BAB III HASIL PENELITIAN Bab ini berisikan tentang pemaparan hasil – hasil penelitian yang didapati oleh penulis. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian deskriptif – kualitatif, dengan tujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari suatu gejala masalah yang diteliti. Pengumpulan data dengan menggunakan tiga cara yakni: pengamatan; memeriksa dan mendalami dokumen – dokumen gereja yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti; dan wawancara. Bab ini dimulai dengan menjabarkan mengenai GPIB (secara historis dan kekinian), dilanjutkan dengan penjabaran mengenai GPIB Kasih Karunia Medan, dan diakhiri dengan kesimpulan dari penulis. 3.1. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) berdiri sebagai gereja sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI) pada tanggal 31 Oktober 1948. GPIB memiliki semua jemaat GPI di luar dari tiga gereja saudaranya yakni Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Maka dari itu latar belakang historis GPIB berasal dari latar belakang historis GPI, yang dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai sejarah GPIB yang lahir dari lingkungan GPI yang hadir pada masa pemerintahan Hindia – Belanda melalui perusahaan dagang VOC milik Belanda. Sejarah berdirinya GPIB dan pemisahan dari GPI dapat dilihat pada sub – bagian proto sinode GPIB 1948. Selanjutnya bagian ini akan menjelaskan mengenai visi dan misi GPIB serta sistem pemerintahannya, GPIB pada masa kini dan sumber pemasukan keuangan GPIB.
32
3.1.1. Latar Belakang Historis GPI : Suatu Tinjauan Historis GPIB selaku pewaris dari GPI tidak memiliki latar belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etnologis atau yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu. Untuk lebih mengerti GPIB kita harus kembali pada zaman VOC dan gereja Hervormd Belanda pada abad 17.1 Kehadiran perusahaan dagang Belanda yakni VOC pada tahun 1602 memiliki tujuan untuk mendapatkan rempah – rempah. Tujuan awal untuk berdagang ini secara tidak langsung juga membawa masuk dan berkembangnya agama Kristen Protestan di bumi Nusantara. Perjumpaan agama Kristen dengan bangsa ini terjadi melalui para pegawai – pegawai VOC yang merupakan orang pribumi. Para pegawai VOC pribumi ini, kemudian didik baik secara ilmu pengetahuan maupun secara Kristen. Seiring dengan semakin berkembangnya VOC di berbagai pulau dan daerah di Nusantara, VOC membangun gereja diberbagai kota – kota yang merupakan pusat – pusat perdagangan VOC. Kehadiran gereja ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rohani para pegawai VOC. Gereja ini dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk In Nederlands Indie atau GPI. GPI memiliki pola dan struktur yang sama dengan gereja Hervormd yang terdapat di Belanda. GPI merupakan gereja negara, berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC. Selama kurun waktu 1602 – 1795 gereja berada dalam naungan VOC. Selama masa itu pula gereja tidak bebas untuk mengembangkan teologi, eksistensi dan tugas – tugas kesaksiannya. Selaku gereja negara2 tanggung jawab anggota – anggota jemaat di 1
S.W. Lontoh, et.al., Bahtera Guna Dharma GPIB, (Jakarta: MS XII GPIB, 1982), 167. Sebagai gereja negara, GPI diberi tugas oleh pemerintah untuk menegakkan ketertiban. Itu berarti bahwa GPI dengan caranya sendiri ikut menegakkan kekuasaan Belanda di jajahannya. Negara membuat gereja menjadi salah satu alatnya, dan oleh karena itu mengikat gereja dengan ketat. Campur tangan pemerintah ini mempunyai akibat yang lainnya, GPI diberi struktur dengan hakekat gereja. Menurut hakekatnya, gereja dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan, sebagai wakil – wakil kepala gereja, yakni Kristus dan dalam memberikan posisi pimpinan pedomannya adalah Firman Tuhan. Tetapi pada kenyataannya awal berdirinya GPI, pimpinan gereja berada di tangan tokoh – tokoh pemerintahan Hindia-Belanda dan memakai pedoman yakni kepentingan – kepentingan negara Belanda di Indonesia. GPI tidak mengenal tugas pekabaran injil dan pelayanan kepada 2
33
bidang keuangan bukan merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta dibayar oleh kas negara3. GPI yang merupakan gereja negara pada masa pemerintahan Hindia – Belanda, mempunyai tiga ciri utama, yakni: pertama, GPI diikat dan diperalat oleh negara (pemerintah Hindia – Belanda); kedua, tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya dimiliki suatu gereja; ketiga, ia tidak memberi suara kepada orang – orang Indonesia yang berada di dalamnya dan secara resmi tidak mengaku bertanggung-jawab atas mereka yang masih berada di luar gereja. Ketiga ciri ini berlangsung sampai pada abad 20. Pada tahun 1930 – 1948 terjadi suatu perubahan dalam diri GPI. Dalam rentang waktu ini, GPI berusaha untuk menanamkan kesadaran bergereja pada diri bangsa Indonesia. Penanaman akan kesadaran bergereja yang dimaksudkan oleh GPI adalah dengan memberikan kesempatan kepada para jemaat GPI untuk membentuk gereja – gereja lokal yang berdiri sendiri, yang berasal dari lingkungan GPI. Sehingga lahir empat gereja yang berdiri sendiri yang berasal dari lingkungan GPI dalam rentang waktu tersebut, yakni Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) tahun 1935, Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) tahun 1947 dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) tahun 1948. Walaupun pada waktu itu posisi strategis seperti ketua, sektretaris dan bendahara majelis sinode gereja – gereja masih dipegang oleh orang – orang Belanda, namun harus diakui bahwa partisipasi orang – orang Indonesia dalam struktur kepemimpinan gereja menjadi lebih besar.
sesama manusia. GPI sebagai gereja negara, hanya menjadi suatu lembaga yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan religius penganut Kristen Protestan di Indonesia 3
Berbeda pada zaman pendudukan Jepang, yang mengakibatkan terputusnya bantuan keuangan dari Belanda, sehingga gereja terpaksa mencari jalan untuk menjamin para pendeta. Pengalaman sebagai gereja negara tidak memberikan dasar – dasar yang kuat bagi gereja untuk membiayai diri dan kegiatan gereja. 15 tahun setelah perpisahan administratif antara gereja dan negara, yakni pada tahun 1950, barulah berlangsung perpisahan dalam bidang keuangan. Akibatnya kurang menguntungkan, GPIB harus membiayai dirinya sendiri.
34
3.1.2. Proto Sinode GPIB Tahun 1948 Sejarah pembentukan GPIB tidak bertitik tolak pada kegiatan zending, melainkan harus dilihat dalam hubungannya dengan GPI. Sebelum masuk dalam sejarah perkembangan GPIB perlu diperhatikan perkembangan yang terjadi yang menuju proto sinode 1948. Perkembangan – perkembangan tersebut menggambarkan bagaimana masa pra – pembentukan GPIB dan dalam situasi dunia (khususnya Indonesia) dimana GPIB berada. Sebelum tahun 1948, GPI telah memandirikan
gereja – gereja lokal yang berasal dari
lingkungannya, lengkap dengan sinode dan tata gerejanya sendiri, yakni: GMIM tahun 1934, GPM tahun 1935 dan GMIT tahun 1947. Kehadiran dan lahirnya gereja – gereja lokal ini, dikarenakan terdapat suatu perkembangan baru dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki pemisahan antara gereja dan negara, pemisahan yang menyangkut soal administrasi dan keuangan. Perkembangan ini sesungguhnya telah mengalami pergumulan sejak tahun 1863 hingga 1918. Sejak itu, telah ada usaha untuk mengadakan pemisahan antara gereja dan negara. Maksudnya agar gereja dimungkinkan untuk mengurus dirinya sendiri. Terutama untuk membuat gereja hidup kembali, dan melalui jemaat – jemaat yang bertanggung jawab untuk mengurus dirinya sendiri. Tahun 1935, barulah mulai terwujud pemisahan tersebut. Pada tahun 1950 pemisahaan ini diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia. Situasi di Indonesia berubah sejak tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Hal ini berhubungan dengan perkembangan baru dalam tubuh GPI, maka pada tahun 1948 GPI terdesak untuk berpikir tentang status jemaat – jemaat yang ada dalam tubuh GPI selain yang termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga gereja yang telah berdiri sendiri. Sidang sinode Am ke – III GPI pada tanggal 30 Mei – 10 Juni 1948, menyatakan bahwa jemaat – jemaat yang terdapat di Sulawesi (Ujung Pandang, Sopeng); pulau Jawa (Jakarta, Tanjung Priok, Tugu, Jatinegara, Bogor, Depok, Cimahi, Bandung, Cilacap,
35
Semarang, Surabaya, Malang, Jember); Kalimantan (Banjarmasin, Pontianak); Bangka; Sumatera (Palembang, Medan), harus ditentukan statusnya. Hal ini dikarenakan, setelah habis masa perang sebelum Proklamasi, jemaat – jemaat tersebut tidak melebur dalam salah satu gereja daerah. Jemaat – jemaat tersebut tidak bersedia melebur diri, sebab anggotanya sebagian besar berasal dari suku Minahasa, Ambon dan Timor, serta keturunan Belanda dan orang Belanda sendiri.4 Pembicaraan dalam Sidang Sinode Am ke-III di Bogor 30 Mei – 10 Juni 1948 tentang jemaat – jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga gereja yang telah berdiri sendiri, berakhir dengan satu keputusan yakni: segera dalam tahun 1948 jemaat – jemaat tersebut diorganisir dalam satu organisasi gereja yang baru. Untuk itu sinode Am ke – III GPI menetapkan: pertama, memberi hak pada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk mengesahkan dan melembagakan gereja baru itu sebagai satu gereja yang berdiri sendiri; kedua, membentuk komisi untuk menyiapkan tata gereja dan peraturan – peraturan gereja; ketiga, tata gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh Proto Sinode secepat mungkin pada tahun 1948.5 Proto Sinode dilaksanakan pada 25 – 31 Oktober 1948 di Jakarta. Pada Proto Sinode ini lahirlah satu gereja yang berdiri sendiri, lengkap dengan Sinode, Tata Gereja dan peraturan – peraturannya. Proto Sinode dipimpin oleh Ds. J.A. de Klerk selaku ketua panitia penyelanggara Proto Sinode. Konsep Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang disusun oleh komisi, dibahas dan diterima oleh sidang pada hari ke-6. Tata gereja terdiri dari 25 pasal, Peraturan Gereja untuk Persidangan Gereja 4 pasal, dan Peraturan untuk Majelis Jemaat 12 pasal. Pada tanggal 30 Oktober 1948, Proto Sinode mengesahkan gereja baru yang berdiri sendiri yang diberi nama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Pada hari Minggu 31 Oktober 1948, GPIB diresmikan sebagai gereja yang telah berdiri sendiri dan memisahkan 4 5
Lontoh, Bahtera, 180. Lontoh, Bahtera, 181.
36
diri dari GPI. Keseluruhan anggota jemaat GPIB pada waktu itu terdiri lebih dari 200.000 ribu jiwa. Adapun susunan Majelis Sinode GPIB, pada masa awal pembentukannya, sebagai berikut :6 -
Ketua
: Ds. J.A. de Klerk
-
Wakil Ketua
: Ds. B.A. Supit
-
Sekretaris I
: Ds. L.A. Snyders
-
Sekretaris II
: J.A. Huliselan
-
Bendahara
: E.E. Marthens
-
Penasehat
: E.A.P. Klein
-
Pendeta Bahasa Indonesia : Ds. D.F. Sahulata
-
Pendeta Bahasa Belanda : Ds. J.H. Stageman
Pada tanggal 31 Oktober 1948, GPIB memiliki tujuh musyawarah pelayanan (Mupel). Ketujuh Mupel tersebut adalah Mupel Jawa Barat, Mupel Jawa Tengah, Mupel Jawa Timur, Mupel Sumatera, Mupel Bangka Riau, Mupel, Kalimantan dan Mupel Sulawesi Selatan. Pada awal pembentukannya, GPIB memiliki 53 jemaat yang tersebar di ketujuh Mupel tersebut. 3.1.3. Visi Misi dan Sistem Pemerintahan GPIB Motto GPIB adalah dan orang akan datang dari timur dan barat dan dari utara dan selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah (Lukas 13: 29). GPIB merupakan gereja missioner yang melaksanakan amanat Tuhan Yesus Kristus melalui visi dan misinya dalam rangka menghadirkan tanda – tanda Kerajaan Allah dibumi khususnya Indonesia. Visi GPIB adalah menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya. Misi GPIB adalah “menempatkan Tuhan Yesus Kristus , Juruselamat manusia sebagai kepala gereja; mewujudkan kehadiran GPIB yang membawa corak damai sejahtera Allah dan menjadi berkat di tengah – tengah masyarakat dan dunia; membangun suatu jemaat missioner yang bertumbuh, dewasa dalam iman, kehidupannya adalah teladan serta 6
Lontoh, Bahtera, 182.
37
memberi kontribusi nyata bagi kemajuan gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam suatu semangat oikumenis dan nasional. GPIB dalam rangka menata dan mengembangkan panggilan dan pengutusannya didasarkan pada sistem presbiterial sinodal. Sistem ini sesungguhnya berasal dari tradisi Calvinis yang sangat mewarnai kehidupan GPIB. Melalui sistem ini terdapat suatu hubungan timbal balik yang hidup antara majelis sinode dengan majelis jemaat maupun diantara majelis jemaat dengan warga jemaat, sehingga yang terdapat bukan garis komando atau linear, antara atasan dan bawahan melainkan hubungan timbal balik dimana misi gereja berlangsung dan berkembang. Kata presbiterial berasal dari kata Yunani yakni: presbyteroi yang berarti anggota dewan para penatua jemaat. Sejak zaman reformasi gereja, istilah presbiter digunakan lagi dalam gereja Calvinis untuk para anggota presbiterium (dewan penatua), baik untuk anggota yang dipimpin untuk pelayanan Firman dan Sakramen, maupun untuk penatua awam yang menjaga tata tertib dan kemurnian gereja. Kata sinodal berasal dari kata sinode yang berarti berjalan (hodos: Yunani) bersama (sun: Yunani). Dalam gereja – gereja reformasi, sinode memainkan peranan penting untuk menentukan kebijakan. Anggotanya adalah para pendeta, penatua, dan diaken, yang kemudian kesemuanya itu disebut dengan presbiter Sistem organisasi gereja yang menganut presbiterial sinodal berarti kepemimpinan terletak pada para presbiter, yakni: pendeta, penatua dan diaken. 3.1.4. GPIB Masa Kini GPIB terpanggil untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan ikut membangun nilai – nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif, adil, damai, dan demokratis dengan melaksanakan fungsi kenabian di tengah simpul – simpul kekuasaan yang ada. Dalam rangka itu GPIB memperjuangkan masalah – masalah kemanusiaan, keadilan dan lingkungan hidup serta masalah – masalah yang berhubungan dengan dampak negatif dari globalisasi dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. 38
Hal ini dilakukan baik secara individual, parokial, regional, sinodal maupun ekumenikal dengan merangkul berbagai pihak yang mempunyai keinginan – keinginan yang sama untuk berpartisipasi dalam perjuangan mewujudkan masyarakat, adil, makmur, damai dan sejahtera di bumi Indonesia. Dalam mewujudkan panggilan dan pengutusan Allah sebagai gereja missioner, GPIB melalui upaya pembinaan dan pendidikan memberdayakan warga agar berperan dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Untuk menumbuhkan
dan mengembangkan
persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat, GPIB menata kehidupannya dengan bersumber dari Firman Allah. Penataan itu dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan Imamat Am dalam ketaatan kepada Yesus Kristus yang menghendaki segala sesuatu tersusun rapi dan diikat menjadi satu, oleh pelayanan semua bagian dan perangkat, baik warga, wilayah, kepemimpinan dan tata aturan dengan sistem Presbiterial Sinodal. Untuk menatata kehidupan bergereja dan guna melaksanakan pelayanan yang tertib, teratur dan dinamis maka GPIB diatur dalam Tata Gereja GPIB7. Tata gereja merupakan susunan seluruh aturan gereja yang berfungsi untuk mengatur dan memberikan arah bagi seluruh kegiatan gereja sehingga terdapat keserasian, keseimbangan dan keselarahan dalam kehidupan bergereja. Peraturan – peraturan gereja bertumpu pada tata dasar, karena didalam tata dasar gereja terdapat seluruh gagasan dasar perlengkapan GPIB. Tata dasar mempunyai dua bagian utama yakni, pembukaan sebagai landasan ideal dan batang tubuh yang merupakan landasan operasional. Adapun hierakhi peraturan yang terdapat dalam tata gereja GPIB, yakni: Firman Allah (Alkitab), tata dasar, peraturan pokok, peraturan – peraturan, peraturan pelaksana, peraturan pelaksana majelis sinode (PPMS) dan peraturan pelaksana majelis jemaat (PPMJ). 7
Tata gereja GPIB telah mengalami beberapa kali amandemen, dalam tulisan ini penulis menggunakan amandemen terakhir yakni Tata Gereja GPIB tahun 2010.
39
Saat ini diseluruh wilayah pelayanan GPIB telah terdapat 305 jemaat yang tersebar dari Raha (timur) sampai Sabang (barat) dan dari Nunukan (utara) sampai Cilacap (selatan). Jemaat – jemaat dalam satu wilayah tergabung dalam satu wadah kebersamaan yang dinamakan musyawarah pelayanan (Mupel). Pada awal lahirnya, GPIB memiliki tujuh Mupel dan pada masa kini ketujuh Mupel ini dimekarkan sehingga menjadi 25 Mupel. 3.1.5. Sumber Keuangan GPIB Keuangan gereja diperoleh melalu tiga sumber, yakni: rutin, program dan proyek. Sumber pemasukan rutin merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh gereja melalui persembahan syukur dan persembahan tetap bulanan atau perpuluhan (bagi jemaat yang telah menerapkannya), kolekte, sumbangan, dan pengembalian piutang gereja. Sumber pemasukan program merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh melalui usaha dana yang dilakukan oleh panitia/ komisi maupun oleh pelkat, usaha dana ini sifatnya tidak tetap artinya dilaksanakan sesuai dengan tingkat kebutuhan. Sumber pemasukan proyek merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh melalui usaha pemberdayaan terhadap potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh gereja sehingga dapat menghasilkan pemasukan bagi gereja. 3.2.
GPIB Kasih Karunia Medan
Bagian ini menjelaskan mengenai mengenai GPIB Kasih Karunia Medan. Sejarah berdirinya; data jemaat; struktur organisasi; program kerja gereja; penatalayanan dan kemandirian gereja; serta kemandirian dana dalam tata gereja dan PKUPPG (Pokok-Pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja). Penulis kesulitan untuk mendapatkan data lengkap sejarah dan pergumulan yang melatarbelakangi berdirinya GPIB Kasih Karunia Medan, hal ini dikarenakan gereja tidak memiliki dokumen tersebut. 3.2.1. Sejarah berdirinya GPIB Kasih Karunia Medan Berdasarkan keputusan Majelis Sinode GPIB No. 1779 / 86 / MS.XIII / Kpts. Tentang pelembagaan Jemaat GPIB jemaat Kasih Karunia di Medan. Terhitung sejak tanggal 08 Mei
40
1986, Majelis Sinode GPIB melembagakan Bagian Jemaat ( BAJEM ) I dari GPIB Jemaat Immanuel Medan, menjadi GPIB jemaat Kasih Karunia Medan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Wilayah Pelayanan, dengan batas – batas : -
Utara, berbatasan dengan Jemaat GPIB Yoppe Belawan, pada Jalan Tanjung Mulia di Kecamatan Medan Deli.
-
Timur, berbatasan dengan wilayah/ Pelayanan Jemaat GPIB Immanuel Medan.
-
Selatan, berbatasan dengan Wilayah Pelayanan Jemaat GPIB Immanuel Medan.
-
Barat, daerah terbuka sampai ke Kotamadya Binjai.
b. Sektor pelayanan : pada awal dilembagakan GPIB kasih karunia terdiri dari 6 ( enam ) sektor. Pada saat ini GPIB Kasih Karunia telah memiliki 7 sektor pelayanan dan 2 Pospel (Srigunting dan Binjai) c. Tanah dan bangunan : tanah dengan status hak milik nomor : 152 seluas 3000 m2 didesa Sei Sikambing C – 11 Kecamatan Medan – Sunggal sesuai akte jual beli No. 11 / AJB / MS / 1985 tertanggal 20 September 1985. Pada awal pelembagaan, bangunan masih dalam bentuk semi permanen. Berikut adalah para Pendeta yang pernah melayani di GPIB Kasih Karunia : 1) Pdt. Diana Frost : Pendeta pertama GPIB Jemaat “Kasih Karunia” Medan sejak pelembagaan dari GPIB Jemaat “Immanuel” Medan tahun 1986. 2) Pdt. Anna .A. Hamid : mulai tahun 1987 s/d 1992 3) Pdt. M.H. Rattu : mulai tanggal 01 Juni 1992 s/d 26 Agustus 1994. 4) Pdt. Jopie Hukom, S.Th : mulai tanggal 26 Agustus 1994 s/d 01 Juli 1997.
41
5) Pdt. Robby Wehantouw, Sm.PAK : mulai tanggal 01 September 1997 s/d 26 Mei 2002. 6) Pdt. Ritman Pelokang, S.Th : mulai tanggal 01 Mei 2002 s/d 01 September 2005. 7) Pdt. Parlindungan Lumban Gaol, S.Th : mulai tanggal 01 Agustus 2005 s/d 06 Juli 2008. 8) Pdt. Ny. Jeane .A. Barus - Frans, S.Th (Pendeta Jemaat) : mulai tanggal 01 Oktober 2006 sampai saat ini 9) Pdt. Arnold A.R. Ihalauw, M.Th : mulai tanggal 06 Juli 2008 sampai saat ini 3.2.2. Data Jemaat Jemaat GPIB Kasih Karunia Medan terdiri dari tujuh sektor pelayanan dan dua pos pelayanan: Srigunting dan Binjai. Jumlah seluruh kepala keluarga adalah 528 kk (kepala keluarga). Berikut adalah jumlah kepala keluarga dalam setiap sektor : sektor I : 65, sektor II: 46 kk, sektor III: 74 kk, sektor IV: 46 kk, sektor V: 66 kk, sektor VI: 86 kk, sektor VII: 71, pospel binjai: 43 kk, pospel srigunting: 31 kk. 3.2.3. Struktur Organisasi Pimpinan GPIB pada tingkat jemaat adalah Majelis Jemaat. Majelis Jemaat adalah suatu wadah kebersamaan dalam kepemimpinan GPIB di Jemaat. Majelis Jemaat adalah persekutuan kerja para presbiter yang merupakan pimpinan ditingkat jemaat, dan Sidang Majelis Jemaat (SMJ) adalah keputusan tertinggi pada tingkat jemaat. Tugas – tugas Majelis Jemaat adalah sebagai berikut:8 a. Menjabarkan keputusan dan ketetapan persidangan Sinode GPIB dan tugas – tugas yang dipercayakan oleh Majelis Sinode dengan berpedoman pada Visi dan Misi GPIB.
8
Majelis Sinode GPIB, Tata Gereja GPIB 2010, (Jakarta: Majelis Sinode, 2010), 78.
42
b. Membuat dan menetapkan program kerja dan anggaran. c. Membuat laporan tahunan kepada Majelis Sinode GPIB. d. Menetapkan penatalayanan jemaat dan mengawasi pelaksanaannya. e. Memberdayakan unit – unit missioner. f. Menjaga kemurnian ajaran GPIB. Pelaksana harian majelis jemaat (PHMJ) adalah representasi harian dari Majelis Jemaat. PHMJ dipilih dari fungsionaris Majelis Jemaat melalui SMJ, kecuali untuk posisi Ketua Majelis Jemaat, karena ditentukan oleh Majelis Sinode GPIB. Tugas – tugas PHMJ adalah sebagai berikut:9 a. Menjabarkan keputusan SMJ dan mengatur penatalayanan di jemaat b. Mengelola administrasi dan perbendaharaan jemaat c. Menyiapkan SMJ, sidang – sidang atau rapat – rapat yang dianggap perlu, serta pertemuan warga sidi jemaat d. Memutuskan dan menyelesaikan hal – hal yang mendesak, sepanjang tidak
bertentangan
dengan
Tata
Gereja
yang
berlaku,
dan
melaporkannya kepada SMJ e. Mewakili Majelis Jemaat ke dalam dan ke luar jemaat f. Membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada SMJ tentang penyelenggaraan persekutuan, pelayanan dan kesaksian g. Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan tahunan kepada Majelis Sinode atas nama Majelis Jemaat h. Menyampaikan tembusan Laporan kegiatan tahunan untuk Majelis Sinode di teruskan ke Badan Pelaksana (BP) Mupel setempat untuk di
9
GPIB, Tata Gereja, 82.
43
kompilasi sebagai laporan BP Mupel dalam Persidangan Sinode Tahunan. Berikut adalah penjabaran tugas pelaksana harian majelis jemaat10: 1) Ketua Majelis Jemaat membidangi: Teologi (meliputi bidang iman, ajaran, ibadah, musik gereja dan pengkajian teologi) dan persidangan gerejawi. 2) Ketua
I:
membidangi
pelayanan
dan
kesaksian
(meliputi
bidang
pengembangan dan penatalayan pos pelkes, PMKI, diakonia, crisis centre, satgas penanggulangan bencana). 3) Ketua II: membidangi gereja, masyarakat dan agama – agama (disingkat GERMASA, yang mencakup keesaan gereja/ oikumene, kemasyarakatan: hak asasi manusia, hukum, lingkungan hidup dan lintas agama – agama). 4) Ketua III: membidangi pembinaan dan pengembangan sumber daya insani/ PPSDI (meliputi bidang pembinaan dan pengembangan warga gereja) dan pelayanan kategorial/ PELKAT (peningkatan peran keluarga, kelompok profesi dan fungsional). 5) Ketua IV: membidangi pembangunan ekonomi gereja (meliputi bidang keuangan, daya dan dana, pemanfaatan dan pengembangan harta milik gereja, badan
usaha/hukum
GPIB);
informasi,
organisasi
dan
komunikasi/
INFORKOM (meliputi bidang sistem informasi manajemen, perencanaan organisasi dan komunikasi); penelitian dan pengembangan/ LITBANG. 6) Sekretaris: bersama ketua membidangi teologi dan persidangan gerejawi; bersama para ketua guna menetapkan kebijakan Majelis Jemaat dan pengendalian administrasi, pengintegrasian, kegiatan dan personalia.
10
GPIB, Tata Gereja, 82-84.
44
7) Sekretaris I: bersama dengan ketua I dan II guna menangani bidang – bidang yang menjadi tanggung jawab ketua I dan II. 8) Sekretaris II: bersama dengan ketua III dan IV guna menangani bidang – bidang yang menjadi tanggung jawab ketua III dan IV. 9) Bendahara: mengatur dan bertanggung jawab atas perbendaharaan dan pengelolahan keuangan. 10) Bendahara I: mengatur dan bertanggung jawab atas perbendaharaan dan pembukuan. Adapun susunan pengurus harian majelis jemaat (PHMJ) GPIB Kasih Karunia Medan periode 2010 - 2012, yakni : -
Ketua Majelis Jemaat
: Pdt. A.R. Ihalauw, M.Th
-
Ketua I
: Pnt. Jafet Daud Tumangken
-
Ketua II
: Pnt. Drs. Felix Firman Kaban
-
Ketua III
: Pnt. Julian Tobing, S.Kom
-
Ketua IV
: Dkn. Jonni Dabukke
-
Sekretaris
: Pnt. Johnny Richard Kesek
-
Sekretaris I
: Dkn. Marolop Hasudungan Sidabutar, SH
-
Sekretaris II
: Pnt. Denny Leonard Bimbuain, SH
-
Bendahara
: Dkn. Selvie Weltje Iroth-Kapahang
-
Bendahara I
: Pnt. Roy Carl Oppier
3.2.4. Program Kerja tahun 2011 – 2012 GPIB Kasih Karunia Medan Rencana penerimaan anggaran tahun 2011/ 2012 senilai Rp 1.177.447.914,-. Dengan rincian sebagai berikut : -
Persembahan senilai Rp 408.496.303, yang terdiri dari persembahan tetap bulanan dan persembahan syukur.
45
-
Kolekte senilai Rp 685.337.626, yang terdiri dari kolekte ibadah minggu, perjamuan kudus, jumat agung, natal dan tahun baru, ibadah syukur, keluarga dan ibadah pelkat.
-
Penerimaan rutin senilai Rp 40.760.086, yang terdiri dari jasa giro/ bunga bank dan pengembalian pinjaman pegawai.
-
Usaha dana komisi dan panitia senilai 42.853.900, yang terdiri dari usaha dana komisi – komisi, penjualan kalender dan keranjang kasih.
Melihat dari sumber penerimaan keuangannya, GPIB Kasih Karunia memperoleh pemasukan keuangan melalui dua sumber yakni: sektor rutin dan program. Rencana pengeluaran program dan anggaran tahun 2011/ 2012 senilai Rp 1.166.184.610,-. Dengan rincian sebagai berikut : -
Sektor missioner senilai Rp 385.177.000, yang terdiri dari bidang IMANI (iman, ajaran dan ibadah), PELKES (pelayanan dan kesaksian), GERMAS (gereja dan masyarakat), PPSDI (pembinaan pengembangan sumber daya insani), pendidikan serta bidang pelkat
-
Sektor instutitional senilai Rp 781.007.610, yang terdiri dari bidang pelatihan dan pengembangan, serta ORKOM (Organisasi dan komunikasi).
-
Sektor penunjang senilai Rp 236.800.000, yang terdiri dari bidang daya dan dana, umum, iuran dan setoran.
3.2.5. Penatalayanan dan Kemandirian Gereja Menurut GPIB Kasih Karunia Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka dan direkam sebagai bukti percakapan. Peneliti memberikan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan dua kata kunci yakni penatalayanan dan kemandirian gereja. Pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui pemahaman gereja yang direpresentasikan oleh empat narasumber, mengenai penatalayanan dan kemandirian gereja dalam bidang dana.
46
a. David Tuerah11 David
mengartikan
penatalayanan
sama
halnya
dengan
manajemen. Baginya, penatalayanan adalah pengelolahan dan pengaturan yang di dalamnya terdapat tanggung jawab. Dalam pemahamannya, kemandirian gereja dalam bidang dana merupakan kemampuan gereja untuk mendapatkan dana guna membiayai segala kebutuhannya. Gereja yang mandiri dalam bidang dana adalah gereja yang tidak memperoleh bantuan dana dari pusat (sinode), dan dapat mengusahakan pemasukan dana sendiri. Sumber pemasukan dana di Kasih Karunia masih berasal dari jemaat. Gereja yang mandiri adalah gereja yang dapat mengusahakan kebutuhan dananya sendiri. Jadi pemasukan dana gereja tidak lagi bergantung terhadap pemberiaan jemaat. Gereja dapat memanfaatkan/ memberdayakan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya guna mendatangkan sumber pemasukan yang baru. Tetapi tujuan dari usaha yang dilakukan oleh gereja bukanlah untuk memperkaya gereja, melainkan uang yang dihasilkan dipergunakan untuk melaksanakan misi dan pelayanan gereja. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan oleh gereja bukanlah usaha yang bersifat sementara
melainkan usaha yang
berkelanjutan. b. Ryan Siregar 12 Menurut Ryan, penatalayanan berkaitan dengan penataan gereja sebagai sebuah organisasi, yakni menghadirkan sebuah persekutuan yang baik dan bersaksi kepada masyarakat. Kemandirian gereja dalam dana 11 12
Wawancara, 15 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran Wawancara, 16 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
47
adalah gereja dapat memenuhi pembiayaan operasional maupun infrastruktur gereja yang pemasukannya berasal dari jemaat melalui persembahan, perpuluhan maupun sumbangan. Peranan penatalayanan penting dalam mencapai kemandirian gereja dalam bidang dana, gereja dapat berusaha guna menghasilkan sumber pemasukan selain dari pemberian jemaat, karena di Kasih Karunia sumber pemasukan dana gereja berasal dari jemaat. Dengan adanya usaha yang dilakukan oleh gereja maka gereja dapat memiliki sumber pemasukan yang baru, tetapi usaha yang dilakukan oleh gereja tetap harus berjalan dalam koridornya yakni guna menunjang misi dan pelayanan gereja. c. Evi Zebua13 Menurut Evi, penatalayanan gereja adalah pengaturan dan tangggung jawab rumah tangga gereja. Penatalayanan dilaksanakan oleh PHMJ (Pengurus Harian Majelis Jemaat), melalui tugas dan tanggung jawabnya masing – masing. Bagi Evi, peranan dari ketua IV (bidang ekonomi gereja, infokom dan litbang) dalam melaksanakan tugasnya akan menentukan pencapaian kemandirian dalam bidang dana. Sumber pemasukan dana gereja ditentukan melalui mimbar pada ibadah Minggu. Melalui ini Evi ingin menyampaikan, bahwa keberadaan pendeta maupun Pelayan Firman dalam ibadah Minggu, dapat memberikan suatu dorongan bagi warga jemaat untuk memberikan persembahan maupun sumbangan. Baginya, sumber pemasukan dana yang utama di Kasih Karunia berasal dari warga jemaat. Gereja juga dituntut
13
Wawancara, 13 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
48
untuk berusaha, agar dapat menghasilkan sumber pemasukan dana yang baru guna mendukung pelaksanaan misi dan pelayanan gereja. Tetapi hal ini dapat terwujud bila didukung dengan peran aktif dari ketua IV PHMJ. d. Pdt. Arie R. Ihalauw14 Menurut Pdt. Ihalauw, selama ini terdapat pandangan yang salah mengenai penatalayanan. Sebagian besar orang banyak menganggap penatalayanan hanya berkaitan dengan pengaturan keuangan. Jika hal ini yang terjadi maka warga jemaat akan menjadi korban karena gereja hanya mengatur dan tidak memberdayakan serta mengelola keuangan gereja tersebut. Maksudnya, ketika gereja membutuhkan dana atau kekurangan dana untuk melaksanakan suatu kegiatan maka gereja akan meminta kepada warga jemaat, karena sumber pemasukan gereja hanya berasal dari pemberian warga jemaat, jikalau hal seperti ini terus berlangsung secara terus menerus maka warga jemaat akan menjadi korban. Pelaksanaan penatalayanan di jemaat kasih karunia belum berjalan dengan baik dan semestinya. Sebenarnya penatalayanan juga termasuk pengelolahan, memberdayakan kemampuan, potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh gereja , dan hasilnya tersebut dapat dipergunakan untuk pengembangan misi gereja. Menurut beliau, praktek penatalayanan harus berdasarkan visi dari gereja. Kemandirian gereja haruslah dimulai dari sumber daya manusia dan teologi, kedua ini terlebih dahulu dipenuhi barulah gereja dapat maju pada kemandirian dana. Pengeluaran di jemaat kasih karunia lebih banyak digunakan untuk pengeluaran rutin dan proyek, seperti membangun gedung gereja yang
14
Wawancara, 17 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
49
besar, biaya operasional gereja, perjalanan dinas, transport pelayanan dan sebagainya. Beliau memaparkan, bahwa selama ini yang terjadi penatalayanan gereja dalam bidang dana hanyalah masalah pengaturan keluar masuknya keuangan. Jika seperti ini yang terjadi maka kemandirian dana tidak akan dapat tercapai. Gereja diperbolehkan untuk membuat unit – unit maupun usaha yang tujuannya dapat menjadi sumber pemasukan yang baru bagi gereja. karena selama ini pemasukan gereja hanya berasal dari jemaat. Jemaat seperti diperah oleh gereja untuk terus memberi agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan gereja dalam dana. Ihalauw memberikan kritik yang tajam terkait dengan praksis penatalayanan terkait dengan dana dalam lingkungan GPIB, yakni: pada umumnya GPIB belum mandiri dalam bidang dana. Jika keuangan habis, aset dijual, perah atau meminta dari jemaat, iuran PTB (persembahan tetap bulanan) dinaikkan atau melaksanaan perpuluhan. Gereja belum sampai pada pemahaman untuk memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk menghasilkan sumber pemasukan yang baru selain dari pemberian jemaat. Pemahaman yang berkembang selama ini adalah gereja tidak boleh berdagang atau memiliki unit usaha. Jika pemahaman seperti ini terus berlangsung maka gereja akan sulit untuk berkembang. Keempat narasumber memiliki beberapa kesamaan dalam memahami penatalayanan dan kemandirian gereja, yakni: pertama, narasumber berpendapat bahwa penatalayanan memiliki peranan penting dalam gereja guna mengurus rumah tangganya; kedua, berkaitan dengan dana melalui penatalayanan, maka gereja akan didorong untuk mengelolah dan memberdayakan segala potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya agar dapat menghasilkan sumber pemasukan yang baru melalui hasil usahanya sendiri; ketiga, sumber
50
pemasukan GPIB Kasih Karunia masih mengandalkan dari warga jemaat. Selain kesamaan tersebut, keempat narasumber juga memiliki perbedaan seperti yang terdapat pada pendapat Evi, bahwa kemandirian gereja dalam bidang dana ditentukan oleh peranan dan kinerja dari Ketua IV PHMJ yang membidangi ekonomi gereja. Maksudnya ialah bahwa bidang ekonomi sudah menjadi tanggung jawab dari ketua IV, jadi disini dituntut peran aktif dari ketua IV. David berpendapat bahwa penatalayanan adalah pengaturan dan pengelolahan rumah tangga gereja yang didalamnya terdapat tanggung jawab, hal yang sama juga diutarakan oleh Evi. Sedangkan Ihalauw menambahkan, didalam penatalayanan juga terdapat pemberdayaan atas segala potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh gereja. Ryan menyampaikan bahwa penatalayanan dilaksanakan untuk mewujudkan gereja yang menghadirkan sebuah persekutuan yang baik dan bersaksi kepada masyarakat. Ihalauw selaku KMJ (ketua majelis jemaat) memberikan pendapat yang keras, bahwa selama ini penatalayanan gereja terhadap dana hanyalah berkaitan dengan pengaturan keluar masuknya keuangan dan jemaat hanya akan menjadi korban dari model penatalayanan seperti ini. Karena sumber pemasukan gereja masih mengandalkan dari pemberiaan warga jemaat, jikalau gereja membutuhkan dana maka gereja meminta kepada jemaat. Sehingga jemaat seperti diperah oleh gereja untuk terus memberi, agar kebutuhan gereja akan dana dapat terpenuhi, seperti dengan menjual aset, minta dari jemaat, menaikan iuran PTB ataupun melaksanakan perpuluhan, yang kesemuanya bertujuan agar kebutuhan akan dana terpenuhi. Seperti yang pendapat Evi, melalui mimbar pada ibadah minggu dapat dipergunakan oleh Pelayan Firman untuk mendorong warga jemaat untuk memberi persembahan guna mendukung misi dan pelayanan gereja. Melalui pendapatnya tersebut, Ihalauw mengatakan bahwa penatalayanan gereja di GPIB Kasih Karunia Medan belum berjalan dengan baik dan semestinya.
51
Berdasarkan pendapat keempat narasumber, bahwa melalui peranan penatalayanan gereja didorong untuk dapat menghasilkan sumber pemasukan yang baru atas hasil usahanya sendiri. Tujuannya adalah agar sumber pemasukan dana gereja tidak hanya mengandalkan dari pemberian warga jemaat. Sehingga gereja juga memikul tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan gereja akan dana. Ihalauw mengatakan, bahwa gereja diperbolehkan untuk membuat/ memiliki unit – unit usaha. Usaha yang dilakukan oleh gereja seperti yang David sampaikan, yakni suatu usaha yang berkelanjutan dan berlangsung terus menerus. Uang yang dihasilkan melalui usaha tersebut, dipergunakan untuk melaksanakan misi dan pelayanan gereja (David dan Ryan). Ryan juga menggaris – bawahi, bahwa usaha yang dilakukan oleh gereja harus berjalan dalam koridornya, maksudnya agar usaha tersebut tetap membawa semangat gerejawi. 3.2.6. Kemandirian dana dalam Tata Gereja dan PKUPPG Tata gereja peraturan No 12 menjabarkan mengenai badan hukum/ badan usaha/ unit kerja GPIB. Badan usaha miliki gereja (BUMG) adalah badan hukum GPIB yang merupakan badan pelaksanaan kegiatan usahsa yang tidak bertentangan dengan semangat gerejawi dan bermanfaat sebagai sarana pendukung yang menunjang dan menumbuh kembangkan kemandirian GPIB. Usaha yang dimaksudkan adalah semua kegiatan yang tidak bertentangan dengan tata gereja GPIB, serta ketentuan dan peraturan lainnya. Tugas dan wewenang BUMG adalah merancang dan melaksanakan kegiatan usaha yang bermanfaat demi menunjang dan menumbuh – kembangkan kemandirian ekonomi gereja. PKUPPG kepanjangan dari pokok – pokok kebijakan umum panggilan dan pengutusan gereja, merupakan acuan jangka panjang GPIB untuk melaksanakan pelayanan dan kesaksian ditengah – tengah gereja, masyarakat dan dunia dalam suatu periode tertentu yakni 20 tahun. PKUPPG merupakan keputusan gerejawi dan sifatnya mengikat semua jemaat dalam lingkup GPIB. PKUPPG menjadi rumusan umum dari program GPIB secara
52
sinodal yang menyangkut program jangka panjang 20 tahun, jangka pendek 5 tahun dan program tahunan. PKUPPG bertujuan untuk menjalankan visi dan misi GPIB yang disusun berdasarkan fungsi gereja yang dikenal dengan tri tugas panggilan gereja, yakni persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Agar fungsi misioner tersebut dapat terwujud dengan baik maka perlu ditunjang oleh sumber daya gereja. Jadi sumber daya gereja berfungsi sebagai penunjang terhadap proses administrasi. Penunjang yang dimaksud adalah sumber daya insani, dana, fasilitas dan sistem informasi. PKUPPG jangka panjang II (2006 – 2026) menetapkan bahwa GPIB perlu melihat jauh kedepan pada kurun waktu selama 20 tahun agar dapat memposisikan diri dalam berpartisipasi di kancah pembangunan Indonesia dengan mempertimbangkan faktor – faktor perubahan dalam negeri juga faktor modernisasi dan globalisasi. Sasaran PKUPPG II 2006 – 2026 dalam bidang dana yakni: a. Adanya dana kemandirian yang mampu membiayai seluruh kebutuhan operasional. b. Tersedia sumber dana yang dapat membiayai seluruh kebutuhan pos – pos Pelkes. c. Seluruh warga jemaat sudah memberikan persembahan perpuluhan. d. Badan Usaha Milik Gereja sudah berperan membantu Majelis Sinode maupun Majelis Jemaat. e. Tersedianya sumber daya dan dana yang optimal yang dapat digunakan dikelola secara teratur dalam koridor hukum yang ditaati bersama oleh semua unsur – unsur dalam sistem GPIB. Adapun strategi yang dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut yakni: a. Memberdayakan dana surplus di jemaat untuk dikelola oleh Badan Dana Kemandirian.
53
b. Memanfaatkan asset yang tidak aktif untuk dijadikan modal Badan Usaha Milik Gereja (BUMG). c. Secara bertahap membina warga jemaat tentang persembahan perpuluhan. Dalam bidang dana (sektor penunjang), sasaran yang ingin dicapai pada PKUPPG jangka pendek kedua 2011 – 2016 yakni: a. Tersedianya sumber dana yang memadai, dikelola secara profesional guna menunjang tugas panggilan gereja, terutama di jemaat minus dan pos – pos pelkes yang tertinggal. b. Melanjutkan pelatihan kemandirian ekonomi jemaat tahun 2006 – 2011 oleh tenaga profesional. c. Tersedianya dana abadi/ kemandirian bagi GPIB guna menjamin program organisasi dan pelayanan di seluruh GPIB. d. Membina pemahaman dan kesadaran memberi secara pribadi, kelompok dan jemaat. e. Terciptanya kesadaran bantuan antar jemaat dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. f. Tersedianya tenaga keuangan profesional gereja guna mengelola administrasi keuangan dan dana serta fasilitas di tingkat sinodal dan jemaat lokal. g. Melanjutkan sistem pengendalian internal pengelolaan dana untuk seluruh jajaran GPIB. h. Bekerjasama
dengan
pemerintah
dan
komponen
masyarakat
memanfaatkan dana yang ada. Berdasarkan penjelasan dan pemaparan dokumen GPIB yakni Tata Gereja dan PKUPPG, GPIB baik ditingkat sinodal maupun jemaat diarahkan untuk mengembangkan
54
kemandirian gereja dalam bidang dana. Gereja dituntun untuk memberdayakan dan mengelola potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk dapat menciptakan kemandirian dana. Kemandirian dana yang dimaksudkan oleh kedua dokumen ini adalah sumber pemasukan dana yang dimiliki oleh gereja tidak hanya berasal dari pemberian jemaat, melainkan gereja juga dapat berusaha sejalan dengan semangat gerejawi. Kedua dokumen ini memberikan jalan bagi GPIB baik pada tingkat sinode maupun jemaat, untuk memiliki/ mempunyai BUMG (badan usaha milik gereja). 3.3.
Kesimpulan
GPIB merupakan gereja keempat yang dilembagakan yang berasal dari lingkungan GPI pada tanggal 31 Oktober 1948. GPI dikenal juga dengan gereja negara, negara Hindia – Belanda yang bertanggung jawab mengenai keuangan gereja. konsekuensi sebagai gereja negara mengakibatkan gereja menjadi suatu alat untuk mendukung bentuk imperialisme yang terjadi, selain itu negara mengikat gereja dengan ketat. Lahirnya GPIB disebabkan adanya perkembangan baru yang berlaku dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki adanya pemisahan antara gereja dan negara, pemisahan yang menyangkut soal administrasi dan keuangan. GPIB merupakan gereja missioner yang melaksanakan amanat Tuhan Yesus Kristus melalui visi dan misinya. GPIB menerapkan sistem presbiterial sinodal untuk mengembangkan panggilan dan pengutusannya, sistem ini berasal dari tradisi Calvinis yang mewarnai GPIB. Hubungan antara majelis sinode dan majelis jemaat merupakan hubungan timbal balik, dan kepemimpinan terletak pada presbiter. GPIB menata kehidupannya dengan bersumber pada Firman Allah, penataan ini sendiri dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan imamat Am dan ketaatan kepada Yesus Kristus. Penataan kehidupan bergereja disusun dalam Tata gereja. Tata gereja merupakan susunan seluruh aturan gereja yang berfungsi untuk mengatur dan 55
memberikan arah bagi seluruh kegiatan gereja sehingga terdapat keserasian, keseimbangan dan keselarahan dalam kehidupan bergereja. Pada rencana program GPIB Kasih Karunia Medan, penerimaan dana yang dimiliki oleh gereja sebagian besar berasal dari pemberian jemaat. Jika melihat pada presentasenya maka 92,90 % penerimaan pemasukan keuangan gereja berasal dari persembahan dan kolekte. Persembahan yang dimaksudkan adalah persembahan tetap bulanan dan persembahan syukur, sedangkan yang dimaksukan dengan kolekte adalah kolekte yang terdapat dalam berbagai ibadah – ibadah yang dilaksanakan oleh gereja. Berdasarkan dari hasil wawancara maupun melihat pada rencana program jemaat Kasih Karunia, gereja tidak memiliki suatu usaha sendiri yang dapat menghasilkan sumber pemasukan yang baru, sehingga dapat dilihat bahwa pelaksanaan penatalayanan baru sebatas pada pengelolahan dan pengaturan terhadap dana yang dimiliki. Gereja belum memberdayakan dana yang dimilikinya. Padahal dalam tata gereja dan PKUPPG yang telah disusun dalam pertemuan sinodal. Dalam kaitannya dengan dana GPIB mengarahkan agar gereja dapat menumbuh – kembangkan kemandirian dananya dan memiliki suatu usaha yang bertujuan untuk menghasilkan sumber pemasukan yang baru.
56