PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP MUTU SIMPLISIA TEMULAWAK DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG Retno Endrasari, Qanytah dan Bambang Prayudi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Komoditas Temulawak di Kota memiliki mutu terbaik dibandingkan komoditas temulawak dari daerah lain di Indonesia, sehingga dapat dijadikan unggulan dan peluang bagi Kota Semarang, khususnya Kecamatan Tembalang untuk mengembangkannay. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh beberapa cara pengeringan terhadap kualitas simplisia temulawak yaitu dengan melihat tampilan fisik dan kandungan bahan aktif temulawak. Uji pengaruh pengeringan terhadap mutu simplisia temulawak dilakukan di Kelompok Tani Makmur, Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang. Simplisia diperoleh dari Kecamatan Tembalang melalui perajangan secara manual rimpang temulawak dengan ketebalan 0,3–0,5 cm. Perlakuan yang dibandingkan adalah: pengeringan dengan sinar matahari tanpa penutup kain, sinar matahari tanpa penutup kain dengan simplisia dibalik 1 kali sehari, sinar matahari dengan simplisia ditutup kain hitam. Analisis kimia simplisia temulawak dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM untuk mengetahui kandungan kurkumin dan Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor untuk kandungan xanthorizol dan minyak atsiri. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kandungan kurkumin paling tinggi bila penjemuran simplisia temulawak dilakukan di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam dengan kandungan kurkumin sebesar 1,69%. Penjemuran dengan cara ini juga menghasilkan tampilan fisik simplisia paling baik yaitu warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah oranye. Kata kunci : simplisia, mutu, temulawak, kurkumin PENDAHULUAN Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan komoditas multifungsi yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan nasional. Prospek pasar dan peluang pengembangan temulawak masih terbuka karena kandungan kimianya yang berkhasiat. Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrhizol dan pati di dalam rimpang temulawak memungkinkan komoditas ini digunakan secara luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit seperti sebagai anti kolesterol, antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dan lain-lain. Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati, rimpang temulawak dapat dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) sebagai instansi di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian telah melepas tiga varietas unggul temulawak. Varietas unggul tersebut yaitu Cursina 1, Cursina 2 dan Cursina 3, diharapkan dapat berperan penting dalam rangka meningkatkan produksi, konsumsi dan perdagangan temulawak. Tabel 1 menggambarkan deskripsi masing-masing varietas temulawak. 435
Tabel 1. Kandungan kimia varietas unggul temulawak Komponen Kurkuminoid (%) Minyak atsiri (%) Xanthorizol (%) Kadar abu (%) Kadar pati (%) Kadar serat (%) Produktivitas (ton/Ha) Daya adaptasi terhadap ketinggian Kesesuaian penggunaan
Cursina 1 4,85 5,49 0,90 4,85 – 5,55 51,8 2,37 – 3,44 16,9 Dat. rendah-tinggi (200-800 m dpl) Industri makananminuman
Cursina 2 4,59 8,49 0,81 5,15 53,1 2,71 – 3,33 13,7-31 Dat. medium-tinggi (400-800 m dpl) Industri obat
Cursina 3 5,22 6,47 0,97 5,74 48,9 2,51 14,0-31,1 Dat. tinggi (800-1200 m dpl) Industri obat
Sumber : Balittro (2008)
Kebutuhan temulawak sebagai bahan baku obat tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2003 menduduki peringkat pertama dilihat dari jumlah serapan industri obat tradisional. Untuk mendukung kebutuhan pasokan bahan baku industri obat IOT (Industri Obat Tradisional), IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dan farmasi pada tahun 2005-2010, dibutuhkan temulawak yang berkualitas melalui pengembangan usaha pertanian primer dari tanaman temulawak yang mengacu penerapa GAP dan SOP. Kecamatan sentra produksi temulawak utama di Kota Semarang adalah Kecamatan Tembalang dan Banyumanik. Luas panen dan produksi temulawak di Kecamatan Tembalang tahun 2008 berturut-turut adalah 50 Ha dan 1.100 ton, sedangkan di Kecamatan Banyumanik berturut-turut adalah 54 Ha dan 540 ton. Berdasarkan hasil penelitian oleh Institut Pertanian Bogor, komoditas temulawak di Kota Semarang memiliki mutu terbaik dibandingkan komoditas temulawak dari daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan peluang bagi Kota Semarang, khususnya Kecamatan Tembalang untuk mengembangkan usaha temulawak. Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas temulawak, diperlukan terobosan dalam pengembangan produk, mulai dari produk primer (rimpang segar) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak, minyak) dan produk tertier (produk jadi hasil formulasi berupa suplemen makanan dan minuman dalam bentuk cair (sirup), padat (pil, kapsul) dan formula obat herbal terstandar, fitofarmaka dan kosmetika). Pengolahan hasil telah dilakukan oleh petani temulawak di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang. Sub sistem ini merupakan mesin pemberi nilai tambah (added value) yang utama dalam agribisnis pada umumnya atau bagi petani khususnya. Salah satu produk olahan temulawak yang dikembangkan oleh petani adalah simplisia dan minuman instan temulawak. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat dimanfaatkan terutama untuk pembuatan jamu serbuk, jamu gendong atau jamu ramuan pribadi yang dikonsumsi dengan cara diseduh atau direbus. Pengolahan temulawak merupakan salah satu upaya yang dilakukan petani untuk memperpanjang umur simpan hasil panen dan meningkatkan nilai tambah produk. Namun selama proses pengolahan temulawak, kandungan kimia dalam 436
temulawak dapat berubah atau menurun mutunya. Salah satu parameter mutu temulawak adalah kandungan bahan aktifnya yaitu kadar minyak atsiri, xanthorizol, dan kurkumin. Kandungan kadar bahan aktif ini dapat terpengaruh selama tahap pascapanen yaitu selama penjemuran/pengeringan bahan menjadi simplisia. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh beberapa cara pengeringan terhadap kualitas simplisia temulawak yaitu dengan melihat tampilan fisik dan kandungan bahan aktif temulawak. METODE PENELITIAN Uji pengaruh pengeringan simplisia terhadap mutu temulawak dilakukan di Kelompok Tani Makmur, Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang pada bulan Oktober 2010. Bahan baku berupa rimpang temulawak segar diperoleh dari lahan milik petani di Kecamatan Tembalang. Rimpang temulawak dicuci, ditiriskan lalu diiris-iris secara manual dengan pisau setebal 3 - 5 mm kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan beberapa metode pengeringan yaitu dengan sinar matahari tanpa penutup kain, sinar matahari tanpa penutup kain dengan simplisia dibalik 1 kali sehari, sinar matahari dengan simplisia ditutup kain hitam. Penjemuran dilakukan mulai jam 7.00-16.00. Pengamatan data suhu harian dilakukan pagi hari (jam 6.00-7.00), siang hari (jam 12.00-13.00) dan sore hari (jam 17.00-18.00), kondisi cuaca (panas, mendung, hujan) serta lama hari penjemuran hingga diperoleh simplisia kering. Analisis kimia simplisia temulawak dilakukan sebanyak tiga kali ulangan per perlakuan. Analisis kimia untuk mengetahui kandungan kurkumin dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM menggunakan metode KLT dengan fase diam silica gel 60 F254 dan fase gerak berupa kloroform: etanol:asam asetat glasial (95:5:1) dengan jarak pengembangan 8 cm. Analisis kimia untuk mengetahui kandungan xanthorizol serta minyak atsiri dilakukan di Laboratorium Pengujian Balittro, Bogor menggunakan metode kromatografi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Perubahan Fisik Simplisia Temulawak Air merupakan komponen utama dalam bahan makanan yang mempengaruhi rupa, tekstur maupun cita rasa bahan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan “acceptability” suatu bahan makanan kesegaran dan daya tahan suatu bahan (Winarno, 1980). Kepekaan suatu komoditi terhadap kehilangan air akibat penguapan tergantung defisit tekanan uap dari atmosfir di sekitarnya serta struktur lapisan permukaan komoditi yang bersangkutan. Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%-80%. Sedangkan kadar air simplisia yang diinginkan oleh industri jamu maksimal adalah 10%. Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam pembuatan simplisia. Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air, sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan kandungan zat aktif, memudahkan proses pengolahan selanjutnya, sehingga dapat lebih ringkas, tahan lama dan mudah disimpan. Proses 437
pengeringan selain memperpanjang umur simpan juga menentukan kualitas simplisia. Hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Selama proses pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face hardening yaitu bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh irisan bahan simplisia terlalu tebal, suhu pengeringan yang terlalu tinggi atau oleh suatu keadaan lain yang menyebabkan penguapan air permukaan bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke permukaan tersebut, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan menghambat pengeringan selanjutnya. Cara pengeringan yang biasa dilakukan oleh petani adalah dengan menjemur irisan rimpang temulawak di atas widig (anyaman bambu bermata jarang), yang biasanya digunakan untuk menjemur tembakau, kerupuk dan lainlain. Widig biasanya ditaruh di atas tanah sehingga terjadi kontak dengan tanah. Dalam pengkajian ini penjemuran simplisia dilakukan di atas widig dengan palangan kayu atau bambu menghadap tegak lurus ke arah datangnya sinar. Suhu rata-rata pagi hari adalah 25 ⁰C, siang hari 34 ⁰C dan sore hari 28 ⁰C. Dengan menerima panas matahari langsung, irisan rimpang temulawak akan bisa benar-benar kering dalam jangka waktu 4 hari penuh. Pengamatan suhu harian menunjukkan bahwa suhu sekitar lingkungan mendukung untuk pengeringan simplisia. Perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari membutuhkan waktu empat hari untuk mendapatkan simplisia kering. Hal ini berarti lebih singkat dua hari dibandingkan dengan penjemuran di bawah sinar matahari dengan simplisia dibalik 1 kali sehari dan penjemuran di bawah sinar matahari dengan simplisia ditutup kain hitam. Tanda irisan rimpang temulawak telah benar-benar kering adalah, bisa dipatahkan dengan mudah dan tidak bisa digigit. Pada umumnya kadar air simplisia yang dihasilkan rata-rata adalah 15-20%. Setelah penjemuran selama 4 hari, dilakukan penimbangan dan pengamatan tampilan fisik simplisia temulawak. Tabel 2 menyajikan susut bobot dan tampilan fisik simplisia temulawak dengan berbagai metode pengeringan. Tabel 2. Susut bobot dan tampilan fisik simplisia temulawak dengan berbagai metode pengeringan Parameter Mutu Susut Bobot (%) Warna irisan rimpang
Cara Pengeringan Matahari + dibalik 1 x sehari 56 64 Warna salah satu sisi Warna kedua sisi irisan rimpang temulawak irisan rimpang merah oranye, dan sisi temulawak oranye lainnya berwarna oranye pucat keputihan pucat keputihan Matahari + tanpa dibalik
Matahari + ditutup kain hitam 55 Warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah oranye
Warna irisan rimpang temulawak kering kualitas baik adalah merah bata/merah oranye merata. Apabila dipatahkan bekas patahan berwarna oranye cerah dan aromanya segar. Kalau dikunyah rasanya tajam dan pahit. Dari 438
ketiga cara pengeringan, yang memberikan hasil tampilan fisik simplisia yang terbaik adalah cara pengeringan dengan ditutup kain hitam yaitu warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah oranye. Gambar 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan kegiatan pengeringan simplisia dan keragaan fisik simplisia temulawak yang diperoleh.
Gambar 1. Pengeringan simplisia di bawah sinar matahari
Gambar 3. Hasil pengeringan simplisia di bawah sinar matahari
Gambar 2. Pengeringan simplisia dengan penutup kain hitam
Gambar 4. Hasil pengeringan simplisia di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam
2.
Perubahan Kimia Simplisia Temulawak Komposisi kimia terbesar dari rimpang temulawak adalah protein pati (48%-54%), minyak atsiri (3%-12%), dan zat warna kuning yang disebut kurkumin. Menurut Rismunandar (1988), rimpang temulawak mengandung kurkumin 1,4-4%. Suwiah (1991) mendapatkan kadar kurkumin dalam rimpang temulawak sebesar 1,93%. Kadar kurkumin dan minyak atsiri tergantung pada umur rimpang. Kadar kurkumin dan minyak atsiri optimum tercapai saat rimpang berumur 10-12 bulan (Sirait, 1985). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Zahro dkk (2009), kandungan kurkumin dari pengeringan matahari pada jam 08.00-11.00 yaitu 0,82%, 0,99%, 0,64%, dan 0,89% dan dari pengeringan matahari pada jam 08.00-15.00 yaitu 0,80%, 0,89%, 0,84%, dan 0,93%. Tabel 3 menunjukkan pengaruh cara pengeringan terhadap kandungan bahan aktif simplisia temulawak. Hasil pengkajian menjelaskan bahwa kandungan minyak atsiri paling tinggi (5,31%) bila pengeringan simplisia 439
temulawak dengan cara dijemur dengan matahari tanpa dibalik, namun kandungan kurkuminnya paling rendah (1,35%). Kandungan kurkumin paling tinggi bila penjemuran simplisia temulawak ditutup kain hitam (1,69%), namun kandungan minyak atsirinya paling rendah (4,40%). Sedangkan cara pengeringan dengan cara penjemuran dengan matahari dan dibalik 1 x sehari memiliki kandungan xanthorrizol paling tinggi (0,16%). Secara umum hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa kandungan kurkumin simplisia temulawak yang dihasilkan lebih tinggi daripada kandungan kurkumin temulawak hasil pengkajian Zahro dkk (2009). Tabel 3. Pengaruh cara pengeringan terhadap kandungan bahan aktif simplisia Temulawak Cara Pengeringan Matahari + tanpa Matahari + dibalik dibalik 1 x sehari *Minyak Atsiri (%) 5,31 5,06 *Xanthorizol (%) 0,12 0,16 **Kurkumin (%) 1,35 1,60 Sumber: * Lab Pengujian Balittro, Bogor ** Lab. Biologi Farmasi Fak Farmasi UGM (2010) Parameter Mutu
Matahari + ditutup kain hitam 4,40 0,10 1,69
Hasil pengkajian ini belum dapat memberikan gambaran tentang cara penjemuran terbaik yang menghasilkan simplisia dengan mutu terbaik. Hasil ini akan memberikan gambaran yang lebih baik apabila diketahui kadar air bahan, sehingga perbandingan persentase kandungan bahan aktif lebih tepat karena dibandingkan relatif terhadap kadar air bahan. Tonnesen dan Karlsen (1986 dalam Pramono, 2006) menerangkan bahwa kurkuminoid pada temulawak, kunyit dan curcuma yang lain sangat peka terhadap sinar ultraviolet, sehingga disarankan untuk mengeringkan simplisia dengan ditutup kain hitam atau menggunakan tenda pengering yang terbuat dari plastik atau kaca berwarna hitam. Nikodemus (1980) menjelaskan sinar dapat mempengaruhi simplisia yang berwarna sehingga warnanya menjadi tidak menarik lagi. Sinar yang terpolarisasi menyebabkan perubahan/kerusakan yang lebih cepat daripada sinar biasa. Selain sinar, oksigen di udara dapat menambah oksidasi zat aktif terutama bila ada enzym oksidasi. Oktaviana (2006) telah menguji beberapa perlakuan pengaruh pengeringan simplisia temulawak yaitu: SMK (Sinar matahari tanpa kain penutup), SMP (Sinar matahari kain penutup putih), SMH (Sinar matahari kain penutup hitam), SDK (Solar Dryer tanpa kain penutup), SDP (Solar Dryer kain penutup putih), SDH (Solar Dryer kain penutup hitam). Hasil menunjukkan bahwa pengeringan simplisia temulawak menggunakan solar dryer dan penggunaan kain penutup menghasilkan kadar kurkuminoid, aktivitas antioksidan dan total fenol yang tinggi dibandingkan dengan pengeringan melalui sinar matahari langsung dan tanpa penutup. Namun perbedaan warna kain tidak berpengaruh terhadap komponen aktif pada simplisia temulawak. Huda dkk (2008) menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi operasi pengeringan mempengaruhi kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak dan pengeringan oven dengan suhu 60oC menghasilkan simplisia temulawak dengan warna lebih cerah, lebih meremah dan kandungan kurkuminoid lebih 440
banyak daripada pengeringan lampu listrik 30 watt pada suhu ±20o C. Zahro dkk (2009) menambahkan pengeringan oven menghasilkan simplisia berwarna cerah dan permukaannya berwarna jingga kekuningan sedangkan simplisia hasil pengeringan sinar matahari berwarna gelap dan terinfeksi jamur putih. Suhu pengeringan jika menggunakan alat tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30-90oC, tetapi suhu terbaik tidak melebihi 60oC. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, yaitu 30-45oC atau dengan cara pengeringan vakum yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang atau lemari pengeringan, sehingga tekanan kira-kira 5 mm Hg. Cara pengeringan simplisia dari rimpang menurut Trease dan Evans (1972), adalah dengan mengeringkan simplisia pada suhu 30-65oC. Pengeringan dapat dipercepat melalui pembalikan simplisia. KESIMPULAN DAN SARAN Kandungan kurkumin simplisia temulawak paling tinggi sebesar 1,69% diperoleh melalui penjemuran di bawah sinar matahari dan ditutup kain hitam selama enam hari. Penjemuran dengan cara ini juga menghasilkan tampilan fisik simplisia paling baik yaitu warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah oranye. Hasil ini akan memberikan gambaran lebih baik apabila diketahui kadar air bahan, sehingga perbandingan persentase kandungan bahan aktif lebih tepat karena dibandingkan relatif terhadap kadar air bahan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Departemen Pertanian. Jakarta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2008. Budidaya Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2008. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Huda, D.K., Muhammad, Cahyono, Bambang, Limantara, Leenawaty. 2008. Pengaruh Proses Pengeringan terhadap Kandungan Kurkuminoid dalam Rimpang Temulawak. Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Diponegoro. Semarang Khaerana, Munif G., Edi D.P. 2008. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Agron. (36) (3) 241-247 441
Kristina, N.N, Rita N., Siti F.S dan Molide R. Peluang Peningkatan Kadar Kurkumin pada Tanaman Kunyit dan Temulawak. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor Oktaviana, P.R. 2006. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Berbagai Teknik Pengeringan dan Proporsi Pelarutan Pramono, E. 2006. Prospek Pengembangan Obat Herbal yang Berkualitas melalui Penerapan Iptek. Seminar Bisnis Tanaman Obat Tanggal 23 September 2006. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pramono, S. 2006. Peningkatan Efektivitas dan Daya Saing Obat Alami Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi Tanggal 27 Maret 2006 Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru. Bandung. Sembiring, B.B. Ma’mun dan Edi I.G. 2006. Pengaruh Kehalusan Bahan dan Lama Ekstraksi terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Sirait, M. Pemeriksaan Kadar Xanthorrizol dalam Curcuma xanthorrhiza. Simposium Nasional Temulawak. UNPAD Bandung. Siswanto, Y. W. 1997. Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial. Trubus Agriwidya. Ungaran Suwiah, A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan Pada Pembuatan Temulawak Instan (Curcuma xanthorriza Roxb.) terhadap Rendemen dan Mutunya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Trease and Evans. 1972. Pharmacognosy. Edisi X. Bailliere Tindall. London. pp 259 – 276 Yuliani, S. 1989. Faktor - Faktor yang Berperan Dalam Penanganan Pascapanen Simplisia. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri No. 3 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Zahro, Laely dan Cahyono, Bambang dan Hastuti, Rini Budi. 2009. Profil Tampilan Fisik dan Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) pada Beberapa Metode Pengeringan. Jurnal Sains dan Matematika 17 (1) 24-32.
442