Bab III HASIL PENELITIAN A.
DESKRIPSI KOTA SALATIGA Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1 Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran, Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun, akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang. Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan. Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar 56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak 177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar 3.119 orang/km2. 2 Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan meningkatkan keharmonisan yang sudah ada .
3
Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga
mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di Indonesia.
1
http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga Ibid 3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9 2
17
Sebagai kota “persinggahan”, Salatiga menjadi tempat, ruang, wadah “interaksi”, pertemuan, perjumpaan antar pribadi/komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang. Seperti pendapat Titaley dan Hidayat di bab sebelumnya bahwa kondisi yang seperti ini bisa memunculkan berbagai peluang dan tantangan. Salah satu kebutuhan mendasar dan sekaligus menjadi tantangan “persoalan kemanusiaan” yang muncul dan tak terhindarkan adalah persoalan perkawinan. Lebih khusus lagi yaitu persoalan perkawinan bagi pasangan beda agama. Dalam kenyataannya, sampai saat ini
perkawinan dan pencatatan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda keyakinan / agama masih mengalami kendala. Kendala ini disebabkan karena sikap Pemerintah Kota di berbagai tempat di Indonesia (baca: diwakili oleh lembaga-lembaga pencatatan sipil, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil) tidak sama. Di Kota
Salatiga, Dinasdukcapilnya bersedia mencatatkan. Sedangkan diluar kota Salatiga, dinasdukcapilnya tidak bersedia mencatatkan. “Dualisme sikap” yang ditunjukkan beberapa lembaga pencatatan
sipil jelas menunjukkan adanya
persoalan dalam pemahaman, “interpretasi” dan kebijakan tentang perkawinan pasangan beda agama dan pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan beda agama. Pemerintah Kota Salatiga, secara khusus Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun 2000-2014 pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama.
tidak menolak
Sekalipun di luar
Pemerintah Kota salatiga hal ini masih menjadi polemik, dan terkesan terjadi penolakan Dalam bab ini kita akan mencoba melihat aturan-aturan perundangan yang berlaku yaitu Undang -undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dan Apa alasan-alasan/pertimbangan yang dipakai oleh Kepala Dinas dan Kependudukan Pencatatan Sipil
sebagai pejabat pemerintah ini bersedia melaksanakan
pencatatan perkawinan pasangan beda agama. B.
KEHIDUPAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM/NEGARA 18
Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Beberapa fakta dan perspektif tentang perkawinan di Indonesia, khususnya bagi pasangan beda agama. Sebelum dikeluarkan UU No 23 Tahun 2006, Pencatatan administrasi kependudukan termasuk di dalamnya pencatatan perkawinan di Indonesia menggunakan dasar hukum masa kolonial Belanda yaitu Staatblad.Dalam staatblad 1896 No. 158 dikenal adanya perkawinan campuran yang mana dikenal 3 jenis perkawinan campuran yaitu :5 1. Perkawinan campuran antar tempat : misalnya perkawinan orang 2. Perkawinan campuran antar agama: misalnya golongan eropa dengan golongan timur asia atau golongan bumi putera. 3. Perkawinan campuran antar golongan Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia yang sekarang ini diatur melalui Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang Perkawinan (UUP) merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan dan segala yang berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum adat bagi warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia asli yang beragama Islam, Ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tentang Perkawinan Indonesia Kristen bagi warga Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bagi warga Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan Peraturan Perkawinan Campuran bagi perkawinan campuran. Dengan demikian salah satu tujuan dari UUP adalah unifikasi atau penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat 4 5
Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 203 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan-Perkawinan Campuran (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),2-3
19
beragam.6 Secara tekstual UU 1 th 1974 yang diterbitkan dan mengatur secara khusus tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan “campuran” dalam arti beda agama. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai sebuah “celah hukum” sehingga dalam bahasa hukum , celah hukum ini bisa mengakibatkan “penyelundupan hukum”. Dengan berlakunya UU 1 th 1974 ini ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya dalam staatblad 1896 No. 158 dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU 1/1974 ini, dinyatakan tidak berlaku.” Perlu sekali kita memahami dan memperhatikan terlebih dahulu tentang substansi dari UU Perkawinan No 1 th 1974 . 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 th 1974 Undang-undang No. 1 th 1974, Pasal 1, menyatakan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”7 Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa: a. Perkawinan tidak hanya berdimensi lahiriah, tetapi juga mempunyai dimensi batiniah atau rohaniah. b. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri. Dari sini dapat dijelaskan dua hal sebagai berikut: 1.) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan seorang pria dan seorang wanita. Hal ini menunjukkan bahwa menurut UU Perkawinan dianut asas perkawinan monogami. 2.) Perkawinan jangan dipandang hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, karena dimungkinkan adanya perkawinan in extrimis, yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka di mana salah satu atau keduanya sudah tua dan “dalam waktu singkat” akan meninggal dunia).
6
Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama : Tinjauan Keagamaan, Hukum , dan HAM . Disajikan dalam Focus Group Discution Perkawinan Beda Agama yang dihelat Yayasan Percik, Salatiga, 24 Juni 2014. 16 7 Drs. Sudarsono, S.H., M.Si , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal 9)
20
Dari pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui tentang tujuan perkawinan, yaitu : “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan untuk memeroleh anak atau pun keturunan. 2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Agar perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU Perkawinan, di mana syarat tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:8 a.
Syarat Formil Syarat ini sebenarnya mengatur bagaimana tata cara orang yang akan melangsungkan perkawinan, yaitu berupa formalitas yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat ini telah diaturf dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:
b. Syarat Materiil Syarat meteriil perkawinan telah ditetapkan dalam UU Nomor 1, di mana syarat ini harus ada pada orang yang akan melangsungkan perkawinan serta harus adanya ijin dari pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat materiil ini selanjutnya dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.) Syarat Materiil Absolute: Yaitu
syarat
yang
harus
dipenuhi
oleh
pihak
yang
bersangkutan dan jika salah satu syarat tidak ada maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan ada halangan perkawinan mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: a.) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, di mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Itu berarti bahwa perkawinan tidak boleh
8
M.Haryanto, “Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan”, dalam rumpun tulisan Materi Pembekalan Persiapan Pasangan Suami Istri (Salatiga: Klasis Salatiga, 2009)
21
dilakukan kalau atas dasar paksaan, penipuan ataupun kekhilafan. b.) Dalam Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan, batas usia melangsungkan perkawinan, untuk laki-laki harus sudah berumur 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Sebelum usia tersebut hanya dapat melangsungkan perkawinan jika ada dispensasi.
Pembatasan
ini
dimaksudkan
agar
tujuan
perkawinan tercapai dan mencegah perkawinan dibawah umur (perkawinan dini) agar tidak terjadi peningkatan angka kelahiran. c.) Menurut Pasal 6 ayat (2-6) Apabila yang akan melangsungkan perkawinan belum mencapai usia 21 tahun maka harus ada ijin dari kedua orang tuanya. Kalau salah satu orang tuanya telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka ijin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dapat menyatakan kehendaknya. Kalau keduanya telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, maka ijin dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis lurus ke atas yang masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya. Demikian juga Pengadilan Negeri dapat pula memberikan ijin ini. d.) Menurut Pasal 11 UU Perkawinan dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, seorang wanita yang putus perkawinannya sebelum melangsungkan pernikahan lagi berlaku masa tunggu, yang dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Bila perkawinan putus karena kematian, janda mempunyai waktu tunggu selama 130 hari. (2) Bila putus karena perceraian, janda masih datang bulan ditetapkan waktu tunggu 3 x suci, minimal 90 hari,
22
sedangkan bila janda sudah tidak datang bulan, waktu tunggu adalah 90 hari. (3) Bila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. (4) Menurut Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain tidak dapat melangsungkan perkawinan lagi, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan. Pada azasnya perkawinan di Indonesia adalah monogami, tetapi tidak menutup kemungkinan poligami apabila dipenuhi syarat menurut UU. Untuk melaksanakan poligami maka suami harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri dengan alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 4 UU Perkawinan, yaitu: -Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri -Isteri
mendapat
cacat
badan
yang
tidak
dapat
disembuhkan. -Isteri tidak dapat memberikan keturunan.
Selain salah satu alasan tersebut, maka harus dipenuhi pula syarat-syarat sebagaimana tersebut pada Pasal 5 UU Perkawinan dan Pasal 40 s/d Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975. Dengan adanya PP No. 10 tahun 1983, maka poligami untuk pegawai negari lebih dibatasi lagi. 2.) Syarat materiil relative Syarat ini ada pada pihak yang akan dikawini yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu tidak adanya larangan mereka untuk melangsungkan perkawinan. 3.
Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
23
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pencatatan perkawinan merupakan
suatu
keharusan.
Kalau
orang
akan
melangsungkan
perkawinan sebenarnya ada 4 tahapan penting yang harus dilalui, yaitu:9 a.
Pemberitahuan Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 tahun 1975, yaitu
orang yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan hal ini kepada Kantor Pencatatan Perkawinan, baik secara lisan atau tertulis. Pemberitahuan ini dilakukan 10 hari kerja sebelum pelaksanaan perkawinan oleh salah satu atau kedua mempelai, atau oleh orang tua atau wali, dapat pula oleh orang lain dengan surat kuasa. Dapat pula kurang dari 10 hari kerja sebelum pelaksanaan perkawinan asal ada dispensasi dari camat atas nama Bupati/ Walikota dengan menjelaskan alasan-alasannya. b. Penelitian dan pemeriksaan Diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 tahun 1975. Pemeriksaan dan penelitian menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. Identitas calon mempelai apakah usianya telah mencapai usia untuk melangsungkan perkawinan. 2. Status, apakah calaon mempelai gadis/janda, duda/jejaka, beristeri atau belum, pegawai negari atau bukan. Hal ini terkait dengan waktu tunggu bilai mempelainya janda atau syaratsyarat berpoligami apabila suami telah beristeri. 3. Agama, hal ini terkait dengan instansi yang mencatat perkawinan juga tentang “wali” bila mempelai beragama Islam. c. Pengumuman Menurut Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, atas hasil penelitian tersebut harus diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dalam waktu tertentu dapat mengajukan keberatan apabila terhadap mempelai tadi ada halangan untuk melangsungkan
9
Ibid, 39
24
perkawinan, dan apabila dalam tenggang waktu tertentu tidak ada yang
mengajukan
keberatan
maka
perkawinan
dapat
dilangsungkan. d. Pencatatan Perkawinan Setelah perkawinan sah dilaksanakan menurut hukum Agama dan Kepercayaan masing-masing, maka selanjutnya dicatatkan yaitu: a. Di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam b. Di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang Non Islam. Pencatatan
perkawinan
merupakan
pemenuhan
dari
ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut jelas, bagi suami isteri maupun orang lain dan masyarakat sehingga jika diperlukan sewaktu-waktu pencatatan tersebut menjadi alat bukti tertulis yang otentik.10 4. Akibat Adanya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, yaitu:11 a.
Kedudukan Dalam kehidupan suami-isteri, suami mempunyai kedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, oleh karena itu segala sesuatu yang menyangkut masalah keluarga harus dibicarakan dan diputus bersama oleh suami-isteri.
b.
Hak dan Kewajian Berdasarkan UU Perkawinan antara suami-isteri diwajibkan untuk saling mencintai, saling menghormati dan memberikan bantuan
10 11
Tinjauan Yuridis tentang Perkawinan,... 41 Ibid
25
lahir maupun batin, sebagai kepala keluarga suami berkewajiban melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya
demikian
pula
sebaliknya
isteri
berkewajiban mengatur rumah tangganya sedemikian rupa. c.
Harta Benda Terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan UU Perkawinan menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta bersama dan pengurusannya dilaksanakan berdua sehingga kalau akan menggunakan harta bersama harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing pihak dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan ada di bawah pengawasan masing-masing pihak, kecuali ditentukan lain.
5. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM/NEGARA Perkawinan beda agama menurut pendapat O.S. Eoh yang di kutip dari pendapat Abdurrahman adalah perkawinan yang dilakukan oleh orangorang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
12
Apakah perkawinan beda agama memiliki pengertian yang
sama dengan perkawinan campuran ? Seperti yang tertulis dalam pasal 57 UU No 1 / 1974 bahwa Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 13 Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848 keagamaan dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa – agama Nasrani – dijadikan pegangan. Agama dipakai untuk melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah dengan seorang bukan Kristen. Karena tidak sesuai dengan keadaan zaman, pendirian
12
O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). 13 Seri Hukum Dan Perundangan , Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media, 2013 ), 22
26
ini dilepaskan dengan diterimanya Pasal 15 OV dari 1848 yang dalam perjalanannya dicabut dan digantikan dengan S. 1898-158. 14 Jadi pemahaman perkawinan beda agama dengan perkawinan campuran jelaslah dua hal yang berbeda yang sangat dipengaruhi dengan konteksnya masing-masing. Yang menjadi titik berat untuk perkawinan beda agama adalah perbedaan keyakinan/agama. Dua orang yang berbeda keyakinan/agama tetap mempertahankan keyakinan/agama yang dianutnya. Sedangkan perkawinan campuran adalah perbedaan kewarganegaraan. Dua orang yang berbeda kewarganegaraan terikat dengan hukum perkawinan atau ketentuan perundang-undangan negara masing-masing. Dalam
UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur
persoalan tentang perkawinan beda / antar agama, dan secara tegas tidak melarang
pelaksanaan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
1 Tahun 1974
berbunyi: (1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut pasal ini, secara implisit yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan dalam butir f menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.15 Ini berarti, Undang-undang perkawinan menyerahkan pelaksanaan perkawinan beda agama kepada ajaran/hukum agama masing-masing untuk memperbolehkan atau melarang perkawinan tersebut, khususnya bagi pasangan yang berbeda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 UU Perkawinan butir f menyebabkan adanya ketidak pastian hukum bagi pasangan yang akan menikah beda agama
di Indonesia. Akhirnya,
masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan beda 14 15
Ibid, Sudargo Gautama, 6-7 Ibid, Seri Hukum Dan Perundangan, 10
27
keyakinan/ agama justru menghindari pasal ini, dengan cara penyelundupan hukum, yaitu dengan cara meni kah di luar negeri atau pernikahan secara adat. Pasal 35 huruf a UU Adminduk sebenarnya sudah memberi ruang kepada pasangan yang berbeda agama. Dalam undang-undang Adminduk tersebut telah diatur bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga untuk perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, yaitu perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Berdasarkan penjelasan diatas, Undang-undang Perkawinan yang menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia tidak membahas tentang perkawinan beda agama. Justru merujuk ke UU Adminduk, perkawinan beda agama telah diakui di Indonesia. Hal ini nampak dari diaturnya mengenai pencatatan perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh pengadilan. Ini berarti, perkawinan beda agama dapat dilakukan di Indonesia dan perkawinan tersebut sah. 6. DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA Pencatatan Perkawinan bagi pasangan beda agama
telah
dilaksanakan sejak tahun 2000- 2014 di Salatiga. Ini berarti pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama
telah mendapat “ruang” dalam
kehidupan “public”. Tentunya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Salatiga dalam hal ini Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil tidak berangkat dari “ruang kosong”. Ada beberapa pertimbangan, alasan-alasan yang mendasari kebijakan tersebut. Akan tetapi sebelum membahasnya lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang tugas pokok Pemerintah Kota dalam hal ini Kepala Dinasdukcapil. Kemudian bagaimana prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Berdasarkan
informasi
yang
kami
dapatkan
bahwa
Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dan bidang kependudukan dan 28
pencatatan
sipil
di
Salatiga
merupakan
urusan
wajib
pemerintah
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 3 , Bab II Urusan Pemerintah Daerah.16
Pasal 3 (1) Urusan Pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) hurus a, meliputi: A. Pendidikan B. Kesehatan C. Lingkungan Hidup; D. Pekerjaan Umum; E. Penataan ruang; F. Perencanaan Pembangunan; G. Perumahan H. Kepemudaan dan olah raga; I.
Penanaman Modal
J. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; K. Kependudukan dan catatan sipil L. Ketanagakerjaan M. Ketahanan pangan N. ... Bidang kependudukan dan catatan sipil yang merupakan urusan wajib pemerintahan seperti yang diatur dalam pasal 4 Bab II Urusan Pemerintahan daerah
berpedoman pada standard pelayanan minimal bidang-bidang
urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan berpedoman pada norma, standard, prosedur dan kristeria yang ditetapkan oleh Menteri / Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen. 17
16
Himpunan Lembaran Daerah Kota Salatiga 2008. Dihimpun oleh Bagian Hukum Kota Salatiga. Jl.Letjen Sukowati Salatiga 2008 17 Ibid, 119
29
a. Struktur Organisasi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga18
Kepala Dinas
Sekretariat
Kelompok Jabatan Fungsional Sub.Bagian Perencana an, Evaluasi
dan pelapora
Bid.Pendaft aran Penduduk
Sub bagian Keuangan
Sub bagian Umum dan kepega waian
Bidang Pencatatan Sipil
Bid.Pengelolaan Data dan informasi Kependudukan
Seksi Pendataan Penduduk
Seksi Program dan jaringan Komunikasi Data
Seksi Pelayanan
Seksi Perpindahan dan Perkembanga n Penduduk
Seksi Informasi Administrasi Kependudukan
Seksi Dokumentasi dan Informasi
UPTD
b. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan 18
Rencana Stategis Satuan kerja Perangkat daerah (Renstra – SKPD) Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Tahun 2011-2016 Pemerintah Kota Salatiga
30
Susunan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga terdiri dari:19 1.) Kepala Dinas 2.) Sekretariat 3.) Bidang-Bidang terdiri dari: a.) Bidang Pendaftaran Penduduk b.) Bidang Adminsitrasi Kependudukan c.) Bidang Pencatatan Sipil 4.) Kelompok Jabatan Fungsional C. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Dinas20 Tugas Pokok membantu Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di bidang Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 1.) Perumusan kebijakan di bidang Kependudukan dan Pencatatan sipil. 2.) Penetapan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Walikota. 3.) Pengkoordinasian dan penaggungjawab pelaksanaan kegiatan Dinas berdasarkan kebijakan Walikota. 4.) Perumusan pedoman dan petunjuk teknis di bidang kependudukan dan catatan sipil. 5.) Penerbitan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku D. Uraian Tugas Kepala Dinas21 1.) Merumuskan kebijakan di bidang kependudukan dan catatan sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk di laksanakan 19
Ibid, 6 Ibid 21 Ibid 20
31
2.) Menetapkan
kebijakan
teknis
di
bidang Kependudukan
dan
Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang di tetapkan oleh Walikota untuk di laksanakan; 3.) Menerbitkan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai salah satu bentuk pelayanan masyarakat 4.) Memeriksa dan menandatangani surat-surat kependudukan dan catatan sipil serta akta catatan sipil untuk kelancaran tugas. E.
Prosedur
Pencatan
Perkawinan
Di
Dinas
Kependudukan
Dan
Pencatatan Sipil Kota Salatiga Pasal 4 Bab II jika dikaitkan dengan bidang kependudukan dan catatan sipil, menegaskan bahwa Bidang Kependudukan dan catatan sipil dalam hal ini Dinas Kependudukan dan catatan sipil Salatiga, dalam menjalankan tugas-tugasnya , secara khusus dalam hal melaksanakan pencatatan perkawinan harus berpedoman pada norma, standard , prosedur yang ditetapkan. Dibawah ini akan dijelaskan prosedur pencatatan perkawinan (khusus: beda agama) yang berlangsung di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga . Prosedur permohonan Pencatatan Perkawinan (Baca: Khususnya Pasangan Beda Agama) di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Salatiga adalah sebagai berikut:
32
1. Pendaftaran Pemohon melalui loket:22
2.
PEMOHON
MENGAMBIL FORMULIR DAN MENGISI
MENYERAHKAN FORMULIR DAN BERKAS PERSYARATAN KE PETUGAS DI LOKET
PENGETIKAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN
PETUGAS MENCATAT DALAM BUKU REGISTER
PETUGAS MENELITI BERKAS PERSYARATAN *
PENANDATANGANAN KUTIPAN AKTA DAN BUKU REGISTER OLEH KEPALA DINAS
PENYERAHAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN KEPADA PEMOHON
Pendaftaran Pemohon melalui Pemuka Agama / Pemuka Penghayat Kepercayaan
yang ditunjuk oleh Dinas Kependudukan Dan
Pencatatan Sipil.23
PEMOHON
1
Bertemu dengan salah satu pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil untuk menanyakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
Pemohon menyerahkan berkas persyaratan kepada Pemuka Agama*
2
3
Petugas Dinasdukcapil mencatatkan dalam register
Petugas Disdukcapil meneliti berkas-berkas yang diberikan oleh pemuka agama
5
4
Pemohon menyerahkan berkas persyaratan kepada Pemuka Agama* dinasdukcapil
6
Penandatanganan di register dilaksanakan oleh pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil pada hari pelaksanaan pemberkatan/peneguhan perkawinan si pemohon
7
22
Setelah dilakukan penandatanganan di register , Pemuka Agama menyerahkan kembali register tersebut kepada petugas Dinasdukcapil agar dapat diterbitkan akta perkawinan
8
Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23 Adapun dasar hukum penugasan kepada pemuka agama dalam mencatatkan perkawinan ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 436/541/2015 tentang Pengesahan pemuka Agama Dan Pemuka Penghayat Kepercayaan Yang menerbitkan Surat Keterangan Terjadinya Peristiwa Perkawinan Dalam Wilayah Kota Salatiga.
33
Catatan: * 1). Surat pemberkatan nikah dari Lembaga Agama yang melayani. 2) Berkas persyaratan harus disertai surat pernyataan dari salah satu pemohon yang telah bersedia diberkati pernikahannya atau bersedia menundukkan diri sesuai dengan hukum agama pasangannya. 7. DASAR – DASAR HUKUM, KEBIJAKAN DAN ALASAN-ALASAN DARI KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA TERKAIT PROSES PENCATATAN PERKAWINAN KHUSUSNYA BAGI PASANGAN BEDA AGAMA Hasil penelitian dan wawancara penulis dengan Kepala Dinasdukcapil Salatiga periode 2000-2014 ditemukan beberapa alasan/pertimbangan dan aturan/norma/kaidah hukum pasal yang dijadikan dasar dalam mengambil sebuah kebijakan untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda agama.24 a. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 : “ Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.” b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap
perkawinan
dicatat
menurut
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku c. Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur penetapan pengadilan. d. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya 24
Berdasarkan wawancara dengan bapak “D” pada bulan November 2015.
34
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan”. e. Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pentatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat
keterangan
telah
terjadinya
perkawinan
dari
pemuka
agama/pendeta. f. UUD 1945 pasal 28 a: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pasal 28 b: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. g. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. h. Kepemimpinan yang melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Alasan-alasan kepala dinas yang mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan”, memiliki pemahaman bahwa dengan ketentuan tersebut maka perkawinan yang telah dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing wajib harus dicatatkan di Kantor catatan sipil. Apabila pencatatan tersebut tidak dilakukan walaupun orang tersebut telah melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya, berarti orang tersebut telah melanggar azas legalitas, sehingga akibatnya ialah bahwa akibat-akibat dari telah dilangsungkannya perkawinan tidak diakui sah secara hukum, (misalnya apabila lahir anak, maka anak yang bersangkutan tidak diakui sebagai anak yang lahir akibat perkawinan, ia hanya mempunyai hak sebagai anak ibu dengan konsekuensi yang bermacam-macam).
35
Oleh karenanya, sebagai warga negara yang baik, tentu harus menghormati hukum agamanya sekaligus wajib menghormati hukum negara yang berlaku dimana ia menjadi warga negaranya. Jadi berdasarkan Pasal 34 ayat (1) ini memberikan penegasan bahwa perkawinan yang sah menurut agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat nikah secara absah dan prosedural dapat dicatatkan. Dasar pemahaman kepala dinas tentang Pasal 34 ayat (1) diatas juga semakin diperkuat dengan dasar hukum lain yaitu Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta. Jadi Dinas kependudukan dan pencatatan sipil bertugas hanya mencatat dengan dasar bukti pemberkatan perkawinan / surat nikah secara agama. Dinas kependudukan dan pencataan sipil tidak memiliki kapasitas untuk
menolak/melarang perkawinan
khususnya bagi pasangan yang berbeda keyakinan. Kenyataan yang ada,
sampai dengan saat ini masih muncul
interpretasi yang berbeda dari para ahli hukum, para Pemimpin Daerah, para pimpinan Kepala Dinas Dan Kependudukan dari masing-masing daerah (secara khusus Disdukcapil Salatiga)
terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang 1 Tahun 1974. Seperti dalam pemberitaan di Kompas beberapa pemuka agama agama
ini
mengklaim bahwa perkawinan pasangan yang berbeda tidak
sesuai
dengan
hukum
agama.
(Baca
http://nasional.Kompas.com/reas/2014/09/05/). Beberapa ahli hukum juga mengklaim bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu.25 Dengan kata lain perkawinan beda agama itu merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974. Akan tetapi sekalipun
25
Sudarsono , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineksa Cipta, 2010), 10
36
banyak multi tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 para Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil khususnya di Kota Salatiga tetap mengambil sebuah kebijakan yang tetap berdasarkan hukum dan Undang-undang yang berlaku, seperti yang tertuang di Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Penca tatan Sipil. Berkaitan dengan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur penetapan pengadilan. Para kepala Dinas berpendapat bahwa Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a ini dikenakan bagi mereka yang masing-masing mempertahankan agama dan tidak bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak lain. Maka solusi untuk kasus seperti ini harus ada ijin dari Pengadilan setempat dan harus ada pernyataan dari pemimpin agama masing-masing bahwa mereka tidak sanggup melangsungkan perkawinan bagi calon pengantin. Pengadilan atas pertimbangannya akan menerima atau menolak permintaan mempelai, dan apabila menerima permohonan mempelai, Pengadilan setempat akan memerintahkan kepada Pejabat Kantor Catatan Sipil setempat atas nama Negara melangsungkan pernikahan pihak yang berkepentingan. Seorang Kepala Dinas (baca: Pemimpin)
harus memiliki prioritas
utama dalam kepemimpinannya.26 Memiliki “spirit” melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa seorang pemimpin harus sungguh-sungguh melayani kepentingan masyarakat. Selalu memperjumpakan keutamaan dan kebahagiaan dalam hidup bersama (baca: konteks pelayanan masyarakat). Apa keutamaan dan kebahagiaan seorang pemimpin (baca:pelayan) dalam kepemimpinannya? Ketika dirinya sebagai pemimpin dapat me-representasikan- kehadiran negara dalam kehidupan
26
Berdasarkan wawancara dengan ibu “A” pada bulan Desember 2015
37
warga negaranya27, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya yang berkaitan dengan perkawinan. Ketika agama sudah mengesahkan sebuah perkawinan dengan sebuah bukti berupa surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta maka sebagai seorang pemimpin (baca: Kepala Dinas dan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil) harus menghormati
hukum agama yang mengesahkan itu dengan cara
mencatatkan peristiwa perkawinan itu. Ketika semua ini terjadi maka terwujudlah sebuah
keutamaan dan kebaikan dalam sebuah komunitas
masyarakat yang dipimpinnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa Kewenangan dan kebijakan khusus (baca: Otonomi kehendak) dari Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil yang terkait dengan pencatatan perkawinan, khususnya bagi pasangan beda agama
bukan sekedar
sebuah tindakan yang muncul dari emosi,
keinginan, atau pilihan. Para pemimpin Dinasdukcapil bertindak secara moral dan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan kebijakan khusus yang diambil bukan karena sekedar ”kecenderungan” atau ikut-ikutan tetapi tindakan yang dilakukan bertolak dari suatu “rasa kewajiban” . Sebuah kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan subyektif yang muncul. Dan semua yang dikerjakan selalu disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti
nilai, norma, etika dan
hukum yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa bernegara.
27
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan sekaligus pelaksanaan pasal 28 b bahwa Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
38
39