BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan stabilitas bahan dengan mengurangi kandungan air bahan sehingga aktivitas airnya menurun. Pengeringan juga mengurangi aktivitas mikroba serta meminimalkan perubahan fisik dan kimiawi selama bahan kering disimpan (Mayor & Sereno 2004). Perubahan kadar air selama pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al. 2008). Salah satu perubahan fisik yang penting selama pengeringan adalah pengurangan volume eksternal bahan.
Kehilangan air dan pemanasan
menyebabkan tekanan terhadap struktur sel bahan diikuti dengan perubahan bentuk dan pengecilan ukuran. Penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai akibat negatif pada kualitas produk keringnya. Perubahan bentuk, pengurangan volume dan peningkatan kekenyalan atau kekerasan bahan adalah hal-hal yang kurang disukai konsumen. Keretakan bahan yang dikeringkan adalah fenomena lain yang dapat terjadi selama proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi bila penyusutan yang terjadi tidak seragam dan laju pengeringan terlalu tinggi. Penyusutan
telah
dipelajari
dengan
cara
pengukuran
secara
langsung
menggunakan mistar atau mikrometer atau secara tak langsung dengan mengukur parameter yang terkait dengan penyusutan seperti porositas dan massa jenis (Yadollahinia & Jahangiri 2009). Penyusutan bahan yang mengalami pengurangan kandungan air yang tinggi disarankan tidak diabaikan dan dimasukkan dalam perhitungan pendugaan profil kadar air bahan selama pengeringan. Untuk keperluan ini sudah ada berbagai tipe model untuk memprediksi perubahan volume yang dapat digunakan. Beberapa penulis telah berhasil mengkaji proses penyusutan beberapa produk pertanian baik secara eksprimen maupun teori.
48 Temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang memiliki kadar air cukup tinggi saat dipanen yaitu berkisar 80-90%, sedangkan kadar air akhir yang diinginkan adalah 10%. Dengan demikian perubahan volume irisan temu putih dan temu lawak yang dikeringkan cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Salah
satu faktor yang dipengaruhi oleh penyusutan bahan adalah difusivitas. Efektifitas difusi merupakan kombinasi berbagai mekanisme perpindahan massa seperti kapilaritas, difusivitas gas dan cairan serta perbedaan tekanan. Difusivitas efektif adalah proses utama yang mengontrol pengeringan temu putih dan temu lawak yang terjadi pada periode laju menurun. Crank (1975) telah mengembangkan model matematika untuk menentukan difusivitas efektif berdasarkan hukum Fick kedua yang dipengaruhi oleh bentuk atau geometri bahan. Persamaan matematika yang dikembangkan oleh Crank kemudian diselesaikan oleh beberapa peneliti yang pada umumnya hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Persamaan pengeringan yang diturunkan kemudian didapatkan melalui metode pendekatan empiris, teoritis maupun semi-teoritis. Model-model teoritis dan semi teoritis pengeringan yang sudah dikenal seperti model Lewis dan Henderson-Pabis disusun berdasarkan asumsi tidak terjadi penyusutan selama proses pengeringan berlangsung. Penggunaan model teoritis menyebabkan kesalahan dalam menentukan profil pengeringan, hal ini dapat dilihat dari lebih baiknya model empiris dalam mewakili data pengeringan dibandingkan model teoritis. Jayas et al. (1991) menyatakan walaupun model empiris dapat lebih baik menggambarkan data pengeringan tetapi sulit untuk memaknai parameter-parameternya dibandingkan variabel(-variabel) dari model pengeringan teoritis. Pada penelitian ini sebelumnya baik model semi teoritis Lewis dan Henderson-Pabis maupun yang empiris yaitu model Page telah digunakan dalam menduga profil pengeringan. Model Page memiliki koefisien korelasi yang tinggi dan dapat mewakili data empiris lebih baik daripada model teoritis.
Walaupun demikian, mengingat bahwa temu putih dan temu lawak
mengalami penyusutan yang cukup besar maka pada studi ini faktor penyusutan akan dipertimbangkan dalam penyusunan model teoritisnya.
49 Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan irisan simplisia temu putih dan temu lawak selama pengeringan digunakan bantuan pengolahan citra (image processing) dengan menggunakan kamera digital. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap pemrosesan analisis citra, yang kemudian akan ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Hasil pengamatan penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolahan citra sebagai suatu parameter dapat digunakan untuk mempelajari fenomena penyusutan selama pengeringan. Perubahan lain yang terjadi selama pengeringan adalah berkurangnya kandungan bahan lainnya seperti vitamin, protein, enzim dan zat aktif. Selain itu pengeringan juga mengakibatkan perubahan tampilan fisik produk seperti warna, tekstur dan aroma. Suhu, kadar air dan aktivitas air merupakan faktor yang mempengaruhi sifat kimia dan biokimia bahan selama pengeringan dan penyimpanan. Air bukan hanya media transfer panas dan penyimpanan energi tetapi juga berperan dalam berbagai reaksi biokimia di dalam produk. Molekul air menyediakan proton (H+), ion hidroksida (OH-), atom hidrogen (H), oksigen (O) dan radikal (Hβ’, β’OH). Oleh karena itu, air dapat bertindak sebagai pelarut, pereaksi atau pendispersi di dalam bahan (Ong & Law 2010) Simplisia temu putih dan temu lawak mengandung senyawa aktif yang harus dipertahankan keberadaannya selama produk ini diproses hingga menjadi bahan baku obat tradisional atau jamu. Salah satu tahapan proses tersebut adalah pengeringan. Proses pengeringan harus dilakukan secara benar karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hilang atau berkurangnya zat aktif bahan. Proses pengeringan tentunya tidak dapat meningkatkan mutu simplisia (kuantitas zat aktifnya) karena hal itu tergantung pada aspek budidaya tanaman tersebut. Akan tetapi hubungan kondisi pengeringan dengan kadar zat aktif produk keringnya perlu dipelajari agar diketahui kondisi proses pengeringan yang terbaik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai kondisi pengeringan terhadap penyusutan dan mutu simplisia temu putih dan temu lawak
50 selama proses pengeringan konvektif dengan menggunakan bantuan program pengolahan citra. Tinjauan Pustaka Mekanisme Penyusutan Penyusutan bahan pada saat pengeringan tidak dapat dihindari karena adanya proses pemanasan dan keluarnya air dari bahan. Pada saat air keluar dari bahan terjadi ketidakseimbangan antara tekanan di dalam bahan dengan di luar bahan yang menimbulkan kontraksi dan memicu terjadinya penyusutan, perubahan bentuk dan kadang-kadang terjadi pecah atau keretakan bahan (Mayor & Sereno 2004). Penyusutan meningkat dengan semakin banyaknya air yang keluar dari dalam bahan. Pada beberapa kasus keseimbangan terjadi ketika penyusutan bahan sama dengan volume air yang keluar seperti pada pengeringan wortel yang dilaporkan oleh Krokida & Maroulis (1997) dan Lozano et al. (1983) (Gambar 3-1). Pada kasus yang lain volume air yang keluar lebih besar daripada penyusutan bahan seperti pada pengeringan kentang dan ubi jalar (Wang & Brennan 1995) serta apel (Krokida & Maroulis 1997; Figueiredo & Sereno 2000) (Gambar 3-2). Hal ini disebabkan adanya penurunan mobilitas (kelenturan) material padat bahan pada kondisi kadar air rendah.
Gambar 3-1. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel wortel selama pengeringan
51
Gambar 3-2. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel apel selama pengeringan Mobilitas bahan padat sangat terkait dengan keadaan fisik yaitu sifat viskoelastik, dimana kelenturan yang tinggi berhubungan dengan rubbery state sedangkan yang rendah dengan glassy state. Levi & Karel (1995) menemukan bahwa mobilitas bahan padat merupakan suatu proses dinamis yang lajunya tergantung pada selisih suhu pengeringan dengan suhu transisi gelas. Pada kadar air tinggi dan bahan dalam kondisi rubbery, hampir seluruh penyusutan merupakan kompensasi dari hilangnya air dari dalam bahan, dan pada saat itu penyusutan bahan terjadi secara linier mengikuti penurunan kadar air. Pada kadar air rendah suhu transisi gelas meningkat dan kondisi bahan berubah dari rubbery ke glassy dan laju serta besarnya penyusutan berkurang secara signifikan. Ketika pengeringan berlangsung pada selang kadar air rendah terjadi transisi fase dari rubbery ke glassy, maka kekakuan (rigidity) bahan akan menghentikan penyusutan dan akan terbentuk pori-pori bahan (Mayor & Sereno 2004). Laju pengeringan yang tinggi akan membuat adanya gradien kandungan air pada seluruh bahan, sehingga permukaan luar yang berkadar air rendah akan berada pada fase transisi dan membentuk lapisan permukaan yang keras dan berpori sehingga volume bahan tidak berubah lagi walaupun dibagian dalam masih berada pada fase ruberry.
Fenomena ini dikenal juga sebagai efek
pengerasan lapisan permukaan (case hardening effect). Pengerasan lapisan tidak
52 terjadi jika kondisi pengeringan di lapisan luar bahan tidak melewati fase transisi walaupun laju pengeringannya tinggi. Bila digunakan laju pengeringan rendah, difusi air dari dalam keluar bahan akan terjadi dengan laju yang sama dengan penguapan air di permukaan bahan dan penyusutan terjadi secara seragam hingga tahap akhir pengeringan. Beberapa peneliti sudah mempelajari pengaruh dari kondisi pengeringan yang berbeda terhadap perubahan volume bahan selama pengeringan.
Pada
umumnya analisis tersebut dilakukan untuk mempelajari pengaruh setiap satu kondisi proses seperti suhu (Mcminn & Magee 1997 dengan komoditas kentang), kecepatan udara (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel) ataupun kelembaban nisbi (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel). Hasil studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bagaimana pengaruh kondisi ini terhadap penyusutan. Pada beberapa kasus kenaikan suhu pengeringan menyebabkan penyusutan yang lebih sedikit. Pada kasus lain kenaikan laju udara pengeringan juga berpengaruh lebih kecil pada penyusutan yang besarannya tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan (Mayor & Sereno 1995). Perbedaan konsentrasi secara kimiawi merupakan tenaga penggerak bagi terjadinya transfer massa yang diekspresikan melalui bilangan Biot untuk pindah massa sebagai berikut (Ratti 1994): π΅π =
ππ πΏ0 π1 ππ π·ππ
(3.1)
koefisien kg umumnya independen dari kelembaban nisbi udara (Treybal 1980) dan karena variabel ini memiliki pengaruh yang kecil terhadap P, pada rentang kelembaban nisbi menengah (dari 0.2-0.8 untuk sebagian besar bahan makanan), maka bilangan Bi yang didefinisikan dalam persamaan (3.1) tidak berubah secara signifikan dalam kisaran kelembaban udara yang disebutkan. Oleh karena itu efek kelembaban relatif pada penyusutan dapat diabaikan, kecuali pada nilai-nilai yang sangat rendah. Pada saat pengeringan berada pada kondisi kelembaban yang sangat rendah dimana bilangan Bi meningkat tajam, terjadi fenomena pengerasan permukaan (case hardening) untuk membatasi susut. Suhu hanya berpengaruh sedikit pada kg dan P1 sehingga pengaruhnya pada penyusutan juga kecil. Efek kecil suhu terhadap penyusutan yang teramati dalam praktek dapat dikaitkan
53 dengan pengaruh suhu terhadap sifat elastisitas dan mekanikal bahan (Kowalski 1996). Difusivitas Efektif Difusivitas sangat tergantung pada suhu pengeringan dan kadar air bahan. Untuk bahan berpori (porous material) fraksi void juga sangat mempengaruhi difusivitas demikian pula dengan kondisi struktur dan sebaran porinya. Ketergantungan difusivitas terhadap suhu secara umum dapat digambarkan oleh persamaan Arhenius (Marinos-Kouris & Maroulis 1995; Madamba et al. 1996) berikut: π· = π·0 ππ₯π
βπΈπ π
β ππππ
(3.2)
dimana π·0 adalah koefisien yang berhubungan dengan kondisi pengeringan
atau disebut juga Arhenius factor (m2/detik), Ea adalah energi aktivasi untuk difusi (kJ/mol), R adalah konstanta gas ideal (kJ/molβ’K) dan T adalah suhu mutlak (K).
Ketergantungan difusivitas terhadap kadar air dapat dinyatakan
dalam persamaan Arhenius dengan memasukkan energi aktivasi ataupun Arhenius factor sebagai fungsi dari kadar air. Hubungan kadar air dan difusivitas bahan juga dapat menggunakan persamaan empiris lainnya, seperti yang digunakan Kiranoudis et al. (1992b) untuk komoditas kentang dan wortel berikut, π· = π·0 ππ₯π β
π0 π0 ππ₯π π π
(3.3)
Migrasi air selama proses pengeringan merupakan hal kompleks yang melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan dan perbedaan tekanan hidrostatik (Mujumdar & Devahastin 2008). Difusi efektif (Def) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua, πππ = β π· β βππ ππ‘
(3.4)
54 Dengan mengansumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dan tidak terjadi perubahan volume (shrinkage) maka persamaan (3.4) dapat ditulis menjadi: ππ = π·ππ β2 π ππ‘
(3.5)
Def adalah difusivitas efektif (m2/detik). Pemecahan persamaan 3.5 dilakukan untuk berbagai bentuk standard (datar, silinder dan bola) dengan kondisi batas sesuai bentuk masing-masing (Crank 1975).
Untuk bentuk datar (slab)
pemecahan persamaan tersebut berupa deret persamaan berikut, β
8 π β ππ ππ
= = 2 π0 β ππ π
1 2π + 1
ππ₯π 2
β(2π + 1)2 π 2 π· β π‘ 4π2
(3.6)
π=0
Dalam banyak kasus, difusivitas efektif dihitung hanya berdasarkan suku pertama dari penyelesaian umumnya, sehingga persamaan (3.6) menjadi: ππ
=
8 π2 π· β π‘ ππ₯π β π2 4π2
(3.7)
Karathanos et al. (1990) membuat tahapan untuk menghitung difusivitas efektif bahan secara terinci. Pada kebanyakan kasus, difusivitas total merupakan penjumlahan dari difusivitas fase uap dan fase cair sebagaimana Gambar 3-3. Pada kadar air tinggi difusivitas cairan lebih dominan sebagai mekanisme transport dibandingkan difusivitas uap dan sebaliknya. Pada umumnya koefisien difusivitas berada pada selang 10-13 dan 10-6 m2/detik dimana mayoritas (sekitar 92%) berada pada selang 10-12 dan 10-8 m2/detik (Zogzas & Maroulis 1996).
Dari berbagai studi yang telah dilakukan
diketahui bahwa difusivitas efektif meningkat dengan meningkatnya suhu tetapi dengan kecenderungan yang bervariasi sesuai kadar air bahan. Pada suhu tinggi ikatan molekul air dengan zat lain di dalam bahan lebih mudah terlepas sehingga diperlukan energi yang lebih sedikit untuk mengeluarkan air dibandingkan pada suhu rendah.
55
Gambar 3-3. Variasi difusivitas terhadap kadar air (Karathanos et al. 1990) Hal sebaliknya, kemudahan pergerakan air dalam bahan sangat tergantung pada struktur bahan. Selain itu fraksi void juga diketahui sangat mempengaruhi difusivitas, dimana bahan dengan porositas rendah cenderung mengalami difusi cair sedangkan untuk biji-bijian/butiran dan produk yang banyak mengandung pori cenderung mengalami difusi uap melalui rongga kosong (void space) (Karathanos et al. 1990). Model Penyusutan Berbagai studi telah dilakukan untuk mendapatkan model pendugaan yang menjelaskan perilaku penyusutan buah-buahan dan sayuran. Lozano et al. (1983) mendapatkan hubungan untuk menduga penyusutan pada buah-buahan dan sayuran berdasarkan perubahan kadar air.
Al-Muhtaseb et al. (2004) dan
Hernandez et al. (2000) menyatakan bahwa penyusutan dan perubahan kadar air berbanding lurus. Hatamipour & Mowla (2002) melaporkan bahwa perubahan volume wortel juga berbanding lurus dengan penyusutan arah sumbu selama pengeringan, sedangkan Yang et al. (2001) melaporkan bahwa penyusutan kentang tidak berpola (non-isotropic or irregular). Teknik pengolahan citra adalah cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Yan et al. (2008) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis perubahan dimensi nenas, mangga dan pisang selama pengeringan. Perubahan parameter seperti luas, perimeter, diameter dan bentuk bahan diukur
56 dengan analisis citra dan dihubungkan dengan perubahan kadar air memakai persamaan polinomial ordo dua. Fernandez (2005) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis pengaruh pengeringan terhadap penyusutan, warna dan tekstur irisan apel. Semua parameter tersebut turun secara landai menurut waktu pengeringan dan nilainya berubah cepat pada 6 jam pertama pengeringan dan setelah itu relatif stabil. Ada dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model penyusutan bahan pangan selama pengeringan.
Yang pertama disusun
berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan kedua yang lebih fundamental didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004) Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa proses perubahan volume adalah salah satu unsur pokok sumber kesalahan dalam simulasi model pengeringan produk biologis (Lang & Sokhansanj 1993). Sebagian besar model matematika yang digunakan untuk simulasi pengeringan proses produk pertanian telah mengabaikan perubahan volume pada saat proses pengeringan (Brooker et al. 1981). Namun, modelmodel tersebut dapat diperbaiki dengan memasukkan fenomena penyusutan (Lang et al. 1994). Pada umumnya model penyusutan didasarkan pada geometri standar yaitu bentuk bola, silinder, kubus dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan adalah ketebalan, diameter, area atau volume bahan. Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk 2 dimensi. Pengolahan citra juga dikatakan sebagai operasi untuk memperbaiki, menganalisa, atau mengubah suatu gambar. Pada umumnya, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan
57 atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu point, area, geometri, dan frame (Niblack 1986). Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Termasuk di dalam operasi point ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Termasuk di dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Termasuk di dalam operasi geometri ini adalah translasi, scaling, rotasi dan flip. Proses pengolahan citra mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segi enam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut (Putra 2010). Satuan atau bagian terkecil dari suatu citra disebut piksel (pixel atau picture element). Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ahmad 2005). Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh
58 komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar. Perolehan citra dan segmentasi sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari empat komponen dasar yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks. Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner. Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, ataupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal diatas. Keempat cara thresholding ini di gunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruangan harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan, dan tidak terlalu kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan obyek, terutama untuk obyek-obyek yang mempunyai permukaan licin dan berkilap (Ahmad 2005). Komposisi Kimia dan Mutu Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga berupa bahan yang dikeringkan.
59 Simplisia dapat berasal dari tanaman utuh atau bagian dari tanaman, hewan, bahan mineral yang diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes 2008, 1978). Simplisia dari tanaman harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak mengandung lendir, jamur/cendawan dan bahan lain yang beracun atau berbahaya. Temu putih merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 2 m dan memiliki batang semu, batang di dalam tanah membentuk rimpang berwarna kuning-hijau. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah umbi akar yang diiris dan dikeringkan. Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri, zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 3-4). Selain itu, bagian minyak temu putih yang mudah menguap (11.5%) juga mengandung epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (BPOM, 2007). Chen et al. (2011) menyatakan bahwa komponen yang dominan di dalam Curcuma zedoaria adalah minyak atsiri. Beberapa penelitian melaporkan bahan aktif temu putih bersifat anti kanker (Chen et al. 2011; Seo et al. 2005) dan sudah diuji menjadi anti oksidan (Mau et al. 2003). Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan di dataran rendah hingga 1500 m di atas permukaan laut (Syukur 2003). Rimpang temu lawak segar terdiri atas minyak atsiri, lemak, zat warna, protein, resin, selulosa, pati, mineral dan air. Rimpang keringnya mengandung 7-30% minyak atsiri, 30-40% pati dan 0.022.0% kurkuminoid yang terdiri atas 58-71% kurkumin (C21H20O6) dan 29-42% desmetoksikurkumin (C20H18O5) (Yasni et al. 1993; Purseglove et al. 1981). Minyak atsiri memberi bau dan rasa yang khas sedangkan kurkuminoid memberi warna kuning pada rimpang temu lawak yang bersifat antibakteria, anti-kanker, anti-tumor dan anti-radang. Selain itu rimpang temu lawak mengandung antioksidan dan hypokolesteromik (Masuda et al. 1992; Hwang et al. 2000; Choi et al. 2005).
60
Gambar 3-4. Struktur kimia kurkuminoid C. xanthorrhiza (Masuda et al. 1992) Standar mutu simplisia didasarkan pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI) dan Materia Medika Indonesia (MMI) (Depkes 2008, 1979). Standar simplisia temu putih masih belum tercantum dalam FHI dan MMI sehingga didekati dengan spesies lain dari genus yang sama. Pada Tabel 3-1 ditampilkan standar mutu beberapa genus Curcuma yaitu kunyit (C. domestica), temu mangga (C. mangga) dan temu lawak (C. xanthorrhiza). Tabel 3-1. Standar mutu beberapa simplisia genus Curcuma 1) Parameter Kadar air 2) Kadar abu Kadar abu tidak larut dalam asam Kadar sari larut dalam air Kadar sari larut dalam alkohol Kadar kurkumin Bahan organik asing 3)
Kunyit
Temu mangga
Temu lawak
< 10% < 8.2% < 0.9% > 11.5% > 11.4% > 6.6% < 2%
< 10% < 6.1% < 2.4% > 19.6% > 2.4% < 2%
< 10% < 4.8% < 0.7% > 9.1% < 3.6% > 4.0% < 2%
Sumber : 1) Depkes (2008); 2) Kepmenkes 661/1994; 3) Depkes (1979)
Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari β Nopember 2010 di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB.
61 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah irisan rimpang temu putih dan temu lawak dengan umur panen 9 bulan yang diperoleh dari Kebun Petak Pamer Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu-Bogor. Alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendaliterakuisisi, timbangan digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541, seperangkat kamera dan pengolah data. Prosedur Percobaan Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bahan, persiapan peralatan, dan pengambilan data perubahan massa dan citra. Sampel temu putih dan temu lawak yang sebelumnya telah dicuci dan dipotong-potong dengan ketebalan 3 mm dikeringkan dengan alat pengering lab terkendali. Pengontrolan
kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu Β± 1oC dan RH Β± 2% sesuai dengan standar (ASABE 2006). Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm ο΄ 35 cm ο΄ 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi Β± 0.1 m/s.
Laju
aliran udara 0.8-0.9 m/detik. Skema alat pengering terlihat pada Gambar 1-1. Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar satu jam sebelum dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D (kapasitas 3000 g dan akurasi 0.01 g). Demikian juga perekaman citra diukur dan dicatat hingga pengeringan berakhir. Semua data yang diambil langsung direkam oleh perangkat komputer. Analisis citra disimpan dalam format digital yang akan diolah kemudian.
62 Kondisi pengeringan yang dilakukan pada studi ini adalah pada suhu 50, 60 dan 70 oC dengan RH 20%, 30% dan 40%.
Luas permukaan sampel simplisia
2
bervariasi antara 276 hingga 496 mm . Sampel hasil pengeringan pada berbagai kondisi percobaan pengeringan kemudian dianalisis kandungan zat aktif kurkuminoidnya dan juga dilakukan analisis proksimat. Pada Tabel 3-2 dapat dilihat kondisi pengeringan untuk studi penyusutan temu putih dan temu lawak. Tabel 3-2. Kondisi suhu & RH percobaan pada studi penyusutan temu putih dan temu lawak Temu putih Suhu/RH 50 oC 60 oC 70 oC
20% β
30% β
Temu lawak 40% β β β
40% β β β
Perekaman Citra Selama pengeringan berlangsung citra sampel direkam ke komputer dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra direkam setiap 5 menit dengan kamera yang ditempatkan pada bagian atas alat pengering dengan jarak 15 cm dari permukaan bahan. Citra irisan temu putih yang telah direkam, kemudian disimpan dalam sebuah arsip (file). Citra tersebut kemudian dianalisis dengan program pengolahan citra yang dibuat untuk kondisi percobaan ini. Analisis penyusutan dilakukan terhadap area (luasan) penampang bahan. Data hasil analisis citra kemudian dihitung untuk mendapatkan rasio penyusutan area atau luas permukaan bahan yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung (Tulliza 2010). Obyek yang direkam terdiri atas banyak sekali piksel yang saling terkoneksi. Dalam citra digital yang dipresentasikan dalam bentuk rangkaian kotak persegi-empat, sebuah piksel mempunyai empat piksel tetangga yang bersentuhan sisi dan empat piksel tetangga lainnya yang bersentuhan di sudut. Operasi morfologi diterapkan pada citra adalah metode biner, dimana suatu citra hanya mengandung dua macam informasi intensitas, yaitu piksel-piksel obyek (warna putih) dan piksel-piksel latar belakang (warna hitam). pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 3-5.
Skema proses
63
Simplisia TP & TL
Gambar 3-5. Ilustrasi proses pengolahan citra (Tulliza 2010) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Anova untuk mengevaluasi keragaman dan regresi linier dan non linier untuk mendapatkan model yang sesuai.
Program yang digunakan untuk analisis data adalah MS Excell dan
CurveExpert 1.40. Kriteria yang digunakan untuk memilih model yang sesuai adalah R2 (coefficient of determination) dan SE (standard of error). Analisis Penyusutan Penyusutan menggambarkan pengurangan atau pengecilan ukuran atau dimensi volume, area (luas permukaan) ataupun ketebalan bahan. Penyusutan volume bahan yang dikeringkan dirumuskan sebagai berikut: π=
π π0
(3.8)
Pada analisis ini penyusutan diasumsikan seragam (isotropic) sehingga penyusutan ketebalan sebanding dengan pengurangan dimensi permukaan bahan yang berbentuk slab sehingga ratio penyusutan ketebalan dan volume adalah: πΏ π΄ = πΏ0 π΄0
1/2
(3.9)
64 π π΄ = π0 π΄0
3/2
(3.10)
Secara teoritis pengurangan volume bahan yang dikeringkan sebanding dengan volume air yang keluar sehingga model penyusutan volume menggunakan persamaan linier sebagai berikut, π π =π +π π0 π0
(3.11)
Analisis Mutu Simplisia Analisis mutu simplisia temu putih dan temu lawak dilakukan untuk melihat kadar proksimat dan bahan aktifnya dalam hal ini kadar kurkumioid. Analisis sampel dilakukan di laboratorium yang telah disertifikasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yaitu Laboratorium Analisis Mutu Balittro Bogor dan Pusat Studi Biofarmaka Bogor. Hasil analisis dibandingkan dengan standar simplisia yang mengacu pada standar Materia Medika Indonesia. Hasil dan Pembahasan Penyusutan Temu Putih Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu putih dan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A0) terhadap waktu (Gambar 3-6) dan rasio kadar air (M/M0) (Gambar 3-7). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan simplisia berkurang cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan.
Dari grafik pada berbagai suhu
terlihat semakin tinggi suhu pengeringan semakin tinggi linieritas penyusutan terhadap rasio kadar air, sedangkan untuk RH tingkat linieritasnya lebih rendah dan tidak memperlihatkan suatu pola. Dengan menggunakan persamaan (3.10) maka penyusutan volume simplisia dapat ditentukan dan kurvanya (V/V0)terhadap rasio kadar air diplot pada Gambar 3-8. Penyusutan volume temu putih terlihat berbanding lurus dengan pengurangan kadar air. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu dan RH berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan (P-value 0.89 dan 0.61).
65 1.0
70 C, 40% A/Ao
0.6 0.4
0.6 0.4
0.2
0.2
0.0
0.0 0
60
120 180 240 Waktu (menit)
300
50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40%
0.8
60 C, 40%
0.8 A/Ao
1.0
50 C, 40%
0
360
60
120 180 240 Waktu (menit)
300
360
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
A/Ao
A/Ao
Gambar 3-6. Penyusutan area sampel temu putih terhadap waktu pengeringan
0.4
0.4 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40%
50 C, 40% 0.2
0.2
60 C, 40% 70 C, 40%
0.0 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
0.0 1.0
0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
1.0
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
V/Vo
V/Vo
Gambar 3-7. Penyusutan area sampel temu putih terhadap kadar air
0.4
50 C, 40%
0.2
0.4 50 C, 20%
60 C, 40%
0.2
50 C, 30%
70 C, 40%
0.0
50 C, 40%
0.0 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
1.0
0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
Gambar 3-8. Penyusutan volume sampel temu putih terhadap kadar air
1.0
66 Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar 3-9 dan 3-10. Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu putih selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 70 oC terjadi pembengkokan (bending) pada sampel temu putih yang diamati, demikian juga pada RH 30%.
Gambar 3-9. Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai suhu
Gambar 3-10. Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai RH Pada Tabel 3-3 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel
67 tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan. Hal yang sama dilaporkan oleh Wang & Brennan (1995)
pada pengeringan
kentang dan ubi jalar serta apel oleh Krokida & Maroulis (1997). Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan suhu pengeringan berkisar 81.2%93.9% dan 67.1%-84.6% dengan rata-rata (89.3Β±7.1)% dan (78.1Β±9.6)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi 98.7-99.6%. Pada Tabel 3-4 tertera besarnya penyusutan pada setiap RH pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan juga lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan RH pengeringan. Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan RH pengeringan berkisar 71.3%-81.2% dan 56.5-67.1% dengan rata-rata (74.6Β±5.6)% dan (60.1Β±6.1)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi 98.5-98.7%. Tabel 3-3. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 oC Suhu
RH
70 oC 60 oC 50 oC
40% 40% 40%
Area (mm2) awal akhir susut 496 77 84.6% 325 56 82.7% 310 102 67.1%
Volume (mm3) awal akhir susut 1488 90 93.9% 976 70 92.8% 931 176 81.2%
susut air
waktu (menit)
99.6% 99.2% 98.7%
230 255 360
Tabel 3-4. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada RH 20%, 30% dan 40% Suhu
RH
50 oC 50 oC 50 oC
40% 30% 20%
Area (mm2) awal akhir susut 310 102 67.1% 406 176 56.7% 318 138 56.5%
Volume (mm3) awal akhir susut 931 176 81.2% 1217 347 71.5% 954 274 71.3%
susut air
waktu (menit)
98.7% 98.5% 98.6%
360 385 445
Model Penyusutan Temu Putih Pada Gambar 3-11 terlihat total penyusutan volume temu putih menurut waktu. Pada sekitar 90 menit pertama pengeringan, penyusutan volume pada berbagai tingkat suhu juga hampir berupa garis lurus dan semakin landai menuju
68 akhir pengeringan, sedangkan pada berbagai tingkat RH hanya linier pada sekitar 60 menit pertama. Gambar 3-12 memperlihatkan kurva total penyusutan volume temu putih menurut rasio kadar air. Kurva total penyusutan terhadap rasio kadar air pada berbagai tingkat suhu terlihat lebih linier daripada pada berbagai tingkat RH dengan demikian untuk menyusun model penyusutan temu putih yang didasarkan pada persamaan (3.11) digunakan data pengeringan pada berbagai tingkat suhu.
80%
80% Penyusutan
100%
Penyusutan
100%
60% 40% 50 C, 40% 20%
70 C, 40% 0
60
120 180 Waktu (menit)
240
40% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40%
20%
60 C, 40%
0%
60%
0% 0
300
60
120 180 Waktu (menit)
240
300
Gambar 3-11. Total penyusutan volume ((V0-V)/V0) temu putih terhadap waktu pengeringan 100%
100% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40%
80% Penyusutan
Penyusutan
80% 60% 40%
60% 40%
20%
20%
0%
0% 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40%
1.0
0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
Gambar 3-12. Total penyusutan ((V0-V)/V0) temu putih terhadap rasio kadar air Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.11) tersebut dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-5. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu putih sehingga nilai a dan b dari seluruh
1.0
69 data percobaan pada suhu 50, 60 dan 70 oC digunakan sebagai parameter untuk model penyusutan temu putih. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah 0.8826 dan 0.0955 dengan nilai R2 sebesar 0.9757 dengan standard error 0.0414, sehingga model persamaan penyusutan temu putih dapat ditulis sebagai berikut: π π = 0.8826 + 0.0955 π0 π0
(3.12)
Plot grafik persamaan (3.12) tertera pada Gambar 3-13. Tabel 3-5. Nilai a dan b persamaan (3.10) pada berbagai suhu pengeringan a
b
R2
SE
70 C
0.9434
0.0571
0.9991
0.0091
60 oC
0.9352
0.0531
0.9959
0.0182
0.8152
0.1435
0.9747
0.0375
Suhu o
o
50 C
S = 0.04136343 r = 0.98775999 1 .0
V/ Vo
0 .8
0 .6
0 .4
0 .2
0 .0
β’ Data ββ Model Penyusutan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
M/Mo Gambar 3-13. Kurva model penyusutan temu putih pada berbagai suhu Difusivitas Efektif Temu Putih Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan pada setiap kondisi pengeringan dapat ditentukan (Tabel 3-6). Nilai difusivitas efektif dengan mempertimbangkan
70 penyusutan berada pada kisaran 4.74Γ10β9-6.19Γ10β9 m2/s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran 9.51Γ10β9-11.7Γ10β9 m2/s. Hal yang sama dilaporkan oleh Zielinska & Markowski (2010) untuk produk irisan rimpang lainnya (wortel) yaitu antara 2.58Γ10-10 - 1.72Γ10β9 m2/s dan antara 1.25Γ10β9 2.04Γ10β9 m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan. Tabel 3-6. Nilai difusivitas efektif temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Suhu, RH 70 C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20%
Model Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage
D-ef (m2/s) 5.68E-09 1.17E-08 5.04E-09 1.06E-08 4.74E-09 9.51E-09 5.81E-09 1.13E-08 6.19E-09 1.16E-08
R2 0.9947 0.9900 0.9907 0.9918 0.9937 0.9976 0.9985 0.9975 0.9991 0.9970
SE 0.0249 0.0270 0.0330 0.0244 0.0250 0.0129 0.0111 0.0130 0.0083 0.0137
Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.5% dan 0.021 sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.5% dan 0.018, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian terbuka kemungkinan bahwa penyusutan temu putih tidak bersifat isotropik. Dari data pada tabel di atas disusun persamaan difusivitas sebagai fungsi suhu pengeringan.
Dengan
menggunakan metode regresi non-linier didapatkan koefisien D0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) masing-masing adalah 3.33x10-7 m2/detik dan 9.544 kJ/mol dengan R2 dan standard error masing-masing sebesar 1.00 dan 2.1x10-12. Persamaannya ditulis sebagai: π· = 3.33 Γ 10β7 ππ₯π β
9.544 π
β ππππ
(3.13)
Dengan mempertimbangkan faktor penyusutan maka didapatkan koefisien D0 dan Ea masing-masing adalah 1.05x10-7 m2/detik dan 8.343 kJ/mol dengan R2 dan standard error masing-masing sebesar 0.96 dan 1.3x10-10 dan ditulis sebagai:
71 π· = 1.05 Γ 10β7 ππ₯π β
8.343 π
β ππππ
(3.14)
Penyusutan Temu Lawak Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A0) dan rasio volume terhadap waktu (Gambar 3-14). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan irisan temu lawak menyusut cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan. Penyusutan volume temu lawak menurut waktu terlihat identik dengan kurva pengeringan, hal ini sejalan dengan grafik penyusutan terhadap kadar air (M/M0) (Gambar 3-15) yang menunjukkan kecenderungan hubungan yang linier terutama pada saat awal pengeringan. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu berpengaruh tidak nyata (Ξ± = 0.01) terhadap penyusutan temu lawak dengan Pvalue sebesar 0.03. Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar 3-16. Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu lawak selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 60 oC terlihat sampel temu lawak mengalami pembengkokan.
1.0 0.8 0.6 0.4
0.6 0.4
0.2
0.2
0.0
0.0 0
60
120 180 240 Waktu (menit)
300
360
50 C 60 C 70 C
0.8 V/Vo
A/Ao
1.0
50 C 60 C 70 C
0
60
120 180 240 Waktu (menit)
Gambar 3-14. Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap waktu pengeringan
300
360
1
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
V/Vo
A/Ao
72
0.4 50 C 60 C 70 C
0.2 0 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
1.0
0.4 50 C 60 C 70 C
0.2 0.0 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
Gambar 3-15. Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap kadar air
Gambar 3-16. Penyusutan citra area temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Pada Tabel 3-7 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air temu lawak lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan, hal yang sama juga terjadi pada temu putih. Penyusutan volume dan area irisan temu lawak berdasarkan suhu pengeringan berkisar 73.3%-88.5% dan 58.6%-74.4% dengan rata-rata (79.9Β±7.8)% dan (66.2Β±9.2)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi 98.7-99.2% dengan rata-rata (98.9Β±0.3)%.
1.0
73 Tabel 3-7. Penyusutan total temu lawak selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 oC Suhu
RH
70 oC 60 oC 50 oC
40% 40% 40%
awal 276 438 307
Area (mm2) akhir susut 115 58.6% 104 76.4% 112 63.5%
Volume (mm3) awal akhir susut 829 221 73.3% 1314 151 88.5% 920 203 78.0%
susut air
waktu (menit)
98.9% 99.2% 98.7%
280 385 480
Pada Gambar 3-17 terlihat total penyusutan volume temu lawak menurut waktu dan kadar air.
Pada sekitar 120 menit pertama pengeringan, penyusutan
volume pada berbagai tingkat suhu meningkat secara linier dan kemudian stabil sampai akhir pengeringan.
Kurva total penyusutan menurut kadar air
memperlihatkan bahwa pada saat awal pengeringan nilai rasio kadar air sekitar 0.2-0.3 pertambahan penyusutan cenderung linier dan cenderung stabil setelah selang tersebut.
80%
80% Penyusutan
100%
Penyusutan
100%
60% 40% 50 C 60 C 70 C
20% 0% 0
60
120 180 240 Waktu (menit)
300
360
50 C 60 C 70 C
60% 40% 20% 0% 0.0
0.2
0.4 0.6 M/Mo
0.8
Gambar 3-17. Total penyusutan volume ((V0-V)/V0) temu lawak terhadap waktu pengeringan (kiri) dan rasio kadar air (kanan) Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.10) dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-8. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu lawak. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah 0.7977 dan 0.1596 dengan nilai R2 sebesar 90% dan standard error 0.0757, sehingga model persamaan penyusutan temu lawak dapat ditulis sebagai berikut:
1.0
74 π π = 0.7977 + 0.1596 π0 π0
(3.14)
Tabel 3-8. Nilai a dan b persamaan penyusutan temu lawak Suhu 70 oC 60 oC 50 oC
a 0.6719 0.9183 0.8238
b 0.2190 0.0575 0.1979
R2 0.9081 0.9606 0.9944
SE 0.0617 0.0533 0.0163
Dengan mengunakan program CurveExpert didapatkan bahwa curve fitting terbaik berupa persamaan polinomial yang dalam hal ini diambil persamaan polinomial pangkat tiga. Persamaannya adalah sebagai berikut: π π π = 0.209 β 0.222 + 2.314 π0 π0 π0
2
π β 1.291 π0
3
(3.15)
dengan R2 sebesar 93% dan standard error 0.0618. Nilai koefisien determinasi model polinomal tidak terlalu berbeda dari model linier, dengan demikian persamaan linier sudah memadai untuk digunakan sebagai model penyusutan temu lawak. Plot grafik model persamaan penyusutan temu lawak tertera pada Gambar 3-18. Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan dapat ditentukan berdasarkan data pengeringan pada setiap kondisi pengeringan (Tabel 3-9). Nilai difusivitas efektif temu lawak dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran 4.93Γ10β9-7.18Γ10β9 m2/s lebih kecil daripada tanpa memertimbangkan penyusutan yang berada pada kisaran 10.4Γ10β9-14.4Γ10β9 m2/s. Hal yang sama juga terjadi pada produk irisan rimpang temu putih yaitu antara kisaran 4.74Γ10β9-6.19Γ10β9 m2/s dan 9.51Γ10β9-11.7Γ10β9 m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan.
75
S = 0.06175801 r = 0.96485042
1 .0
1 .0
0 .8
0 .8
0 .6
0 .6
V/ Vo
V/ Vo
S = 0.07567877 r = 0.94617091
0 .4
0 .4
0 .2
0 .0
0 .2
β’ Data ββ Model Penyusutan 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 .0
β’ Data ββ Model Penyusutan 0.0
0.2
0.4
M/Mo
0.6
0.8
M/Mo
Gambar 3-18. Kurva model penyusutan temu lawak dengan persamaan linier (kiri) dan polinomial (kanan) Tabel 3-9. Nilai difusivitas efektif temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Suhu, RH 70 C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40%
Model Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage Shrinkage No-Shrinkage
D-ef (m2/s)
R2
SE
7.18E-09 1.44E-08 4.95E-09 1.18E-08 4.93E-09
0.9957 0.9954 0.9841 0.9961 0.9941
0.0198 0.0179 0.0409 0.0165 0.0236
1.04E-08
0.9969
0.0146
Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.1% dan 0.028 sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.6% dan 0.016, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian penyusutan temu lawak diduga tidak bersifat isotropik. Dari data pada Tabel 3-9 disusun persamaan difusivitas efektif sebagai fungsi suhu pengeringan dengan menggunakan metode regresi non-linier. Nilai koefisien D0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu lawak masing-masing adalah 2.77x10-6 m2/detik dan 15.041 kJ/mol dengan R2 dan standard error masing-masing sebesar 0.982 dan 2.01x10-10.
Persamaannya
ditulis sebagai berikut: π· = 2.77x10β6 ππ₯π β
15.041 π
β ππππ
(3.16)
1.0
76 Analisis Mutu Simplisia Tabel 3-10 memperlihatkan hasil analisis proksimat simplisia temu putih pada berbagai suhu. Nilai kadar proksimat semua parameter pada seluruh kondisi suhu pengeringan telah sesuai dengan standar untuk simplisia kunyit dan temu mangga kecuali untuk suhu 60oC-RH 40% pada parameter kadar abu tidak larut asam memiliki nilai 3.31% yang cenderung berbeda dengan nilai pada parameter yang sama suhu yang berbeda. Kadar kurkumin simplisia temu putih ditampilkan pada Tabel 3-11 yang berkisar antara 0.05-0.16%. Dari tabel tersebut nilai-nilai kadar akhir kurkumin tidak memiliki pola yang signifikan berdasarkan suhu dan RH, tetapi berdasarkan laju udara pengeringan terlihat bahwa kadar kurkumin pada kecepatan rendah cenderung lebih tinggi daripada kecepatan tinggi, angkanya 0.08Β±0.02% berbanding 0.13Β±0.02%. Nilai kadar kurkumin pada sampel basah temu putih tidak dapat terdeteksi. Tidak terdeteksinya kadar kurkumin sampel segar dan tidak adanya pola kadar kurkumin temu putih berdasarkan level suhu dan RH diduga disebabkan oleh kecilnya kandungan kurkumin pada simplisia temu putih yang lebih banyak mengandung bahan aktif zingiberen dan zederon (BPOM 2007). Tabel 3-10. Kadar proksimat simplisia temu putih Suhu
Parameter Kadar abu (%) Kadar abu tidak larut dalam asam (%) Kadar sari larut dalam air (%) Kadar sari larut dalam alkohol (%)
o
40 C
o
50 C
60oC
70oC
6.75 0.07 25.17 16.21
6.42 3.31 26.38 15.59
7.48 0 23.25 13.83
5.53 0.11 23.13 14.07
Tabel 3-11. Kadar kurkumin simplisia temu putih Suhu RH % Kadar v1 kurkumin v2
40 oC 40% 60% 0.08 0.10 0.15 0.11
50 oC 20% 40% 60% 0.09 0.06 0.05 0.16 0.14 0.09
60 oC 20% 40% 60% 0.09 0.08 0.11 0.13 0.12 0.15
70 oC 20% 40% 0.10 0.08 0.14 0.14
Analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak pada Tabel 3-12 memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin rendah kadar kurkuminnya. Pada kondisi suhu 50 dan 60 oC juga terdapat
77 kecenderungan bahwa semakin rendah RH maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia temu lawak. Tabel 3-12. Kadar kurkumin temu lawak RH 20%
30%
40%
Rata-rata menurut suhu
2.26%
3.58%
2.14%
2.66%
60 C
3.07%
4.67%
5.18%
4.31%
50 oC
7.56%
7.60%
7.99%
7.72%
Suhu 70 oC o
Kadar kurkumin (dengan penjemuran)
5.62%
Hasil analisa proksimat simplisia temu lawak pada Tabel 3-13 menunjukkan bahwa semua nilai parameter sudah sesuai dengan standar Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (Depkes 2008) kecuali parameter kadar abu. Tabel 3-13. Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak Parameter Kadar abu
Simplisia Temulawak Standar FHI Sampel < 4.8% 5.44%
Kadar abu tdk larut dlm asam
< 0.7%
0.47%
Kadar sari larut dalam air
> 9.1%
16.67%
Kadar sari larut dalam alkohol
> 3.6%
4.57%
Pada Gambar 3-19 dan Gambar 3-20 terlihat simplisia temulawak hasil pengeringan pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan. Secara visual terlihat adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH dengan kecenderungan yang sama, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Gambar 3-21 memperlihatkan hasil pengeringan irisan rimpang temulawak dengan
menggunakan pengering lab (sebelah kiri) dan dengan penjemuran.
Warna temulawak hasil penjemuran terlihat lebih gelap dan pucat dibandingkan dengan hasil pengeringan mekanis (lab dryer). Hal ini mengindikasikan bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak begitu baik, demikian juga kadar kurkuminnya masih dibawah kadar pengeringan mekanis pada suhu 50 oC.
78
Gambar 3-19. Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada suhu 50, 60 dan 70 oC
Gambar 3-20. Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada RH 20, 30 dan 40%
Gambar 3-21. Hasil pengeringan temulawak dengan lab dryer (kiri) dan penjemuran (kanan)
79 Kesimpulan 1.
Penyusutan simplisia dipengaruhi oleh kadar air bahan secara linier, sedangkan suhu dan RH udara pengeringan berpengaruh tidak nyata (Ξ± =0.01) terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak.
2.
Rata-rata penyusutan volume irisan temu putih sebesar 89.3Β±7.1% sedangkan rata-rata penyusutan volume temu lawak sebesar 79.9Β±7.8%. Pada suhu 70 oC dan 60
o
C irisan temu putih dan temu lawak terlihat mengalami
pembengkokan. 3.
Model persamaan penyusutan sebagai fungsi kadar air dengan menggunakan persamaan linier mempunyai koefisien determinasi 99% dan 90% masingmasing untuk temu putih dan temu lawak.
4.
Penyusutan berpengaruh terhadap nilai difusivitas efektif temu putih dan temu lawak. Nilai difusivitas efektif temu putih dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran 4.74Γ10β9-6.19Γ10β9 m2/s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran 9.51Γ10β9-11.7Γ10β9 m2/s. Untuk simplisia temu lawak nilainya sekitar 4.93Γ10β9-7.18Γ10β9 m2/s dan 10.4Γ10β9-14.4Γ10β9 m2/s.
5.
Nilai koefisien D0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu putih masing-masing adalah 3.33x10-7 m2/s dan 9.544 kJ/mol. Untuk temu lawak nilainya masing-masing adalah 2.77x10-6 m2/s dan 15.041 kJ/mol.
6.
Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH pengeringan maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia. Pada pengeringan temu putih terlihat bahwa kadar kurkumin simplisia cenderung lebih tinggi pada laju udara pengering yang rendah.
7.
Ditemukan adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Juga terdapat indikasi bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak begitu baik dibandingkan dengan pengeringan mekanis.