BAB III DASAR PERANCANGAN INSTALASI AIR CONDITIONING
3.1 Perngertian dan Standar Pengkondisian Udara Bangunan
Pengkondisian udara adalah suatu usaha ang dilakukan untuk mengolah udara dengan cara mendinginkan, mengeringkan atau bahkan membersihkan udara suatu ruangan agar mencapai kondisi nyaman. Ruangan dengan kondisi yang Nyaman sangat di butuhkan penghuni di dalamnya untuk melakukan suatu aktivitas. Peningkatan produktivitas kerja dapat dicapai apabila lingkungan kerja disekitarnya nyaman dan kondusif. Kondisi perencanaan dalam merancang sistem pengkondisian udara telah di atur di dalam standar nasional Indonesia. Berdasarkan SNI 6390:2011 untuk memenuhi kenyamanan termal pengguna bangunan kondisi perancanaan gedung di wilayah dataran rendah dengan tempratur udara maksimum rata rata sekitar 34°C DB dan 27°C WB ditetapkan bahwa perencanaan kondisi ruang kerja bertemperatur bola kering berkisal antara 24°C hingga 27°C ± 1,5°C dengan kelembaban 65% ± 10% . Untuk dapat mencapai kondisi nyaman ruangan kerja sesuai standar tersebut maka dibutuhkan suatu sistem pengkondisian udara. Perancangan sistem pengkondisian udara didasarkan pada estimasi beban pendingin ruangan, sehingga udara diperoleh sistem pengkondidian udara yang paling sesuai dengan kondisi ruangan tersebut. Estimasi beban pendingin yang harus dilakukan karena adanya perubahan kondisi udara di luar gedung yang terus-menerus berubah sepanjang hari. Pengertian dari beban pendingin adalah laju pengambilan energi panas oleh mesin pendingin dari udara didalam ruangan. Fungsi dari pengambilan energi panas tersebut adalah untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara didalam ruangan agar tetap berada didalam kisaran kondisi yang didinginkan. Untuk melakukan estimasi beban pendinginan gedung pada perancangan ini, di gunakan software cooling load estimation Trace® 700 version 6.2.5.1 yang berbasis pada Laporan Kerja Praktek
9
metode CLTD (Cooling Load Temperature Difference)/CLF (Cooling Load Factor) .
3.2 Siklus Pendingin Kompresi Uap
Siklus pendingin kompresor uap adalah satu siklus perpindahan energi yang diterapkan pada sebuah mesin pendingin. Mesin pendingin yang menerapkan siklus pendingin kompresi uap pada umumnya banyak di gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu keuntungan menggunakan siklus kompresi uap adalah tidak membutuhkan tempat yang relatif besar karena bentuk dan ukurannya yang kompak. Komponen utama yang terdapat pada siklus ini yaitu kompresor, kondensor, evaporator dan alat ekspansi. Pada gambar 3.1 berikut dapat dilihat skema sederhana .
Gambar 3.1. skema peralatan pada siklus mesin pendingin kompresor uap Penjelasan dari proses siklus pendingin kompresi uap adalah sebagai berikut. Pada proses (1-2), fluida kerja berupa refrigeran memasuki kompresor sehingga tekanan uap refrigeran akan naik dengan naiknya temperatur uap refrigeran tersebut. Pada proses (2-3), uap refrigeran akan masuk kedalam kondensor untuk didinginkan dan terjadilah proses perubahan fasa refrigeran dari uap menjadi cairan. Proses pendinginan tersebut terjadi akibat adanya pertukaran panas antara uap refrigeran dengan fluida pendingin biasanya berupa udara sekitar atau air pendingin. Pada proses (3-4), refrigeran yang sudah berbentuk fasa cair masuk ke alat ekspansi, di dalam alat ekspansi tersebut tekanan refrigeran di turunkan, sehingga saat refrigeran keluar dari alat ekspansi refrigeran berfasa campuran cair dan uap, proses
Laporan Kerja Praktek
10
berlangsung pada entalphi konstan. Pada proses (4-1), terjadi proses penguapan refrigeran. Proses penguapan ini terjadi karena adanya pertukaran panas antara refrigeran dengan fluida yang didinginkan. Pada saat keluar dari evaporator refrigeran akan berfasa uap jenuh. Proses selanjutnya refrigeran akan masuk kembali menuju kompresor, dan begitu seterusnya. Diagram P-H dari siklus pendingin kompresor uap pada sebuah mesin pendingin di tunjukan pada Gambar 3.2. Pada diagram tersebut terdapat garis putusputus yang menunjukan proses standar dari siklus kompresi uap, dan garis penuh menunjukkan proses aktual yang berlangsung. Perbedaannya pada siklus aktual terjadi penurunan tekanan pada peralatan evaporator dan kondensor, serta terjadi kenaikan entropi pada kompresor.
Gambar 3.2. diagram P-h siklus pendingin kompresi uap ideal dan aktual Untuk menentukan prestasi dari sebuah mesin pendingin dapat di tentukan dari nilai Coefficient Of Performance (COP) atau dengan nilai Energy Efficiency Ratio (EER). Nilai COP adalah perbandingan antara besar laju perpindahan panas yang terjadi di evaporator (Qev) dibandingkan dengan laju kerja yang di butuhkan kompresor (Wk) seperti yang di tunjukkan pada Persamaan (3.1). dan nilai EER adalah perbandingan laju perpindahan panas yang terjadi di evaporator dibandingkan dengan laju kerja yang di butuhkan seluruh peralatan yang berada pada siklus kompresi uap (Wp). Peralatan yang di maksud adalah kompresor, fan evaporator, dan
Laporan Kerja Praktek
11
fan condensor. Besarnya nilai EER di tunjukkan pada persamaan (3.2). (3.1) (3.2) Keterangan : = Coefficient Of Performance EER = Energy Efficiency Ratio (%) = Laju Perpindahan Panas Evaporator (KW) = Laju Kerja Kompresor (KW) = Laju Kerja Peralatan (KW)
3.3 Langkah-langkah Perhitungan Estimasi Beban Pendingin Dalam menghitung beban pendinginan gedung terdapat beberapa hal penting yang perlu diperlakukan diantaranya yaitu: 1. Data spesifikasi bangunan Data spesifikasi bangunan dapat berupa dimensi bangunan, arah orientasi bangunan, dan data fisik. Data tersebut dibutuhkan untuk menyediakan informasi terkait hal-hal perhitungan beban pendingan. 2. Kondisi ruangan dalam Komdisi
ruangan
dalam
merupakan
kondisi
temperatur
dan
kelembaban yang di tetapkan sedemikian rupa sehingga penghuni merasa nyaman di dalam ruangan. 3. Kondisi udara luar Kondisi udara luar merupakan data parameter cuaca berupa temperatur bola kering (Tdb) dan kelembaban relatif (RH) yang ditetapkan sebagai acuan dasar perhitungan beban pendingin. 4. Pengelompokan beban pendingin
Laporan Kerja Praktek
12
Secara umum beban pendingin dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu panas sensibel, panas laten, dan panas total. 5. Perhitungan beban pendinginan Beban pendingin yang diperhitungkan dalam perhitungan terbagi menjadi dua bagian, yaitu beban internal dan beban eksternal. Beban internal adalah beban panas yang berasal dari dalam ruangan yang dikondisikan, sedangkan beban eksternal adalah beban panas yang berasal dari luar ruangan yang di kondisikan. 6. Rekapitulasi hasil perhitungan beban pendingin Setelah beban-beban pendinginan tersebut dihitung lalu dilakukan proses rekapitulasi data berdasarkan kelompoknya sehingga dapat digunakan sebagai dasar acuan dalam merancang sistem pengkondisian udara. 3.3.1 Data Spesifikasi Bangunan Data spesifikasi bangunan berupa data fisik sangat diperlukan dalam proses perhitungan estimasi beban pendingin. Data fisik tersebut meliputi beberapa hal seperti lokasi gedung, letak geografis, orientasi gedung, fungsi gedung, material fisik gedung, koefisien perpindahan panas global gedung, serta denah ruangan dalam gedung. 3.3.2 Komponen Fisik Gedung dan Koefisien Perpindahan Panas Global Sebuah gedung memiliki beberapa komponen fisik penyusun dengan fungsi tertentu. Salah satu fungsi terpenting yaitu sebagai pelindung dari perubahan cuaca yang terjadi di lingkungan luar sekitar gedung. Tidak hanya melindungi dari perubahan cuaca tetapi juga melindungi dari pancaran panas matahari yang diterima sepanjang hari. Komponen fisik gedung tersebut berupa atap, dinding, kaca jendela, plafon, dan lantai. Karena adanya panas yang diterima oleh gedung sepanjang waktu setiap harinya maka komponen fisik penyusun gedung akan menyerap energi panas tersebut dan menghantarkannya ke dalam gedung.
Laporan Kerja Praktek
13
Dengan timbulnya laju perpindahan panas yang terjadi pada masingmasing komponen fisik gedung menyebabkan perhitungan koefisien perpindahan panas global suatu komponen fisik penyusun gedung menjadi penting. Hasil perhitungan koefisien perpindahan panas global tersebut akan menjadi salah satu faktor dalam perhitungan beban pendinginan yang terjadi. Koefisien perpindahan panas global merupakan suatu nilai dari penjumlahan hambatan termal konduksi dan konveksi. Fungsi dari perhitungan tersebut yaitu digunakan
untuk
mengetahui
besarnya energi panas yang masuk ke dalam gedung. Semakin besar nilai dari koefisien perpindahan panas global maka akan semakin
besar juga laju energi panas yang terjadi. Hal yang menentukan nilai
koefisien perpindahan panas global adalah bahan-bahan penyusun masing-masing komponen fisik bangunan. Untuk mendapatkan nilai koefisien perpindahan panas global diperlukan data seperti ketebalan (t) dari bahan penyusun, dan nilai konduksivitas termal bahan (k) yang digunakan untuk menghitung nilai hambatan termal konduksi (R). Besarnya nilai hambatan termal konduksi (R) ditunjukkan pada Persamaan (3.3). (3.3) Keterangan : R = Hambatan termal konduksi (
K/W)
t = Ketebalan bahan penyusun (m) k = Konduktivitas termal bahan penyusun (W/mK) Setelah mendapatkan nilai hambatan termal konduksi (R) maka nilai koefisien perpindahan panas global akan didapat. Besarnya nilai koefisien perpindahan panas global ditunjukkan pada Persamaan (3.4). (3.4) Keterangan : U = Koefisien perpindahan panas global (W/m2K)
Laporan Kerja Praktek
14
R = Hambatan termal konduksi (m2K/W) Untuk masing-masing komponen fisik penyusun gedung memiliki nilai koefisien perpindahan panas global tersendiri. Komponen fisik berupa atap, dinding, plafon, kaca jendela, partisi, dan lantai masing-masing juga memiliki komponen penyusun yang berbeda beda satu dengan yang lainnya sehingga perlu dilakukan perhitungan secara rinci untuk mendapatkan nilai koefisien perpindahan panas global. Di bagian teratas dari sebuah gedung terdapat dua bagian penyusun yaitu atap dan plafon atau langit-langit. Atap merupakan penyusun bangunan atas yang berkontak langsung dengan udara luar dan menyerap energi panas matahari secara langsung. Sedangkan plafon adalah komponen penyusun gedung di sisi atas berfungsi untuk membatasi ruangan yang ingin dikondisikan dengan ruangan diatasnya. Data terkait material penyusun, ketebalan tiap lapisan, dan besarnya koefisien perpindahan panas global atap akan ditunjukkan pada Tabel 3.2, dan untuk plafon akan ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.2 Koefisien perpindahan panas global atap
Laporan Kerja Praktek
15
Tabel 3.3 Koefisien perpindahan panas global plafon
Bagian sisi samping gedung terdapat dua komponen fisik penyusun yaitu dinding, dan kaca jendela. Dinding adalah penyusun bagian sisi terbesar pada sebuah gedung dan terdiri dari dua bagian yaitu dinding sisi luar (outer wall) serta dinding sisi dalam (inner wall). Dinding sisi luar (outer wall) merupakan bagian dinding yang berkontak langsung dengan udara luar, sedangkan untuk dinding sisi dalam (inner wall) merupakan dinding yang membatasi ruangan dengan ruangan lain. Untuk dinding sisi dalam (inner wall) dapat juga digunakan sebagai bagian dari partisi di dalam sebuah ruangan. Partisi adalah bagian dinding yang membatasi antara ruangan yang dikondisikan dengan ruangan yang tidak dikondisikan. Data terkait material penyusun, ketebalan tiap lapisan dan besarnya koefisien perpindahan panas global ditujukkan pada Tabel 3.4.
Laporan Kerja Praktek
16
Tabel 3.4 Koefisien perpindahan panas global outer wall dan inner wall
3.3.3 Kondisi Ruangan Dalam Gedung Kondisi yang akan dikondisikan pada ruangan di dalam gedung adalah temperatur dan kelembaban. Menurut SNI 6390:2011 temperatur dan kelembaban standar untuk mencapai kenyamanan di Indonesia adalah 25,5ºC ± 1,5ºC dan kelembaban relatif 60% ± 5%.
3.3.4 Kondisi Ruangan Luar Gedung Parameter cuaca yang diterapkan untuk menentukan kondisi udara di luar ruangan adalah temperatur bola kering (Tdb) dan kelembaban relatif (RH) udara setiap bulan. Kondisi udara di luar gedung menurut standar ASHRAE yang diterapkan pada software cooling load estimation Trace® 700 ditunjukkan pada Tabel 3.6.
Laporan Kerja Praktek
17
Tabel 3.6 Temperatur dan kelembaban relatif udara udara kota Jakarta
3.3.5 Pengelompokan Beban Pendinginan Beban pendinginan yang harus diatasi oleh peralatan sistem pengkondisian udara terbagi menjadi tiga komponen utama yaitu beban panas sensibel, beban panas laten, dan beban panas total. Beban panas sensibel merupakan panas yang dihasilkan akibat dari adanya perbedaan temperatur antara luar gedung dengan di dalam ruangan. Beban panas laten merupakan panas yang dihasilkan oleh perubahan fasa uap air yang terkandung di udaran di dalam ruangan. Sedangkan beban panas total adalah total akumulasi dari beban panas sensibel dan beban panas laten.
3.4 Perhitungan Beban Pendinginan Sumber dari beban pendinginan dapat berasal dari dalam maupun luar ruangan. Beban pendinginan yang berasal dari luar ruangan disebut sebagai beban eksternal, sedangkan beban pendinginan yang berasal dari dalam ruangan disebut sebagai beban internal. Dari dua macam kategori beban tersebut dapat dihitung besar beban pendinginan yang terjadi secara terpisah. Perhitungan secara rinci terhadap dua kategori beban tersebut sangat diperlukan untuk memperkirakan beban pendinginan yang terjadi.
Laporan Kerja Praktek
18
3.4.1 Perhitungan Beban Pendinginan Eksternal Beban eksternal merupakan beban panas yang berasal dari luar ruangan. Beban eksternal dapat berupa beban akibat adanya radiasi, beban akibat adanya konduksi, dan beban akibat terjadinya pertukaran udara. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing beban eksternal tersebut : 1. Beban pendinginan akibat radiasi Radiasi panas dari matahari yang terjadi terhadap gedung merupakan salah satu sumber panas yang diperhitungkan dalam menentukan beban pendinginan ruangan. Beban panas akibat radiasi terjadi melalui kaca yang terpasang di sisi samping sebuah gedung. Besar radiasi yang terjadi melalui kaca disebut dengan Solar Heat Gain Factor (SHGF). Faktor lain yang menentukan kemampuan kaca dalam meneruskan panas yang berasal dari matahari adalah nilai Shading Coefficient (SC). Nilai koefisien tersebut berkisar pada rentang angka 0 sampai 1. Setiap jenis kaca pasti memiliki nilai SC masing-masing yang berbeda. Pada software cooling load estimation Trace® 700 nilai SC akan didapatkan dengan memilih jenis kaca yang digunakan. Besarnya nilai kalor radiasi yang terjadi akan terus berubah-ubah sepanjang waktu setiap harinya. Sehingga untuk mewakili nilai radiasi tersebut dapat digunakan suatu koefisien yaitu Cooling Load Factor (CLF). Hal lain yang diperlukan dalam menghitung nilai kalor radiasi adalah luas permukaan kaca. Perhitungan beban pendinginan akibat radiasi yang terjadi pada kaca ditunjukkan pada Persamaan (3.5). (3.5)
= A x SC x SHGF x CLF
Keterangan : = Beban pendinginan akibat radiasi matahari (W) A = Luas permukaan kaca (
)
SC = Shading Coefficient SHGF = Solar Heat Gain Factor Laporan Kerja Praktek
19
CLF = Cooling Load Factor untuk kaca 2. Beban pendinginan akibat konduksi Besar kalor konduksi yang terjadi pada gedung berasal dari fenomena perpindahan panas melalu dinding. Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya perbedaan temperatur antara udara luar dengan udara yang berada di dalam ruangan. Beban panas konduksi yang dialami oleh dinding gedung selalu berubah dalam kondisi tidak tunak. Apabila beban konduksi masih dalam kondisi tunak dapat dihitung dengan Persamaan (3.6). =UxAx(
(3.6)
)
Keterangan : = Laju perpindahan panas konduksi (W) U = Koefisien perpindahan panas global (W/
K)
A = Luas area perpindahan panas (m2) = Temperatur udara luar (K) = Temperatur udara dalam (K) Persamaan (2.6) tidak berlaku jika keadaan tidak tunak. Sedangkan untuk mendapatkan besar beban pendinginan akibat konduksi diperlukan nilai beban konduksi dalam keadaan tidak tunak. Sehingga dibutuhkan suatu koefisien yang dapat mengganti sehingga beban pendinginan akibat konduksi dapat dihitung. Nilai koefisien tersebut adalah cooling load temperature difference (CLTD). Nilai CLTD menggambarkan perbedaan temperatur yang sama dengan laju panas akibat perbedaan temperatur udara luar dan ruangan tiap waktu. Hal yang mempengaruhi besarnya nilai CLTD adalah posisi relatif matahari, posisi konstruksi bangunan, orientasi arah bangunan, dan letak geografis. Untuk dapat menghitung laju perpindahan panas akibat konduksi dapat dihitung dengan Persamaan (3.7).
Laporan Kerja Praktek
20
(3.7)
= U x A x CLTD
Keterangan : = Laju perpindahan panas konduksi (W) U = Koefisien perpindahan panas global (W/ A = Luas area perpindahan panas (
K)
)
CLTD = Cooling load temperature difference (K) 3. Beban pendinginan akibat pertukaran udara Pertukaran udara pada suatu ruangan sangat diperlukan yaitu untuk mendapatkan udara yang lebih bersih dan segar. Udara akibat dari pertukaran udara akan membuat ruangan tetap nyaman dihuni. Pertukaran udara dibagi menjadi dua macam yaitu yang terjadi secara disengaja dan tidak disengaja. Pertukaran udara yang disengaja yaitu melalui ventilasi, seperti melalui sebuah pengolah udara. Sedangkan pertukaran udara secara tidak disengaja disebut infiltrasi, yaitu pertukaran udara melalui celah sempit pada atap, jendela, atau bahkan pintu. Pertukaran udara yang terjadi akibat perbedaan temperatur dan kelembaban di dalam dan luar ruangan akan menghasilkan beban pendinginan ruangan, sehingga harus diatasi oleh peralatan sistem pengkondisian udara. Beban pendinginan akibat adanya pertukaran udara terbagi menjadi dua macam yaitu beban pertukaran udara sensibel dan beban pertukaran udara laten. Beban pertukaran udara sensibel dipengaruhi oleh perbedaan temperatur antara ruangan yang dikondisikan dengan udara luar. Untuk menghitung besar beban pertukaran udara sensibel dapat menggunakan Persamaan (3.8). OASH = 1,08 x cfm x (
(3.8)
)
Keterangan : OASH = Beban pendinginan sensibel akibat pertukaran udara (Btu/h) cfm = Laju aliran udara (f /s) Laporan Kerja Praktek
21
To = Temperatur udara luar (
)
Ti = Temperatur udara dalam (
)
Sedangkan beban pertukaran udara laten dipengaruhi oleh rasio kelembaban udara dan dapat dihitung dengan Persamaan (3.9). OALH = 0,68 x cfm x (
)
(3.9)
Keterangan : OALH = Beban pendinginan laten akibat pertukaran udara (Btu/h) cfm = Laju aliran udara (f /s) Wo = Rasio kelembaban udara luar (grains uap air/lb udara kering) Wi = Rasio kelembaban udara dalam (grains uap air/lb udara kering) Besar nilai cfm yang digunakan diatur di dalam standar nasional Indonesia nomor SNI 03-6572-2001. Pada aturan standar tersebut tercantum besaran kebutuhan laju udara ventilasi untuk beberapa
jenis fungsi gedung, sebagai contoh untuk apartemen dan
ruang kerja kantor membutuhkan 0,15 (
/min)/orang.
3.4.2 Perhitungan Beban Pendinginan Internal Beban pendinginan internal adalah beban pendinginan yang berasal dari dalam ruangan. Beban tersebut dapat bersumber dari panas penghuni yang sedang beraktivitas, panas dari lampu yang menyala, dan peralatan listrik di dalam ruangan yang sedang dioperasikan. Ketiga sumber panas tersebut akan menghasilkan panas ke lingkungan sekitarnya. Bentuk panas tersebut dikategorikan menjadi dua macam beban pendinginan yaitu beban sensibel dan beban laten. Berikut adalah penjelasan terkait beban pendinginan internal yang terjadi di dalam ruangan : 1. Kalor penghuni Tubuh manusia saat melakukan aktivitas secara umum akan menghasilkan panas. Panas tersebut berasal dari proses oksidasi di dalam tubuh yang biasa disebut dengan metabolisme. Beban panas yang dihasilkan dibagi menjadi dua jenis yaitu beban sensibel dan beban laten.
Laporan Kerja Praktek
22
Beban sensibel terjadi karena adanya proses radiasi dari tubuh manusia ke permukaan benda sekitar dan proses konveksi dari permukaan tubuh ke udara sekitar. Sedangkan beban laten dihasilkan melalui air yang menguap pada permukaan tubuh, dan melalui proses pernafasan. Besarnya nilai beban sensibel dan laten dari tubuh manusia dengan berbagai aktivitas telah diatur di dalam standar nasional Indonesia (SNI 03-6572-2001). Data terkait besarnya nilai beban sensibel dan beban laten ditunjukkan pada Tabel 3.7. Tabel 3.7 Laju pertambahan kalor dari penghuni di dalam ruangan
Laporan Kerja Praktek
23
Untuk menghitung besar beban pendinginan yang dihasilkan oleh penghuni yang beraktifitas dapat dihitung menggunakan Persamaan (3.10) dan Persamaan (3.11). =N x
(3.10)
=N x
(3.11)
Keterangan : = Beban pengdinginan sensibel penghuni (W) = Beban pendinginan laten penghuni (W) N = Jumlah penghuni = Panas sensibel penghuni berdasarkan aktivitas (W) = Panas laten penghuni berdasarkan aktivitas (W) 2. Beban pendinginan akibat lampu Beban pendinginan akibat lampu berasal dari panas yang dihasilkan lampu saat beroperasi. Lampu beroperasi dengan cara mengubah energi listrik menjadi panas dan cahaya. Panas yang terjadi pada lampu disalurkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui radiasi ke permukaan sekitar, melalui konduksi ke material terdekat dan konveksi ke udara sekitar. Lampu terbagi menjadi dua jenis yaitu lampu incandescent dan fluorescent. Kedua jenis lampu tersebut dibedakan berdasarkan kemampuannya. Untuk lampu incandescent mengubah 10% daya input menjadi cahaya, sedangkan 90% dihasilkan menjadi panas. Panas tersebut disalurkan melalui radiasi sebesar 80% dan 10% melalui konveksi dan konduksi. Sedangkan lampu fluorescent mengubah 25% daya input menjadi cahaya, dan 75% menjadi panas. Panas disalurkan melalui radias sebesar 25% da 50% melalui konveksi dan konduksi ke dalam ruangan. Perhitungan untuk mendapatkan beban pendinginan dari lampu untuk lampu jenis incandescent dan fluorescent berbeda. Pada lampu
Laporan Kerja Praktek
24
fluorescent memiliki faktor pengali yaitu ballast factor. Beban pendinginan dari lampu dapat dihitung dengan Persamaan (3.12) untuk lampu incandescent dan Persamaan (3.13) untuk lampu fluorescent. = total light watts x
(3.11)
= 1,25 x total light watts x
(3.13)
Keterangan : = Beban pendinginan lampu (W) Total light watts = Panas sensibel yang dihasilkan lampu (W) = Cooling Load Factor lampu 3. Beban pendinginan akibat peralatan listrik Peralatan listrik yang digunakan di dalam ruangan dapat menimbulkan panas sehingga menjadi salah satu sumber beban pendinginan. Pada umumnya jenis beban panas yang dihasilkan oleh peralatan listrik yang sedang beroperasi adalah beban sensibel dan beban laten. Contoh beban panas yang berasal dari peralatan listrik yang sedang dioperasikan adalah panas dari motor listrik, setrika uap, fan, pompa, dll. Perhitungan beban pendinginan akibat dari peralatan listrik yang beroperasi di dalam ruangan dapat dihitung dengan Persamaan (3.14) untuk beban sensibel, Persamaan (3.15) untuk beban laten, dan Persamaan (3.16) untuk beban sensibel dari motor listrik =N x
x
(3.14)
=N x =N x
(3.15) x (1
)
(3.16)
Keterangan : = Beban pendinginan sensibel peralatan listrik (W) = Beban pendinginan laten peralatan listrik (W) = Beban pendinginan sensibel motor listrik (W) N = Jumlah peralatan = Panas sensibel peralatan listrik (W) Laporan Kerja Praktek
25
= Panas laten peralatan listrik (W) = Panas sensibel motor listrik (W) = Cooling Load Factor peralatan listrik = Efisiensi motor listrik
3.5 Rekapitulasi hasil perhitungan beban pendinginan Rekapitulasi hasil perhitungan beban pendinginan adalah perhitungan akumulatif dari total beban pendinginan yang terjadi baik dari luar ruangan maupun dari dalam ruangan. Beban pendinginan yang terjadi dikelompokkan berdasarkan jenis panas yang terjadi yaitu beban panas sensibel dan beban panas laten. Dari total tersebut akan diperoleh panas total dan sensible heat factor sehingga dapat memilih peralatan sistem pengkondisian udara yang tepat. 3.6 Jenis Peralatan Sistem Pengkondisian Udara Peralatan sistem pengkondisian udara adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengkondisikan udara dan terdiri dari beberapa bagian di dalamnya. Peralatan sistem pengkondisian udara dibagi menjadi dua jenis yaitu sistem ekspansi langsung (direct expansion) dan sistem chiller.
3.6.1 Sistem Ekspansi Langsung (Direct Expansion) Peralatan sistem pengkondisian udara dengan sistem ekspansi langsung digunakan untuk pendinginan kapasitas kecil sampai menengah. Disebut dengan sistem ekspansi langsung karena memiliki koil yang langsung terhubung dengan alat ekspansi. Ciri-ciri dari sistem ekspansi langsung adalah memiliki sistem yang kompak, tidak membutuhkan instalasi pipa air sejuk, mudah dipasang baik di dalam ruangan yang dikondisikan maupun berdekatan, dan peralatan sistem ekspansi langsung relatif terjangkau dari segi biaya.Penggunaan sistem ekspansi langsung secara umum diterapkan di rumah, dan kantor pribadi dengan ukuran yang relatif kecil. Sistem ekspansi langsung dengan sistemnya yang sederhana menggunakan komponen-komponen utama pada mesin pendingin. Peralatan sistem pengkondisian sistem ekspansi langsung terbagi menjadi tiga jenis yaitu sistem unit jendela (window Laporan Kerja Praktek
26
unit), sistem unit terpisah (split unit), dan sistem package unit.
3.6.1.1 Sistem Unit Jendela (Window Unit) Pada sistem unit jendela kondensor dan evaporator berada di dalam satu tempat tidak terpisah. Secara umum unit tersebut ditempatkan pada tembok, coil unit (evaporator) berada di sisi dalam ruangan dan condensing unit (kondensor) berada di sisi luar ruangan. Skema sistem unit jendela ditunjukkan pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Skema sistem unit jendela
3.6.1.2 Sistem Unit Terpisah (Split Unit) Sistem unit terpisah merupakan sistem dengan kondensor dan evaporator terpisah. Kondensor pada sistem ini ditempatkan di sisi luar ruangan dan dihubungkan dengan menggunakan pipa menuju evaporator yang berada di dalam ruangan. Pipa yang digunakan pada sistem ini berfungsi untuk mengalirkan refrigeran, sehingga pada umumnya pipa yang digunakan pada sistem unit terpisah relatif panjang. Peralatan pengkondisian udara sistem unit terpisah terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan letak evaporator, yaitu wall mounted unit, floor standing unit, concealed ceiling unit, suspended ceiling unit, dan cassette unit.Wall mounted unit adalah sistem unit terpisah dengan evaporator yang diletakkan di dinding. Floor standing unit adalah sistem unit terpisah dengan evaporator didirikan di Laporan Kerja Praktek
27
lantai. Concealed ceiling unit adalah sistem unit terpisah dengan evaporator yang diletakkan di dalam plafon. Suspended ceiling unit adalah sistem unit terpisah dengan evaporator yang digantung pada plafon. Cassette unit adalah sistem unit terpisah dengan evaporator diletakkan pada plafon. Contoh skema dari split unit sederhana tipe wall mounted unit ditunjukkan pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Skema sistem unit terpisah 3.6.1.3 Sistem Package Unit Sistem package unit memiliki skema sistem yang hampir sama dengan sistem unit jendela, akan tetapi pada sistem package unit dapat difungsikan untuk mengkondisikan banyak ruangan dan unit tidak diletakkan pada tembok atau jendela. Cara kerja sistem ini yaitu udara yang telah dikondisikan pada unit dialirkan ke dalam ruangan-ruangan melalui duct, begitu juga sebaliknya. Terdapat dua jenis sistem package unit yang terbagi berdasarkan fluida yang mendinginkan refrigeran pada bagian kondensor, yaitu sistem package unit berpendingin udara (air cooled), dan sistem package unit berpendingin air (water cooled). Pada sistem package unit air cooled fluida yang digunakan adalah udara yang berfungsi sebagai media pendingin
Laporan Kerja Praktek
28
dan dialirkan dengan menggunakan fan. Sedangkan pada sistem package unit water cooled fluida yang digunakan adalah air sebagai media pendingin dan dialirkan dengan peralatan tambahan seperti pompa serta menara pendingin. Skema package unit ditunjukkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Skema sistem package unit
3.6.2 Sistem Chiller Sistem chiller merupakan sistem kerja peralatan pengkondisian udara yang menggunakan siklus kompresi uap untuk mendinginkan air dan menghasilkan air sejuk. Air sejuk yang dihasilkan oleh sistem chiller digunakan untuk mendinginkan udara di setiap ruangan yang akan dikondisikan. Salah satu keunggulan sistem ini adalah dapat mengatasi beban pendinginan yang besar, sehingga pada umumnya sering diterapkan untuk bangunan tingkat tinggi. Komponen peralatan dari sistem chiller terdiri dari chiller unit pengolah udara, dan pompa. Prose pendistribusian air sejuk yang telah dihasilkan oleh chiller dilakukan dengan bantuan pompa. Air sejuk tersebut dialirkan menuju peralatan pengolah udara yang terdapat di setiap ruangan yang akan dikondisikan.
Laporan Kerja Praktek
29
Sistem chiller terbagi menjadi dua jenis berdasarkan fluida yang digunakan untuk mendinginkan refrigeran pada bagian kondensor, yaitu air cooled dan water cooled. Untuk jenis water cooled dibutuhkan peralatan tambahan berupa menara pendingin. Sedangkan untuk sistem pengolahan udara pada unit pengolah udara yang mengalirkan udara menuju ke dalam ruangan terbagi menjadi dua, yaitu sistem air keseluruhan (all water system) dan sistem udara keseluruhan (all air system). 3.6.2.1 Sistem Air Keseluruhan (All Water System) Sistem air keseluruhan merupakan sistem dengan peralatan pengolah udara berada di dalam atau di dekat ruangan yang akan dikondisikan. Air sejuk yang telah didinginkan akan mempertukarkan panas dengan udara yang berada di dalam ruangan menggunakan koil pendingin. Alat penukar panas tersebut disebut dengan fan coil unit. Untuk mengalirkan udara yang telah didinginkan ke dalam ruangan digunakan duct, begitu pula untuk udara balik. Air sejuk untuk mendinginkan udara disirkulasikan dalam suatu sistem tertutup menggunakan pipa dari mesin pendingin (chiller). Sebuah skema sistem air keseluruhan dan contoh penggunaannya ditunjukkan pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9 Sistem air keseluruan dan penggunaannya
Laporan Kerja Praktek
30
3.6.2.2 Sistem Udara Keseluruhan (All Air System) Sistem udara keseluruhan merupakan sistem dengan peralatan pengolah udara berada jauh dari ruangan yang dikondisikan. Pada sistem ini air sejuk dialirkan ke peralatan pengolah udara dan hanya udara yang dikondisikan yang dipasok ke dalam ruangan. Oleh karena posisi dari peralatan pengolah udara pada sistem ini letaknya jauh dari ruangan yang akan dikondisikan maka dibutuhkan sistem saluran udara (duct) untuk menyalurkan udara dingin yang telah dikondisikan ke dalam ruangan. Pada sistem udara keselurahan terbagi menjadi dua kategori yaitu sistem volume konstan dengan temperatur berubah-ubah, dan sistem temperatur konstan dengan volume yang berubah-ubah. Sistem volume konstan dengan temperatur berubah sangat cocok untuk ruangan dengan beban pendinginan yang stabil dan ventilasi yang tidak terlalu banyak, sedangkan sistem temperatur konstan dengan volume berubah digunakan pada ruangan dengan zona lebih dari satu. Skema sederhana terkait sistem udara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 3.10.
Gambar 3.10 Skema sistem udara keseluruhan
Laporan Kerja Praktek
31