BAB III METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010). Bahan dan sumber data dari penelitian ini diperoleh dari catatan rekam medis, dan resep di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2011. 2.2 Waktu dan Tempat Penelitian Studi resep dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2012 di Rumah Sakit Umum Kota Langsa. 2.3 Sampel Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Kriteria inklusi: Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011. Kriteria eksklusi: Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Yang termasuk kriteria
Universitas Sumatera Utara
eksklusi meliputi pesien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi selain hipertensi. 2.4 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data melalui pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap Rumah Sakit Umum Langsa meliputi resep dan kelengkapan data pasien (seperti umur, jenis kelamin, diagnosa, hasil pemeriksaan laboratorium). 2.5. Pengolahan Data Data diperoleh dibuat rekapitulasi dalam sebuah tabel yang memuat identitas pasien, diagnosis penyakit, obat yang diperoleh beserta aturan pakai dan dosis, dan lama hari perawatan, kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi disajikan dalam bentuk tabel. 2.6 Langkah-langkah Penelitian Langkah penelitian yang dilaksanakan: a. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin penelitian di Rumah Sakit Umum Langsa. b. Menghubungi direktur Rumah Sakit Umum Langsa untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas. c. Melaksanakan penelitian di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Langsa, dengan mengambil data periode Januari 2011-Desember 2011. d. Analisis Data dan menyajikan dalam bentuk persentase.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSUD Langsa periode Januari 2011-Desember 2011 diperoleh data seluruh pasien diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUD Langsa sebanyak 91 pasien. Data yang didapatkan dari rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 32 orang yakni pasien yang terdiagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi sedangkan 59 orang tidak memenuhi syarat sebagai subjek (eksklusi), sehingga total subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 32 pasien, yang terdiri dari pasien laki-laki sebanyak 16 pasien dan pasien wanita berjumlah 16 pasien. Karakteristik pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi berdasarkan usia No 1 2 3 4
Usia (Tahun) 40-49 50-59 60-69 70-79 Total
Jumlah Pasien 8 14 7 3 32
% 25 43,75 21,87 9,3 100
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien yang berusia 40-49 tahun sebanyak 8 pasien dengan persentase 25%, pasien yang berusia 50-59 tahun sebanyak 14 pasien dengan 43,75%, pasien yang berusia 60-69 tahun sebanyak 7 pasien dengan persentase 21,87%, dan pasien yang berusia 70-79 tahun sebanyak 3 pasien dengan persentase 9,3%, dari data tersebut dapat dilihat bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi banyak terjadi pada usia 50-
Universitas Sumatera Utara
59 tahun. Data ini sejalan dengan penelitian di Makasar tahun 2004 menemukan persentase pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi terbesar pada kelompok umur 50-59 tahun (Fasli, dkk., 2008). 4.1 Penggunaan Obat Antidiabetik Frekuensi penggunaan antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Frekuensi penggunaan obat antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa NO 1
2
Nama Obat Antidiabetik Parenteral a. Actrapid b. Novomix c. Levemir d. Novorapid Jumlah Antidiabetika Oral a. Glucodex (gliklazid) b. Gimepirid c. Glibenklamide d. Gliquidone e. Metformin Jumlah Total
Frekuensi
%
5 4 7 2 18
10 8 14 40 36
12 2 2 3 13 32 50
24 4 4 6 26 64 100
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa ditemukan 50 penggunaan obat antidiabetik, dan dapat dilihat ada pasien yang mendapatkan lebih dari satu macam obat antidiabetik. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pasien banyak mendapatkan obat antidiabetik oral (64%) dari pada terapi insulin (36%). Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 hanya bersifat relatif, jadi dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Universitas Sumatera Utara
4.2 Penggunaan Obat Antihipertensi Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa NO Nama Obat 1 Antihipertensi Parenteral Furosemid Injeksi Jumlah 2 Antidiabetika Oral a. Captropil b. Furosemid c. Amlodipine d. Diltiazem e. Bisoprolol f. Propanolol g. Valsartan h. Noperten (Lisinopril) i. Adalat oros (Nifedipine) j. Spironolakton k. Hidroklortiazid l. Ramipril Jumlah Total
Frekuensi
%
5 5
8,62 8,62
16 7 6 2 5 2 1 3 1 2 3 5 53 58
27,58 12,06 10,34 3,44 8,62 3,44 1,75 5,17 1,75 3,44 5,17 8,62 91,38 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa ditemukan 58 penggunaan obat antihipertensi, dari tabel dapat kita lihat ada penderita yang mendapatkan obat antihipertensi lebih dari satu macam obat. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi banyak mendapatkan captropil sebagai antihipertensi. Penggunaan captropil pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dapat mencegah kardiovaskular dan memperlambat progress penyakit ginjal kronis (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
4.3 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Kriteria Drug Related Problems (DRPs) yang dinilai pada penelitian ini adalah menurut Cipolle, dkk., (2004) yaitu: 1. Butuh terapi tambahan 2. Terapi obat yang tidak perlu 3. Terapi obat tidak efektif 4. Dosis terlalu rendah 5. Reaksi obat yang merugikan 6. Dosis terlalu tinggi 7. Kepatuhan pasien
Universitas Sumatera Utara
Hasil identifikasi masing-masing kriteria Drug Related Problems (DRPs) dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada penderita diabetes melllitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 No 1 2 3 4 5 6 7
DRP (+) DRP (-) Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % Butuh terapi tambahan 5 15,61 27 84,37 32 100 Terapi obat yang tidak perlu 13 40,62 19 59,37 32 100 Terapi obat yang tidak 16 50 16 50 32 100 efektif Dosis terlalu rendah 1 3,12 31 96,87 32 100 Reaksi obat merugikan 10 31,24 22 68,75 32 100 Dosis terlalu tinggi 2 6,25 30 93,75 32 100 Kepatuhan pasien Jenis-jens DRPs
Keterangan : DRPs (+) = Terjadi Drug Related Problems DRPs (-) = Tidak terjadi Drug Related Problems Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat kriteria Drug Related Problems (DRPs) yang ditemukan adalah butuh terapi tambahan 15,61%, terapi obat yang tidak perlu (40,62%), terapi obat yang tidak efektif (50%), dosis terlalu rendah (3,12), reaksi obat merugikan (31,24%), dosis terlalu tinggi (6,25%). 4.3.1 Butuh terapi tambahan Butuh terapi tambahan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5 Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 No
Penyebab Butuh terapi tambahan untuk mendapatkan efek sinergisme
Jumlah
Obat Glucodex KGDS I : 347 KGDS II : 285
Jumlah
%
1
3,12
Actrapid Inj KGDS I : 513 KGDS II : 422
1
3,12
Metformin KGDS I : 311 KGDS II : 261
1
3,12
Captropil TD I : 190/100 TD II : 160/80 TD I : 180/90 TD II : 160/70
2
6,25
5
15,61
Keterangan KGDS I : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari pertama masuk rumah sakit (mg/dl). KGDS II : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari kedua di rumah Sakit (mg/dl). TD I : Tekanan Darah hari pertama masuk rumah sakit. TD II : Tekanan Darah hari kedua masuk rumah sakit.
Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pasien yang membutukan terapi tambahan untuk mencapai efek sinergisme adalah 15,61%. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergisme pada penelitian ini didapatkan 3 kasus pada pasien dengan kadar gula darah sewaktu yang tinggi waktu pertama masuk rumah sakit yang diberikan terapi obat tunggal antidiabetik oral glucodex (KGDS 347 mg/dl), metformin (KGDS 311 mg/dl) dan antidiabetik parenteral (insulin) actrapid injeksi (KGDS 531 mg/dl) hari kedua dirumah sakit kadar gula darah pasien tidak menunjukkan penurunan secara berarti tetapi tidak diberikan kombinasi obat untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
efek sinergisme. Kombinasi insulin dan sulfonilurea ternyata lebih baik daripada hanya insulin, dan dosis insulin yang diperlukan ternyata lebih rendah. Dengan memberikan insulin kerja sedang dimalam hari produksi glukosa hati di malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat lebih rendah. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonilurea. Kombinasi sulfonilurea dan metformin juga merupakan kombinasi yang rasional karena keduanya memiliki cara kerja yang berbeda dan saling aditif, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa lebih banyak daripada pengobatan tunggal (Soegondo, 2010). Pada penelitian ini juga didapatkan 2 kasus pasien yang tidak mendapatkan tambahan terapi obat pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi waktu pertama masuk rumah sakit diberikan terapi obat tunggal captropil (TD 190/100 mm/Hg dan 180/90 mm/Hg), hari kedua pasien dirumah sakit juga tidak menunjukkan penurunan tekanan darah secara berarti. Sebaiknya pasien diberikan terapi kombinasi, karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih terapi kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah optimal. Pada pasien yang membutuhkan terapi kombinasi, Calcium Chanel Blocker (CCB) merupakan obat yang berguna untuk dikombinasikan dengan antihipertensi yang lain (Saseen dan Carter, 2005). 4.3.2 Terapi obat yang tidak perlu Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.6 Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 No
Penyebab Penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit
Obat Cefotaxime Inj Ceftriaxone Inj Ciprofloxain Inj
Jumlah 3 2 1
% 15,61 6,25 3,12
Ciprofloxain Tab
1
3,12
Lansoprazole
1
3,12
Omeprazole
1
3,12
Ranitidin
4
12,5
13
40,62
Jumlah
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terapi obat yang tidak perlu didapatkan 13 kasus yang disebabkan oleh penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit 40,62%. Pada Tabel 4.6 penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit yaitu pemberian antibiotik, antibiotik seharusnya tidak diberikan karena berdasarkan rekam medik tidak ada data yang menunjukkan pasien mengalami infeksi. Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk menghambat dan membunuh bakteri, oleh karena itu hanya diberikan antibiotik jika mengalami penyakit yang disebabkan oleh infeksi (Anonimᵈ, 2011). Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan resistensi, sehinnga harus diberikan sesuai dengan kondisi yang dialami pasien (Katzung, 2004). Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi yang tidak mengalami infeksi tidak perlu diberikan antibiotik.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit juga ditemukan pemberian obat saluran cerna (lansoprazole, omeprazole, ranitidine) berdasarkan rekam medik pasien tidak mengalami gangguan lambung. 4.3.3 Terapi obat tidak efektif Terapi obat tidak efektif yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Terapi obat yang tidak efektif yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalisasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 No
Penyebab Bukan obat yang paling efektif
Jumlah
Obat HCT Furosemid tab Furosemid Inj Captropil
Jumlah 3 7 5 1 16
% 9,37 21,87 15,61 3,12 50%
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa terapi yang tidak efektif yang terjadi disebabkan oleh pemberian obat yang diberikan bukan yang paling efektif yaitu 15 kasus dengan persentase 46,87%. Tabel 4.7 menunjukkan pemberian obat bukan yang paling efektif sebagai antihipertensi yang paling banyak ditemukan adalah furosemid tablet pada 7 pasien 21,87% dan furosemid injeksi pada 5 pasien 15,61%. Furosemid dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes, ini disebabkan karena efek samping dari furosemid yaitu hipokalemia. Hipokalemia dapat mengakibatkan gangguan respon insulin terhadap glukosa pada fase 1 dan fase 2 sehingga akan terjadi gangguan toleransi glukosa (Anonim, 2009). Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
hal tersebut maka pemberian furosemid sebaiknya diganti dengan diuretik lain yaitu spironolakton tanpa dikombinasi dengan captropil. Pemberian obat bukan yang paling efektif juga terjadi pada pemberian terapi hidroklortiazid sebagai antihipertensi. Hidroklortiazid dapat menghambat pengeluran insulin dari pankreas sehingga dapat menaikkan kadar gula darah (Stockley, 1999). Berdasarkan hal tersebut maka pemberian hidroklortiazid diganti dengan dengan diuretik yang lain seperti spironolakton tanpa dikombinasi dengan captropil. Terapi obat yang tidak efektif ditemukan juga pada pemberian captropil yang diketahui dengan diagnosa awal pasien mengalami batuk kering (lihat lampiran 1, no.9), captropil mempunyai efek samping berupa batuk kering, penyebabnya mungkin adalah baradikinin dan prostaglandin di saluran nafas dan paru-paru, yang seharusnya dirombak oleh Angiostensin Converting Enzim (ACE) tetapi akibat penghambatannya berakumulasi disitu (Tjay dan Kirana, 2002). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil diganti dengan valsatran karena tidak mempunyai efek samping berupa batuk kering. 4.3.4 Dosis terlalu rendah Dosis terlalu rendah yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan januari 2011 – Desember 2011 ditemukan 1 kasus dengan persentase 3,12%. Dosis terlalu rendah pada penelitian ini disebabkan frekuensi yang tidak tepat pada pemberian terapi asam folat. Meningkatnya kadar glukosa yang tidak terkontrol pada penderita diabetes akan menyebabkan komplikasi, faktor risiko yang yang berperan untuk terjadinya komplikasi salah satunya adalah
Universitas Sumatera Utara
hipermosistein (Hcy), dengan pemberian asam folat dengan dosis yang tinggi akan menurunkan kadar hipermosistein (Hcy) dan akan meningkatkan fungsi endotel arteri secara signifikan (Rahayu, 2011). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya frekuensi pemberian asam folat diberikan tiga kali sehari. 4.3.5 Reaksi obat yang merugikan Reaksi obat merugikan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi ditemukan ditemukan 5 kasus dengan persentase 28,12% di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Reaksi obat yang merugikan yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011. No 1
2
Penyebab Interaksi Obat
Jumlah Kontraindikasi dengan penderita hipertensi
Obat Propanolol - Glucodex Captropil Spironolakton Diltiazem-Bisoprolol NaCL 0,9%
Jumlah 2
% 6,25
2
6,25
1 5
3,12 15,62
5
15,62
Berdasarkan Tabel 4.8 reaksi obat yang merugikan pada penelitian ini ditemukan karena interaksi obat antara propanolol dan glucodex (gliklazid) 2 kasus ( 6,25%). Propanolol dapat menyebabkan peningkatan kerja dari glucodex dalam menurunkan kadar glukosa darah karena propanolol dapat menstimulasi beta 2 yang menyebabkan stimulasi sekresi insulin sehingga akan terjadi hipoglikemia (Haryono, 2006). Berdasarkan hal di atas sebaiknya propanolol diganti betablocker lainnya seperti bisoprolol.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini juga ditemukan interaksi obat antara captropil dan spironolakton yang ditemukan 2 kasus (6,25%). Interaksi captropil dan spironolakton dapat menyebabkan hiperkalemia.
Captropil dapat mengurangi
aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium sedangkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium yang mempunyai efek samping hiperkalemia interaksi kedua obat ini dapat menyebabkan meningkatnya hiperkalemia (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil dikombinasi dengan antihipertensi yang lain seperti valsartan. Interaksi obat ditemukan juga pada pemberian terapi kombinasi antihipertensi yang kurang tepat yaitu pemberian bisoprolol yang merupakan golongan beta blocker dan diltiazem golongan antagonis kalsium, kombinasi ini akan menyebabkan meningkatnya risiko heart blok. Apabila penyekat beta seperti bisoprolol harus dikombinasi dengan antagonis kalsium, sebaiknya dipilih dihidropirin untuk mencegah terjadinya peningkatan heart blok (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006). Reaksi obat yang merugikan juga didapatkan karena kontraindikasi yang diberi terapi NaCl 0,9%. NaCl 0,9% dapat menaikkan tekanan darah pada pasien diabetes dengan hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air sehingga volume darah bertambah menyebabkan tekanan darah meningkat (Tjay dan Rahardja, 2002). 4.3.6 Dosis terlalu tinggi Dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 ditemukan 2 kasus 6,25% yaitu frekuensi yang
Universitas Sumatera Utara
tidak tepat pada pemberian terapi glibenklamide dua kali sehari. Glibenklamide mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama misalnya lebih dari 12 minggu masa paruhnya memanjang sampai 12 jam (Soegondo, 2010). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya frekuensi pemberian glibenklamide diberikan satu kali sehari saja. 4.3.7 Kepatuhan pasien Kepatuhan pasien pada penelitian ini tidak dapat diteliti, hal ini disebabkan karena penelitian ini menggunakan data yang lalu (retrospektif). Kepatuhan pasien dapat diteliti apabila menggunakan data-data yang sekarang (prospektif).
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan
Drug Related Problems
(DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Langsa yaitu butuh terapi tambahan 15,61%, terapi obat yang tidak perlu 40,62%, terapi obat yang tidak efektif 50%, dosis terlalu rendah 3,12%, reaksi obat yang merugikan 31,24%, dan dosis yang tinggi 6,25%.
1.2 Saran 1.
Untuk meningkatkan terapi pengobatan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi maka diharapkan Apoteker bekerja sama dengan Dokter sehingga prevalensi Drug Related Problems (DRPs) dapat menurun secara signifikan.
2.
Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meniliti Drug Related Problems (DRPs) dengan kasus lain sehingga diperoleh data yang lebih lengkap.
Universitas Sumatera Utara