BAB III BIOGRAFI DAN PENDAPAT ASY-SYAFI’I TENTANG HUKUM KAFARAT ISTRI YANG MELAKUKAN JIMA’ DI SIANG HARI RAMADHAN
A.
Biografi Asy-Syafi’i 1. Awal Kehidupan Asy-Syafi’i adalah seorang Imam Mujtahid yang terkenal dalam agama Islam. Seorang ahli ilmu pengetahuan yang lengkap, memiliki kepintaran dalam segala aspek agama dan pengikutnya tersebar di mana-mana. Dalam fatwanya terkenal “ Qoulul Qodim “ dan “ Qoulul Jadid “, yaitu perbedaan ijtihad beliau mengenai suatu masalah dalam agama yang disesuaikan dengan zamannya. Nama lengkap Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Hasyim bin Mutholib bin Abdul Manaf.1 Beliau juga terkenal dan sering dipanggil dengan nama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, beliau lebih dikenal dengan nama Asy-Syafi’i. Kata Syafi'i, dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin As Sa’ib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin
1
Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al Umm, jilid I, Bairut : Dar al-Kitab alAlamiah t.th., hlm 14
32
33
Usman bin Syafi’i bin As Sa’ib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Mutholib bin Abdul Manaf bin Qushais, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Ubaidillah bin Al Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Tholib. Dilihat dari keturunan bapak ibunya asy-Syafi’i keturunan Quraisy.2 Asy-Syafi’i dilahirkan di kampung Gazza, dekat pantai Laut Putih (Laut Mati), di tengah kota Palestina pada bulan Rajab 150 H atau 767 M3. Pada tahun ini wafat juga imam besar yaitu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.4 Sejak kecil beliau sudah dalam keadaan yatim, Syafi’i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam keadaan sederhana, bahkan menderita kesulitan. Setelah berusia 2 tahun ibunya membawa ke kampung halamannya yaitu Makkah. Di sinilah Syafi'i tumbuh dan dibesarkan. Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim, dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri ataupun malas. Sebaliknya, beliau giat belajar ilmuilmu ke Islaman yang asasi, seperti halnya setiap anak muslim pada saat itu, beliau mulai belajar Al Qur’an pada Syeh Isma’il bin Qustantain. Seorang ahli baca Al Qur’an yang terkenal di Makkah. Begitu tamat belajar beliau segera pergi ke kampung Badui Bani Huzail, yang terkenal dengan kehalusan bahasanya. Di sana selama bertahuntahun mendalami bahasa, kesusastraan serta syair-syair kepada pemuka suku.
2
Ibid, hlm 18 Abdul Rahman, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hlm159 4 Huzaimah Tahido Yogga, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1990, Cet-2, 3
hlm. 120
34
Setelah beberapa tahun beliau tidak merasa puas atas anjuran temannya beliau belajar mendalami fiqh dan hadits di Makkah. Ketika berumur 20 tahun, beliau meninggalkan Makkah menuju Madinah. Di sana beliau mengisi waktunya dengan mempelajari ilmu fiqh dan hadits dari Imam Malik yang sangat terkenal dengan kitabnya yaitu Al Muwatto’. Hampir sepuluh tahun beliau belajar hingga akhir hidupnya, Imam Malik memberi ijin kepadanya untuk berfatwa dalam ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan Hanafi tetapi berfatwa atas dasar mazhab sendiri5. Asy-Syafi’i tinggal bersama Imam Malik sampai Imam Malik meninggal dunia. Setelah wafatnya Imam Malik ( 179 H / 796 M ), kemudian beliau pergi ke Yaman. Di Nagraj Gubernur (Mush’ab bin Abdullah al-Quraisy) menugaskan beliau menjadi administrator atau sekretaris negara, di samping tetap melanjutkan karirnya menjadi seorang mufti. Sama seperti di Madinah, di sini (Yaman) beliau mempunyai banyak pengikut, maka oleh wali negeri Yaman beliau ketika berumur 29 tahun dinikahkan dengan putri bangsawan yang bernama Siti Hamidah bin Nafi’ cicit Usman bin Affan. Perkawinannya dianugerahi tiga orang anak yaitu Abdullah atau Muhammad, Fatimah dan Zainab.6
5
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazdhab Syafi'i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm 34 6 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 328
35
Tahun 195 H, Asy-Syafi’i pergi kedua kalinya ke Iraq dan membuka halaqoh di Masjid “al-Garbi” Bagdad. Pada kesempatan ini, beliau membentuk mazhabnya sendiri dinamakan “ Mazhab Syafi'i “. Kemudian pada tahun 197 H, ia kembali ke Makkah untuk mengembangkan qoulul qodimnya selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 199 H, atas permintaan wali negeri Mesir (Abbas bin Musa), Syafi'i meninggalkan jazirah Arab dan menetap di sana. Di Mesir, ia memperbaharui mazhabnya sehingga langkahnya ini dikenal dengan qoulul jadid,7 sampai akhir hidupnya. Asy-Syafi’i menghembuskan nafas terakhir sesudah sholat Isya’ malam Jum’at tahun terakhir bulan Rajab 204 H atau 20 Januari 820 M dalam usia 58 tahun8. 2. Guru–Guru Asy-Syafi'i Dalam menguasai fiqh Madinah, Asy-Syafi’i berguru pada Imam Malik bin Annas, sedangkan fiqh Iraq pada Muhammad ibnu al-Hasan AsySyaibani yang merupakan pelanjut fiqh Hanafi9. Di samping itu Asy-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama di antaranya yaitu :
7
Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Mazhab Syafi'i di Asia Tenggara : Fiqh dalam Peraturan Perundang–Undang tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, hlm. 14 8 Ibid 9 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaowl Qaodim dan Qaowul Jadid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 30
36
a. Makkah -
Sufyan ibn ‘Uyainah
-
Muslim ibn Kholid Az Zanji
-
Sa’id ibn Salim al-Kaddah
-
Daud ibn ‘Abd Ar Rahman al-Aththar
-
‘Abd al-Hamid ‘Abd al-Aziz ibn Zuwad
b. Madinah -
Ibrahim ibn Sa’ad al-Anshari
-
Abd al-‘Aziz bin Muhammad
-
Muhammad ibn Abi Yahya al-Aslami
-
Imam Malik bin Annas
c. Yaman -
Muthraf bin Mazin Ash Shan’ani
-
Hisyam bin Yusuf
-
Yahya bin Hasan
-
Umar bin Salamah10
d. Iraq
10
-
Waqi’ bin Jaroh
-
Humah bin Usamah
-
Isma’il bin Ulyah
-
Abdul Wahab bin Abdul Majid
Asy-Syafi’i, op. cit., hlm. 21
37
-
Muhammad bin Hasan11
3. Murid Asy-Syafi’i Di samping guru, Asy-Syafi’i memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqh beliau dan ada pula yang mendirikan ajaran fiqh sendiri, di antaranya yaitu : a. Bagdad - Al-Hasan ibn Muhammad As Sabbah Abu Ali al-Bagdadi al-Zafaroni (wafat 260 H) - Al-Husain Ali ibn Yazid Abu Ali al-Bagdadi al-Karobisi (wafat 245 H)12 b. Makkah - Abu Bakar al-Humaidi (wafat 219 H ) - Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad (wafat 237 H ) - Abu Bakar Muhammad ibn Idris - Abdul Wahid - Musa ibn Abi Jarud c. Mesir - Harmalah bin Yahya ibn ‘Abdullah ibn ‘Imron at-Tujibi (wafat 243 H ) - Robi’ ibn Sulaiman ibn Kamil al-Murodi (174 – 208 H ) - Ibn Tsur - Ibn Hambal al-Bathi
11
Sirodjuddin Abbas, op. cit., hlm. 110 12 Abdul Hadi Muthohhar, op. cit., hlm. 15
38
- Isma’il bin Yahya al-Muzani13 Sesudah ulama-ulama tersebut lahirlah ulama-ulama fiqh angkatan baru yang melanjutkan perkembangan dan penyebaran mazhab ini, yang mana banyak mengarang kitab di antaranya Abu Hamid al-Ghozali ( 505 H ) dengan hasil karyanya yang terkenal “ Ihya’ Ulumuddin”,14 Muhyudin An Nawawi . 4. Karya–Karya Asy-Syafi’i Karangan Asy-Syafi’i sangat banyak, dan menurut al-Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad al-Marwasiy bahwa Asy-Syafi’i menyusun kitab sebanyak 113 buah tentang tafsir, fiqh, hadits, kesusastraan. Karya-karya itu secara garis besar dibagi menjadi empat kelompok yaitu : a. Al-Usul : Ar-Risalah, Ikhtilaf al-Hadits b. Fiqh
: Al-Umm, yaitu sebuah kitab fiqh yang komprehensif dan satu– satunya kitab besar yang disusun Asy-Syafi’i. Isi kitab ini menunjukkan kealiman dan kepandaian ilmu fiqh karena susunan kalimatnya tinggi dan indah.
c. Mengenai penolakan terhadap lawan-lawannya, yaitu: kitab “Ikhtilaf Malik Wa Syafi'i”, “Add ‘Ala Muhammad Ibn al-Hasan”.
13
Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001,
hlm 6 14 Sohbi Mahmassani, Falsafatu’ Tasyri’ Islam, terj. Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, t.th, hlm. 53
39
d. Kelompok lain-lain, seperti Fada’it Araisy dan As-Sabaq Wa ‘I-rawy.15 5. Perkembangan Mazhab Fiqh Syafi'i Sebagaimana telah diketahui, pada mulanya beliau termasuk salah seorang ulama pengikut Mazhab Maliki, karena mengambil dan belajar ilmu pengetahuan dari Imam Malik. Beliau mengajarkan “ Al Muwatto” kepada ulama luar negeri yang datang mengunjungi Madinah16. Namun setelah asy-Syafi’i melawat ke Iraq, Madzhab Syafi'i tumbuh dan berkembang. Di sinilah pertama kalinya asy-Syafi’i menyampaikan paham-pahamnya kepada para ulama dalam rangka meluaskan wawasan ilmunya. Mazhab Syafi'i berkembang cukup subur dan pesat di Mesir. Beliau membukukan kitabnya dan mengajarkannya di Masjid “Amr bin ‘Ash” lebihlebih di kala itu orang-orang yang menerima pelajaran banyak dari golongan para ulama dan cendekiawan Mesir yang berpengaruh besar. Inilah yang mengawali tersiarnya Mazhab Syafi'i sampai ke seluruh pelosok. Penyebaran Mazhab Syafi'i antara lain di Iraq, lalu berkembang dan tersiar ke Khurasan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, Afrika dan Andalusia serta sampai abad modern Islam. Madzhab Syafi'i telah berkembang di belahan dunia termasuk Asia Tenggara ( Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia )
15
Abdul Hadi Muthohhar, op. cit, hlm. 15 16 Moenawar Chalil, Biography Empat Serangkaian Imam Mazdzah (Hanafy, Maliky, Syafi’y, Hambaly), Jakarta: Bulan Bintang, 1965, cet-2, hlm. 220
40
Mazhab Syafi'i mendominasi dan merupakan mazhab kebanyakan umat Islam di Asia Tenggara, khususnya ketiga negara tersebut. Fiqh Mazhab Syafi'i dipakai secara turun temurun untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan sehari-hari dalam bidang ‘ubudiyah, muamalah, kewarisan maupun perkawinan. Materi-materi yang bersumber dari kitabkitab fiqh Syafi'i senantiasa menjadi acuan keputusan pengadilan. Ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Mazhab Syafi'i dalam kehidupan umat Islam di Asia Tenggara17. Untuk beberapa negara atau daerah, mazhab ini juga mengalami kesulitan yakni berkaitan erat dengan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dapat dilihat di Iran dan Madinah18.
B.
PENDAPAT ASY-SYAFI’I Asy-Syafi’i dalam dunia dan kancah pemikiran hukum fiqh adalah seorang imam mazhab yang berusaha berpikir modern. Pemikiran Asy-Syafi’i merupakan jembatan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim yaitu ahli ro’yi dan ahl alhadits.
Kelompok
pertama
yang
diwakili
oleh
Abu
Hanifah
sangat
mengedepankan aspek rasionalitas dalam pemahaman hukumnya. Sedangkan kelompok kedua dipelopori oleh Malik, dimana lebih mengedepankan aspekaspek yang bersifat normatif atau tekstual.
17
Abdul Hadi Muthohhar, op. cit., hlm. 2 18 Abdul Aziz Dahlan, op. cit, hlm. 331
41
Asy-Syafi’i seolah-olah berada di antara kedua pola pendekatan hukum tersebut. Hal itu karena, beliau pernah mengembara ilmu dari satu daerah ke daerah yang lain, dan dari guru satu ke guru yang lain. Pengalaman banyak guru tersebut menjadikan asy-Syafi’i dapat menarik manfaat dan kebaikan yang banyak dimana kondisi tersebut akhirnya banyak mewarnai pola pikir terhadap mazhab yang dibangun. Asy-Syafi’i adalah salah satu dari keempat mazhab fiqh yang mempunyai pemikiran yang berbeda. Beliau banyak berfatwa tentang berbagai hal baik dalam masalah ibadah, muamalah, maupun lainnya, dimana salah satunya mengenai ibadah puasa. Dan sebagaimana telah diketahui puasa Ramadhan adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim yang sudah memenuhi syarat. Maka barang siapa yang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan akan terkena hukuman atas perbuatannya, dan barang siapa yang membatalkan puasa dan melakukan jima’ secara sengaja pada siang hari pada bulan Ramadhan maka menurut jumhur ulama wajib atasnya mengqodho’ dan membayar kafarat. Asy-Syafi’i dalam pembayaran kafarat berbeda dengan ulama lain yaitu tentang siapa yang berhak membayar kafarat apakah laki-laki (suami) ataukah perempuan (istri) ? maka, sebagai pendapatnya dalam kitab “ al-Umm adalah:
42
ﻴﻤﺔ ﻓﻜﻔﺎﺭﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻭﻟﻮ ﺟﺎﻣﻊ ﺑﺎﻟﻐﺔ ﻭﻟﻮ ﺟﺎﻣﻊ ﺻﺒﻴﺔ ﱂ ﺗﺒﻠﻎ ﺃﻭﺃﺗﻰ: ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﻻﻳﺰﺍﺩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﻔﺮ ﺍﺟﺰﺃ ﻋﻨﻪ ﻭ ﻋﻦ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﰲ 19 ........ ﺍﳊﺞ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺓ Artinya : “Apabila seseorang berjima’ dengan istrinya yang masih kecil atau belum baligh (di siang hari bulan Ramadhan) atau berjima’ dengan binatang maka kafaratnya adalah satu (untuk dirinya saja). Bahkan walaupun ia berjima’ dengan istrinya yang sudah baligh maka kafaratnya juga hanya laki-laki tersebut, dan itu sudah mencukupi dirinya dan istrinya. Demikian juga dengan orang yang berjima’ pada waktu ihrom dan umroh …. “ Pendapat itu didukung oleh Daud, bahwa tidak ada kewajiban membayar kafarat atas seorang istri, baik ia melakukan persetubuhan dengan kehendaknya sendiri atau dipaksa. Yang wajib hanya mengqodho’ saja lainnya tidak20.
C.
METODE ISTIMBATH ASY-SYAFI’I Ijtihad itu sendiri merupakan upaya memahami dan menjabarkan petunjuk -petunjuk dalil terhadap hukum, maka penetapan tentang apa saja yang dipandang sah sebagai dalil menempati posisi yang sangat penting dalam setiap tatanan ijtihad. Sehubungan dengan hal tersebut, asy-Syafi’i dalam menetapkan hasil ijtihadnya berlandaskan pada landasan normatif yang sudah terstruktur dan hirarkis yang bersumber dari al-Qur ‘an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan asy-Syafi’i dalam kitabnya “ ar-Risalah “:
19 20
Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, jilid II, op. cit., hlm. 135 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 1, Bairut: al-Fath al-I’lam al-Araby, t.th, hlm.494
43
ﻲ ﺣﻞ ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺟﻬﺔ ﺍﳋﱪ ﰲًَ ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﺑﺪﺍ ﰲ ﺷ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻹﲨﺎﻉ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﺱ
21
Artinya : “Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya ini halal, ini haram, kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.” Adapun penjelasan dari pokok-pokok asy-Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah : 1,2
Al-Qur’an dan as-Sunnah Asy-Syafi’i memandang al-Qur'an dan as-Sunnah berada dalam satu martabat karena as-Sunnah menjelaskan al-Qur'an kecuali hadits ahad, di samping itu al-Qur'an dan as-Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan as-Sunnah secara terpisah tidak kuat seperti al-Qur'an. Dalam pelaksanaannya asy-Syafi’i menempuh cara bahwa apabila di dalam al-Qur'an sudah tidak ditemukan dalil yang rinci, ia menggunakan hadits mutawattir. Jika tidak ditemukan dalam hadits mutawattir ia menggunakan khabar ahad, asal tetap mencukupi syarat–syaratnya, di antaranya adalah perowi tersebut itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW22. Asy-Syafi’i tidak mengatakan amalan sebagai penguat hadits sebagaimana Imam Malik mensyaratkan kemasyhuran sebagaimana ulama 21
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit, hlm. 126 22 Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 219
44
Iraq mensyaratkannya. Beliau menolak hadits Munqotti’ atau hadits Mursal kecuali yang mendapatkan dukungan dari luar berupa: a. Hadits yang diriwayatkan oleh perowi lain secara isnad b. Hadits mursal dari sumber yang lainnya c. Qoul shahabi d. Pendapat kebanyakan ulama e. Kebiasaan perowi tidak meriwayatkan hadits dari sumber yang cacat, karena majhul atau sifat lainnya, dan riwayatnya selalu sama atau lebih baik daripada riwayat huffazh yang lainnya. Tetapi asy-Syafi’i tidak sepenuhnya menolak tetapi mengamalkan bila terdapat hal-hal yang mendukungnya sekalipun hanya secara global. Adapun hadits Mursal dari Sa’id bin Musayyab (wafat 94 H) diterima oleh asy-Syafi’i . 3. Ijma' Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa ijma' itu tidak mungkin terjadi mengingat wilayah Islam yang begitu luas serta tersebarnya para ulama di berbagai kota yang berjauhan tanpa jaringan informasi yang memadai. Suatu masalah tidak mungkin sampai kepada setiap ulama, sehingga tidak mungkin ada kesatuan pendapat di antara mereka. Kemudian, perbedaan latar belakang kepentingan dan kecerdasan mereka tidak memungkinkan
bersepakat mengenai suatu masalah. Lebih dari itu,
seandainya pun terjadi ijma' itu tidak akan dapat diketahui adanya. Tetapi
45
asy-Syafi’i secara tegas mengatakan bahwa ijma' telah banyak terjadi, khususnya mengenai kewajiban-kewajiban yang harus diketahui oleh semua orang, dan asy-Syafi’i menempatkan ijma' pada urutan ketiga setelah alQur'an dan as-Sunnah. dimana ijma' tersebut disandarkan pada nash atau landasan riwayat dari Rasulullah. Beliau tidak menerima ijma' sukuti. Ijma' adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas sesuatu hukum syara’.23 4. Qiyas Sesungguhnya qiyas atau ro’yu bukanlah sesuatu yang baru pada masa asy-Syafi’i. Qiyas menempati posisi terakhir pada metode istimbath beliau, dan memandang lebih lemah dibandingkan ijma'. Qiyas tidak digolongkan sebagai sumber (ushul), melainkan hanya sebagai cabang (furu’) saja. Dan qiyas merupakan cara yang digunakan terpaksa apabila tidak ada yang relevan dalam al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma' . Qiyas adalah menyamakan hukum terhadap kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada hukumnya karena ada persamaan illat di antara keduanya24. Asy-Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidah, dan menjelaskan asas-asasnya, yaitu memberikan bentuk, batasan, syarat syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas. 23
A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: wijaya, 1975, hlm. 125 24 Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama, 1996,
hlm. 25
46
Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Selanjutnya mengenai pendapat asy-Syafi’i tentang hukum membayar kafarat bagi istri yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, beliau mendasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yaitu :
.ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﻲ ﺑﻦ ﳛﻲ ﻭﺍﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﰉ ﺷﻴﺒﺔ ﻭﺯﻫﲑ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭﺍﺑﻦ ﳕﲑ ﻛﻠﻜﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻴﻴﻨﺔ ﻋﻦ ﲪﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﻋﻦ ﺃﺑىﻬﺮﻳﺮﺓ, ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻴﻴﻨﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻯ: ﻗﺎﻝ ﳛﻲ ﻫﻠﻜﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ: ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﱃ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ:ﺭﺿىﺎﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ. ﻗﺎﻝ ﲡﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺘﻖ ﺭﻗﺒﺔ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ. ﻭﻗﻌﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﺃﺗﻰ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ:)ﻭﻣﺎ ﺃﻫﻠﻜﻚ؟( ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ " ﻓﻬﻞ ﲡﺪ ﻣﺎ ﺗﻄﻌﻢ ﺳﺘﲔ, ﻻ:ﻓﻬﻞ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﲔ ؟ ﻗﺎﻝ ﻓﻘﺎﻝ, ﰒ ﺟﻠﺲ ﻓﺄﺗﻰ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺮﻕ ﻓﻴﻪ ﲤﺮ: ﻗﺎﻝ, ﻻ:ﻣﺴﻜـﻴﻨﺎ؟ ﻗﺎﻝ ﻓﻀﺤﻚ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ.ﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﺃﻓﻘﺮ ﻣﻨﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﲔ ﻷ ﺑﺘﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺖ ﺃﺣﻮﺝ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻨﺎ ﺗﺼﺪﻕ (ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﱴ ﺑﺪﺕ ﺃﻧﻴﺎﺑﻪ ﰒ ﻗﺎﻝ ﺃﺫﻫﺐ ﻓﺄﻃﻌﻤﻪ ﺃﻫﻠﻚ" )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
25
25
Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi'i , Al Umm, jilid II, loc.cit, Dan lihat pula Imam Muslim, dalam Shohih Muslim, juz 2, Beirut : Dar al-Kitab al-Almiah, t.th, hlm. 781-782
47
Artinya : Telah memberitakan kepada kita dari Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Kharbi dan ibn Numair dan semuanya dari Ibn Uyainah. Berkata Yahya: Mengkhabarkan kepada kita dari sufyan bin Uyainah dari Zuhair, dari Khumaid ibn Abdul Rahman, dari Abu Huroiroh: bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku celaka.“Nabi SAW bertanya “Apakah yang menyebabkan engkau celaka? “Lelaki itu menjawab “Aku bersetubuh dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan.” Nabi SAW bertanya “Apakah engkau memiliki harta untuk memerdekakan budak? “Lelaki itu menjawab, “Tidak “Nabi bertanya lagi “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? “Lelaki itu menjawab, “Tidak “Nabi SAW kembali bertanya “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk memberi makan 60 orang miskin? “Lelaki itu menjawab “Tidak “Lelaki itu pun duduk, kemudian dibawa orang kepada Nabi, satu bakul besar berisi kurma. “Nah sedekahkanlah ini!” titah Nabi. ”Apakah kepada orang yang lebih miskin dari kami? “Tanya laki-laki itu karena orang di daerah yang terletak di antara tanah-tanah yang berbatu-batu hitam itu ada suatu keluarga yang lebih membutuhkannya dari kami. Maka Nabi pun tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya, lalu ujarnya: “Pergilah, berikanlah kepada keluargamu!” ( HR Muslim ) Istidlal dari Asar Abu Hurairoh :
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ, ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﻟﻠﻴﺚ ﻋﻦ ﳛﻲ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ.ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺭﻣﺢ ﺑﻦ ﺍﳌﻬﺎﺟﺮ ﻋﻦ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ ﻋﻦ, ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ,ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺎ ﻗﺎﻟﺖ ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺃ "ﻭﻃﺌﺖ ﺍﻣﺮﺃﺗﻰ ﰱ ﺭﻣﻀﺎﻥ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ "ﱂ"؟ ﻗﺎﻝ,ﺇﺣﺘﺮﻗﺖ
48
"ﻣﺎﻋﻨﺪﻯ ﺷﺊ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﳚﻠﺲ ﻓﺠﺎﺀﻩ ﻋﺮﻗﺎﻥ ﻓﻴﻬﻤﺎ:ﻕ" ﻗﺎﻝﻕ ﺗﺼﺪﺍ ﻗﺎﻝ ﺗﺼﺪﺎﺭ (ﻕ ﺑﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻃﻌﺎﻡ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺪ
26
Artinya : Telah mengkhabarkan kepada kita Muhammad bin Rumkhi bin Muhadjir. Memberi khabar kepada kita Lait dari Yahya bin Said, dari Abdurrahman ibn Khosim, dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair, dari Abad bin Abdullah bin Zubair, dari Aisyah RA dia berkata: “Ada seseorang menghadap Rasulullah dengan berkata “Celaka saya”, Nabi bertanya “Mengapa?“, jawab lelaki: “Saya bersetubuh dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan.” Nabi berkata “Bersedekah-berdekah.“ Jawab lelaki: “Saya tidak punya apa-apa ya Rasulullah”, maka Nabi memerintahkan untuk duduk, maka datang dua bakul besar berisi makanan, lalu Nabi memerintahkan untuk menyedekahkan itu. (HR Muslim) Hadits tersebut dipertegas lagi oleh Ibn Zubair yang mendengar dari Aisyah.
ﺍﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﺑﻦ, ﺃﺧﱪﱏ ﻋﻤﺮﻭﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ. ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ.ﺣﺪﺛﲎ ﺍﺑﻮﺍﻟﻄﺎﻫﺮ ﺍﻥ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ: ﺍﻥ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ ﺣﺪﺛﻪ,ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺣﺪﺛﻨﻪ ﺃﺗﻰ ﺭﺟﻞ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ: ﺃﻧﻪ ﲰﻊ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻘﻮﻝ:ﺣﺪﺛﻪ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺍﺣﺘﺮﻗﺖ ﻓﺴﺄﻟﻪ:ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻘﺎﻝ !ﻕ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺍﷲ ﺃﺻﺒﺖ ﺍﻫﻠﻲ ﻗﺎﻝ ﺗﺼﺪ:ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺎ ﺷﺄﻧﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺃﻗﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﺟﻠﺲ ﻓﺠﻠﺲ ﻓﺒﻴﻨﺎ ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻗﺒﻞ,ﻳﺎﻧﱮ ﺍﷲ! ﻣﺎﱃ ﺷﺊ 26
Ibid, hlm. 783
49
ﻋﻠﻴﻪ ﻃﻌﺎﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻳﻦ ﺍﶈﺘﺮﻕ ﺃﻧﻔﺎ؟,ﺭﺟﻞ ﻳﺴﻮﻕ ﲪﺎﺭﺍ ! ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ:ﺬﺍ" ﻓﻘﺎﻝ ﻕ" ﻓﻘﺎﻡ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ"ﺗﺼﺪ 27
(ﺎ ﳉﻴﺎﻉ ﻣﺎ ﻟﻨﺎ ﺷﺊ ﻗﺎﻝ ﻓﻜـــﻠﻮﻩ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺃﻏﲑﻧﺎ؟ ﻓﻮﺍﷲ! ﺇﻧ
Artinya : Telah memberi khabar kepadaku Abu Thohir. Memberi khabar kepada kita ibn Wahab. Memberi khabar kepadaku Umar bin Kharis; Sesungguhnya Abdur Rahman ibn Qosim mengabarkan; Sesunguhnya Muhammad bin Ja’far az-Zubair menceritakan; Sesungguhnya Ubaid bin Abdullah bin Zubair mendengar dari Aisyah, istri nabi berkata, datang kepada Rasulullah di dalam masjid pada bulan Ramadhan seraya berkata “Ya Rasulullah, celaka aku, celaka aku”. Maka Rasulullah bertanya kepadanya. Apa yang terjadi? Laki-laki itu menjawab “Saya telah bersetubuh dengan istriku”, Nabi berkata “Sodaqoh” Laki-laki itu menjawab “Demi Allah hai Nabi Allah saya tidak punya apa-apa dan saya tidak mampu bersodaqoh”, Nabi berkata “Duduk!” maka laki-laki itu duduk, dan di antara ada seorang yang menghadap kepada Nabi dengan himar yang memuat makanan Nabi bertanya di mana kecelakaan sekarang ini?“ Maka laki-laki itu berdiri, dan Rasul berkata: “Sedekahkanlah makanan ini, laki-laki itu bertanya “Ya Rasul, apakah selain kami, demi Allah tidak ada orang yang membutuhkan selain kami”, Nabi berkata “Makanlah ini!”. ( HR. Muslim)
27
Ibid