ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA
3.1. Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Pentingnya kegiatan pendaftaran tanah telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa berdasarkan tujuan pendaftaran tanah pada Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997 demi memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk pembuktian kepemilikan suatu hak atas tanah, ditegaskan pula pada Pasal 1 angka 1 bahwa kegiatan pendaftaran ini merupakan rangkaian kegiatan oleh pemerintah. Maka, pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan tugas yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 PP No 24 tahun 1997 tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksudkan adalah perlindungan hukum kepada tiap pemegang hak atas tanah terhadap permasalahan hukum pada kasus - kasus pertanahan yang sering terjadi. Berkaitan dengan kasus – kasus pertanahan, telah dibuat Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Berturut – turut dijelaskan dalam peraturan ini mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan kasus pertanahan, antara lain : 1. Kasus Pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai
54 Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dan/atau
kebijakan
pertanahan nasional. 2.
Sengketa Pertanahan yang selanjutnya disingkat Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.
3. Konflik Pertanahan yang selanjutnya disingkat Konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis. 4. Perkara Pertanahan yang selanjutnya disingkat Perkara adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penjelasan mengenai pengertian sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi19 : 1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. 2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas. 3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan. 4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang. 5. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1. 6. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti. 7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu. 8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah. 9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya. 10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu. Berdasarkan beberapa tipologi tersebut, pada kasus yang digunakan dalam penulisan skripsi ini mengandung beberapa tipologi yaitu yang pertama, mengenai penguasaan tanpa hak dimana penguasaan tanah yang sekarang sudah berdiri 19
Badan Pertanahan Nasional, Sengketa dan Konflik Pertanahan http://www.bpn.go.id/Program/Penanganan-Kasus-Pertanahan, diakses pada hari Minggu 21 Desember 2014, pukul 09.14 WIB.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
beberapa bangunan rumah dinas ternyata secara hukum belum sah memiliki sertifikat Hak Pakai sebagaimana mestinya. Kedua, jual berkali – kali dimana tanah obyek sengketa sudah pernah dilakukan pembebasan hak atas tanah oleh Hj. Chodijah
kepada negara yang kemudian dimohonkan Hak Pakai guna
pembangunan rumah dinas namun dijual kembali oleh Hj. Nafisah kepada Penggugat. Ketiga, tumpang tindih dimana perolehan Hak Pakai atas tanah oleh DJBC yang diperoleh dengan itikad baik juga berbenturan dengan hak Penggugat yang telah membeli secara sah tanah obyek sengketa. Mengenai tipologi jual berkali – kali dalam kasus ini akan dijelaskan kembali melalui skema sebagai berikut :
Persil No 29 SII Petok D No. 1013 (2.000 m²) atas nama Hj. Nafisah yang sekarang menjadi SHM No. 2880
Persil No. 48 SII Petok D No. 691 (2.265 m²) atas nama Hj. Chodijah yang sekarang menjadi SHM No. 476 Pelepasan hak atas tanah yang diperoleh DJBC pada tanggal 05 Oktober
1987 :
SHM No 476 ;
Persil No 29 SII Petok D No. 1013. Sedangkan pada tanggal 22 Februari 2012, SHM No. 2880 atas nama Hj.
Nafisah dijual (kembali) kepada Penggugat I.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
Sengketa tersebut diajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Niaga dan HAM Surabaya ketika pihak Penggugat tidak bisa melakukan proses balik nama atas SHM No. 2880 yang masih dengan atas nama Hj. Nafisah selaku pihak yang menjual tanah (Tergugat II). Menanggapi beberapa surat teguran dari pihak penggugat sebelum diajukannya gugatan tersebut, pihak DJBC melakukan beberapa upaya yakni mengajukan surat permohonan untuk sertifikasi BMN ( Barang Milik Negara) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Namun, upaya tersebut tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya karena kurangnya beberapa data yuridis yang diperoleh DJBC yaitu tidak adanya Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Direktorat Jenderal Agraria yang sekarang telah menjadi Kementrian Agraria melalui Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya. Perbenturan hak yang kemudian terjadi ini pada akhirnya diajukan gugatan perbuatan melanggar hukum oleh Penggugat pada tanggal 21 Oktober 2013. Awal mula terjadinya jual beli tanah oleh Penggugat adalah ketika Hj. Nafisah meminta bantuan kepada Penggugat untuk mengambil SHM No. 2880 miliknya yang dianggunkan atas kredit pada Bank Perkreditan Rakyat. Atas permohonan bantuan tersebut Penggugat melunasi hutang Hj. Nafisah sebesar Rp. 215.000.000,00 ( dua ratus lima belas juta rupiah ) sehingga sertifikat hak milik tersebut dapat diambil dari Bank. Selanjutnya Penggugat I beserta Penggugat II dan III berniat membeli tanah dari Hj. Nafisah tersebut yang kemudian dibayarkan dengan harga masing
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
– masing pihak sebesar Rp. 263.718.000,00 (dua ratus enam puluh tiga juta tujuh ratus delapan belas ribu rupiah) pada tanggal 22 Februari 2012 di hadapan Notaris dengan rincian : 1) Penggugat I : tanah 1 bidang yang terletak di Jln. Klampis Semolo Timur XII No. 07, Surabaya ; 2) Penggugat II : 2 bidang tanah yang terletak Jln. Klampis Semolo Timur XII No. 4 dan No. 5 ; 3) Penggugat III : 1 bidang tanah yang terletak Jln. Klampis Semolo Timur XII No. 03. Setelah pelaksanaan jual beli timbul masalah yakni adanya 5 bangunan rumah dinas DJBC (Tergugat I) yang kemudian menghambat proses balik nama yang dilakukan Penggugat I kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II.
3.2.
Analisis Subyek Hukum yang Berhak atas Tanah Obyek Sengketa Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan merupakan instansi
pemerintah yang pada kebijakan atau kewenangannya harus bertumpu atas kewenangan, prosedur, dan substansi yang sah. Berdasarkan penjabaran kasus yang telah diuraikan, terdapat kejanggalan yaitu terbitnya Sertifikat Hak Milik atas Tanah Persil No. 29 SII No. Petok D 1013 atas nama Hj. Nafisah yang sudah pernah dilepaskan kepada DJBC sebagai instansi yang memerlukan tanah untuk pembangunan rumah dinas. Tindakan Kantor Pertanahan Kota Surabaya II dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik tersebut merupakan tindakan cacat hukum berkaitan dengan aspek prosedur, dan substansi. Sertifikat Hak Milik tersebut
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
merupakan KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara) yang berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 pengertian dari KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam hal ini, Kantor Pertanahan Kota Surabaya II merupakan salah satu pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan penetapan berupa sertifikat hak atas tanah yang bersifat konkrit, individual yang tertuju pada subyek hukum tertentu yang namanya tercantum dalam sertifikat hak atas tanah dan sertifikat tersebut akan menimbulkan akibat hukum bagi pemiliknya, dan final. Aspek prosedur hukum merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh suatu keputusan atau ketetapan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Dalam Pasal 53 ayat (2) a, UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam penjelasan pasalnya ditentukan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila yang bersangkutan (keputusan) bertentangan dengan ketentuan–ketentuan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang bersifat “Prosedural”. Dengan demikian aspek prosedur hukum merupakan salah satu yang menjadi dasar putusan peradilan tata usaha negara untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah disebabkan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara telah melakukan perbuatan hukum
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
mengeluarkan keputusan atau ketetapan karena adanya kesalahan yang bersifat “prosedur hukum” dalam penerbitannya, artinya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan ditemukannya adanya kesalahan prosedur menjadikan dasar alasan pengadilan dalam putusannya untuk menyatakan “batal” (nietig) keputusan tersebut. Berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, bahwa sertifikat hak atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dilakukan pembatalan atau perintah pencatatan perubahan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pada Pasal 62 ayat (2) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cacat hukum administrasi antara lain : a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah; b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti; c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat; d. kesalahan
prosedur
dalam
proses
pengukuran,
pemetaan
dan/atau
perhitungan luas; e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah; f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dan g. kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
Dilihat dari aspek cacat prosedur, dalam menerbitkan suatu sertifikat hak atas tanah, maka sebelum Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II menerbitkan Sertifikat Hak Milik No. 2880 atas nama Hj. Nafisah seharusnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap sejarah penguasaan tanah bahwa tanah tersebut sebelumnya sudah pernah dilepaskan pada DJBC. Maka berdasarkan kualifikasi cacat administrasi yang telah disebutkan dalam Pasal 62 ayat (2), Kantor Pertanahan Kota Surabaya II telah melakukan kesalahan dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak atas tanah. Pada aspek cacat substansi, berkaitan dengan perbuatan atau tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II itu sendiri dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik yang tidak seharusnya diterbitkan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih hak atas tanah. Selanjutnya mengenai permohonan hak yang dilakukan DJBC, berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah, jika dilakukan penolakan terhadap suatu surat permohonan hak atas tanah maka penolakan tersebut dilakukan secara tertulis, dengan menyebut alasan-alasan penolakan itu. Dalam kasus ini DJBC telah mengajukan permohonan hak atas tanah namun tidak ditindak lanjuti oleh Kementrian Agraria apakah permohonan tersebut diterima atau ditolak. Penolakan suatu permohonan hak atas tanah hanya dapat dilakukan Kementrian Agraria apabila : a. akta yang dimaksud dalam Pasal 19 disampaikan tanpa sertifikat atau surat keterangan atau pernyataan yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan warkah lainnya.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
b. sertifikat dan surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pendaftaran Tanah. c. jika orang yang memindahkan, memberikan hak baru, menggadaikan atau menanggungkan hak atas tanah itu tidak berwenang berbuat demikian. d. didalam hal jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik tidak diperoleh izin dari Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya. Berdasarkan ketentuan tersebut Kementrian Agraria tidak memiliki alasan yang tepat untuk menolak, sehingga seharusnya permohonan tersebut segera diterima karena dalam hal perolehan tanah nya DJBC sudah dilakukan prosedur yang benar yakni dengan Pembebasan Hak Atas Tanah dan juga sudah memberi ganti rugi kepada pihak yang membebaskan tanah. Dimana akta pelepasan hak sudah dibuat dan ditandatangani oleh pemilik tanah asal dalam hal ini Hj. Chodijah, Hj. Nafisah, pihak dari DJBC, dan pejabat yang berwenang. Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Lepasnya hubungan hukum antara pemegang hak / penguasa atas tanahnya mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi tanah negara. Dengan adanya surat pembebasan hak atas tanah milik Hj. Chodijah dan Hj. Nafisah, artinya Hj. Chodijah dan Hj. Nafisah sudah tidak berhak lagi untuk melakukan
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
perbuatan hukum apapun atas tanah tersebut karena tanah tersebut sudah menjadi tanah negara. Pihak DJBC dalam kasus ini adalah pihak yang memerlukan tanah, DJBC juga yang telah memberikan ganti rugi atas pembebasan tanah Hj. Chodijah dan Hj. Nafisah. Maka Pihak DJBC berhak memohon pendaftaran Hak Pakai atas tanah yang telah menjadi tanah negara tersebut. Namun pihak Direktorat Jenderal Agraria sebagai representasi dari negara pada saat itu tidak menindaklanjuti surat permohonan Hak Pakai yang telah diajukan oleh pihak DJBC. Surat Permohonan yang tidak ditindaklanjuti tersebut berakibat belum beralihnya tanah obyek sengketa dari tanah negara menjadi tanah Hak Pakai DJBC, sehingga status tanah tersebut masih merupakan tanah negara. Status tanah obyek sengketa yang merupakan tanah negara karena putusnya hubungan hukum antara Hj. Chodijah dan Hj. Nafisah dengan tanah mereka, artinya Hj. Chodijah dan Hj. Nafisah sudah tidak berhak melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah obyek sengketa yakni menerbitkan sertifikat hak milik atas namanya, menjadikan tanah tersebut sebagai obyek jaminan kredit maupun melakukan jual beli. Segala perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Hj. Nafisah seperti yang telah diuraikan pada subab pertama merupakan perbuatan melanggar hukum sehingga segala perbuatan yang telah dilakukan adalah batal demi hukum.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )