BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 3.1. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu amanah yaitu bahwa pemilik dan atau pemegang hak atas tanah tidak boleh menelantarkan tanahnya. Hal tersebut berarti setiap pemberian hak oleh negara kepada perorangan atatu badan hukum haruslah bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Secara filosofis tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis. Tanah berfungsi untuk menyejahterakan manusia sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Itu sebabnya mengabaikan kewajiban menggunakan dan mengelola tanah sesuai dengan hak yang dimiliki merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial tanah. Pada
dasarnya
hak
atas
tanah
dilindungi
terhadap
pengambilan/pembebasan tanah untuk kepentingan umum oleh siapapun. Prinsip dasar hak asasi manusia telah memberikan jaminan atas kedamaian dan kenikmatan dari apa yang dimilikinya. Negara harus memberikan jaminan terhadap hak-hak atas tanah dari berbagai pengurangan nilai-nilai dari tanah atau
76
77 benda lain yang dimilikinya.1 Hak-hak kenikmatan dan kebahagiaan manusia yang alami itulah yang telah menempatkannya untuk melakukan kehendaknya atas tanah yang dimilikinya.2 Apabila nantinya diketahui pemegang hak mengabaikan kewajiban terhadap tanah sehingga keadaan tanah menjadi terlantar atau tidak produktif, tidak memberi manfaat bagi pemegang hak maupun masyarakat sekitarnya, mengalami penurunan kualitas kesuburan dalam waktu tertentu, maka pemerintah harus segera bertindak, dan menyatakan suatu bidang tanah dalam keadaan terlantar. secara yuridis hal ini harus diikuti dengan tindakan pemerintah untuk melakukan pembatalan terhadap hak atas tanah tersebut. Kemudian tanah kembali kepada negara yang selanjutnya akan diserahkan kepada subjek hukum lainnya untuk dimanfaatkan kembali. Realitas seperti itu menunjukkan bahwa secara administrasi tertib hukum pertanahan perlu ditegakkan secara tegas. Untuk dapat menertibkan tanah terlantar selain diperlukan peraturan yang tegas, peraturan tersebut juga harus jelas. Peraturan yang jelas dalam pembuatan norma harus memenuhi syarat terpenuhinya asas hukum yaitu pikiran dasar yang bersifat abstrak dan ini tercermin dalam Pasal-Pasal Peraturan Perundangundangan yang ada. Asas hukum penting untuk diketahui, karena asas hukum berperan sebagai pembentuk sistem tentang check and balances, yang pada dasarnya mempunyai landasan :
1
Deborah Rook, 2001, Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited, London, h. 60 2 L.B. Curzon, 1999, Land Law, Seventh Edition, First Published, Pearson Education Limited, London, h. 45
78 a. Berakar dalam kenyataan masyarakat, dan b. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama Asas hukum mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu : 1. Asas dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk Undang-Undang dan hakim. 2. Fungsi dalam ilmu hukum hanya bersifat mengatur dan menjelaskan. Tujuannya memberi ikhtisar, sifatnya tidak normatif dan tidak termasuk hukum.3 Untuk menentukan kriteria suatu hak atas tanah dapat dikatakan tanah terlantar adalah dengan cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam pengertian mengenai tanah terlantar. Dalam Hukum Adat Tanah terlantar dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan tanah terlantar menurut hukum Adat lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena ditinggalkan oleh pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan suatu bidang tanah adalah terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa kembalinya tanah kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya dalam masyarakat Hukum Adat yang berhak menyatakan tanah 3
Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
h. 36
79 terlantar adalah ketua masyarakat adatnya. Salah satu contohnya adalah kedudukan tanah adat marga di Sumatera Selatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pasirah selaku kepala marga yang memberikan “pacung alas” (izin tebang) dengan syarat yaitu apabila izin yang diberikan tidak digarap lagi selama 3 (tiga) tahun terus menerus, maka izin tebang tersebut tidak berlaku lagi dan tanahnya kembali kepada marga.4 Dalam penjelasan Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah kalau hak atas tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Menurut R. Soeprapto UUPA mengenal hal tersebut oleh karena dalam hukum adat terdapat yang disebut asas efisiensi dalam pemanfaatan tanah, yaitu bahwa seseorang tidak boleh menelantarkan tanah. Dan kalau tanah ditelantarkan dalam jangka waktu tertentu, tanah kembali kedalam penguasaan masyarakat hukum Adat. Boedi Harsono menegaskan secara lebih luas pengertian tersebut dari segi sosial hak-hak atas tanah yaitu : “mewajibkan yang mempunyai hak untuk memanfaatkannya sesuai dengan peruntukannya, apabila kewajiban itu diabaikan dapat mengakibatkan hapus atau batalnya hak yang bersangkutan”. Dalam hal yang demikian tanah tersebut termasuk golongan yang ditelantarkan menurut penjelasan Pasal 27 UUPA. Jika tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha dan tanah Hak Guna Bangunan ditelantarkan maka haknya hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara, artinya tanah tersebut kembali menjadi tanah negara.
4
Abdul Malik, Op.Cit, h. 62
80 Sifat dan tujuan pemberian Hak Guna Bangunan adalah yang memiliki hak akan membangun rumah atau bangunan lain diatasnya. Kalau tanahnya dibiarkan kosong tanpa alasan, maka yang demikian itu termasuk dalam pengertian ditelantarkan. Namun tidak semua tanah yang dibiarkan dalam keadaan kosong atau tidak tertanami termasuk dalam pengertian ditelantarkan. Seringkali untuk mengembalikan atau mempertahankan kesuburan tanah pengusahaannya perlu dilakukan sistem rotasi. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak-pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pertimbangan bahwa PP No. 36 Tahun 1998 tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan penggantian peraturan maka diterbitkan PP No. 11 Tahun 2010. PP No. 11 Tahun 2010 tersebut mencabut PP No. 36 Tahun 1998 dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah satu yang menjadi kelemahan dalam PP. No. 36 Tahun 1998 adalah tidak ditentukannya berapa lama tanah yang tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya dapat dikatakan tanah terlantar. Dalam Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 menggolongkan suatu tanah adalah terlantar dari segi status tanah dan dari segi penggunaan tanahnya :5
5
Rusmadi Murad, 2013, Administrasi Pertanahan : Pelaksanaan Hukum Pertanahan Dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, h. 401
81 1. Dari segi status tanahnya, yaitu meliputi hak penguasaan atas tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Serta hak penguasaan atas tanah yang sudah ada dasar penguasaannya, dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohonkan hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan /surat lainnya dari pejabat yang berwenang. 2. Dari segi penggunaan tanahnya, yaitu kondisi-kondisi yang dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya adalah karena pemegang hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Selain itu yang dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya yaitu pemegang hak instansi Pemerintah/BUMN/BUMD dimaksud karena keterbatasan anggaran negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Serta yang dimaksud dengan tanah yang terindikasi terlantar adalah tanah hak dan atau dengan dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Untuk memperoleh data tanah terindikasi tanah terlantar dilaksanakan kegiatan inventarisasi oleh kepala wilayah BPN kepada kepala BPN RI. Unsur-unsur yang esensial terjadinya tanah telantar maka kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah penguasaan instansi pemerintah sebagai tanah telantar yaitu dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara, itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Sehingga kriteria tanah telantar yaitu : 1). Harus ada tanah hak (Objek)
82 Tanah merupakan objek dari penertiban dari tanah terlantar. Negara memberikan berbagai macam hak atas tanah untuk dipergunakan oleh pemegang hak atas tanah. Mengenai tanah hak apa saja yang menjadi tanah objek tanah terlantar akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. 2). Harus ada pemilik/pemegang hak atas tanah (subjek). Selain harus ada objek yaitu tanah hak, kriteria untuk menentukan sebuah tanah tersebut dikatakan telantar juga harus adanya pemilik/pemegang hak baik perseorangan, badan hukum perdata, ataupun instansi pemerintahan. Mengenai pemilik/pemegang hak atas tanah yang mana saja dapat dikatakan sebagai subyek tanah terlantar akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. 3). Harus ada perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah. Dalam penjelasan Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah kalau hak atas tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Hal yang sama juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 bahwa unsur yang terpenting adalah harus dapat dibuktikan bahwa pemegang hak telah dengan sengaja telah menelantarkan tanah miliknya. Sengaja dapat ditafsirkan sebagai keadaan mampu dari segi ekonomi pemegang hak untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan hak atas tanahnya sesuai dengan kewajibannya namun tanah tersebut tidak dirawat dan dibiarkan menjadi semak belukar oleh pemegang hak. Selain itu pemegang
83 hak tidak melaksanakan kewajibannya misalkan tidak membayarkan pajak bumi dan bangunan atas tanah tersebut. Apabila pemegang hak memang tidak dengan sengaja menelantarkan tanahnya karena ketidakmampuan secara ekonomi, maka tanah tersebut dapat dikecualikan sebagai tanah terlantar. 4). Harus ada perbuatan mengabaikan kewajibannya Kewajiban-kewajiban itu secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut. Pasal 6 UUPA, semua hak atas tanah berfungsi sosial. Artinya hak atas Tanah apapun yang ada pada seorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan, sifat dan tujuan dari hak atas tanah tersebut, sehingga bermanfaat bagi yang mempunyai hak atas tanah maupun bagi masyarakat dan negara. Tidak memelihara tanda-tanda batas,
tanah
dibiarkan
kosong
dapat
dikategorikan
sebagai
bentuk
penyangkalan terhadap fungsi sosial atau tidak mengindahkan fungsi sosial hak atas tanah. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara pemerasan. Dengan demikian, terkandung asas bahwa pada dasarnya tiap orang tidak boleh menyerahkan tanahnya dikerjakan orang lain. Terkandung pula asas larangan eksploitasi tanah agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan. Berarti ada tanggung
84 jawab setiap orang untuk menjaga produktivitas tanah, sehingga tidak dibenarkan tanah tidak diusahakan secara optimal. Pasal 15 UUPA, memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya merupakan kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah. Asas hukum yang terkandung adalah larangan tidak memelihara tanah, hal tersebut berarti ada kewajiban menambah kesuburan tanah serta mencegah kerusakan tanah. Jadi asas ini mewajibkan setiap orang, badan hukum atau instansi untuk memelihara tanah, menambah kesuburan serta mencegah kerusakannya. Adapun melaksanakan kewajiban, harus dengan baik dan benar. Hukum menghendaki adanya itikad baik dalam melaksanakan kewajiban antar orangorang yang mempunyai hubungan dengan tanah di satu pihak (hubungan subjek dan objek hak) demikian juga hubungan antar subjek hak (penerima) dengan subjek (pemberi). Apabila itu diabaikan maka kepada pemegang hak atas tanah dapat diberi sanksi pencabutan hak karena tidak memelihara kesuburan tanah atau tidak menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup. Kewajiban yang bersifat khusus dimaksimalkan sesuai dengan tiap-tiap hak yang diperoleh instansi pemerintah yaitu, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Selanjutnya kewajiban-kewajiban yang khusus itu dijelaskan dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
85 Kewajiban yang bersifat khusus pada hak pakai yaitu menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya; memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup, sedangkan pada hak pengelolaan yaitu menggunakan tanah sesuai keperluan usahanya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah telantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau
tidak
dimanfaatkan
atauketentuan
yang
ditetapkan
dalam
sesuai izin
dengan
lokasi,
persyaratan
dan/atau
dalam
izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang. 5). Harus ada jangka waktu tertentu dimana pemegang hak mengabaikan kewajibannya. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, menyatakan bahwa panitia yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi telantar tersebut. Hal ini dilaksanakan terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak ditertibkan Hak Pakai, Hak Pengelolaan tersebut; atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari Pejabat yang berwenang.
86 3.2. Objek dan Subjek Penertiban Tanah Terlantar 3.2.1. Objek Penertiban Tanah Terlantar Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Pemberian hak-hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain) kepada perorangan atau badan hukum oleh negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial tanah sering dihubungkan dengan peraturan lingkungan, sebagai contoh, penguasaan hak milik harus dikaitkan dengan fungsi sosial tanah, oleh karena itu kepemilikan dibatasi oleh kepentingan umum yang lebih besar.6 Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud agar tidak menelantarkan tanah.
6
Peter P. Houtzager, 2003, Social Function Of Preperty, Movement Of Landless And the Judicial Field in Brazil, Institute Of Development Studies, United Kingdom, Page 4.
87 Dalam Teori Negara Hukum yang dikemukakan oleh A.V. Dicey bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum sehingga dapat terwujudnya supremasi hukum, kedudukan yang sama dihadapan hukum serta terjaminnya hakhak manusia oleh Undang-undang. Berikut beberapa ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan objek tanah terlantar dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Dalam UUPA Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada negara karena ditelantarkan (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27 menyatakan : “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan (Pasal 34 e). Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan (Pasal 40 e) 2. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak diberikan oleh negara kepada subjek hak. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan. Dalam pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak Pakai. Pasal 55 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa
88 Hak Pakai hapus karena ditelantarkan. Meskipun khusus dalam hal Hak Pakai tidak terdapat ketentuan hapusnya Hak Pakai dalam UUPA. 3. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1998 menyatakan bahwa “tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Mengenai ruang lingkup tanah terlantar dalam PP No. 36 Tahun 1998 dibagi menjadi tiga bagian. Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai meliputi : Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Pasal 4 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut”. Pasal 5 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
89 (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Pasal 6 menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakaisebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidakdilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Bagian Ketiga mengenai Tanah Yang Belum Dimohon Hak diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. 4. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010
90 menyebutkan bahwa objek tanah terlantar adalah tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon
hak,
tidak
diusahakan,
tidak
dipergunakan,
atau
tidak
dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang. Berdasarkan penjelasan dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas maka dapat disimpulkan ruang lingkup objek penertiban tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah. 1). Hak Milik Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan : Hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Pada dasarnya hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :7 1. Turun temurun; 2. Terkuat dan Terpenuh;
7
Urip Santoso, Op.Cit., h. 90
91 3. Hak milik dapat beralih dan dialihkan; 4. Hak milik mempunyai fungsi sosial; 5. Hak milik juga hak yang wajib daftar menunjuk pada jangka waktu hak milik yang tidak dibatasi. Adapun subjek Hak Milik atau yang dapat menjadi pemegang hak milik adalah : Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), dan Badan Hukum Tertentu.8 Menurut penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai WNI pada Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.9 Karena yang dapat mempunyai hak milik hanyalah WNI tunggal, maka apabila seorang Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) memperoleh hak milik karena percampuran harta yang disebabkan adanya perkawinan maka yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah diperolehnya hak milik tersebut harus melepaskan hak milik tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik (hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA). Oleh karena itu semua perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak milik kepada orang asing atau seseorang yang mempunyai kewarganegaraan asing, adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara (diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA). Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai Badan Hukum Tertentu pada Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan 8
Ibid., h. 91 Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan Peralihannya,
9
Liberty, Yogyakarta, h. 56
92 “oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat”. Pemilikan tanah hak milik oleh badan keagamaan dan badan sosial diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badanbadan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Th 1963 yang memuat badan-badan hukum apa saja yang dapat mempunyai hak milik, yaitu : -
Bank - bank yang didirikan oleh Pemerintah
-
Perkumpulan
-
perkumpulan
koperasi
pertanian
yang
didirikan
berdasarkan UU No. 79 Th 1958 tentang Perkumpulan Koperasi; -
Badan - badan keagamaan yang ditunjuk menteri agama;
-
Badan - badan sosial yang ditunjuk menteri dalam negeri yang telah mendapat persetujuan menteri sosial. Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Th 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tentang Negara dan Hak Pengelolaan, disebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik adalah Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Alasan untuk tidak diperbolehkannya badan hukum mempunyai tanah dengan hak milik adalah agar terhindar dari penyelundupan-penyelundupan terhadap batas maksimum pemilikan tanah yang ditentukan dalam Pasal 17
93 UUPA. Disamping itu alasan lainnya adalah bahwa badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan yang cukup bagi keperluannya yang khusus. Terjadinya Hak milik ada tiga yaitu:10 a. Menurut hukum adat; b. Terjadinya hak milik karena Penetapan Pemerintah; c. Terjadinya hak milik karena ketentuan Undang-Undang; Menurut Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto penjelasan mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat ini berhubungan dengan hak ulayat. Dalam hukum adat, terjadinya hak milik tersebut diawali dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Adat. Pembukaan hutan adalah pembukaan tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan bersama-sama ketua adat melalui 3 (tiga) sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan.11 Menurut Maria SW Soemardjono perolehan hak milik menurut hukum adat tidak dengan cara sertamerta, melainkan diawali dengan pembukaan hutan oleh anggota persekutuan dengan sepengetahuan kepala persekutuan. Tetapi hal tersebut dilanjutkan dengan pemasangan tanda batas dan pengolahan tanahnya menjadi tanah pekarangan atau pertanian. Jika hubungan antara yang bersangkutan dengan tanahnya sudah bersifat menetap (terus-menerus) maka
10
Urip Santoso. Op.Cit. h.56 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.Cit. h.62
11
94 lambat laun hubungan tersebut menjadi hubungan milik.12 Bahwa menurut hukum adat, hak milik tidak dapat diperoleh secara serta merta terdapat tata cara yang harus dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama. Selanjutnya mengenai terjadinya hak milik, Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto menjelaskan karena penetapan pemerintah ini diatur dalam PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak milik karena penetapan ini dimulai dengan suatu permohonan hak kepada pejabat yang berwenang. Sedangkan mengenai siapa yang wenang memberikan keputusan pemberian haknya hal ini diatur dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah terjadinya hak milik karena konversi, sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi. Konversi disini adalah perubahan hak-hak atas tanah yang sebelum UUPA lahir (hak lama) menjadi salah satu hak atas tanah yang ada dalam UUPA. Hak lama adalah hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA lahir, yaitu baik hak barat maupun hak adat. Hak barat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum perdata barat misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, yang akan dikonversi menjadi hak milik apabila pemegang haknya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Sedangkan hak adat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat
12
Maria SW soemardjono III, Op.Cit., h.144
95 seperti hak milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe atau hak golongan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap inilah yang akan dikonversi menjadi hak milik apabila pemegangnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Dalam Pasal 27 UUPA terdapat beberapa alasan hak milik atas tanah dapat hapus dan jatuh kepada negara yaitu : apabila adanya pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA, karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, karena ditelantarkan, karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA serta karena tanah hak miliknya musnah. Dari ketentuan Pasal 27 UUPA ini dapat disimpulkan bahwa hak milik juga merupakan salah satu objek penertiban tanah terlantar. 2). Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha (selanjutnya disingkat HGU) diatur dalam Pasal 28-34 UUPA dan Pasal 2-18 PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan “Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan”. Meskipun disebut Hak Guna Usaha, akan tetapi tidak semua bentuk usaha dapat diberikan tanah HGU. Usaha yang akan diberikan dengan HGU adalah usaha di bidang pertanian (dalam arti luas termasuk perkebunan), perikanan dan peternakan, sehingga HGU peruntukannya terbatas.13 Luas HGU hanya diberikan untuk usaha yang memerlukan tanah yang luas, maka HGU diberikan untuk tanah
13
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, Op.Cit. h. 64
96 luas minimum 5 hektar dan jika luasnya 25 hektar atau lebih harus disertai investasi modal yang layak dan teknis perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Luas maksimum HGU perorangan adalah 25 hektar, sedangkan luas maksimum untuk badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur mengenai tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah tanah negara. Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan. Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun HGU hanya dapat di atas tanah negara, akan tetapi dari ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40 Th 1996 tersebut maka HGU dapat berasal dari tanah kepunyaan orang lain, atau tanah hak. Hanya saja tanah tersebut oleh pemiliknya harus dilepas dahulu kepada negara, dengan memberikan ganti kerugian kepada bekas pemiliknya, sehingga statusnya menjadi tanah negara. Selanjutnya pemegang HGU mengajukan permohonan hak kepada negara (Badan Pertanahan Nasional).
97 Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dimungkinkan HGU diberikan oleh Negara di atas tanah ulayat setelah tanah tersebut dilepas oleh masyarakat hukum adat. Meskipun diberikan di atas tanah hak ulayat, tetap saja HGU tersebut harus dengan proses pemberian hak melalui penetapan pemerintah, dalam hal ini sesuai ketentuan dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999 dan PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999. Jangka waktu HGU dapat dirasa cukup dengan 25 tahun atau maksimum 35 tahun dan kemungkinan untuk diperpanjang 25 tahun, bahkan dapat diperbaharui (25 tahun).14 Perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat dilakukan jika memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana termuat dalam Pasal 9 PP No. 40 Tahun 1996, yaitu : a) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Subjek HGU adalah WNI dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dalam hal pemegang HGU tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang HGU, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila jangka waktu tersebut HGU tidak dilepas atau 14
Sudargo Gautama, 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Citra aditya bakti, bandung. h.139
98 dialihkan maka HGU tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Selain itu pemegang HGU yang melanggar atau tidak mematuhi syarat yang telah ditentukan maka HGU tersebut juga akan hapus dan tanah akan jatuh kepada negara. Seperti juga hak milik, maka HGU juga dapat beralih dan dialihkan, dalam arti bahwa HGU dapat juga diwariskan maupun dialihkan kepada pihak lain dengan suatu perbuatan hukum tertentu. Peralihan HGU diatur dalam Pasal 16 UUPA : 1. HGU dapat beralih dan dialihkan; 2. Peralihan HGU dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 3. Peralihan HGU harus didaftar di Kantor Pertanahan; 4. Peralihan HGU karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuatoleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan beritaacara lelang; 6. Peralihan HGU karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang. Ada beberapa cara hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 4 Tahun 1996, yaitu : a. Jangka waktu berakhir, dan tidak diperpanjang atau diperbaharui oleh pemegang haknya; b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu berakhir, karena : 1. Tidak dipenuhinya kewajiban pemegang hak 2. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d. Hak Guna Usahanya dicabut untuk kepentingan umum; e. Tanah ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Pemegang HGU tidak mememnuhi syarat sebagai pemegang HGU.
99 Hapusnya HGU sesuai dengan penjelasan di atas mengandung beberapa konsekwensi yang diatur dalam Pasal 18 PP No. 40 Tahun 1996, yaitu : 1. Apabila HGU hapus dan tidak diperpanjang atau diperbarui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas HGU tersebut kepada negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN. 2. Apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut di atas diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. 3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda di atas tanah HGU dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGU; 4. Jika bekas pemegang HGU lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas HGU itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGU. Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 34 UUPA dan juga Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996 HGU merupakan salah satu dari objek tanah terlantar. Konsekwensinya yaitu HGU atas tanah negara yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. 3). Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan (selanjutnya disingkat HGB) diatur dalam Pasal 3540 UUPA dan Pasal 19-38 PP No. 40 Tahun 1999. Pasal 35 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah “hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama 30 tahun”. Objek HGB adalah hak atas tanahnya bukan bangunannya, seseorang diberi hak untuk menggunakan tanah pihak lain guna mendirikan dan mempunyai bangunan. HGB adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk
100 mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut, jadi bukan hak untuk menggunakan bangunan milik orang lain. Perbedaan antara HGB dengan Hak “Menggunakan Bangunan”, yaitu apabila seseorang diberi ijin untuk menggunakan bangunan orang lain yang sudah berdiri di atas suatu bidang tanah maka dia memperoleh Hak Menggunakan Bangunan, sedangkan apabila seseorang memperoleh suatu hak atas tanah yang penggunaannya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, maka dia memperoleh suatu Hak Atas Tanah. Jangka waktu HGB paling lama 30 tahun dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui. Ciri-ciri HGB yaitu peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan), serta di atas tanah yang bukan miliknya. Ada beberapa cara terjadinya HGB yakni : a. HGB Di atas tanah Negara dengan Keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999, sedangkan prosedur pemberian haknya diatur dalam PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999. b. HGB Di atas tanah hak pengelolaan dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Mengenai prosedur pemberian HGB di atas tanah Hak Pengelolaan ini mengacu pada PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 c. HGB Di atas tanah milik : dengan akta pemberian HGB di atas tanah hak milik yang dibuat oleh PPAT.
101 Disamping dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan, HGB juga dapat dilaihkan kepada pihak lain. Pasal 34 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan : 1. HGB dapat beralih dan dialihkan; 2. Peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 3. Peralihan HGB harus didaftar di Kantor Pertanahan; 4. Peralihan HGB karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yangdibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang; 6. Peralihan HBG karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang; 7. Peralihan HGB atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan; 8. Peralihan HGB atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan. Sedangkan hapusnya HGB diatur dalam Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40 Tahun 1996 yang menyatakan, HGB hapus karena : 1) jangka waktunya berakhir 2) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; 4) dicabut untuk kepentingan umum; 5) ditelantarkan; 6) tanahnya musnah; 7) ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2). Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi bagi bekas pemegang HGB atas hapusnya HGB, yaitu : 1. Apabila HBG atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbarui, maka bekas pemegang HBG wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya HGB;
102 2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka kepada bekas pemegang HGB diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; 3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGB; 4. Jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas bekas HGB itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB; 5. Apabila HGB atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik Hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau pemberian HGB atas tanah Hak Milik. Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 40 UUPA dan juga Pasal 35 PP No. 40 Tahun 1996 HGB merupakan salah satu dari objek tanah terlantar. Konsekwensinya yaitu HGB atas tanah negara yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. HGB atas tanah Hak Pengelolaan yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan dan HGB atas tanah Hak Milik yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah. 4). Hak Pakai Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA dan Pasal 39-58 PP No. 40 Tahun 1996. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang
dan kewajiban
yang ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, asal tidak bertentangan dengan ketentuan UndangUndang.
103 Adapun ciri-ciri Hak Pakai : 1. Peruntukannya Hak Pakai dapat digunakan untuk keperluan mendirikan bangunan dan dapat untuk pertanian hak ini dapat dilihat dari kata menggunakan dapat diartikan bahwa hak pakai bisa untuk bangunan sedangkan dari kata memungut hasil diartikan hak pakai bisa untuk pertanian. 2. Hak Pakai diberikan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri Dapat digunakan di atas tanah Negara, di atas tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Adapun cara terjadi Hak Pakai adalah : a. Hak pakai di atas tanah negara terjadinya dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang (PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999 jo PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999); b. Hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang berwenang berdasarkan usulan dari pemegang hak pengelolaan, yang selanjutnya prosesnya seperti pemberian hak pakai di atas tanah negara; c. Hak pakai di atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian Hak Pakai oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT Jangka waktu Hak Pakai dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: hak pakai yang jangka waktunya ditentukan/dibatasi yaitu 25 tahun dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui, dan hak pakai yang jangka waktunya tidak ditentukan yaitu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Bahwa terdapat pembedaan mengenai jangka waktu hak pakai yaitu yang ditentukan/dibatasi dan
104 tidak ditentukan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk keperluan itu. Subjek Hak Pakai diatur dalam Pasal 42 UUPA : a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak Pakai yang dapat dialihkan adalah hak pakai yang jangka waktunya ditentukan. Sedangkan hak pakai atas tanah negara yang waktunya tidak terbatas atau tidak ditentukan yang diberikan kepada departemen, lembaga pemerintah non departemen dan pemda, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional, badan keagamaan dan badan sosial adalah hak pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of disposal (tidak dapat dijual ataupun dijadikan jaminan hutang). Pasal 54 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur mengenai peralihan hak pakai : 1) Hak pakai yang diberikan di atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain; 2) Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik yang bersangkutan; 3) Peralihan hak pakai dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan; 4) Peralihan hak pakai harus didaftar di Kantor Pertanahan; 5) Peralihan hak pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; 6) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang;
105 7) Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang; 8) Peralihan hak pakai di atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang; 9) Peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan; 10) Peralihan hak pakai atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan. Mengenai hapusnya hak pakai dalam UUPA tidak diatur. Hapusnya hak pakai ini dapat dilihat dalam Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, yang menyebutkan beberapa sebab hapusnya hak pakai, yaitu : a. Berakhirnya jangka waktu hak pakai sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir, karena : 1. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai. 2. tidak dipenuhinya syarat-syarat dalam kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan 3. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Dilepas secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir d. Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961 e. Ditelantarkan f. tanahnya musnah g. pemegang haknya tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai. Pasal 57 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya Hak Pakai bagi bekas pemegang Hak Pakai, yaitu : 1. Apabila Hak Pakai atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang dan diperbarui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Pakai;
106 2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada bekas pemegang Hak Pakai diberikan ganti rugi; 3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Pakai; 4. Jika bekas pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai. 5. Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik Hapus, maka bekas pemegang Hak Pakai tersebut wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik. Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996 Hak pakai merupakan salah satu dari objek penertiban tanah terlantar. merupakan salah satu dari objek tanah terlantar. Konsekwensinya yaitu Hak Pakai atas tanah negara yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah. 5). Hak Pengelolaan Hak Pengelolaan adalah Hak Penguasaan atas tanah Negara, dengan maksud disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang Hak, juga oleh pihak Pemegang Hak dapat memberikan sesuatu Hak kepada pihak ketiga. Istilah Hak Pengelolaan dari kalangan para ahli, sering dilihat dari segi makna dan substansi yang diberikan Peraturan Perundang-undangan atas keberadaan Hak Pengelolaan. Maria S.W. Sumardjono memaknai Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
107 kepada pemegang Hak Pengelolaan. Sedangkan menurut A.P. Parlindungan Hak Pengelolaan adalah Hak atas tanah yang pengaturannya diluar UUPA. 15 Kepada Pemegang Hak diberikan wewenang untuk : a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut; b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian hak atas bagian-bagian tanah tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang. d. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan / atau wajib tahunan. Dengan demikian sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah : 1. Hak penguasaan atas tanah Negara; 2. Untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang dan sebagian atas tanah tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu Hak; 3. Kepada si Pemegang Hak diberikan beberapa wewenang termasuk dapat menerima uang pemasukan dan / atau wajib tahunan; 4. Setelah jangka waktu Hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga berakhir maka tanah dimaksud kembali kedalam penguasaan sepenuhnya dari Pemegang Hak Pengelolaan yang bebas dari Hak tanggungan; 5. Apabila sebagian dari Hak Pengelolaan itu diberikan dengan Hak Milik kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya Hak Milik tersebut lepas dari Hak Pengelolaan dan / atau hapus, sejak Hak Milik tersebut didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten setempat. Dalam UUPA terjadi perbedaan Subjek Hak Pengelolaan antara Pasal dan Penjelasan. Dalam Pasal 2 ayat (4) menyatakan “Subjek Hak Pengelolaan yaitu daerah Swatantra dan masyarakat Hukum Adat. Sedangkan dalam penjelasannya masyarakat hukum adat sebagai subjek Hak Pengelolaan hilang tetapi diganti
15
A.P. Parlindungan, 1994, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Manda Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan II) h. 10
108 dengan departemen.16 Namun dalam Pasal 67 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 dijelaskan yang dapat menjadi pemegang/subjek Hak Pengelolaan adalah : Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik daerah (BUMD), PT. Persero, Badan Otorita, serta Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. 3.2.2. Subjek Penertiban Tanah Terlantar Terkait dengan tanah terlantar apabila disimak ketentuan Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 maka tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Guna Bangunan, ataupun Hak Pakai yang dimiliki oleh subjek badan hukum atau perusahaan yang diberikan di atas tanah negara merupakan sasaran utama objek penertiban tanah terlantar. Dalam Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan sebagai tanah terlantar. Begitu juga tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan atau tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar. Dikecualikan dari objek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan karena Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi, untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai 16
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah (Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Atas Eksistensi Tanah Aset Daerah), Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 13
109 dengan keadaan atau sifat dari pemberian haknya. Begitu juga karena keterbatasan anggaran
Negara/Daerah
untuk
mengusahakan,
mempergunakan
atau
memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan subjek penertiban tanah terlantar adalah Perseorangan, Badan Hukum dan Pemerintah. Namun subjek perseorangan dan pemerintah masih mendapat pengecualian apabila tidak sengaja tidak menggunakan tanah haknya dalam artian tidak mampu secara ekonomi bagi perorangan ataupun karena keterbatasan anggaran bagi pemerintah. Terkait dengan perseorangan yang tidak sengaja karena alasan ekonomi ataupun pemerintah yang mempunyai keterbatasan anggaran belum ada aturan yang secara jelas mengatur bagaimana orang tersebut dapat dikatakan tidak mampu secara ekonomi ataupun pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran sehingga dikecualikan tanahnya sebagai tanah terlantar. Menurut teori kepastian hukum Peraturan Perundang-undangan yang dibuat haruslah jelas. Jelas dalam hal ini berarti isi dari peraturan tersebut tidak multitafsir antara pembuat peraturan dengan masyarakat sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Dalam penelitian ini dapat dijelaskan yang menjadi objek penertiban tanah terlantar menurut peraturan perundang-undangan adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar yang dapat dijadikan bukti penguasaan atas tanah. Sedangkan yang menjadi kriteria tanah terlantar menurut peraturan perundang-undangan adalah pemegang hak atas tanah dengan sengaja tidak memelihara hak atas tanah tersebut dengan baik dalam jangka waktu tertentu sehingga kualitas kesuburan tanahnya
110 menjadi menurun dan tidak produktif lagi dan subjek subjek penertiban tanah terlantar adalah Perseorangan, Badan Hukum Privat dan Badan Hukum Publik (Pemerintah).