kapal perang asing melalui laut teritorial telah dimulai sejak Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, bahkan pada masa sebelumnya. Pembahasan mengeai pembedaan antara kapal perang dan kapal-kapal lain pada umumnya, hususnya yang bekaitan dengan hak lintas damai, mulai timbul pada awal abad ke-19. Beberapa negara pada masa itu menganggap pelaksanaan 123 124
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal. 74 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
hak lintas damai oleh kapal perang sebagai semata-mata suatu komitas/comity atau pengejewantahan rasa hormat antar bangsa, sehingga dapat tingguhkan, dan satu-satunya konskewnsi dari penangguhan tersebut, negara pantai hanya dianggap melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Oleh karenanya mereka menekankan perlunya izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dari negara pantai sebelum kapal perang asing dapat melaksanakan hak lintas damainya tersebut. Sebaliknya sebagian negara lain memiliki pandangan bahwa kapal perang seharusnya memiliki hak lintas damai yang semestinya tidak dfibatasi, dimana dalam prakteknya pada masa damai tidak terdapat keberatan dari negaranegara mengenai hal tersebut.125 Perbedaan antara kedua kelompok negara ini terus bertahan sepanjang Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan untuk setrusnya. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi kpenyebab kegagalan negaranegara untuk menentukan ketentuan yang jelas mengenai masalah hak lintas damai bagi kapal perang pada masa damai.126 Meskipun demikian Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 berhasil menghasilkan suatu kompromi diantara kedua kelompok negara yang berbeda pandangan tersebut, suatu kompromi yang akan menjadi cikal bakal dari ketentuan selanjutnya mengenai hak lintas kapal perang di wilayah laut teritorial pada masa damai. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 12 dan pasal 13 Final Act dari Konferensi Kodifikasi Mengenai Laut Tritorial, yang berbunyi :
125 126
Ibid. R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 12 menyatakan bahwa : “As a generalrule, a coastal state will not forbid the passage of warships in its teritorial sea and will not require a previous authorisation or notification, (although) the coastal state has teh right to regulate the conditions of such passage.” Yang artinya, sebagian umum Negara pantai tidak akan melarang berlalunya kapal perang di laut territorial dan tidak akan memerlukan pemberitahuan sebelumnya walaupun Negara pantai memiliki hak untuk mengatur kondisi dari bagian tersebut.
Dan pasal 13 selanjutnya menerangkan : “if a foreign warships passing through the territorial sea does not comply with the regulations of the coastal state and disregards any request for compliance which may be brought to its notice, the coastal state may require the warships to leav the territorial sea.” Yang artinya, jika kapal perang asing melintasi laut territorial tidak sesuai dengan peraturan Negara pesisir dan mengabaikan permintaan untuk kepatuhan sebagai pemberitahuan kepada Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial. Permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang kemudian kembali dibicarakanpada waktu Mahkamah Internasional mengadili “Kasus Selat Corfu” Sementara kasus Selat Corfu tersebut berhasil menuntaskan mengenai masalah isu hak lintas damai kapal perang melalui selat Internasional, meskipun sempat terdapat pembahasan diantara para sarjana, akan tetapi tidak berarti pembahasan masalah mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut kemudian menjadi lebih jelas.
Universitas Sumatera Utara
Setelah kasus Selat Corfu yang adalah merupakan cause celebre, dengan menggunakan kasus Selat Corfu tersebut sebagai precedent dan hasil dari Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 sebagai sumbernya, Komisi Hukum Internasional (Intrnational Law Commission), pada tahun 1954 mulai melakukan pembahasan dan perdebatan diantara para anggotanya berkaitan dengan hak lintas damai kapal perang melalui perairan laut teritorial negara asing. Hasil yang didapat dari pembahasan Komisi Hukum Internasional pada waktu itu adalah sebagaimana tercantum dalam di dalam pasal 24 Rancangan Akhir Komisi Hukum Internasional dijelaskan ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang berbunyi, sebagai berikut: “the coastal state may make the passage of warships through the teritorial sea subject to previous authorisation or notification. Normally, it shall grant innocent passage subject to obsevance of the provisions of articles 17 and 18.” (ketentuan pasal 17 dan pasal 18 tersebut berakitan dengan hak-hak perlindungan dari negara-negara pantai dan kewajiban-kewajiban kapal asing pada waktu melaksanakan hak lintas damai) Ketentuan pasal 24 Rancangan Komisi Hukum Internasional tersebut, pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, seharusnya kemudian menjadi salah satu ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun hasil berbeda muncul ketika sebagian negara pendukung hak lintas damai kapal perang tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu menolak ketentuan yang dihasilkan oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Akhirnya satu-satunya ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang yang dihasilkan dalam Konfrensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut, adalah pasal 23 Konvensi Hukum Laut Teritorial, yang brbunyi :
Universitas Sumatera Utara
“if any warships does not comply with the regulations of the coastal state concerning passage through the territorial state and disregards any request for complianced which is made to it, the coastal state may require the warships to leave the territorial sea.” Yaitu, jika ada kapal perang yang tidak sesuai dengan perutan Negara pantai mengenai lintas melalui Negara territorial dan mengabaikan permintaan pemenuhan yang dibuat oleh Negara pantai, Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial. Negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang damai dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 menganggap permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang telah jelas, yaitu bahwa kapal perang menikmati hak lintas damai seperti umumnya kapal-kapal lain. Dasar hukum argumentasi negaranegara tersebut adalah pasal 14 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, yang menyatakan bahwa setiap kapal baik itu milik negara berpantai atau tidak menikmati hak lintas damai kapal melalui laut teritorial. Sebaliknya hal tersebut ditentang oleh negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu, yang beranggapan bahwa permasalahan tersebut belum secara jelas diatur oleh Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Bahkan sebagian dari negaranegara tersebut kemudian termasuk negara-negara yang pada saat ratifikasi melakukan deklarasi dengan melakukan klaim bahwa hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorialnya harus dengan seizin negara pantai.127
127
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal 75.
Universitas Sumatera Utara
Setelah hasil yang dicapai oleh negara-negara dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut. Praktek-praktek negara-negara menunjukan bahwa negara-negara di dunia cenderung mengambil posisi untuk tidak secara langsung berkonfrontasi dalam membahas mengenai permasalahan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut. Apabila pada suatu negara pantai tidak menentukan permintaah izin atau pembritahuan terlebih dahulu bagi kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya, maka kapal-kapal perang negara asing (biasanya negara maritim besar seperti amerika Serikat) melaksanakan hak lintas damai seperti halnya kapal-kapal lain pada umumnya. Namun apabila suatu negara pantai menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kapal perang asing yang akan melaksanakanhak lintas damai di laut teritorialnya, maka kontak-kontak diplomatik pada level-level tertentu, biasanya pada level atase militer angkatan laut dilakukan dan pada umumnya kontak tersebut dilakukan secara informal.128 Pada saat Konferensi Hukum Laut Laut PBB III tahun 1982, pembahasan mengenai kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal-kapal perang yang akan melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial kembali muncul ke permukaan dalam beberapa seri pembahasan usulan mengenai harmonisasi ketentuan-ketentuan huum nasional dengan Konvensi Hukum Laut 1982 yang akan datang. Seperti sebelumnya dua negara yang menentang usulan kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu kembali datang dari Inggris 128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan amerika Serikat. Masih dengan argumentasiyang tidak jauh berbeda yaitu bahwa kewajiban melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu merupakan suatu tindakan tidak realistis dan bersifat diskriminatif serta bertentangan dengan kebebasan pelayaran, karena hak lintas damai adalah merupakan hak yang dimiliki oleh setiap kapal, termasuk kkapal perang. Sementara itu negarayang mendukung diaturnya kewajiban untuk melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal perang yang akan melakukan hak lintas damai, pada Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982, kini dimotori oleh Cina dan Spanyol dengan tambahan beberapa negara kecil. Argumentasi yang mereka utarakan berbagai macam, dari mulai pertimbangan “hak kedaulatan secara penuh yang tidak terbantahkan” dan “keamanan nasional” hingga seperti yang diutarakan oleh salah satu negara pendukung yang menyatakan “adanya kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu... merupaka prasyarat bagi terjaganya perdamaian, ketertiban dan keamanan... tidak hanya dimaksudkan terhadap negara-negara atau kapal-kapal akan tetapi terhadap maksud dan kebijaksanaan.” Sementara itu Uni Sovyet yang pada saat Konferensi Hukum Laut jenewa tahun 1958 adalah merupakan termasuk negarapendukung kewajiban untuk meminta izin dan autau pemberitahuan terlebih dahulu, pada saat Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982 cenderung mengambil posisi ambivalen, yaitu dengan mendukung amerika Serikat, tetapi tidak terhadap hak lintas kapal perang yang melalui laut teritorialnya.
Universitas Sumatera Utara
Setelah melalui perdebatan yang panjang diantara kedua kelompok negara yang mendukung dan yang menolak, negara-negara kembali gagal mencapai ‘konsensus dan merumuskan ketentuan hukum internasional yang jelas mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut terotorial, dan akhirnya sebagaimana Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, memutuskan untuk membiarkan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tanpa penyelesaian. Satu-satunya ketentuan yang telah jelas adalah bahwa kapal selam yang melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial diwajibkan untuk berlayar di atas permukaan. Terlepas dari persoalan ketidak jelasan mengenai pengaturan hak lintas damai kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Saat ini kurang lebih lima puluh negara di dunia masih memakai pengaturan hak lintas damai bagi kapal prang dengan kewajiban meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dalam ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya. Negara-negara yang mewajibkan kapal-kapal perang asing untuk meminta izin terlebih dahulu contohnya antara lain: Albania, aljazair, Kamboja, Djibouti, Republik Rakyat Cina, Mesir, India, Iran, Malta, rumanbia, Strilangka, Bangladesh, dan Vietnam. Sementara negara-negara yang mengatur kewajiban plemberitahuan terlebih dahulu antara lain : Spanyol, Denmark, Indonesia, Brazil, Korea Selatan, dan Kroasia.129 Memperhatikan perkembangan pembahasan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut dalam hukum laut internasional, dapat 129
“National legislation-DOALOS/OLA-United Nations”, http://www.un.org/Depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/PDFFILES diakses pada 18 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
disimpulkan bahwa kegagalan negara-negara untuk menetapkan ketentuan yang jelas dan dapat diterima berkaitan dengan lintas damai kapal perang adalah terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Antara kepentingan negara-negara maritim bear yang menuntut kebebasan sebesar-besarnya dalam rangka mengamankan kepentingannya di bidang politik dan keamanan, dan di lain pihak negara-negara pantai yang umumnya negara-negara non mritim brkepentingan melindung integritas politik dan nasionalnya. Selain itu praktek negara-negara (khususnya negara-negara maritim besar) menunjukan kecenderungan untuk menggunakan cara-cara yang telah ada selama ini dalam melaksanakan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial, yaitu dengan cara melakukan pendekatan yang lebih informal ketika melaksanakan hak lintas damainya, karena hal tersebut dianggap lebih fleksibel dan nyaman daripada mengikuti ketentuan hukum internasional yang formal dan kaku.
D. Contoh-Contoh Kasus dan Insiden D.l. Kasus Selat Corfu Kasus ini berawal ketika pada tanggal 15 Mei 1946, dua kapal perang Inggris jenis penjelajah, HMS Orion dan HMS Superb, saat melakukan navigasi rutin ke arah selatan melalui bagian utara Selat ditembaki oleh artileri pantai Albania. Pemerintah Inggris kemudian melalui saluran-saluran diplomatik yang dimilikinya mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh Albania tersebut, serta menyatakan bahwa hak lintas damai melalui selat internasional adalah merupakan hak yang dikenal dalam hukum internasional.
Universitas Sumatera Utara
Membantah pernyataan pemerintah Inggris tersebut, pemerintah Albania kemudian menolak dengan tegas anggapan Selat Corfu adalah merupakan selat intrnasional dan menyatakan bahwa setiap kapal asing baik itu kapal perang maupun kapal dagang tidak berhak untuk melaluinya karena Selat Corfu merupakan wilayah perairan laut teritorial Albania sehingga setiap kapal yang akan melaluinya harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu dan atau izin dari pemerintah Albania.130 Mendapatkan pernyataan tersebut pemerintah Inggris kemudian tetap pada pandangan sebelumnya yaitu bahwa Selat Corfu adalah merupakan selat internasional karena menghubungkandua bagian laut bebas. Selain itu pemerintah Inggris juga mengingatkan pemerintah Albania bahwa apabila artileri pantai pada waktu yang akan datang kembali menembaki kapal-kapal perang Inggris yang melalui Selat Corfu, kapal-kapal Inggris akan diperintahkan untuk membalasnya. Pada tanggal 22 Oktober 1946 pemerintah Inggris kembali mengirim kapal-kapal perangnya melalui Selat Corfu. Dua kapal perang jenis penjelajah, yaitu HMS Mauritius dan HMS Leander serta dua kapal perang jenis perusak, yaitu HMS Saumarez dan HMS Volage. Pada saat keempat kapal perang tersebut melaksanakan lintas pelayarannya, salah satu dari kapal perangnya kemudian, yaitu HMS Saumarez terkena ranjau yang mengakibatkan rusaknya kapal perang tersebut serta menewaskan beberapa awak kapal. Setelah terjadinya peristiwa tersebut pihak Inggris kemudian pada tanggal 12 dan 13 November 1946 memberitahukan pemerintah Albania bahwa mereka 130
http://www.scribd.com/doc/39504492/Corfu-Channel-Case-1949 diakses tanggal 04 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
akan melakukan operasi pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang terdapat di Selat Corfu. Pihak albania menjawab pemeritahuan tersebut dengan menyatakan bahwa pemerintah Albania tidak akan memberikan persetujuannya terhadap operasi pembersihan ranjau tersebut, kecuali terhadap operasi pembersihan yang dilakukan di luar wilayah perairan Albania. Berkaitan atas terjadinya peristiwa ledakan ranjau yang merusak kapal perang dan awaknya tersebut, pemerintah Inggris kemudian mengajukan gugatan pertanggung jawaban terhadap pemerintah Albania atas terjadinya peristiwa tersebut ke Mahkamah Internasional. Pada saat persidangan kemudian, dalam pembelaannya pemerintah Albania menolak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kapal perang Inggris tersebut. Argumentasi utama yang diajukan adalah bahwa pemerintah Albania sama sekali tidak mengetahui adanya, ranjau di perairan Selat Corfu. Selain itu menurut pihak albania pada saat terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan Albania, karena lintas pelayaran yang dilakuan kapal perang Inggris adalah merupakan lintas tidak damai. Alasan-alasan yang diajukan untuk mendukung hal tersebut meliputi :131 1. Lintas kapal perang Inggris adalah tidak merupakan lintas biasa, akan tetapi lebih tepat merupakan sebuah misi politik; 2. Kapal-kapal tersebut pada saat berlayar melalui Selat Corfu melakukan manuver dalam formasi perang;
131
http://www.scribd.com/doc/39504492/Corfu-Channel-Case-1949 diakses tanggal 04 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
3. Posisi senjata-senjata yang ada diatas kapal perang pada saat itu tidak konsisten dengan prinsip hak lintas damai;. 4. Kapal-kapalperang Inggris tersebut pada saat melakukan lintasnya menempatkan awaknya dalam posisi siap untuk beraksi; 5. Apabila dilihat dari jumlah kapal dan persenjataan yang dimiliki yang melebihi jumlah seharusnya, dan menunjukan keinginan untuk melakukan intimidasi dan bukan semata-mata hanya untuk melintas; 6. Kapal-kapal perang Inggris tersebut telah menerima perintah untuk mengamati dan melaporkan keadaan pertahanan di pantai dan perintah tersebut dilaksanakan pada saat kapal perang tersebut melintas. Sementara itu sebaliknya pihak Inggris dalam persidangan menerangkan bahwa apa yang dilakukan oleh pihaknya dengan mengirim kapal-kapal perang melalui Selat Corfu adalah semata-mata dalam rangka menegaskan haknya untuk melaksanakan lintas melalui Selat Corfu yang adalah merupakan selat internasional yang secara tidak adil telah diingkari oleh pemerintah Albania. Bahwa pihak Inggris tidak terikatuntuk tidak menggunakan hak lintasnya, dimana pemerintah Albania telah secarailegal mengingkarinya. Selanjutnya mengenai saat terjadinya peristiwa, dimana disebutkan oleh pihak albania bahwa kapal-kapal perang Inggris telah melaksanakan lintas tidak damai adalah tidak benar. Semua senjata dimiliki kapal-kapal perang Inggris selama melaksanakan lintas dalam posisi tidakuntuk digunakan dantidak berisi serta tidak diarahkan ke pantai. Meskipun demikian pemerintah Inggris mengakui berkaitan dengan pelaksanaan operasi pembersihan ranjau setelah peristiwa
Universitas Sumatera Utara
ledakan ranjau, pemerintah Inggris tidak pernah meminta persetujuan pihak Albania dan tidak pula melakukan pemberitahuan kepada organisasi intelrnasional yang berkaitan dengan pembersihan ranjau. Akan tetapi hal trsebut terpaksa dilakukan karena mengingat keadaan yang mendesak. Setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak. Mahkamah Internasional kemudian memberikan putusan mengenai “Kasus Selat Corfu”, sebagai berikut: 1.
Menyatakan Republik Rakyat Albania bertanggung jawab berdasarkan hukum internasional atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang iakibatkan oleh peristiwa tersebut;
2.
Menyatakan Kerajaan Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Rakyat albania atas dasar tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober 1946.
3.
Menyatakan atas dasar tindakan-tindakan yang iakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November 1946, bahwa kerajaan Inggris telah melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania. Beberapa point penting yang dapat diambil dari kasus Selat Corfu,
khususnya yang berkaitan dengan masalah pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai antara lain : 1. Bahwa kasus Selat Corfu telah melahirkan suatu prinsip, sesungguhnya dalam huum kebiasaan internasional, kapal perang pada masa damai
Universitas Sumatera Utara
memiliki hak lintas damai melalui selat internasional, dan bahwa ltidak boleh ada penangguhan lintas damai melalui selat demikian. 2. Selain itu kasus Selat Corfu menghasilkan precedent baru mengenai kriteria lintas damai, dimana kriteria lintas damai tidak semata-mata didasarkan atas kriteria subyektif dari negara pantai, akan tetapi terdapat suatu penilaian yang obyektif, yaitu bahwa suatu lintas dapat dianggap lintas damai selam dilakukan dengan cara-c ara yang tidak menimbulkan ancaman terhadap negara pantai. Bahwa tidak sepenuhnya benar jika kapal perang melalui wilayah perairan negara lain, maka ia berarti melakukan lintas tidak damai, demikian pula sebaliknya. 3. Bahwa yang dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan mengirim sejumlah kapal perang ke Selat orfu, merupakan salah satu bentuk penggunaan kapal perang pada masa damai yang berkaitan dengan fungsi diplomasi kapal perang. Ketika Albania melakukantindakan yang dianggap merugikan pihak Inggris.
D.2. Insiden Penahanan Kapal Perang USS Pueblo Pada tanggal 23 Januari 1968 USS Pueblo sebuah kapal perang milik angkatan laut Amerika Serikat dicegat kemudian kapal tersebut beserta awaknya ditahan oleh kapal-kapal perang angkatan laut Korea Utara, 16 mil laut dari wilayah daratan Korea Utara tepatnya dari pulau kecil terdekat Ungdo. USS Pueblo merupakan sebuah kapal lriset ilmiah kelautan berbobot 960 ton milik angkatan laut Amerika Serikat, yang hanya dilengkapi dengan dua buah senjata mesin ringan. Dengan jumlah awak terdiri atas 83 orang. Pada saat dicegat
Universitas Sumatera Utara
dan kemudian ditahan, USS Pueblo sedang melaksanakan misi pengumpulan data untuk kepentingan intelijen, di wilayah laut bebas dekat wilayah perairan laut teritorial Korea Utara, di luar yurisdiksi Korea Utara. Pada saat itu USS Pueblo ditugaskan untuk mendpapatkan informasi mengenai hal-hal sebagai berikut :132 1.
Menemukan lokasi radar Korea Utara yang ditempatkan di wilayah pantai;
2.
Mengukur kemampuan pihak Korea Utara dan Uni Soviet mengantisipasi kegiatan-kegiatan pengumpulan informasi intelijen;
3.
Mengumpulkan data-data intelijen mengenai unit-unit Uni Soviet yang ditempatkan di Korea Utara;.
4.
Melakukan evaluasi terhadap kemampuan pengumpulan data dari USS Pueblo;
5.
Melakukan pemantauan terhadap unit-unit pasukan Uni Soiyet yang ditempatkan di Selat Tsushima Selain itu USS Pueblo diinstruksikan untuk tetap di perairan internasional
dan tidak memasuki wilayah perairan teritorial Korea Utara. Terjadinya insiden diawali ketika USS Pueblo yang sedang melaksanakan misinya untuk mengumpulkan data intelijen sedang berada 15 mil laut dari pulau terdekat Yo Do, di luar wilayah perairan teritorial Korea Utara dihadang oleh sebuah kapal perang Korea utara, yang kemudian disusul oleh 3 buah kapal boat torpedo dan sejumlah pesawat militer jenis Mig-21. Setelah mengetahui USS Pueblo merupakan kapal perang amerika Serikat, kapal perang Koreautara 132
The Story of the USS Pueblo, http://www.sandiego,edu/-sgreer/pueblo,html, diakses pada 20 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
kemudian memerintahkan USS Pueblo untuk berhenti atau akan ditembak. USS Pueblo sempat memberikan jawaban lewat radio dengan menyatakan bahwa mereka berada di perairan internasional. Kapal perang Korea ara kemudian kembali memberikan perintah agar USS Pueblo berhenti atau mereka akan ditembok, yang disusul kemudian dengan tembakan peringatan. Akibat tembakan peringatan tersebut seorang awak kapal USS Pueblo tewas dan beberapa awak kapal lain terluka. USS Pueblo kemudian berhenti 16 mil laut dari wilayah daratan terdekat Korea Utara, jauh berada di luar llaut teritorial yang sejauh 12 mil laut. Selanjutnya pihak Korea Utara kemudian menahan USS Pueblo beserta awaknya dengan tuduhan melakukan tindakan mata-mata. Setelah telrjadinya insiden tersebut pihak Amerika Serikat kemudian menuntut pembebasan kapal perang beserta awaknya tersebut kepada pihak Korea Utara. Selain itu pihak Amerika Serikat menuduh Korea Utara telah melakukan tindakan ilegal yang bertentangan dengan ketentuan hukum internasional dentgan menahan kapal perang asing di luar wilayah laut teritorialnya, artinya pemerintah Korea Utara tidak memiliki yurisdikasi untuk mehana kapal perang amerika Serikat di wilayah perairan internasional. Usaha pembebasan USS Pueblo beserta awaknya kemudian dilakukan melalui saluran-saluran diplomatik yang ada. Selain itu dalam rangka memberikan tekanan terhadap Korea Utara, Amerika Serikat juga melakukan sejumlah operasi militer yang berkaitan dengan “gunboat diplomacy” di wilayah perbatasan laut antara lKorea Selatan dan Korea Utara.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya pada tanggal 23 Desember 1968, kurang lebih 11 bulan setelah terjadinya insiden, 82 awak kapal USS Pueblo dibebaskan oleh pihak Korea Utara. Setelah melalui 28 kali pertemuan diantara kedua belah pihak. Pihak Korea Utara yang menuntut sebagai syarat pembebasan, agar pihak Amerika Serikat mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya yang melanggar kedaulatan Korea Utara, serta menuntut adanya jaminan bahwa peristiwa sejenis tidak terulang, akhirnya bersedia membebaskan seluruh awak kapal perang uss Pueblo, kendati menolak mengembalikanUSs Pueblo, setelah pihak amerika Serikat setuju untuk menandatangani suatu dokumen yang mengakui terjadinya tindakan mata-mata atau ”spionage”. Insiden penahanan kapal perang USS Pueblo merupakan sebuah contoh bagaimana negara pantai yang merasa integritas politik dan nasionalnya dilanggar oleh negara lain, kemudian melakukantindakan-tindakan pembelaan diri terhadap kapal perang negara alsing yang dianggapnya melakukan pelanggaran terhadap kedaulatannya. Tindakan pihak Korea Utara yang kemudian menahan kapal USS Opueblo di luar laut teritorial Korea Utara, tepatnya di perairan internasional jelas bertentangan dengan ketentuan hukum internasional menetapkan bahwa kapal perang memiliki imunitas absolut dari yurisdiksi negara manapun, selain negara bendera kapal perang, imunitas kapal perang tersebut bahkan berlaku juga di wilayah perairan laut teritorial negara asing. Meskipun hukum internasional memang juta menentukan bahwa negara yang dilannggar kedaulatannya dapat menggunakan sejumlah tindakan non-
Universitas Sumatera Utara
yuridis yang dikenal dengan “self defence” atau pemnbelaan diri. Akan tetapi perlu diingat tindakan “selt defence” harus memenuhi syarat “necessary” dan “proportional”. Bila dikaitkan dengan tindakan yangdilakukan oleh pihak Korea Utara yang menahan kapal perang amerika Serikat tersebut di luar wilayah perairan teritorialnya atau tepatnya di perairan internasional, maka jelas bahwa syarat “necessary” tidak terpenuhi. Karena tindakan yang dilakukan oleh pihak Korea Utara di luar wilayah yang menjadi yurisdiksinya, hal mana akan berbeda bila tindakan tersebut dilaksanakan di laut teritorialnya.
D.3. Insiden Penerobosan Kapal Selam Uni Sovyet di Wilayah Perairan Laut Swedia Pada tanggal 27 Oktober 1981, sebuah kapal selam milik angkatan laut Uni Soviet terdampar di lepas pantai wilayah periaran pedalaman Swedia, jauh memasuki ke dalam area militer yang dijaga di dalam pangkalan angkatan laut Swedia di Karlakrona. Kapal Uni Sovyet brnomor lambung U-137 tersebut tidak dapat bergerak tanpa pertolongan kapal penolong. Pemerintah Swedia menolak permintaan pemerintah Uni Sovyet Untuk memberikan bantuan untuk mengangkat kapal selam yang terdampar tersebut, kecuali apabila sebagai ganti bantuannya menolong kapal selam Uni Sovyet tersebut, pihak berwenang pemerintah Swedia diizinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap komandan kapal selam Uni Soviet yang terdampar tersebut, tujuannya untuk mengetahui mengapa kapal selam Uni Sovyet tersebut bisa berada di wilayah perairan Swedia. Pemerintah Uni Sovyet kemudian menyetujui
Universitas Sumatera Utara
permintaan pemerintah Swedia dengan persetujuan formal. Kapal selam Uni Soviet tersebut akhirnya setelah diberikan pertolongan kemudian dikawal keluar wilayah perairan Swedia.133 Pada waktu pemerintah Swedia melakukan pemeriksaan terhadap komandan kapal selam tersebut, komandan kapal selam Uni Soviet menerangkan bahwa kapalnya telah tanpa sengaja “tersesat” memasuki wilayah perairan Swedia dikarenakan kompas dan peralatan navigasinya tidak berfungsi. Menanggapi alasan dari komandan kapal selam Uni Soviet tersebut, pemerintah Swedia memandangnya sangat mengejutkan bahwa kapal selam Uni Sovyet tersebut pada waktu mengalami kerusakan alat-alat navigasinya tidak terlebih dahulu terdampar di wilayah perairan penuh karang dan berbahaya di sepanjang perairan kepulauan Karlskrona. Akibat terjadinya peristiwa tersebut pemerintah Swedia kemudian mengajukan protes secara keras kepada pemerintah Uni Soviet dan memberikan tekanan dalam surat pernyataan keberatannya, bahwa hasil penyelidikan yang dilakukan pemerintah Swedia menunjukkan bahwa kapal selam Uni Soviet tidak mungkin memasuki wilayah perairannya karena masalah kesulitan-kesulitan navigasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh komandan kapal Uni Soviet tersebut. Akan tetapi kapal selam tersebut pasti telah secara sengaja melakukan navigasi ke arah perairan laut Swedia dalam rangka melakukan aktifitas-aktifitas ilegal. Hal lain yang diutarakan dalam pernyataan keberatannya tersebut diketahui bahwa kapal selam Uni Sovyet tersebut juga mengangkut senjata nuklir. 133
http://en.wikipedia.org/wiki/Soviet_submarine_S-363 diakses tanggal 04 Februari
2011
Universitas Sumatera Utara
Tindakan kapal selam Uni Sovyet memasuki wilayah perairan Swedia jelas bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ada. Kasus diatas adalah jelas merupakan suatu aus pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai yang dilakukan oleh kapal perang negara asing. Meskipun demikian seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa walaupun sebuah kapal perang yang melakukan pelanggaran, termasuk terhadap pelanggaran yang bertentangan dengan hukum internasional sekalipun, tidak berarti kapal selam tersebut kemudian akan kehilangan imunitas yang dimilikinya. Kapal selam Uni Sovyet tersebut tetap memiliki imunitas yang mutlak/abolut dari yurisdiksi negara mana pun selain negara bendara kapal perang. Hal ini berarti pengadilan lokal Swedia tidak berhakuntuk mengadili atau melakukan pemeriksaan terhadapa kapal selam Uni Soviet terebut. Berbeda dengan kasus penahanan USS Pueblo dimana Korea Utara kemudian secara tegas melakukan tindakan terhadap kapal perang yang melanggar, dalam bentuk manahan kapal perang amerika Serikat yang diduga melanggar integritas politik dan nasionalnya dengan tuduhan melakukan kegiatan mata-mata. Sebaliknya dalam kasus penerobosan Kapal Selam Uni Soviet ke dalam perairan Swedia ini, pihak Swedia tampak tidak secara serta merta menggunakanhak pembelaan diri sesuai pasxal 51 Piagam PBB yang dimilikinya, bahkan dapat dikatakan pemerintah Swedia lebih memilihtindakan-tindakan yang lebih moderat, meskipun sebenarnya pemerintah Swedia memiliki hak pembelaan diri sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB diatas. Namun tindakan pihak Swedia tersebut diatas adalah sesuatu yang dapat dipahami karena
Universitas Sumatera Utara
dengan mengambil tindakan yang terlalu keras, akan membawa konsekuensikonsekuensi tertentu terhadap hubungan antar kedua negara. Ditambah lagi kapal selam Uni Voviet yang melakukan penyusupan tersebut mengangkat senjata nuklir, yang berarti apabila kemudian pihak Swedia melakukan tindakan yang keras, misalnya dengan menenggelamkan kapal selam Uni Soviet yang melakukan pelanggaran tersebut, maka Swedia akan menerima resiko wilayah perairan lautnya tercemar oleh bahan-bahan radioaktif. Kalau lsaja Pemerintah Swedia pada saat itu kemudian melakukan tindakan self defence terhadap kapal selam Uni Soviet yang melakukan penyusupan (walaupun hal tersebut dibantah oleh komandan kapal selam Uni soviet tersebut), maka hal tersebut adalah dibenarkan menurut hukum internasional. Persoalannya kemudian dikembalikan kepada pemerintah Swedia untuk menggunakan semua tindakan menurut pandangan mereka sebaiknya dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian di dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik suatu
kesimpulan sebagai berikut; 1. Secara umum yang dimaksud imunitas adalah kekebalan, dalam bidang hukum artinya tidak dapat dituntut, setiap Negara memiliki imunitas yang artinya bahwa setiap Negara berdaulat, yuridiksi Negara lain tidak bisa diberlakukan kepadanya atau suatu Negara tidak dapat mengadili Negara lain. Oleh sebab itu mucul suatu doktrin Act Of State Doctrine berdasarkan doktrin ini maka badan-badan peradilan dari suatu Negara tidak dapat mengadili perbuatan-perbuatan dari Negara lain yang dilakukan dalam wilayahnya sendiri 2. Yang berkaitan dengan pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan hukum internasional, khususnya dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 memberikan pengaturan yang tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal lain pada umumnya. Satu-satunya persoalan yang berkaitan dengan pengaturan lintas pelayaran kapal perang yang belum terselesaikan adalah apakah kapal perang dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial tanpa harus melakukan kewajiban meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu kepada negara pantai. 103
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang selama ini ada, termasuk Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut. Hal ini dikarenakan kegagalan negara-negara untuk
menghasilkan
kesepakatan
secara
bersama-sama
mengenai
pengaturan hak lintas damai kapal perlang melalui laut teritorial, yang disebabkan oleh perbedaan kepentintingan diantara negara-negara. Antara kepentingan negara-negara maritim besar yang menuntut kebebasan sebesar-besarnya dalam rangka mengamankan kepentingannya di bidang politik dan keamanan, dan di lain pihak kepentingan negara-negara pantai yang umumnya negara-negara non-maritim untuk melindungi integritas politik dan nasionalnya.
B.
Saran-saran Berkaitan dengan status imunitas kapal perang dikaitkan dengan masalah
pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang, maka hendaknya setiap negara di dunia perlu mengambil langkah-langkah untuk menghindarkan diri dari penggunaan
kapal
perang,
untuk
maksud-maksud/tujuan-tujuan
yang
mengakibatkan ancaman dan penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayah negara lain autau kemerdekaan politik suatu negara, dan lebih jauh lagi terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perdamaian dan keamanan internasional. Demikian pula sebaliknya negara-negara pantai juga dianjurkan untuk
menghindarkan
diri
atas
penggunaan
tindakan-tindakan
yang
“berkelebihan” terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang asing. Hal ini harus dipahami mengingat tindakan-tindakan yang dilakukan secara tergesa-
Universitas Sumatera Utara
gesa terhadap kapal perang asing yang diduga/telah melakukan pelanggaran dapat menimbulkan akibat yang fatal terhadap hubungan baik antar negara dalam lingkup pergaulan internasional. Sementara itu dalam hal masalah keberlakuan ketentuan-ketentuan mengenai hukum lingkungan laut internasional, perlunya dicari suatu solusi yang cepat dan efektif dalam kaitannya dengan pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum lingkungan laut internasional bagi setiap apal perang, hal ini dikarenakan tidak dapat dipungkiri bahwa kapal perang dengan imunitas yang dimiliknya turut memberi kontribusi terhadap masalah pencemaran lingkungan di laut. Oleh karena itu usaha-usaha seperti dengan mendorong kerjasama internasional seperti yang dilakukan oleh negara-negara NATO merupakan salah satu bentuk solusi yang dapat dilakukan. Selanjutnya berkaitan dengan masalah pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai, khususnya mengenai masalah hak lintas damai kapal perang, perlu kiranya pengaturan internasional yang lebih jelas, mengingat ketentuan yang ada selama ini belum dapat menampung kepentingan semua negara dan dalam hal ini negara-negara di dunia harus menemukan suatu konsensus bersama yang dapat diterima semua pihak, dan tidak lagi membiarkan persoalan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tanpa aturan yang jelas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan amandemen terhadap ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara