68
BAB III PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR
A. Tindak Pidana Yang Diancamkan Terhadap Pelacuran Anak Di Bawah Umur Perbuatan pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, tidak ada salah satu pasal pun yang mengancam perbuatan pelacuran tersebut. Akan tetapi yang diancam oleh hukum adalah bagi siapa saja yang menyediakan tempat pelacuran itu seperti yang disebutkan di dalam Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506 KUH Pidana. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dicantumkan ancaman pidana atau ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar hak-hak anak. Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap pelacuran anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak tersebut. Oleh sebab itu, maka di dalam penelitian ini meneliti ketentuan ancaman pidana yang telah digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mengenai ancaman pidana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini terdapat pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 90. Akan tetapi tidak semua pasal-pasal mengenai ketentuan pidana ini menjadi landasan untuk membahas pelacuran anak, tentu saja dilakukan pemilihan terhadap beberapa pasal tertentu yang berhubungan dengan pelacuran anak, pengekangan hak anak, perdagangan anak, kekerasan terhadap anak, dan
Universitas Sumatera Utara
69
lain-lain. Pemilihan pasal-pasal tertentu pada ketentuan pidana tersebut dilakukan karena menurut peneliti pasal-pasal tersebut memiliki hubungan yang erat dan di dalam prakteknya sering diterapkan di pengadilan. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 77 dinyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan: a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pada Pasal 77 ini tersirat bahwa jika dihubungan dengan perbuatan pelacuran anak di bawah umur dalam bentuk pemaksaan atau bahkan jebakan, dapat dimungkinkan terjadi penelantaran terhadap anak (Pasal 77 huruf b) sehingga anak terdiskriminasi dari pergaulan sosialnya, sehubungan dengan itu, maka ketentuan pidananya telah ditetapkan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
70
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Terdapat kalimat di dalam Pasal 78 ini yakni ”anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan”. Ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak berhubungan dengan pelacuran anak melalui perdagangan anak. Menurut Pasal 78 ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
71
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Perbuatan pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur tersebut bisa saja berbarengan dengan tindakan kekerasan melalui pemaksaan anak agar mau melakukan hubungan seks dengan orang dewasa tertentu, atau bahkan dipaksa oleh orang-orang yang berada di sekitarnya seperti ayah kandungnya, abangnya, pamannya dan lain-lain. Tidak jarang dijumpai bahwa wanita yang terlibat ke dalam pelacuran diri karena keinginan dirinya sendiri juga banyak mengalami tindak kekerasan pada saat melakukan hubungan seks bahkan sampai pada pemukulan terhadap wanita pelacur. Jika hal tersebut dilakukan terhadap pelacurnya anak yang di abwah umur, ini merupakan sesuatu yang sangat disesalkan dan bertentangan dengan hukum perlindungan anak. Sehubungan dengan kekerasan dan paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan tersebut ditentukan ancaman sanksinya dalam Pasal 81 yakni sebagai berikut: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00
(tiga
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
72
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Jika ditelaah mengenai ancaman pidana dan denda yang tersirat dalam Pasal 81 mengenai pemaksaan pelacuran terhadap anak melalui pemaksaan untuk melakukan persetubuhan, terlihat sesuatu perbedaan yang jelas dengan sanksi pidana dan denda yang ada pada pasal-pasal lainnya. Diskriminasi hak dan penelantaran anak seperti pada Pasal 77 ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun lebih tinggi sedikit dari ancaman pidana penjara pelacuran anak melakukan persetubuhan dengan orang dewasa dalam Pasal 81 akan tetapi denda dalam Pasal 81 ditentukan interval atau kisaran antara Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Hal ini membuka peluang penjatuhan sanksi denda melalui kong kali kong antara sesama aparatur hukum untuk memutuskan perkara pelacuran anak. Sementara jika diteliti lebih jauh aspek psikologis anak yang telah dipaksa melakukan persetubuhan dengan orang dewasa baik melalui perdagangan anak atau tidak sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak tersebut pada masa depannya. Di sinilah terdapatnya diskriminasi perlindungan anak itu masih sangat jauh dari harapan kita bersama karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih berat sebelah mengatur hak-hak anak yakni masih memihak terhadap sanksi yang ringan bagi pelaku yang melacurkan anak atau orang yang berbuat cabul terhadap anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
73
Mungkin saja hal ini disebabkan karena di dalam KUH Pidana sendiri tidak diterlalu tegas ditentukan bagi pelaku yang melacurkan anak di abwah umur sehingga berakibat terhadap undang-undang yang berada di bawah KUH Pidana seperti Undang-Undang Nomo 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih sangat lemah pengaturannya. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dalam Pasal 83 ini jelas disebutkan perdagangan anak dimana perdagangan anak bisa saja bertujuan untuk pelacuran anak di luar wilayah atau di dalam wilayah itu sendiri. Sebagaimana diketahui jika melalui suatu perdagangan notabene yang diperdagangkan itu adalah manusia (anak dibawah umur), secara otomatis pembeli anak tersebut akan bisa bertindak sewenang-wenang terhadap
Universitas Sumatera Utara
74
anak karena sudah merasa anak tersebut adalah miliknya. Jika anak tersebut dibeli untuk dilacurkan, maka tindak kekerasan, pemukulan akan seiring dan sejalan diterima si anak tersebut pada saat melakukan hubungan badan dengan laki-laki dewasa. Oleh karena itu, menurut Pasal 83 ini mengancam pelaku dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal 84 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 85 (1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
Universitas Sumatera Utara
75
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pada Pasal 88 ini eksploitasi seksual anak untuk kepentingan ekonomi orang tertentu, jelas ancaman pidananya 10 (sepuluh) tahun akan tetapi dendanya dikurangi menjadi Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Di sini juga tidak mencerminkan asas perlindungan anak sebagi anak bangsa generasi penerus bangsa. Bagaimana bisa anak berkembang dengan baik jika anak tersebut telah berlanjut mengalami distorsi seperti perbuatan cabul terhadapnya yang tentunya akan mengganggu perkembangan jiwanya sebagai anak bangsa yang akan memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan negara Indonesia. Pasal 90 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. (2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
76
Sehubungan dengan itu, ada kalanya pelacuran dilakukan dalam bentuk korporasi, maka terhadap siapa yang bertanggung jawab ditentukan dalam Pasal 90 Ayat (1), akan tetapi sanksi pidana penjara tidak ditentukan dalam pasal ini hanya ditentukan mengenai sanksi denda saja yang dijatuhkan kepada pelaku yang kemudian diperberat dengan menambahnya 1/3 (sepertiga) dari sanksi denda yang telah ditentukan dalam pasal-pasal yang terkait sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar pelaku. Penambahan 1/3 (sepertiga) ini diterapkan dan dikenal dalam sisitem pemidanaan yang di anut di Indonesia yang dikenal dengan sistem pemidanaan relatif. Apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selamalamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”. Kemudian Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar. Bukan terhadap pelacurnya. Agar pelaku dapat dihukum harus dibuktikan, bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya yang lebih dari
Universitas Sumatera Utara
77
satu kali. Perbuatan cabul” Pasal 289 KUHP maksudnya adalah persetubuhan. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya dengan jalan lain) di situ. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah. Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana. Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks. Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo, mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal.
Universitas Sumatera Utara
78
Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah pelacuran ini. Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP, yakni: 1. Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan; 2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan 3. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
79
Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan Dalam KUH Pidana tidak dijumpai satu pasal pun mengenai perbuatan pelacuran anak akan tetapi yang ada adalah pasal yang mengenai perbuatan cabul dan tidak jelas apakah anak-anak atau dewasa. Oleh karena KUH Pidana tidak secara tegas dan jelas mengatur mengenai sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku pelacuran anak-anak di bawah umur ini, maka harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai lex spesialist. Undang-undang yang khusus dapat mengenyampingkan undang-undang yang lebih umum, ini dikenal dalam sistem pidana di Indonesia yang lebih lengkapnya dikenal dengan lex spesialist derogat lex generalist. 71
B. Peneraan Beberapa Undang-Undang Dilindungi Dari Pelacuran
Mengenai
Perlunya
Anak
Untuk melindungi hak-hak anak dari perbuatan melacurkan anak dilakukan segala daya upaya secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak, yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta tersebut terhadap anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernak menikah sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungin. 71
Adam Chazawi., Loc, cit, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
80
Sebelum mengkaji beberapa undang-undang yang berhubungan dengan perlindungan terhadap hak anak, terlebih dahulu diketahui apa sebenarnya maksud dari hukum perlidungan anak itu sendiri. Hukum Perlindungan anak dikemukakan oleh beberapa ahli hukum berikut ini. Menurut Arif Gosita, “Hukum perlindungan anak adalah hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”. 72 Bismar Siregar, menyebutkan bahwa, “Hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban”. 73 Berdasarkan pengertian mengenai hukum perlindungan anak tersebut di atas, dapat diketahui bahwa, hukum perlindungan anak tersebut adalah sebagai keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak setiap anak, seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia. 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan 72
Arif Gosita., Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hal. 10. Bismar Siregar., ”Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Anak”, Dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun X, Juli 1990, hal. 23. 73
Universitas Sumatera Utara
81
anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan terhadap hak-hak anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan terhadap hak-hak setiap anak. Pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang dimaksud dalam Pasal 1 tersebut harus memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindakan yang mengancam hak-hak anak. Perbuatan melacurkan anak merupakan salah satu bentuk yang mengancam hak anak tersebut. Oleh karena itu harus dilindungi hal ini dilakukan mengingat anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki masa depan yang masih panjang untuk berkontribusi terhadap negara Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Universitas Sumatera Utara
82
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur beberapa hak-hak setiap anak yang wajib untuk dilindungi, hakhak anak tersebut diuraikan dari beberapa pasal dalam undang-undang perlindungan anak tersebut adalah sebagai berikut: a. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4). b. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5). c. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6). d. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 7). e. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8). f. Berhak
memperoleh
pendidikan
dan
pengajaran
dalam
rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
Universitas Sumatera Utara
83
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9). g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10). h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan
minat,
bakat,
dan
tingkat
kecerdasannya
demi
pengembangan diri (Pasal 11). i.
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
j.
Berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13).
k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14). l.
Berhak untuk memperoleh perlindungan dari, penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).
Universitas Sumatera Utara
84
m. Berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi, berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16). n. Berhak
untuk,
mendapatkan
perlakuan
secara
manusiawi
dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17). o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18). 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun dinyatakan dalam undang-undang ini harus mendapatkan perlindungan hak-haknya melalui pengusahaan kesejahteraan anak tersebut. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
Universitas Sumatera Utara
85
secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 huruf a). Usaha Kesejahteraan anak ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Hak-hak anak yang ditentukan dalam undang-undang ini harus dilindungi. Hak-hak anak tersebut ditentukan dalam Pasal 2 yakni: (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. (2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna. (3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. (4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia. Sebenarnya anak masih mempunyai jiwa labil dan rentan, oleh sebab itu sangat wajar ada ketentuan yang mengatur tentang perlindungan anak yang sesuai dengan konsep dasar Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini merupakan perwujudan untuk melindungi hak-hak anak dan juga peraturan lain yang berhubungan dengan hak anak.
Universitas Sumatera Utara
86
Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 52 sampai dengan Pasal Pasal 66 dinyatakan beberapa hak-hak anak yang harus dilindungi oleh setiap orang. Hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 52 (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
87
Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 (1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58
Universitas Sumatera Utara
88
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atai pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. (2) Dalam hal oorang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 59 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
Universitas Sumatera Utara
89
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61 Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
90
Pasal 66 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Sehubungan dengan penelitian ini mengenai pelacuran anak di bawah umur yang menjadi korban terdapat pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kegiatan eksploitasi dan
Universitas Sumatera Utara
91
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Selain itu masih banyak hak-hak anak yang harus dilindungi. Secara otomatis dalam setiap kasus pelacuran anak melalui paksaan, maka banyak sekali hak-hak anak yang telah dilanggar jika dihubungkan dnegan beberapa pasal-pasal yang tersebut di atas seperti pengekangan atas kemerdekaannya, pendidikan, nama baik anak, masa depannya dan lain-lain. Oleh karena itu, terhadap setiap pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan oleh orang-orang tertentu mesti harus dilindungi melalui penegakan hukum dengan mempertimbangkan terlebih-lebih kepada anak sebagai korban.
C. Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Pelacuran Anak Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi. 74 Demikian dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya 74
Sunarto., “Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kepolisian Dalam Pantauan Komunitas Pers Di Indonesia”, Makalah ini disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi Kepolisian” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Jawa tengah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Undiversitas Diponegoro pada Rabu, 16 Desember 2009, hal. 3. (Bertempat di Ruang Rama Shinta Hotel Patra Jalan Sisingamangaraja Semarang. Alamat korespondensi
[email protected]. Sunarto adalah adalah dosen Program Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Universitas Sumatera Utara
92
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
tertib
dan
tegaknya
hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4). Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tugas pokok kepolisian yang meliputi: (1) memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;
(2)
menegakkan
hukum;
dan
(3)
memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13). Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14 menyatakan, kepolisian bertugas untuk: (a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (b) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; (c) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional; (e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; (f) melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; (g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya; (h) menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; (i) melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat
Universitas Sumatera Utara
93
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (j) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; (k) memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; (l) melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk: (a) menerima laporan dan/atau pengaduan; (b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; (d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian; (f) melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (i) mencari keterangan dan barang bukti; (j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; (k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; (m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Universitas Sumatera Utara
94
Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain: (a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; (b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; (c) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; (d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; (e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam; (f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; (g) memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; (h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; (i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; (j) mewakili pemerintah RI dalam organisasi kepolisian internasional; (k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu: (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang
Universitas Sumatera Utara
95
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; (e) menghormati hak asasi manusia. Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi kepolisian negara (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1).
Universitas Sumatera Utara
96
Demikianlah antara lain cakupan 3 (tiga) macam tugas pokok dan fungsi kepolisian yang dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36 wewenang untuk melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih juga diberi “kewenangan lain” (Pasal 15 Ayat 2 poin k) yang masih dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam penjelasan masing-masing pasal ketentuan tersebut dikatakan “Cukup jelas”. Persoalan dalam penelitian ini, untuk menjawab permasalahan pokok terkait dengan tugas kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penegakan hukum terhadap pelacuran. Pelacuran yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah pelacuran terhadap anak di bawah umur yang melanggar hak-hak anak sebagaimana yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana merupakan ujung tombak di lapangan dalam penegakkan hukum peraturan perundang-undangan, bahkan banyak masyarakat yang beranggapan bahwa POLRI adalah hukum yang hidup dan orang awam pun bila ditanya hukum akan dijawab POLRI, karena POLRI yang selalu melakukan teguran, menilang dan tindakan upaya paksa bagi setiap warga dan masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Berfungsinya hukum di lapangan sangat ditentukan oleh POLRI dalam mengadakan rekayasa sosial, bahkan ada seorang pakar mengatakan setiap ada undang-undang baru, hampir dapat dipastikan bahwa
Universitas Sumatera Utara
97
pekerjaan polisi akan bertambah. Seorang hakim baru bekerja apabila ada perkara yang diajukan kepadanya, tetapi polisi sudah harus bertindak begitu ada undangundang dikeluarkan dan dinyatakan berlaku. 75 Menurut Mardjono Reksodiputro dan Sri Boediarti, bahwa tugas kepolisian yang banyak adalah menangani kejahatan konvensional. Kejahatan konvensional juga disebut sebagai kejahatan yang tradisional, karena landasan terdapat dalam KUH Pidana, dan dilakukan dengan cara biasa. Welfare Crimes pada dasarnya merupakan konvensional crimes, tetapi crimes tersebut meningkat karena
adanya
kemakmuran
masyarakat.
Dengan
semakin
makmurnya
masyarakat, maka kejahatan semakin sulit dalam pengawasan dan penindakannya, karena memerlukan keterpaduan fungsi dan political will pemerintah. Kejahatan akibat kemakmuran ini adalah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan keras, kanakalan dan kejahatan anak, perjudian, pelacuran dan pemabukan. 76 POLRI sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam melaksanakan tugasnya selalu berpatokan pada hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu Asas Legalitas yang berbunyi, “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. Pasal 1 ayat(1) KUHP ini merupakan perundang-undangan modern yang menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk 75
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta dan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983), hal. 32. 76 Ibid, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
98
menghukum orang. Selanjutnya menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan. Ini berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). “Nullum delictum sine praevia lege poenali”, artinya “peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. 77 Apabila kepolisian hanya terpaku pada asas legalitas formal, maka pelacuran tidak dapat tersentuh oleh hukum pidana sebagai sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, karena apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selamalamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”. Kemudian pasal yang berkaitan dengan Pasal 296 KUH Pidana adalah Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan lakilaki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.” Mengenai rumusan pasal tersebut R. Soesilo memberi komentar demikian: 78 1. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kotakota besar. 77 78
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 23. R. Soesilo., Loc. cit, hal. 217.
Universitas Sumatera Utara
99
2. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan, bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya (dengan pembayaran) atau kebiasaannya (lebih dari satu kali). 3. Tentang “Perbuatan Cabul” (Pasal 289 KUHP), disini termasuk persetubuhan. 4. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya dengan jalan lain) disitu. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah. 5. Bandingkan dengan Pasal 506 KUHP. Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana. Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks. Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo, mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal. Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang
Universitas Sumatera Utara
100
tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah pelacuran ini. Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP, yakni: 1. Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan; 2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan 3. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP. Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, khususnya di Kecamatan Medan Baru, Kepolisian Negara Republik Indonesia Polsekta Medan Baru yang membawahi
Universitas Sumatera Utara
101
wilayah tersebut mempunyai tugas seperti yang telah dipaparkan di atas untuk menegakkan hukum dalam wilayah hukum tersebut, namun untuk masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Kapolsek Medan Baru menyatakan bahwa dalam mencegah dan menangani pelacuran khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur oleh kepolisian medan baru melakukan ”Razia Kasih Sayang”. 79 Penegakkan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yaitu dalam upaya menjaga ketertiban di wilayah kota Medan khususnya wilayah Kecamatan Medan Baru terhadap para pelacur yang biasa berkeliaran di jalanjalan umum seperti jalan Iskandar Muda, Jalan Nibung Raya, Jalan Gatot Subroto, Jalan Gajah Mada, dan lain-lain. Polsekta Medan Baru pun ternyata dihadapkan pada kesulitan dalam upaya penegakkan hukum untuk menghadapi masalah pelacuran ini, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang sekarang berlaku tidak ada pengaturan mengenai pelaku pelacuran itu sendiri, sehingga apabila dikaitkan kepada pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, maka harus merujuk kepada induk dari tindak pidana yakni di dalam KUH Pidana. Sedangkan KUH Pidana sendiri tidak mencantumkan pelaku pelacuran atau kegiatan melacurkan diri sebagai suatu tindak pidana, maka pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat di katakan pula sebagai suatu tindak pidana. Masalah pelacuran khususnya yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini memang sulit
79
Wawancara dengan Kanit Patroli Polsekta Medan Baru tanggal 12 Februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
102
sekali untuk ditangani tidak seperti kejahatan konvensional seperti pencurian, pembunuhan dan lain-lain. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 2 Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut tidak dapat menjangkau masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, karena dalam pengertian mengenai anak nakal yang pertama, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, maka anak di bawah umur yang melacurkan diri tidak dapat dikatakan sebagai anak nakal, karena di dalam KUH Pidana tidak ada aturan mengenai tindak pidana pelacuran. Kemudian dalam pengertian yang kedua yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undagan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengertian yang kedua pun tidak dapat menjangkau anak yang melacurkan dirinya sendiri karena ketentuannya kurang jelas. Sampai saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan secara tegas bahwa melacurkan diri khususnya bagi anak itu dilarang, yang ada hanya mengenai perlindungan anak secara khusus, yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
Universitas Sumatera Utara
103
2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 15 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Dalam Undang-Undang Perlidungan Anak terdapat rumusan mengenai, “Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual”, namun uraian tersebut hanya mengacu kepada orang yang melakukan eksploitasi terhadap anak, jadi yang dimaksud sebenarnya adalah anak yang dijadikan korban oleh orang lain yang mengambil keuntungan dari eksploitasi seksual anak tersebut. Uraian yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 huruf b, “Maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” Dalam hal ini terlalu sempit karena berarti hanya masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Misalkan saja lingkungan masyarakat di wilayah prostitusi misalnya di Bendar Baru (Berastagi), mereka tidak merasa bahwa melacurkan diri melanggar hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau bertentangan dengan kebiasaan masyarakat disana, karena bagi mereka hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan sebagian menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka.
Universitas Sumatera Utara
104
Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur di Kecamatan Medan Baru, Kota Medan hanya sebatas menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut, serta penertiban terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yang berkeliaran di jalan-jalan ataupun tempat hiburan malam. Selain itu khusus di wilayah Bandar Baru (Berastagi) yang biasanya terdapat para tamu yang datang untuk berkencan dengan para pelacur yang berusia di bawah umur banyak terdapat di sana, akan tetapi Polisi hanya mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan wilayah tersebut dari berbagai macam gangguan, baik itu berasal dari rumah bordir itu sendiri maupun dari para tamu yang datang. Secara konsepsional inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penjabaran secara kongkrit terjadi di dalam bentuk kaidahkaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan.
Namun
penegakan
hukum
bukanlah
semata-mata
berarti
melaksanakan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga “law enforcement” begitu populer. Berarti penegakkan hukum yang dimaksud di sini selain mejalankan peraturan perundang-undangan, juga hukum dalam arti luas yaitu hukum secara materiil. Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakkan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi,
Universitas Sumatera Utara
105
tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum bertindak pada tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Sedangkan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dalam arti menerapkan hukum terhadap para pelacur yang berusia di bawah umur, sedangkan undangundang yang mengatur tentang pelacuran khususnya anak di bawah umur tidak ada, walaupun terhadap germo dan para penyalur wanita untuk dijadikan pelacur, terdapat dalam undang-undang (KUH Pidana) tetap tidak dapat juga diberantas. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat berjalan dengan baik. Salah satu usaha penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap pelacuran anak di bawah umur dalam hal ini Polsekta Medan Baru ialah mendata para pelacur dan melakukan razia-razia razia yang dilakukan itu dinamakan ”Razia Kasih Sayang”. Selain razia yang dilakukan terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yaitu di bawah 18 tahun, razia pun dilakukan terhadap mucikari yang menjadi penyedia pelacur, namun razia ini menjadi tidak efektif karena setelah ditangkap oleh Kepolisian kemudian diperiksa dan diadili oleh Pengadilan melalui acara pemeriksaan cepat, lalu mereka kembali lagi ke tempat semula. Selain itu juga sering terjadi kebocoran-kebocoran yang disebabkan oleh oknum yang memberitahukan kepada para pelacur dan
Universitas Sumatera Utara
106
mucikarinya apabila akan ada razia sehingga mereka mempersiapkan diri sebelumnya untuk bubar dan memisahkan diri. Dalam upaya penegakan hukum terhadap pelacuran anak di bawah umur Polsekta Medan Baru diawasi oleh Polwiltabes Medan juga dalam melakukan razia-razia ke tempat-tempat hiburan, sekolah-sekolah, dan penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru (blue) dan sarana-sarana lain yang dapat merangsang nafsu birahi serta merusak moral. Tindakan represif dalam menangani pelacuran ini dilakukan bersama-sama secara terkoordinasi di antara instansi terkait. Walaupun kadang-kadang secara langsung melakukan razia sendiri karena sifatnya mendadak. Menangani masalah pelacuran memang tiada pernah henti dan sulit sekali ditanggulangi, karena hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab Kepolisian saja, tetapi merupakan tanggung jawab bersama khususnya masyarakat sekitar. Kapolsek Medan Baru pun menambahkan banyaknya pelacuran anak di bawah umur dikarenakan faktor ekonomi, sehingga mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang secara mudah dan cepat. Selain itu Humas Polsekta Medan Baru menambahkan bahwa sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan yang turun temurun, dan sebagian besar pelacur-pelacur itu berasal dari wilayah di luar kota medan seperti tembung, binjai, deli tua, belawan, dan bahkan dari tanah jawa. Kepolisian mempunyai tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Jadi kepolisian khususnya Polsekta Medan Baru karena mendapat kesulitan dalam menangani masalah
Universitas Sumatera Utara
107
pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan pengamanan dan menjaga ketertiban di lingkungan tersebut, karena tidak sedikit juga gangguan yang terjadi seperti di wisma-wisma yang ada di Nibung Raya baik dari ulah tamunya sendiri maupun pihak lain yang mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
108
BAB IV STRATEGI PENANGGULANGAN TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR OLEH POLSEK MEDAN BARU
A. Peran Serta Pemerintah Daerah Dalam Melakukan Langkah-Langkah Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur Sebagai konsekuensi bahwa dari segi hukum baik hukum perkawinan maupun hukum pidana, tersirat bahwa pelacuran tidak dapat dilenyapkan, yang disebabkan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya dihadapkan dengan sifat-sifat alami manusia. Hukum tidak mampu secara langsung menindak agar pelacuran dapat dihentikan, di sisi lain pelacuran sebagai gaya sosial dapat menimbulkan berbagai akibat yang membahayakan baik untuk individu yang bersangkutan, keluarga dan akhirnya adalah masyarakat. Menghadapi kenyataan ini Pemerintah Daerah Sumatera Utara (Pemdasu) mengambil langkah-langkah untuk mengatasi bertambahnya jumlah pelacuran dan mencegah akibat-akibat yang timbul karena pelacuran. Pemerintah Daerah Sumatera Utara dihadapkan pada permasalahan yang bukan hanya pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan banyaknya timbul pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Pemerintah Daerah Kotamadya Medan telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Pada Pasal 1 huruf h dinyatakan bahwa, “Tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan kelamin tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan mendapatkan imbalan jasa financial maupun materil bagi dirinya maupun pihak
Universitas Sumatera Utara
109
lain dan perbuatan tersebut bertentangan dengan norma sosial, agama dan kesusilaan (termasuk di dalamnya wanita tuna susila, mucikari, gigolo, dan waria tuna susila). Orang-orang tuna susila tersebut memilih sebuah tempat yang strategis dan bukan saja jauh dari keramaian bahkan sudah masuk ke pusat kota Medan. Tempat tersebut dijadikan hanya untuk sementara saja bukan sebagai tempat tinggal para pelacur. Akan tetapi ada juga tempat yang sekaligus sebagai tempat tinggal bagi mucikari dan gigolo seperti yang ada di daerah Berastagi. Tempat yang digunakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf i bahwa, “Tempat tuna susila adalah tempat yang digunakan untuk melakukan atau menampung perbuatan praktek pelacuran baik yang bersifat tetap maupun besifat sementara.” Selain itu, Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tersebut Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum dengan menggariskan pengaturan mengenai perbuatan pelacuran yang menggangu norma umum di kota Medan. Selengkapnya berbunyi, ”Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataan-perkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan perbuatan pelacuran di jalan umum dan atau tempat yang diketahui/dikunjungi oleh orang lain baik perorangan atau beberapa orang. Selanjutnya Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 mengatur mengenai pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan ketertiban sebagaimana digariskan bahwa, ”Teknis penanggulangan gelandangan dan
Universitas Sumatera Utara
110
pengemis serta tuna susila akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah.” Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan bentuk kegiatan dalam hal pembinaan terhadap para pelacur, selengkapnya berbunyi, “Pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis serta tuna susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 mengenai larangan Pemerintah Daerah Kota Medan terhadap perbuatan pelacuran, maka menurut Pasal 5 Ayat (1) ditetapkan suatu ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar ketentuan Pasal 2 peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). Oleh karena terhadap perbuatan pelacuran tersebut sulit untuk menentukan pasal-pasal mana yang dilanggar seperti di dalam KUH Pidana tidak ditemukannya ketentuan bahwa pelacuran termasuk kepada kejahatan (Pasal 296, 297, dan 506). Di dalam Perda Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 juga tidak menentukan bahwa pelacuran digolongkan kepada bentuk kejahatan akan tetapi merupakan pelanggaran saja, untuk lebih jelasnya dalam Pasal 5 Ayat (2) ditentukan, ”Tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1) adalah pelanggaran.” Ayat (1) yang dimaksudkan itu adalah ketentuan pidana yang dicantumkan dalam Pasal 5 Ayat (1) tersebut di atas.
Universitas Sumatera Utara
111
Selain langkah pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan, pihak Polsekta Medan Medan Baru melakukan razia di malam hari untuk menangkapi dan memproses orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan asusila di sekitar Kecamatan Medan Baru khususnya terhadap anak-anak yang masih di bawah umur yang berkeliaran di malam hari. Operasi ini dilakukan untuk mengantisipasi anak-anak terjerumus kepada dunia malam dan pergaulan bebas bahkan terhadap pelacuran yang berada di kamp-kamp atau barak-barak seperti di Nibung Raya Medan, di jalan Iskanda Muda, di jalan Gatoto Subroto, di jalan SM. Raja, di jalan Gajah Mada dan lain-lain. Operasi razia yang dilakukan Polsekta Medan Baru ini lebih dikenal dengan ”Razia Kasih Sayang”. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pelacuran di Polsek Medan Baru juga dilakukan penertiban terhadap kafe-kafe dan hiburan malam. Seperti kafe di sekitar jalan Gajah Mada hingga pada saat ini telah di bongkar dan tidak diperkenankan lagi terdengar suara musik-musik disco di sana, namun pada saat ini kafe-kafe di jalan Gajah Mada tersebut kembali dibangun oleh pengelola kafe namun musik-musik disco tidak ada kedengaran lagi hingga saat ini. Begitu pula kafe yang berada di sekitar SMU Harapan Kota Medan, juga telah digusur karena merupakan sarang terjadinya transaksi wanita Anak Baru Gede (ABG) yang masih di bawah umur seperti anak-anak sekolah yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Jika tempat-tempat seperti kafe di Warung Kopi (Warkop) Harapan terus beroperasi, maka berkemungkinan para laki-laki hidung belang semakin banyak berdatangan ke sana melakukan transaksi terselubung
Universitas Sumatera Utara
112
melalui mucikari atau gigolo (istilah mucikari yang populer dikenal di kota Medan). Terhadap pelaku dan anak yang terlibat pelacuran seksual, Polsekta Medan Baru melakukan langkah-langkah pencegahan sekaligus dapat mengurangi kuantitas dunia pelacuran di Medan Baru. Oleh karena itu, Kapolsekta Medan Baru melakukan kebijakan-kebijakan yang terintegrasi terhadap pelacuran atau perbuatan asusila ini, di antaranya adalah: 80 a. Mengadakan upaya rehabilitasi kepada para pemeran pelacuran guna mempersiapkan proses rehabilitasi dirinya sendiri untuk mencapai penghidupan yang layak dan terhormat sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila. b. Mengadakan Inventarisasi daerah-daerah rawan. c. Mengadakan gerakan-gerakan operasional pemberantasan di dalam wilayah hukum Kecamatan Medan Baru. d. Mengadakan
pengawasan
untuk
mencegah
bertambahnya
jumlah
pelacuran, bahkan berkurang atau hilang serta mencegah meluasnya daerah operasi mereka. e. Memberikan penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat tentang bahaya pelacuran. f. Menyampaikan laporan periodik kepada walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara mengenai segala
80
Wawancara langsung dengan Kanit Patroli Kepolisian Sektor Medan Baru tanggal 12 Februari 2010 di Kantor Polsekta di Jalan Nibung Raya Medan.
Universitas Sumatera Utara
113
aktifitas di Polsekta Medan Baru serta saran-saran konkrit untuk menyusun kebijaksanaan selanjutnya. g. Mengkoordinasikan Satuan Pelaksana Pemberantasan Pelacuran di Kecamatan Medan Baru dari mulai perencanaan, pembinaan sampai dengan operasional baik preventif, represif maupun rehabilitatif. Walaupun masalah pelacuran anak di bawah umur secara konkrit tidak terdapat di dalam sarana non penal, dalam mengatasi masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang terjaring operasi dibina dan direhabilitasi, memberikan penyuluhan, pelatihan menjahit, pelatihan salon, membuat kerajinan dan upaya lainnya, tetapi yang bisa bertahan dan kembali ke kampung halamannya hanya sebagian kecil dan sebagian besar kembali lagi menjadi pelacur. Hal ini diketahui apabila dalam razia yang tertangkap adalah muka-muka lama atau pemain-pemain lama yang beroperasi kembali di jalanan. Menangani para pelacur yang masih di bawah umur Kantor Sosial biasanya memanggil orang tua atau walinya atau cukup dengan memberikan surat pemberitahuan, karena anak yang masih di bawah umur selalu di kembalikan kepada orang tuannya karena masih menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk dibina jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya yang bertanggung jawab, jika walinya tersebut tidak ada, maka direhabilitasi oleh pemerintah melalui panti rehabilitasi. Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekwensi, bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu (integralitas). Ini berarti kebijakan
Universitas Sumatera Utara
114
penal harus pula dipadukan dengan kebijakkan atau usaha-usaha lain yang bersifat non penal. Ini berarti pula, apabila dalam pelaksanaan politik kriminal tidak dilakukan upaya integralitas terhadap kedua kebijakan (penal dan non penal) tersebut, maka akan terjadi pemikulan beban yang berlebihan, terutama yang dirasakan oleh Hukum Pidana, Kenapa? Di dalam masyarakat sering terjadi, bahwa urusan penanggulangan kejahatan adalah urusan hukum (pidana), sehingga dalam sehari-hari akan tampak bahwa hukum itu berfungsi sebagai “Panglima” dalam poltik kriminal. Padahal usaha-usaha preventif (pencegahan) akan sangat dirasakan lebih efektif dari pada usaha penindakan secara represif. Sebab usahausaha preventif (non penal) yang dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional, mempunyai tujuan utama yakni memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian ditinjau dari sudut politik kriminal, maka keseluruhan kegiatan preventif (usaha-usaha non penal) tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Karena menempati posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini berarti akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan asusila dalam bentuk pelacuran di Kecamatan Medan Baru dan sekitarnya.
B. Peran Serta Pihak Lain Dalam Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur Mengenai masalah pelacuran di wilayah Kecamatan Medan Baru, selain dilakukan oleh pihak Kepolisian yang dikoordinir oleh Polwiltabes Medan, juga
Universitas Sumatera Utara
115
berperan serta pihak Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru (yang berkompeten), Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Polsekta Medan Baru dalam melakukan operasi terhadap anak di bawah umur yang terjerumus ke dalam perbuatan amoral seperti pelacuran ini, melakukan kerja sama dengan pihak lain. Salah satu pihak yang bekerja sama dengan Polsek Medan Baru adalah menjalin kerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Kota Medan. Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Ahmad Sofyan, berharap aparat kepolisian memiliki Tim 99 Anti Pelacuran Anak. Pasalnya, faktor utama prostitusi anak akibat adanya sindikat perdagangan anak. Sebenarnya, ini merupakan peran pihak penegak hukum untuk membongkar dan memutus sindikat perdagangan anak di Kota Medan. Bila sejumlah tempat hiburan malam kerap dirazia narkoba, seharusnya hal itu juga berlaku untuk anakanak. Apalagi, tempat hiburan malam seperti diskotek, klub malam, dan sejenisnya dilarang untuk anak-anak. Kategori anak yang dimaksud menurut undang-undang itu adalah yang belum berusia 18 tahun. Jadi, bila ditemukan anak-anak di tempat-tempat hiburan, pengelolanya harus diamankan, bukan anakanaknya. Dengan demikian, pemilik hiburan malam jadi lebih selektif dalam mempekerjakan orang dan menerima pengunjung. Di Medan, kawasan sub urban menjadi asal korban utama prostitusi anak, di antaranya berasal dari kawasan
Universitas Sumatera Utara
116
Percut Sei Tuan, Tembung, Binjai, dan Belawan. Hal ini disebabkan, pada kawasan sub urban tersebut sebagai konsentrasi bermukimnya masyarakat menengah ke bawah. Kalangan menengah ke bawah bukan berarti miskin. Mereka tetap bisa membiayai anaknya, bahkan membelikan handphone untuk anaknya, tetapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa mereka miliki. Kebanyakan, anak-anak di daerah ini kurang diperhatikan orang tua, hal ini bercampur aduk dengan nilai materialisme sehingga anak-anak mengalami frustasi. Tentu saja kondisi seperti itu mengakibatkan anak-anak tersebut ingin menikmati apa yang tidak bisa dimilikinya. Guna memenuhinya, anak-anak tersebut tak sungkan menebusnya dengan melacurkan tubuhnya sendiri. Apalagi dengan adanya dorongan teman sebaya yang sudah lebih dulu menerjuni dunia malam tersebut. Pihak PKPA, mengestimasikan, pada tahun 2008, terdapat sekitar 2.000 orang anak di Kota Medan terjun ke dunia prostitusi. Estimasi ini berdasarkan kasus yang ditangani PKPA, kasus yang dikumpulkan PKPA tersebut bersumber dari media massa, dan melihat perkembangan dunia hiburan sekarang ini. 81 Pelacuran anak atau yang lebih dikenal dengan istilah ESKA (Ekploitasi Seksual Komersil Anak) di Sumatera Utara masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Berdasarkan temuan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) ESKA tidak hanya terjadi di Kota Medan. Hasil penelitian PKPA di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara menunjukkan pelacuran
81
Harian Medan Bisnis, Kamis, Tanggal 12 Juni 2008.
Universitas Sumatera Utara
117
anak melibatkan anak-anak berumur belasan tahun. Staf Penelitian dan Investigasi Litigasi PKPA, Suryani Guntari menyebutkan, seperti yang terjadi di Serdang Bedagai (Sergai) misalnya, jumlah anak-anak yang menjadi korban mencapai ratusan, tersebar merata di berbagai wilayah. Berdasarkan observasi yang dilakukan PKPA di desa-desa (bahkan sampai ke rumah anak) tersebut tercatat dua anak di tiap-tiap desa/kampung. Di Kota Tanjung Balai, sebut Suryani Guntari, berdasarkan data dari Yayasan Karang menunjukkan, dari 150 Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada, sedikitnya terdapat 20-60 PSK yang masih di bawah umur. Namun, karena perpindahan mereka tidak bisa dilacak, menjadi penyebab sulitnya pendataan. 82 Dinas Sosial dan Keluarga Berencana (Dinsos & KB) Kota Tanjung Balai, lanjut Suryani Guntari, tercatat sedikitnya 150 PSK yang masih aktif di Kota Tanjung Balai. Usia mereka umumnya 14-25 tahun. Tidak ada lokalisasi atau panti rehabilitasi di kota ini sehingga mobilitas PSK tidak terpantau dan tidak terawasi. Lebih jauh lagi, dampaknya adalah penyebaran PMS/Virus HIV/AIDS terus melaju tanpa bisa ada hambatan yang signifikan. ESKA terjadi dengan sindikat yang terorganisir secara teramat rapi. Di daerah warkop Harapan, warkop Gajah Mada, di Jalan Jamin Ginting, Jalan Iskandar Muda, dan beberapa kos-kosan yang berada di sekitar Sei Asahan, Sei Batu Gingging, Sei Bahorok, kesemuanya itu dilakukan secara terselubung untuk mengelabui Polisi yang melakukan razia. Karena jika mereka beroperasi di jalan-
82
Pelacuran anak atau yang dikenal sebagai ESKA (Ekploitasi Seksual Komersil Anak) di Sumatera Utara (Sumut) masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya, Sugiarto., “Pelacuran Anak Dari Truk Sampai Kuburan China”, Waspada, Tanggal 20 Mei 2008.
Universitas Sumatera Utara
118
jalan besar, maka dengan mudahnya mereka dirazia oleh Polisi dan beberapa germo terkadang teman sendiri yang beroperasi di warkop-warkop bahkan kadang-kadang pedagang warkop itu juga bisa di lakukan pemesanan wanitawanita yang muda biasanya masih sekolah. Berdasarkan penelitian, perilaku ESKA di daerah-daerah ini pun sangat variatif. Dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok. Pertama, kelas truk dan kuburan, yakni ESKA yang dilakukan di dalam truk dan tempat-tempat gelap. Para korban bahkan hanya dibayar dengan Rp.30-Rp.50 ribu. Lokasi transaksi biasa dilakukan di Jalan Sisimangaraja atau di warkop itu sendiri sambil memesan minuman atau makanan. Kedua, kelas penginapan. Di jalan Jamin Ginting sendiri terdapat beberapa penginapan yang sudah dikenal bagi kalangan tertentu sebagai lokasi dengan membawa wanita malam tersebut ke sana karena dalam penginapan itu tidak disediakan wanita kecuali di bawak sendiri dari luar. Selain ke penginapan lokal, banyak pula ABG yang dibawa ke kos-kosan, seperti koo-kosan Mahasiswa, Bahkan yang sering dilakukan adalah di hotel-hotel kelas menengah ke atas, karena laki-laki berduit biasanya memperlakukan wanita malam itu lebih memilih hotel sebagai tempatnya. Ketiga, kelas lokalisasi. Ini jarang ditemukan di Kota Medan khususnya di Polsekta Medan Baru karena pada umumnya lokalisasi yang dipilih pelaku biasanya Bandar Baru arah ke Berastagi. Di daerah Berastagi terdapat lokasi prostitusi yang melibatkan anak-anak di bawah umur yang berasal dari berbagai daerah misalnya dari Bandung, Palembang dan lain-lain. Tarifnya berkisar Rp.200-Rp.400 ribu. Keempat, kelas cafe. Kelas seperti ini merupakan kelas PSK yang lebih mandiri yang tidak diorganisir oleh sindikat ESKA, tetapi
Universitas Sumatera Utara
119
modelnya lebih bersifat panggilan dengan kontak person terbatas. Model ini banyak ditemukan di kawasan warkop-warkop dan hotel-hotel. Biasanya para wisatawan lokal dapat memesan ABG-ABG melalui orang-orang lokal yang berprofesi sebagai juru kunci penginapan. Direktur eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Ahmad Sofyan, sangat menyayangkan tidak adanya program yang spesifik untuk anak di Dinas Sosial di Kabupaten dan Kota Medan. Program yang mereka tangani khusus terkait ESKA belum ada. Program yang dilakukan terkait PSK masih sangat terbatas, yakni pada kesehatan produksi dan pelatihan. Di kota Medan, tidak ada penanggulangan khusus yang dilakukan pemerintah. Kendati demikian, Marzuki, Kabag TU dan Data di kantor, Dinas Sosial Sergai, mengaku Dinas Sosial mengakui masih melakukan penanggulangan masalah sosial yang lebih umum dalam menangani masalah pelacuran dan cafecafe liar yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma budaya. Sejak tahun 2006 hingga saat ini sudah dua kali dilakukan razia besar-besaran. Namun, hingga saat ini pihaknya belum menemukan adanya keterlibatan anak di bawah umur. Setelah PKPA menjelaskan adanya beberapa temuan, pihak Dinas Sosial sangat terkejut dan mengaku itu merupakan temuan yang sangat berharga bagi pihaknya. Pihak Dinas Sosial berharap agar PKPA dapat bekerjasama dengan Dinas Sosial Sergai dalam rangka mengatasi masalah anak-anak korban eksploitasi seksual.
Universitas Sumatera Utara
120
Di Langkat, lanjut Sofyan, Kasub Bagian Pembinaan Program dan Rehabilitasi, Dinsos Kota Medan mengatakan pihaknya selama ini telah melaksanakan program pembinaan terhadap PSK. Namun sejauh ini pihaknya belum pernah menemukan adanya PSK yang di bawah umur saat melakukan penertiban di lapangan. Adham juga mengaku terkejut, karena berdasarkan data yang dimiliki pihaknya, anak-anak yang terlibat PSK tidak ada dan menurutnya pelacur di bawah umur tersebut di dominasi dari berbagai daerah terpencil yang masuk ke Kota Medan untuk mencari mangsa yang kaya-kaya atau berduit. Pada umumnya, saat razia dilakukan mereka tidak mempunyai KTP. 83
C. Faktor-Faktor Penghambat Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Kota Medan Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, 84 merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan
83 84
Wawancara langsung dengan Dinsos Kota Medan tanggal 10 Februari 2010. Soerjono Soekanto., Loc, cit.
Universitas Sumatera Utara
121
objektif. 85 Sementara, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”. 86 Hukum dan tujuannya jika dihubungkan dengan masalah pelacuran anak, jelas adanya relevansi antara hukum dengan tujuan hukum itu sendiri. Hukum yang dimaksud di sini adalah segala ketentuan atau kaedah baik tertulis maupun tidak tertulis. Perbuatan pelacuran tidak nyata-nyata disebutkan dalam rangkaian peraturan tertulis hanya saja pelacuran yang melacurkan anak di bawah umur jelas disebutkan bertentangan dengan hukum perlindungan anak dan HAM. Oleh karena itu, terhadap pelacuran walaupun tidak tegas disebutkan ketentuannya di dalam KUH Pidana, karena pelacuran tersebut sangat bertentangan dengan budaya dan adat istiadat serta norma-norma masyarakat, maka hukum terhadap pelacuran harus tetap ditegakkan untuk pencapaian tujuan hukum tersebut yakni ketertiban dan keadilan. Akan tetapi dalam penegakan hukum terhadap pelacuran anak , terdapat beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum di Kota Medan. Apabila kita melihat penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polsekta Medan Baru tujuannya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, ini karena berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah
85
Mochtar Kusumaatmadja., Loc, cit. E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya. 86
Universitas Sumatera Utara
122
hukum atau undang-undangnya, masalah penegakan hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung, masyarakat, dan budaya hukum. 87 Yang akan dipaparkan berikut ini: 1. Terletak pada hukumnya sendiri yakni undang-undangnya. Undangundang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti formil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah Pusat yang sah. Jika dihubungkan dengan pelacuran anak di bawah umur, maka belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pelacuran khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, baik dalam KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak dan UndangUndang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang HAM. 2. Masalah penegak hukumnya yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, salah satu aparat penegakan hukum di Indonesia yaitu Kepolisian, dimana kepolisian dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dan sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya demi kepentingan umum, akan tetapi harus memenuhi persyaratan, yaitu tindakan-tindakan aparat kepolisian hendaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bahwa tindakan itu adalah untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum, serta tindakan untuk melindungi hak-hak para pelacur. 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum
87
Soerjono Soekanto., Op. cit, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
123
terhadap penanggulangan dan pencegahan pelacuran akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas yang dimaksud dalam masalah penegakan hukum terhadap pelacuran anak di bawah umur, yaitu apabila kepolisian melakukan razia-razia terhadap para pelacur khususnya yang masih di bawah umur, kepolisian dihadapkan pada kurangnya sarana atau fasilitas untuk menampung pelacur tersebut, karena terkadang dinas sosial pun tidak mampu menampung para pelacur tersebut, akhirnya para pelacur tersebut dilepaskan begitu saja. 4. Masyarakat. Penegakan hukum tidak hanya menjadi tanggung jawab kepolisian semata, namun masyarakatpun harus turut mendukung penegakan hukum di wilayahnya, karena tanpa adanya dukungan dari masyarakat penegakan hukum akan mengalami banyak kendala. Dalam hal ini, masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Medan Baru seperti kurang peduli terhadap permasalahan pelacuran anak di bawah umur ini, bahkan di warkop Gajah Mada dan warkop Harapan sebagai tempat transaksi pelacuran dikelola oleh masyarakat itu sendiri yang bekerja sekaligus sebagai pedagang minuman dan makanan di malam hari, dan terkadang seperti di daerah Bandar Baru (Berastagi) mencari anak-anak yang akan dipekerjakan sebagai pelacur atau menjadikannya sebagai sumber uang yakni menjadi calo. Sehingga secara tidak langsung masyarakat tersebut mendukung dan mengambil kesempatan atau keuntungan dengan adanya pelacuran tersebut.
Universitas Sumatera Utara
124
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan tidak lepas dari hukum adat yaitu hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat tertentu, akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis yang timbul dari golongan tertentu pula dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum tertulis tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Seperti halnya dalam menghadapi pelacuran anak di bawah umur, masalah pelacuran telah menjadi penyakit masyarakat yang terus ada dari jaman dulu hingga sekarang dan tak pernah bisa hilang, sehingga akan sangat sulit untuk menghilangkannya, ditambah lagi tidak ada undang-undang yang mengatur mengenai masalah pelacuran itu secara khusus dan tegas, sehingga antara hukum kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat dengan hukum positif Indonesia dalam menghadapi pelacuran kurang sejalan, yang akhirnya mengakibatkan pelacuran tetap ada dimana-mana. Melihat begitu sulitnya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran anaik di bawah umur yang disebabkan oleh berbagai faktor penghambat yang dihadapi oleh kepolisian sehingga penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan maksimal, maka peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif Indonesia harus dibuat secara baik agar dapat berjalan secara efektif. Untuk mencapai hukum pidana yang baik dan efektif, dapat ditempuh
Universitas Sumatera Utara
125
dengan pembaharuan hukum pidana, dan salah satu tujuannya adalah untuk menanggulangi pelacuran secara umum dan pelacuran anak secara khusus. Sering
dinyatakan,
bahwa
upaya
kebijakan
kriminal
(kebijakan
penanggulangan kejahatan) dapat ditempuh dengan menggunakan sarana hukum pidana dan upaya lain yang ”bukan hukum pidana”. Dilihat secara integral, upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan satu kesatuan berbagai subsistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya hukum” (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/ normatif), lembaga/struktur/aparat penegak
hukum (komponen struktural/
institusional
beserta
mekanisme
prosedural/administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural). 88 Oleh
karena
itu,
diperlukan
langkah-langkah
operasionalisasi
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, yaitu: 89 1. Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut kebijakan legalisasi) yang di dalamnya berisikan penetapan kebijakan mengenai: a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kebijakan kriminalisasi); dan b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar (kebijakan penalisasi/kebijakan pemidanaan). 2. Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikatif); 3. Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan eksekutif).
88
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bab VII (Citra Aditya Bakti, 2003) dan Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Bab XIII (Prenada Group, 2008), hal. 67. 89 Ibid, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
126
Langkah-langkah atau tahap-tahap tersebut dapat juga disebut langkahlangkah penegakan hukum pidana, karena penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan hukum pidana. Jadi apabila dilihat sebagai suatu mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahap tersebut merupakan suatu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam suatu kesatuan sistem. Namun demikian, kebijakan legalisasi merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionalkan hukum (pidana). Pada tahap inilah diusahakan pembuatan dan perumusan yang sebaik mungkin hal-hal yang menyangkut tentang kebijakan kriminalisasi dan kebijakan penalisasi. 90 Salah satu penanggulangan masalah pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur adalah dengan membuat kebijakan kriminalisasi perbuatan zina dalam arti luas, karena berbicara mengenai pelacuran, berarti sama saja kita berbicara mengenai perzinahan. Sisi lain dari tujuan politik kriminal yang patut dipertimbangkan dengan larangannya perzinahan adalah kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit kotor yang membahayakan masyarakat dan mencegah perbuatan “main hakim sendiri” sebagai akibat adanya perzinahan. Bahwa peluang untuk terjadinya perzinahan mejadi lebih besar apabila perzinahan dijadikan delik aduan absolut. Ini berarti, memberi peluang besar terjadinya pelanggaran kesucian perkawinan dan hubungan seksual diluar perkawinan.
90
Ibid, hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
127
Nilai kesusilaan nasional yang ingin ditegakan lewat undang-undang perkawinan adalah, bahwa hubungan seksual itu hendaknya dilakukan lewat lembaga perkawinan, bukan di luar perkawinan. Pembangunan moral bangsa atau moral nasional yang dituju, yang menjadi tujusn kebijakan sosial (social policy) dan patutnya juga diperhatikan dalam kebijakan kriminal (criminal policy), ialah moral yang bertolak dari budaya bangsa dan moral keagamaan, bukan bertolak dari paham “kebebasan moral”. 91 Mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perzinahan maka harus dibuat pula kebijakan penalisasi berupa pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perzinahan yang mempunyai efek jera. Langkah selanjutnya mengenai penanggulangan pelacuran ini adalah penerapan pidana oleh lembaga pengadilan (disebut juga kebijakan yudikatif), artinya lembaga pengadilan yang memeriksa dan memutuskan suatu perkara (pidana) sesuai dengan hukum yang berlaku ditambah dengan keyakinan hakim. 92 Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan eksekutif), artinya dimulai dari pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan harus bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, namun keempat aparatur hukum tersebut merupakan satu mata rantai yang saling mempengaruhi, namun tetap tujuannya sama, yaitu menaggulangi kejahatan yang akhirnya menuju kesejahteraan sosial khususnya pelacuran anak.
91
Ibid, lihat juga Soerjono Soekanto., Op. cit, hal. 10. M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 278. 92
Universitas Sumatera Utara
128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur secara penal yang berpedoman kepada KUH Pidana mengalami kendala, karena dalam pasal-pasalnya tidak ada mengatur mengenai pelacuran secara tegas, khususnya pelacuran anak di bawah umur, oleh karena itu Kepolisian menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana jika anak yang menjadi korban, maka harus dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dibimbing, jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya, jika walinya tidak ada, maka harus direhabilitasi oleh negara melalui panti rehabilitasi. Di samping itu, Kepolisian juga dapat bertindak untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di Kecamatan Medan Baru, lebih mengacu kepada pencegahan untuk mengantisipasi terjadinya pelacuran anak di bawah umur melalui pemberlakuan ”Razia Kasih Sayang”, dibandingkan dengan penanggulangan pelacuran anak di bawah umur yang melibatkan penjatuhan sanksi pidana menurut undang-undang. 2. Strategi penanggulangan pelacuran anak di bawah umur oleh Polsek Medan Baru dengan melakukan kerja sama dengan Pemerintah Kota
Universitas Sumatera Utara
129
Madya Medan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Selain dilakukan oleh pihak Kepolisian yang dikoordinir oleh Polwiltabes Medan, juga berperan serta pihak Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru (yang berkompeten), Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan juga turut serta berperan dengan kepolisian dengan membentuk Tim 99 Anti Pelacuran Anak.
B. Saran Adapun yang menjadi saran berdasarkan permasalahan yang telah diteliti tersebut, maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan bahwa terhadap pelacuran anak di bawah umur, peranan yang paling strategis dalam penegakan hukum adalah penetapan kebijakan perundang-undangan,
dan
penetapan
perundang-undangan
harus
memperhatikan grundnorm bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Selain itu juga harus dipahami bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas kepolisian semata atau aparat pelaksana hukum lainnya, namun jauh lebih penting menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. 2. Diharapkan dalam menanggulangi pelacuran dengan menjerat konsumen tersebut dengan Pasal 287 dan 288 KUH Pidana, upaya lainnya adalah
Universitas Sumatera Utara
130
apabila konsumen pelacur itu seorang suami atau istri, maka dapat dikenakan Pasal 284 KUH Pidana. Apabila anak di bawah umur tersebut dipekerjakan menjadi pelacur oleh orang tuanya sendiri, maka orang tua tersebut dapat dikenakan Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak atau dijerat dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan untuk konsumen pelacur pria maupun wanita yang belum menikah dapat dikenakan Pasal 5 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara