BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum dari Objek Jaminan Fidusia yang Disewakan Oleh Debitor Kepada Pihak Ketiga Tanpa Persetujuan Kreditor Fidusia merupakan jaminan hutang yang banyak diminati oleh para kreditor, karena ketentuan dalam undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai (pand) ternyata mengandung kelemahan atau kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Suatu perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitor dan debitor menyerahkan benda bergerak kepada kreditor untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, merupakan pengertian dari gadai dan dari pengertian gadai tersebut dapat disimpulkan bahwa gadai dikostruksikan sebagai perjanjian accessoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian hutangpiutang atau pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak.Bahwa dalam hal gadai benda jaminan harus diserahkan kepada kreditor pemegang gadai atau pihak ketiga (Pasal 1152 KUHPerdata) sedangkan pada hipotik benda jaminan tetap berada di dalam tangan pemberi hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata dan Pasal 1163 KUHPerdata). Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan kelemahan gadai meliputi : 1. Adanya asas inbezitsteling Asas ini, menyarankan bahwa kekuasaan asas bendanya harus pindah atau berada pada pemegang gadai sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1152 KUHPerdata.Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan bendabenda tersebut untuk keperluannya.Terlebih benda tanggungan tersebut merupakan alat yang penting untuk mata pencaharian sehari-hari.Disamping memerlukan kredit, masih membutuhkan bendanya untuk bekerja. 2. Gadai atas surat-surat piutang Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena : a. Tidak ada ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai; b. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan. 3. Gadai kurang memuaskan, karena ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditor terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, 58
kreditor lain yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pemegang gadai. Adanya berbagai kelemahan di atas, maka timbul lembaga baru yaitu Fidusia.Menurut Tan Kamelo salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Fidusia. Atas dasar adanya kebutuhan masyarakat akan kredit, maka jaminan fidusia muncul dengan jaminan barang bergerak tanpa (secara fisik) melepaskan barang yang dijadikan jaminan. Dalam setiap bentuk-bentuk paradigmatik, penerima manfaat mempercayakan sebuah fidusiadengan kontrol dan manajemen aset. Idealnya, untuk penerima,hubungan ini akan diatur oleh aturan khusus yang menentukan bagaimanafidusia harus mengelola aset dalam kepentingan terbaik penerima ini. DiBahkan, namun, kewajiban fidusia adalah terbuka. karena assetManajemen harus melibatkan risiko dan ketidakpastian (Robert Cooter dan Bradley J. Freedman. 1991.“The Fiduciary Relationship:Its Economic CharacterAnd Legal Consequences”, New York University Law Review Vol 66:1045) Perkembangan Dalam Arrest Hoge Raad 1929, Tertanggal 25 Januari 1929 Mengakui Sahnya Figur Fidusia. Secara Singkat kasus yang mengakui sahnya figur fidusia adalah pabrik bir Heineken membeli barang-barang inventaris kepunyaan restoran Societeit Harmoni.Selanjutnya Heineken menyerahkan barang tersebut secara constitutum possesorium kepada pemilik restoran Societeit Harmoni bernama Bos.Pemilik restoran jatuh pailit.Kurator kepailitan (AW de Haan) menolak menyerahkan barang inventaris kepada Heineken.Selanjutnya Heineken menuntut AW de Haan dengan meletakkan sita revindikasi atas barang inventaris restoran.Pengadilan Leeuwarden menganggap perjanjian fidusia itu sebagai perjanjian semu dengan tujuan untuk menyelubungi perjanjian gadai yang sebenarnya.Perjanjian ini
bertentangan
dengan
Pasal
1198
ayat
(2)
BW,
sehingga
tidak
diperbolehkan.Sebaliknya, dalam tingkat banding, pengadilan banding beranggapan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak teradapat perjanjian semu.Sehingga AW de Haan diperintahkan untuk menyerahkan barang inventaris kepada Heineken. Selanjutnya, AW de Haan mengajukan kasasi, dalam tingkat kasasi Hoge Raad memutuskan
bahwa
menyetujui
pendapat
pengadilan
banding,
dengan
mempertimbangkan sebagai berikut : 1. Bahwa lingkup dari perjanjian yang diadakan para pihak berisikan inventaris Bos akan menjadi jaminan hutang dan alasan itu telah ditetapkan sehingga alasan itu bukan tidak diperbolehkan; 59
2. Perjanjian itu tidak bertentangan dengan aturan gadai sebab para pihak tidak mengikat perjanjian gadai; 3. Perjanjian ini tidak bertentangan dengan asas kesamaan para kreditor (paritas creditorum), karena perjanjian itu mengenai barang milik Heineken dan bukan milik Bos; 4. Perjanjian itu tidak dianggap telah terjadi suatu penyelundupan hukum; 5. Dalam perjanjian ini tidak terdapat pertentangan kesusilaan. Putusan Hoge Raad tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di Belanda.Jadi lembaga fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari penemuan hukum oleh hakim, sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai dalam KUHPerdata. Barang yang difidusiakan tetap berada pada kekuasaan debitor, sehingga terdapat segi yang menguntungkan bagi kreditor, antara lain : a. Kreditor tidak perlu menyediakan tempat penyimpanan barang; b. Kreditor tidak menanggung pemeliharaan barang; c. Kreditor tidak bertanggungjawab terhadap risiko kehilangan barang; d. Kreditor tetap berhak menarik barang ketika hendak melakukan eksekusi fidusia. Di lain pihak, menurut Gatot Supramono (2014: 84-85)debitor juga mempunyai keuntungan tidak menyerahkan barang, antara lain: a. Debitor tetap dapat menggunakan atau menikmati barangnya seperti semula; b. Jika barang yang difidusiakan merupakan alat untuk mencari penghasilan, tidak akan mematikan usahanya, dan tetap dapat memperoleh penghasilan, sehingga dapat mengangsur hutangnya; c. Dari segi gengsi, pihak ketiga tidak mengetahui bahwa barang debitor tersebut telah menjadi jaminan hutang, karena keadaan barang yang dimiliki itu tidak berubah. Adanya keuntungan dari pihak kreditor dan debitor tersebut maka jaminan fidusia banyak diminati masyarakat pada saat ini.Sehingga dengan banyaknya penggunaan jaminan fidusia maka banyak permasalahan yang timbul. Sering kali terjadi dalam praktek, masih banyak debitor yang menyewakan objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari kreditor. Faktor penyebabnya antara lain debitor membutuhkan dana untuk membayar angsuran kredit setiap bulannya. Debitor juga tidak membuat 60
permohonan ijin secara tertulis untuk menyewakan objek jaminan fidusia dengan alasan angsuran pembayaran yang akan dibebani debitor akan bertambah dari angsuran pembayaran normal sehingga membuat debitor tidak memberitahukan baik secara lisan maupun secara tertulis kepada kreditor. Debitor yang masih lancar dalam mengangsur kreditnya, hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Namun sebaliknya, apabila debitor tidak mampu mengangsur kembali kreditnya atau dengan kata lain terjadi kredit macet, maka itu akan menjadi masalah baik debitor maupun kreditor. Perbuatan yang dilakukan oleh Tuan Rustam dan Nyonya Leli Arwita yang selanjutnya disebut sebagai debitor ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kisaran. Debitor tersebut telah mendapat fasilitas kredit pembiayaan untuk pembelian satu unit mobil Avanza, sebagaimana tersebut dalam perjanjian pembiayaan Nomor: 91526413 tanggal 4 Juli 2013 untuk jangka waktu pembayaran selama 36 bulan terhitung dari bulan agustus 2013 sampai dengan bulan Juli 2016 dengan total angsuran fasilitas kredit sebesar Rp. 193.762.001. Jaminan tersebut telah didaftarkan di Kantor wilayah Sumatera Utara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia selaku kantor Pendaftaran Fidusia dan telah diterbitkan sertifikat fidusia. Sehingga jelas bahwa objek jaminan tersebut secara yuridis masih merupakan milik kreditor yang hanya penguasaannya di kuasai oleh debitor. Pelaksanaan kewajiban membayar cicilan tersebut hanya dilakukan selama 3 bulan yaitu sampai bulan Oktober 2013, untuk bulan selanjutnya debitor tidak sanggup membayar dengan alasan bahwa objek jaminan tersebut telah dipinjamkan kepada pihak ketiga. Kreditor telah berulang kali menghubungi dan menemui debitor untuk meminta melaksanakan kewajibannya membayar cicilan kredit unit mobil dan debitor beralasan bahwa objek jaminan fidusia tersebut dialihkan atau dipinjamkan. Permasalahan diatas merupakan penyewaan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan kreditor.Jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir, yang mengikuti perjanjian pokokonya.Hal ini sejalan dengan Pasal 4 UUJF merupakan perjanjian ikatan dari suatu perjanjian pokok bukan kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi.Artinya bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi, bahwa kewajiban pemenuhan prestasi para pihak sudah diatur dalam perjanjian pokoknya, yang tidak perlu diatur lagi di dalam perjanjian fidusia setelah dibuatnya perjanjian. Putusan Pengadilan Negeri Kisaran memutus bahwa perbuatan yang dilakukan debitor merupakan perbuatan melawan hukum. Hal ini ditegaskan adanya pelanggaran atau ketidaksesuaian kedua Pasal dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu Pasal 23 61
ayat (2) UUJF dan Pasal 36 UUJF.Kasus diatas terjadi penyewaan jaminan fidusia oleh debitor yang tidak sesuai dengan : 1. Pasal 23 ayat (2) UUJF yang berbunyi “pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia “; 2. Pasal 36 UUJF yang berbunyi “pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Menurut penulis sependapat dengan putusan hakim Kisaran bahwa debitor telah melakukan perbuatan melawan hukum dikarenakan perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan. Perbuatan melawan hukum muncul akibat dari undang-undang. Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum ini sering disebut sebagai pasal karet karena seseorang dapat digugat atas perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatannya melanggar undang-undang saja, melainkan juga apabila perbuatan tersebut : 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; 2. Bertentangan dengan hak orang lain; 3. Bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kehati-hatian. Selain hal tersebut, sebuah perbuatan dapat di katakan perbuatan melawan hukum jika terdapat unsur kesalahan.Unsur kesalahan ini sebagai perbuatan dan akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.Unsur kerugian immaterial seperti ketakutan, beban pikiran, dan sebagainya, dan terakhir adalah adanya hubungan sebab akibat yang ditimbulkan atas perbuatan yang dilakukan oleh pihak tersebut (http://tepesidentpostindonesia.com/2014/09/09/wanprestasi-dan-perbuatan-melawanhukum-pmh, diakses pada 25 februari 2016). 62
Awalnya pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit oleh Suharnoko (2004: 121) yaitu sebagai perbuatan melanggar undang-undang saja, akan tetapi Hoge Raad dalam kasusnya yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan melanggar undang-undang, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain (Suharnoko, 2004: 119). Lindenbaum vs Cohen adalah salah satu tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen. Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor Lindenbaum. Perbuatan Cohen cepat diketahui oleh Lindenbaum, akibatnya Lindenbaum langsung mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut.Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah, di tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena tidak ditunjukkan suatu pasal dari undang-undang yang telah dilanggar oleh Cohen. Pada pemeriksaan di tingkat Kasasi Hoge Raad merumuskan pengertian melawan hukum adalah setiap perbuatan atau tidak berbuat yang : 1. Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan undang-undang); 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku (kewajiban yang ditentukan undang-undang); 3. Bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Menurut penulis salah satu perbuatan melawan hukum melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan undang-undang) tidak lepas dengan adanya suatu wanprestasi yaitu terlambat memenuhi prestasi dan melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.Apabila debitor melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya atau salayaknya, ini merupakan 63
pelanggaran hak kreditor atau hak subjektif orang lain. Setiap pelanggaan hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian pelanggaran hak subjektif ini juga tidak lepas dengan adanya pelanggaran kontrak yang dibuat oleh para pihak artinya ketika salah satu pihak melanggar kontrak maka hak subjektif salah satu pihak juga dilanggar.Sehingga mengakibatkan bahwa dapat dituntut dengan ganti kerugian yang nyata dan kerugian immaterial. Beberapa sarjana hukum bahkan menyamakan perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Menurut Asser Ruten, sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan gangguan terhadap hak kebendaan.Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpendapat bahwa dengan tindakan debitor dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tidak layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditor. Setiap pelanggaran orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula bahwa, wanprestasi merupakan suatu species,
sedangkan
genusnya
adalah
perbuatan
melawan
hukum
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-danwanprestasi-sebagai-dasar-gugatan , diakses pada 29 Maret 2016).
Perbedaan wanpresatsi dan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 1.3.perbedaan wanpretasi dan perbuatan melawan hukum Ditinjau dari
Wanprestasi
Sumber hukum
Wanprestasi Pasal1243 timbul
Perbuatan melawan hukum menurut PMH menurut Pasal 1365 KUHPerdata KUHPerdata
dari
tibul
akibat
persetujuan perbuatan orang
(agreement) Timbulnya menuntut
hak Hak menuntut ganti rugi Hak dalam wanprestasi timbul karena dari
Pasal
KUHPerdata, prinsipnya
yang
PMH
ganti tidak
rugi perlu
1243 somasi. Kapan saja terjadi pada PMH, pihak yang dirugikan
membutuhkan langsung mendapat hak untuk
pernyataan lalai (somasi) Tuntutan
menuntut
menuntut ganti rugi.
ganti KUHPerdata telah mengatur KUHPerdata tidak mengatur 64
rugi
tentang
jangka
waktu bagaimana bentuk dan rincian
perhitungan ganti rugi yang ganti rugi. Dengan demikian, dapat dituntut, serta jenis bisa digugat ganti rugi nyata dan jumlah ganti rugi yang dan kerugian immaterial. dapat
dituntut
dalam
wanprestasi. Sumber : menurut Yahya Harahap dalam law office humam fairuzy & rekan Kreditor (PT.Toyota Astra Financial Servive Medan) dan debitor (Tuan Rustam dan Nyonya Leli) telah membuat perjanjian kredit dengan adanya bukti sertifikat jaminan fidusia yang telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.Sehingga dapat dilihat bahwa perjanjian tersebut menimbulkan suatu prestasi yang harus dijalankan oleh para pihak dan karena telah disepakati maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.Akta atau sertifikat jaminan fidusia yang telah didaftarkan tersebut telah memilki kekuatan pembuktian yang sempurna karena dibuat dihadapan notaris dan pihak yang berwenang. Teori hukum perjanjian yang tradisonal mempunyai ciri-ciri menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama suatu kontrak adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak, sehingga prinsip-prinsip iktikad baik dalam sistem hukum civil law dan promissory estopel dalam sistem hukum common law hanya dapat diberlakukan jika perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian (Suharnoko, 2009: 20). Penafsiran gramatikal terhadap suatu kontrak adalah penafsiran suatu kontrak untuk sedapat mungkin berpegang teguh dan tidak menyimpang dari bunyi teks dari kontrak yang bersangkutan.Dengan demikian, penafsiran kontrak secara gramatikal bersifat formal.Sedangkan yang dimaksud dengan penafsiran teleologis adalah penafsiran yang tidak terlalu berpegang pada bunyi teks dari kontrak, tetapi lebih mempertimbangkan maksud dan tujuan, baik maksud dan tujuan dari kontrak maupun dari pembuatan atau penandatanganan kontrak tersebut.Penafsiran kontrak secara gramatikal lebih bersifat historis, karena diselidiki juga maksud para pihak ketika dahulunya menandatangani kontrak tersebut. Menurut KUHPerdata , apabila bahasa kontrak sudah jelas sekali, penafsiran kontrak yang bertentangan dengan bahasa dalam kontrak tidak dapat dibenarkan (sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1342 KUHPerdata). Inilah yang disebut doktrin pengertian jelas (plain meaning rule).Akan tetapi, jika bahasa dalam kontrak masih dapat ditafsirkan, maka KUHPerdata lebih 65
menganut model penafsiran teleologis ketimbang model penafsiran gramatikal (Munir Fuady, 2003: 61). Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat dengan sah dan mengikat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.Perjanjian berlaku sebagai undang-undang mempunyai kekuatan dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Pihak-pihak wajib menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Apabila ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dia dianggap sama dengan melanggar undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu, yaitu sanksi hukum. Jadi, siapa yang melanggar perjanjian, dia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang (perjanjian) (Abdulkadir Muhammad, 2010: 305). Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis. Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis dan mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya (Donald Haris and Dennis Tallon, 1989 : 39). Sebagaimana diketahui Code Civil Perancis memengaruhi Bugerlijk Wetboek Belanda, dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi maka Bugerlijk Wetboek Belanda diadopsi dalam KUHPerdata Indonesia. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Selanjutnya menurut Prof.R.Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang isi menurut hurufnya (R. Subekti, 1998: 41) pelaksaaan suatu perjanjian jika menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut. Di negara-negara maju yang menganut civil law system, seperti Perancis, Belanda dan Jerman pengadilan memberlakukan asas iktikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak, tetapi juga dalam tahap perundingan (the duty of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari (Suharnoko, 2009 : 2). 66
Akan tetapi, beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas iktikad baik dalam proses negosiasi, karena menurut teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir suatu perikatan yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak. Akibatnya, pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak lawannya tidak terlindungi dan tidak dapat menuntut ganti rugi. Di Negara yang menganut common law system, seperti Amerika Serikat, pengadilan menerapakan doktrin promissory estoped untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan (reasonably relied) terhadap janji-janji yang diberikan lawannya dalam tahap pra kontrak (preliminiary negotiation) (Suharnoko, 2009 : 3). Akta perjanjian yang dibuat secara bawah tangan dibandingkan dengan yang dibuat dengan akta notaris, mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda. Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (dalam Subekti, 1997: 3), artinya dapat dipercaya kebenarannya dan tidak lagi memerlukan alat bukti lain. Kebenaran
yang
dimaksudkan
adalah
kebenaran
formal
dan
kebenaran
material.Kebenaran formal, bahwa para pihak yang berjanji benar-benar datang menghadap ke notaris dalam membuat perjanjiannya.Adapun kebenaran material, bahwa isi perjanjian benar-benar seperti yang dituangkan dalam akta perjanjian tersebut.Akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, apabila para pihak membenarkan isi dan tanda tangan yang dibubuhkan. Sebaliknya, jika isinya disangkal oleh salah satu pihak, belum mempunyai kekuatan pembuktian, dan masih memerlukan alat-alat bukti yang lain yang dapat mendukung perjanjian. Pembebanan Fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang disebut dengan Akta Jaminan Fidusia, yang harus memenuhi syarat-syarat yaitu berupa Akta Notaris dan didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Pendaftaran Jaminan Fidusia, diharapkan agar pihak debitor terutama yang nakal, tidak dapat lagi bertindak seenaknya kapada kreditor atau calon kreditor dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menyewakan, menjual barang objek jaminan fidusia tanpa sepengetahuan kreditor asal di kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dibawah naungan Departemen Hukum dan HAM RI Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai bukti bahwa penerima Fidusia memiliki hak fidusia tersebut. Sejalan dengan prinsip memberikan kepastian hukum maka UUJF mengambil prinsip pendaftaran jaminan fidusia.Pendaftaran tersebut diharapkan memberikan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima fidusia maupun pihak ketiga. 67
Pendaftaran tersebut merupakan kewajiban hukum penerima fidusia dalam hal ini PT Toyota Astra Financial Servive Medan telah mendaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM di Sumatera Utara dengan bukti adanya sertifikat fidusia. Sehingga dengan pendaftarantersebut merupakan cara untuk memperoleh hak fidusia dan UndangUndang Jaminan Fidusia berlaku bagi kedua belah pihak. Fidusia baru lahir setelah perjanjian jaminannya tercatat dalam buku daftar fidusia.Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUJF membebankan permohonan pendaftaran jaminan fidusia kepada penerima fidusia, karena pihak ini dipandang sebagai pihak yang berkepentingan mengamankan hutang yang telah diberikan kepada pemberi fidusia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia menegaskan bahwa benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarakan dan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pendaftaran jaminan fidusia dengan mudah, cepat, dan biaya rendah, perlu dilakukan pelayanan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik. Sehingga tidak ada alasan apapun oleh kerditor atau penerima jaminan fidusia untuk menolak atau tidak mendaftarkan jaminan fidusia kepada pihak yang berwenang. Dilihat dari segi pihak yang mengadakan perjanjian fidusia, sebenarnya pihak pemberi fidusia yang dipandang bertanggungjawab untuk mendaftarkan fidusia, karena dia memberikan jaminan tersebut.Keharusan melakukan pendaftaran fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF sehingga memperoleh sertifikat fidusia. Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang pendaftaran jaminan fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia juga menegaskan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. Namun apabila pendaftaran itu dibebankan kepada pemberi fidusia mengandung risiko akan kelalaian oleh orang yang bersangkutan, karena akan berakibat fatal bagi penerima fidusia tidak mempunyai hak kebendaan terhadap objek perjanjian fidusia. Suatu perjanjian penjaminan, biasanya memang antar kreditor dan debitor disepakati janji-janji tertentu, yang pada umumnya dimaksudkan untuk memberikan suatu posisi yang kuat bagi kreditor dan nantinya sesudah didaftarkan dimaksudkan untuk juga mengikat pihak ketiga. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa 68
pendaftaran meliputi pendaftaran benda maupun ikatan jaminannya, maka semua janji yang termuat dalam akta jaminan fidusia (dalam Pasal 13 ayat (2) b dicatat dalam buku daftar Kantor Pendaftaran Fidusia) dan mengikat pihak ketiga. Jaminan fidusia harus didaftarkan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF.Dengan adanya pendaftaran terdsebut, UUJF memenuhi asas publisitas yang merupakan salah satu asas utama hukum jaminan kebendaan. Ketentuan tersebut dibuat dengan tujuan bahwa benda yang dijadikan objek benar-benar merupakan barang kepunyaan debitor atau pemberi fidusia sehingga kalau ada pihak lain yang hendak mengklaim benda tersebut, pihak lain dapat mengetahuinya melalui pengumuman tersebut. Bilamana lembaga pembiayaan (Leasing) tidak mendaftarkan jaminan fidusia pada instansi yang berwenang, sekalipun telah memperoleh Kuasa dari Pemberi Fidusia untuk mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud, maka apabila terjadi pengalihan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia adalah termasuk dalam lingkup perkara perdata, tetapi apabila jaminan fidusia dimaksud telah didaftarakan pada instansi yang berwenang, maka apabila terjadi pengalihan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, maka pemberi fidusia dapat dijerat dalam perkara pidana sebagaimana dalam Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) Penulis tidak sependapat dengan pendapat tersebut, belum atau sudahnya pendaftaran fidusia merupakan termasuk ruang lingkup perdata. Jika memang debitor melakukan penyewaan terhadap objek jaminan fidusia sebelum didaftarakn kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maka akibat hukumnya kreditor tidak memiliki hak preferent, sehingga kreditor hanya menggunakan perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat. Dikarenakan tidak didaftarkan dan kreditortidak memiliki hak preferent maka debitor dianggap wanprestasi terhadap yang sudah dijanjikan. Sedangkan jika debitor melakukan penyewaan terhadap objek jaminan fidusia yang sudah berkekuatan hukum atau sudah didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kreditor mendapatkan sertifikat fidusia yang memiliki hak sesuai apa yang tercantum dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Sehingga 69
debitor dikatakan wanprestasi dan melakukan perbuatan melawan hukum yang masih termasuk dalam lingkup perdata. Penerima fidusia memiliki Hak Preferent yaitu hak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi Objek jaminan Fidusia.Hak Preferent baru diperoleh pada saat didaftarkannya Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia dan hak dimaksud tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka Fidusia yang menjamin hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan Fidusia. Dengan alasan apapun, benda jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka fidusia atas benda tersebut tetap berlaku dan tidak ada kewajiban dan tanggung jawab Penerima Fidusia atas akibat kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pemberi fidusia, yang timbul karena hubungan kontraktual ataupun karena perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi Objek jaminan fidusia tersebut.Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UUJF, diberikan kepada hak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia. Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara : 1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia; 2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan; 3. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tinggi yang menguntungkan para pihak. Barang-barang yang dibebani dengan jaminan hutang memberikan hak kebendaan (zakelijk reht).Menurut Soedewi (1980: 87) hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Suatu hak kebendaan pada dasarnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
70
1. Bersifat mutlak, karena hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Pihak lain tidak dapat merebut atau menghapuskan hak kebendaan begitu saja; 2. Hak kebendaan mengikuti terus kepada bendanya (droit de suit) kemana saja, meskipun terjadi pemindahtanganan hak milik; 3. Menganut sistem tingkatan, hak kebendaan yang ada lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hak kebendaan yang terjadi belakangan. Hak kebendaan kreditor memiliki kekuasaan langsung terhadap objek jaminan semata-mata untuk kepentingan pelunasan hutang dan kreditor memiliki kedudukan yang istimewa (preferent) daripada kreditor-kreditor lainnya (konkruen) (Gatot Supramono, 2014: 60). KUHPerdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian.Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian.Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Menurut teori klasik membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum, dapat dilihat dalam tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position ih he would been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau winstderving.Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadi perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss (Suharnoko,2014 : 118). Perjanjian dalam pelaksanaannya memungkinkan untuk tidak terlaksana atau tidak sempurna, baik karena kesalahan maupun karena kekuatan memaksa namun 71
adakalanya perjanjian tidak terlaksana sepenuhnya seperti yang disepakati bahkan perjanjian dapat pula tidak terlaksana sama sekali. Kondisi tidak terlaksananya perjanjian tersebut dikenal dengan istilah wanprestasi. Klausula perjanjian pemilikan kendaraan pada perusahaan pembiayaan memberikan ketegasan mengenai akibat hukum dari setiap bentuk wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian, yaitu : 1. Keterlambatan angsuran maupun denda keterlambatan debitor kepada kreditor oleh karena alasan apapun, maka hal ini telah membuktikan debitor melakukan wanprestasi dalam perjanjian; 2. Perusahaan pembiayaan atau disebut kreditor dapat memutuskan perjanjian setiap saat bilamana debitor melanggar ketentuan perjanjian; Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.Sisi aktif menimbulkan beban kewajiban bagi debitor untuk melaksanakan prestasinya.Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Wanprestasi
dapat
berupa
tidak
melaksanakan
yang
diperjanjikan,
melaksankan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi kreditor bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada debitor agar kreditor tidak dirugikan terhadap debitor yang nakal (http://www.hukumonline.com/berita/baca/ho1316/perbuatan-melawan-hukum-san-
wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan, diakses pada 25 februari 2016). Debitor dikatakan wanpresatasi manakala debitor tersebut karena kesalahnnya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut R. Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Persoalannya adalah kapan debitor dapat dikatakan wanprestasi.Menganai hal tersebut perlu dibedakan bentuk prestasinya sebab prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seseorang debitor dapat dikatakan telah wanprestasi. Wujud prestasi dalam hal memberikan sesuatu, maka perlu pula dipertanyakan didalam perjanjiannya telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitor sudah dianggap 72
wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu terlebih dahulu memperingatkan debitor guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi. Surat peringatan kepada debitor tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan alat bukti bahwa debitor telah wanprestasi. Perikatan yang wujud prestasinya tidak berbuat sesuatu kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitor dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitor melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka debtor tersebut dinyatakan telah wanprestasi (R.Subekti.1979: 45). Wanprestasi yang dilakukan debitor dapat berupa : 1. Tidak melakukan apa yan disanggupi akan dilakukan; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Akibat hukum debitor melakukan wanprestasi dari segi hukum keperdataan adalah sebagai berikut : 1. Debitor diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUH Perdata); 2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga.Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditor seandainya tidak terjadi wanprestasi.Kewajiban debitor untuk membayar ganti rugi serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditor ke debitor (Pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata), yang intinya bahwa penggantian biaya ganti rugi atas tidak dipenuhinya suatu kewajiban dikarenakan kelalaian. Debitor dinyatakan lalai apabila: 1. Tidak memenuhi prestasi; 2. Terlambat berprestasi; 3. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya(Agus Yudha Hernoko, 2010 : 261). 73
Pada umumnya wanprestasi dinyatakan baru terjadi bila ada pernyataan lalai dari pihak kreditor kepada debitor.Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitor untuk memenuhi prestasinya
dengan
sanksi
tanggung
gugat
atas
kerugian
yang
dialami
kreditor.Menurut undang-undang peringatan (somatie) kreditor mengenai lalainya debitor harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Jadi lembaga pernyataan lalai merupakan upaya hukum untuk sampai pada fase debitor dinyatakan wanprestasi (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 261) Praktek suatu lembaga pembiayaan (Leasing), bilamana terdapat debitornya yang menunggak
pembayarannya
sampai
beberapa
bulan,
kadang
dilakukan
penarikan.Tidak jarang terjadi penarikan terhadap objek jaminan fidusia dimaksud dilakukan secara terpaksa oleh Debt Collector penerima fidusia walaupun ada pula yang dengan sukarela oleh pemberi fidusia. Apabila penarikan tidak secara sukarela, maka akan menimbulkan permasalahan baru dalam perkara pidana bagi penerima fidusia yaitu adanya dugaan perampasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP. Tujuan diadakan perjanjian yaitu hasil akhir yang diperoleh pihak-pihak berupa pemanfaatan, penikmatan dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhan kebutuhan pihak-pihak. Pemenuhan kebutuhan tidak akan tercapai jika tidak dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara pihak-pihak. Tujuan perjanjian yang akan dicapai oleh pihak-pihak tersebut sifatnya harus halal, artinya tidak dilarang undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat (Abdulkadir Muhammad, 2010: 292). Objek jaminan tersebut ternyata disewakan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari kreditor, sedangkan pihak debitor maupun pihak ketiga mengakuinya, maka kreditor dengan dasar perjanjian konsumen dapat memberikan somasi yang selanjutnya mempunyai daya paksa untuk menarik objek jaminan fidusia tersebut dan apabila perlu dapat meminta bantuan kepolisian. Debitor menguasakan atau memberikan surat kuasa kepada kreditor untuk bertindak sebagai kuasa konsumen dalam hal pemutusan perjanjian untuk tujuan pemilikan kembali dan penjualan kembali barang untuk memenuhi jumlah-jumlah terhutang oleh debitor kepada kreditor. Pihak kreditor berhak meminta, mengambil atau menarik kembali kendaraan dari pihak debitor atau pihak lain yang menguasainya.Hal ini didasarkan dari sifat objek jaminan fidusia yang bersifat mendahului (droit de preferent).Namun, apabila 74
pihak debitor tidak mengakui dan tidak menunjukkan objek jaminan fidusia yang telah disewakan kepada pihak ketiga, maka kreditor melakukan verifikasi lapangan dan pemeriksaan jaminan. Sehingga jelas bahwa akibat hukum debitor yang menyewakan objek jaminan fidusia dapat dipertanggungjawabkan secara perdata, yaitu dengan melunasi tagihan yang sudah diperjanjikan atau menarik objek jaminan fidusia, serta ganti kerugian akibat objek jaminan fidusia yang telah disewakan. Larangan penyewaan objek jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUJF dan Pasal 36 UUJF menegaskan akibat hukum debitor yang melakukan penyewaan jaminan fidusia dengan memidanakan debitor tersebut, sangat memberatkan pihak debitor. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.Seorang kreditor dalam melaksanakan haknya harus memperhatikan kepentingan debitor dalam situasi tertentu.Jika kreditor menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitor mungkin kreditor dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan iktikad baik. Jika faktor penyebab objek jaminan fidusia antara lain debitor membutuhkan dana untuk membayar angsuran kredit setiap bulannya apakah kreditor dapat menyita atau bahkan mengambil objek jaminan tersebut. Sehingga kreditor dalam pembuatan perjanjian jaminan fidusia yang dibuat secara baku dapat ditambahkan Pasal atau klausula pengecualian terhadap pengalihan objek jaminan fidusia yang diperuntukkan memenuhi kredit yang debitor jalankan. Menurut Munir Fuady, perjanjian baku adalah suatu perjnjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak, bahkan seringkali sudah tercetak dalam bentuk formulirformulir yang dibuat oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika perjanjian tersebut ditandatangani, umumnya para pihak hanya mengisi data-data informatif tertentu saja dengan atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegoisasi, mengubah klausul yang dibuat oleh salah satu pihak, sehingga biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah. Demikian pula mengenai syarat-syarat baku dalam perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa perlu merundingkan terlebih dahulu isinya. Maka perjanjian baku hakikatnya merupakan perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. Klausula perjanjian baku sebelumnya telah ditetapkan secara sepihak oleh salah satu pihak, yaitu pihak yang umumnya dapat dikatakan sebagai pihak yang 75
menentukan, karena mempunyai bargaining position yang jauh diatas pihak lainnya, baik dalam kedudukan ekonomis, pengetahuan dan pengalaman berkenaan yang menyangkut objek dari perjanjian tersebut, sedangkan pihak lainnya yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah tidak diajak merundingkan persyaratan dan perjanjian tersebut. Dilihat dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak artinya pihak pengusaha cenderung melindungi kepentingannya sedemikian rupa dengan menetapkan sejumlah hak, sekaligus membatasi hak pihak lawan, sebaliknya pengusaha meminimalkan kewajibannya sendiri dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan, sehingga berbagai klausula eksonerasi yang dibuat oleh pengusaha, cenderung menguntungkan pengusaha sekaligus memberatkan pihak lawan perjanjiannya. Kata lain, perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seperti pembentuk undang-undang swasta, syarat-syarat yang ditentukan pengusaha didalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Uraian di atas, menunjukan bahwa perjanjian baku hakikatnya memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat; 2) Masyarakat (debitor) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; 3) Terdorong oleh kebutuhannya debitor, terpaksa menerima perjanjian itu; 4) Bentuk tertentu (tertulis); 5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif. Simpulannya perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distrandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya dapat memilih untuk menerima atau menolak isi perjanjian tersebut. Selain itu, karena perjanjian pembiayaan konsumen juga diikat dengan jaminan fidusia, maka sesuai ketentuan Pasal 35 UUJF dan Pasal 36 UUJF pihak Kreditor juga dapat memidanakan pihak debitor. Hukum dan perubahan sosial masyarakat merupakan dua aspek yang saling terkait dan berinteraksi.Disatu sisi, hukum dapat merubah nilai-nilai yang dianut masyarakat dan disisi lain, masyarakat memerlukan hukum untuk dapat mengatur kehidupannya yang kompleks.Hukum disusun tanpa memperhatikan nilai sosial dalam masyarakat, pada akhirnya tidak efektif untuk menimbulkan perubahan sebagaimana yang 76
diharapkan. Demikian juga halnya, penyusunan hukum yang hanya berorientasi tujuan tanpa memperhatikan sarana yang diperlukannya tidak akan efektif menimbulkan perubahan. Khusus untuk Indonesia, saat ini terjadi proses transformasi dari nilai-nilai tradisional menuju nimai-nilai modern, walaupun masih ada keraguan untuk menentukan nilai mana yang harus diganti dan nilai apa yang menjadi penggantinya. Namun demikian hukum dan perubahan sosial masyarakat suatu keharusan dan sudah menjadi hukum alam yang sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai subjek pemakai hukum. Demikian halnya pembuatan perjanjian harus melihat kepentingan kedua belah pihak, dimana kreditor harus memahami keadaan debitor dalam pemenuhan perjanjian kredit atau hutang piutangnya sehingga ketika debitor menyewakan objek jaminan fidusia ke pihak ketiga dengan tujuan memenuhi kreditnya, kreditor dapat memberikan persetujuan.Para pihak dalam hubungan kontrak juga harus bergantung pada satu sama lain untukmemenuhi kebutuhan atau keinginan mereka. Berbeda dengan pihak dalam hubungan status,Namun, tidak dapat menggunakan kekuatan atau monopoli untuk mencapai tujuannya (Austin W. Scoot.1949. “The Fidusia Prinsip”, California Law Review, Vol 37.) . “ .Debitor juga harus memiliki iktikad baik untuk memperoleh persetujuan kreditor dalam menyewakan objek jaminan fidusia dengan memberitahukan kreditor tentang penyewaan objek jaminan fidusia tersebut. Persetujuan tersebut lebih baik dituangkan dalam surat pernyataan agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari. Hakikatnya keberadaan lembaga jaminan fidusia adalah untuk membantu nasabah debitor bahwa objek jaminan yang tidak diserahkan kepada kreditor adalah agar dapat digunakan untuk melakukan usaha, sehingga hasil usaha tersebut digunakan untuk melunasi hutangnya kepada pihak kreditor. B. Perlindungan Hukum Bagi Kreditor dan Pihak Ketiga Pada Perjanjian Penyewaan Objek Jaminan Fidusia Oleh Debitor Tanpa Persetujuan Kreditor Sewa menyewa adalah perjanjian, dimana pihak yang menyewakan mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak penyewa kenikmatan atas suatu benda selama waktu tertentu dengan pembayaran harga sewa tertentu (Pasal 1548 KUHPerdata).Berdasar pada rumusan pasal tersebut dapat diidentifikasikan empat unsur utama sewa menyewa, yaitu subjek sewa-menyewa, perbuatan sewa menyewa, objek sewa menyewa, dan jangka waktu sewa menyewa (Abdulkadir Muhammad, 2010: 345).
77
Sewa menyewa secara tertulis, berlakulah ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut, apabila sewa-menyewa dibuat secara tertulis, sewa menyewa itu berakhir demi hukum jika waktu sewa yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukan pemberitahuan untuk itu. Sedangkan perjanjian sewa menyewa dibuat secara tidak tertulis, berlakulah ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata.Menurut ketentuan Pasal tersebut, apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tidak tertulis, sewa menyewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, tetapi apabila pihak yang menyewakan hendak menentukan sewa-menyewa, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jadi, tanpa pemberitahuan tersebut, pihak yang menyewakan dianggap telah menyetujui perpanjangan sewamenyewa untuk jangka waktu yang sama (Abdulkadir Muhammad, 2010: 350). Jika pihak yang menyewakan telah memberitahukan kepada pihak penyewa bahwa dia hendak menghentikan sewa menyewa, pihak penyewa meskipun tetap menikmati bendanya, tidak dapat mengajukan alasan telah terjadi sewa menyewa ulang secara diam-diam (Pasal 1572 KUHPerdata).Jika setetah berakhirnya sewa menyewa yang dibuat secara tertulis pihak penyewa tetap menguasai benda yang disewa dan dibiarkan menguasainya dengan demikian terjadi sewa-menyewa baru yang akibatnya diatur menurut perjanjian tidak tertulis (Pasal 1573 KUHPerdata). Sesuai asas konsensual yang menjadi dasar perjanjian, sewa menyewa itu dinyatakan sudah terjadi dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan mengenai benda dan harga sewa sebagai unsur esensial perjanjian sewa-menyewa.Ketika pihak penyewa dan pihak yang menyewakan menyatakan setuju tentang benda dan harga sewa, ketika itu pula sewa menyewa terjadi dan mengikat secara sah kedua belah pihak.Menurut ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, sewa menyewa dianggap sudah terjadi ketika pihak penyewa dan pihak yang menyewakan mencapai kata sepakat tentang benda dan harga sewa. Pasal 1579 KUHPerdata yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang,pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa pemilik barang akan memakai sendiri barangnya kecuali apabila pada waktu mengadakan perjanjian sewa-menyewa.Waalupun barang jaminan bukan berada di tangan kreditor, dan dengan mendasarkan jaminan fidusia, kreditor tetap berhak untuk menarik barang tersebut dari debitor, manakala debitor telah wanprestasi atas hutangnya.Penarikan barang jaminan tersebut dalam rangka untuk melakukan eksekusi fidusia, demi kepentingan pembayaran hutang debitor. 78
Sebagaimana telah dimaksudkan dengan jaminan fidusia dari Pasal 1 ayat (2) UUJF adalah Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bengunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagimana agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Konsep fidusia seperti itu sudah sepantasnya perlindungan hukum bagi pihak pemberi fidusia atau debitor menjaga agar benda jaminan tersebut tetap berada dalam kekuasaannya.Namun kenyataannya sangat mungkin benda jaminan fidusia berpindah tangan atau berpindah penguasaannya kepada pihak ketiga, karena dialihkan oleh debitor pemberi jaminan fidusia dengan menyewakan objek jaminan fidusia. Pihak penerima fidusia sebagai kreditor akan diposisikan pada posisi tidak menguntungkan karena benda jaminan ternyata tidak lagi berada di dalam kekuasaan pemberi jaminan (debitor). Jelas terhadap penyewaan tersebut akan merugikan pihak penerima jaminan atau kreditor jika debitor tidak meminta ijin secara lisan maupun secara tertulis dari pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi penerima jaminan tidak mendapatkan pemenuhan dari pelunasan piutangnya.Dengan demikian perlindungan hukum bagi penerima fidusia harus diperhatikan. Jaminan fidusia yang telah dicatat akan mendapatkan sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan oleh kantor pendaftaran fidusia yang akan diserahkan kepada penerima fidusia. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UUJF, penerbitan sertifikat jaminan fidusia dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia merupakan tanda bukti hak atas fidusia bagi kreditor selaku pemegang fidusia. Sertifikat tersebut merupakan bukti bahwa pemberi fidusia memiliki hutang kepada pemegang fidusia, tanpa perlu menunjukkan perjanjian hutangpiutangnya kepada pihak manapun akan mempercayainya. Salah satu cara untuk melindungi kepentingan kreditor adalah dengan memberikan ketentuan yang pasti terhadap kreditor. Diaturnya data yang lengkap yang harus termuat dalam jaminan fidusia, secara tidak langsung memberikan pegangan yang kuat bagi kreditor sebagai penerima fidusia, khususnya tagihan mana yang dijamin dan besarnya nilai jaminan menentukan seberapa besar tagihan kreditor preferent.
79
Perlindungan hukum dan kepentingan kreditor dalam UUJF dapat dilihat pada Pasal 20 UUJF bahwa fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda tersebut, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.Ketentuan tersebut menegaskan bahwa jaminan fidusia mempunyai sifat kebendaan dan berlaku tehadap asas droit de suite, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Perlindungan yang sama juga terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) yang menegaskan bahwa jaminan fidusia mempunyai sifat kebendaan dan berlaku terhadapnya asas droit de suit, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia, pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dan penerimaan fidusia. Sanksi terhadap ketentuan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 UUJF yang berbunyi setiap orang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.- (seratus juta rupiah). Ancaman hukuman adalah suatu keterangan sedemikian rupa dari seseorang untuk jaminan pelaksanaan perikatan, yang diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi. Maksud dari ancaman hukuman tersebut adalah : 1. Untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi; 2. Untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila wanprestasi dan untuk menghindari pertengkaran tentang hal itu. Adanya janji ancaman hukuman tersebut, maka kreditor tidak bebas dari kewajiban untuk membuktikan tentang besarnya jumlah yang dideritanya. Batal perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman hukuman dan batalnya ancaman hukuman tidak berakibat batalnya perikatan pokok Atas segala tindakan dan kelalaian pemberi fidusia, penerima fidusia berdasarkan karena kelalaian tersebut tidak bertanggungjawab, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUJF bahwa Penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul 80
dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Sri Ahyanai.2011.”Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Melalui Perjanjian Jaminan Fidusia”,jurnal wawasan hukum.Vol.24 No.1hal :314). Berdasarkan dari teori perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Negara wajib mewujudkan melalui Peraturan PerUndang-Undangan terkait dalam hal ini adalah UUJF. Bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada PT. Toyota Astra Financial Service Medan sebagai penerima fidusia selain mendaftarkan jaminannya adalah mewajibkan debitor supaya mendapatkan persetujuan tertulis dalam hal penyediaan jaminan pengganti yang setara nilainya, sehingga secara argumntum a centrario, maka debitor tidak dapat mengganti objek jaminan fidusia secara tanpa adanya persetujun tertulis. Hal tersebut menyebabkan para debitor wajib menggantikan benda jaminan fidusia, apabila benda tersebut disewakan kepada pihak lain. Kelalaian debitor, sehingga menyebabkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia beralih penguasaannya kepada pihak ketiga dalam hal ini disewakan kepada pihak ketiga, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitor. Sebagaimana pula disampaikan oleh Henry Subagyo sebagai berikut pada perjanjian fidusia pada intinya juga ditentukan kewajiban sebagai debitor selaku pemberi jaminan untuk memelihara agar benda jaminan yang secara fisik ada pada penguasaannya tetap dalam kondisi relatif baik.Dengan demikian, debitor (pemberi fidusia) wajib mengganti benda jaminan, apabila benda tersebut rusak, hilang atau telah beralih. Kelalaian atas benda jaminan adalah tanggungjawab debitor, termasuk jika memang debitor melakukan perbuatan melawan hukum pidana yang bisa berakibat perampasan benda jaminan oleh pihak hukum (Henry Subagiyo, 2006, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Kepemilikan Jaminan Fidusia Dalam Upaya Pemberantasan Illegal Logging, Jurnal Konstitusi, Volume 3 No. 2, Mei 2006, hal.108). Teori perlindungan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjo, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum represif dan preventif. Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Kaitannya dengan 81
perlindungan hukum represif bertujuan untuk memberikan keadilan dalam proses persidangan apabila terjadi sengketa penyewaan objek jaminan fidusia oleh debitor kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditor. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan
hukum
yang
bertujuan
untuk
mencegah
terjadinya
sesuatu
sengketa.Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut (Philipus M. Hadjon, 1987: 3).Pengertian perlindungan hukum lainnya adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Suatu bentuk peraturan perundangundangan merupakan wujud perlindungan secara preventif, karena mencegah terjadinya sengketa.Sehingga perlindungan preventif terhadap kreditor adalah pemberian jaminan fidusia harus melalui pendaftaran sesuai bunyi Pasal 3 UUJF dengan tujuan kepastian kreditor (kreditor yang diutamakan atau Preferent).Sehingga untuk mewujudkan bagi perlindungan dirinya sendiri (kreditor) hendaknya setiap perjanjian terkait dengan jaminan fidusia haruslah didaftarkan dan mewajibkan debitor supaya mendapatkan persetujuan tertulis dalam hal penyediaan jaminan pengganti yang setara nilainya, sehingga secara argumntum a centrario, maka debitor tidak dapat mengganti objek jaminan fidusia secara tanpa adanya persetujun tertulis. Selain itu perlindungan preventif yang diberikan kepada debitor adalah dengan melakukan konsultasi kepada notaris agar dapat mengerti pengertian dalam perjanjian sehingga tidak menumbulkan salah tafsir dan juga dapat melalui penegasan isi Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 yang terdapat dalam UUJF atau dengan menambah klausula dalam perjanjian bahwa penyewaan jaminan fidusia boleh dilakukan dengan syarat ada persetujuan dari kreditor dan ditujukan untuk pemenuhan kredit yang sedang dijalani. Karena di dalam Pasal 36 UUJF langsung ditegaskan bahwa debitor yang menyewakan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan kreditor dipidana 2 Tahun dan denda paling banyak 50.000.000 tanpa melihat keadaan atau kondisi perekonomian debitor. Jika debitor melakukan penyewaan objek jaminan fidusia tersebut tanpa persetujuan kreditor, tetapi memiliki iktikad baik untuk memenuhi tagihan atau angsuran yang harus dibayar oleh debitor kepada kreditor, sanksi tersebut dapat dikatakan tidak efektif.Selain itu penerima fidusia atau kreditor, untuk mendapatkan perlindungan hukum maka harus mendaftarkan objek jaminan tersebut 82
kepada kantor pendaftaran fidusia yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jika pendaftaran tersebuttelah dilaksanakan maka ketentuan dalam UUJF akan berlaku. Sedangkan perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.Dalam hal perlindunga represif debitor yang menyewakan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditor dapat diberi sanksi jika kasus tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai) dan secara sengaja untuk mengalihkan atau menyewakan objek jaminan fidusia dengan iktikad tidak baik.Selain ada sanksi pidana yang dijelaskan dalam Pasal 36 UUJF tersebut ada suatu tindakan penarikan objek jaminan fidusia jika debitor tidak dapat melunasi atau membayar tagihan yang sudah diperjanjikan. Terlihat bahwa para pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia menurut UUJF sama-sama diberikan perlindungan hukum, bagi pemberi jaminan fidusia atau debitor perlindungan berupa adanya hak pakai atas benda jaminan, dan wanprestasi pemberi jaminan tidak akan menyebabkan benda jaminan dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah diberikannya hak preferent atas piutangnya, dan berlakunya asas droit de suit atas benda jaminan, bagi pihak ketiga asas publisitas dalam perjanjian fidusia akan memberikan informasi terhadap benda-benda yang difidusiakan. Sehingga dengan adanya asas publisitas dalam perjanjian fidusia dan pendaftaran pada Kantor Kementerian Hukum dan HAM, pihak ketiga yang ingin menyewakan dapat mengetahui objek jaminan fidusia sudah menjadi daftar perjanjian hutangpiutang atau perjanjian kredit menjadikan. Ketentuan Pasal 1384 KUHPerdata menyatakan bahwaadalah perlu bahwa orang yang membayar itu adalah pemilik mutlak barang yang dibayarkan dan juga berkuasa memindahtangankannya, supaya pembayaran yang dilakukan itu sah. Meskipun demikian, pembayaran sejumlah uang atau sesuatu barang lain yang dapat dihabiskan, tidak dapat diminta kembali dari sesorang yang dengan iktikad baik telah menghabiskan barang yang telah dibayarkan itu, sekalipun pembayarannya itu telah dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau orang yang tak cakap mengasingkan barang tersebut. Rumusan tersebut diatas menunjuk pada pemenuhan perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu. Dalam hal yang demikian, khusus untuk pemenuhan perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, yang berhubungan dengan peralihan hak milik atas kebendaan yang wajib diserahkan atau diberikan tersebut, maka jelas, bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas suatu benda tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan 83
dengan pemilikan (pengakuan), karena peletakan, karena daluarsa, kerena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap barang itu “. Bahwa pemenuhan perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik hanya dapat dilakukan oleh debitor atas kebendaan yang benar-benar merupakan miliknya sendiri. Walau demikian, berdasarkan pada sifat dan jenis perikatannya (dalam hal ini untuk menyerahkan sesuatu yang tidak bersifat spesifik), Pasal 1382 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, dalam hal objek berupa kebendaan yang menjadi dasar keberadaan perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu bukanlah sesuatu yang bersifat unik, maka pemenuhan perikatan dapat juga dilakukan oleh pihak lain,baik oleh mereka yang secara bersama-sama terikat secara tanggung renteng, maupun sebagai penanggung hutang, atau bahkan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan selama dan sepanjang mereka ini berhak dan berwenang untuk berbuat bebas atau kebendaan yang akan diserahkan sebagai bentuk pemenuhan perikatan debitor terhadap kreditor. Jadi jelaslah bahwa ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tetap dipegang teguh disini (Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003: 44-46). Secara keseluruhan maka, beberapa hal yang dapat menunjukkan adanya perlindungan hukum terhadap kreditur (penerima fidusia) menurut UUJF, antara lain sebagai berikut : a. Adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia, yang tidak lain adalah untuk menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia; b. Adanya larangan pemberi fidusia untuk memfidusiakan ulang obyek jaminan fidusia (Pasal 17); c. Adanya ketentuan bahwa pemberi fidusia tidak diperbolehkan untuk mengalihkan menggadaikan atau menyewakan (Pasal 23 Sub 2); d. Adanya ketentuan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda jaminan, kalau kreditur hendak melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan fidusia; e. Adanya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Larangan penyewaan objek jamianan fidusia telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUJF dan Pasal 36 UUJF menegaskan akibat hukum debitor yang melakukan penyewaan jaminan fidusia dengan memidanakan debitor tersebut, sangat memberatkan pihak debitor. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap 84
perjanjian
harus
dilaksanakan
dengan
iktikad
baik.Seorang
kreditor
dalam
melaksanakan haknya harus memperhatikan kepentingan debitor dalam situasi tertentu.Jika kreditor menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitor mungkin kreditor dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan iktikad baik. Jika faktor penyebab objek jaminan fidusia antara lain debitor membutuhkan dana untuk membayar angsuran kredit setiap bulannya kreditor tidak dapat langsung menyita atau bahkan mengambil objek jaminan tersebut. Sehingga kreditor dalam pembuatan perjanjian jaminan fidusia yang dibuat secara baku dapat ditambahkan Pasal atau klausula perkecualian terhadap pengalihan khususnya penyewaan objek jaminan fidusia yang diperuntukkan memenuhi kredit yang debitor jalankan. Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.Sementara itu, Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundinganperundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masingmasing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan
dalam
batas-batas
yang
wajar
terhadap
pihak
lawan
sebelum
menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik. Berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang terjadi tergolong cacat kehendak atau cacat kesepakatan karena mengandung kekhilafan di mana terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Dan bisa juga dikategorikan sebagai penipuan karena terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu. Dalam hal tersebut barang yang disewakan kepada pihak ketiga merupakan barang jaminan fidusia sehingga patut diduga ada kekhilafan atau kesesatan.Sedangkan dilihat dari sudut pandang tindakannya di mana penyewa mengaku barang tersebut merupakan milik penyewa yang tidak merupakan barang jaminan fidusia maka terjadi penipuan. Secara 85
jelas hal tersebut yaitu kesesatan atau kekhilafan merupakan penyebab cacat kehendak yang terdapat dalam Pasal 1321 KUHPerdata dan 1449 KUHPerdata yang masingmasing menentukan sebagai berikut.Pasal 1321 KUHPerdata menjelaskan bahwa tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Pasal 1449 KUHPerdata bahwa perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Setiap pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian harus melandasinya dengan iktikad baik.Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.Artinya, dalam pembuatan dan pelaksanaan
perjanjian
harus
mengindahkan
substansi
perjanjian
ataukontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika kemudian ditemukan adanya iktikad tidak baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maupun dalam pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beriktikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Dalam hal pembeli beriktikad baik maka dalam perlindungannya KUHPerdata dalam Pasal 1491 memberikan perlindungan berupa penanggungan pasal tersebut menyebutkan bahwa penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang
sedemikian
rupa
hingga
menerbitkan
alasan
untuk
pembatalan
pembeliannya.” Dalam adanya penanggungan ini meskipun tidak diperjanjikan namun tetap berlaku mengikat penjual sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1492 KUHPerdata, yaitu meskipun pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji tentang penanggungan, namun penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung pembeli terhadap suatu penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang piak ketiga, atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga memilikinya tersebut dan tidak diberitahukan sewaktu pembelian dilakukan. Kemudian terhadap pembeli yang beriktikad baik atau karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian jual beli maka bisa mendapatkan ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yaitu Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa
86
pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga. Sehingga sama halnya dengan sewa menyewa bahwa penyewa memiliki iktikad baik untuk menyewa kendaraan tersebut dan debitor wajib mengetahui penguasaan barang yang disewakan itu secara aman dan tenteram, dan memastikan terhadap adanya cacatcacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya. Maka sesuai KUHPerdata dalam Pasal 1491 penyewa yang beriktikad baik dapat dilindungi.
87