KAJIAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR
Oleh :
LAILI MAULIDA 105045101491
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
ا ا ا KATA PENGANTAR Tidak ada kata yang pantas selain mengucap syukur, segala puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat taufik, hidayah, inayah, dan rahmatNya, penulisan skripsi ini dapat terlaksana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah atas utusan yang paling utama dan mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan juga para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dengan selesainya skripsi ini tentunya tidak terlepas atas bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak, yang telah membantu penulis dan berpartisipasi dalam menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Prof. DR. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan rela meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi, serta memberi motivasi kepada penulis hingga menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik dan memperluas wawasan penulis hingga akhir masa studi. 5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu pengadaan buku-buku yang sangat membantu penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. 6. Abi dan Umi, Alm.H.Murai, dan Hj.Umamah yang menjadi sumber inspirasi, doa, kasih sayang, dorongan dan bantuannya (materil maupun sprituil) 7. Alm.H.Jumhari dan Hj.Maswanih juga H. Kaiman dan Hj. Maryam kakek-nenek atas doa, perhatian, kasih sayang, motivasi dan nasehatnya yang membuat penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 8. Kakak dan Abang juga Saudara yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 9. Teman-teman mahasiswa Pidana Islam angkatan 2005 yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, yang telah memberikan motivasi yang membuat penulis semangat untuk membuat dan menyelesaikan skripsi juga memberikan keceriaan dan hiburan hingga tidak terlalu jenuh dalam perkuliahan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, jualah semua ini penulis serahkan. Semoga semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Demikianlah ucapan terima kasih dari penulis. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan.
Jakarta, 16 Syawal 1430 H
05 Oktober 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah .......................................
15
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................................
16
D. Metodologi Penelitian...............................................................
17
E. Review Pustaka ........................................................................
18
F. Sistematika Penulisan ...............................................................
19
Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika A. Gejala dan Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika........................................................
20
B. Batas Usia Anak Dapat Dipidana ..............................................
34
BABIII: Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Penyalahgunaan Narkotika A. Penyalahgunaan Narkotika Dalam Hukum Islam ......................
43
B. Penyalahgunaan Narkotika Dalam Hukum Positif.....................
52
BAB IV: Perbandingan Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Sanksi Anak Yang Menyalahgunakan Narkotika A. Sanksi Anak Yang Menyalahgunakan Narkotika Dalam Hukum Islam ............................................................................
65
B. Sanksi Anak Yang Menyalahgunakan Narkotika Dalam
BAB V:
Hukum Positif...........................................................................
77
C. Analisa perbandingan................................................................
88
Penutup A. Kesimpulan...............................................................................
96
B. Saran-Saran .............................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 102
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ajaran agama menyatakan setiap anak yang terlahir ke dunia dalam fitrah atau suci bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan anak, menjadi baik ataukah sebaliknya jahat.1 Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga.2 Dalam salah satu pertimbangan (konsideran) undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan.3 Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak, generasi muda ada yang disebut remaja dan dewasa. 1
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2005), Cet. Ke-1,h.1. 2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-2, h.103.
Pada masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap social dan kepribadian. Masa remaja adalah masa goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai sebagai perbuatan nakal. Secara sepintas telah diketahui tentang generasi muda yang pada umumnya mengalami perubahan fisik dan emosinya belum stabil serta belum matang cara berpikirnya. Terutama pada masa remaja hal tersebut sangat terasa. Remaja biasanya mudah cemas, mudah tergoncang emosinya, mudah tersinggung, sangat peka terhadap kritikan. Karena jiwanya belum stabil, terkadang mereka ingin terlepas dari aturan yang ada, mudah menerima pengaruh dari luar lingkungannya dan ingin hidup dengan gayanya sendiri. Maka tidak heran jika banyak remaja yang berbuat nakal ditempat umum seperti minum-minuman keras dipinggir jalan, mencoret-coret tembok atau bangunan, kebut-kebutan dijalan umum, mencuri, dan sebagainya.4 Kenakalan remaja merupakan suatu perbuatan yang dilakukan kaum remaja yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di masyarakat. Kenakalan remaja juga disebabkan karena pengaruh lingkungan, terutama 3
Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undangundang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Trinity, 2007), Cet. Ke-1, h.1. 4 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007), Cet. Ke-3, h. 2.
lingkungan diluar rumah. Kebanyakan remaja senang bermain diluar rumah, berkumpul dengan teman-temannya baik teman di sekitar rumah, teman satu sekolah atau teman satu kelompok. Kalau teman-temannya di lingkungan tersebut berbuat yang tidak baik, biasanya sianak terpengaruh sikapnya, tanpa menilai terlebih dahulu. Sikap yang mudah terpengaruh ini tidak terlepas dari perkembangan pribadi remaja.5 Istilah kenakalan anak pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi Anak di Negara tersebut. Kenakalan anak diambil dari istilah asing juvenile delinquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam pasal 489 KUHPidana. Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat yang khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, 5
Ibid, h.2.
sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh setiap manusia harus mengalami goncangan semasa menjelang kedewasaannya. 6 Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, disamping itu pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain
sebagai apa
yang
diisyaratkan dalam
suatu
perbuatan kejahatan
(KUHPidana), yaitu menyadari akibat dari perbuatannya dan pelakunya mampu bertanggung jawab.7 Sebagai pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak terjebak melanggar norma terutama hukum. Anak-anak terjebak
dalam pola
konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjerumus ke tindakan kriminal, seperti ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, dan sebagainya. Apalagi dalam era sekarang ini banyak orang tua yang terlalu disibukkan mengurus duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan, ataupun gengsi. Dalam kondisi demikian anak sebagai buah hati sering dilupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku, serta pengawasan orang tua. Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian 6
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. Ke-1,
7
Ibid, h.11.
h.8-10.
secara fisik, mental maupun social sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat.8 Masalah remaja adalah suatu masalah yang sebenarnya sangat menarik untuk dibicarakan, lebih-lebih pada akhir-akhir ini, dimana telah timbul akibat negatif yang sangat mencemaskan yang akan membawa kehancuran bagi remaja itu sendiri dan masyarakat umumnya.9 Akhir-akhir ini, peredaran dan pengkonsumsian obat-obatan terlarang, sabu-sabu dan segala macam jenisnya, menunjukan gejala yang makin tak terkendalikan. Selain karena kemasan dan teknis pengedarannya yang luar biasa rapi, juga sangat dirasakan bahwa mekanisme kontrol pribadi anak-anak muda kita makin tidak jelas lagi.10 Narkotika tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw, walaupun demikian ia termasuk kategori khamr, bahkan narkoba lebih berbahaya dibanding dengan khamr. Istilah narkotika dalam konteks Islam, tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah. Dalam Al-Qur’an hanya menyebutkan istilah khamr. Tetapi karena dalam teori ilmu Ushul fiqh, bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum). 8
Bambang Waluyo,Pidana dan Pemidanaan., h.3. Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. Ke-2, h.9. 10 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Semarang: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. Ke-1, h.169. 9
Minuman khamar menurut bahasa Al-Qur’an adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.11 Minum khamar ialah segala sesuatu yang memabukkan, baik dinamakan khamr atau bukan, baik dari angur atau lainnya, baik yang membuat mabuk itu sedikit atau banyak.12 Dengan demikian, kata khamar itu berarti dari setiap sari buah anggur, jelai, kurma, madu, ataupun yang lainnya yang dapat membuat seseorang mabuk setelah meminumnya. Kata khamar boleh jadi meliputi pula setiap cairan ataupun barang yang memiliki akibat yang sama.13 Larangan meminum khamar tidak diturunkan sekaligus tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Hal ini disebabkan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras dikalanan bangsa Arab sudah merajalela. Nas yang pertama turun adalah dalam surat An-Nisa ayat 43 Allah berfirman:
#$%#&'() %34567
!"
/0 !/12
*+,-.
;)< !" 1☺#&:!" Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan… Setelah itu, turunlah nas kedua menjawab segala pertanyaan yang mengganjal di hati mereka dan menerangkan illat (sebab) pelarangan tersebut. Dalam surat al-Baqarah ayat 219 Allah SWT berfirman:
CD☺6E)
AB
6= -:& >*?$@
6☺FMNO KL: FGHIJ6☺) 1TU $
RGF=S
⌦Q+F
G )YS. 6☺1M1☺+F WWX&) 6☺FM:U- Z 11
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-1, h. 78. M.Ichsan & M.Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum UM, 2008), Cet. Ke-1, h. 143. 13 A. Rahman I doi, Hudud dan Kewarisan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) Cet. Ke-1, h. 84. 12
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah,’Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. Setelah semua jiwa kaum muslim saat itu sudah siap meninggalkan kebiasaan meminum-minuman keras, turunlah nas terakhir yang secara tegas melarang minuman keras. Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an surat AlMaidah ayat 90-91:
D☺!\
6☺-F
]^_(-,`
[
GHIN6☺)
gL6☺ DZf 3bDce Q !)a,` #=k lDc!O Anog
AZ !]hij)
;1!F&U:"
KQ/m&6:!)
;. 1Z !]hij) 1C 6☺-F #$p66:) Q/XJ 6T Cr!\ Z
qF
n* =)
KQsIt(
FGHIJ6☺)
$%#&'() AZ > Csu Anyg ;w ☺Xx 5v-. KL6M!O Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,(berkurban untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah kamu berhenti?”.14 14
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi, (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I), (penj) Ali Yafie, et all, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008), Cet. Ke-1, h.73-74.
Menurut Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 pada Pasal 1 narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. 15 Masa-masa remaja usia 12-25 tahun adalah objek potensial perdagangan narkoba. Efek narkoba akan mempengaruhi fisik dan psikis remaja bersangkutan untuk tahun-tahun ke depannya. Kemampuan intelektual dan emosional telah banyak dihabiskan oleh efek negatif narkoba sehingga membuat pemakai kesulitan bersaing dengan sesame dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Kebiasaan konsumtif narkoba dapat menular pada individu lainnya melalui proses pembelajaran social. Marsahal B Clinard dari Wisconsin University dan Robert F Meier dari Washington State Univeristy mengatakan ketergantungan drug terjadi oleh proses pembelajaran antar individu satu dengan lainnya melalui pertemanan dan komunikasi antar atau dengan pecandu drug. Menurut Finestone dalam Cats, Kicks and colour banyak individu mulai mengenal narkoba setelah diberi tahu 15
Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 dan Undang-undang Psikotropika No.5 Tahun 1997, (Jakarta: Asa Mandiri, 2008)
oleh teman sesamanya atau orang yang dia kenal lainnya. Setelah menjadi pengguna maka peluang menjadi pecandu sangat besar.16 Juvenile delinquency ditentukan atas dasar umur para pelaku dan atas dasar macam tingkah laku para pelaku
untuk diajukan ke pengadilan anak.
Kebanyakan Negara mempunyai batas umur minimum dan batas umur maksimum seorang anak untuk dapat di ajukan ke muka pengadilan.17 Menurut Undang-undang No. 3 tahun1997 tentang pengadilan anak pasal 1 ayat 2 butir a dan b anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 18 Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia anak ditetapkan dalam suatu batasan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan dalam Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Di 16
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, (Jakarta: AM BOOKS, 2007), Cet. Ke-1, h.22. 17 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), Cet. Ke-1, h.10. 18 Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undangundang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, (Trinity, 2007), Cet. Ke-1, h.53.
tiap-tiap Negara tidak ada yang sama dalam hal menentukan batas usia juvenile delinquency.19 Menurut Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun khusus mengenai batas usia bagi pemidanaan anak di Indonesia ditegaskan dalam pasal 4 yaitu: (1).Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke siding anak adalah sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (2).Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap di ajukan ke sidang pengadilan anak. 20 Dalam istilah ushul fiqh, subyek hukum itu disebut mukallaf (( atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum alaih ( )اyaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukallaf (subyek hukum), yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut. 19
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. Ke-1,
h.25-26. 20
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, (Trinity, 2007), Cet. Ke-1, h.55.
Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku atasnya taklif bila akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Perkembangan akal itu sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat dari luar. Karena itu perkembangan akal pada manusia dapat diketahui pada perkembangan jasmaninya. Seorang manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan akal bila telah mencapai batas dewasa atau bulugh, kecuali bila mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang atau taklif. 21 Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-qur’an, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melangsungkan perkawinan. Dalam keadaan tidak terdapat atau sukar diketahui tanda yang bersifat jasmaniyah tersebut, diambil patokan umur yang dalam pembatasan ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama fiqh. Menurut jumhur ulama, umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi anak laki-laki dan perempuan. Menurut Abu Hanifah, umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila seseorang tidak mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum atau taklif.22 21
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh: Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2008), Cet. Ke-3,
h.389-391. 22
Ibid, h.391-393.
Manusia dalam batas umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai dewasa dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya, terbagi kepada tiga tingkat; dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu: a. Tindakan
yang
semata-mata
mengutungkan
kepadanya;
umpamanya
menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah ddan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya. b. Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya;umpamanya pemberian yang dilakukannya baik dalam bentuk hibah atau sadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya. c. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, dan lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
Tindakan mumayyiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalam melakukan ibadat, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa. Dalam masa ini orang tuanya harus mendidik dan membiasakannya untuk melakukan ibadah badaniyah. Adapun tindakan kejahatan yang dilakukannya yang merugikan orang lain, ia dituntut dan dikenai sanksi hukuman berupa ganti rugi harta dan tidak hukuman badan. Karena itu tidak berlaku padanya qishas dalam pembunuhan, dera atau rajam pada perzinaan, atau potong tangan pada pencurian. Ia hanya dapat menanggung diyat pembunuhan atau ta’zir yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.23 Adapun hadits bagi orang yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak berlaku padanya tuntutan hukum atau taklif, yaitu
ی" ! و ا ّ ی و#$ ا:ر ا ث "ء وﺏ$ى وا01رى واﺏ( داود وا3* ا4 )روا.% &(ن ی$)*ا (56 و اﺏ اﺏ7# $89ر:ﺝ; وا Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis manusia, orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh dan orang gila sampai ia sembuh”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, Al-Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah dan Al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib).24 Syariat menghukum peminum arak dengan jilid atau dera sebanyak 80 kali. Namun menurut pendapat Imam Syafi’i, hukumannya adalah sebanyak 40 kali deraan. 23 24
1,h.82.
Ibid, h.393-394. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Saru Islam Hoeve, 1997), Cet. Ke-
Dalil hukuman bagi peminum khamr adalah dari hadist berikut:
1 ان ﺱ,4و: ﺝ1 ان ﺱ: ص مCل رﺱ(ل ا9 :ل9 ة1ی1 اﺏ ه (ى01 اJ ا*" إ4 )دوا$ ﺏ(ا1F GاﺏHن د اI ,4و:ﺝ Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda:“ Jika seseorang mabuk, maka deralah dia, kemudian jika ia mabuk lagi, maka deralah dia, kemudian jika ia kembali lagi yang keempat kalinya, maka pukullah lehernya”. (H.R. Imam yang lima, kecuali Tirmidzi).25 Sedang dalil kadar hukuman bagi peminum khamr adalah dari ijma para sahabat setelah Ali ra. Mengqiyaskan peminum khamr dengan pendusta (qadzif) yaitu sebanyak 80 kali deraan. Hikmah hukuman bagi peminum khamr antara lain adalah untuk mengingatkan manusia akan pentingnya kesehatan badan dan akal fikiran. Oleh karena itu layak jika peminum khamr dihukum dengan dera sebanyak 80 atau 40 kali supaya ia jera. Ini karena hukuman dera yang menyakitkan itu akan mengingatkannya agar tidak melakukan jarimah yang memberinya kenikmatan sesaat namun merugikannya untuk jangka masa yang lama ini. 26 Sanksi tersebut dikenakan kepada para pemakai yang telah mencapai usia dewasa dan berakal sehat, bukan atas keterpaksaan, dan mengetahui kalau benda yang dikonsumsinya itu memabukkan. 25
Muamal Hamidy,et all, Terjemah Nailul Authar: Himpunan Hadits-Hadits Hukum Jilid 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), Cet. Ke-3, h. 2658. 26 Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008), Cet. Ke-1, h.145-146.
Mengenai penyalahgunaan minuman memabukan telah diatur dalam undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Didalam undang-undang dimaksud, menjatuhkan sanksi lebih berat yang memproduksi dan pengedar narkotika yang disalahgunakan, ketimbang pengguna (pemakai). Dalam hal ini, ada sesuatu yang cukup istimewa dalam undang-undang narkotika, yaitu menuntut tanggung jawab orangtua dan/atau wali jika pecandu itu belum cukup umur.27 Sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang narkotika no.22 tahun 1997 pasal 46 ayat (1) yaitu: 1). Orangtua/ wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.28 Maka berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang ”KAJIAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANAK DIBAWAH UMUR”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.Pembatasan Masalah Dilihat dari latar belakang masalah pada judul skripsi “Kajian Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Oleh 27
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-7, h.101-
103. 28
Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 dan Undang-undang Psikotropika No.5 Tahun 1997, (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), Cet. Ke-1, h.13.
Anak Dibawah Umur” sangatlah luas. Hukum positif yang dimaksud ini adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Maka perlu kiranya skripsi ini dibatasi agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka dalam penulisan skripsi ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh penulis sebagai berikut: 1. Penyebab anak melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika 2. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang penyalahgunaan narkotika 3. Sanksi bagi anak yang menyalahgunakan narkotika menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 2. Perumusan Masalah Setelah membatasi permasalahan pada hal-hal tersebut diatas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa
yang
menyebabkan
anak
melakukan
tindak
pidana
menyalahgunakan narkotika? 2. Bagaimana menurut pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang penyalahgunaan narkotika? 3. Bagaimana bentuk sanksi yang diberikan atas penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur menurut Hukum Islam dan Hukum Positif? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a.Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur. b.Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika. c.Untuk mengetahui bentuk sanksi hukum pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak dibawah umur dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif. 2. Manfaat Penelitian a. Secara Akademis Sebagai suatu sarana untuk menambah ilmu pengetahuan tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak dibawah umur menurut hukum, khususnya Hukum Islam. b. Secara Praktis Manfaat secara praktis untuk penulis, pembaca, serta masyarakat adalah untuk membangun kesadaran kehidupan disekeliling, bahwasanya masih banyak anak-anak yang memerlukan kasih dan sayang serta perlindungan keluarga dan masyarakat disekelilingnya. Serta menjadi masukkan atau pertimbangan bagi pihak penegak hukum dalam memberikan sanksi hukum bagi pelaku penyalahgunaan narkotika dengan pelakunya adalah anak dibawah umur. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian normatif yang penulis maksud adalah penelaahan terhadap hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data jenis kualitatif yakni berupa ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang akan diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mengupas dan mencermati suatu secara ilmiah dan kualitatif. 3. Teknik Analisis Data Adapun cara yang digunakan penulis dalam menganalisa datanya, adalah teknik content analisys yaitu pengolahan data dengan menganalisa materi sesuai dengan pembahasan. Dalam hal ini masalah pokoknya adalah penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman skripsi, tesis dan disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press 2007. E. Review Pustaka Dari beberapa skripsi dan literature buku yang ada diperpustakaan syariah dan perpustakaan utama, penulis akan mengambilnya untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Kasus
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur. Pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiah mahasiswa (skripsi) difakultas syariah dan perpustakaan utama terdapat skripsi yang berjudul Penyalahgunaan Narkoba Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam yang ditulis oleh Yanuar Mujawad, menjelaskan tentang gambaran umum narkoba, narkoba menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, dan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Dan skripsi yang ditulis oleh Fahrul Roji yang berjudul Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Di Tinjau Dari Hukum Pidana Positif Dan Hukum Islam, menjelaskan tentang tinjauan umum tindak pidana dan sanksi pidana anak menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, analisis perbandingan sanksi pidana anak menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif. Adapun judul skripsi lain yang ditulis oleh Robiatul Adawiyah yang berjudul Sanksi Penyalahgunaan Psikotropika Oleh Anak-anak (tinjauan UU No.5 Tahun 1997 dan Hukum Islam) yang menguraikan tentang pengertian umum penyalahgunaan psikotropika dan hak-hak anak, penjelasan umum tentang penyalahgunaan psikotropika dan sanksi penyalahgunaan psikotropika oleh anakanak. Dari berbagai karya tulis diatas, pnulis melihat masih adanya kekurangan sehingga dapat menjadi bahan penelitian dalam skripsi ini. Kekurangan tersebut adalah tidak adanya pemabahasan mengenai “Kajian Hukum Islam Dan Hukum
Positif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak Dibawah Umur”. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk meneliti lebih jauh. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab masing-masing bab mempunyai sub-sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut terdiri dari: Bab I
:Merupakan pendahuluan yang membahas materi yang terdapat pada latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian,review pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II
:Membahas mengenai penyebab anak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan batas usia anak dapat dipidana.
Bab III
:Menjelaskan pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang penyalahgunaan narkotika.
Bab IV
:Menguraikan tentang sanksi hukum bagi penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
Bab V
:Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang dapat disampaikan.
BAB II PENYEBAB ANAK MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A. Gejala dan Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana ciri-ciri khas atau umum yang amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak puber, antara lain: 1.Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan masyarakat dewasa ini sedang demam materiil dimana orang mendewa-dewakan kehidupan lux atau kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya yang belum matang serta dalam situasi labil, maka dengan mudah ia ikut terjangkit nafsu serakah dunia materiil. 2.Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri, misalnya kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan dijalan raya. 3.Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya mabukmabukan minuman keras.29 29
h.14-15.
Wagiati soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. Ke-1,
4.Sikap hidupnya bercorak a-sosial dan keluar dari pada dunia objektif kearah dunia subyektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan teman sebaya. 5.Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta substitusi identifikasi yang lama. Fase-fase remaja dan adolescent adalah suatu proses transisi dimana tingkah laku anti sosial yang potensial disertai banyak pergolakan hati dan kekisruhan hati membuat anak remaja/adolescent kehilangan kontrol, kendali emosi yang meletup menjadi boomerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat kriminalitas.30 Sebab-sebab
timbulnya
kenakalan
anak
atau
faktor-faktor
yang
mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya. Motifasi diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasaan dengan perbuatannya. 30
Ibid, h.15-16.
Bentuk dari motifasi ada dua macam, yaitu: motifasi intrinsik dan ekstrinsik. Motifasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar,sedangkan motifasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang. Menurut pendapat Romli Atmasasmita (1983:46) mengenai motivasi intrinsik dan ektrinsik dari kenakalan anak: 1. Yang termasuk motivasi intrinsik pada kenakalan anak adalah: a. Faktor intelegentia: b. Faktor usia; c. Faktor kelamin; d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ektrinsik adalah: a. Faktor rumah tangga; b. Faktor pendidikan dan sekolah; c. Faktor pergaulan anak; d. Faktor mass media.31 Menurut teori/aliran Antropologis yang mengatakan bahwa sebab orang melakukan kejahatan adalah tergantung pada orang atau individunya. Bahwa seseorang itu sudah mempunyai tipe-tipe tertentu sebagai penjahat. Jadi orang melakukan kejahatan memang sudah ada dari dalam pribadinya sendiri sebagai seorang yang jahat. Teori/aliran Sosiologis mengatakan bahwa sebab orang melakukan kejahatan itu karena dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungan 31
Ibid, h.16.
alam maupun lingkungan masyarakat. Dari kedua teori tersebut maka muncullah teori yang ketiga yang merupakan gabungan atau kombinasi dari keduanya, yaitu teori/aliran Bio-sosiologis. Aliran ini mengatakan bahwa sebab orang melakukan kejahatan karena faktor individu orang yang bersangkutan ditambah dengan adanya pengaruh lingkungan. Bahwa semua perbuatan manusia adalah unsurunsur individu ditambah lingkungan.32 Pengaruh kemajuan
iptek,
kemajuan budaya dan perkembangan
pembangunan umumnya bukan hanya orang dewasa tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama norma hukum. Anak-anak terjebak dalam pola konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjerumus ketindakan kriminal, seperti ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya. Apalagi dalam era sekarang ini banyak orang tua yang disibukkan mengurus pemenuhan duniawi (materil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan, ataupun gengsi. Dalam kondisi demikian anak sebagai buah hati sering dilupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku, serta pengawasan orang tua.33 32
M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1997), Cet. Ke-
1, h.44-45. 33
h.3.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-2,
Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial bahkan anti sosial yang merugikan dirinya, keluarga dan masyarakat.34 Problema remaja adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh para remaja sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan mereka dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Masalah penting yang dihadapi anak-anak kita yang menginjak usia remaja cukup banyak. Problema tersebut ada yang mudah dan dapat dipecahkan sendiri, akan tetapi adakalanya masalah yang timbul sulit dipecahkannya, dalam hal ini memerlukan bantuan para pendidik dan orang tua agar tercapai kesejahteraan pribadi dan bermanfaat bagi masyarakat. Secara garis besar, masalah yang dihadapi oleh kaum remaja sebagai berikut: 1).Masalah yang menyangkut jasmani 2).Masalah hubungan dengan orang tua 3).Masalah agama 4).Masalah hari depan 5).Masalah sosial 6).Masalah akhlak35 34
Ibid, h.3. Panut Panuju & Ida Utami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), Cet. Ke-1,h. 142. 35
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembanguan yang cepat, arus globalisasi dibiang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.36 Sebab-sebab kenakalan anak (juvenile delinquency) yaitu: 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pribadi dan keadaan sekelilingnya yaitu: a. Rumah tangga/keluarga yang retak (broken home) b. Ditelantarkan oleh orangtua (material, kasih sayang, acuh tak acuh) c. Kekurangan-kekurangan psikologis d. Pergaulan/teman yang tidak baik. 2. Faktor-faktor structural terdapat pada: a.system
ekonomi
dan
pendidikan
serta
structur
kesempatan
untuk
memperolehnya disuatu Negara, b.dalam proses perubahan sosial sebagai akibat kemajuan industri, urbanisasi dan teknik. 36
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarata: Djambatan, 2007), Cet. Ke-3 , h.12.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan prosedur penentuan dan perlakuan tindakan
kenakalan anak:
a.pilihan undang-undang/peraturan b.over acting petugas kepolisian c.perlakuan dalam lembaga-lembaga pendidikan atau institutional treatment.37 Remaja biasanya mudah cemas, mudah tergoncang emosinya, mudah tersinggung, sangat peka terhadap kritikan. Karena jiwanya belum stabil, terkadang mereka ingin lepas dar aturan yang ada, mudah menerima pengaruh dari luar lingkungannya dan ingin hidup dengan gaya mereka sendiri. Maka tidak heran jika banyak remaja yang berbuat nakal ditempat umum seperti minumminuman keras dipinggir jalan, mencoret-coret tembok atau bangunan, kebutkebutan dijalan umum, mencuri dan sebagainya. Remaja melakukan kenakalan timbul Karena dari segi pribadinya mengalami perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Emosinya belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, sehingga mempengaruhi dirinya untuk bertindak yang kadang-kadang tidak umum dan diluar aturan yang berlaku dimasyarakat. Kenakalan remaja juga disebabkan Karena pengaruh lingkungan diluar rumah. Kebanyakan remaja senang bermain diluar rumah, berkumpul dengan teman-temannya baik teman disekitar rumah, teman satu sekolah atau teman satu 37
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), Cet. Ke-1, h. 11-12
kelompok. Kalau teman-temannya dilingkungan tersebut berbuat tidak baik, biasanya sianak terpengaruh sikapnya, tanpa menilai terlebih dahulu. Sikap yang mudah terpengaruh ini tidak terlepas dari perkembangan pribadi remaja.38 Diseluruh dunia mengalami kenaikan juvenile delinquency. Sebab-sebab utama berakar dalam perubahan sosial. Kemajuan industri menyebabkan banyak orang tinggal di kota luar (suburb) yang menyebabkan orangtua lebih lama lagi terpisah dari anak-anak. Orangtua yang sering meninggalkan rumah menyebabkan ketegangan-ketegangan dirumah. Apabila terdapat kekurangan identifikasi antara orangtua dan anak, mereka akan hidup didalam dunianya masing-masing dengan hampir tidak ada persamaan satu sama lain. Dengan demikian kehidupan keluarga menjadi tempat orangtua dan anak-anak hidup tanpa tujuan fundamental yang sama, yang sangat penting bagi sense of belonging seorang anak. Terlalu banyak peraturan/larangan akan menambah delinquency. Ada kemungkinan apabila terlalu banyak perbuatan yang dianggap sebagai tindakan delinquent dan anak-anak tersebut juga dianggap dan diperlakukan sebagai delinquent, anak akan menjadi lebih delinquent lagi. Kemungkinan itu diperbesar apabila para remaja yang nakal diisolasi dari masyarakat dan diperlakukan dalam satu lembaga.39 Permasalahan khusus yang dihadapi oleh orang tua ketika anak remajanya terlibat dalam minuman keras, penyalahgunaan obat, seks, terlibat kenakalan, 38 39
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak., h.2-4. Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum., h.12.
berbuat
kekerasan
dan
pelanggaran.
Seluruh
perilaku
mereka
dapat
dikelompokkan ke dalam empat macam tujuan, yaitu menarik perhatian kepada orang lain, kekuasaan, balas dendam, atau pengunduran diri. Dikalangan remaja, mendapatkan kekuasaan dan balas dendam bertujuan untuk mendominasi sebagai pengganti perilaku yang bertujuan mencari perhatian yang merupakan cirri khas perilaku anak berusia lebih muda. Dreikurs (1968:29) berpendapat “perang orang tua dan anak-anaknya untuk mendapatkan kekuasaan dan dominant dapat mencapai suatu titik dimana orang tua mencoba menggunakan selruh cara yang dapat diperoleh untuk menundukkan anak-anaknya. Sikap saling bermusuhan menjadi begitu hebat sehingga masing-masing pihak hanya mempunyai satu keinginan, yaitu balas dendam atas perasaannya yang disakiti. 40 Kenakalan saat ini merupakan permasalahan besar dibanyak Negara. Penyebab utama timbulnya perilaku yang sulit itu terletak pada kesalahankesalahan yang diperbuat orang tua selama periode usia pembentukkan. Seluruh kegagalan dikalangan remaja membuktikan bahwa, dimasa kanak-kanak, mereka tidak dapat menyesuaikan dirinya dan bekerja sama dalam kehidupan keluarganya. Bila orang tua menggunakan teknik-teknik mendorong keberanian berbuat,
menerapkan
konsekuensi-konsekuensi,
dan
pertemuan-pertemuan
keluarga, disamping membina hubungan yang berdasarkan persamaan dan saling menghargai; para remaja sama sekali tidak tercekam ketakutan, jawabannya 40
Maurice Balson, Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. Ke-2, h.143.
terhadap kenakalan remaja, alkoholisme, penyalahgunaan obat dan sebagainya adalah pencegahan. Manaster dan Corsini (1982:96) menyatakan: “setiap kenakalan dimulai dari rumah. Anak-anak hanya berbuat menyerang orang lain jika terlatih untuk bersikap menyerang orang lain jika sudah terlatih menyerang didalam keluarganya. Orang tua yang bertindak kasar atau tak ambil peduli, diluar sadarnya, telah menjadikan remaja nakal melalui metode yang salah arah. Bersikap sebagai orang tua baik adalah jalan pemecahan yang utama yang kita anjurkan untuk melawan kenakalan remaja. Dalam mengasuh remaja, orang tua membuat dua macam kesalahan khas. Salah satunya adalah menganggap masa remaja sebagai sebuah jembatan semua orang melewatinya dan perilaku buruk mereka merupakan gejala yang akan segera lenyap bila mereka telah lebih dewasa. Pendekatan yang permisif ini sama saja dengan menganggap badai sebagai angin semilir. 41 Kesalahan kedua ialah menganggap kebebasan remaja yang makin besar sebagai ancaman harus diselesaikan melalui pengendalian dan dominasi yang makin ketat. Sasaran ini sekaligus memperlihatkan bahwa mereka orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Segala bentuk penyimpangan dalam perilaku nakal seperti disebutkan diatas harus ditangani secara cepat dengan kekuasaan orang tua. Jika orang tua berusaha memaksakan anak-anak remajanya agar berbuat dengan cara tertentu, kaum remaja akan memberikan reaksi dalam dua pilihan
cara. Mereka merasa tidak didorong untuk berbuat sesuatu dengan alasan mereka tidak mampu mengatasi problem kehidupan atau sebaliknya mereka melakukan pemberontakan/tidak mau menerima saran-saran orang tuanya. Emnggunakan pendekatan yang keras mungkin akan berhasil dalam mengasuh ana-anak remaja usia pra-remaja. Ketika anak meningkat remaja, mereka menyadari kekuatan mereka untuk menentang kerja sama dengan orang tua. Unjuk kekuatan itu ditampakan dalam wujud merokok, sekolah seenaknya, memilih teman, masalah seksual dan alkohol, menonton TV dan kegiatan waktu senggang misalnya. Peningkatan usaha orang tua untuk mengendalikan remaja mereka melalui caracara yang keras hanya akan mengundang timbulnya daya menentang dan pembangkangan dari kaum remaja.42 Akhir-akhir ini, peredaran dan pengkonsumsian obat-obatan terlarang, sabu-sabu dan segala macam jenisnya, menunjukan gejala yang makin tak terkendalikan. Selain karena kemasan dan teknis pengedarannya yang luar biasa rapi, juga sangat dirasakan bahwa mekanisme control pribadi anak-anak muda kita makin tidak jelas lagi.43 Masa-masa remaja usia 12-25 tahun adalah obyek potensial perdagangan narkoba. Efek narkoba akan mempengaruhi fisik dan psikis remaja bersangkutan untuk tahun-tahun ke depannya. Kemampuan intelektual dan emosional telah 41
Ibid, h. 144-145. Ibid, h. 146. 43 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. Ke-1, h.169. 42
banyak dihabiskan oleh efek negatif narkoba sehingga membuat pemakai kesulitan bersaing dengan sesama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Kebiasaan konsumtif narkoba dapat menular pada individu lainya melalui proses pembelajaran sosial. Marshal B Clinard dari Wisconsin University dan Robert F Meier dari Washington State University mengatakan ketergantungan drug terjadi oleh proses pembelajaran antar individu satu dengan lainnya melalui pertemanan dan komunikasi antar atau dengan pecandu drug. Menurut Finestone dalam Cats, Kicks and Colour banyak individu mulai mengenal narkoba setelah diberi tahu oleh teman sesamanya atau orang yang dia kenal lainnya. Setelah menjadi pengguna maka peluang menjadi pecandu sangat besar.44 Disadari atau tidak dampak kejahatan (street crime) yang sering muncul belakangan ini merupakan dampak dari maraknya pemakaian narkoba dikalangan pemuda dan pemakai lainnya dari berbagai kalangan. Pemakaian narkoba memberi stimulus besar bagi terjadinya perilaku penyimpangan sosial. Menurut penuturan Kapolres Sorong akibat berbagai masalah yang ditimbulkan oleh para pemuda yang rata-rata dalam kondisi mabuk kemudian baru berani melakukan aksi kejahatan. Sejumlah anak muda yang masuk kategori pemabuk berat telah banyak melakukan aksi kejahatan, seperti memperkosa anak dibawah umur. Aksi mereka tidak hanya dilakukan ditempat sepi melainkan dilakukan diperumahanperumahan ramai. Umumnya mereka berani melakukan kejahatan dalam kondisi 44
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kirminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, (Jakarta: AM BOOKS, 2007), Cet. Ke-1, h. 22.
mabuk berat sebab pelaku mengakui bahwa hanya dengan cara itulah keberanian mereka muncul sehingga terhindar dari perasaan takut.45 Banyak penelitian menegaskan kaitan serupa antara pemakai narkoba dengan perilaku penyimpangan sosial (social deviance). Penelitian dilakukan Marvin Dawskin dalam Drug Use And Violent Crime Among Adolescent, hasilnya menunjukan bahwa pelaku kriminal (criminal offenders) umumnya memiliki pengalaman intensif berhubungan dengan narkoba, ia berguna meningkatkan kenekatan dalam melakukan aksi. Selain itu, ketergantungan narkoba (depedensi) yang menghinggapi pemakai non kriminal dapat melahirkan kriminal-kriminal baru yang potensial.46 Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini penyalahgunaan narkotika sebagian dilakukan oleh kaum remaja. Khusus di Indonesia keadaan ini kerap kali melanda anak-anak remaja di kota-kota besar. Jika ditelusuri secara cermat memang sulit untuk mencari korelasi timbulnya kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak remaja dengan kondisi-kondisi tertentu. Kesulitan ini sedikit dapat diatasi dengan diskripsi dari hasil penelitian secara psiciatrik, Soedjono D,S.H., menjelaskan dalam sebuah penelitian ilmiah, seorang psikiater Dr.Graham Blaine antara lain mengemukakan bahwa biasanya seorang remaja mempergunakan narkotika dengan beberapa sebab, yaitu: 45 46
Ibid., h. 34-35. Ibid., h. 17.
1).Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti ngebut, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain. 2).Untuk menunjukan tindakan menentang otoritas terhadap orang tua atau guru atau norma-norma sosial. 3).Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seks. 4).Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional. 5).Untuk mencari dan menemukan arti hidup. 6).Untuk mengisi kekosongan dan kesepian/kebosanan. 7).Untuk menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepatan hidu. 8).Untuk mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas. 9).Hanya iseng-iseng atau didorong rasa ingin tahu.47 Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan perangsang yang sejenis oleh kaum remaja erat kaitannya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi, dan akibat yang ingin dicapai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan/pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial. Secara subyektif individual,penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja sebagai salah satu kaselerasi upaya individual/subyek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam 47
Sudarsono, Kenakalan Remaja: Prevensi, Rehabilitasi Dan Resosiliasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), Cet. Ke-3, h. 66-67.
kehidupan keluarga yang hakikatnya menjadi kebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu, terutama bagi anak remaja yang sedang tmbu dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Secara obeyktif penyalahgunaan narkotika merupakan visualisasi dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat. Secara universal penyalahgunaan narkotika dan zat-zat lain yang sejenisnya merupakan perbuatan distruktif dengan efek-efek negatifnya. Menurut Sudarsono seorang yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada narkotika akan merugikan dirinya sendiri, juga merusak kehidupan masyarakat. Sebab secara sosiologis, mereka menganggu masyarakat dengan perbuatan-perbuatan kekerasan, acuh tak acuh, gangguan lalu lintas, beberapa keabnormalan lain dan kriminalitas. Bahaya penyalahgunaan narkotika sendiri. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat terutama pemakai sendiri. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, penyalahgunaan narkotika tidak hanya terbatas dikalangan orang tua dan usia dewasa. Dalam kenyataannya kaum remaja juga sudah banyak terseret dalam dunia distruktif yakni penyalahgunaan narkotika. 48 Menurut Hadiman faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba adalah: 1. Keingin tahuan yang besar tanpa sadar akibatnya. 2. Keinginan untuk mencoba karena penasaran. 3. Keinginan untuk bersenang-senang just for fun.
4. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable). 5. Keinginan untuk diterima ole lingkungannya. 6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup.49 7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-kali tidak menimbulkan ketagihan. 8. Semakin mudah untuk mendapat narkoba dimana-mana dengan harga relative murah (available). 9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak mampu menolak narkoba secara tegas.50 Ada bermacam-macam alasan mengapa remaja banyak yang terjermus dalam penggunaan narkotika. Tetapi sebagian kaum remaja tidak tahu bahwa barang yang dikonsumsi itu adalah narkotika. Menurut Drs. Sunarno, dari berbagai macam-macam alasan pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu: a.Alasan internal dalam dirinya; 1).Ingin tahu 2).Ingin dianggap hebat 3).Rasa setia kawan 4). Rasa frustasi, kecewa, dan kesal 48
Ibid, h.68. Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua Dan Aparat Dalam Penanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: BERSAMA, 2005), Cet. Ke-1, h.10 50 Ibid, h.10. 49
B. Alasan Keluarga; C. Alasan Pengaruh Orang Luar; 1).Tipu daya 2). Bujuk Rayu 3. Paksaan.51 B. Batas Usia Anak Dapat Dipidana Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana.hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang meletakkan tanggung jawab anak-anak tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini. Tanggung jawab pidana dalam hukum Islam terdiri atas dua unsur utama: a). kekuatan (berpikir) idhrak dan b). pilihan (ikhtiar). Karena itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase-fase yang dilaluinya oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya kekuatan akal (idhrak) dan pilihan (ikhtiar) yang lemah kemudian kedua-duanya sedikit demi 51
Sunarmo, Narkoba: Bahaya Dan Upaya Pencegahannya, (Semarang: Bengawan Ilmu, 2007), Cet. Ke-1, h. 48.
sedikit mulai terbentuk hingga akhirnya manusia dapat memahami batas waktu tertentu hingga akhirnya pertumbuhan akalnya menjadi sempurna.52 Atas dasar adanya tahapan-tahapan dalam bentuk idrak (kekuatan berpikir) ini, dibuatlah kaidah tanggung jawab pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada diri manusia, tanggung jawab pidana juga tidak ada. Ketika kekuatan berpikirnya lemah, yang dijatuhkan padanya bukan tanggung jawab pidana, melainkan hukuman mendidik. Ketika kekuatan berpikirnya sempurna, manusia barulah mempunyai tanggung jawab pidana. Fase-fase yang dilalui manusia dari sejak lahir sampai usia dewasa terdiri atas tiga fase (periode) berikut: 1. Fase pertama: fase tidak adanya (kemampuan berpikir) idhrak Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Ia pun disebut anak yang belum mumayiz. Pada realitasnya, tamyiz tidak terbatas pada usia tertentu karena kemampuan berpikir dapat timbul sebelum usia tujuh tahun dan kadang-kadang sesudahnya. Ini dipengaruhi oleh perbedaan orang, lingkungan, keadaan, kesehatan dan mentalnya. 53 Anak dianggap belum mumayiz jika usianya belum sampai tujuh tahun meskipun ada anak dibawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk (tamyiz) daripada anak lain seusianya. Ini 52
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi, (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II), (Penj) Ali Yafie, et all, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008), Cet. Ke-1, h.255. 53 Ibid, h.255-256.
karena hukum didasari atas kebanyakan orang, bukan atas perseorangan. Hukum pada kebanyakan orang menegaskan bahwa tamyiz belum dianggap ada pada diri seorang anak sebelum berusia tujuh tahun. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, ia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibiy (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, kisas, dan takzi apabila ia melakukan tindak pidana hudud dan tindak pidana kisas (misalnya membunuh atau melukai). Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana yang dilakukannya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan keamanan) dan juga uzuruzur syar’I tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak menghapuskan dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan. 2. Fase kedua, kemampuan berpikir lemah Fase ini dimulai sejak sianak menginjak usia tujuh tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya pada usia lima belas tahun. Apabila seorang anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.54 54
Ibid, h. 256-257.
Dalam fase ini, anak kecil yang telah mumayiz tidak bertanggung jawab secara tindak pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina, misalnya. Dia jugatidak dihukum kisas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi, yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi adalah hukuman atas tindak pidana, ia merupakan hukuman ta’dibi (untuk mendidik), bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik (ta’dibi), sianak tidak dapat dianggap sebagai residivis (pengulang kejahatan) meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Sianak juga tidak boleh dijatuhi hukuman takzir kecuali hukuman yang dianggap untuk mendidik seperti pencelaan dan pemukulan. 3. Fase ketiga: kekuatan berpikir penuh (sempurna) Fase ini dimulai sejak sianak menginjak usia kecerdasan (dewasa), yaitut kala menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fukaha, atau berusia delapan tahun, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam mazhab Maliki. Pada fase ini, seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan dikisas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuam takzi apabila melakukan tindak pidana takzir.55 55
Ibid, h. 257.
Pada galibnya hukum-hukum positif sama pendiriannya dengan syariat Islam yaitu: mengadakan perbedaan pertanggung jawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak dibawah umur.56 Pada hukum positif juga anak-anak dibawah umur dikenakan pertanggung jawaban perdata, baik dijatuhi hukuman pidana atau tidak karena tidak ada perlawanan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum mencapai usia tertentu, dengan diharuskan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Menurut KUHP Indonesia (pasal 45) apabila seorang anak dibawah umur kurang dari 16 tahun umurnya, ketika melakukan jarimah, maka hakim bisa menetapkan salah satu dari tiga hal, yaitu mengembalikan kepada orang tua atau walinya tanpa dijatuhi hukuman atau diserahkan kepada pemerintah untuk dididik tanpa dijatuhi hukuman atau dijatuhi hukuman. Hukuman yang dijatuhkan ialah hukuman pokok maksimal bagi jarimah tersebut dengan dikurangi sepertiganya. Jika jarimah tersebut diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka diganti dengan human penjara selama-lamanya 15 tahun(pasal 47).57 Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan 56
271-272.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) h.
dalam Burjelijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Pembentuk undang-undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak dibawah umur sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. Namun lain halnya menurut Hukum Islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas perhitungan usia tetapi dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik pria maupun wanita.58 Bab III Buku KUHP mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal-hal yang memperingankan (mengurangkan) pidana dimuat dalam pasal 45, 46, dan 47. akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak (diundangkan tanggal 3 Januari 1997 dan berlaku sejak tanggal 3 Januari 1998), ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi (pasal 67). Kini penting hanya dari segi sejarah hukum pidana, khususnya pidana anak. 59 Menurut pasal 45 ialah hal yang memperingankan pidana ialah sebab si pembuat adalah seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Inilah satu-satunya dasar yang memperingan pidana umum yang ditentukan dalam Bab III Buku I. 57 58
h.25-26.
Ibid, h.272. Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. Ke-1,
Kini setelah pasal 45, 46,dan 47 tidak berlaku lagi, kedudukan sebagai dasar peringan pidana yang bersifat umum, digantikan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997. Menurut UU No.3 Tahun 1997 dasar peringan pidana umum ialah sebab pembuatnya anak (disebut anak nakal) yang umurnya telah 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dan belum berumur 8 (delapan) tahun tidak dapat diajukan ke Pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan (pasal 5), dan dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, ialah: a.Jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, walinya, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak itu kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya; b.Jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997, terdapat 2 (dua) unsur kumulatif yang menjadi syaratnya, ialah pertama mengenai: umurnya (telah 8 tahun tapi belum 18 tahun) dan yang kedua mengenai: belum pernah menikah. Dalam system hukum kita, selain umur juga perkawinan adalah sebab kedewasaan seseorang. 59
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2: Penafsiran hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan Perbarengan & Ajaran
Sama dengan KUHP, UU No.3 Tahun 1997 ini juga terhadap anak. (KUHP: belum berumur 16 tahun, UU ini telah berumur 8 tahun tapi belum 18 tahun dan belum pernah kawin) yang terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua kemungkinan, ialah menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan (pasal 21).60 Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam suatu peraturan undang-undang tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas dilapangan, agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah sidik, salah tuntut maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi seseorang. Bagaimana menentukan seseorang itu termasuk anak? Dalam menangani perkara anak, petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran sianak, seperti akta kelahiran. Kalau anaktidak mempunyai akta tersebut, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya surat tanda tamat belajar, kartu pelajar, surat keterangan kelahiran. Hal yang demikian diperlukan biasanya terjadi apabila seoranganak badannya bongsor (besar), sehingga secara kasad mata agak meragukan umurnya, pakah benar yang bersangkutan belum mencapai umur 18 tahun.61
Kausalitas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h.97 60 Ibid, h.100 61 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007), Cet. Ke-3, h.19.
Juvenile delinquency ditentukan atas dasar umur para pelaku dan atas dasar macam tingkah laku para pelaku untuk diajukan ke pengadilan anak. Kebanyakan Negara mempunyai batas umur minimum dan batas umur maksimum seorang anak untuk dapat diajukan kemuka pengadilan.62 Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan ke sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Batas umur anak nakal minimum adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak adalah umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.63 Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang ditentukan berdasarkan pembedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah berusia diatas 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Anak yang belum berumur 8 tahun (tidak memenuhi batas usia minimum) tetapi melakukan suatu tindak pidana tertentu, maka ada 2 (dua) alternatif tindakan yang dapat diberikan kepada anak tersebut. Pertama, diserahkan kepada 62
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), Cet. Ke-1, h. 10. 63 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-2, h.105-106.
orangtua, wali atau orangtua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina; kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orangtua, wali atau orangtua orangtua asuhnya.64 Ketentuan ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara anak nakal saja, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan dengan umur dibatasi secara minimal dan maksimal, dengan kekecualian anak belum pernah kawin. 65 Batasan usia sangat penting dalam pembentukkan Undang-undang seperti perkara pidana. Masalah batasan usia menjadi salah satu tolak ukur pertanggung jawaban pidana. Batasan usia menjadi penentu atas pelaku dan tingkah lakunya untuk dapat diajukan kepengadilan. Dengan adanya batasan usia di Undang-undang membantu untuk membedakan sanksi bagi anak-anak dan orang dewasa. Sehingga anak yang melakukan tindak pidana berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak dan masa depannya nanti. Dalam system hukum positif di Indonesia yang menjadi batasan usia seseorang dikatakan dewasa, selain usia adalah perkawinan, baik orang itu sudah berumur 18 tahun atau dibawah umur 18 tahun sudah melangsungkan pernikahan.
64 65
Wagiati Soetodjo,. Hukum Pidana Anak, h. 27. Gatot Supramono,. Hukum Pidana Anak, h. 19.
BAB III PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A. Penyalahgunaan Narkotika Dalam Hukum Islam Narkotika tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, walaupun demikian ia termasuk kategori khamr, bahkan narkotika lebih berbahaya dibanding dengan khamr. Istilah narkotika dalam konteks Islam, tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an hanya menyebutkan istilah khamr. Tetapi karena dalam teori ilmu ushul fiqh, bila sesuatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum). Minuman khamr menurut bahasa Al-Qur’an adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.66 Minum khamr ialah segala sesuatu yang memabukkan, baik dinamakan khamr atau bukan, baik dari anggur atau lainnya, baik yang membuat mabuk itu sedikit atau banyak.67 Dengan demikian, kata khamr itu berarti dari setiap sari buah anggur, jelai, kurma, madu, ataupun yang lainnya yang dapat membuat seseorang mabuk 66
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-1, h. 78. M.Ichsan & M.Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum UM, 2008), Cet. Ke-1, h. 143. 67
setelah meminumnya. Kata khamr boleh jadi meliputi pula setiap cairan ataupun barang yang memiliki akibat yang sama.68 Secara garis besar khamr adalah cairan yang dihasilkan dari peragian bijibijian atau buah-buahan dan megubah sari patinya menjadi alkohol dengan menggunakan kata lisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisahkan unsur-unsur tertentu yang berubah melalui proses peragian.69 Para fuqaha berbeda pendapat mengenai definisi meminum-minuman keras. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, meminum-minuman yang memabukkan hukumnya sama, baik dinamakan khamr (minuman keras) maupun bukan berasal dari perasan anggur maupun jenis bahan lainnya, misalnya kurma, kismis, gandum, jewawut, atau beras, memabukkan dalam kadar sedikit maupun banyak. Dalil Imam Abu Hanifah adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah menunjuk pohon kurma dan anggur lalu berkata “ khamr berasal dari dua pohon ini”. “ diharamkannya khamr karena bendanya dan setiap minuman yang memabukkan”.70 Dengan demikian Imam Abu Hanifah membedakan antara minuman keras dan minuman yang memabukkan. Menurutnya meminum khamr (minuman keras) itu haram, baik sedikit maupun banyak. Minuman selain khamr yang terbuat dari 68
A. Rahman I doi, Hudud dan Kewarisan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) Cet. Ke-1, h. 84. 69 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 9, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), Cet. Ke-1, h.46.
materi lainnya disebut sebagai minuman yang memabukkan (muskir). Orang yang mabuk karena minuman tersebut tidak dihukum karena meminumnya seperti halnya minuman keras, tetapi karena mabuknya. Menurutnya mabuk disini bukan haram karena mabuknya,
melainkan karena kadar paling akhir
yang
mengakibatkannya mabuk. Jadi, jika seseorang meminum tiga gelas minuman dan tidak mabuk lalu minum gelas keempat dan mabuk, yang haram adalah gelas keempat tersebut.71 Ada beberapa nama yang diberikan untuk jenis minuman keras (khamr): 1. khamr, perasan anggur yang telah menjadi minuman keras. 2. sakar, rendaman kurma matang yang belum dimasak. 3. bata’, rendaman madu. 4. ji’ah, rendaman sya’ir. 5. mazar, yang dibuat dari jagung. 6. fadlieh, yang dibuat dari perasan putik kurma tanpa dimasak. 7. chiltin, yang dibuat dari campuran putik kurma dan kurma matang. 72 Dalam pandangan ulama yang berbeda ini hal yang dapat dipastikan adalah mengkonsumsi segala sesuatu, baik dalam bentuk cairan atau benda padat, yang mengandung unsur tertentu yang dalam kadar tertentu dapat merusak fungsi akal, hukumnya adalah haram, apakah menurut kenyataannya sampai mabuk atau 70
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi, (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid V), (penj) Ali Yafie, et all, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008), Cet. Ke-1, h. 61-62. 71 Ibid, h.63.
tidak, dalam kadar sedikit atau banyak. Termasuk dalam kategori ini minuman beralkohol, narkotika dan yang sejenisnya yang disebut psikotropika atau dalam sebutan narkoba. Pada zaman klasik, cara mengkonsumsi benda yang memabukkan diolah oleh manusia dalam bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut dengan peminum. Pada era modern, benda yang memabukkan dapat dikemas menjadi aneka ragam kemasan berupa benda padat, cair dan gas yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul, atau serbuk, sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai. 73 Akal adalah salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Dalam rangka pemeliharaan terhadap akal itu, maka segala tindakan yang dapat merusaknya adalah dilarang.74 Islam melarang khamr (minuman keras), karena khamr dianggap sebagai induk keburukan (ummul khabaits), disamping merusak akal, jiwa, kesehatan, dan harta.dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat menusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya. Prinsip tentang larangan khamr ini dipegang teguh oleh negara-negara Islam sampai akhir abad ke-18. Akan tetapi pada awal abad kedua puluh, negaranegara Islam mulai berorentasi ke Barat dengan menerapkan hukum positif dan 72
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum 9, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-3, h. 391. 73 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, h. 78. 74 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003)Cet. Ke-2,h.289.
meninggalkan hukum Islam. Maka jadilah khamr (minuman keras) pada prinsipnya tidak dilarang dan orang yang meminumnya tidak diancam hukuman, kecuali ia mabuk di muka umum.75 Sementara negara-negara Islam tenggelam dalam pengaruh Barat karena menjadi jajahan negara-negara Barat, negara-negara non-Islam sendiri mulai aktif menggiatkan kampanye anti minuman keras, karena mereka sudah menyadari bahaya dari minuman keras ini, baik terhadap kesehatan maupun ketertiban masyarakat.76 Hal-hal yang mendorong mengkampanyekan anti minuman keras adalah bukti ilmiah yang memastikan bahwa meminum minuman keras dapat membahayakan kesehatan. Minuman keras bahkan dapat melemahkan raga dan akal, menyebabkan gila dan kemandulan. Jika bukan mandul, dampak yang muncul paling tidak berkurangnya kesuburan dan menurunnya kualitas keturunan dari fisik dan akal. Minuman keras juga terbukti menyebabkan turunnya produktivitas seseorang. Temuan ilmu pengetahuan modern ini sungguh menguatkan teori hukum Islam.77 Dalam pandangan Islam keharaman tersebut terletak pada tindakan mengkonsumsi sesuatu yang dinyatakan haram, meskipun dalam kenyataan belum memabukkan dan belum mendatangkan dampak negative apa-apa, karena 75
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. Ke-
76
Ibid, h. 71. Abdul Qadir Audah , Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,V, h. 60.
1, h. 71. 77
pandangan Islam dalam hal ini bersifat preventif dan antisipatif. Sedangkan dalam pandangan Barat minuman keras itu baru dilarang bila telah nyata mengancam ketentraman umum. Larangan meminum khamr tidak diturunkan sekaligus tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Hal ini disebabkan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras dikalangan bangsa Arab sudah merajalela. Nas yang pertama turun adalah dalam surat An-Nisa ayat 43 Allah berfirman:
#$%#&'() %34567
!"
/0 !/12
*+,-.
;)< !" 1☺#&:!" Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan… Dalam ayat ini, Allah SWT melarang kaum muslimin melaksanakan salat dalam keadaan mabuk. Karena salat adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan, berarti kaum muslim diwajibkan untuk tidak mengkonsumsi minuman keras dengan kuantitas seperti biasa agar dapat melaksanakan salat lima waktu tidak dalam kondisi mabuk. 78 Larangan ini mungkin yang mendorong kaum muslim waktu itu untuk bertanya-tanya tentang hukum minuman keras itu sendiri. Setelah itu, turunlah nas kedua menjawab segala pertanyaan yang mengganjal di hati mereka dan menerangkan illat (sebab) pelarangan tersebut. Dalam surat al-Baqarah ayat 219 Allah SWT berfirman:
CD☺6E)
AB
6= -:& >*?$@
6☺FMNO KL: FGHIJ6☺) 78
Ibid, h. 73.
1TU $
RGF=S
⌦Q+F
G )YS. 6☺1M1☺+F WWX&) 6☺FM:U- Z Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah,’Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. 79 Maksudnya kaum mukminin bertanya kepadamu wahai Rasul tentang hukum khamr dan judi, dimana pada zaman jahiliyah kedua hal tersebut sering dilakukan dan juga pada awal-awal Islam. Seolah-olah terjadi kesulitan memahami kedua perkara tersebut. karena itu, mereka bertanya kepadamu tentang hukum-hukumnya. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menjelaskan manfaat-manfaatnya dan kemudaratannya kepada mereka agar hal tersebut menjadi pendahuluan untuk pengharamannya dan wajib meninggalkan kedua perbuatan tersebut secara total. Allah mengabarkan bahwa dosa dan mudharat keduanya serta apa yang diakibatkan oleh keduanya seperti hilang ingatan, harta dan menghalangi dari berdzikir kepada Allah, dari salat, (menimbulkan) permusuhan dan saling benci, adalah lebih besar didapatkan harta dengan berjual beli khamr atau memperolehnya dengan cara berjudi atau kebahagiaan hati saat melakukanya. 80 79
Ibid, h.73. Syaikh Abdurahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, (Tafsir As-Sa’di), (penj: Muhammad Iqbal…et al), (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2006), Cet. Ke-1, h.350. 80
Dan penjelasan ini merupakan pencegahan dari kedua perbuatan tersebut, karena seorang yang berakal akan lebih memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih besar, dan ia akan menjauhi suatu yang mudharatnya lebih besar. Akan tetapi, ketika mereka sudah terbiasa dengan kedua perkara tersebut dan sulit untuk meninggalkannya secara total pada awal-awalnya, maka Allah memulai hal tersebut dengan ayat ini sebagai pendahuluan menuju kepada pengharaman secara mutlak yang disebuutkan dalam firman-Nya,81 surat Al-Maidah ayat 90-91:
D☺!\
6☺-F
]^_(-,`
[
GHIN6☺)
gL6☺ DZf 3bDce Q !)a,` #=k lDc!O Anog
AZ !]hij)
;1!F&U:"
KQ/m&6:!)
;. 1Z !]hij) 1C 6☺-F #$p66:) Q/XJ 6T Cr!\ Z
qF
n* =)
KQsIt(
FGHIJ6☺)
$%#&'() AZ > Csu Anyg ;w ☺Xx 5v-. KL6M!O Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,(berkurban untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi 81
Ibid, h.350.
kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah kamu berhenti?”. Dalam hal melarang minuman keras, hukum Islam tidak bersahabat dengan kondisi masyarakat pada saat itu atau dengan kata lain tidak merespon keinginan mereka. Pada saat itu, ide pelarangan minuman sangat jauh dari akal manusia. Masyarakat pada waktu itu tidak siap menerima pelarangan ini. Meski demikian, hukum Islam melarang minuman keras karena itu merupakan keharusan yang harus dipenuhi hukum Islam yang sempurna dan abadi demi kesempurnaan hukumnya. Hukum pelarangan minuman keras ini mengangkat tingkat kedudukan masyarakat dan mengarahkannya kepada keluhuran dan kesempurnaan. Jika dunia non-Islam pada masa kini telah memikirkan pelarangan minuman keras ketika jiwa manusia telah siap menerima pelarangan ini, itu berarti hukum Islam dengan ketetapan pelarangan minuman keras telah menyeru manusia untuk mendahului zaman mereka lebih dari empat belas abad ke depan.82 Rasulullah tidak menganggap sudah cukup dengan mengharamkan minum arak, sedikit ataupun banyak, bahkan memperdagangkan pun tetap diharamkan, sekalipun dengan orang di luar Islam. Oleh karena itu tidak halal hukumnya seorang Islam mengimport arak, atau memproduser arak, atau membuka warung arak, atau bekerja di tempat penjualan arak. Ada dua unsur tindak pidana meminum minuman keras, yaitu meminum dan berniat melawan hukum.
1.Unsur pertama, meminum Para fuqaha sepakat bahwa untuk memenuhi unsur meminum tidak harus memabukkan. Hukum haram diberlakukan bukan karena mabuk, melainkan karena minumannya. Seseorang tidak dijatuhi hukuman apa pun dengan meminum-minuman yang sama sekali tidak memabukkan walaupun ia meminumnya dengan niat untuk mabuk meskipun ia telah berbuat dosa kepada Tuhannya. Untuk memenuhi unsur meminum, minuman tersebut disyaratkan harus diminum.83 2.Unsur kedua, berniat melawan hukum Seseorang dianggap berniat melawan hukum jika ia meminum minuman keras (khamr) atau minuman yang memabukkan.84 B. Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Positif Pengertian penyalahgunaan obat (drug abuse) diartikan mempergunakan obat-obatan terlarang yang tidak untuk tujuan pengobatan. Akibat dari drug abuse tentu saja akan menimbulkan efek yang berbahaya bai pemakai. Penggunaan tersebut bersifat berlebih-lebihan, terus menerus atau kadang-kadang dari suatu obat yang tidak sesuai atau tidak ada hubungannya dengan pengobatan.85 Obat-obatan untuk tujuan medis secara illegal diresepkan oleh dokter atau apoteker terdidik, guna mencegah dan mengobati penyakit. Akan tetapi, 82
Ibid, I, h.73-74. Ibid, V, h.64-65. 84 Ibid, h.66-67. 83
pemakaian obat tanpa petunjuk medis merupakan penyalahgunaan. Biasanya penyalahgunaan memiliki akibat yang serius dan dalam beberapa kasus biasanya dapat menjadi fatal.86 Menurut Undang-Undang Narkotika No.22 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 14, pengertian penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sedangkan Narkotika menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dalam pasal 1 ayat 1, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis atau semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan
perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi
sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan.87 Berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1997, jenis narkotika dibagi menjadi 3 kelompok yaitu golongan I, golongan ini termasuk narkotik yang paling berbahaya karena daya adiktifnya sangat tinggi, golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian dan ilmu 85
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-1, h.18. 86 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua Dan Aparat Dalam Penanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: BERSAMA, 2005), Cet. Ke-1, h.5. 87 Undang-Undang Narkotika UU RI No.22 Tahun 1997 Dan Undang-undang Psikotropika UU RI No.5 Tahun 1997, (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), Cet. Ke-1, h.3.
pengetahuan. Yang termasuk narkotika golongan I adalah ganja, heroin, kokain, putaw, dan opium. Narkotika golongan II, golongan ini termasuk narkotika yang memiliki daya adiktif sangat tinggi tetapi sangat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Yang termasuk narkotika golongan II yaitu betametodal, benzetidin, dan pestidin.88 Narkotika golongan III, golongan ini memiliki daya aktif yang ringan tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian serta untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Yang termasuk narklotika golongan III yaitu asetihidrotema dan dihidrokodemia. Ada juga yang membagi narkotika menjadi dua golongan, yaitu pertama adalah bahan-bahan yang berasal dari tanaman, atau hasil pemprosesan daripadanya; opiate (opium, morfin, heroin), kokain dan cannabis (ganja). Kedua, zat-zat hasil kimiawi sintetis yang berupa “psychotropic substance” (depressants, stimulants, hallucinogens).89 Ada 4 jenis narkotika yang beredar di Negara Indonesia yaitu ganja, opium, putaw, dan kokain. Euphoria adalah keadaan senang sekali yang ditimbulkan oleh pengaruh narkotika, mengikuti hilangnya rasa nyeri. Akan tetapi ada efek sampingnya, yaitu menimbulkan ketagihan. Orang ketagihan yang tidak menggunakan 88
Sunarmo, Narkoba Dan Upaya Pencegahannya, (Semarang: Bengawan Ilmu, 2007), Cet. Ke-1, h. 11.
narkotika pada saat pengaruhnya hilang akan menimbulkan “gejala bebas pengaruh” (withdrawal syndrome), seperti misalnya murung, gampang marah, gelisah, koma, adakalanya terus meninggal. Penggunaan Narkotika mudah ketagihan, karena dalam keadaan kurang menentu dan depresi ia ingin mengalami euphoria lagi. Tanpa pengawasan dokter, penggunaannya tanpa aturan dan lama-lama akan menjadi toleran, yaitu dosis yang sama tidak mendatangkan efek yang ia harapkan. Akibatnya ia akan terus menaikan dosis obat setiap ia ingin mencapai pengaruh yang sama, dan satu saat ia akan mengalami kelebihan dosis (overdose) yang bisa mengakibatkan kematian. Itulah yang paling buruk dari ketagihan.90 Disamping itu biasanya orang yang ketagihan suka mengabaikan makanan dan kurang memperhatikan kesehatan, karena terlalu disibukkan dengan mempersiapkan obat dan kegiatan “mengobati” dirinya. Akhirnya ia mengalami malnutrisi dan terkena bermacam-macam penyakit infeksi, seperti bases, keracunan darah, hepatitis, bahkan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) atau penurunan kekebalan tubuh. Penggunaan obat yang benar, dalam pengawasan dokter adalah dengan menelannya atau menyuntikannya pada otot (intramuscular). Sedangkan pada penyalahgunaan obat, bahan itu juga dihirup, dirokok, atau untuk mencapai efek yang lebih cepat, disuntikan dibawah kulit (subcutaneous) atau kedalam urat nadi 89
Ibid, h.11-12
(intravenous). Terutama yang menggunakan suntikan inilah yang sering mendapat penyakit infeksi. Orang-orang yang ketagihan itu biasanya tidak memperhatikan kebersihan. Mereka saling meminjam alat suntik tanpa disterilkan lebih dulu. Sembarang air, yang tidak terjamin kebersihannya bukan halangan untuk digunakan mencairkan obat.91 Permasalahan penyalahgunaan narkotika atau biasa disebut “Madat” mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari aspek medik, psikiatrik, ekonomi, politik sosial, budaya, bahkan hankam. Penyalahgunaan narkotika merupakan penyakit kronik yang berulang kali kambuh sehingga menjadi penyakit endemic dimasyarakat dengan korban pada umumnya generasi muda. Dalam perspektif kriminologi pola kejahatan penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kejahatan khas yang dapat mendorong timbulnya aneka pola kejahatan lain, seperti: pencurian, penipuan dan berbagai perilaku kriminalitas lainnya yang dilakukan oleh pecandu narkotika. Aspek psikoreligius pada korban penyalahgunaan narkotika merupakan factor yang menarik bagi peneliti. Penelitian Larson dkk pada tahun 1990 menemukan bahwa remaja yang komitmen agamanya kurang/lemah mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk menggunakan zat (narkotika) dibandingkan dengan remaja yang komitmen agamanya kuat. Demikian juga hasil penelitian Hawari dan
Juwana 90
menemukan
bahwa
ketaatan
beribadah
pada
kelompok
Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika, (Jakarta: Karya Unipress, 1994), Cet. Ke-1, h. 5.
penyalahgunaan zat, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok bukan penyalahgunaan zat.92 Seorang pengguna obat tidak dapat hidup secara normal. Ia bertingkah laku aneh dan menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis pada tingkat yang berbeda-beda. Ketergantungan obat atau kecanduan berarti kita tidak dapat hidup tanpa obat. Hal ini dikarenakan ketergantungan fisik menyebabkan timbulnya rasa sakit bila ada usaha untuk mengurangi pemakaiannya bila pemakaaiannya dihentikan. Ketergantungan secara psikologis menimbulkan tingkah laku yang kompulsif untuk memperoleh obat-obatan tersebut. Keadaan ini semakin memburuk manakala tubuh sang pemakai menjadi kebal akan narkoba, sehingga kebutuhan tubuh akan narkoba menjadi meningkat untuk dapat sampai pada efek yang sama tingginya. Dosis yang tinggi dan pemakaian yang sering diperlukan untuk menenangkan keinginan yang besar. Dan hal ini, dapat menyebabkan kematian. Narkoba yang paling membahayakan banyak disalahgunakan adalah heroin, cannabis/ganja, ectasy/ice dan amphetamine. Pemakaian narkoba dengan cara menghirup/ngetem (sniffing), terutama inhalen. Juga menjadi masalah yang sangat membahayakan.93 91
Ibid, h.6. Medika Islamika: Jurnal Kedokteran, Kesehatan dan KeIslaman, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, (Jakarta: UIN Press, 2007), Cet. Ke-1, h.52-53. 93 Hadiman,. Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua,, h.5-6. 92
Menurut Undang-Undang Nakotika No.22 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 13, Ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan. Penyalahgunaan inhalen adalah penyalahgunaan benda-benda dengan cara menghirup uap air dari lem, tiner cat, dan zat yang sejenisnya. 94 Candu dalam kenyataannya adalah medis, sedang perdagangan/lalu lintas (trafficking) dalam narkotika adalah akan menjadi masalah polisi. 95 Pecandu
yang
sesungguhnya
biasanya
adalah orang-orang
yang
mempunyai gangguan emosi yang mendalam atau hidup dalam kondisi putus asa (frustasi) dan sebagai pelariannya dipakai obat bius sebagai cara untuk menghibur dirinya (euphoria-feeling of health and well being). Banyak pelanggaran-pelanggaran, pelacuran dan kajahatan memakai obat dan alcohol untuk membangun semangat dan membuat mereka makin lupa terhadap kondisinya yang destruktif, yang mana mereka dipaksakan untuk hidup.96 A.Jenis Narkotika (1).Opiod atau opiate 94
Ibid., h.9. Harry Elmer Barnes dan Negley K.Teeters, New Horizons In Criminology (Pathologi Social),(penj), Soedjono D, (Bandung: Alumni, 1970), Cet. Ke-1, h.26. 96 Ibid., h.28. 95
berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, paparevera sommiverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama opiod juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu prepaat atau derivate dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiate tetapi tidak didapatkan dari opium. Opiate alami lain atau opiate yang disintesis dari opiate alami adalah heroin (diacet, kulporphine), kodein (3-methoxymorphine) dan hydromorphone (dilaudid). Bahan-bahan opioda yang sering disalahgunakan adalah: a).Candu/Opium getah
tanaman
papaver
somniferum
didapat
dengan
menyadap
(manggroes) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai “Lates”. Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar
mengandung bermacam-macam zat-zat
aktif yang sering
disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Pemakaiannya dengan cara dihisap. 97 Akibat penggunaan opium antara lain: (1).Rasa mual sehingga ingin muntah. (2).pupil mata mengecil.
(3).sering menguap karena perasaan ngantuk. (4).napas terasa berat dan melemah. (5).dapat timbul berbagai penyakit kulit (bintik-bintik dan berwarna merah, kudis dan lainnya). b).Morfin Hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan alkaloida utama dari opium (CI7H19N03). Rasanya pahit dan berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikan. Memakai pengobatan dengan morfin cukup banyak menimbulkan resiko. Pasien yang mendapat suntikan morfin sebagai terapi dapat mengalami perasaan tak enak, cemas, gelisah, mual, gatal, susah kencing dan depresi pernafasan. Bila terjadi keracunan dalam dosis tinggi, maka pasien akan mengalami koma (pingsan dalam waktu lama) yang ditandai dengan pernapasan lambat, tidak teratur, pupil mata menyempit serta tekanan darah dan frekuensi detak nadi menurun98. c).Heroin Salah satu turunan dari bungan popi.apabila disuntikan heroin akan memberi efek yang lebih cepat dan lebih kuat. Heroin murni dalam dosis sedang memberikan efek rileksasi dan teller. Jika digunakan terus menerus, dosisnya harus selalu dinaikan, agar mendapat efek yang sama. Diperlukan penambahan 97
Sunarmo,. Narkoba: Bahaya Dan Upaya., h.9-10.
dosis secara terus menerus, karena tubuh telah membangun toleransi terhadap heroin. Heroin merupakan jenis opiate yang paling sering disalahgunakan orang Indonesia pada akhir-akhir ini. Heroin secara farmakologis mirip dengan morfin.99 d).Codein Termasuk garam/turunan dari opium/candu. Efek codein lebih lemah daripada
heroin
dan
potensinya
untuk
menimbulkan
ketergantungan
rendah.biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikan. e).Demerol Nama lainnya adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan disuntikan.dijual dalam bentuk pil atau cairan tidak berwarna. f).Methadon Banyak
digunakan
orang
opiod.antagonis opioid telah dibuat
dalam untuk
pengobatan
ketergantungan
mengobati over dosis dan
ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (dolphine), pentazocine (talwin), dan propocyphene (darvon), naltrxone (trecan), nalarphine, levalorphane dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis 98
M.Arief Hakim, Bahaya Narkoba, Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan, (Bandung: Anggota IKAPI, 2004), Cet. Ke-1, h.38. 99 David J Cooke, Dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1, h.47.
telah disintesis dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butarphanol (stadol) dan bubprenorphine (buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid.100 Efek yang ditimbulkan Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatits dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan seks, kebingungan dalam identidas seksual, kematian karena over dosis. (2).Kokain Zat adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar erytoxylon coca, yang berasal dari Amerika serikat, dimana daun dari tanaman belukar
ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat
untuk
mendapatkan efek stimulant. Efek yang ditimbulkan antara lain: Menyebabkan elasi, euphoria, peningkatan harga diridan perasaan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif. Gejala intoksikasi okain dapat terjadi seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam pertimbangan perilaku 100
Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua Dan Aparat Dalam Penanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: BERSAMA, 2005), Cet. Ke-1, h.87-
seksual yang impulsive dan kemungkinan berbahaya agresi peningkatan aktivitas psikomotor Takikardia Hipertensi Midriasis.101 (3).Ganja (Kanabis) Nama sejenis singkat untuk tanaman Cannabis sativa. Semua bagian dari tanaman mengandung kanabioid psikoaktif. Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil-kecil dan digulung menjadi rokok disebut joints. Bentuk paling poten berasal dari tanaman berbunga atau dari eksudi resin yang dikeringkan dan berwarna coklat hitam yang berasal dari dauun yang disebut hashish atau hash.102 Ganja merupakan jenis narkotika yang berasal dari tanaman perdu dengan menyerupai daun singkong. Cara menggunakannya ada tiga cara yaitu dengan cara dihisap, dicampur dengan tembakau dan dimakan. Efek ganja bervariasi, tergantung pada jumlah yang dipakai, keadaan hati, dan harapan sipemakai. Efeknya muncul setelah bebrapa menit dan bisa berlangsung sampai beberapa jam. Penelitian ilmiah tentang efek psikis dan sisi buruk penggunaan ganja tidak menghasilkan bukti yang kuat. Tidak ada bahaya over dosis dan tidak ada gejala sakaw (putus pakai). Ganja mungkin menyebabkan masalah pernapasan, seperti bronchitis dan kanker paru-paru, tetapi penyakit itu bukan karena
90. 101 102
Ibid, h. 90-92. Ibid, h.93.
kandungan ganja itu sendiri, melainkan karena tembakau yang dicampurkan didalamnya.103 Akibat penggunaan ganja yang berlebihan antara lain: a).denyut nadi bertambah cepat dan tidak teratur. b).ada rasa takut berlebihan tanpa ada sebab. c).stress dan putus asa. d).melemahnya daya pikir. e).merusaknya organ-organ tubuh (jantung, paru-paru, hati dan ginjal). f).merusak pusat susunan syaraf yang dapat berakibat kegilaan.104 (4).Obat Penenang (Benzodiazepin) Termasuk didalam jenis ini adalah valium, Librium, mogadon dan ativan, yang sering diresepkan oleh dokter untuk mengatasi kegelisahan, sulit tidur atau gangguan emosi ringan lainnya. Obat-obat ini hanya bisa diperoleh dengan resep dokter, dan bukan pelanggaran untuk memiliki atau memberikan kepada orang lain. 5.Barbiturat Mempunyai efek yang mirip dengan obat penenang, yaitu memberikan rasa tenang dan mengantuk. Dari kelompok ini tuimal dan Nembutal adalah obat yang umum disalahgunakan karena menghasilkan rasa’mabuk gembira”. Barbiturate mengakibatkan rasa kantuk yang hebat, sehingga pemakai lebih 103 104
Sunarmo,. Narkoba: Bahaya Dan Upaya Pencegahan., h.15-16.. Ibid., h. 16
cenderung mengalami kecelakaan. Zat ini juga membuat pemakai menjadi emosional dan bingung. Pengguna jangka panjang muda terserang bronchitis dan hypothermia. Barbiturate bisa diminum atau disuntikan.105 Sebutan Narkotika sudah tidak asing didengar ditelinga. Tetapi tidak semua orang mengenal jenis, akibat dari pemakaiannya, dan Undang-undangnya. Penggunanya dari berbagai kalangan, dari anak-anak sampai orang dewasa, dari orang kaya sampai orang miskin. Narkotika sangat beraneka ragam baik dari jenis, cara pemakaian, dan akibatnya.
Narkotika sekarang
ini tidak
hanya
berbentuk
obat/kapsul,
serbuk/bubuk tetapi sudah ada yang seperti cokelat dan permen dengan bermacam-macam rasa. Penyelundupan, pengemasan dan pengedarannya dibuat sangat rapi agar para aparat sulit untuk mengetahuinya.
BAB IV PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG SANKSI ANAK YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA
A.
Sanksi Anak Yang Menyalahgunakan Narkotika Dalam Hukum Islam 105
David J Cooke, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, h.49-52.
Narkotika tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, walaupun demikian ia termasuk kategori khamr, bahkan narkotika lebih berbahaya dibanding dengan khamr. Istilah narkotika dalam konteks Islam, tidak disebutkan secara langsuang dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Dalam Al-Qur’an hanya menyebutkan istilah khamr. Tetapi karena dalam teori ilmu ushul fiqh, bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum). Untuk itu bila memang belum diketemukan status hukum dari narkotika dalam syariat Islam, maka para ulama (mujtahid) biasanya menyelesaikan dengan jalan ijtihad mereka, melalui metodologi hukum Islam dengan jalan pendekatan qiyas sebagai solusi istinbat hukum yang belum jelas hukumnya dalam syariat Islam. Berikut ini dipaparkan metode penyelesaian ketentuan hukum narkotika dengan pendekatan qiyas:106 a.Al-Ashl, adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya dalam nash (Al-Qur’an), sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90. b.Al-Far’u (cabang) adalah narkotika, karena tidak ada hukumnya dalam nash tetapi ada maksud menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Narkotika dalam hal ini disebut al-musyabbah (yang diserupakan) 106
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh), (Penj) Noer Iskandar Al-Barsany, (Jakarta: Rajawali, 1989), Cet. Ke-1, h. 90.
c.Hukum ashl adalah khamr hukumnya haram, sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah (Q.S.Al-Maidah ayat 90) dengan itu menjadi tolak ukur ketetapan hukum bagi cabang (al-far’u). d.Al-Illat, karena dampak negative dari pada khamr dapat memabukkan menghilangkan akal pikiran dan melupakan kepada Allah SWT. Sedangkan Narkotika adalah far’u karena tidak terdapat nash mengenai hukumnya dan narkotika telah menyamai khamr dalam kedudukannya adalah memabukkan.107 Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali dera bagi pelaku tindak minuman keras (khamr). Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi atau menggantinya dengan hukuman yang lain.108 Imam Syafi’I berpendapat bahwa hukuman hudud terhadap pelaku tindak pidana meminum minuman keras adalah empat puluh kali dera. Pendapatnya tersebut menyalahi ulama mazhab yang lain. Imam Syafi’I beralasan karena tidak ada dalil yang bersumber dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah mencambuk para peminum minuman keras lebih dari empat puluh kali. Menurut Imam Syafi’I, sisa empat puluh dera yang lain bukan termasuk hukuman hudud, melainkan hukuman ta’zir.109 107
Ibid, h.90. Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi, (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III), (penj) Ali Yafie, et all, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008), Cet. Ke-1, h. 54. 109 Ibid, h.54. 108
Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, orang yang meminum minuman keras harus didera sebanyak delapan puluh kali. Imam Syaf’i berpendapat-pendapatnya ini juga didapati dalam riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal bahwa hukuman hudud atas tindak pidana ini adalah empat puluh kali dera. Akan tetapi, tidak ada halangan bagi penguasa (imam) untuk mendera pelaku sampai delapan puluh kali jika ia memiliki kebijakan seperti itu. Jadi, hukuman hudud atas peminum minuman keras hanyalah empat puluh deraan dan selebihnya, yaitu empat puluh deraan lainnya, adalah hukuman ta’zir. Menurut Imam Abu Hanifah, hukuman hudud karena mabuk dan karena meminum minuman keras adalah sama. Perbedaan pendapat dikalangan fukaha dalam menentukan kadar hukuman hudud disebabkan tidak adanya ketentuan dalam Al-Qur’an tentang hukuman tersebut. Selain itu, riwayat yang ada tidak menyebutkan dengan pasti adanya ijma para sahabat tentang hukuman hudud atas pelaku tindak pidana meminum minuman keras.110 Adapun pelarangan meminum minuman keras itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an. Menurut pendapat yang kuat, penentuan delapan puluh kali dera baru ditetapkan pada masa khalifah Umar bin Khatab ra ketika ia bermusyawarah dengan para sahabat mengenai hukuman meminum khamr tersebut. Ali bin Abi Thalib ra menyarankan agar hukumannya berupa dera delapan puluh kali dera
dengan alasan apabila seseorang minum ia akan mabuk, jika ia mabuk ia akan mengigau, jika ia mengigau, ia akan memfitnah (qadzaf) sedangkan hukuman bagi pelaku qadzaf adalah delapan puluh kali dera. Pendapat ini disetujui oleh para sahabat yang lain. Jadi, sumber larangan minuman keras adalah Al-Qur’an, hukumannya bersumber dari hadist dan berasal dari ijma para sahabat. Hukum Islam menetapkan hukuman dera bagi peminum minuman keras atas dasar yang kuat yakni ilmu psikologi. Hukum Islam kemudian memerangi faktor-faktor psikologis yang mendorong dilakukannya tindak pidana meminum minuman keras dengan faktor-faktor psikologis yang berlawanan yakni yang pada tabiatnya dapat menolak dilakukannya tindak pidana tersebut dimana tidak ada faktor lain yang dapat menggantikan posisinya. Karena itu, apabila seseorang berpikir untuk meminum minuman keras untuk melupakan penderitaan jiwa yang dialaminya, ia akan tetap kembali kepada penderitaan jiwanya dan ditambah dengan penderitaan fisik (hukuman dera).111 Demikian pula apabila dengan meminum khamr itu ia berpikir dapat melarikan diri dari penderitaan hidupnya, ia juga akan kembali kepada kenyataan hidup tersebut ditambah dengan derita hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini yang biasanya dapat membuat seseorang jera dari melakukan tindak pidana meminum minuman keras tersebut. Apabila hukuman ini belum bisa mencegahnya (yakni ketika suatu waktu ia melakukan tindak pidana tersebut), 110 111
Ibid V, h.67-68. Ibid, III, h. 54-55.
ketika ia kembali berpikir untuk mengulanginya lagi, hukuman dera yang telah menimpanya akan memenangkan faktor-faktor psikologis yang mencegah tindak pidana
tersebut
dai
faktor-faktor
psikologis
yang
memotivasi
untuk
melakukannya.112 Dalil hukuman bagi peminum khamr adalah dari hadits berikut:
1 ان ﺱ,4و: ﺝ1 ان ﺱ: ص مCل رﺱ(ل ا9 :ل9 ة1ی1 اﺏ ه (ى01 اJ ا*" إ4 )دوا$ ﺏ(ا1F GاﺏHن د اI ,4و:ﺝ Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:”jika seseorang mabuk, maka deralah dia, kemudian jika ia mabuk lagi, maka deralah ia, kemudian jika ia kembali lagi yang keempat kalinya, maka pukullah lehernya”. (H.R. Imam yang lima kecuali Tirmidzi).113 Bagaimanapun, ketika seseorang melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, dan orang itu disumpahi oleh para muslim lainnya, Nabi mencegah mereka dari mengutuki orang tersebut dengan alasan ini bisa membuat setan mendominasi diri si pelanggar untuk melakukan lebih banyak dosa lagi. Dalam kehidupan Nabi cara memukul juga dilakukan secara bervariasi. Sejumlah orang dipukul secara singkat oleh sekelompok orang, dengan menggunakan tangan, sandal dan pakaian. Dalam kasus lain pelanggar dipukul 112
Ibid, h.55. Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadits-Hadits Hukum Jilid 6, Diterjemah: Muammal Hamidy, et al, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), Cet. Ke-1, h.2658. 113
dengan tongkat dan dahan-dahan pohon kurma. Pada zaman Abu Bakar dan Umar cambukkan dilakukan dengan dahan pohon kurma. 114 Ulama yang berpendapat bahwa hukuman hudud karena meminum minuman keras adalah delapan puluh dera menganggap bahawa para sahabat sudah memiliki ijma dalam hal ini, sedangkan ijma adalah salah satu sumber penerapan hukum. Ulama yang berpendapat bahwa hukuman hudud hanya empat puluh dera mengunakan dalil perbuatan Ali ra yang mendera Walid bin Uqbah dengan empat puluh kali deraan dan perkataan Ali,”Rasulullah SAW mendera empat puluh kali, Abu Bakar mendera empat puluh kali dan Umar mendera delapan puluh kali. Semua adalah sunnah dan ini yang lebih aku sukai. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena perbuatan orang lain. Ijma dibatalkan jika ijma itu berlawanan dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, Abu Bakar ra, dan Ali ra. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan Umar bin Khattab ra adalah hukuman ta’zir yang boleh dilakukan jika seorang penguasa memiliki kebijakan untuk melakukannya.115 Hukuman hudud yang murni hak Allah SWT memiliki hukum dasar, yaitu tidak bisa diampuni, tidak bisa didamaikan, tidak bisa digugurkan. Karena hukuman hudud akibat meminum minuman keras termasuk hukuman yang murni 114
Malik B Badri, Islam & Alkoholisme: Pengobatan Bagi Muslim Pecandu, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-2, h. 63. 115 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,V,h.69.
hak Allah, perseorangan atau masyarakat tidak berhak menggurkan atau mengampuninya. Para ulama sepakat bahwa hukuman hudud tidak dijatuhkan kepada orang mabuk sampai ia sadar. Hukuman diberikan untuk mendidik (ta’dib) dan membuat jera (zajr), sedangkan orang mabuk sama sekali tidak merasakan apa yang terjadi.116 Adapun sebab perbedaan ulama tentang jumlah jilid ini karena al-Qur’an tidak menentukkannya secara tegas, dan demikian pula Rasulullah SAW. Kadangkadang beliau menjilidnya sedikit dan kadang-kadang menjilidnya banyak tetapi tidak pernah melebihi empat puluh kali jilid. Demikian pula Abu Bakar menjilid peminum khamr dengan empat puluh kali jilid. Pada zaman pemerintahan Umar bin al-Khaththab peminum khamr itu diberi hukuman delapan puluh kali jilid, karena pada masa itu mulai banyak lagi minum khamr. Ketentuan ini berdasarkan hasil musyawarah beliau bersama para sahabat yang lain, yakni atas usulan Abdurrahman bin Auf. Pada pemerintahan Ali peminum khamr juga diberi hukuman delapan puluh kali jilid, dengan mengqiyaskan kepada penuduh zina. Disepakati para ulama bahwa sanksi itu tidak diberikan ketika peminum itu mabuk, karena sanksi itu merupakan pelajaran, sedangkan orang yang sedang mabuk tidak dapat diberi pelajaran. 116
Ibid, h.69.
Bila seseorang berkali-kali minum dan beberapa kali pula mabuk, namun belum pernah dijatuhi hukuman, maka hukumannya sama dengan sekali minum khamr dan sekali mabuk. Dalam kasus ini ada kemungkinan diterapkannya teori at-tadakhul, dengan ketentuan sebagai berikut: 1.Bila minum dan mabuk beberapa kali maka hukumannya adalah satu kali. 2.Beberapa kali minum dan hanya sekali mabuk, maka hukumannya adalah satu kali. 3.Dikalangan Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, bila seseorang mabuk, lalu sesudah sadar membunuh orang lain serta tidak mendapat pemaafan dari keluarga korban, maka hukuman baginya hanya satu, yaitu hukuman mati (qishash).117 Kedudukan seorang anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang dituntut agama. Jika terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam dalam kadar tertentu masih memberi kelonggaran. Seperti disyariatkan sebuah hadist yang menyatakan “ketidak berdosaan” (raf’ul qalam) seorang anak hingga mencapai aqil baligh yang ditandai dengan timbulnya “mimpi” pada laki-laki dan haid bagi perempuan.118 117
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menangulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-2, h.99-100. 118 Abdurrahman Al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-arba’ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), Cet. Ke-1, h. 11.
Meski dalam kitab-kitab fikih ditegaskan bahwa tidak dibenarkan menyeret anak ke meja hijau, tetap saja mereka harus dihukum bila bersalah, Cuma hukumannya berbeda dengan hukuman orang dewasa. Dalam bahasa fikih disebut ta’dib (pembinaan, bukan ta’zir atau had (hukuman) seperti yang berlaku bagi orang dewasa (baligh). Bentuk pelaksanaan ta’dib ini beragam, tergantung pada kemampuan fisik dan jiwa anak.119 Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana. Hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang meletakkan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.120 Menurut hukum pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang melakukan kejahatan dibedakan menurut perbedaan umurnya. Berdasarkan tahapan umur inilah hukum pidana Islam memberikan hukuman (sanksi) terhadap tindakan kejahatan (jarimah) anak dengan: 1. Fase Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak) Sesuai dengan kesepakatan fukaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak 119
Lutfi Syaukanie, Politik, HAM, Dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cet. Ke-1, h.601.
dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibiy (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas (misalnya membunuh atau melukai). Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskan dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana yang dilakukannya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan keamanan) dan juga uzur-uzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak menghapuskan dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan. 2. Fase Kemampuan Berpikir Lemah Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia tujuh tahun sampai ia mencapai usia baligh. Dalam fase ini, anak kecil yang telah mumayiz tidak bertanggung jawab secara pidana atas tidak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina, misalnya. Dia juga tidak dihukum kisas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. 120
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam., II, h.255.
Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi (untuk mendidik), bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik (ta’dib), sianak tidak dapat dianggap sebagai residivis (pengulang kejahatan) meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Sianak juga tidak boleh dijatuhi hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan dan pemukulan.121 3. Fase Kekuatan Berpikir Penuh (Sempurna) Fase ini dimulai sejak anak menginjak usia kecerdasan (dewasa) yaitu kala menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fukaha, atau berusia delapan tahun, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam mazhab Maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan dikisas apabila dia membunuh atau melukai; demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir.122 Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayyiz adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyah khalisah), bukan hukuman pidana. Ini karena anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukum Islam tidak menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukuman Islam memberikan hak kepada waliyal-amr (penguasa) untuk 121 122
Ibid, II, h.256-257. Ibid, II, h.257.
menentukan hukuman yang sesuai menurut pendangannya. Para fukaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai sebagian dari hukuman untuk mendidik. Pembagian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memilih hukuman yang sesuai bagi anak kecil di setiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman: a. memukul sianak, b. menegur/mencelanya, c. menyerahkan kepada waliy al-amr atau orang lain, d. menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal, e. menempatkannya disuatu tempat dengan pengawasan khusus, dan lain-lain. Jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman untuk mendidik (ta’dibiyah), bukan hukuman pidana, ia tidak dianggap sebagai residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang membantunya untuk menjalani jalan yang lurus dan memudahkannya untuk melupakan masa lalu. 123 Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanggung jawab atas seorang anak yang berusia berapa pun sampai dia mencapai usia puber, qhadi (hakim) hanya akan tetap berhak untuk menegur kesalahannya/menetapkan beberapa pembatasan baginya
yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid al-Qayrawani, seorang ulama Mazhab Maliki, tetap tidak akan ada hukuman had bagi anak-anak kecil bahkan juga dalam hal tuduhan zina (qadzaf) atau justru si anak sendiri yang melakukannya.124 Bahwa anak yang belum baligh, bila melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka tidak wajib dikenakan sanksi had, ataupun ta’zir. Sebab ia belum termasuk mukallaf (dewasa) dan belum mengetahui hak dan kewajiban dalam Islam. Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib dikenakan hukuman, bila anak tersebut melakukan perbuatan dosa.125 Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
ی" ! و ا ّ ی و#$ ا:ر ا ث "ء وﺏ$ى وا01رى واﺏ( داود وا3* ا4 )روا.% &(ن ی$)*ا (56 و اﺏ اﺏ7# $89ر:ﺝ; وا Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis manusia, orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh dan orang gila sampai ia 123
Ibid, h. 259. Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.16. 125 Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 2, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994), Cet. Ke-1, h.16. 124
sembuh”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, Al-Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah Dan Al Daruquthni Dari Aisyah Dan Ali Bin Abi Thalib).126 B. Sanksi Anak Yang Menyalahgunakan Narkotika Dalam Hukum Positif Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negative. Di samping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah mejangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya. Peredaran narkotika secara illegal harus segera ditanggulangi mengingat efek negative yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi keluarga, komunitas, hingga bangsa dan Negara. Sebelum lahirnya Undang-undang No.22 Tahun 1997, Narkotika diatur dalam Undang-undang No.9 Tahun 1966 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086), undang-undang ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaanya, 126
h.82.
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Saru Islam Hoeve, 1997), Cet. Ke-1,
karena adanya perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia.127 Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat public. Efek negative yang ditimbulkan akibat pengguna narkotika secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat menimbulkan berbagai dampak negative pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis. Tidak jarang pengguna narkotika dapat memicu terjadinya berbagai tindak pidana. Oleh karena itu, untuk mencegah semakin meluasnya dampak negative yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika, tetapi juga pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang menderita ketergantungan narkotika (pecandu).128 Tergantung kepada sudut pandangnya pemakai ectasy
sebagaimana
pemakai NAZA (Narkotika, Alkohol, Zat adiktif) dapat dianggap sebagai “kriminal”, “korban”, atau “pasien”. Dan dengan demikian kita dapat mempertanyakan apakah kepadanya dapat dikenakan sanksi hukum. Dari segi hukum ada yang berpendapat bahwa pemakai ectasy dapat dikenakan sanksi karena telah melanggar peraturan Undang-undang. Dalam hal ini pemakai dapat dikategorikan sebagai “kriminal”. 127
Dikdik M.Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), Cet. Ke-1, h.101. 128 Ibid, h.102.
Dari segi psikososial ada yang berpendapat bahwa pemakai adalah “korban” dari mereka yang tidak bertanggung jawab; sehingga kepada mereka pemakai perlu dilakukan tindakan rehabilitasi bukannya hukuman. Dari segi kesehatan ada yang berpendapat bahwa pemakai adalah “pasien” yang perlu memperoleh terapi bukan hukuman. Ketiga pandangan tersebut ada benarnya. Namun perlu ada uraian ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan apabila kepada mereka si pemakai akan diambil tindakan sesuai dengan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Secara umum mereka yang menyalahgunakan NAZA (termasuk ectasy) dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu:129 Pertama ketergantungan primer. Kelompok pemakai ini ditandai dengan adanya gangguan kejiwaan kecemasan dan depresi yang pada umumnya terdapat pada orang dengan keprihatinan yang tidak stabil. Terhadap gangguan kejiwaan ini mereka mencoba mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi kepada dokter/psikiater
dengan
akibat
terjadinya
penyalahgunaan
hingga
pada
ketergantungan. Kelompok ini dapat dianggap sebagai pasien dan memerlukan terapi kejiwaan/psikiatrik serta perawatan dan bukan hukuman. Kedua, ketergantungan simtomatis. Kelompok pemakai ini adalah mereka yang berkepribadian anti sosial (psikopatik). Pemakai ectasy (serta NAZA) oleh merek aadalah untuk kesenangan semata, hura-hura, bersuka ria dan sejenisnya. 129
Kunarto, Kejahatan Tanpa Korban: Merenungi Kritik Terhadap POLRI Buku Ke 6, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), Cet. Ke-1, h.119.
Pemakaian ectasy pada kelompok ini merupakan simtom atau gejala dari cirri kepribadiannya, yaitu kepribadian antisosial atau psikopatik. Mereka tidak hanya memakai ectasy untuk diri sendiri, tetapi juga “menularkannya” kepada orang-orang lain dengan berbagai cara, sehingga orang yang baik-baik (tidak berkepribadian psikopatik) pun dapat “terjebak” ikut memakai sehingga ada ketergantungan. Kelompok ini memang patut dikenakan sanksi hukum dan dapat dikategorikan sebagai “kriminal”. Pada umumnya pelaku tindak kriminal yang berulang kali (residivis) adalah orang-orang dengan keprihatinan
antisosial.
penyalahgunaan
NAZA
Dan
salah
(termasuk
satu ectasy),
gejala seks
antisosialnya bebas,
serta
adalah perilaku
menyimpang lainnya. Ketiga, ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok sebaya (peer group). Kelompok ini dapat dikategorikan sebagai “korban”, memerlukan perawatan serta rehabilitasi dan bukan hukuman.130 Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut, antara lain: a. Rasa takut yang timbul karena ketidakmampuan dan kegagalan dalam berinteraksi dan bersaing dengan teman kelompok yang lebih mapan. b. Intimidasi oleh teman kelompok sebaya dengan akibat yang ersangkutan menarik diri atau bersikap pasif-agresif dalam sub-kultur pemakai NAZA (termasuk ectasy) sebagai jalan keluarnya.
c. Induksi dari teman-teman kelompok sebaya untuk ikut dalam praktek penyalahgunaan NAZA/ectasy. Untuk dapat menentukkan ketiga kelompok pemakai ectasy ataupun NAZA, diperlukan pemeriksaan psikiatrik, sehingga perlakuan terhadap mereka pun akan berbeda pula. Terhadap kelompok ketergantungan simtomatis (kepribadian psikopat/antisosial), misalnya perlu sanksi hukum di samping terapi dan rehabilitasi. Sementara, terhadap kelompok ketergantungan primer perlu terapi dan rehabilitasi
dan
untuk
ini
hendaknya
ada
ketentuan
hukum
yang
menghancurkannya. Sedangkan terhadap kelompok ketergantungan reaktif diperlukan terapi dan rehabilitasi serta tindakan terhadap teman kelompok sebayanya (peer group) yang biasanya kepribadian antisosial/psikopat). Dan untuk ini hendaknya ada ketentuan hukum yang mengharuskannya. Sebenarnya, prinsip utama dalam penanggulangan penyalahgunaan NAZA termasuk ectasy ada dua yaitu supply reduction dan demand reduction. Bila keduanya dapat berjalan secara sinkron, konsisten, dan berkesinambungan, maka maraknya penyalahgunaan NAZA atau ectasy akan dapat diatasi. Sudah tentu harus disertai dengan perangkat hukum (UU) yang memadai. 131 Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak merupakan factor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah 130 131
Ibid, h. 119-120. Ibid,.h.120.
terbitnya Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 (Lembaran Negara 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668), dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 3 januari 1998. Adanya kekhususan dan hal-hal yang relative baru sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, melahirkan perbedaan dalam proses pidana dan pemidanaan. Perbedaan itu melingkupi hal yang berkaitan dengan jenis-jenis pidana dan tindakan maupun prosedur pemidanaan. Dalam hal itu terdapat perbedaan jenis pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa dan anak nakal. Demikian pula proses peradilannya yang bagi anak nakal menjadi wewenang Pengadilan Anak.132 Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang. Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh social worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan anak, berupa: 132
2, h.3-5.
Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-
1). Masalah sosialnya; 2). Kepribadiannya; 3). Latar belakang kehidupannya, misalnya: - Riwayat sejak kecil - Pergaulannya di luar dan didalam rumah; - Keadaan rumah tangga si anak; - Hubungan antara Bapak, Ibu dan si anak; - Hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain; - Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.133 Case Study ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak dikemudian hari, karena didalam memutuskan perkara anak dengan melihat Case Study dapat dilihat dengan nyata keadaan si anak secara khusus (pribadi). Sedangkan apabila hakim yang memutus perkara anak tidak dibantu dengan Case Study, maka hakim tidak akan mengetahui keadaan sebenarnya dari sianak sebab hakim hanya boleh bertemu terbatas ruang sidang yang hanya memakan waktu beberapa jam saja dan biasanya dalam Case Study petugas BISPA menyarankan pada hakim tindakan-tindakan yang sebaiknya diambil oleh para hakim guna kepentingan dan lebih memenuhi kebutuhan anak. Demikianlah walaupun Case Study ini tidak mengikat hakim, namun ia merupakan alat pertimbangan yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh hakim, 133
h.45.
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. Ke-1,
sehingga menjadi pedoman hakim dalam memutus perkara pidana anak dimuka sidang pengadilan. Pertimbangan pidana dan perlakuannya terhadap anak-anak yang melakuakn tindak pidana perlu mendapat perhatian khusus, sebab pada peradilan anak ini keputusan hakim tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif terhadap anak-anak disamping tindakan yang bersifat menghukum. Case Study ini dapat menentukan hukuman manakah yang sebaiknya bagi si anak, mengingat hakim dapat memilih dua kemungkinan pada Pasal 22 Undang-undang Nomor 3 Tahun1997, yaitu si anak dapat dijatuhi tindakan (bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun) atau pidana (bagi anak yang telah berumur diatas 12 sampai 18 tahun) yang ditentukan dalam undang-undang tersebut.134 Dalam hal hakim memutus untuk memberikan perkara pidana pada anak, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan: a. Sifat kejahatan yang dijalankan b. Perkembangan jiwa si anak c. Tempat dimana ia harus menjalankan hukumannya.135
134 135
Ibid, h.46-47. Ibid., h.48.
Didalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pemerintah dan lembaga Negara lainnya pun berkewajiban dan bertanggung jawab dalam perlindungan khusus tersebut, dan bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif dilakukan upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 15, Pasal 59, dan Pasal 67. Dalam Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 yang terdapat dalam Pasal 46 dan Pasal 86 disebutkan bahwa mewajibkan orang tua/wali melapor apabila anaknya menjadi pecandu narkotika untuk mendapat pengobatan dan/atau perawatan dan akan dikenakan pidana bila tidak melaporkannya. Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya untuk memberikan kesempatan pada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana narkotika hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Pengobatan dan perawatan terhadap pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi medis dan sosial. Rehabilitasi medis dan sosial yang
diberikan kepada pecandu dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya. Selain pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat dilaksanakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sebagai contoh, di Pakem, Sleman, Yogyakarta telah didirikan klinik atau Pusat Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat-zat Adiktif lainnya (NAPZA) terpadu yang didirikan atas kerjasama Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diresmikan pada tanggal 7 Desember 2005. Tujuan umum pendirian pusat rehabilitasi terpadu ini adalah untuk memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan NAPZA melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang NAPZA secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah: 1.Terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar; 2.Terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna NAPZA yang akan membunuh potensi pengembangan mereka; 3.Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit-penyakit seperti Hepatitis, HIV/AIDS, dan penyakit menular lainnya; 4.Terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi medis/sosial;
5.Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan aspek ilmiah, serta keilmuan yang dinamis, sesuai perkembangan zaman sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional. 136 Pada Pasal 47 dalam Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997, dijelaskan bagi pecandu, hakim dapat memutuskan untuk yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sedangkan pada Pasal 48 pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu adalah melalui fasilitas rehabilitasi medis atau rehabilitasi social.Adapun penyembuhan yang diselenggarakan oleh masyarakat ialah melalui pendekatan agama dan tradisional. Yang dimaksud dengan lembaga rehabilitasi sosial adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.137 Pengenaan tindakan rehabilitasi dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana yang kecanduan alcohol, obat bius, obat keras, narkotika, yang mengidap kelainan seksual, atau yang mengidap kelainan jiwa. Rehabilitasi dilaksanakan di dalam suatu lembaga pengobatan dan pembinaan, baik swasta maupun pemerintah. Perawatan didalam suatu lembaga dapat dikenakan terhadap pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak. Orang dewasa harus didasarkan atas sifat 136
Dikdik M. Arief & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), Cet. Ke-1, h.102-103
berbahayanya perbuatan melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Tindak perawatan kepada pembuat tindak pidana terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik anak yang bersangkutan.138 Pemberian perlindungan narkotika tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun diharapkan dengan diterimanya kembali mantan para pengguna dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai warga kelas dua yang harus dijauhi. 139
E. Analisis Perbandingan Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak Di Bawah Umur. Dengan melihat uraian tentang keputusan yang diambil oleh hukum Islam dan hukum positif terhadap kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur, maka dalam bagian analisa ini, penulis hendak menyoroti titik perbedaan yang terjadi antara ketentuan hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang melakukan kejahatan dibedakan menurut perbedaan umurnya. Berdasarkan 137 138
Ibid, h.287. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-
2, h. 25-26. 139
Dikdik M.Arief , Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan., h.103.
tahapan umur inilah hukum pidana Islam memberikan hukuman (sanksi) terhadap tindakan kejahatan (jaimah) anak dengan: 1. Fase Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak) apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibiy (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas (misalnya membunuh atau melukai). 2. Fase Kemampuan Berpikir Lemah Dalam fase ini, anak kecil yang telah mumayiz tidak bertanggung jawab secara pidana atas tidak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina, misalnya. Dia juga tidak dihukum kisas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. 3. Fase Kekuatan Berpikir Penuh (Sempurna) Pada fase ini seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan dikisas apabila dia membunuh atau melukai; demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir. Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayyiz adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyah khalisah), bukan hukuman pidana. Ini karena anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukum Islam tidak
menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukuman Islam memberikan hak kepada waliyal-amr (penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pendangannya. Para fukaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai sebagian dari hukuman untuk mendidik. Pembagian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memilih hukuman yang sesuai bagi anak kecil di setiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman: a. memukul sianak, b. menegur/mencelanya, c. menyerahkan kepada waliy al-amr atau orang lain, d. menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal, e. menempatkannya disuatu tempat dengan pengawasan khusus, dan lain-lain. Pada galibnya hukum-hukum positif sama pendiriannya dengan syariat Islam yaitu: mengadakan perbedaan pertanggung jawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak dibawah umur. Menurut sarjana-sarjana hukum positif , seseorang anak melalui tiga masa: a. Pada masa pertama, seseorang anak dianggap masih kecil dan dipandang tidak mampu memahami hakikat perbuatan jarimah serta akibat-akibatnya, dan oleh karena itu ia tidak dikenakan pertanggung jawaban sama sekali. Biasanya
hukuman yang dijatuhkan anak dalam masa ini ialah dikirim ke rumah kanakkanak nakal atau diserahkan kepada orang tua (wali) dengan syarat tertentu. b.
Pada masa kedua, seseorang anak dapat mengetahui bahwa apa yang diperbuatnya merupakan larangan. Akan tetapi pengetauan dan pengalaman tidak cukup untuk memahami tindakan apa yang diambil oleh hukum terhadap dirinya serta memperkirakan hasil yang sebenarnya dari perbuatannya. Oleh karena itu hukum positif sama pendiriannya untuk menjatuhi hukuman terhadap anak kecil pada masa ini, dengan hukuman khusus yang sesuai dengan keadaan mereka atau dengan hukuman-hukuman biasa yang diperingan atau ditempatkan dirumah anak-anak nakal.
c. Pada masa ketiga, seseorang anak telah mencapai usia yang cukup untuk memahami kedudukannya dalam hukum, dan oleh karena itu ia dikenakan pertanggungjawaban penuh serta dihukum dengan hukuman yang biasa. Masa ketiga tersebut dibatasi sampai usia 17 tahun sesudah mencapai usia ini, ia dijatuhi hukuman yang biasa tanpa pengecualian. Pada hukum positif juga anak-anak dibawah umur dikenakan pertanggung jawaban perdata, baik dijatuhi hukuman pidana atau tidak karena tidak ada perlawanan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum mencapai usia tertentu, dengan diharuskan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Pembentuk undang-undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak dibawah umur sehingga berhak mendapat
keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. Namun lain halnya menurut Hukum Islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas perhitungan usia tetapi dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik pria maupun wanita. Sedangkan dalam hukum positif ada tiga ketentuan yang harus dilakukan hakim dalam menghadapi kejahatan yang diperbuat oleh anak, antara lain: 1. Mengembalikan anak kepada orang tua atau walinya. 2. Menyerahkan anak pada pemerintah untuk mendapatkan pendidikan. 3. Menghukum si anak dengan mengurangi hukuman sepertiga dari hukuman untuk orang dewasa. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang ditentukan berdasarkan pembedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah berusia diatas 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali dera bagi pelaku tindak minuman keras (khamr). Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Imam Syafi’I berpendapat bahwa hukuman hudud terhadap pelaku tindak pidana meminum minuman keras adalah empat puluh kali dera. Pendapatnya tersebut menyalahi ulama mazhab yang lain. Imam Syafi’I beralasan karena tidak ada dalil yang bersumber dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah mencambuk
para peminum minuman keras lebih dari empat puluh kali. Menurut Imam Syafi’I, sisa empat puluh dera yang lain bukan termasuk hukuman hudud, melainkan hukuman ta’zir. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, orang yang meminum minuman keras harus didera sebanyak delapan puluh kali. Imam Syaf’i berpendapat-pendapatnya ini juga didapati dalam riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal bahwa hukuman hudud atas tindak pidana ini adalah empat puluh kali dera. Akan tetapi, tidak ada halangan bagi penguasa (imam) untuk mendera pelaku sampai delapan puluh kali jika ia memiliki kebijakan seperti itu. Jadi, hukuman hudud atas peminum minuman keras hanyalah empat puluh deraan dan selebihnya, yaitu empat puluh deraan lainnya, adalah hukuman ta’zir. Sedangkan dalam hukum positif hukum bagi pecandu, penyalahguna, pengedar, produsen berbeda. Ada yang dihukum mati, penjara seumur hidup, penjara dalam beberapa tahun dan denda jutaan rupiah. Tindak Pidana Narkotika: UU No:22/1997 a. Penyalahguna: (Pasal 78, Pasal 79) - Gol I
: 10 th + denda
- Gol II
: 7 th + denda
- Gol III : 5 th + denda b. Pengedar: (Pasal 82)
- Gol I
: Pidana mati, seumur hidup atau 20 th + denda
- Gol II
: 15 th + denda
- Gol III : 10 th + denda c. Produsen - Tidak terorganisir: - Gol I Pasal 80 (1) a: Pidana mati atau seumur hidup atau penjara maksimal 20 th + denda. - Gol II Pasal 80 ayat (1) b: Pidana penjara maksimal 15 th + denda. - Gol III Pasal 80 ayat (1) c: Pidana penjara maksimal 7 th + denda. -Terorganisir: - Gol I Pasal 80 ayat (3) a: Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara minimal 5 th atau penjara maksimal 20 th + denda. - Gol II Pasal 80 ayat (3) b: Pidana penjara maksimal 20 th + denda. - Gol III Pasal 80 ayat (3) c: Pidana maksimal 15 th + denda. Didalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pemerintah dan lembaga Negara lainnya pun berkewajiban dan bertanggung jawab dalam perlindungan khusus tersebut, dan bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif dilakukan upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Dalam Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 disebutkan untuk mewajibkan orang tua/wali melapor apabila anaknya yang belum cukup umur yang menjadi pecandu narkotika untuk mendapat pengobatan dan/atau perawatan dan akan dikenakan pidana bila tidak melaporkannya. Namun dalam kenyataanya tidak semua lapisan masyarakat mengetahui jenis, akibat penggunaan dan undang-undang narkotika. Bahkan orang tua kadang tidak mengetahui bahwa anaknya adalah salah seorang pecandu dan baru tahu setelah ada penangkapan oleh polisi. Dan kadang hanya beberapa orang tua yang anaknya pecandu yang memberanikan diri melaporkasn anaknya sebagai pecandu ke polisi.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan remaja menyalahgunakan narkotika adalah: 10. Keingin tahuan yang besar tanpa sadar akibatnya. 11. Keinginan untuk mencoba karena penasaran. 12. Keinginan untuk bersenang-senang just for fun. 13. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable). 14. Keinginan untuk diterima oleh lingkungannya. 15. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup. 16. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-kali tidak menimbulkan ketagihan. 17. Semakin mudah untuk mendapat narkoba dimana-mana dengan harga relatif murah (available). 18. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak mampu menolak narkoba secara tegas. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan perangsang yang sejenis oleh kaum remaja erat kaitannya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi, dan akibat yang ingin dicapai.
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan ke sidang anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang ditentukan berdasarkan pembedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah berusia diatas 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Islam melarang khamr (minuman keras), karena khamr dianggap sebagai induk keburukan (ummul khabaits), disamping merusak akal, jiwa, kesehatan, dan harta.dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat menusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya. Dalam pandangan Islam keharaman tersebut terletak pada tindakan mengkonsumsi sesuatu yang dinyatakan haram, meskipun dalam kenyataan belum memabukkan dan belum mendatangkan dampak negative apa-apa, karena pandangan Islam dalam hal ini bersifat preventif dan antisipatif. Penyalahgunaan obat (drug abuse) diartikan mempergunakan obat-obatan terlarang yang tidak untuk tujuan pengobatan. Akibat dari drug abuse tentu saja akan menimbulkan efek yang berbahaya baik pemakai. Penggunaan tersebut
bersifat berlebih-lebihan, terus menerus atau kadang-kadang dari suatu obat yang tidak sesuai atau tidak ada hubungannya dengan pengobatan. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis atau semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali dera bagi pelaku tindak minuman keras (khamr). Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Tindak Pidana Narkotika: UU No:22/1997 a. Penyalahguna : (Pasal 78, Pasal 79) - Gol I
: 10 th + denda
- Gol II
: 7 th + denda
- Gol III
: 5 th + denda
b. Pengedar
: (Pasal 82)
- Gol I
: Pidana mati, seumur hidup atau 20 th + denda
- Gol II
: 15 th + denda
- Gol III
: 10 th + denda
c. Produsen
- Tidak terorganisir: - Gol I Pasal 80 (1) a: Pidana mati atau seumur hidup atau penjara maksimal 20 th + denda. - Gol II Pasal 80 ayat (1) b: Pidana penjara maksimal 15 th + denda. - Gol III Pasal 80 ayat (1) c: Pidana penjara maksimal 7 th + denda. -Terorganisir: - Gol I Pasal 80 ayat (3) a: Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara minimal 5 th atau penjara maksimal 20 th + denda. - Gol II Pasal 80 ayat (3) b: Pidana penjara maksimal 20 th + denda. - Gol III Pasal 80 ayat (3) c: Pidana maksimal 15 th + denda. Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanggung jawab atas seorang anak yang berusia berapa pun sampai dia mencapai usia puber, qhadi (hakim) hanya akan tetap berhak untuk menegur kesalahannya/menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayyiz adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyah khalisah), bukan hukuman pidana. Ini karena anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Dalam Undang-undang Narkotika No.22 Tahun 1997 disebutkan untuk mewajibkan orang tua/wali melapor apabila anaknya yang belum cukup umur
yang menjadi pecandu narkotika untuk mendapat pengobatan dan/atau perawatan dan akan dikenakan pidana bila tidak melaporkannya.
Pasal 46 (1).Orang tua/wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. Pasal 67 (1).Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Pasal 86 (1).Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan kurungan paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2).Pecandu narkotika yang belum cukup umur telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 Ayat (1) tidak dituntut pidana. B. Saran-saran
Dari pembahasan diatas, penulis mencoba memberikan kontribusi saran kepada
masyarakat.
Khususnya
untuk
orang
tua
agar
tidak
terjadi
pelanggaran/tindak pidana oleh anak-anak, yaitu: 1.Orang tua bisa meluangkan waktu untuk merawat, mendidik, mengawasi juga berkomunikasi pada anak-anaknya. Karena dengan cara inilah menjaga hubungan anak dengan orang tua menjadi baik, sehingga anak tidak menyalahgunakan narkotika. 2.Bagi para remaja harus lebih selektif dalam memilih teman dan tidak mudah terpengaruh ajakan untuk menggunakan narkotika. Narkotika bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan atau lari dari masalah. 3.Untuk semua rakyat Indonesia perangilah penyebaran narkotika yang sudah banyak merusak generasi muda. Ikut bekerja sama dengan pemerintah dalam pencegahan, penanggulangan, dan penyebaran narkotika. Jangan memusuhi penggunanya tapi bantu mereka untuk lepas dari narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
Adjis, A. Chairil, SH. Msi., dan Akasyah, Dudi, S.Ag., Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Jakarta: RM Books, Tahun 2007. Ali, Zainuddin,, Prof. Dr. H. MA., Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, Tahun 2007. Badri, Malik. B, Prof. Dr., Islam Dan Alkoholisme: Pengobatan Bagi Muslim Pecandu Alkohol. Jakarta: Pustaka Firdaus, Tahun 1994. Balson, Maurice., Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik. Jakarta: Bumi Aksara, Tahun 1996. Chazawi, Adam., Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan Dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan Perbarengan Dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 2002. Cooke, David. J. Dkk., Menyingkap Dunia Gelap Penjara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2008. Daradjat, Zakiah, Dr., Pembinaan Remaja. Jakarta: Bulan Bintang, Tahun 1976. Djazuli, A. Prof. Drs. H., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam). Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 1s997. Doi, I. A. Rahman., Hudud dan Kewarisan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 2006. Doi, I. A. Rahman., Inilah Syariah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, Tahun 1990.
D, Soedjono., Phatologi Sosial. Bandung: Alumni, Tahun 1970. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid I, II, III, V. Terjemahan: At-Tasyri AlJinai’y Al-Islami’y Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy. Karangan: Abdul Qadir Audah. Bogor: Kharisma Ilmu, Tahun 2008. Fathurrahman, Prof. Drs. Dan Yahya, Mukhtar, Prof. Dr., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung, Al-Ma’arif, Tahun 1993. Hadiman., Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua Dan Aparat Dalam Penanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: BERSAMA, Tahun 2005. Hakim, M. Arief., Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan Melawan. Bandung: Anggota IKAPI, Tahun 2004. Hamdan. M., Politik Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 1997. Hamzah, Andi, Dr., KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, Tahun 2006. Hamzah, Andi, Dr. Dan Surachman, R. M., Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika. Jakarta: Sinar Grafika,Tahun 1994. Hanafi, Ahmad., Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, Tahun 2005. Ichsan, Muhammad, H. dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif. Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tahun 2008. Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, Tahun 1989.
Kunarto, Drs. Jend. Pol (Purn)., Kejahatan Tanpa Korban, Seri: Merenungi Kritik Terhadap POLRI Buku Ke-6. Jakarta: Cipta Manunggal, Tahun 1999. Maligy, Abdul Munim, Prof. Dr., Dendam Anak-anak. Jakarta: Bulan Bintang, Tahun 1980. Mansur, M. Arief, Dik dik, Drs. SH. MH. Dan Gultom Elisatris, SH. MH., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 2008. Mardani, Dr., Penyalahgunaan Narkotika Dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Tahun 2008. Medika Islamika: Jurnal Kedokteran, Kesehatan Dan Keislaman. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN. Jakarta: UIN Press, Tahun 2007. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, Tahun 2005. Nasution, Zulkarnain, Drs. MA. Et all., Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Narkoba. Jakarta: Kencana Media Gorup, Tahun 2006. Panuju, Panut, Drs. H. Dan Umami, Ida, S.Ag., Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, Tahun 1999. Qardhawi, Yusuf, Syekh Muhammad., Halal Dan Haram Dalam Islam. Jakarta: Bina Ilmu, Tahun 1993. Qardhawi, Yusuf, Dr., Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press, Tahun 1996. Rofik, Ahmad, Prof. Dr. H. MA., Fiqh Kontekstual Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial, Semarang: Pustaka Pelajar, Tahun 2004.
Ruhaily, Ruway’I, Dr., Fikih Umar 2. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Tahun 1994. Sa’di, Syaikh Abdurahman Bin Nashir, Tafsir As-Sa’di, Jakarta: Pustaka Sahifa, Tahun 2006. Salam, Moch. Faisal, SH. MH., Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, Tahun 2005. Sasangka, Hari, SH.MH., Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju, Tahun 2003. Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah 9. Bandung: Al-Ma’arif, Tahun 1984. Shiddidieqy, Hasbi, Teungku Muhammad., Koleksi Hadis-hadis Hukum 9. Semarang: Pustaka Rizki Putra, Tahun 2001. Soekito, Wiratno, Sri Widoyati., Anak Dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta: LP3ES, Tahun 1983. Soetodjo, Wagiati, Dr. SH. MS., Hukum Pidana Anak, Bandung: PT.Refika Aditama, Tahun 2006. Sudarsono, SH. Drs., Kenakalan Remaja: Prevensi, Rehabilitasi, Dan Resosialisasi. Jakarta: Rineka Cipta, Tahun 1995. Sunarmo, Drs., Narkoba: Bahaya Dan Upaya Pencegahannya. Semarang: Bengawan Ilmu, Tahun 2007. Supramono,
Gatot,
SH.
M.
Hum.,
Hukum
Acara
Pengadilan
Anak.
Jakarta:Djambatan, Tahun 2007. Syarifuddin, Amir, Prof. Dr. H., Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, Tahun 2003.
Syarifuddin, Amir, Prof. Dr. H., Ushul Fiqh: Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Tahun 2008. Syaukanie, Lutfi., Politk, HAM Dan Isu-isu Teknologi Dalam Fiqh Kontemporer. Bandung: Pustaka Hidayah, Tahun 1998. Tambunan. EH., Remaja Sahabat Kita. Bandung: Publishing House, Tahun 1981. Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dan Undangundang RI No.3 Tahun 2007 Tentang Pengadilan Anak. Trinity, Tahun 2007. Undang-undang Narkotika UU RI No.22 Tahun 1997 dan Undang-undang Psikotropika UU RI No.5 Tahun 1997. Asa Mandiri, Tahun 2008. Waluyo, Bambang,S.H., Pidana Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, Tahun 2004.