BAB II FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMALSUAN ALAS HAK/DASAR DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK MILIK NO. 70/SIDOMULYO A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dalam usaha mengatasi kebenaran sistem publikasi negatif, 56 selain digunakan lembaga “rechtsverwerking” juga diusahakan agar sejauh mungkin data yang disediakan adalah data yang benar. Oleh karena itu, kegiatan pendaftaran diatur secara rinci. Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan dalam pendaftaran tanah (maintenance). 57 Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 58 Objek dari pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah tanah negara dan tanah bekas hak milik adat. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya meliputi: a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik. b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya. c. Penerbitan sertifikat. 56
Asas nemo plus yuris atau Sistem publikasi negatif adalah Orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya serta pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Lihat Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, tanpa tahun, tanpa penerbit, hal. 24. 57 Harsono, Op. Cit., hal. 460. 58 Ibid.
d. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. 59 Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. 60 Beberapa peraturan tentang pembagian Tugas dan Wewenang dalam pemberian hak atas tanah negara, antara lain: a. Keputusan Menteri Agraria, tanggal 1 April 1961, No. SK 112/KA/1961 tentang Pembagian tugas dan Wewenang Agraria. b. Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 28 Februari 1967 No. 1 Tahun 1967 tentang Tugas dan Wewenang Agraria.
59 60
Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Harsono, Op. Cit., hal. 460, 461
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 30 Juni 1972 No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah. d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 9 Februari 1999 No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatasan Keputusan Hak atas Tanah Negara bersambung dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1998 jo. No. 6 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan uang pemasukan dalam Pemberian Hak atas Tanah Negara. 61 Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran. Penyediaan peta dasar pendaftaran untuk pendaftaran tanah secara sistematik juga digunakan untuk memisahkan bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar. Dengan adanya peta dasar pendaftaran bidang tanah yang didaftar dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dapat diketahui letaknya dalam kaitan bidang-bidang tanah lain dalam suatu wilayah, sehingga dapat dihindarkan terjadinya sertifikat ganda atas suatu bidang tanah. 62 Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar pendaftaran tanah. Bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibukukan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah.
61
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Cetakan 1, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002),
62
Parlindungan, Op. Cit., hal 92.
hal. 3, 4
Untuk keperluan pendaftaran haknya bidang-bidang tanah yang sudah diukur serta dipetakan dalam Peta pendaftaran, dibuatkan surat ukur, dengan skala yang sama. Dalam pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan pembuktian hak-hak baru dan hak lama. Hak-hak baru adalah hak-hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Adapun hak-hak lama yaitu hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang belum didaftar menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Dalam Pasal 23 ditentukan bahwa untuk keperluan pendaftaran: a. Hak atas tanah baru, data yuridisnya dibuktikan dengan: 1. penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan, yang dapat diberikan secara individual, kolektif ataupun secara umum. 2. Asli akta Peraturan Pemerintah yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima hak yang bersangkutan, apabila mengenai Hak Guna Bangunan, dan hak Pakai atas Tanah Hak Milik. 3. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang. 4. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf, ditinjau dari sudut objeknya pembukuan tanah wakaf merupakan pendaftaran untuk pertama
kali, meskipun bidang tanah yang bersangkutan sebelumnya sudah didaftar sebagai tanah Hak Milik. Untuk pembuktian hak-hak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak-hak lama, data yuridisnya dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup sebagai dasar mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Demikian ditetapkan dalam Pasal 24 ayat (1). Alatalat bukti tersebut adalah bukti-bukti pemilikan. Penjelasan Pasal 24 ayat (1) tersebut dikemukakan, bahwa bukti pemilikan itu pada dasarnya terdiri atas bukti pemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak yang bersangkutan. Pembukuan haknya dilakukan melalui penegasan konversi hak yang lama menjadi hak baru yang didaftar. Selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan ayat (1), bahwa alat-alat bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) di atas dapat berupa: a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik atau; b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Ordonnantie tersebut sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan atau;
c. Surat tanda bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan atau; d. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959 atau; e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya atau; f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan, yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan, yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Ini merupakan perubahan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang menentukan bahwa harus ada bukti akta PPAT, sejak Peraturan Pemerintah tersebut mulai dilaksanakan di suatu daerah atau; g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanahnya yang sudah dibukukan, tetapi belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kantor Pertanahan) atau; h. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelumnya atau sejak mulai dilaksanakannya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1977 atau; i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanah yang tanahnya sudah dibukukan, tetapi belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kantor Pertanahan) atau; j. Surat penunjukan atau pembelian (seharusnya: pemberian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah atau; k. Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (seharusnya: sebelum berlakunya UUPA. Sejak mulai berlakunya UUPA tidak dipungut lagi Pajak Bumi, karena tidak ada lagi tanah Hak Milik Adat) atau; l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan bangunan atau; m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apa pun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuanketentuan Konversi UUPA. 63 Dalam hal pemilihan bukti tertulis tersebut tidak lengkap, maka dapat dilakukan dengan keterangan saksi dan/atau pernyataan pemilik tanah yang dipercaya kebenarannya menurut Pendapat Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan, demikian 63
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta, Sinar Grafika 2014), hal, 140.
dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan ayat (1) Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan mengenai pemilikan tanah itu berfungsi menguatkan bukti tertulis yang tidak lengkap tersebut, atau sebagai pengganti bukti tertulis yang tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberikan kesaksian dan mengetahui kepemilikan tanah yang bersangkutan. 64 Maka mengenai kepemilikan itu ada tiga kemungkinan alat pembuktiannya, yaitu: a. Bukti tertulisnya lengkap: tidak memerlukan tambahan alat bukti lain; b. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi: diperkuat keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan; c. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi: diganti keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan. Akan tetapi, semua akan diteliti lagi melalui pengumuman, untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan. Dalam Pasal 24 ayat (2) diatur pembukuan hak dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian pemilikan yang tertulis, keterangan saksi ataupun pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya mengenai kepemilikan tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang disebut dalam ayat (1) di atas. Dalam hal yang demikian, pembukuan haknya dapat dilakukan tidak didasarkan pada bukti pemilikan, melainkan pada bukti penguasaan fisik tanahnya oleh pemohon
64
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya selama 20 Tahun atau lebih secara berturut-turut. Dalam penjelasan ayat (2) tersebut, dirinci syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi pembukuan hak yang bersangkutan, yaitu a. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan dengan iktikad baik, secara nyata dan terbuka selama waktu yang disebut di atas; b. kenyataannya penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya; c. Hal-hal tersebut, yaitu penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan serta tidak adanya gangguan, diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya; d. Telah diadakan penelitian mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan diatas. e. Telah diberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26; f. Akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam Keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan. 65 Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur 65
Ibid., hal. 578.
dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang. Menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen (Pasal 13). Sertifikat hak atas tanah, hak Pengelolaan dan Wakaf menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan. Dalam pendaftaran secara sistematik terdapat ketentuan mengenai sertifikat dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 1 Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sedang dalam pendaftaran secara sporadik dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 93. Terdapat ketentuan dalam Pasal 178 Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1997. Cara pembuatan sertifikat adalah seperti cara pembuatan buku tanah, dengan ketentuan bahwa catatan-catatan yang bersifat sementara dan sudah dihapus tidak dicantumkan. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan hak Tanggungan ditetapkan oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996. 66 Jika dalam buku tanah terdapat catatan yang menyangkut data yuridis, penerbitan sertifikat ditangguhkan sampai catatan yang bersangkutan dihapus. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Oleh karena itu, sertifikat merupakan alat pembuktian yang 66
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997Ibid., hal. 486
kuat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UUPA. 67 Sehubungan dengan itu apabila masih ada ketidakpastian mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang tercatat dari masih adanya catatan dalam pembukuannya, pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu hanya mengenai data fisik yang belum lengkap, tetapi tidak disengketakan, sertifikat dapat diterbitkan. Data fisik yang tidak lengkap itu adalah apabila data fisik bidang tanah yang bersangkutan merupakan hasil pemetaan sementara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3). 68 Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendafataran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, dafatar tanah, dafatar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Perubahan ini misalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya jangka waktu hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar. Agar data yang tersedia di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir, dalam Pasal 36 ayat (2) ditentukan, bahwa para pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan-perubahan yang dimaksud kepada Kantor Pertanahan. Ketentuan mengenai wajib daftar itu juga ada dalam Pasal 4 ayat (3).
67
Komar Danaatmaja, Kumpulan Peraturan-Peraturan Agraria, (Jakarta Yasaguna 1973),
68
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997Op. Cit., hal. 487
hal. 17
Sebagaimana telah diketahui dari uraian mengenai Pasal 97 Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1997, PPAT bahkan diwajibkan mencocokkan lebih dahulu isi sertifikat hak yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan sebelum diperbolehkan membuat akta yang diperlukan. Ini sesuai dengan asas mutakhir pendaftaran sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 2. 69 Asas mutakhir menuntut dipelihraranya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 2. 70 Objek pendaftaran tanah untuk pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah tanah a) Hak Milik; b) Hak Guna Bangunan; c) Hak Pakai; d) Pengelolaan; e) Tanah Wakaf; f) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun; g) Hak Tanggungan. 71Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah didaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan. Demikian Pasal 36. Dalam Pasal 37 ditetapkan, bahwa peralihan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
69
Ibid., hal. Ibid., hal. 462 71 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil Kitab Undang-Undang Hukum Agraria UndangUndang No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan (Jakarta : Sinar Grafika 2007 ), hal. 460 70
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 72 Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah. Maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syaratsyarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Demikian dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 39. 73Perbuatan hukum pemindahan hak dalam Hukum Tanah Nasional, yang memakai dasar Hukum Adat, sifatnya tunai. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan, hak atas tanah yang menjadi objek berpindah kepada penerima hak. Fungsi akta PPAT yang dibuat adalah sebagai bukti, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum itu sifatnya tunai, sekaligus membuktikan berpindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima hak. Karena tata usaha PPAT sifatnya tertutup untuk umum, pembuktian mengenai berpindahnya hak tersebut berlakunya terbatas pada para pihak yang
72 73
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Op. Cit., hal. 491 Ibid., hal. 492, 493
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (dan para ahli waris serta orangorang yang diberitahu oleh mereka). Surat hak atas tanah yang telah didaftarkan, akan dapat diperolehnya alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang berlaku juga terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran tanah Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka untuk umum. Selain diperoleh alat bukti berupa catatan dalam buku tanah, dengan daya pembuktian yang lebih luas dari pada akta PPAT, dengan didaftarkannya pemindahan hak yang bersangkutan, diperoleh juga alat pembuktian yang kuat, yaitu berupa sertifikat hak atas tanah atas nama penerima hak, sebagaimana yang diberikan penegasan artinya dalam Pasal 32, dengan kemungkinan berlakunya lembaga “rechtsverwerking” setelah tanahnya dikuasai selama 5 tahun. 74 Melalui penerapan Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, hak-hak atas tanah hasil pendaftaran yang tidak mengalami gugatan atau yang gugatannya dengan putusan pengadilan tidak diterima, setelah melampaui masa 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat, oleh undang-undang dinyatakan terdaftar dengan sistem publikasi positif. Dengan demikian, bidangbidang tanah yang semula didaftar dengan system publikasi negatif secara bertahap dan berangsur-angsur ditingkatkan system publikasinya menjadi positif. 75 Masalah utama yang dihadapi pemerintah dan PPAT dengan sistem pendaftaran yang negatif tanpa adanya lembaga rechtsverwerking ini yaitu harus
74 75
Ibid., hal. 500 Ibid., hal. 94
dipertahankannya akta-akta PPAT dan warkah lainnya untuk alat pembuktian apabila diperlukan dalam sengketa-sengketa hukum. Di Kantor Badan Pertanahan terdapat akta eigendom dengan warkahwarkahnya yang umumya ada yang di atas seratus tahun, yang kondisinya sudah sangat rapuh, yang kesemuanya ini akan menimbulkan masalah yaitu sampai kapan akta-akta tersebut masih harus dipertahankan. Di Australia yang menganut sistem pendaftaran tanah yang positif, maka aktaakta yang dibuat di bawah tangan itu dikembalikan kepada pemegang hak setelah data dimasukkan ke dalam komputer, sehingga Kantor Agraria tidak dibebani tugas sebagai tempat penyimpanan akta, mengingat pula karena pemilik terdaftar menurut undang-undang, adalah pemilik yang dilindungi hukum. 76 B. Berbagai Permasalahan Pendaftaran Tanah Pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiban dari pemerintah untuk memberikan kepastian hukum terutama bagi pemegang hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat yang terdapat dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 19 UUPA. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Di dalam pendaftaran hak atas tanah terdapat asas-asas bahwa pendaftaran hak atas tanah harus dilakukan berdasarkan asas aman, asas terjangkau, asas sederhana, dan asas mutakhir.
76
Himpunan karya Tulis Pendaftaran Tanah, Op. Cit., hal. 45
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah menekankan penolakan pendaftaran peralihan hak. Kepala Kantor Pendaftaran menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan sesuatu hak atas tanah jika salah satu persyaratan tidak dipenuhi. 77 Salah satu syarat tersebut yaitu: di dalam hal jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik tidak diperoleh izin dari Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya. 78 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang Pendaftaran Tanah, namun anehnya peraturan ini seolah-olah juga mencampuri izin pemindahan hak. Hal-hal yang paling kontroversi di dalam peraturan ini adalah adanya Interpretasi Sistematis 79 dan Teleologis 80 mengenai verjaring atau daluwarsa yang dianut dalam Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 81 Dalam hal ini siapa yang dengan iktikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa dengan penguasaan selama dua puluh tahun. Siapa
77
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, Tanggal 23-9-1961, Pasal 28 ayat (1) butir d. Ibid., Pasal 28 ayat (1) butir d. 79 Interpretasi Sistematis adalah interpretasi dengan khusus memperhatikan hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undangundang tersebut dan memperhatikan pula hubungan antara undang-undang itu dengan undang-undang lainnya yang sejenis. (R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 66) 80 Interpretasi Teleologis adalah interpretasi dengan khusus memperhatikan tujuan sosiologis dari pada undang-undang yang hendak diinterpretasikan, baik tujuan dahulu maupun tujuan sekarang. Interpretasi Teleologis acap kali disebut juga interpretasi sosiologis, (ibid) 81 Tentang daluwarsa, dipandang sebagai suatu alat untuk memperoleh sesuatu 78
yang dengan iktikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya. 82 Demikian juga dalam Pasal 1964 KUH Perdata dinyatakan, suatu alas hak yang batal karena suatu cacat dalam bentuk caranya, tidak dapat digunakan sebagai dasar suatu daluwarsa selama dua puluh tahun. Asas daluwarsa ini tertera dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulupendahulunya, dengan syarat: 83 a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya, 84 padahal untuk menjamin kepastian hak dan kepastian hukum apabila tanah sudah dikuasai oleh masyarakat atau badan hukum pemerintah, swasta dan sosial yang waktunya cukup lama, dan tidak ada sanggahan dari pihak lain, berarti tanah itu sudah menjadi tanah Negara bebas. Oleh karena itu, diperlukan pembuktian tertulis yang diketahui oleh Lurah atau Kepala Desa, dan Camat setempat, sehingga dapat merupakan salah satu alat bukti kepastian hak. Kemudian untuk memenuhi unsur kepastian hukum selanjutnya diperlukan pengumuman di mass media cetak bila, perlu mass media elektronik, yang dikenal dalam hukum perdata sebagai “asas publisitas”. 85 82
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Op., Cit,hal. 411 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah,Op. Cit, hal. 162 84 Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 85 Asas Publisitas (Openbaarheid) adalah pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan. Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, 1983 hal. 37 83
Tujuan dari pendaftaran tanah adalah adanya kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Dengan sertifikat tanah, maka jelaslah tanah tersebut sudah terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah sehingga setiap orang dapat mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada pemiliknya. Demikian pula pendaftaran yang dilakukan atas hak seseorang, mencegah klaim seseorang atas tanah, kecuali memang dia lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat denga membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah yang negatif yang dianut dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. C. Sistem Pendaftaran Tanah Di Indonesia 1) Berbagai Sistem Pendaftaran Tanah Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung pada asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Sekalipun sesuatu negara menganut salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah, tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut boleh dikatakan tidak ada. Hal ini karena kedua asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap negara mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Asas itikad baik berbunyi : orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik, akan tetapi menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik. Guna melindungi orang yang beritikad
baik inilah maka perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftarannya disebut sistem positif. Lain halnya dengan asas nemo plus yuris yang berbunyi : orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebut sistem negatif. 86 Dalam pendaftaran di Australia, yang menganut sistem Torrens 87 dapat dinyatakan sebagai berikut. a. Security of title, kebenaran dan kepastian dari hak tersebut terlihat dari rangkaian peralihan haknya dan memberikan jaminan bagi yang memperolehnya terhadap gugatan lain. b. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu selalu harus diulangi dari awal setiap adanya peralihan hak. c. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah. d. Ketelitian, Dengan adanya pendaftaran maka ketelitian sudah tidak diragukan lagi. 88
86
Ibid., hal. 29. Sistem Torrens berasal dari Australia Selatan. Sistem ini dinamakan Torrens dengan mengambil dari Nama Sir Robert Torrens yang memperkenalkannya di Australia Selatan dalam tahun 1858. Kemudian berkembang ke seluruh Australia dan Kebanyak Negara-Negara lain di Dunia. Ciriciri Sistem Torrens adalah : Di susun di dalam Dokumen yang Berisikan Hak Milik atas Tanah dan dengan jelas tentang ketentuan Hak Tanah yang dimiliki dan kewajiban dan urusan yang timbul dalam atas tanah itu, serta telah didaftarkan didalam registrasi kepemilikan Hak Milik Atas Tanah yang di daftarkan oleh Pejabat Pendaftaran Tanah atau Disebut Badan Pertanahan Nasional. www.wikipedia.com diakses tanggal 23 Februari 2015. 88 Parlindungan, Op. Cit., hal. 7 87
Pendaftaran tanah dengan sistem Torrens diperkenalkan Robert Torrens, 89 dan yang pertama terjadi di Australia Selatan 90 dan diundangkan pada tahun 1858, yang dalam perkembangannya banyak diadopsi oleh banyak negara Di Australia, masing-masing daerah memiliki perundang-undangan, yakni the Land Title Act di Queensland, the Land Title Act di wilayah Ibukota Australia dan Tasmania, the Real Property Act di New South Wales dan di wilayah Utara dan Australia Selatan, dan the Transfer Land Act di Victoria dan Australia Barat. Ahli hukum Jerman, Ulrich Hubbe, menyumbangkan pengembangan sistem Torrens dengan meminjam sistem pendaftaran Hanseatic di Hamburg, misalnya Real Property Law and the Conclusive Land Title Register Jadi, dalam sistem Torrens, hak milik akan tercipta melalui pendaftaran tanah. Sistem ini juga berlaku di New Zealand, Kanada Barat, 91 Aljazair Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Fiji, Kanada, Jamaika, 92 Amerika bagian Barat, Filipina, India. 93 Di Singapura, Peraturan Pertanahan telah disahkan pada tahun 1956 dan diberlakukan pada tahun 1959. Pada saat ini undang-undang tersebut memuat Land Titles Act yang disahkan pada tahun 1993 (the Land Title Act 1993). 94 Demikian juga di negara Malaysia yang pendaftaran tanahnya menganut sistem Torrens berdasarkan National Land Code 1965, di mana "daftar umum adalah segalanya". Dalam sistem Torrens, "pendaftaran" mutlak dilaksanakan dan prasyarat 89
Kate Green & Joe Cursley, Land Law, Fourth Edition, (New York: Palgrave, 2001), hal.
152 90
Hilary Lim dan Kate Green, Op., Cit, hal. 273 Chambers Robert, Op., Cit, hal. 445 92 Bachtiar Effendi, Op., Cit, hal. 47 93 Narsisco Pena dalam A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan II (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 17-19. Lihat Ibid, A.P. Parlindungan, 1985, hal. 6-7 94 WJM Ricquier, Op., Cit. hal. 96 91
bagi sifat kebal terhadap gugatan. Dengan kata lain, hak atas tanah yang telah didaftar secara baik dan benar tidak mungkin digugat oleh siapa pun, kecuali ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini dipertahankan oleh kalangan eksekutif dan yudikatif. Dalam National Land Code 1965 ditegaskan dalam Pasal 340 ayat (2) bahwa kekebalan tidak akan diberikan kepada pemilik yang terdaftar apabila: 95 1. Ada penipuan yang melibatkan pemilik atau kuasanya; 2. Pendaftaran tanah diperoleh dengan cara pemalsuan atau dengan menggunakan perangkat hukum yang tidak sah; 3. Bila ada hak milik atau hak lainnya diperoleh dengan melanggar hukum. Dengan membandingkan pada sistem Tonens, pelaksanaan sistem Torrens diselenggarakan oleh kantor pendaftaran tanah di setiap Ibukota Daerah. Setiap hak atas tanah dicatat dalam buku tanah dan salinan buku tanah yang dinamakan sertifikat diserahkan kepada pemilik. Sertifikat tersebut berlaku sebagai alat bukti yang sempuma berdasarkan hukumnya yang tidak bisa diganggu gugat. Penyerahan dilakukan dengan akta disertai dengan sertifikat diserahkan pada kantor pendaftaran tanah. Di setiap sertifikat tersebut dibuat sebuah catatan dan dalam penyerahan ini dibuatkan sertifikat dalam dua lembar, satu untuk pemilik dan satu sebagai arsip pada kantor pendaftaran tanah. Guna menyederhanakan pekerjaan pendaftaran ini, isi dari
95
Hj. Saleh Hj. Buang dalam Antje M. Ma’mun, Pendaftaran Tanah sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria untuk Mencapai Kepastian Hukum Hak-Hak atas Tanah di Kotamadya(Bandung, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996), hal. 118, 121, 122, dan 130.
sertifikat diatur dengan undang-undang. Bilamana terjadi suatu perlawanan terhadap peralihan hak, harus pula dicatat dalam buku tanah dimaksud. 96 Kelebihan dari sistem Torrens jika dibandingkan dengan sistem Negatif, menurut penciptanya Sir Robert Torrens adalah a) Ketidakpastian diganti dengan kepastian; b) Biaya-biaya peralihan berkurang dari "Pound" menjadi “Shilling" dan waktu dari "bulan" menjadi "hari"; c) Ketidakjelasan; dan berbelitnya uraian menjadi singkat dan jelas; d) Persetujuan-persetujuan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga setiap orang akan dapat sendiri mengurusnya; e) Penipuan sangat dihalangi; f) Banyak hak milik atas tanah yang berkurang nilainya karena ketidakpastian hukum hak atas tanah dikembalikan kepada nilai yang sebenamya; g) Sejumlah prosedur dikurangi dengan meniadakan beberapa hal dan prosedur. 97 Adapun sertifikat tanah menurut sistem Torrens ini merupakan alat bukti pemegangan hak atas tanah yang sempuma (paling lengkap) serta tidak bisa diganggu gugat. Jika terjadi gugatan atau tuntutan oleh pemilik hak atas tanah yang sebenamya, diberikan ganti rugi terhadap pemilik yang sebenamya melalui dana asuransi. Untuk mengubah buku tanah adalah tidak mungkin, kecuali jika memperoleh sertifikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan atau diperolehnya dengan cara penipuan. 98 Sedangkan dalam sistem positif, yang dianut oleh negara Jerman, Swiss, Austria, Filipina, dan Australia. 99 Sebagai contoh, dalam pelaksanaan stelsel Positif di negara Jerman, ada pejabat yang khusus bertanggung jawab untuk tiap kali
96
Abdurrahman, Loc. Cit., hal. 94 Bachtiar Effendfie, Op., Cit, hal. 31 98 Ali Achmad Chomzah, Op., Cit, hal. 16 99 Ali Achmad Chomzah, Op., Cit, hal. 16 97
memeriksa pada setiap pendaftaran pada daftar-daftar yang ada. Pejabat tersebut disebut Grundbuchrichter. Juga di negara Belanda dilakukan oleh Komisis negara 1957. 100 Dalam sistem pendaftaran tanah yang positif, segala yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan suatu hal yang bersifat mutlak dan merupakan alat bukti yang mutlak. Fungsi dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar dalam daftar umum tidak dapat dibantah lagi, sekalipun orang tersebut bukan pemilik yang sebenamya dari tanah yang bersangkutan. Setiap pendaftaran hak dan peralihan hak dalam sistem positif memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan saksama sebelum orang tersebut didaftarkan sebagai pemilik dalam daftar umum tersebut. Para petugas pendaftaran memainkan peranan yang sangat aktif di samping harus ada peralatan yang cukup. 101 Menurut sistem Positif, suatu sertifikat tanah yang diberikan berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Karakteristik sistem pendaftaran tanah yang positif yakni sebagai berikut. 102 1. Pendaftaran tanah/pendaftaran hak atas tanah menjamin dengan sempuma bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah dan tidak dapat diganggu gugat, meskipun ia ternyata bukan pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. 2. Petugas pendaftaran tanah/Pejabat-pejabat balik nama tanah dalam sistem ini memainkan peran dalam yang sangat aktif. Petugas/pejabat tersebut menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat didaftar atau 100
A.P. Parlindungan, Loc. Cit., hal. 25 Departemen Dalam Negeri, Ibid. hal. 80 102 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendafatarannya, Op. Cit., hal. 178 101
tidak. Mereka menyelidik identitas para pihak,wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi ataukah tidak. 103 3. Hubungan hukum antara hak dan orang yang namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak itu didaftar. 104 Sistem positif ini memberikan jaminan kepada hukum yang sangat besar kepada pihak yang terdaftar dan pihak ketiga. Ini merupakan kelebihan sistem positif. Namun dalam sistem positif terdapat kelemahan, yakni a) peran aktif pejabat-pejabat balik nama memerlukan waktu yang lama; b) pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya di luar perbuatannya dan di luar kesalahannya (spoliatie); c) apa yang menjadi wewenang pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan administratif, artinya dalam penyelesaian persoalan, segala sesuatu yang seharusnya menjadi wewenang pengadilan menjadi wewenang administrasi. 105 Pendaftaran di Indonesia dikatakan mempergunakan Sistem Torrens, demikian juga di India, Malaysia, dan Singapura, dipergunakan Sistem Torrens ini. 106Ada beberapa keuntungan dari Sistem torrens, antara lain sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Menetapkan biaya-biaya yang tak diduga sebelumnya. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang. Meniadakan kebanyakan rekaman data pertanahan. Secara tegas menyatakan dasar hukumnya. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tercantum/tersebut dalam sertifikat. 6. Meniadakan pemalsuan. 7. Dijamin oleh negara tanpa batas. 107
103
Mariam Darus Badrulzaman, Op., Cit, hal. 45 Bachtiar Effendie, Loc. Cit., hal. 80 105 Abdurrahman, Op., Cit, hal. 90-92 106 Ibid., hal. 24. 107 Ibid., hal. 25 104
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of titels), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Kalau kita melihat di Indonesia, ada beberapa periode dalam sistem pendaftaran tanah: 1. Sebelum berlakunya UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 maka untuk Indonesia berlaku S.1824-27 jo. S.1947-53 di mana perjanjian obligator peralihan hak dilaksanakan dengan segala bukti tertulis. 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah menganut asas yang lebih pragmatis dan memperluas cakupan dalam pelaksanaan konversi dan juga hak-hak apa saja yang dapat dijadikan sebagi bukti untuk dapat diproses dalam pendaftaran tanah. 108 2) Sistem Publikasi yang Dianut di Indonesia Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (2) UUPA. jadi, bukan sistem publikasi negatif yang murni. Sistem publikasi 108
Parlindungan, Op. Cit., hal. 65, 66
yang negatif murni tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. 109 Sebagaimana dapat di lihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta peralihannya dan penerbitan sertifikat haknya, biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. 110 3) Sistem Negatif Pendaftaran Tanah di Indonesia Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif. Demikian penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. 111 Di dalam asas nemo plus yuris, perlindungan diberikan kepada pemegang hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini, selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya.Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya tergugat yaitu pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar umum yang diselenggarakan di suatu negara dengan 109
Boedi Harsono, loc. cit Harsono, Op. Cit., hal. 464 111 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, loc. Cit. 110
prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti.112 Ini berarti bahwa terdaftarnya seseorang didalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi, pemerintah tidak menjamin kebenaran dari isi daftar-daftar umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan di dalam undang-undang. Hal pokok yang penting di luar masalah perlindungan hukum dan kekuatan bukti dari daftar-daftar umum ialah masalah arti hukum dari suatu pendaftaran hak ataupun pendaftaran peralihan hak atas tanah.Telah dijelaskan bahwa pemerintah menganut sistem negatif yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi sebagai pemegang yang sah menurut hukum. Dengan demikian, pendaftaran berarti pendaftaran hak yang tidak mutlak, sehingga hal ini berarti mendaftarkan peristiwa hukumnya yaitu peralihan haknya, dengan cara mendaftarkan akta atau deed yang dalam bahasa Inggris disebut dengan registration of deeds. Sebaliknya, apabila ada perlindungan hukum bagi pemegang hak terdaftar yaitu tidak bisa diganggu gugat, maka pemegang hak yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan status seseorang sebagai pemegang hak atas tanah (registration of title). Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di pengadilan ialah akta Peraturan Pemerintah dan sertifikat. Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat penguasaan tanah yang 112
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, loc. cit
hasilnya akan merupakan alas hak pada pendaftaran pertama dan proses-proses peralihan hak selanjutnya. Penyelidikan riwayat tanah dilakukan dengan menyelidiki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta dibawah tangan (segel-segel) yang di buat pada masa lampau atau surat-surat keputusan pemberian hak, balik nama ( pencatatan pemindahan hak), didasarkan pula akta-akta Peraturan Pemerintah. 113 Dengan demikian, akta-akta peralihan hak masa lampau dan yang sekarang, memegang peranan penting dalam menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak atas tanah. Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak, digunakan upaya ketentuan mengenai “kadaluwarsa” sebagai upaya untuk memperoleh hak eigendom atas tanah (acquisitieve verjaring), yang terdapat dalam Pasal 1955 dan 1963 KUH Perdata Buku IV. Kadaluwarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas tanah diatur dalam Pasal 610, 1955 dan 1963 KUH Perdata. Dalam Pasal 610 ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas suatu benda karena verjaring. Adapun Pasal 1955 dan 1963 memuat syarat-syaratnya, yaitu penguasaannya harus terus-menerus, tak terputus tak terganggu, dapat diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai eigenaar, dan harus dengan itikad baik. Jika berdasarkan suatu alas hak (titel) yang sah harus berlangsung 20 tahun, perlu menunjukkan alas hak. Dengan demikian, pada hakikatnya Pasal 1955 dam 1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610 KUH Perdata, yang terletak dalam Buku II. 113
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Op. Cit
Hukum adat tidak mengenal lembaga acquisitieve verjaring, yang dikenal dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan iktikad baik. 114 Di dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, walaupun, tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan iktikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar
114
Ibid., hal. 67
sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. D. Faktor-faktor Penyebab Sehingga Pemalsuan Alas Hak/Dasar Tanah.
Menimbulkan
Tindak
Pidana
Sengketa/konflik pertanahan yang terjadi di masyarakat belakangan ini muncul dalam beragam bentuk. Pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik tersebut pun tidak sedikit, baik negara maupun institusi civil society seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tetapi proses penyelesaian sengketa acap kali menemui jalan buntu sehingga menjadikan konflik semakin berlarut-larut. Hal ini antara lain diakibatkan oleh masih lemahnya identifikasi terhadap akar-akar penyebab terjadinya konflik dan pemetaan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terlibat di dalamnya. Akibatnya tawaran-tawaran penyelesaian konflik acapkali merupakan formula yang bersifat sementara. Identifikasi dan penelitian mendalam terhadap akar-akar konflik dan pemetaan yang akurat terkait aspek-aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural amat diperlukan guna membantu penyelesaian sengketa pertanahan secara permanen. Konflik pertanahan merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria adalah proses interaksi antara dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, juga udara yang berada diatas tanah yang bersangkutan.
Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 115 Pembahasan mengenai akar konflik pertanahan ini dibagi dalam dua kelompok yaitu akar konflik pertanahan secara umum dan akar konflik pertanahan secara khusus yakni akar konflik berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh BPN sebagaimana terdapat dalam Keputusaan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
115
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, (Mandar Maju, Bandung, 1991), hlm.22.
1. Umum Salah satu tuntutan pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 adalah segera dilakukannya reformasi agraria. Hal ini disebabkan karena pada saat itu akses masyarakat terhadap tanah bisa dikatakan sudah tersumbat, akibat pelaksanaan pembangunan di masa orde baru semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi, hal tersebut menjadi pemicu keresahan masyarakat yang pada akhirnya juga mendorong timbulnya konflik pertanahan. Sunyoto Usman, menggambarkan terjadinya konflik pertanahan sebagai akibat dari dampak kegiatan industri yang berkaitan erat dengan bentuk hubungan sosial yang terjalin diantara para stakeholders yaitu masyarakat, pemerintah, pihak pengusaha industri, serta instansi-instansi lain (termasuk lembaga swadaya masyarakat dan lembaga keagamaan) yang aktivitasnya terkait langsung dengan ketiganya. 116 Sedangkan menurut Christopher W. More dan Maria W. Sumardjono,akar permasalahan sengketa pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) konflik kepentingan yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol pemilikan sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan/perilaku, perbedaan gaya hidup, ideologi, agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yang negatif, dan (5) konflik data, karena informasi yang tidak lengkap,
116
Sunyoto Usman, “Rekognisi Sebagai Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan Tinjauan Sosiologi lingkungan,” ( makalah disampaikan pada seminar dan loka karya Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan : Tinjauan Hukum, Sosial, Politik dan Pelestarian Sumber Daya Alam , Yogyakarta, 27-28 September 1999), hlm.1.
informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbeda, dan perbedaan prosedur penilaian. 117 Dari berbagai pendapat tentang akar masalah pertanahan, maka secara komprehensif pada hakekatnya konflik pertanahan yang akhirnya menjadi sengketa tanah terjadi di Indonesia di sebabkan oleh : 118 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Kurang tertibnya administrasi pertanahan masa lalu, Ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, Sistem publikasi pendaftaran tanah yang negatif, Meningkatnya kebutuhan tanah, sehingga harga tanah tidak dapat dikendalikan karena ulah mafia tanah, Peraturan perundangan saling tumpang tindih, baik secara horizontal maupun vertikal, demikian juga substansi yang diatur, Masih banyaknya terdapat tanah terlantar, Kurang cermat notaris dan pejabat pembuat akta tanah dalam menjalankan tugasnya, Belum terdapat persamaan persepsi atau interpretasi para penegak hukum khususnya hakim terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, dan Para penegak hukum belum/kurang berkomitmen untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan secara konsekuen dan konsisten.
a) Faktor Hukum Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari sengketa/konflik pertanahan yang terjadi belakangan ini, antara lain: 119 1. Tumpang Tindih Peradilan UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan (dan kebijakan agraria umumnya) di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan
117
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif, Op. Cit, hlm. 112-113 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta, Rafi Maju Mandiri 2012), hal.65 119 Ibid, Hal. 66 118
perundangan sektoral seperti UU No. 5/1967 tentang pokok-pokok kehutanan yang diperbaharui dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU Pokok Pertambangan No. 11/1967, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi No. 44/1960, UU Transmigrasi No. 3/1972, UU Rumah Susun No. 16 / 1985, UU Konversi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No. 5/1990, UU Penataan Ruang No. 24 /1992 dan yang terakhir adalah UU pemerintahan Daerah No. 22 / 1999 dan UU Pertimbangan kerugian Pusat dan Daerah No. 25/2000 yang tentang kewenangan Pemerintahan dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. 2. Regulasi Kurang Memadai Di sisi lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam kaidah hukum. akibatnya, penegakan hukum cenderung bersifat mekanistik sehingga mengabaikan nialai-nilai substansinya. 3. Tumpang Tindih Peradilan Saat ini, terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik/sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta peradilan tata usaha negara (PTUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal ini konflik tersebut disertai tindak pidana). 4. Penyelesaian dan Birokrasi Berbelit-belit Penyelesaian perkara melalui pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya tinggi dan waktu penyelesaian yang lama, belum lagi bila terjebak dengan mafia
peradilan, maka keadilan tidak pernah berpihak kepada yang benar. Sehingga adagium bahwa kalau kehilangan seekor kambing jangan berurusan dengan hukum karena bisa jadi akan kehilangan sekandang kambing menjadi bukan isapan jempol. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat dan berbiaya murah, karena kondisi sebenarnya dalam berurusan dengan pengadilan adalah tidak sederhana, birokrasi pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi (PK), serta biaya yang mahal. b) Faktor NonHukum Selain faktor hukum di atas, konflik pertanahan juga disebabkan oleh beberapa faktor nonhukum berikut ini: 120 1) Tumpang Tindih Penggunaan Tanah Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurangnya karena banyak tanah pertanian telah berubah fungsi. Pemerintah juga terus menyelenggarakan banyak proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda. Tumpang tindih penggunaan tanah, terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan tanah yaitu pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruangnya, sebagai contoh pemberian ijin oleh pemerintah daerah setempat untuk berdirinya sebuah pabrik atau perusahaan diatas sawah yang produktif, berdirinya
120
Bernhard Limbong, Op. Cit, Hal. 66
pabrik ditengah-tengah perumahan, berdirinya perumahan di tengah-tengah kawasan industri. 121 2) Nilai Ekonomis Tanah Tinggi Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ini terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan menitik beratkan pada pembangunan. Tuntutan pembangunan (khususnya infrastruktur) yang semakin tinggi dan merata seluruh wilayah indonesia serta perkembangan kebutuhan masyarakat menyebabkan harga tanah naik. 3) Kesadaran Masyarakat Meningkat Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah pun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi. 122 4) Tanah Tetap, Penduduk Bertambah Kasus sengketa tanah sebenarnya bukan fenomena baru, tetapi sudah sering terjadi. Kasus ini muncul sejak masyarakat mulai merasa kekurangan tanah, sebagai akibat ledakan jumlah penduduk dan penjajahan. Pertumbuhan penduduk yang amat
121 122
Bernhard Limbong, Op. Cit, Hal. 70 Ibid, Hal. 72
cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian. 123 5) Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. 2. Khusus Secara khusus, pemicu terjadinya kasus-kasus sengketa tanah yang selanjutnya bisa muncul sebagai konflik yang berdampak sosial-politik, di berbagai wilayah di Republik Indonesia dapat diidentifikasikan dalam beberapa kategori sebagai berikut : 124 1. Masalah sengketa atas keputusan pengadilan antara lain terdiri dari a) tidak diterimanya keputusan pengadilan oleh pihak yang bersengketa, b) keputusan pengadilan yang tidak dapat dieksekusi karena status penguasaan dan pemilikannya sudah berubah, c) keputusan pengadilan menimbulkan akibat hukum yang berbeda terhadap status objek perkara yang sama, dan d) adanya permohonan tertentu berdasarkan keputusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Masalah permohonan hak atas tanah yang berkaitan dengan klaim kawasan hutan, terutama yang secara fisik sudah tidak berfungsi sebagai hutan lagi. 123 124
Ibid, Hal. 73 Bernhard Limbong, Op. Cit. hal. 76
3. Masalah sengketa batas dan pendaftaran tanah serta tumpang tindih sertifikat di atas tanah yang sama. 4. Masalah recklaiming dan pendudukan kembali tanah yang telah dibebaskan oleh pengembang oleh perumahan karena ganti rugi yang dimanipulasi. 5. Masalah pertanahan atas klaim tanah ulayat/adat. 6. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tanah perkebunan, antara lain 1. proses ganti rugi yang belum tuntas disertai tindakan intimidasi 2. pengambilalihan tanah garapan rakyat yang telah dikelola lebih dari 20 tahun untuk lahan perkebunan. 3. perbedaan luas hasil ukur dengan HGU yang dimiliki perkebunan, dan 4. perkebunan berada diatas tanah ulayat atau marga atau tanah warisan. 3. Faktor-faktor Penyebab Sehingga Menimbulkan Tindak Pidana Pemalsuan Alas Hak/Dasar Dalam Penerbitan Sertifikat Hak Milik Nomor 70/Sidomulyo Dalam permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tentang tindak pidana Pemalsuan Sertifikat Hak Milik No 70/ Sidomulyo dapat di kemukakan Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga menimbulkan pemalsuan sertifikat yaitu : 1. Penerapan Undang-undang yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan a. Pendaftaran Tanah berdasarkan UUPA No 5 Tahun 1960 menjelaskan : 125 Pasal 19 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
125
Lihat Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang pendaftaran tanah.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biayabiaya tersebut. b. Pendaftaran Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 : 126 Pasal 11 Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 12 1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. Pembuktian hak dan pembukuannya; c. Penerbitan sertifikat; d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. 2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: a. Pendaftaran perubahan dan pembebanan hak; b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Dari penelitian tersebut maka lahan tersebut akan diuji dan berkesimpulan : a. Bahwa lahan yang dimohon didaftarkan tersebut baik dan jelas. b. Bahwa atas permohonan tidak ada sengketa dalam pemilikan tersebut. c. Bahwa atas permohonannya secara meyakinkan dapat diberikan. d. Bahwa atas bukti dari alas hak tidak ada orang yang berprasangka dan berkeberatan terhadap kepemilikan pemohon.
126
tanah.
Lihat Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
Berdasarkan kasus Penerbitan SHM No 70/Sidomulyo dengan menggunakan alas hak/dasar palsu bahwa pelaksana pendaftar tanah tidak memenuhi ketentuan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 PP No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta adanya peran instansi pemerintah kecamatan dalam menerbitkan surat alas hak/dasar yang palsu. 2. Banyak Diterbitkan Keputusan-Keputusan Administrasi Negara dan keputusan-keputusan lembaga Peradilan Berdasarkan pertimbangan hakim bahwa tanah tersebut telah cukup banyak diterbitkan keputusan-keputusan Administrasi Negara dan keputusan-keputusan lembaga Peradilan yaitu Putusan Perdata No. 215/Pdt.G/1985/PN-Mdn, yang menyatakan bahwa surat No. 168/3/MT/1979 dan dikeluarkannya akte No. 25 tanggal 18 Agustus 1984 atas nama Pirak Br Ginting sah dan berlaku sebagai alas hak/dasar untuk diterbitkannya suatu sertifikat, PTUN No. 64/G/1992/PTUN-Mdn, yang menyatakan membatalkan surat keterangan camat No. 001/SK/3/0100/1987, tanggal 1 Desember 1987 atas nama Sajimin dan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1657/Pid.B/2013/PN.Mdn, yang menyatakan telah terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan yang diatur dalam pasal 264 yang kesemuanya telah memposisikan Terdakwa dipihak yang kalah, dan Putusan Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa Sajimin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. 127
127
Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 646/PID/2013/PT.Mdn
3. Sistem Administrasi Yang Kurang Baik Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti surat, diperoleh fakta hukum dimana surat keterangan No. 168/3/MT/1979, tanggal 26 April 1979 atas nama Pirak Br Ginting telah palsu pada tahun 1987 dan saksi Pirak Ginting telah terpidana pada tahun 1987 atas laporan sajimin tentang pemalsuan surat atau membuat surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHPidana dan berdasarkan fakta hukum bahwa saksi korban Tiurlan Siahaan Manurung ikut sebagai saksi baik di Penyidik dan di persidangan perkara pidana pemalsuan surat tersebut pada tahun 1986 atas laporan Sajimin sebagai saksi korban saat itu, sehingga secara hukum saksi korban Ny.
Tiurlan
Siahaan
Manurung
telah
mengetahui
surat
keterangan
No.
168/3/MT/1979 tanggal 26 April 1979 atas nama Pirak Br Ginting telah dinyatakan palsu pada tahun 1987 dan secara sadar tetap menggunakan surat palsu tersebut sebagai alas hak/dasar untuk mengurus Sertifikat Hak Milik No. 70/Sidomulyo tanggal 29 Agustus 2003 di Badan pertanahan Kota Medan dan surat palsu adalah sebagai warkah dan sertifikat Hak Milik tersebut. 128 4. Kelalaian Petugas Badan Pertanahan Nasional Surat yang telah dinyatakan palsu tersebut telah dijadikan dasar untuk melakukan transaksi peralihan hak yang pertama dari Pirak Ginting kepada Sriwati Sebayang dan yang kedua dari Sriwati br Sebayang kepada pelapor Tiurlan Siahaan
128
Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 646/PID/2013/PT.Mdn
Manurung dan selanjutnya surat-surat tersebut dijadikan dasar untuk mengajukan Hak Milik atas nama pelapor Tiurlan Siahaan Manurung. 129 5. Pemahaman Masyarakat Yang Rendah Terhadap Hukum Pengadilan Tinggi mempelajari, meneliti secara cermat, secara kasat mata dapat dikatakan bahwa kekalahan tersebut dialami terdakwa karena ketidak tahuan terdakwa terhadap prosedur hukum. 6. Hakim Yang Mengabaikan Fakta Persidangan Dan Bukti Surat 1. Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, menghilangkan 1 (satu) bukti surat yang diajukan oleh terdakwa/Pembanding . 2. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang menafsirkan pembatalan harus juga dikosongkan tanah oleh Terdakwa ( tidak dikuasainya tanah ) oleh Terdakwa/ Pembanding adalah salah dan keliru sebab hal tersebut adalah sebagai upaya hukum untuk mempertahankan hak dan kepentingan hukumnya atas tanah tersebut. 3. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang mengesampingkan putusan Pidana atas pemalsuan surat. 4. Peradilan tingkat pertama telah salah menerapkan hukum karena tidak menilai bukti surat yang ada. 7. Keterlibatan Oknum Tentara Nasional Indonesia Yang Ikut Serta Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat.
129
Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 646/PID/2013/PT.Mdn
1. Bahwa pada Tahun 1992, Terdakwa/Pembanding diculik dan diintimidasi oleh Lettu Djaman Depari (saat itu sebagai lurah Sidomulyo), bekerja sama dengan Serda Rusli Sembiring dan Letkol Kiras Sitepu, serta dipaksa untuk menandatangani beberapa surat yang berkaitan dengan tanah Sajimin 2. Pengadilan Tinggi juga sependapat dengan Penasehat Hukum Terdakwa bahwa proses penyidikan terhadap Terdakwa dalam kasus ini oleh penyidik tidak berdasarkan hukum karena akta No. 24 tanggal 16 September 2008 yang dijadikan oleh para pihak yang membuatnya sebagaimana terbukti dari akta pembatalan No. 46 tanggal 31 Agustus 2010, dan pembatalan tersebut dilakukan Terdakwa atas kesadarannya sendiri setelah menerima somasi dan kuasa hukum pelapor, pembatalan tersebut haruslah dipandang sebagai sikap Terdakwa yang menghormati hukum (somasi), karena somasi pada hakekatnya adalah merupakan peringatan dini agar proses hukum tidak berlanjut. 8. Sanksi Pidana Yang Diatur Dalam UUPA Sangat Rendah Regulasi di bidang pertanahan yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 19 dan tentang sanksi pidana Pasal 52 UUPA serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 11 dan Pasal 12 tentang pendaftaran tanah belum seutuhnya mengacu pada nilai – nilai keadilan. Pasal 52 UUPA yang mengatur tentang sanksi pidana menjelaskan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut dipidana paling lama 3 bulan dan denda Rp.10.000 sehingga sanksi
yang diatur oleh undang-undang tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. 130
130
Lihat Pasal 52 ayat 1 dan ayat 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang sanksi pidana