BAB III ANALISIS WAKTU PENGERINGAN DAN TEMPERING TERHADAP MUTU BERAS PADA PENGERINGAN GABAH LAPISAN TIPIS
3.1
PENDAHULUAN
3.1.1 Latar Belakang Bagi masyarakat Indonesia, beras menjadi komoditas yang sangat penting tidak saja dilihat dari sisi produsen tetapi juga dari sisi konsumen. Sebelum menjadi beras, padi (gabah) yang baru dipanen harus melalui beberapa proses pasca panen, yaitu: perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pengemasan. Setiap proses pascapanen ini tentunya menggunakan alat atau mesin baik yang masih mengandalkan tenaga manusia maupun yang telah menggunakan rekayasa teknologi. Pada umumnya hasil panen berbentuk gabah kering panen (GKP) dengan kadar air antara 20% - 27% basis basah (bb). Apabila gabah masih mengandung banyak kadar air terjadi respirasi aktif dan kandungan gizi akan terbawa keluar yang menyebabkan kerusakan padi. Kadar air akan mempercepat berkembang biaknya serangga berbahaya dan mikroorganisme, yang juga dapat menurunkan mutu beras. Kadar air yang tinggi juga akan meningkatkan laju terbentuknya kecambah, serta akan muncul jamur yang dapat menyebabkan racun. Oleh karena itu sangat diperlukan pengurangan kadar air untuk mencegah terjadinya kerusakan padi, hal tersebut yang menjadi dasar diperlukannya pengeringan gabah. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kualitas gabah, kadar air yang disyaratkan adalah 14% bb agar gabah dapat disimpan selama 6 bulan, demikian pula untuk keperluan proses penggilingan gabah menjadi beras, agar menghasilkan mutu dan rendemen beras yang baik diperlukan gabah dalam keadaan kering giling (GKG) dengan kadar air antara 13% - 15 % bb.
35
Pengeringan akan menyebabkan gradien kadar air didalam bahan, yang menimbulkan tegangan tarik pada permukaan dan tegangan tekan pada bagian dalam bahan. Apabila tegangan melampaui kekuatan bahan, maka bahan akan retak. Pembentukan keretakan yang disebabkan oleh gradient kadar air (Sarker, Kunze, Stouboulis. 1996) akan menjadi patah ketika gabah digiling, sehingga menurunkan rendemen beras kepala. Periode tempering memungkinkan difusi kadar air dari bagian dalam ke permukaan bagian luar gabah, sehingga mengurangi gradient kadar air dan meningkatkan laju pengeringan (Nishiyama 1987). 3.1.2
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh temperatur
dan waktu pengeringan dengan waktu tempering terhadap mutu beras yang ditandai dengan rendemen beras kepala.
3.2
TINJAUAN PUSTAKA
3.2.1 Anatomi Gabah Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) merupakan salah satu jenis tanaman bijibijian yang berasal dari benua Asia. Padi merupakan bahan baku dari beras, dimana beras merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi fisiologis, psikologis, sosial, maupun antropologis. Berikut ini merupakan klasifikasi dari tanaman padi : Regnum Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Angiospermae : Monocotyledoneae : Poales : poaceae : Oryza : Oryza sativa L.
Dalam kaitan dengan proses penggilingan padi untuk menjadi beras, karakteristik fisik gabah sangat perlu diketahui karena proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran gabah menjadi beras putih. Butiran
36
gabah, yang memiliki bentuk awal berupa gabah kering giling (GKG), masih memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan, atau tidak enak dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagian tersebut dilepaskan satu demi satu sampai akhirnya didapatkan beras yang enak dimakan yang disebut dengan beras sosoh atau beras putih. Mesin-mesin penggilingan padi berfungsi melakukan pelepasan dan pemisahan bagian-bagian butir padi yang tidak dapat dimakan dengan sesedikit mungkin membuang bagian utama beras dan sesedikit mungkin merusak butiran beras
3.2.2 Karakteristik Fisik Gabah Setelah dilepaskan dari malai pada kegiatan perontokan, butiran padi terlepas satu dengan lainnya dan disebut dengan gabah. Butiran-butiran gabah memiliki bentuk oval memanjang, berwarna kuning kecoklatan dan memiliki tekstur kasar, secara garis besar, bagian-bagian gabah dapat dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian paling luar disebut sekam. Sekam tersusun dari palea, lemma, dan glume. Bagian ke dua disebut lapisan bekatul. Lapisan bekatul tersusun atas lapisan luar, lapisan tengah, lapisan silang, testa, dan aleuron, sedangkan lapisan yang paling dalam disebut endosperm, Gambar 19 menunjukkan struktur fisik butiran gabah.
Gambar 19 Struktur fisik butiran gabah.
37
Butiran-butiran gabah memiliki karakteristik bentuk yang beragam,tergantung varietasnya. Secara umum, subspesies padi yang ditanam di dunia, dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu japonica, javanica, dan indica. Padi jenis japonica memiliki bentuk butiran gabah pendek membulat. Sedangkan padi jenis indica memiliki bentuk butiran bulat memanjang. Di Indonesia, jenis padi yang banyak ditanam yaitu padi jenis indica. Berdasarkan sub-tipe gabah dapat diklasifikasikan berdasarkan perbandingan panjang terhadap lebar beras pecah kulitnya. Ada tiga sub-tipe gabah dengan kriteria tersebut, seprti di tunjukan dalam Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Sub-tipe gabah berdasarkan perbandingan panjang terhadap lebar beras pecah kulit (Ruiten.1981 dalam Thahir.R.1986) Sub tipe
Perbandingan panjang : lebar
1. Ramping
>3.0
2. Gemuk
>2.0 <3.0
3. Bundar
<2.0
Dari segi kandungan gizi, butiran beras mengandung 70-75% karbohidrat, 67.5% protein, 3% lemak, dan sedikit vitamin B2. Karbohidrat dan protein terdapat di dalam lapisan bekatul dan endosperm, sedangkan sebagian besar lemak dan vitamin B2 terdapat dalam lapisan bekatul. Kualitas fisik gabah terutama ditentukan oleh kadar air dan kemurnian gabah. Yang dimaksud dengan kadar air gabah adalah jumlah kandungan air di dalam butiran gabah yang biasanya dinyatakan dalam satuan % dari berat basah (wet basis). Sedangkan tingkat kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat keseluruhan campuran gabah, semakin banyak benda asing atau gabah hampa atau rusak di dalam campuran gabah maka tingkat kemurnian gabah makin menurun. Kualitas gabah akan mampengaruhi kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan, kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat gabah yang digiling, sedangkan beras sosoh yang dimaksud adalah gabungan beras kepala
38
dan beras patah besar. Disamping dipengaruhi oleh kualitas gabah, rendemen giling juga dipengaruhi oleh varietas padi dan kinerja mesin-mesin yang dipakai dalam proses penggilingan. Kadar air yang optimal untuk melakukan penggilingan adalah 13-15%. Oleh sebab itu gabah pada kadar air optimum ini disebut gabah kering giling (GKG). Pada kadar air yang lebih tinggi gabah sulit dikupas, sedangkan pada kadar air yang lebih rendah butiran gabah menjadi mudah patah. Gabah yang baru dipanen, yang biasanya disebut gabah kering panen (GKP), biasanya memiliki kadar air antara 2027%. Kemurnian gabah dipengaruhi oleh adanya butir yang tidak bernas seperti butir hampa, muda, berkapur, benda asing atau kotoran yang tidak tergolong gabah, seperti debu, butir-butir tanah, batu-batu, kerikil, potongan kayu, potongan logam, tangkai padi, biji-biji lain, bangkai serangga hama, serat karung, dan sebagainya, termasuk pula dalam kategori kotoran adalah butir-butir gabah yang telah terkelupas (beras pecah kulit) dan gabah patah.
3.2.3 Karakteristik Fisik Beras 3.2.3.1 Beras Pecah Kulit Gabah yang telah dikupas disebut beras pecah kulit (beras PK). Pada struktur butiran gabah beras PK terdiri dari endosperm, lapisan aleuron, testa, dan pericarp atau secara ringkas berupa endosperm dan lapisan bekatul. Beras PK sangat jarang langsung dikonsumsi karena rasanya yang kurang enak akibat masih adanya lapisan bekatul. Dengan demikian beras PK pada umumnya diolah lebih lanjut menjadi beras sosoh. 3.2.3.2 Beras Sosoh Beras sosoh atau beras slyp atau beras putih adalah butiran beras yang telah terbebas dari bekatul dan telah digosok untuk mendapatkan warna putih mengkilap. Beras sosoh memiliki rasa yang lebih enak daripada beras PK serta memiliki warna yang menarik.
39
Beras sosoh dipisahkan menjadi beberapa ukuran yaitu beras kepala, beras patah, dan beras menir. Beras kepala dan beras patah dikonsumsi dalam bentuk nasi. Menir memiliki bentuk yang kurang menarik jika dimasak dalam bentuk nasi karena ukurannya yang kecil. 3.2.3.3 Beras patah Pada proses penggilingan, beras patah tidak dikehendaki. Yang dikehendaki adalah sebanyak mungkin beras kepala. Beras kepala adalah beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 6/10 bagian dari panjang rata-rata butir beras utuh. Terjadinya beras patah, disamping ditentukan oleh kinerja mesin penggiling, juga ditentukan oleh kualitas gabah sebelum digiling baik pada proses panen yang belum cukup umur ataupun pada proses pengeringan yang tidak baik . Dengan penanganan yang kurang tepat gabah dapat menjadi mudah patah atau retak, bahkan telah patah sebelum digiling. Berbagai literatur menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan beras patah hasil pengilingan, yaitu gabah dipanen belum cukup masak, jenis padi, serta metode pengeringan, akibat dari gradien kadar air selama pengeringan juga dapat mengakibatkan keretakan. Banazzi et al (1994) melakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas beras dengan kondisi pengeringan yang menunjukkan bahwa kualitas beras turun secara cepat dengan naiknya temperatur pengeringan yang disertai kenaikkan laju pengeringan, sehingga berakibat terjadinya thermal shock (kejutan termal) pada butiran. Ekstrom et al. (1996) yang melakukan pengujian pada biji jagung, menunjukkan bahwa tegangan retak tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan temperatur didalam butiran, tetapi juga oleh karena tegangan gradien kadar air atau gabungan tegangan kadar air dan tegangan termal. Arora et al. (1973) melakukan penelitian tentang pengaruh temperatur udara pengering terhadap sifat termal dan mekanis gabah selama pengeringan tipe bak dengan udara panas. Hasilnya, apabila perbedaan temperatur antara udara pengering
40
dengan bahan lebih dari 43 oC, akan berakibat retak pada bahan, dan menyarankan akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan dengan temperatur udara pengering di bawah temperatur transisi (53 oC), sehingga tahanan termal butiran terhadap perbedaan temperatur dapat diminimalkan. Hal ini dikarenakan pada temperatur dan kadar air di bawah garis transisi gelas, bahan dalam keadaan glassy, yang mempunyai sifat, koefisien ekspansi rendah, volume spesifik dan difusivitas juga rendah. Ketika temperatur bahan telah melewati garis transisi gelas, keadaan bahan berubah dari glassy menjadi rubbery. Sifat bahan di atas garis transisi gelas, di daerah rubbery adalah koefisien ekspansi yang tinggi, demikian pula volume spesifik dan difusivitasnya juga tinggi (Cnossen.A.G., Siebenmorgen.T.J 2000). Laju pengeringan juga menjadi faktor penyebab keretakan (Kunze,O.R., 1991), pengeringan yang cepat sangat merusak kualitas beras (Ban.T, 1971), karena adanya gradien kadar air dalam butiran. Nagato et al (dalam Kunze.,1991) dalam penelitiannya mengamati bahwa terbentuknya keretakan gabah dalam pengeringan adalah konsekuensi dari terjadinya penyusutan yang tidak sama dalam edosperm akibat dehidrasi yang tidak merata pada biji. Gabah dapat patah atau retak selama penanganan pascapanen sebagai akibat dari adanya perubahan cuaca, terutama fluktuasi suhu dan kelembaban relatif udara. Ini bisa terjadi apabila perubahan hari panas dan hujan terjadi berkali-kali dalam jangka waktu yang lama. Fluktuasi ini menyebabkan butiran gabah berkerut dan berkembang dengan interval tidak teratur sehingga terjadi keretakan. Keretakan serupa juga dapat terjadi apabila dilakukan metode pengeringan yang tidak tepat. Sarker, Kunze dan Strouboulis (1996) menyatakan bahwa formasi keretakan disebabkan oleh karena gradien kadar air selama pengeringan, keretakan gabah akan mengakibatkan patah selama penggilingan, dan penurunan rendemen beras kepala.
41
3.2.4
Sifat Termofisik Bahan Bahan pertanian umumnya merupakan bahan yang mudah rusak (perisable
food) sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang lebih baik untuk dapat memperpanjang masa simpan bahan. Proses pengolahan pascapanen untuk memperpanjang masa simpan bahan pertanian dengan cara pengeringan, umumnya berkaitan dengan
masalah
perpindahan panas. Untuk menganalisis masalah-masalah pindah panas, diperlukan pengetahuan tentang sifat termofisik bahan tersebut. Adapun sifat termofisik bahan yang diperlukan dalam analisis proses perpindahan panas dalam menguapkan air bahan bahan, antara lain : a. Konduktivitas panas b. Massa jenis c. Kadar air d. Kadar air keseimbangan e. Difusivitas panas. f. Panas jenis Nilai besaran sifat-sifat termofisik bahan bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi kimia dan jenis bahan. Dengan diketahuinya nilai sifat termofisik bahan, laju perubahan suhu bahan, sehingga dapat ditentukan waktu optimum yang dibutuhkan dalam sistem pengeringan bahan.
3.2.4.1Kadar Air Keseimbangan (Me) Dalam proses pengeringan mempelajari kadar air keseimbangan penting, karena kadar air keseimbangan merupakan kadar air minimum yang dapat dicapai saat pengeringan suatu bahan.Kadar air suatu bahan padat basah yang berada dalam keseimbangan dengan udara pada temperatur dan kelembaban tertentu disebut sebagai kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content). Kadar air kesimbangan suatu bahan merupakan sifat spesifik, yang besarnya dipengaruhi oleh jenis bahan, cara pengolahan, dan suhu serta kelembaban.
42
Suatu teraan kadar air keseimbangan pada suhu tertentu terhadap kelembaban disebut sebagai isotermis sorpsi. Isotermis yang diperoleh dengan memaparkan padatan pada udara yang kelembabannya meningkat dikenal dengan isotermis adsorpsi. Sedangkan, isotermis yang diperoleh dengan memaparkan padatan pada udara yang kelembabannya menurun dikenal dengan isotermis desorpsi. Dalam hal ini, jelas bahwa isotermis desorpsi merupakan perhatian utama pada proses pengeringan, karena kadar air padatan menurun secara progresif.
Bentuk umum sorpsi isotermis tipikal
ditunjukkan seperti pada Gambar 20.
Desorpsi Kadar Air
A
B
Adsorpsi
C
0
20
40
60
80
Kelembaban nisbi (%) Gambar 20 Sorpsi Isotermis tipikal Bentuk kurva isotermis sorpsi tersebut terbagi dalam 3 wilayah secara tegas, A, B dan C, yang merupakan pertanda mekanisme pengikatan air yang berada pada tempat-tempat terpisah pada matrik padatan. Pada wilayah A, air terikat kuat pada tempat tersebut dan tidak dapat digunakan untuk reaksi.
43
Pada tempat ini, terutama terdapat adsorpsi lapis tunggal uap air dan tidak tampak perbedaan tegas antara isotermis adsorpsi dan desorpsi. Pada wilayah B, air terikat lebih longgar. Penurunan tekanan uap air hingga di bawah tekanan keseimbangan uap air pada suhu yang sama adalah karena air tersebut terkurung dalam kapiler yang lebih kecil. Air dalam wilayah C bahkan terikat lebih longgor dalam kapiler yang lebih besar. Air ini dapat digunakan untuk reaksi dan sebagai pelarut. Pada proses penguapan air dari suatu bahan tipis yang dikeringkan dengan aliran udara panas , dimana besarnya nilai kadar air keseimbangan dapat ditentukan berdasarkan model persamaan pengeringan lapis tipis dari Henderson dan Perry (1976).
M − Me = α exp( − k t ) Mo − Me
3.1
3.2.4.2 Konstanta Pengeringan Konstanta pengeringan (k) adalah merupakan fungsi dari difusivitas massa dan geometri bahan dan merupakan penyederhanaan dalam pemecahan persamaan difusi. Beberapa peneliti menemukan konstanta pengeringan dipengaruhi oleh suhu, aliran udara, kelembaban dan ukuran partikel yang dikeringkan. 4
3.2
Disamping itu juga dilaporkan bahwa adanya hasil penelitian yang bertentangan mengenai ada tidaknya pengaruh RH dan kecepatan udara pengering terhadap konstanta pengeringan. Tetapi sebagian besar peneliti menganggap bahwa konstanta pengeringan tidak dipengaruhi oleh kadar air (Chang dan Chung, 1983 di dalam Thahir, 1986). Pada umumnya banyak peneliti melaporkan bahwa difusivitas massa dipengaruhi oleh suhu mengikuti persamaan Arrhenius (Henderson dan Pabis, 1961 di dalam Brooker et al, 1974), yang dirumuskan sebagai berikut : ⎧C ⎫ Dv = C1 Exp ⎨ 2 ⎬ ⎩T ⎭
3.3
44
3.2.5
Proses Pengeringan Pengeringan adalah suatu proses pengurangan kadar air bahan dengan cara
penguapan hingga mencapai kadar air yang diinginkan, untuk bahan pertanian pengeringan dimaksudkan untuk memperlambat proses kerusakan bahan, dengan cara mengeluarkan kadar air bahan hingga kadar air tertentu dimana jamur, enzim dan serangga yang bersifat merusak bahan menjadi tidak aktif (Henderson dan Perry 1976). Di dalam proses pengeringan terjadi perpindahan panas dari udara pengering ke bahan dan perpindahan massa (uap) dari bahan secara simultan (Hall 1979). Dalam sistem pengeringan bahan, proses pelepasan air melalui pemberian panas harus dapat berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Uap air harus bergerak ke permukaan bahan sebelum dipindahkan keluar oleh udara sebagai media pengeringan. Analisa dalam sistem pengeringan ini mencakup mekanisme perpindahan didalam bahan yaitu difusi panas dan massa (Brooker, et al. 1974). Menurut Brooker et al (1974), proses pengeringan dapat dianggap sebagai proses adiabatik, sehingga dalam proses penguapan air yang dikandung gabah hanya diambilkan dari panas udara pengering saja, tanpa diperhitungkan perpindahan panas konduksi ataupun radiasi dari lingkungannya. Proses yang terjadi dalam pengeringan adalah proses perpindahan panas dari udara panas untuk menguapkan air, adapun air yang diuapkan adalah air bebas dan air terikat. Air bebas yang berada dalam permukaan bahan yang pertama mengalami penguapan dengan laju penguapan sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap udara pengering. Apabila konsentrasi air pada permukaan cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan, dimana dalam periode tersebut penguapan hanya ditentukan oleh kondisi perpindahan panas dan perpindahan masa yang berada dipermukaan luar bahan yang dikeringkan. Pada periode tersebut dikenal dengan periode laju pengeringan konstan, untuk bahan biji-bijian seperti gabah,air terikat mempunyai porsi yang lebih besar daripada air bebasnya, sehingga pada periode ini terjadi sangat singkat, sehingga dapat diabaikan (Henderson dan Perry 1976).
45
Ketika air pada permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air yang terikat dan uap dari bagian dalam bahan ke permukaan secara difusi (Steffe dan Singh. 1979, Aldis dan Foster 1980). Migrasi air dan uap tersebut terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan. Laju penguapan pada periode ini sebanding dengan perbedaan tekanan uap antara bagian permukaan bahan dengan bagian dalam bahan. Karena terjadi penguapan tekanan uap di dalam bahan semakin turun, sehingga perbedaan tekanan uap juga turun, laju penguapan turun. Periode tersebut dikenal dengan periode laju pengeringan menurun.
3.3
BAHAN DAN METODE
3.3.1
Bahan Varietas gabah yang digunakan adalah Ciherang , termasuk gabah langsing
(BBKP-JT 2005 ), perbandingan panjang dengan lebar > 3.0, yang dipanen pada tanggal 23 Juli dan 24 Juli 2007, dan pengeringan dilakukan 3 jam setelah panen. Bersamaan dengan proses pengeringan dilakukan pengujian kadar air dengan menggunakan oven konveksi kurang lebih 10 gram gabah sebanyak 10 sampel dengan temperatur 105 selama 24 jam (Seo,1995), kadar air awal bahan seperti ditunjukan pada tabel 15. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering yang dibuat dengan ukuran rak 55 cm x 55 cm, untuk bahan sebanyak 800 gram (Gambar 20), sehingga terjadi ketebalan tumpukan 2 hingga 3 butir gabah, yang dapat dikategorikan sebagai lapisan tipis (ASAE, 2001).
3.3.2
Alat Percobaan menggunakan alat pengering statis yang dirancang menggunakan
bahan bakar pemanas biomassa, seperti ditunjukan pada Gambar 21, alat ukur yang
466
d digunakan, oven konveeksi, Kett moisture m metter, stop waatch, thermoocouple unitt, h higrometer. 3 3.3.3
Anallisis Data Dataa hasil penggamatan diaanalisis denggan mengguunakan prossedur Anovaa
d dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple M Rangge Test untuuk variable: Y1 dan Y22 d dengan taraff nyata 5%.. Analisis diilakukan meenggunakan program SA AS versi 8.00 d Minitab versi 14.0 dan
Micro ocontroler
100
A/D T4 , RH4
X
T2 , RH2
T3 , RH3
1000
660
Rak 1
Rak 2 50 100
T1 , RH1 Saluran udara u masuk
Plat Pemaanas
660
G Gambar 21 Skematik S Allat pengeringg
Ukuraan dalam mm
47
3.3.4
Prosedur percobaan Temperatur udara pengering yang digunakan adalah 50 oC, RH 26 % dengan
Kadar air kesetimbangan (Me) 6.69% (basis kering) dan 60 oC, RH 17% dengan Me 4.6%, Udara panas didapat dari pemanasan plat pemanas dengan menggunakan bahan bakar biomas, oleh karena kontrol temperatur dilakukan secara manual akurasi temperaturnya 2oC, Ketika ruang pengering mencapai temperatur ekuilibrium, rak dengan bahan percobaan dimasukkan, lama pengeringan tahap pertama adalah 30 menit, dan 20 menit sehingga didapat pengurangan kadar air antara 4 hingga 8%. Setelah pengeringan tahap pertama selesai dilanjutkan dengan tempering pada temperatur lingkungan dan dengan variasi waktu tempering. Selesai proses tempering bahan percobaan dimasukkan ke ruang pengering lagi untuk selanjutnya dilakukan proses pengeringan tahap kedua, pada pengeringan tahap ke dua pengurangan kadar air yang terjadi antar 2 hingga 5%, hingga kadar air mencapai antara 14 hingga 15% bb, setelah pengeringan tahap ke dua bahan percobaan kembali mengalami proses tempering dengan temperatur lingkungan , variasi waktu tempering yang digunakan berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Siebenmorgen and Schluterman (2005). Seratus gram gabah diambil dari setiap percobaan untuk mengetahui mutunya dengan menentukan prosentasi rendemen beras kepala, dengan cara manual, dikupas kulitnya sehingga menghasilkan beras pecah kulit, kemudian dipisahkan antara beras kepala dan beras patah, hasilnya ditimbang untuk menentukan rendemen beras kepala, dimana rendemen beras kepala dihitung berdasarkan prosentase masa beras kepala dari berat beras sampel (beras pecah kulit). Selain dengan cara manual juga digunakan paddy husker untuk mendapatkan beras pecah kulit untuk kemudian dengan cara yang sama didapat rendemen beras kepala. Proses penelitian dilakukan dua kali ulangan untuk setiap perlakuan temperatur, dengan variasi waktu pengeringan dan waktu tempering, dengan demikian diperoleh 16 data pengukuran.
48
3.4
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.4.1 Temperatur dan waktu pengeringan Nilai konstanta pengeringan k berbanding lurus dengan temperatur udara pengering, sehingga semakin tinggi temperatur udara pengering semakin besar nilai k, yang mengakibatkan pengeringan lebih cepat. Dengan demikian untuk temperatur udara yang tinggi membutuhkan waktu yang singkat untuk pengurangan kadar air yang sama, seperti ditunjukan pada Tabel 11 berikut : Tabel 10 Data gabah yang digunakan dalam percobaan Varietas gabah
Tgl Panen
Kadar air (KA) awal
Standar deviasi KA
Ciherang
23 Juli 2007
22.92 % bb
± 0.5
Ciherang
24 Juli 2007
23.12 % bb
± 0.4
Tabel 11 Data hasil pengeringan gabah Ciherang T udara pengering
(oC)
RH (%)
50
26
60
17
50
27
60
16
Lama pengerin gan I (menit)
30 30 20 20 20 20 30 30 30 30 20 20 20 20 30 30
Lama temperi ng I (menit)
Kadar air (%) setelah pengerin gan I
Lama pengering an II (menit)
Lama temperin g II (menit)
Kadar air (%) setelah pengerin gan II
Rendem en beras kepala (RBK) (%)
60 60 60 60 60 60 60 60 10 10 10 10 10 10 10 10
18.41 18.14 18.74 18.63 18.02 17.99 17.63 16.52 18.22 18.24 18.82 18.64 18.10 18.02 16.62 15.52
35 30 30 30 20 20 20 20 35 30 20 30 20 30 20 20
60 60 60 60 80 80 80 80 60 60 60 60 80 80 80 80
14.66 14.69 15.42 15.22 14.82 14.39 14.63 13.53 13.97 14.44 15.22 14.94 14.5 14.22 13.37 12.23
64.6 65.2 68.11 67.21 64.77 64.64 50.33 32.58 62.6 63.3 64.82 64.51 62.5 62.2 49.57 32.37
49
Tabel 12 Pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap penurunan kadar air yang dicapai dengan kadar air awal 22.92%. Suhu oC 50 (A)
Waktu Pengeringan C (20 menit) D (30 menit) 18.69a 18.30a 18.04a
60 (B)
16.57b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata.
Hasil analisis varian menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P≤0.05) antara perlakuan suhu, waktu pengeringan dan interaksinya. Selanjutnya dilakukan uji Duncan 5% menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara perlakuan suhu dan waktu pengeringan, tetapi pada interaksi menunjukkan bahwa perlakuan AC, AD, dan BD tidak berbeda nyata (P≤0.05), sedangkan perlakuan AC, AD, dan BC berbeda nyata lebih kecil (P≤0.05) dari perlakuan BD (tabel 12). Tabel 13 Pengaruh waktu tempering terhadap Rendemen Beras Kepala(RBK) Waktu tempering (menit) 60
RBK ketika kadar air pengeringan pertama > 18% Mean 65.76 % a
RBK ketika kadar air pengeringan pertama <18% Mean 41.46 % a
10
63.32 % b
40.97 % a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama, pada kolom yang sama tidak berbeda nyata.
50
Berdasarkan data Tabel 13, nampak bahwa waktu tempering berpengaruh signifikan terhadap rendemen beras kepala, apabila kadar air pada pengeringan pertama mencapai lebih besar dari 18%, waktu tempering menunjukkan perbedaan nyata (a dan b) terhadap rendemen beras kepala, yang berarti waktu tempering mempengaruhi rendemen beras kepala, sedangkan ketika kadar air pada pengeringan pertama telah di bawah 18%, maka waktu tempering menunjukkan tidak berbeda nyata , dengan demikian waktu tempering menjadi tidak berpengaruh terhadap rendemen beras kepala. Hasil terbaik berdasarkan analisis tersebut adalah ketika pengeringan menggunakan temperatur udara pengering 50 °C dengan waktu pengeringan pertama 20 menit dan waktu tempering 60 menit, waktu pengeringan kedua 30 menit dengan rendemen beras kepala rata-rata 68.11%. Tetapi pada kondisi tersebut dengan total pengeringan 50 menit, kadar air akhir gabah 15.32% bb. Gambar 22 menunjukkan data rendemen beras kepala dari gabah varietas Ciherang hasil panen pada tanggal 23 Juli dengan kadar air awal rata-rata 22.92% bb yang diplot dengan variasi lama pengeringan dan tempering, temperatur udara pengering 50 oC, RH 26%, ketika kadar air setelah pengeringan pertama 18.41% bb, dengan lama pengeringan pertama 30 menit dan lama tempering 60 menit, dan kadar air setelah pengeringan ke dua sebesar 14.66%, lama pengeringan kedua 35 menit dengan total waktu pengeringan 65 menit, nilai rendemen beras kepala 63.6 %.
51
70
80
60
70 60 50
40
40 30
(%)
Meint
50
30
20
20
10
10
0
0 Percobaan I
Percobaan II
Lama pengeringan I (menit) Lama pengeringan II (menit) Kadar air (%) setelah pengeringan I Rendemen beras kepala (%)
Percobaan III Lama tempering I (menit) Lama tempering II (menit) Kadar air (%) setelah pengeringan II
Gambar 22 Rendemen beras kepala terhadap lama pengeringan dan tempering untuk gabah varietas Ciherang dengan kadar air awal 22.92% basis basah dengan suhu udara pengering 50 o C. Penurunan kadar air saat pengeringan pertama sangat mempengaruhi besarnya nilai prosentase rendemen beras kepala, dimana kadar air setelah pengeringan pertama di atas 18% menunjukkan secara rata-rata kondisi bahan masih dalam keadaan rubbery (Siebenmorgen and Schluterman, 2005) sehingga masih dalam batas aman dari kerusakan bahan, hal ini menunjukkan bahwa kadar air setelah pengeringan pertama di atas 18%, tidak berpengaruh banyak terhadap keretakan bahan, sehingga mempunyai nilai rendemen beras kepala di atas 60%. Sedangkan
pada
Gambar
23
ditunjukan
hasil
percobaan
dengan
menggunakan temperatur udara 60 oC, RH 17%, pada saat lama pengeringan pertama 20 menit, didapat nilai kadar air bahan sebesar 18.02% bb, sedangkan setelah pengeringan ke dua kadar airnya adalah 14.82%
dengan total waktu
pengeringan 40 menit dan total waktu tempering 140 menit, besarnya rendemen beras kepala 62.77%,
tetapi ketika lama pengeringan 30 menit, dan kadar air
setelah pengeringan pertama 17.63%, nilai rendemen beras kepala nya turun
52
menjadi 50.33%, bahkan ketika kadar air setelah pengeringan pertama mencapai 16.52%, nilai rendemen beras kepala turun drastis menjadi hanya 32.58%. 70
90 80
60
70 50
50
40
40
30
(%)
Menit
60
30
20
20 10
10
0
0 Percobaan I
Percobaan II
Lama pengeringan I (menit) Lama pengeringan II (menit) Kadar air (%) setelah pengeringan I Rendemen beras kepala (%)
Percobaan III Lama tempering I (menit) Lama tempering II (menit) Kadar air (%) setelah pengeringan II
Gambar 23 Rendemen beras kepala terhadap lama pengeringan dan tempering untuk gabah varietas Ciherang dengan kadar air awal 23.5% basis basah. Dengan suhu udara pengering 60 oC Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, berdasarkan percobaan pada saat akhir pengeringan pertama kadar air bahan telah mencapai di bawah 18%, dengan temperatur udara pengering 60 oC dalam waktu 30 menit, kemungkinan terjadinya penyusutan yang tidak sama didalam endosperm, akibat dehidrasi yang tidak merata pada biji, atau besar kemungkinan terjadinya perbedaan kadar air pada permukaan bahan dan kadar air di dalam inti bahan. Keadaan tersebut di atas menimbulkan stress pada bahan, hal ini akan meningkatkan kerusakan bahan, oleh karena perbedaan kadar air dipermukaan bahan dan pada pusat bahan yang tinggi. Penurunan kadar air hingga di bawah 18% akan menyebabkan banyaknya keretakan pada bahan yang berakibat penurunan nilai rendemen beras kepala dan lama tempering akan menjadi tidak berpengaruh
53
terhadap penurunan rendemen beras kepala. Semakin besar penurunan kadar air saat pengeringan pertama, akan semakin besar penurunan rendemen beras kepala nya. Berdasarkan analisis menunjukkan pilihan yang terbaik adalah skenario pengeringan dengan temperatur udara 50 oC, waktu pengeringan pertama 20 menit, waktu tempering pertama 60 menit, waktu pengeringan kedua 30 menit dan waktu tempering kedua 30 menit, tetapi kadar air akhirnya hanya mencapai 15.82%. Sedangkan berdasarkan skenario dengan temperatur udara 60
o
C, waktu
pengeringan pertama 20 menit, waktu tempering 60 menit, kemudian waktu pengeringan kedua 20 menit dan dilanjutkan tempering 80 menit, dengan kadar air akhir 14.1% bb serta rendemen beras kepala rata-rata 63.21%. Berdasarkan data tersebut, maka direkomendasikan pengeringan menggunakan skenario pengeringan dengan temperatur udara 60 oC, dengan waktu pengeringan pertama 20 menit, tempering 60 menit, kemudian waktu pengeringan kedua 20 menit dan tempering 80 menit. Hal ini dikarenakan, kadar air yang dapat dicapai adalah 14.1% memenuhi kadar air yang disyaratkan.
3.5
KESIMPULAN 1. Terdapat batasan pengurangan kadar air saat periode pengeringan pertama, yang dapat mempengaruhi rendemen beras kepala. Pengurangan kadar air tersebut dipengaruhi oleh waktu pengeringan, dan temperatur udara pengering. Untuk penggunaan udara pengering bertemperatur tinggi dapat dilakukan dengan waktu pengeringan yang lebih singkat, sehingga pengurangan kadar air lebih rendah, hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi tingkat stress bahan, sehingga penurunan rendemen beras kepala dapat dihindari. Batasan penurunan kadar air saat periode pengeringan pertama agar tidak menggurang nilai rendemen beras kepala adalah kadar air mencapai > 18% bb.
54
2. Waktu tempering, sangat berpengaruh terhadap rendemen beras kepala, pada saat pengeringan pertama ketika kadar airnya mencapai di atas 18% bb. 3. Skenario temperatur udara pengering 60 °C, waktu pengeringan 20 menit dan waktu tempering 60 menit. Perbandingan waktu pengeringan : waktu tempering 1:3 hingga 1:4, menunjukkan rendemen beras kepala yang terbesar yaitu rata-rata 64.69%, dengan hasil kadar air akhir 14.1 % bb.