BAB III KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK A. Keluarga Berencana dalam Pandangan Islam Sebelum kita berbicara tentang keluarga berencana secara tepat, lebih dahulu kita tinjau apa arti dan tujuan perkawinan, disini pengertian perkawinan bisa diartikan bermacam-macam, tetapi maksud dan tujuan sama. Adapun pengertian perkawinan antara lain : 1) Perkawinan bisa diartikan sebagai pembentukan keluarga yang mendasar dalam Islam dengan syarat atas persetujuan sukarela si istri. 1 2) Perkawinan juga diartikan suatu ikatan janji suci, lahir, batin, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (keimanan) antara seorang pria dan wanita untuk hidup berumah tangga.2 3) Perkawinan juga diartikan suatu akad untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga dalam memakmurkan bumi Allah yang luas ini. 3 4) Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai perjanjian yang kuat (milsaq ghalsih) dalam surat An-Nisa 21. AYAT
Artinya : “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An-Nisa’ : 21) 4 1
Hadari Nawawi, Keluarga Berencana dipandang dari sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, hlm 21 2 Ahmad Suyuti, Keluarga Berencana dipandang dari Hukum Islam, BKKBN, Jakarta, 1996, hlm 20 3 Moh. Dahlan, Keluarga Berncana dipandang dari Sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, 1997, hlm 26 4 Departemen Agama RI, AL QURAN DAN TERJEMAHANNYA, Madinah, Mujamma, Al Malik, Fattibai, Mushaf As Syarik, hlm 120
30
31
5) Perkawinan juga diartikan sebagai lembaga mendasar bagi pembentukan keluarga, disini yang dimaksud keluarga adalah suatu akad yang khidmat dan bukan pengaturan sambil lalu. Oleh karena itu perkawinan sebagai tanggung jawab yang khidmat, harus direncanakan dengan tujuan khusus untuk memastikan kemampuan seorang lelaki dalam mengurusi istri dan rumah tangga, dan kemampuan pasangan tersebut dalam membesarkan anak agar menjadi warga yang takwa, terdidik, berakhlak baik, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Islam sendiri tidak sampai menjadikan perkawinan sebagai sesuatu yang diwajibkan, karna bila tidak mampu melaksanakan perkawinan, perkawinan harus ditunda, sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan : AYAT
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sehingga Allah memampukan mereka dengan karunianya”. (QS. An-Nur : 33) 5 AYAT
Artinya : “Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang dapat menanggung seorang istri dan rumah tangga, hendaklah ia kawin, karena perkawinan menjauhkan kamu dari melihat dengan nafsu kepada perempuan dan menjaga kamu dari zina, maka diantara kamu yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan sarana untuk merendahkan nafsu”. (Disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud) 6 5 6
Ibid, hlm 549 Abd, Al, Rahim Umran, Islam dan KB, PT. Lentera Basritama, cet 1, Jakarta, 1997,
hlm 5-9
31
32
Di dalam perkawinan suami dan istri adalah unsur pokok dalam pembentukan keluarga, hubungan mereka dalam perkawinan digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai dua kualitas pokok, cinta (birahi, persahabatan, pertemanan) di satu sisi perkawinan sebagai rahmah (pengertian, kedamaian, toleransi dan saling memaafkan). Perkawinan juga bertujuan memenuhi hajat insani (sexual need) agar tersalur secara sah dan wajar, terhormat, untuk mendapatkan keturunan 7 Di sisi lain dalam tujuan perkawinan yang menyeluruh berupa ketentraman, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran : AYAT
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih dan sayang”. (QS. Ar-Rum : 21) 8 Ketentraman adalah tujuan umum perkawinan yang lebih adil, karena semua pasangan dapat mencapai ketentraman, tetapi tidak semua pasangan mempunyai kesuburan, perkembangbiakan juga sangat penting bagi pemeliharaan umat manusia, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Quran : AYAT
Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucucucu”. (QS. An-Nahl : 72) 9
7
Dahlan A. Saleh, Pokok-pokok Pemikiran Tentang Islam dan Keluarga Berencana,
PKBI, hlm 8-9 8
Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 644 Ibid, hlm 412
55
32
33
Perkembangbiakan merupakan harapan dalam perkawinan, tapi tidak merupakan tujuan eksklusif, namun apabila perkembangbiakan terjadi, hal itu harus mendukung dan membela ketentraman ketimbang menghancurkannya. 10
Islam sebagai agama yang bertujuan mengatur kehidupan umatnya, Islam harus mendukung perencanaan itu terlihat jelas dalam banyak cara. Al-Qur’an selalu menekankan bahwa segala sesuatu telah diciptakan menurut rencana atau hokum sebagaimana dalam surat Al-Qomar : 49. AYAT
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut hukum”. (QS. Al-Qomar : 49) 11 Begitu juga dalam perkawinan kita harus merencanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keluarga misal jumlah anak yang diinginkan, pendidikan, maupun kebutuhan ekonomi, dll, harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga untuk mencukupinya. 12 Islam sendiri berpandangan bahwa keluarga berencana bertujuan untuk kemaslahatan / kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan tujuan yang dimaksud untuk kemaslahatan / kesejahteraan dibenarkan oleh Islam. 13 Sedangkan yang dimaksud kemaslahatan / kesejahteraan bukanlah kesejahteraan yang bersifat material belaka, atau jasmaniah melainkan kemaslahatan yang bersifat rohaniah diniyah, kalau kemaslahatan yang bersifat duniawi sudah ditakuti, apalagi kemaslahatan ukhrowi harus lebih ditakuti, sebab tidak ada kesengsaraan yang lebih celaka daripada kesengsaraan yang bersifat ukhrowi. 10
Abd. Al Rahman Umran, Op-cit, hlm 4-5 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 804 12 LKKNU dan BKKBN, membina kemaslahatan keluarga, hlm 88 59 BKKBN, Umat Islam dan Gerakan KB, hlm. 55 11
33
34
Adapun kemaslahatan yang dikehendaki adalah seimbang diantara segi, baik segi moril, materiil, ataupun segi mental spiritual, kemaslahatan itu harus menyeluruh meliputi; orang tua, anak, serta kemampuannya berlangsung didasarkan atas keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik hak dan kewajibannya diri pribadi, dan masyarakat, maupun hak dan kewajibannya terhadap Allah SWT, oleh karena itu merencanakan keluarga dan anak untuk dipersiapkan sebagai generasi penerus itu sangatlah penting. 14
Dalam mengikuti Keluarga Berencana harus disertai dengan niat, karena niat dalam Islam mempunyai peranan sangat penting, niat yang dimaksud hanya ditujukan semata-mata untuk kesejahteraan lahir dan batin, dan meningkatkan taraf hidup demi masa depan yang lebih cerah, bukan karena takut terhadap keterbatasan ekonomi, atau takut karena tidak dapat makan maupun yang lainnya. Oleh sebab itu semua pasangan muslim setiap saat, setiap waktu dianjurkan untuk menjarangkan kelahiran anak karena penyusuan dengan susu ibu dianjurkan oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah : 233 AYAT
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin 14
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Jakarta, 1982,
hlm 17-18
34
35
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah melihat apa yang kamu kerjakan”. 15 Dari ayat ini bisa kita pahami, bahwa masa menyusui adalah dua tahun, apabila seorang ibu mengandung lagi pada masa dua tahun itu, berarti seorang ibu akan memikul beban yang sangat berat, baik fisik maupun mental, secara fisik seorang ibu yang mengandung memerlukan tambahantambahan gizi agar dapat memelihara daya tahan jasmaniahnya dan juga untuk menjaga kesehatan janin yang dikandungnya. Di samping itu bila sekaligus menyusui anak tetapi seorang ibu sudah mengandung lagi, sebab zat makanan dibagi dua antara bayi dengan janin yang dikandungnya. Selain jarak kelahiran harus diatur, jumlah anak perlu direncanakan sebaik-baiknya, oleh sebab itu apabila seorang ibu mengandung pada masa permulaan akan mengalami gejala kelainan pada mentalnya, misal merasa jijik dan benci terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Oleh karena itu ayat di atas menunjukkan sesuatu pengertian yang tersirat yaitu masa dua tahun sesudah kelahiran adalah masa ibu menyusui, sehingga diatur suatu ihtiar agar selama masa tersebut ibu tidak mengandung lagi yakni untuk menjaga kesehatan rohaniah dan jasmaniahnya baik untuk ibu maupun anaknya 16 Secara umum dapat kita katakan bahwa persetujuan kalangan ulama kepada pencegahan kehamilan (untuk mengatur jarak kelahiran) dalam program keluarga berencana bergantung pada Illat (alasan hukum) tindakan itu. Disamping pada metode KB itu sendiri, mengenai alasannya ulama, bertolak dari dua batasan kepada program keluarga berencana ; pertama, program KB merupakan upaya membatasi kelahiran akibat kekhawatiran akan keterbatasan ekonomi, takut tidak dapat makan, miskin, dan kedua, KB 15
Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 24 Syukri Ghozali, Keluarga Sakinah ditinjau dari Aspek Iman dan Ibadah, BKKBN, cet ke III, 1984, hlm 12 16
35
36
sebagai ihtiar mengatur kelahiran dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. 17 Dari dua batasan diatas, kemudian lahir berbagai pandangan diantara para ulama, mengenai boleh tidaknya melaksanakan program keluarga berencana : 1) Golongan yang menolak keras terhadap KB, bersandar pada alasan pertama yakni, pembatasan kelahiran karna takut keterbatasan sumbersumber ekonomi. Ini tidak sesuai dengan ayat Al-Quran yang menyatakan: AYAT
Artinya : Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu sendiri karna takut kelaparan, kamilah yang memberi rizki kepada mereka itu dan kepada kamu sungguh membunuh mereka itu suatu dosa yang besar. (Bani Israil 31) 18 Al-Quran surat Hud ayat 6 AYAT
Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah yang memberi rizki dan doa mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semua tertulis dalam kitab yang nyata. (Ijuh Mahfudz) 19 Dengan kata lain orang yang menjalankan keluarga berencana dikarnakan takut kekurangan sumber-sumber ekonomi, itu tidak sesuai dengan ayat Al-Quran diatas, karna semua rizki yang didapat oleh semua makhluk yang ada di bumi, Allah-lah yang memberi rizkinya, sehingga orang yang menjalankan program keluarga berencana karna takut kekurangan 63
Usep, Fathuddin, Umat Islam dan Gerakan Keluarga Berencana di Indonesia, BKKBN dan Depag, Jakarta, 1990. hlm 39 64 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 428 65 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 327
36
37
sumber-sumber ekonomi, itu bisa ditafsirkan sebagai kehilangan kepercayaan terhadap Allah SWT yang mengatur rezki segenap makhluk. Kecaman kepada rasa takut akan ketiadaan rezki Allah yang banyak terdapat dalam Al-Quran dalam masalah perkawinan juga dimuat dalam Hadist Nabi : AYAT
Artinya : “Barang siapa menghindari penikahan karna takut beban keluarga ia bukan golongan kita.” Di kalangan ulama juga terdapat berbagai pandangan tentang tujuan perkawinan, karna perkawinan sebagai sarana untuk menurunkan anak cucu sebanyak-banyaknya, untuk itu biasanya dibawakan hadist-hadist berikut : AYAT
Artinya: “Hendaklah kamu kawin mengawini dan melahirkan, sesungguhnya aku banggakan kamu di hadapan segala umat kelak di hari kiamat.” AYAT
Artinya : “Wanita hitam yang subur lebih baik dari wanita cantik yang tidak beranak.”
37
38
Oleh karna itu, Syaikh saisut, tidak dapat menerima KB yang ditekankan pada tandidun Nas yang sudah diketahui, memutuskan keturunan manusia atau hanya menginginkan jumlah tertentu. 20 2) Golongan yang menerima ide KB bersandar pada batasan program keluarga berencana yang kedua, KB sebagai ihtiar mengatur kelahiran dengan tujuan utama meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak, baik kesejahteraan ekonomi
maupun kesejahteraan pendidikan
yang diberikan kepada anak-anak sebagaimana sabda Rasulullah SAW : AYAT
Artinya : “Waktu bertemu dengan Tuhan, tidak ada dosa yang paling besar di bawa kecuali keluarganya bodoh”. (al-Hadits) 21 Kalau melihat sabda Rasulullah diatas, di hari kiamat para pemimpin umat (Nabi) berlomba-lomba dalam banyaknya pengikut, tetapi jangan sampai terlupakan dengan banyaknya keturunan sehingga lupa kewajiban untuk mendidik anak sesuai kewajibannya. 22 Adapun untuk mencapai status keluarga sakinah maka kesejahteraan keluarga tidak hanya mencakup kekayaan harta tetapi kesejahteraan rohani. Islam menekankan prinsip keseimbangan antara aspek fisik dan mental. Gagasan kesejahteraan keluarga berhubungan erat dengan usahausaha untuk meningkatkan kesejahteraan (kualitas) anak keturunannya dan jangan sekali-kali meninggalkan anak keturunan yang lemah sebagaimana ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 9 : AYAT
20
Usep Fathuddin, Op-cit, hlm 40 Abd. Al Rahim Umran, Op-cit, hlm 114 22 Agama dan Keluarga Berencana, Orientasi Course, Keluarga Berencana, Depag, 21
1972, hlm 8-9
38
39
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. AnNisa’ : 9) 23 Oleh sebab itu ide keluarga berencana dapat diterima dan merupakan tujuan daripada keluarga berencana itu sendiri. B. Keluarga Berencana dalam Pandangan Krsiten Katolik Sebelum kita berbicara tentang keluarga berencana dalam pandangan Kristen Katolik, kita tinjau apa arti dan tujuan perkawinan. Arti daripada perkawinan antara lain : 1) Perkawinan bisa diartikan suatu persekutuan cinta antar dua pribadi, dan segala kemampuannya kepada satu sama lain untuk selama-lamanya. (lihat pedoman hal. 20 No. 9) 24 2) Perkawinan juga diartikan hubungan antar dua pribadi pria dan wanita, yang erat dan intim, di mana mereka berdua saling merupakan patner dalam menempuh kehidupan ini. 25 Dalam perkawinan yang terpenting ialah saling cinta mencintai, saling menghormati dan saling menerima supaya sampai kesatuan hati dan cita-cita. Namun terwujudnya perkawinan bukanlah semata-mata inisiatif dan usaha mereka berdua saja, Allah yang sebenarnya menggerakkan hati-hati mereka untuk mengadakan pesekutuan cinta untuk membentuk keluarga maka dapat kita katakan bahwa perkawinan yang mengadakan dan mendirikan juga adalah Tuhan Allah. Beliau memberikan tugas yang harus dilaksanakan suami istri dalam perkawinan, serta menggerakkan tujuan yang harus mereka laksanakan dalam perkawinan.
23
Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 47 FW Rintang, Op-cit, hlm 20 25 Romo Hadiwikarta, Op-cit, hlm 6-7 24
39
40
Sabda Allah dalam kitab suci beberapa kali yang bertunangan dan yang kawin di desak supaya menempuh dan mengembangkan hubungan mereka dengan cinta perkawinan yang murni serta kasih sayang yang utuh dan tak terbagi. (GS. No. 49 . 1) Allah sendiri menganggap cinta ini pantas di anugerahi rahmat dan cinta kasih, cinta yang serupa yang memadukan cinta insani, cinta Ilahi, yang mendorong suami istri mau menyerahkan diri dengan bebas dan sukarela. Pemberian yang disertai kasih sayang yang mesra serta tindakan yang halus, cinta ini diungkapkan dan disempurnakan dengan cara yang luas sekali, melalui tindakan perkawinan dengan dipersatukan secara mesra dan murni. Suami istri adalah dengan tindakan-tindakan yang luhur dan pantas, namun tujuan perkawinan tidak hanya hubungan antara pria dan wanita tapi juga untuk melahirkan dan mendidik anak yang merupakan hasil mereka berdua dalam perkawinan, sekaligus sebagai pengikat cinta mereka. Perkawinan dan cinta perkawinan pada hakekatnya ditujukan untuk melahirkan dan mendidik anak, anak sesungguhnya merupakan anugerah tertinggi dalam perkawinan dan pada hakekatnya membantu banyak bagi kesejahteraan orang tua mereka. 26 Allah sendiri bersabda: “Tidak baiklah kalau laki-laki berada sendirian (Kej: 2: 18)27 dan manusia menghendaki agar turut serta mengambil bagian istimewa di dalam kerja penciptaanya telah memberkati laki-laki dan perempuan (Mat : 19 : 14) 28. Bertumbuhlah dan berkembangbiaklah (Kej. 1 : 28) (GS : 50 : 1). 29 Oleh karena itu dalam perkawinan Katolik dianjurkan adanya planing, rencana, rundingan, antara suami istri dalam menentukan kebijakan dalam mendidik anak karena anak yang dianugerahkan harus dididik agar
26
Dianne Birgan (Sadan Robbert) Korris OFM, Tafsir Al Kitab Perjanjian Lama, Kanisius Yogyakarta, 2002, hlm 30 27 The Guidens International, Perjanjian Baru, Cisuar Bogor, 1988, hlm 54 28 Al Kitab, Lembaga Al Kitab Indonesia, Jakarta, 1965, hlm 8 29 Romo Hadiwikarta, Op-cit, hlm 7
40
41
kelak menjadi orang yang dewasa, yang dapat berdiri sendiri, penuh tanggung jawab terhadap sesamanya, karna dengan perkawinan ayah diangkat sebagai patner pembantu Allah dalam mengadakan dan membesarkan anak itu hingga menjadi dewasa. Dengan tidak mengurangi arti dan tujuan perkawinan dalam praktek sebenarnya, cinta perkawinan serta seluruh arti kehidupan keluarga yang merupakan hasil mereka, mempunyai tujuan agar pasangan itu siap sedia dengan hati yang berani, bekerja sama dengan cinta Sang Pencipta dan penebus dengan perantaraan mereka hendak memperluas dan memperkaya keluarganya dari hari ke hari. (GS : 50 ; 1) 30 Dalam Nats kejadian 1: 28 sering disebut dan ditafsirkan seolah-olah suatu perintah dari Allah kepada Adam dan Hawa yaitu supaya dapat anak sebanyak-banyaknya.31 Tafsiran yang lain adalah bersangkutan dengan natsnats sebelumnya yaitu kitab kejadian 1 ayat 26 s/d 27 di mana Allah menciptakan menurut gambarannya. Sekarang Allah memberi mandat kepada Adam dan Hawa untuk menjalankan prokresi (menciptakan keturunan). 32 Adapun fungsi sexual dipercayakan kepada mereka berdua dengan kata lain menciptakan keluarga secara tanggung jawab “penuhilah bumi” pada waktu dunia sudah penuh artinya perkawinan itu menghasilkan apa yang disebut keturunan. Namun hanya dalam ketentuan bahwa ia dihasilkan untuk menjadi kesaksian tentang hasil Allah Kehadiran di dunia harus disadari dalam arti tanggung jawab dalam mengemban tugas-tugas yang diperintahkan dalam memelihara dan mengolah alam, ciptaan yang Allah berikan kepada manusia dari generasi ke generasi (Kej : 2 : 15) 33 Tetapi tujuan perkawinan bukanlah semata-mata beranak cucu, berlangsungnya keturunan belaka, tujuan perkawinan diharapkan agar 30
FW Raintung, Penyembalaan Pernikahan dalam rangka Keluarga yang bertanggung jawab, BKKBN, 1983, hlm 15 31 Diane Birgan (Sadan Robbert), Korris OFM, Op-cit, hlm 35 32 Al Kitab, Op-cit, hlm 8 33 Ibid, hlm 58
41
42
manusia sebagai pria dan wanita dapat saling melengkapi di dalam pengabdiannya terhadap Tuhan untuk membangun kerajaan Allah, bahkan pernikahan dan hal beranak cucu tidak boleh menjadi penghalang atau merugikan pengabdiannya itu (Mathius : 10 : 37). 34 Dari perkawinan inilah masing-masing mereka menyerahkan seluruhnya, penyerahan ini total karena penyerahan yang lalu timbullah seorang anak sebagai karunia Tuhan seperti disebutkan dalam (Kej : 4 : 1) maka bersetubuhlah Adam dan Hawa, maka hamillah dia, lalu beranaklah ia akan kawin, maka tanya aku telah peroleh seorang laki-laki daripada Tuhan. Disini timbulnya / terjadinya anak, lalu timbul perhubungan anak dengan orang tua dan sebaliknya kewajibannya orang tua kepada anak, disini juga tempatnya keluarga yang bertanggung jawab, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ayah istri juga terhadap kesejahteraan anak. Di
dalam
Konsili
Vatikan
II
dinyatakan
untuk
mencapai
kesejahteraan hidup sebagai keluarga yang bertanggung jawab maka : 1) Tugas prokresi (melahirkan anak) harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab berdasarkan pikiran sehat dan aman, jadi jangan asal melahirkan tanpa tanggung jawab untuk berbuat bijaksana dalam hal ini suami istri perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Kepentingan dan kemampuan orang itu sendiri maksudnya tidak boleh berbuat di luar kemampuannya. b. Kepentingan anak baik yang sudah lahir maupun yang mungkin akan lahir, anak yang sudah lahir / dilahirkan berhak menerima pendidikan yang wajar. c. Memperhatikan kondisi materiil maupun spirituil keluarga. d. Memperhatikan kepentingan masyarakat, baik negara maupun gereja, keluarga memang berhak menuntut perlindungan dan bantuan daripada masyarakat, tetapi sebaliknya keluarga sebagai
34
Lembaga Al Kitab Indonesia, Al Kitab, Jakarta, 1996, hlm 98
42
43
anggota masyarakat harus juga turut membantu terlaksananya kesejahteraan masyarakat. 35 2) Yang berhak menentukan (jarak waktu kelahiran atau jumlah anak) adalah orang tua sendiri dan ini harus disesuaikan dengan suara hati mereka, suara hati ini harus disesuaikan dengan perintah Tuhan. Hal ini oleh Paus Paulus VI ditegaskan lagi dalam Ensilik “Popularum Progresia” (25 Maret 1957 Nomor 371). Pemerintah negara dalam batas wewenangnya memang berhak campur tangan dalam hal ini (mengatur kelahiran) dengan memberi penerangan kepada penduduk dan dengan membuat aturan-aturan yang lebih tepat. Asal semua ini disesuaikan dengan aturan-aturan hukum moral dan asal hak kebebasan orang tua dijamin semutlak-mutlaknya. Apabila hak berkawin dan melahirkan yang kuat, sekali itu diperkosa, maka lenyaplah martabat manusia, akhirnya orang tualah yang berhak menentukan jumlah anak mereka dengan mengingat tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada anak yang mereka lahirkan, dan kepada masyarakat dimana mereka berada sebagai anggota keluarga.36 (Baca Konsili Vatikan II dalam dekrit Gaul d Umot Spees) Dalam melaksanakan program keluarga berencana menurut agama Kristen Katolik hendaknya perlu diperhatikan apakah syarat yang dipilih nanti tidak menimbulkan ketegangan atau keretakan dalam keluarga, sehingga kesejahteraan keluarga sebenarnya malahan makin terbengkalai, untuk itu perlu ditentukan syarat guna menunjang pelaksanaan kesejahteraan keluarga. Salah satu syarat yang perlu diperhatikan untuk menjamin kesejahteraan keluarga menurut Soekoto SY ialah mengatur kelahiran, sedang mengatur kelahiran biasanya dilakukan dengan mengatur jarak antara kelahiran satu dengan kelahiran berikutnya.
35 36
Soekoto SY, Op-cit, hlm 52-53 Hadiwikarta Pr, Op-cit, hlm 15
43
44
Tetapi bilamana perlu juga dengan membatasi jumlah anak untuk sementara waktu atau untuk selamanya, selanjutnya beliau mengemukakan syarat supaya dalam hal ini moril dapat dipertanggung jawabkan, syaratnya harus memenuhi antara lain : a. Alasan yang cukup b. Syarat atau cara yang halal yaitu dengan cara pantang berkala c. Akibat yang dapat dipertanggungjawabkan yang dimaksud ialah yang bersifat negatif yang perlu diperhatikan. 37 Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan hasil Konsili Vatikan II dalam De Cebsio in Mundo Huing tampille yang dikemukakan oleh Prof. Dr. MA. Mukti Ali sebagai berikut : a. Soal jumlah anak sedikit banyaknya adalah tergantung kepada keputusan orang tua mereka berdua. b. Umat manusia harus secara jujur diberi informasi tentang kemajuan ilmu pengetahuan dalam mencari cara-cara untuk membantu orang tua (suami istri) dalam menentukan jumlah anak mereka. Dari uraian tersebut diatas, disini dapat penulis ambil kesimpulan bahwa Gerja Katolik menyetujui dan menerima adanya keluarga berencana : 1) Keluarga berencana sebaiknya ditentukan atas persetujuan suami istri berdua atas dasar pertimbangan yang masak. 2) Keluarga Berencana adalah masalah keluarga yang bertanggung jawab bukan masalah ekonomi atau paksaan atau disuruh oleh pemerintah. 38
37
Soekoto SY, Mengatur Kelahiran Menurut Agama Katolik, Naskah Kongres I, PKBI, Jakarta, 1957, hlm 226 38 A. Mukti Ali, Op-cit, hlm 18
44