BAB III MOTINGGO BUSYE DAN KARYA-KARYANYA
A. Motinggo Busye Nama aslinya adalah Motinggo Bustami Dating, tetapi dia mengganti namanya dengan Motinggo Busye dan nama itulah yang kini lebih di kenal, lahir tanggal 21 November 1937 di Kupangkota, Lampung. Orang tua Motinggo Busye berasal dari Minangkabau, ayahnya bernama Djalid dengan gelar adat Raja alam nama lengkapnya Djalid Sutan Raja Alam
sedang
ibunya bernama Rabi’ah Ja’kub. Motinggo Busye menikah dengan Lashmi Bachtiar pada 26 Juli 1962 di Yogyakarta, mereka di kauniyahi enam orang anak empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Motinggo Busye meninggal dunia pada 18 juli 1999 tepatnya pada usia 62 tahun dimakamkan di Jakarta.1 1. Biografi Motinggo Busye a. Masa Kecil Motinggo Busye Kenangan akan sepeda roda tiga yang dipatahkan perwira Jepang, yang kemudian menggantinya dengan mesin tik, serta “Mobil Buku” Balai Pustaka yang ditinggalkan lari sopirnya, mempunyai kesan yang mendalam pada diri pengarang ini. Menurutnya kedua peristiwa ini terjadi di tempat kelahirannya itu pada saat pertama kali pendaratan tentara Jepang di Indonesia sekitar bulan maret 1942, mungkin yang mendorongnya dikemudian hari menjadi pengarang. Pada saat itu dia baru berusia lima tahun2 . Peristiwa itu bermula ketika ayahnya mengangkut buku-buku dan ”Mobil Buku” Balai Pustaka yang ditinggalkan oleh sopirnya ketika tentara Jepang mendarat, sementara pada saat itu penduduk yang lain lebih suka dan tertarik mengambil peralatan kendaraan tersebut. Ketika 1
Ensiklopedi Sastra Indonesia Moderen, (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2003) Cet. II,
hlm. 181. 2
Endo Senggono, Motinggo Busye Sastrawan Yang Konsisten Dalam Kesenian, (Yogyakarta: CV. Adipura, 1999), hlm. 144.
30
ia sudah bisa membaca, buku-buku terbitan Balai Pustaka seperti terjemahan karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba ( terjemahan Haji Agus Salim) menjadi bacaannya yang pertama. Motinggo Busye mengawali pendidikannya
di Sekolah Rakyat
(SR) di daerah Kupangkota, begitu pula SMP nya dilaluinya di Kupangkota, namun sebelum SMP nya selesai dia harus ditinggalkan kedua orang tuanya, orang yang paling dicintai selama ini. Pada usia yang sangat belia Motinggo Busye ditinggalkan kedua orang tuanya, tepatnya meninggal pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1948 ketika Motinggo Busye berusia 12 tahun. Karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ia harus hijrah mengikuti neneknya Aisyah, dan ia pindah tempat
dari Kupangkota ke rumah
neneknya di Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi ia meneruskan sekolah SMP nya sampai tamat dan pada saat usianya menginjak dewasa, menurut adat Minangkabau apabila seorang laki-laki sudah mencapai usia dewasa, ia harus memiliki gelar adat, maka Motinggo Busye memaki gelar adat “Saidi Maharajo”.3 b. Masa Remaja Motinggo Busye Setelah lulus SMP Motinggo Busye melanjutkan ke SMA yang lebih dikenal dengan “Sekolah Rajo” di Bukit Tinggi. Bakat seni Motinggo Busye sudah nampak ketika remaja, hal ini terlihat melalui kemampuannya mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukit Tinggi, ia sudah mulai bermain drama dan sudah menjadi sutradara ketika masih pelajar SMP di Bukit Tinggi. Melalui sandiwara tersebut ia mulai dikenal oleh para seniman senior. Selain bermain sandiwara, ia juga mempunyai bakat melukis. Sewaktu di SMA Bukit Tinggi, Motinggo Busye sudah memamerkan lukisannya . Pada saat itu a sudah belajar melukis kepada pelukis
3
Ensiklopedi. Op. Cit. hlm 181
31
terkenal, Waludi dan Djafri. Karirnya di bidang seni lukis makin lama makin meningkat terutama setelah Motinggo berada di Yogyakarta. Pilihannya
untuk
kuliah
di
Yogyakarta
rupanya
makin
menyuburkan bakat seni yang dimilikinya. Ia berteman dan dan belajar pada seniman-seniman yang ada di Yogyakarta, seperti Rendra, Kirjamulya, Nasyah Djamin. Kemudian bergabung juga dengan para seniman
di sanggar Bambu.4 Hal ini berkaitan dengan pendapat
Ismail, bahwa Yogyakarta yang banyak dihuni seniman dari berbagai bidang membuat Motinggo Busye betah dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Interaksinya dengan bidang sastra ( novel, cerita pendek, puisi), senirupa, teater dan film serta jurnalistik memperkaya dan mengembangkan bakat Motinggo Busye dari berbagi segi, sampai pindah ke Jakarta bakatnya pun lebih berkembang lagi. c. Awal Karir Karir Motinggo Busye bisa dibilang dimulai pada saat masih SMP, sesuai dengan pendapat Ismail dalam bukunya Ensiklopedi, berpendapat bahwa Motinggo Busye adalah anak
ajaib di pentas
sastra kita sebab pada usia yang sangat masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H.B Jassin untuk dimuat dalam Mimbar Indonesia. Di kota Yogyakarta inilah namanya menjadi terkenal di Indonesia, sebagai penulis cerita pendek
dan drama. Hal ini dapat
dilihat dalam karya-karyanya tersebut yang selalu mengisi media masa seperti, Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra dan Aneka.5 Kemudian Motinggo Busye dalam dunia sastra Indonesia semakin
terkenal,
ketika
naskah
dramanya
Malam
Jahanam
memperoleh hadiah pertama sayembara penulisan drama yang diadakan oleh Kementrian P. P dan K pada tahun 1950, kemudian 4 5
Endo senggono Op. Cit. hlm. 147. Ibid hlm 149
32
cerita pendeknya yang berjudul Nasehat Untuk Anakku
mendapat
6
hadiah majalah Sastra tahun 1962.
Tahun 1961, ia merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan majalah Aneka. Baru sebulan sebagai wartawan sudah diangkat sebagai redaktur di majalah tersebut. Pekerjaan sebagai wartawan dijalaninya karena tidak mungkin hidup dengan hasil mengarang saja. Ia pernah harus mengalami berjalan kaki untuk mengantar naskah karya-karyanya ke redaksi majalah atau surat kabar. Kemudian harus menanti naskah tersebut dimuat untuk memperoleh honorarium, selama itu jika tidak punya uang ia harus menahan lapar. Kehidupan Motinggo Busye setelah tahun 1965 mulai berubah karena pengaruh tekanan ekonomi sehingga latar kehidupan dalam karyanya pun disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dia mulai menulis karya dengan di bumbuhi unsur erotisme sesuai dengan perkembangan masyarakat metropolitan pada saat itu. Sekitar tahun 1960-an karyanya masih terbebas dari unsur erotisme. Perubahan ini dipengaruhi oleh tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup, dia menciptakan tulisan yang aku keras, khususnya dikalangan
kaum
7
muda sekitar tahun 1968 sampai tahun 1970-an.
Motinggo Busye mengakui bahwa jiwa ke pengarangannya dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Misalnya ketika menulis ceria pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupasant. Dalam
menampilkan watak tokoh cerita
Motinggo Busye secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia Anton P. Chekou, selain itu ia juga mengagumi Novelet John Steinback, Pramoedya Ananta Toer. Dalam menuliskan gaya dan dialog
Motinggo
Busye
mengagumi
gaya
sastrawan
Ernest
Hemingway yang di nilainya naturalis.
6 7
Buku Pintar sastra Indonesia, ( Jakarta :Buku Kompas, 2001), Cet. III, hlm. 154. Ensiklopedi Op. Cit. hlm. 182
33
Setelah tahun 1970-an karya-karyanya mulai surut. Hal itu disebabkan oleh banyaknya tanggapan dari masyarakat pembaca yang mengeritik karyanya tahun 1968-1970-an. Sebagai pengarang tentu Motinggo Busye tidak terlepas dari kritikan masyarakat penikmat sastra. sebagian orang mengatakan bahwa karya Motinggo Busye merupakan karya “picisan” dan sebagian lagi mengatakan bahwa karyanya itu sebagai karya “pornografi”. Dalam menghadapi penilaian seperti itu Motinggo Busye
pernah menegaskan bahwa sebagai
seorang pengarang dia harus bersedia memikul resiko kritikan karena seniman bukan meminta pengakuan dari satu zaman yang tercatat.8 Tahun 1972-an dia melalui menekuni dunia perfilman dengan menulis skenario film dan menyutradarainya. Film yang pernah di sutradarai pada awal karirnya itu adalah : Biarkan Musim Berganti, Cintaku Jauh Di Pulau, Takkan Ku Lepaskan dan Putri Seorang Jendral.9sebagai pengarang dan sutradara
film
Motinggo Busye
pernah mengunjungi beberapa negara seperti Jepang, Thailand, Australia dan Singapura. Kunjungan itu dilakukan untuk menunjang karirnya dan menambah wawasannya baik sebagai pengarang, penulis skenario dan sutradara. Setelah dunia perfilman lesu Motinggo Busye kembali menulis novel, namun pada periode ini novel-novelnya lebih bersifat religius. Kesadarannya itu timbul
ketika ia menyekolahkan anaknya ke
pondok pesantren Gontor , anaknya inilah yang selalu mendorong dan mengingatkannya untuk tidak lagi menulis novel atau membuat film yang lebih banyak menonjolkan seks.10 Novelnya Sanu Infinita Kembar yang awalnya sebagai sisipan dalam majalah Horison, kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung tahun 1985 dan dianggap sebagai tanda kebangkitan Motinggo Busye ke dunia sastra. Keseriusannya dalam menulis karya selalu 8
Ibid, hlm.188. Endo Senggono Op. Cit., 148. 10 Ibid hlm. 149 9
34
membuahkan
hasil.
Terakhir
cerita
pendeknya
Bangku
Batu
memperoleh hadiah sebagai pemenang IV dalam Sayembara Mengarang Cerita Pendek Ulang Tahun ke- 13 Horison 1997. Karya-karya religiusnya begitu lebih terasa ketika pada tahun 1994 Motinggo Busye dan istrinya menunaikan ibadah haji. Menurut Ismail dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern, perjalanan haji mereka merupakan pencerahan batin luar biasa. Sepulang dari Tanah Suci dia menulis Purnama Diatas Masjidil Haram. Dalam peta sastra Indonesia Motinggo Busye digolongkan oleh Najib Rosidi sebagai pengarang periode 1953-1961. Motinggo Busye pernah bekerja di penerbit Nusantara, dia juga pernah menjabat ketua II Koperasi Seniman Indonesia.11 Karya-karyanya sudah lebih dari 200 buku dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing seperti, bahasa Jerman, Belanda, Perancis, Jepang, Korea dan Cina. 2.
Karya-Karya Motinggo Busye Karya-karya Motinggo Busye sangat banyak dan tidak dapat penulis
kumpulkan
semuanya,
dikarenakan
tidak
semuanya
dikumpulkan. Adapun karyanya terdiri dari 7 (tujuh) bagian yaitu : Puisi, Drama, Ceria Pendek, Novel, Legenda, Karya film, Karya Essay, pembicaraan karya-karyanya. a. Puisi 1). Jalan Rata Ke Pegunungan, Budaya : Maret/ April 1957 2). Kota Kami Dahulu, Budaya : Maret/ April 1957 3). Ulang Tahun, Budaya : Maret 1958 4). Ibu, Budaya : April / Mei 1959 5). Kepada Potret Abadi, Budaya : Agustus 1959 6). Majenun-majenun, Budaya : Agustus 1959 7). Berpisah, Budaya : Agustus 1959 8). Lalu Sepi, Minggu Indonesia Raya : 9). Aura Para Aulia’, Kumpulan puisi. 11
Buku Pintar Sastra Indonesia, Op. Cit. 147
35
Agustus 1969.
b. Drama 1). Malam Jahanam, Budaya : Maret/ April 1959. 2). Barabah, Budaya :April/ Mei 1961. 3). Badai Sampai Sore, Jakarta Mega Books 1963 4). Malam Pengantin Di Bukit Kera, Jakarta : Mega Books1963. 5). Nyonya-nyonya, Jakarta : Mega Books 1963. c. Ceria Pendek 1). Bapak ( Terj), Budaya : November/ Desember 1957. 2). Keberanian 1962. ( Kumpulan Cerita Pendek), Jakarta : Nusantara 3). Pidato Seorang Ayah, Sastra Maret 1962. 4). Nasehat Untuk Anakku ( Kumpulan Ceria Pendek), Jakarta : Mega Books 1963. 5). Matahari Dalam Kelam ( Kumpulan Ceria Pendek), Jakarta :Nusantara 1963. 6). Perempuan-perempuan pemarah, Mingguan Berita Indonesia : 26 November 1969. 7). Streptomisin, Yudha Minggu, 14 November 1969. 8). Dua Tengkorak Kepala ( Kumpulan Ceria Pendek), Yogyakarta : Bentang Budaya 1999. d.
Novel 1)
Tidak Menyerah, Jakarta : Nusantara 1962.
2)
Tiada Belas Kasihan, Jakarta : Pustaka Nina 1963.
3)
888 Jam Di Lautan, Jakarta : Mega Books 1963.
4)
Perempuan Itu Bernama Barabah, Jakarta : Nusantara 1963.
5)
Batu Serampok, Jakarta : Aryaguna 1963.
6)
Dosa Kita Semua, 1963.
7)
Bibi Marsiti (1963).
8)
Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963). 36
9)
Sejuta Matahari (1963).
10) 1949 ( 1963). 11) Penerobos Dibawah Laut (1964). 12) Titisan Dosa Di Atasnya (1964). 13) Dalam Genggaman Cinta, Jakarta : Lokajaya 1966.. 14) Cross Mama ( 1966). 15) Karena Nyala Kasihmu, Jakarta : Lokajaya 1966. 16) Tante Mariyati (1967). 17) Sri Ayati ( 1968 ). 18) Retno Lestari (1968). 19) Dia Musuh Keluarga (1968). 20) Tuk Berkati, Jakarta : Budaya 1968. 21) Neraka Lampu Biru, Jakarta : Budaya 1968. 22) Jeng Mini, Jakarta : Lokajaya 1969. 23) Rindu Ibu Adalah Rinduku ( 1980). 24) Sanu Infinita Kembar, Jakarta : Gunung Agung 1985. 25) Madu Prahara ( 1985). e. Karya Film. 1). Biar Musim Berganti 1971. 2). Cintaku Jauh Di Pulau 1972. 3). Tak Kan Kulepaskan 1973. f. Karya Essay/ Kritik 1). “ Hasil Seni Modern “, Sastra No 2 tahun 1962. 2). “Sebagai pengarang……sedia pikul resiko kritik”, mingguan Srikandi 1969.
37
3). “ Tema-tema yang saya pilih”( sebuah referensi ceramahnya di Taman Ismail Marzuki ) 9 September 1969. 4). Film “ Jane Eyre”dan “Charlotte Bronte”, Sinar Harapan, 5 April 1973. g. Legenda 1). Ahim-ha ( 1963). 2). Buang Tanjam (1963). h. Pembicara karya-karyanya. 1) Samsuir Arfie “Sebentar bersama Busye”, Indonesia Raya, 9 Agustus 1972. 2) H.B Jassin “Bibi Marsiti Sebuah Roman Trilogi Motinggo Busye”, Horison, Juni 1968. 3) H.B Jassin “Matahari Dalam Kelam, kumpulan Cerpen Motinggo Busye Suatu Sorotan”, Sastra, Agustus 1968. 4) Mansur Samin “Apakah Motinggo Busye Pengarang Cabul” Yudha Minggu, 7 Desember 1969. 5) Sf
.”Motinggo
Busye
Berbicara
Tentang
Tema
Yang
Dipilihnya“, Harian Kami, 10 November 1969. 3. Isi Novel Motinggo Busye Motinggo Busye salah satu dari sastrawan Indonesia yang bisa dikatakan sangat produktif pada massanya. Dalam satu minggu dia dapat menghasilkan satu novel itupun ditulisnya dengan mesin tik manual yang ia punyai.12 Bagi seorang pengarang sangatlah luar biasa, kalau dilihat dari mulai dia mengarang
sampai tahun 1970-an sudah beratus novel ataupun
karya lain yang ia hasilkan. Seorang Motinggo Busye tidak pernah melewatkan
waktu barang sedikit bila ia memperoleh inspirasi untuk
cerita-ceritanya, baginya apa yang ada di pikirannya itulah yang kemudian yang ia tulis untuk dijadikan cerita.13 12
Agung Pramuko, A’a Gym VS Siti Nurhaliza,( Jakarta : Gramedia Utama, 2004),
hlm.47. 13
Ibid hlm 49.
38
Mengenai isi novel Motinggo Busye, kalau penulis lihat dan cermati dimulai dari karir awalnya antar tahun 1950-an sampai tahun 1990 –an dapat kita klasifikasi kan menjadi 3 Periode, yaitu sebagai berikut : a. Periode Tahun 1958-1968. Pada periode ini novel-novel Motinggo Busye isinya masih diwarnai dengan kehidupan di sekitarnya. Pada waktu tinggal di Yogyakarta cerita novelnya dilatarbelakangi kehidupan masyarakat Yogyakarta,14 dan ketika ia mulai pindah dari Yogyakarta ke Jakarta kemudian karyanya di warnai pula oleh kehidupan metropolitan yang mengedepankan materi dan gaya hidup yang modern, begitu juga dalam tema-tema yang lain Motinggo juga mengangkat masalah adat istiadat dan juga tentang hukum agama yang mewarnai kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya
15
. Seperti pada novel ”Dosa Kita
Semua” novel ini mengisahkan kehidupan Wahab yang meninggalkan keluarganya bertahun-tahun, namun setelah pulang ternyata istrinya Romlah telah menikah lagi dengan bekas suaminya yang pertama Madikin, namun demikian Wahab tidak dapat menuntut istrinya karena dalam hukum agama apabila seorang suami meninggalkan istrinya dengan tanpa memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan tanpa berita dan alasan istri dapat menuntut cerai suami. Sehingga akhirnya Wahab membiarkan istrinya membangun rumah tangga kembali dengan ikhlas dengan bekas suaminya, walaupun ia masih mencintai istri dan kedua anaknya. Di novel ini Motinggo berusaha untuk menjelaskan hukum agama dan parakteknya di masyarakat di mana di dalamnya mengajarkan pada pembaca untuk bisa memahami dan menta’ati hukum baik yang berasal dari Tuhan maupun buatan manusia.
14
Anita K Rustapa, dkk, Ontologi Biografi Pengarang Indonesia 1920-1950, (Jakarta: Pusat pengembangan Dan pembinaan Bahasa, 1997), hlm 213. 15 Ajib Rosyidi Op.Cit. hlm. 133.
39
b. Periode Tahun 1968-1970-an. Pada
periode
mendapatkan
ini
keuntungan
merupakan dari
tahun
dimana
novel-novelnya
ia
banyak
sekaligus
juga
mendapatkan kritikan dari banyak kalangan, baik dari sastrawan maupun dari masyarakat pecinta sastra . Pada periode ini novelnya banyak berisikan atau dilatarbelakangi kehidupan metropolitan yang sudah mengedepankan kehidupan materealis dan seksualitas belaka, terutama kota Bandung dan Jakarta yang diwarnahi oleh kalangan elit.16 Pada tahun ini Motinggo mulai menulis karya yang dibumbuhi unsur erotisme sesuai dengan perkembangan masyarakat metropolitan, perubahan ini dipengaruhi oleh tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup sehingga jiwa dagangnya keluar dan ia menghasilkan tulisan yang laku keras khususnya dikalangan kaum muda sekitar tahun 1970an.17setelah tahun 1970 karya-karyanya mulai surut. Hal ini disebabkan banyaknya tanggapan
dari masyarakat pembaca yang
mengkritik karya nya tahun 1968-1970-an . Sebagai pengarang tentu Motinggo tidak lepas dari kritikan masyarakat penikmat sastra, sebagian orang mengatakan bahwa karya Motinggo Busye merupakan karya “picisan” dan sebagian lagi mengatakan bahwa karyanya itu sebagai karangan “ pornografi”. Motinggo menyadari penilaian semacam itu dan dia ingin mencoba lagi untuk menciptakan lagi atau menulis karya yang di dalamnya terbebas dari unsur erotisme seperti karyanya sebelum tahun 1965. Dalam menghadapi penilaian seperti itu Motinggo Busye pernah menegaskan bahwa sebagai seorang pengarang dia harus bersedia memikul resiko kritikan karena seniman bukan untuk meminta pengakuan dari satu zaman yang tercatat18
16
Ismail, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2002). hlm 18. Ibid hlm. 20 18 Ajib Rosyidi, Sejarah Sastra Indonesia, ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), hlm. 131. 17
40
c. Periode Tahun 1980-an. Karya-karyanya pada tahun 1980-an mulai terbebas dari unsur erotisme, karena pada periode ini ia mulai menjalani kehidupan religius dan mulai menulis novel-novel seperti karyanya pada tahun 1958-an. Hal ini juga dipengaruhi oleh keberadaan putranya yang sekolah dan mondok di pesantren Gontor. Putranya inilah yang selalu menyemangati, mendorong dan mengingatkan ayahnya untuk tidak lagi menulis novel atau membuat film yang lebih banyak menonjolkan seks.19 Novel “Sonu Infinita Kembar” yang awalnya sebagai sisipan dalam majalah Horison, kemudian diterbitkan Gunung Agung 1985,20dianggap sebagai tanda-tanda kembalinya Motinggo Busye ke dunia sastra. Dan pada tahun 1994 Motinggo Busye dan istrinya menunaikan ibadah haji. Menurut Ismail, perjalanan haji mereka merupakan pencerahan batin luar biasa, sepulangnya dari tanah suci dia pun menulis “ Purnama Diatas Masjidil Haram “ kemudian karyanya yang terakhir sebelum meninggal ia meninggal bersama putranya menulis sebuah buku yang berjudul “Dzikir Menyingkap Kesadaran Rohani”
yang diterbitkan Hikmah Mizan Goro namun
baru sampai bab 3 ia sudah meninggal.21 B. Alur Cerita Per Bab Novel Rindu Ibu Adalah Rindu ku Pada bab ini selain berisikan biografi Motinggo Busye dan karyakaryanya juga akan ditulis alur cerita Rindu Ibu Adalah Rinduku per bab yaitu sebagai berikut : 1. Bagian Pertama. Bagian pertama menceritakan sebuah keluarga besar yang terdiri dari ; suami (Kris), Istri (Lis), anak (Tomo, Surti, Kamal, Faruk, Sinta, Liana), kehidupan mereka serba pas-pasan, kebetulan kepala keluarga 19
Endo Senggono, Op. Cit., hlm 149 Ensklopedi Sastra Indonesia, Op. Cit. hlm.182. 21 Motinggo Busye Dan Quita R Motinggo, Dzikir Menyingkap Kesadaran Rohani, (Jakarta : Hikmah Mizan Goro, 2004), 20
41
mereka ( Kris ) baru saja di PHK, padahal ia adalah penopang ekonomi keluarga. Guna memenuhi kebutuhannya ia menemui teman lama waktu perang untuk dicarikan pekerjaan. Dari pembicaraan dengan kawannya itu dia disuruh menemui Sunaryo, setelah mereka pulang ke rumah ditemuinya Sinta dalam keadaan sakit, mereka berdua bergantian merawat Sinta. Tanpa ada rasa capek atau terpaksa dijalaninya dengan ikhlas seperti penggalan dialog, ” Tidak ada capek dalam kasih ibu” kata Lis, “ tidak ada nestapa dalam kasih bapak” kata Kris. Sambil menunggui si kecil mereka curhat satu dengan yang lainnya, Kris merasa tidak bisa membahagiakan istrinya, sehingga mereka menderita tetapi Lis merasa tidak menderita. semuanya membuat mereka terharu dan meneteskan air mata.
2. Bagian Dua Kris akhirnya mendapat pekerjaan diperusahaan Naryo dengan mendapatkan fasilitas rumah dan antar jemput mobil kantor. Sekarang ia tidak lagi tinggal di gang sempit. Naryo adalah kawan berjuang yang pernah diselamatkan Kris pada waktu perang. Beberapa hari kemudian mereka sekeluarga pindah ke rumah baru mereka. Selang beberapa hari mereka menemui Hesti orang yang mencarikan pekerjaan Kris untuk berterima kasih dan juga Kris pernah berjanji mencarikan pekerjaan untuk suami Hesti (Anwar) di kantor nya, Anwar akhirnya menjadi asisten Kris. Pada
suatu
kesempatan
ketika
sedang
duduk
santai
Kris
memperhatikan tingkah laku anak-anaknya dan ketika pulang dari kantor Kris memberikan mainan anak-anaknya sesuai dengan cita-cita mereka tak lupa juga ia membelikan Lis kalung dan liontin laku Kris mulai berubah tidak seperti biasanya.
42
hijau, namun tingkah
3. Bagian Tiga. Tingkah Kris semakin aneh tidak seperti biasanya ia pulang kantor membeli pakaian kemeja putih sebanyak 20 buah. Ketika Lis menegur Kris malah marah-marah sampai mengancam akan menceraikan Lis. Hal itu membuat Lis sedih sekali sampai kesedihan itu dilihat putranya, Faruk. Setelah pulang kantor Kris tidak mau makan malah meminta untuk ber foto bersama anak dan istrinya, tingkahnya lebih aneh lagi ketika pulang dari kantor ia meminta ditemani dan setelah itu mengajak keluarganya untuk cuti ke Yogyakarta. Setelah sebelumnya ia pamitan pada Naryo, Bosnya juga teman – temannya di kantor. Setelah pagi menjelang hari cuti tiba, semua sudah siap-siap. Lis meminta anaknya untuk membangunkan ayahnya, namun anaknya sangat kaget karena Ayahnya tidak juga bangun, badannya dingin dan sangat kaku. Kemudian Lis baru menyadari kalau suaminya telah meninggal. 4. Bagian Empat Suasana duka masih menyelimuti keluarga Lis. Namun kehidupan harus terus berjalan dan tidak boleh berduka demi untuk anaknya. Pada suatu hari Anwar yang dulu asisten Kris datang untuk memberikan uang duka dan menawari pekerjaan. Tawaran itu disambut gembira oleh Lis .Namun sebelum tawaran pekerjaan itu dipenuhi, Ia berusaha mencari pekerjaan lain tapi hasilnya nihil. Kemudian ia mendapat panggilan kerja dari kantor dimana dulu suaminya bekerja. Pada saat kerja Lis kaget ketika anaknya Faruk datang ke kantor dan mengatakan kalau Faruk kangen dengan Ibunya. Peristiwa itu sangat membekas tertancap di hati sebagai tonggak rohani yang tertancap melebihi pencakar-pencakar langit di dunia. Ia sangat bahagia, sebagai Ibu begitu dicintai anaknya. Hari, minggu, bulan dan tahun berganti. Anwar yang di kantor jadi atasan Lis ternyata diam – diam mencintainya, padahal Anwar adalah suami sahabatnya sendiri yaitu Hasti.
43
5. Bagian Lima. Lis akhirnya memutuskan pindah jabatan tidak lagi menjadi asisten Anwar. Pada saat ini anaknya mulai besar-besar, namun diantara anaknya, hanya Faruk yang memahami perasaan ibunya, disaat saudara-saudaranya menuntut ini dan itu, Faruk hanya menerima apa adanya. Sementara di kantor bosnya Naryo menaruh hati pada Lis. Namun hati Lis sudah tertutup untuk orang lain seperti janjinya pada Faruk. Pada suatu hari Faruk datang ke kantor dan mengutarakan niatnya untuk menjadi seorang pelukis.
6. Bagian Enam Sebagai manusia Lis merasa lemah, di satu sisi ia menginginkan pendamping hidup, di sisi lain anak-anaknya juga membutuhkan dia. Kemudian ia melaksanakan shalat istiharah supaya diberikan pilihan yang tepat, akhirnya keinginannya terjawab ia memilih anak-anaknya daripada Naryo. Ketika suatu hari Faruk datang sambil menangis ia mengatakan kalau ibu Fahmi meninggal kemudian Lis membayangkan bagaimana seandainya ia yang meninggal ? bagaimana dengan anak-anaknya nanti ?. Lis dan Faruk ta’ziyah ke rumah Fahmi. Di kantor Lis mendapatkan tugas ke Jerman bersama Naryo selama 12 hari yang itu malah membuat Faruk cemburu dengan hubungan ibunya dan Naryo. Namun Lis masih kokoh dengan hatinya untuk tidak berumah tangga lagi. Walaupun lamaran Naryo ditolak Lis, namun ia tetap menaruh hormat padanya. Kemudian ia mencarikan pekerjaan Tomo di perkapalan. Sementara Faruk meneruskan sekolahnya di Yogya. Ketika Lis menjenguk Faruk di Yogya ia merasa terenyuh melihat kehidupan anaknya yang sangat sederhana. Meskipun usianya masih muda ia sudah mandiri dan tidak tergantung pada ibunya, satu yang di pinta dari ibunya untuk sering mengirim surat padanya untuk pengobat rindu. Tahun berganti anak-anak Lis sudah besar-besar dan berhasil Liani dan Sinta jadi penyanyi, Kemal jadi manajernya, Tomo jadi berlayar, Surti 44
jadi dokter dan menikah, meskipun hamil duluan. Lis menyesal tidak dapat mendampingi anak-anaknya hingga terlantar, Lis sendiri selama ini sering keluar negeri untuk menjalankan tugas dari kantor. 7. Bagian Tujuh Kesepian menghantui Lis, ia merindukan anak-anaknya apalagi saat ini ia tidak bekerja lagi karena perusahaan tempatnya bekerja sudah bangkrut. Lis sampai pasang iklan agar anak-anaknya pulang ke rumah karena ibunya kangen. Lis akhirnya menjual rumahnya dan pindah kembali ke Malang tempat tinggal orang tuanya. Di Malang uang hasil penjualan rumahnya pun telah habis kemudian ia memutuskan kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang bordir. Tanpa sengaja ia melihat iklan di koran bahwa Faruk akan mengadakan pameran lukisan, betapa senang hatinya ia berharap ia bisa menemui anak di Taman Ismail Marzuki akhirnya ia berjumpa pula dengan Faruk. Lis menanyakan pada Faruk apakah ia sudah menikah? “saya hanya akan menikah setelah saya bisa membalas budi luhur ibu” Faruk kemudian menanyakan pada ibunya apa sudah bertemu dengan Liani dan Sinta. 8. Bagian Delapan Lis pergi ke rumah Faruk yang terletak dibelakang tempat pameran. Ia melihat kehidupan Faruk yang sederhana yang itu membuatnya sangat prihatin. Mereka bertukar cerita selama mereka berpisah, Faruk baru tahu kalau ibunya bekerja sebagai penjahit dan membuat ibunya kena penyakit paru-paru (TBC). Faruk membawa ibunya ke dokter kenalannya. Setelah itu Faruk di ajak ibunya ke tempat kerjanya di pasar dan dikenalkan dengan kawankawan kerjanya, bahwa dia sudah bertemu dengan anaknya yang pelukis. 9. Bagian Sembilan Sampai di kontrakan ibunya, Faruk menanyakan kamera canon, harta benda yang masih tersisa, setelah itu mereka berdua membuka album kenangan sebelum ayah mereka meninggal. Faruk baru mengerti kalau ibunya sudah lama menderita sakit batuk. Faruk sudah membeli klise dan 45
mereka berdua foto-foto hingga habis, foto-foto sebenarnya digunakannya untuk menggugah hati seseorang. Faruk memutuskan untuk menginap di rumah kontrakan ibunya, kemudian mereka shalat berjamaah dan paginya mereka pergi ke dokter dan Lis divonis TBC dengan harus di sanatorium. 10. Bagian Sepuluh Lis akhirnya mau dirawat di sanatorium dan dirawat oleh suster muda yang mengingatkan pada anaknya Surti, namanya suster Darmi. Walaupun awalnya Lis tidak kerasan akhirnya setelah beberapa hari ia mulai menikmati keadaannya. Pada hari ke tujuh ia mendapat kabar bahwa anaknya akan datang. Lis mengira yang datang adalah Surti tapi ternyata yang datang adalah Liani dan Sinta. Mereka berempat begitu senang dan terharu mereka sehingga meratap rindu 11. Bagian Sebelas Mereka berempat saling bertukar cerita sampai panjang lebar. Untuk menghapus kerinduan mereka Liana dan Sinta yang sudah jadi penyanyi terkenal, menyanyikan lagu buat ibunya, lagu yang dulu sering Lis dan Kris nyanyikan lagi untuk mereka. Lis menjadi terharu mendengarkan lagu itu, membuat ia sejenak melupakan kehidupan Lis yang gelap selama ini. Setelah sore mereka pulang, namun sebelum pulang Faruk pesan pada mereka bila ibunya keluar dari sanatorium untuk bisa tinggal bersama mereka. Faruk juga mengatakan pesan bahwa surga di mulai dari dunia, surga itu berada di telapak kaki ibu. Faruk juga berpesan pada ibunya supaya cepat sembuh dengan cara berfikir positif. Tiap tiga hari sekali Faruk menjenguknya. Ketika Lis berjalan-jalan di perkebunan desa, ia disambut hangat oleh penduduk dan diajak makan bersama, atas kepergian ibunya Faruk menjadi panik dan mencari kesana kemari, setelah bertemu Faruk mengajak ibunya kembali ke sanatorium karena ada yang menunggu di sana, anaknya yang lain Surti, membuat mereka saling berpelukan melepaskan rindu. 46
12. Bagian Dua Belas Surti menceritakan kegelisahan hidup yang selama ini ia jalani, ia juga bercerita akan bercerai dengan suaminya, sedangkan anaknya diminta suaminya. Kesehatan Lis berangsur-angsur membaik dan sembuh kemudian di jemput Faruk yang selama ini menemaninya, seperti kesepakatan dulu bila ibu mereka keluar maka akan tinggal dengan Liani dan Sinta. Namun di rumah anaknya Lis tidak bisa beristirahat ia melakukan pekerjaan rumah sendiri karena anaknya sering keluar rumah. Kesunyian menghantui Lis tetapi dia tidak menyesali keadaan ini, karena itu turut bertanggung jawab dengan keadaan ini yang dulu ikut menciptakan. 13. Bagian Tiga Belas Hari berganti hari akhirnya Lis tidak betah dengan kehidupan mereka yang dianggapnya terlalu bebas dan ia meminta Faruk untuk menasehati adik-adiknya tapi Faruk tidak berani menasehati karena orang yang merasa kaya bisa sombong dan durhaka. Beberapa hari kemudian Liani dan sinta bertengkar hebat dan itu membuat Lis sedih. Ia tidak ingin anaknya bercerai berai, kemudian ia masuk kamar dan menangis, tiba-tiba Liani masuk untuk merayu ibunya, Lis bertanya apakah Liani masih shalat. Kemudian Liani disuruh sembahyang pada pagi harinya mereka rujuk kembali. Faruk menawari ibunya untuk tinggal di rumah Kamal namun ia menolak dengan alasan ingin bersama Liana dan Sinta karena mereka belum kawin dan butuh bimbingan. Liani dan Sinta mengalami perubahan sudah mulahi mengaji dan shalat, tidak pernah keluar malam dan menghambur-hamburkan uang. Ketika selesai berbincang-bincang di teras mereka memutuskan shalat berjamaah dengan imamnya ibu mereka. Selesai shalat Lis mengajarkan puji-pujian “’Ilahi lastu lilfirdausi …” yang dikarang oleh Abu Nawas syair lagu ini berisikan pengakuan dosa manusia pada Tuhan dan begitulah pada akhirnya. Mereka (Liani dan Sinta) kemudian punya 47
ide untuk merubahnya menjadi lagu pop, agar dapat dinyanyikan di night club namun semua ini diiringi dengan niat baik agar mereka yang berkunjung disana dapat juga bisa bertaubat. Lis dapat surat dari anaknya Surti untuk dapat tinggal sementara di rumah Surti seminggu kalau betah nantinya bisa diperpanjang. 14. Bagian Empat Belas Lis minta ijin pada kedua putrinya, untuk menginap di rumah Surti, awalnya mereka menolak namun akhirnya mereka mengijinkan. Sampai di rumahnya yang dituju Surti menyambut gembira. Ternyata kehidupan Surti ibarat lepas dari mulut singa masuk mulut buaya suami keduanya ternyata sudah punyai istri. Lis kembali ke rumah Sinta dan Liani karena tidak kerasan dengan perlakuan menantunya. Ketika duduk-duduk di rumah Sinta dan Liani, Surti dan Bony anaknya datang, suasana jadi ramai sekali. Beberapa hari lagi Liani dan Sinta akan tour ke Jawa Timur selam dua minggu. Akhirnya Lis harus tinggal lagi di rumah Surti, setelah beberapa hari di rumah Surti baru saat ini dia berjumpa dengan menantunya Renaldi yang datang bersama anaknya yang usianya sekitar 7 tahun. Surti berusaha menahan sabar dengan keberadaan anak suaminya, namun ketika anak itu berbuat ulah membuat ia terpaksa menampar anak itu. Masalah kemudian menjadi runcing, Lis juga kena dampaknya, Renaldi menganggapnya sebagai parasit, akhirnya Lis diam-diam pergi meninggalkan rumah yang penuh prahara itu. 15. Bagian Lima Belas Lia menuju rumah Liani dan Sinta namun kosong akhirnya ia pergi ke rumah Faruk, betapa kagetnya ia ternyata Faruk tergeletak sakit karena kecapean melukis, tetapi hasil lukisannya semua sudah laku terjual pada orang Swiss. Saat mengobrol, Faruk mengucapkan terima kasih karena ibunya telah menanamkan iman pada adik-adiknya, mereka sudah tidak lagi menyayangi di night club lagi, mereka berencana membuat perusahaan piringan hitam ( perusahaan rekaman). Di rumah mereka juga 48
mengadakan pengajian-pengajian. Liana dan Sinta akhirnya dilamar kedua orang tua kekasih mereka dan juga pesta pernikahan secepatnya akan segera melaksanakan. 16. Bagian Enam Belas Upacara pinangan dilaksanakan dan 3 hari kemudian diadakan pernikahan sederhana, ia tidak akan menghamburkan uang seperti pernikahan orang kota. Kemudian mereka melakukan pertaubatan karena terlalu banyak dosa. Kemudian dinyanyikan lagu Abu Nawas itu pada saat upacara pernikahan mereka, semua tenggelam dalam lagu itu tidak kecuali Faruk dan Surti, Surti menangis dan keadaan itu meluluhkan hatinya. Surti merasa menjadi manusia yang tidak baik, kedua pernikahannya tidak berhasil karena tidak minta restu ibunya. Lis menasehati Surti “Kehidupan ini dibatasi dua horison, satu horison untuk bersyukur atas nikmatnya dan satu horison lagi untuk bersabar atas nikmatnya. Ingat ujuan Tuhan buan berarti Tuhan membenci engkau Surti”, setelah sampai di rumah Surti, Lis bertemu dengan keluarga Renaldi yang telah menceraikan Surti. Setelah tenang ia akan membuka praktek kembali jadi dokter. Lis berkujung ke rumah Faruk yang sekarang sudah mempunyai mobil sendiri, Faruk mengajak ibunya jalan-jalan ke daerah Bekasi untuk melihat tanah yang sedang dibangun nantinya akan dibangun rumah untuk ibunya dan bulan depan sudah jadi dan siap dihuni. Liani, Sinta dan suami mereka pergi melaksanakan ibadah haji, sedangkan Faruk juga sedang menyiapkan untuk mengadakan pameran yang membuat dia kurus dan pucat. Saat kedua putrinya menunaikan ibadah haji Lis malah bermimpi yang nantinya menjadi pertanda musibah akan menunggu. Ia khawatir akan keadaan kedua putri dan menantunya. 17. Bagian Tujuh Belas Pameran Faruk dibuka oleh gubernur, tamu-tamu yang datang kebanyakan dari duta-duta asing, lukisannya sudah banyak yang laku. Selesai pameran Lis menceritakan tentang mimpinya kepada Faruk,” ketika tidur di rumah Liani dan Sinta tiba-tiba aku bermimpi, rambut ku 49
putus karena gunting”, kemudian malam jum’at Surti datang dia mendengar ada pesawat jatuh di Srilangka pesawat Indonesia, karena Surti diminta kesana maka Bony dititipkan pada neneknya Lis. Kemudian Lis pergi ke rumah Faruk namun ia kaget mendapati Faruk dalam keadaan sakit karena mendengar ada pesawat jatuh kemudian ia syok, ia di temani Amini. Sudah dua hari Faruk berbaring sakit, ia ketika sakit dia sering mendengarkan syair lagu Abu Nawas. Ia meminta maaf kepada ibunya akan kesalahannya selama ini, Lis mengambil air wudhu kemudian mencium kening anaknya dan membacakan surat Fatihah untuk mengiringi putranya menghadap Illahi dan setelah itu Faruk benar-benar meninggal dunia. Sebelum meninggal Faruk dalam keadaan suci dan sudah selesai menjalankan shalat
Dhuha. Selesai shalat dzuhur ia di
makamkan setelah sebelumnya di shalatkan. Surti, Sinta, Liani dan suami mereka merasa menyesal sekali karena ibunya tidak mengirimkan telegram atas meninggalnya Faruk. Setelah kematian Faruk banyak pelukis datang silih berganti melihat hasil lukisan Faruk, banyak dari mereka yang ingin membeli lukisannya tetapi Lis tidak membolehkannya karena itu kenang-kenangan terakhir dari Faruk. 40 hari meninggalnya Faruk, Lis dan anak-anak dan menantunya berziarah ke makam Faruk. Pada akhirnya rumah yang dibangun Faruk oleh ibunya digunakan untuk aktifitas majelis ta’lim dengan menghadirkan ustadz ustadzah yang memberikan ceramah dan mempelajari hadits. C. Ringkasan Novel Rindu Ibu Adalah Rindu Ku Novel ini menceritakan kehidupan keluarga besar (Kris sebagai Suami dan Lis sebagai Istri dan anak mereka, Tomo, Kemal, Surti, Liani, Sinta) yang sedang menghadapi permasalahan hidup dengan di pecatnya kepala keluarga mereka dari pekerjaannya, dengan menemui kenalan lamanya. Akhirnya dapat juga Kris mendapat pekerjaan kembali diperusahaan Naryo teman perjuangan dahulu waktu perang.
50
Namun baru saja mereka hidup agak lumayan sikap Kris mulai berubah yang itu membuat Lis merasa sedih dan menangis, ia mengira Kris mempunyai wanita lain namun ternyata apa yang dikhawatirkan Lis salah, perubahan dan keanehan yang selama ini dirasakannya merupakan tanda bahwa suaminya akan meninggal dunia. Dia baru sadar ketika pada suatu hari ketika anaknya disuruh membangunkan
ayahnya
ternyata
tidak
mau
bangun
setelah
Lis
membangunkan didapatinya suaminya dalam keadaan dingin dan kaku dia baru sadar kalau suaminya telah meninggal. Setelah suaminya meninggal keadaan rumah tangganya mulai goyah karena selama ini yang menopang ekonomi keluarga mereka adalah Kris. Namun Lis tidak mau terus tinggal diam dengan keadaan ini. Ia ingin mewujudkan cita-cita suaminya agar anak mereka nantinya jadi orang seperti apa yang mereka cita-citakan. Lis berusaha mencari kerja dan datanglah utusan dari kantor suaminya yang menawari pekerjaan dan sambil menunggu panggilan dari kantor suaminya ia berusaha mencari pekerjaan lain, namun apa yang terjadi tidak hanya penolakan dari perusahan tidak jarang pula dengan keadaannya yang janda sering mendapatkan perlakuan yang bisa dikatakan melecehkan dirinya sebagai seorang wanita. Akhirnya panggilan dari perusahan suaminya datang ia diterima kerja dengan menjadi asisten Anwar dahulunya bekas asisten Kris, dengan keahliannya ia dapat dengan mudah menyesuaikan dengan lingkungan kerja barunya. Tanpa disadari oleh Lis, Anwar atasannya ternyata menaruh hati dengannya padahal ia tahu kalau Anwar sudah menikah dengan Hesti teman Suaminya, dan itu ternyata dirasakan juga oleh anaknya Faruk. Selama ini ia sangat dekat dengan ibunya dan bisa dikatakan yang paling sayang kepada ibunya dibandingkan yang lain sampai-sampai Faruk pernah meminta pada ibunya untuk tidak menikah lagi. Lis akhirnya berjanji untuk tidak lagi menikah seumur hidupnya demi kebahagiaan anak-anaknya.
51
Godaan tidak berhenti sampai disini ternyata Naryo bossnya juga menaruh hati padanya dan ingin menikahinya. Dalam kebingungan diantara dua pilihan anak dan hatinya sebagai seorang perempuan ia kemudian meminta petunjuk Tuhan dengan melakukan shalat Tahajud dan akhirnya pilihannya jatuh pada anak-anaknya dan ia mulai menjauhkan pikirannya untuk menikah lagi. Waktu terus berjalan anak-anaknya pun tumbuh dewasa Tomo jadi pelaut, Surti dokter, Faruk pelukis, Liani dan Sinta penyanyi dan Kamal jadi manajer mereka. Anak-anak Lis tumbuh dan berkembang jauh dari pengawasanya sehingga ketika ia pulang dari Amerika kaget karena mendapati keluarganya dalam keadaan yang porak- poranda Surti hamil sebelum menikah, Tomo tidak tahu dimana, Liani dan Sinta menjadi penyanyi terkenal dan berada diluar negeri tanpa tahu di negara mana
berada. Sedangkan Faruk berada
jauh di desa kecil pinggiran Bali. Selain itu perusahan yang ia tempati ia selama ini juga mengalami kebangkrutan hingga ia juga harus berhenti kerja. Lis berusaha mengumpulkan anak-anaknya kembali, namun usahanya sia-sia hanya Faruk yang dapat ditemui ketika mengadakan pameran lukisan di Jakarta. Bersama putranya ini kembali ia berusaha mengumpulkan anakanaknya
Faruk
sangat
mencintai
ibunya.
Faruk
selalu
berusaha
membahagiakan ibunya dengan berusaha menemukan ibunya dengan kakak dan adiknya, usahanya ternyata tidak sia-sia ketika ibunya berada di sanatorium Faruk bisa mempertemukan Ibunya dengan adiknya Sinta dan Liani yang itu memuat ibunya sangat bahagia. Setelah itu dia juga dapat mempertemukan dengan kakaknya Surti yang saat itu sudah menikah punya anak namanya Bonny namun dalam proses perceraian. Setelah masa rehabilitasinya selesai Lis tinggal bersama dengan kedua putrinya Sinta dan Liani, namun kehidupan mereka sangat bebas yang itu membuatnya tidak tenang, namun dia juga merasa bersalah karena ia ikut andil dalam kesalahan ini. Lis berusaha mendekatkan kembali
anak-anaknya dengan Tuhan
dengan mengajaknya kembali menjalankan shalat dan setelah selesai Lis 52
mengajarkan mereka lirik lagu Abu Nawas, kemudian diaransemen ulang mereka dan melambungkan nama mereka nantinya dikemudian hari. Surti setelah cerai menikah lagi dengan pengacara yang dulu menjadi pengacara nya waktu sidang perceraian. Faruk sendiri menjadi pelukis yang terkenal dan mulai menggelar pameran di Taman Ismail Marzuki, yang hasilnya digunakan untuk membangun rumah untuk ibunya. Sedangkan pernikahan Surti dengan suami keduanya tidak berlangsung lama akhirnya bercerai juga. Liani dan Sinta sudah menjadi pengusaha yang sukses dan menikah dengan kekasih mereka, Kamal sendiri tidak dapat dirangkul lagi dan dihubungi. Sambil menunggu rumah selesai, Lis dan Faruk menempati rumah Liani dan Sinta karena mereka sedang menunaikan ibadah haji, namun belum selesai terdengar kabar ada pesawat haji Indonesia yang jatuh di Srilangka, Surti ditugaskan juga kesana bersama dokter yang lain. Mendengar kabar pesawat jatuh membuat Faruk syok dan jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Lis merasa bersyukur karena anaknya meninggal dunia dengan tenang. Rumah yang di bangun Faruk untuknya digunakan untuk kegiatan majelis ta’lim dan kegiatan keagamaan lainnya.
53