HUBUNGAN PENYUSUTAN LUAS PERMUKAAN TERHADAP KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG (Manihot esculenta Crantz)
SKRIPSI
DHEA SELLY A. HUTABARAT F14080009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
THE RELATIONSHIP OF SHRINKAGE AREA WITH THIN LAYER DRYING CHARACTERISTICS OF CASSAVA (Manihot esculenta Crantz) Dhea Selly A. Hutabarat and Armansyah H. Tambunan Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone +62 813 80856512, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study presents the thin layer drying of cassava sliced, which was conducted under controlled conditions of temperature and relative humidity (RH). The drying experiments were carried out on a laboratory dryer at temperatures from 40 to 70 °C and RH from 30 to 60 %. The drying process took place in the falling rate period, but the constant rate period was only on 50 °C with 60 % RH in short time. Drying curves from the experimental data were fitted to the different semi theoretical and empirical thin layer drying models. All of the models were investigated by comparing the coefficient of determination (R2), reduced chi-square (χ2) and root mean square error (RMSE) between the observed and the predicted moisture ratios. The Page model was the best to describe the drying characteristics of cassava slices based on this experiment. The shrinkage during drying played an important role to indicate the best quality of the dried product. Image acquisition system was used to capture and to process the changes in shape (area) of the dried products. It consists of a webcam, illumination, computer hardware, and software. The area of cassava slices was found to be decreasing in line with the decreasing moisture content almost linearly. Drying conditions, i.e. temperature and RH might affect the shrinkage but needs further study to find the relationship. Keywords: thin layer drying, cassava slice, model, image processing, shrinkage (area)
DHEA SELLY A. HUTABARAT. F14080009. Hubungan Penyusutan Luas Permukaan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Singkong (Manihot esculenta Crantz.). Di bawah bimbingan Armansyah H. Tambunan. 2012.
RINGKASAN Singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu tanaman umbi - umbian yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi manusia, sebagai pakan ternak, dan bahan dasar untuk keperluan industri. Tetapi, disamping memiliki banyak manfaat, singkong merupakan komoditi pertanian yang mudah rusak dan mengandung komponen toksik dalam bentuk glukosida sianogenik. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pengawetan produk dan penurunan kadar glukosida sianogenik sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk dan aman untuk dikonsumsi. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah pengeringan. Pengeringan merupakan suatu proses pengeluaran air bahan sampai seimbang dengan keadaan udara di sekelilingnya atau sampai tingkat kadar air dimana kerusakan akibat mikroba dan reaksi kimia dapat diminimalisasi, sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan. Proses pengeringan singkong tidak lepas dari konsep pengeringan lapisan tipis. Pengeringan lapisan tipis digunakan untuk menggambarkan karakteristik pengeringan singkong melalui simulasi dari beberapa model semi teoritis dan empiris yang dipilih. Adapun, model yang dipilih tersebut, yaitu model Lewis, Henderson & Pabis, dan Page. Pengeringan dapat menyebabkan penyusutan. Penyusutan yang terjadi selama pengeringan perlu dipertimbangkan, karena dalam berbagai model pengeringan, penyusutan selalu diabaikan. Selain itu, penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai dampak negatif terhadap kualitas produk keringnya. Besarnya tingkat penyusutan bahan termasuk dampak negatif akibat pengeringan dapat diketahui dengan bantuan pengolahan citra. Hasil pengamatan penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolahan citra, kemudian akan dikaji secara bersamaan dengan karakteristik pengeringannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong yang meliputi perubahan kadar air dan perubahan laju pengeringan, menentukan model persamaan matematis yang sesuai, mempelajari perubahan bentuk fisik akibat penyusutan bahan selama proses pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong dengan menggunakan pengolahan citra (image processing), serta mengkaji keterkaitan antara karakteristik pengeringan dengan penyusutan luas permukaan irisan singkong. Penelitian dilakukan menggunakan mesin pengering laboratorium terkendali-terakuisisi. Singkong diiris dengan ketebalan sekitar 3 mm, diameter irisan 4 - 6 cm, dan dikeringkan secara lapisan tipis (one layer) pada suhu pengering 40, 50, 60, dan 70 C dengan RH 30, 40, 50, dan 60 %. Kecepatan udara pengering yang digunakan berada pada selang (0.5 - 0.7) m/detik. Pengeringan berlangsung dari kisaran kadar air awal 55.00 %bb - 67.74 %bb hingga mencapai kadar air keseimbangan. Besarnya tingkat penyusutan bahan termasuk dampak negatif yang ditimbulkan selama pengeringan dapat diketahui dengan bantuan sistem akuisisi citra yang terdiri atas webcam, penerangan, dan seperangkat komputer beserta software pendukung untuk pengolahan citra. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pengeringan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun, kecuali pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 60 % terjadi periode laju pengeringan konstan yang berlangsung singkat. Kenaikan suhu pengering 40 - 70 C atau penurunan tingkat RH 30 - 60 % akan meningkatkan laju pengeringan singkong. Hasil gambaran karakteristik pengeringan dari irisan singkong kemudian diperoleh dengan membandingkan dan memilih secara statistik dari ketiga model semi teoritis dan empiris pengeringan lapisan tipis. Adapun kriteria pembanding yang ditentukan adalah koefisien determinasi (R2), root mean square error (RMSE), dan reduced chi square (χ2). Model Page merupakan model yang dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong dengan baik, dimana nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut berada pada kisaran 0.9995-0.9999, 0.002051-0.010040, dan 0.000004-0.000107. Nilai konstanta pengeringan dari masing - masing model kemudian diperoleh secara bersamaan dari penormalisasian kurva pengeringan menjadi persamaan linier sederhana. Penyusutan pada sampel irisan singkong disebabkan oleh menguapnya air selama berlangsungnya proses pengeringan. Pengeringan menyebabkan rongga - rongga yang sebelumnya diisi oleh air menjadi saling terhubung dan menyatu. Akibatnya, permukaan terluar dari suatu bahan akan mengerut ke dalam dan memberikan suatu kenampakan yang berkerut - kerut. Hal ini tentu saja
akan mengurangi luasan permukaan dari bahan tersebut. Hasil perekaman citra dengan menggunakan webcam menunjukkan bahwa selain terjadi perubahan dimensi permukaan, ditemukan juga adanya perubahan bentuk fisik yang drastis seperti pengerutan yang disertai dengan pembengkokan pada bahan seperti pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 30 % dan RH 50 %. Sehingga, semakin besar air bahan yang diuapkan maka semakin memungkinkan untuk terjadi perubahan bentuk fisik seperti pengerutan yang disertai dengan pembengkokan disamping perubahan dimensi permukaan yang terjadi. Hasil analisis penyusutan menunjukkan bahwa kondisi pengeringan yang meliputi faktor suhu dan RH dapat mempengaruhi penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong. Tetapi, penyusutan luas permukaan selama proses pengeringan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang konsisten berdasarkan tingkat suhu dan RH. Kondisi perlakuan yang menghasilkan susut luas permukaan bahan yang paling kecil, susut air bahan yang paling besar, dan tidak mengalami perubahan bentuk fisik yang drastis dapat mengindikasikan kualitas suatu produk kering tersebut baik. Hal tersebut terjadi pada sampel untuk kondisi suhu 60 °C dengan RH 40 %, dimana susut luas permukaan yang terjadi 22.25 % dan susut air bahan sebesar 93.77 %. Adapun, hal yang diduga menjadi penyebab luas permukaan sampel hanya menyusut sedikit pada kondisi ini adalah serat singkong yang lebih banyak yang menyebabkan struktur bahan menjadi lebih padat; sebagai akibat dari umur tanaman yang lebih tua. Hubungan antara penyusutan luas permukaan irisan singkong dengan penurunan kadar air pada masing - masing perlakuan dinyatakan menggunakan persamaan linier, dimana penyusutan (perubahan) irisan singkong sebagai fungsi dari rasio kadar air.
HUBUNGAN PENYUSUTAN LUAS PERMUKAAN TERHADAP KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG (Manihot esculenta Crantz)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh DHEA SELLY A. HUTABARAT F14080009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Hubungan Penyusutan Luas Permukaan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Singkong (Manihot esculenta Crantz) Nama : Dhea Selly A. Hutabarat NIM : F14080009
Menyetujui, Pembimbing Akademik,
(Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan) NIP. 19620918 198703 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng.) NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Hubungan Penyusutan Luas Permukaan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Singkong (Manihot esculenta Crantz) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan
Dhea Selly A. Hutabarat F14080009
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS Dhea Selly A. Hutabarat. Lahir di Medan, 4 Maret 1991 dari ayah G.M. Hutabarat dan ibu Ridwilisna Sinaga, sebagai putri pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikannya dari SD Negeri 064967 Medan, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 11 Medan. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 3 Medan, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin & Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian dan menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 2012. Selama kuliah di IPB, penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Penulis menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB tahun 2011 dan 2012. Selama proses menyelesaikan studinya di IPB, penulis telah melaksanakan Praktik Lapang di PT Saung Mirwan, Bogor pada tahun 2011 dengan mengambil topik Aspek Pendinginan pada Penanganan Produk Hortikultura di PT Saung Mirwan, Bogor, Jawa Barat.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, anugerah, dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penelitian yang berjudul “Hubungan Penyusutan Luas Permukaan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Singkong (Manihot esculenta Crantz)”. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat dalam hal penerapan metode untuk membuat desain rancangan proses pengeringan hasil pertanian khususnya singkong. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis menyelesaikan studi. 2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si dan Dr. Ir. Dyah Wulandani, M. Si sebagai dosen penguji, atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran - saran kepada penulis. 3. Rekan - rekan satu bimbingan, Bapak Kiman Siregar, Bapak Bayu, Bapak Amar Maruf, Ibu Rosmeika, Fuad Insan, Saidong, Johannes Sipangkar, Agustino Aritonang, Christian Solany, Agus Ginting. 4. Kedua orang tua penulis (Bapak G.M. Hutabarat dan Ibu R. Sinaga) beserta adik penulis (Shinta Christina Hutabarat, Ghentary Hutabarat, dan Alberth Loeis Hutabarat) yang selalu memberikan semangat dan bantuannya baik moril maupun materi. 5. Tante Rusdiana, Tante Erlina, Tulang Omen yang juga selalu memberikan semangat dan bantuannya selama penulis di Bogor. 6. Yulfi, Ernawati, Ninggar Pramitasari, Trio Andrelov, Imanuel Zega, Panji Laksamana, Yuliana, Fajri, Derry, dan Selvina atas bantuannya selama penelitian. 7. Bapak Harto, Mas Darma, dan Mas Firman yang telah membantu dalam pelaksanaan teknis penelitian. 8. BPPT atas fasilitas mesin pengering terkendali - terakuisisi. 9. Program kerjasama penelitian antara IPB dengan Chung Yuan Christian University (CYCU) atas dukungan dana penelitian. 10. Teman - teman kos “Pondok Delima”, terutama Selvina, Priskila, Pingkan S.Stat, Eni Winarti, Selly Maurina yang selalu memberikan semangat dan menjadi sahabat terbaik. 11. Komisi Kesenian PMK IPB yang sudah menjadi keluarga kedua penulis. 12. Teman - teman satu angkatan 45 Teknik Mesin dan Biosistem atas dukungan, kenangan, dan kebersamaan selama perkuliahan tiga tahun ini. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Oleh karena itu, dengan segala keterbukaan, saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan.
Bogor, Agustus 2012 Dhea Selly A. Hutabarat
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................................. iii DAFTAR TABEL .........................................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. viii DAFTAR SIMBOL .......................................................................................................................ix I.
II.
PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1 1.1
LATAR BELAKANG .........................................................................................................1
1.2
TUJUAN ..............................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................3 2.1
SINGKONG.........................................................................................................................3
2.2
PROSES PENGOLAHAN SINGKONG .............................................................................4
2.3
TEORI PENGERINGAN ....................................................................................................5
2.4
MODEL MATEMATIKA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS ..........................................7
2.5
KONSTANTA PENGERINGAN ........................................................................................9
2.6
PENYUSUTAN DAN PENGOLAHAN CITRA .............................................................. 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................... 12
IV.
V.
3.1
WAKTU DAN TEMPAT .................................................................................................. 12
3.2
BAHAN DAN ALAT ........................................................................................................ 12
3.3
PROSEDUR PERCOBAAN.............................................................................................. 13
3.4
ANALISIS DATA ............................................................................................................. 15
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................... 21 4.1
KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG ............................ 21
4.2
PENYUSUTAN IRISAN SINGKONG .............................................................................34
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 40 5.1
KESIMPULAN .................................................................................................................. 40
5.2
SARAN .............................................................................................................................. 41
iv
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 42 LAMPIRAN ................................................................................................................................. 44
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Model-model persamaan matematis pengeringan lapisan tipis ...............................................9 Tabel 2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis singkong ........................................................ 14 Tabel 3. Model matematika pengeringan lapisan tipis ........................................................................ 17 Tabel 4. Data kadar air dan lama pengeringan pada suhu 50 C ......................................................... 21 Tabel 5. Data kadar air dan lama pengeringan pada RH 40 % ............................................................ 21 Tabel 6. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada suhu 50 °C .............................................. 23 Tabel 7. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada RH 40 % ................................................. 24 Tabel 8. Hasil analisis statistikal model pengeringan irisan singkong pada suhu 50 °C ..................... 28 Tabel 9. Hasil analisis statistikal model pengeringan irisan singkong pada RH 40 % ........................ 28 Tabel 10. Nilai konstanta model pengeringan irisan singkong pada suhu 50 °C .................................. 32 Tabel 11. Nilai konstanta model pengeringan irisan singkong pada RH 40 % ..................................... 32 Tabel 12. Hubungan antara konstanta hitung dan konstanta model Page terhadap suhu dan RH ......... 34 Tabel 13. Nilai k dan n percobaan dengan hasil perhitungan pada suhu 50 °C .................................... 34 Tabel 14. Nilai k dan n percobaan dengan hasil perhitungan pada RH 40 % ........................................ 34 Tabel 15. Penyusutan selama pengeringan pada perlakuan suhu 50 °C ................................................ 38 Tabel 16. Penyusutan selama pengeringan pada perlakuan RH 40 % ................................................... 39
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Singkong..............................................................................................................................3 Gambar 2. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu ........................................................................6 Gambar 3. Kurva karakteristik pengeringan ........................................................................................7 Gambar 4. Skema sistem fungsional pengering laboratorium ............................................................. 13 Gambar 5. Diagram alir prosedur percobaan dan pengambilan data ................................................... 15 Gambar 6. Bagan alir proses analisis data pengeringan untuk setiap perlakuan ................................ 19 Gambar 7. Diagram alir proses pengolahan citra ............................................................................... 20 Gambar 8. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada suhu 50 °C ................................... 22 Gambar 9. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada RH 40 % ...................................... 23 Gambar 10. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada suhu 50 °C ................................................ 25 Gambar 11. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada RH 40 % .................................................... 25 Gambar 12. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air pada suhu 50 °C ............................................ 26 Gambar 13. Kurva laju pengeringan terhadap rasio kadar air pada RH 40 % ...................................... 27 Gambar 14. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Lewis ............................................ 29 Gambar 15. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Henderson & Pabis ...................... 30 Gambar 16. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Page ............................................. 31 Gambar 17. Pengaruh suhu pengeringan terhadap k dan n pada RH 40 % .......................................... 33 Gambar 18. Pengaruh RH pengeringan terhadap k dan n pada suhu 50 °C ......................................... 33 Gambar 19. Penyusutan area citra terhadap waktu pengeringan pada suhu 50 °C ................................ 35 Gambar 20. Penyusutan area citra terhadap waktu pengeringan pada RH 40 % ................................... 35 Gambar 21. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap waktu pengeringan pada suhu 50 °C ................................................................................................................ 36 Gambar 22. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap waktu pengeringan pada RH 40 % ..... 36 Gambar 23. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap rasio kadar air pada suhu 50 °C .......... 37 Gambar 24. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap rasio kadar air pada RH 40 % ............. 38
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tampilan mesin pengering terkendali ............................................................................ 45 Lampiran 2. Data hasil pengeringan ................................................................................................... 46 Lampiran 3. Tampilan program pengolahan citra ............................................................................... 53 Lampiran 4. Hubungan antara k, n model dengan k, n persamaan (6) dan (7) ................................... 55 Lampiran 5. Penentuan nilai k, a, n dari model Lewis, Henderson & Pabis, dan Page ....................... 57 Lampiran 6. Penentuan model persamaan penyusutan irisan singkong .............................................. 64
viii
DAFTAR SIMBOL Simbol A a, b, c b C1 C2 D Def DL K1.1 K1.2 K2.1 K2.2 k M m mr N n a RH R2 S SE T t W w z
Subskrip 0 a e exp f i n p pre t t+dt
Area, Luas permukaan Konstanta pada persamaan (6) dan (7) Setengah tebal benda lempeng tak terbatas Konstanta pada persamaan (20) Koefisien difusi Difusivitas efektif Konstanta Konstanta Konstanta pengeringan Kadar air dalam basis kering Kadar air dalam basis basah Nilai rata - rata dari rasio kadar air Jumlah pengamatan pada persamaan (17) dan (18) Konstanta pengeringan Kelembaban relatif Koefisien determinasi Shrinkage, Penyusutan luas permukaan Standard Error Suhu Waktu Massa total bahan Massa Jumlah konstanta dalam model pengeringan Operator diferensial vector Diameter irisan singkong
Satuan (m2) (tak berdimensi) (m) (tak berdimensi) (m2detik-1) (m2detik-1)
(menit-1) (desimal, %) (desimal, %) (tak berdimensi) (tak berdimensi) (tak berdimensi) (desimal, %) (tak berdimensi) (°C) (detik) (gram) (gram) (tak berdimensi) (cm)
Awal, Waktu ke-0 Air Equlibrium, Keseimbangan Experiment, Percobaan Final, Akhir Initial, Awal Suku ke-n pada persamaan (4) Padatan Predicted, Model Waktu ke-t Waktu ke-t+dt
ix
I. 1.1.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu tanaman umbi - umbian yang dibudidayakan secara ekstensif dan menjadi makanan pokok bagi jutaan orang yang berada pada wilayah tropis, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Tanaman singkong menempati urutan ke empat sebagai tanaman pangan utama setelah beras, gandum, dan jagung. Adapun hal - hal yang membuat tanaman singkong menjadi salah satu bahan pangan yang valuable untuk keamanan pangan adalah karena kemampuannya untuk dapat tumbuh pada lahan yang terbatas, sangat berpotensial untuk menghasilkan pati yang tinggi, dan sangat tahan terhadap hama dan penyakit (Nambisan, 2011). Selain digunakan untuk keperluan konsumsi manusia, singkong juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan dasar untuk keperluan industri. Hal yang lebih penting lagi, dalam menghadapi krisis pangan dan energi, singkong dapat digunakan dalam industri energi terbarukan, seperti pembuatan etanol. Tetapi, singkong merupakan komoditi pertanian yang mudah rusak. Apabila tidak diolah secara langsung, maka tiga hari setelah panen, singkong akan mengalami kerusakan (ditunjukkan dengan warna daging kebiru-biruan dan rasanya tidak enak) (Sudarmadji 1997). Selain itu, singkong mengandung komponen toksik dalam bentuk glukosida sianogenik. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pengawetan produk dan penurunan kadar glukosida sianogenik yang bertujuan agar bahan pangan tetap terjaga kualitasnya selama dalam proses penyimpanan sampai siap untuk memenuhi syarat - syarat pengolahan lanjut dan memberikan rasa aman untuk dikonsumsi. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah pengeringan. Pengeringan merupakan salah satu proses pengolahan pangan yang sudah lama dikenal. Adapun tujuan dasar dari pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan secara termal sampai ke tingkat tertentu, dimana kerusakan akibat mikroba dan reaksi kimia dapat diminimalisasi, sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan (Rizvi 2005). Selain itu, pengeringan juga akan memperkecil volume bahan sehingga memudahkan dalam pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan. Pengeringan singkong bertujuan untuk mengurangi kadar airnya dari sekitar 65 % hingga kurang dari 15 %. Mengacu pada Wenlapatit (2004), International Starch Institute (1999), dan IITA (2005), bahwa kadar air akhir produk yang direkomendasikan berada pada kisaran 9 % - 15 %. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan atau disebut faktor internal (ukuran bahan, kadar air awal bahan, dan tekanan parsial di dalam bahan) dan faktor yang berhubungan dengan udara pengering atau disebut faktor eksternal (suhu, kelembaban, dan kecepatan volumetrik aliran udara pengering). Pengeringan untuk bahan - bahan pertanian dengan kadar air awal bahan tinggi biasanya menggunakan pengeringan lapisan tipis. Hall (1980) mendefinisikan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering. Beragam penelitian mengenai pengeringan lapisan tipis telah dilakukan untuk memperoleh model matematis yang sesuai dengan kondisi pengeringan. Model yang digunakan didasarkan pada model difusi, perpindahan panas dan massa, empiris dan semi teoritis. Model difusi yang berasal dari hukum II Fick dikembangkan untuk berbagai bentuk geometris padatan, dengan asumsi koefisien difusi konstan, distribusi kadar air awal seragam, serta mengabaikan tahanan luar, gradien suhu, dan penyusutan dari ketebalan bahan.
1
Penelitian eksperimental umumnya menggunakan model semi teoritis untuk mendapatkan model pengeringannya. Beberapa dari model semi teoritis tersebut kemudian akan dibandingkan untuk memperoleh satu model yang paling sesuai dengan error paling minimum. Selama berlangsungnya proses pengeringan, bahan dapat mengalami perubahan - perubahan yang tidak diinginkan seperti penyusutan. Penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai dampak negatif terhadap kualitas produk keringnya, terutama untuk keperluan komersial. Perubahan bentuk, pengurangan volume, dan perubahan tingkat elastisitas bahan adalah hal - hal yang kurang disukai konsumen. Menurut Manalu (2011) keretakan, pengerutan bahan yang dikeringkan adalah salah satu fenomena lain yang dapat terjadi selama proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi bila penyusutan yang terjadi tidak seragam dan laju pengeringan terlalu tinggi. Yadollahinia & Jahanggiri (2009) menyatakan bahwa penyusutan telah dipelajari dengan cara pengukuran secara langsung menggunakan mistar atau mikrometer atau secara tidak langsung dengan mengukur parameter yang terkait dengan penyusutan seperti porositas dan massa jenis. Besarnya tingkat penyusutan bahan termasuk dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kualitas produk selama pengeringan dapat diketahui dengan bantuan pengolahan citra menggunakan kamera digital. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan piksel - piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Alasan dilakukannya pengolahan citra antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual untuk tahap pemrosesan analisis citra, yang kemudian akan ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Analisis yang dilakukan dari data kinetika pengeringan memungkinkan untuk memahami perpindahan air dari dalam bahan, termasuk juga dengan mempertimbangkan penyusutan sampel yang terjadi. Adapun, beragam penelitian percobaan pengeringan telah banyak dilakukan, termasuk untuk singkong. Tetapi, banyak dari penelitian tersebut mengabaikan penyusutan sebagai salah satu parameter yang mempengaruhi pengeringan. Dengan demikian, pada penelitian ini akan dilihat hubungan atau keterkaitan antara karakteristik pengeringan dengan penyusutan sampel yang diwakili dengan luas permukaan irisan singkong selama pengeringan.
1.2.
1. 2. 3.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk: Mengkaji karakteristik pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong dan menentukan model persamaan matematis yang sesuai. Mempelajari perubahan bentuk fisik akibat penyusutan bahan selama proses pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong dengan menggunakan pengolahan citra (image processing). Mengkaji keterkaitan antara karakteristik pengeringan dengan penyusutan luas permukaan irisan singkong.
2
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
SINGKONG
Singkong merupakan umbi akar dari tanaman pangan berupa perdu yang dikenal dengan nama lain ubi kayu, ketela pohon atau cassava. Singkong berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Singkong mudah ditanam dan dibudidayakan, dapat ditanam di lahan yang kurang subur, risiko gagal panen 5 %, dan tidak mudah terserang hama. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia pada tahun 1852. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, singkong dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu, digunakan pula dalam industri obat - obatan (Departemen Pertanian 1999).
Gambar 1. Singkong Secara botani, klasifikasi tanaman singkong adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae atau tumbuh - tumbuhan Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : Manihot esculenta Crantz sin. Tanaman singkong mempunyai umur rata-rata 7-12 bulan. Singkong memiliki umbi berdiameter rata-rata 5 cm - 10 cm dan panjang 50 cm - 80 cm. Singkong mengandung senyawa sianogenik yang dikenal dengan linamarin (93 %) dan lotaustralin (7 %) (Okigbo 1980). Kadar senyawa sianogenik tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, dan kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, kelembaban, dan suhu. Produksi singkong di Indonesia merupakan produksi pangan terbesar ke-2 setelah padi, sehingga singkong mempunyai potensi besar sebagai bahan baku yang penting bagi berbagai produk pangan dan industri. Sebagai bahan pangan yang kaya akan pati, singkong memiliki beberapa kekurangan yaitu kadar protein yang rendah (< 2 %) dan nilai gizinya yang tidak seimbang.
3
Disamping itu, ada singkong yang berkemungkinan mengandung kadar HCN yang tinggi dan rasa pahit (Deptan 2011). Sejak dipanen, singkong merupakan komoditi yang mudah rusak yang praktis hanya tahan sekitar 1 - 3 hari, sehingga pemanfaatannya harus secepat mungkin sebelum rusak. Masalah utama singkong setelah dipanen adalah sifatnya yang sangat peka terhadap jamur dan mikroba lain. Oleh karena itu, daya simpan dalam bentuk segar relatif pendek. Melalui proses penanganan sederhana dan telah umum dilakukan seperti pengeringan, akan diperoleh daya simpan yang lebih lama yaitu sekitar 2 - 4 minggu (Ospina & Wheatley 1990).
2.2.
PROSES PENGOLAHAN SINGKONG
Penanganan pascapanen bertujuan untuk mempertahankan mutu produk dan meningkatkan nilai tambah. Agar dapat memperpanjang masa simpan produk, diperlukan proses pengawetan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses pengeringan. Beberapa tahapan proses yang dilakukan yaitu pengupasan, pencucian, pengirisan, blanching, dan pengeringan (Akingbala et al 1991).
2.2.1. Pengupasan Pengupasan kulit singkong merupakan tahap terpenting apabila singkong akan dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan dan meningkatkan kualitas karena kenampakannya akan lebih baik dan bersih. Pengupasan kulit singkong dapat dilakukan dengan menggunakan pisau. Sekitar 22 % dari massa total umbi akan hilang akibat proses pengupasan.
2.2.2. Pencucian Proses pencucian dilakukan untuk membersihkan daging singkong dari kotoran seperti tanah yang masih menempel. Pencucian dilakukan di bawah pancuran air kran, atau dengan merendamnya dalam suatu wadah selama beberapa waktu. Apabila kotoran menempel dengan kuat, maka pencucian dapat dikombinasikan dengan penyikatan dan penyemprotan air.
2.2.3. Pengirisan Proses pengirisan (perajangan) juga merupakan tahap terpenting agar singkong lebih mudah kering. Semakin tipis bahan yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan. Sedangkan semakin tebal suatu irisan mengakibatkan pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama. Proses pengirisan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin maupun secara manual memakai pisau dengan tebal irisan sampel sekitar 3 mm (Usman & Idakkwo 2011).
2.2.4. Blanching Blanching merupakan proses pemanasan bahan dengan menggunakan uap atau air dengan suhu tinggi dalam waktu singkat. Hal ini bertujuan untuk inaktivasi enzim katalase dan peroksidase, dan mencegah bau dan warna yang tidak dikehendaki selama pengeringan dan penyimpanan. Blanching
4
akan menyebabkan udara dalam jaringan akan keluar dan pergerakan air tidak terhambat, sehingga proses pengeringan menjadi lebih cepat. Proses blanching irisan singkong dilakukan dengan merendam terlebih dahulu dalam air bersuhu 90 C selama 5 menit (Bacelos & Almeida 2011).
2.2.5. Pengeringan Pengeringan irisan singkong dapat dilakukan di bawah cahaya matahari langsung, alat pengering bertenaga surya, atau dengan mesin pengering. Pengeringan dengan menggunakan cahaya matahari langsung membutuhkan waktu yang agak lama, karena tergantung pada intensitas dan lama penyinaran. Pengeringan dengan alat pengering bertenaga surya juga memiliki ketergantungan pada intensitas dan lama penyinaran, tetapi waktunya relatif lebih singkat. Pengeringan dengan mesin memberikan hasil yang lebih cepat dan mutunya lebih baik, tetapi harus diperhatikan pengontrolan suhu dan kelembaban relatif nya.
2.3.
TEORI PENGERINGAN
Proses pengeringan merupakan proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia (Henderson & Perry 1989; Brooker et al 1992). Mujumdar & Devahastin (2001) menyatakan bahwa pengeringan adalah sebuah operasi yang rumit meliputi perpindahan panas dan massa transien dengan beberapa laju proses seperti transformasi fisik dan kimia yang pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan mutu. Perubahan fisik yang terjadi meliputi penyusutan, penggembungan, proses kristalisasi, dan transisi gelas. Sedangkan perubahan secara kimia menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau, dan sifat - sifat bahan lainnya. Pengeringan biasanya menggambarkan proses termal, dimana panas dibutuhkan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan, sedangkan media penghantar panas dapat menggunakan udara (Brooker et al. 1974). Panas yang diberikan dapat dilakukan secara konveksi, konduksi, dan radiasi. Mengacu pada Mujumdar & Devahastin (2001), bahwa lebih dari 85 % pengering industri merupakan tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi ke dalam bahan secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian menguap dan dibawa oleh udara pengeringan. Hasil dari proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan enzimatis, mikrobiologis, dan kimiawi (Henderson & Perry 1976). Dasar proses pengeringan biasanya akan melibatkan dua kejadian yaitu panas yang harus diberikan pada bahan dan air yang harus dikeluarkan dari bahan. Dua fenomena ini menyangkut pindah panas dan pindah massa air yang terjadi secara simultan. Yang dimaksudkan dengan pindah panas adalah peristiwa perpindahan energi dari udara ke dalam bahan yang dapat menyebabkan berpindahnya sejumlah massa (kandungan air) karena gaya dorong untuk keluar dari bahan (pindah massa). Air yang diuapkan terdiri atas (1) air bebas, yang disebut juga free water dan mempunyai sifat air normal dan mudah terlepas. Selain itu, (2) air terikat secara fisik, air yang terikat pada rongga - rongga kapiler dari bahan dan yang terikat pada permukaan bahan sehingga memiliki daya ikat lemah dan mudah diputuskan. (3) Air terikat secara kimia, yaitu air yang terikat pada senyawa lain (bagian dari senyawa bahan itu sendiri) seperti protein dan karbohidrat. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses pengeringan karena diperlukan energi yang lebih kecil daripada air terikat. Kadar air suatu
5
bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat yang berada di dalam bahan (Henderson & Perry 1976). Selama proses pengeringan, yang pertama kali mengalami penguapan adalah air bebas. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap air pada permukaan dengan tekanan uap pada udara pengering (Henderson & Pabis 1961). Bila konsentrasi air pada permukaan cukup besar, sehingga permukaan bahan tetap basah maka akan terjadi laju penguapan yang tetap. Periode ini disebut dengan laju pengeringan konstan. Setelah air bebas menguap karena pengeringan, maka akan terjadi perpindahan air dan uap secara difusi dari bagian dalam ke permukaan bahan. Hal ini terjadi akibat perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan. Pola penurunan kadar air bahan dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Gambar 2. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1957) Seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3, bahwa selama proses pengeringan terdapat dua laju pengeringan, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (satuan berat) per satuan waktu tertentu. Laju pengeringan konstan (B-C) terjadi setelah proses inisiasi yaitu pemanasan bahan (A-B). Laju pengeringan menurun (C-E) terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan. Laju pengeringan ini sebanding dengan perbedaan tekanan uap air antara dalam dan luar bahan. Semakin kecil kandungan air di bagian dalam maka tekanan uapnya juga semakin kecil sehingga laju pengeringan semakin menurun. Laju pengeringan menurun sering dikelompokkan menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan laju pengeringan menurun kedua. Laju pengeringan menurun pertama: pada titik C, dimulai saat kadar air berada pada akhir periode laju pengeringan konstan (critical moisture content). Pada titik ini, permukaan dari bahan (solid) tidak jenuh dan laju pengeringan menurun seiring menurunnya kandungan air. Pada titik D, kandungan air yang berada pada lapisan permukaan sudah teruapkan sepenuhnya dan lebih lanjut, laju pengeringan dikontrol oleh laju dari pergerakan uap dari dalam bahan (Rizvi & Mittal 1992). Laju pengeringan menurun kedua: pada periode (D-E) menunjukkan kondisi bahwa penguapan terjadi di bagian dalam bahan dan uap air kemudian berdifusi ke permukaan.
6
Gambar 3. Kurva karakteristik pengeringan (Hall 1957) Selama proses pengeringan, laju pengeringan semakin lama akan semakin menurun. Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor - faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah: 1. Bentuk bahan, ukuran, volume, dan luas permukaan. 2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktivitas termal, dan emisivitas termal. 3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal. 4. Keadaan di luar bahan, seperti suhu, kelembaban udara, dan kecepatan aliran udara pengering.
2.4.
MODEL MATEMATIKA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS
Hall (1980) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering. Pengeringan lapisan tipis menyebabkan semua bahan pada lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam. Perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan tipis dapat diduga dengan mengembangkan model matematis baik secara teoritis, semi teoritis, dan empiris.
2.4.1. Model Teoritis Mengacu pada Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1992) telah mengembangkan model matematis dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses pengeringan dari produk hasil pertanian seperti biji - bijian. Disertai dengan hukum kekekalan massa dan energi, diperoleh persamaan untuk kadar air dan suhu pada pengeringan satu dimensi sebagai berikut: =
+
=
+
(1)
7
dimana dan adalah koefisien fenomenologis (misalnya = D dan = 1/ ), dan nilai K lainnya menunjukkan koefisien gabungannya. Koefisien gabungan tersebut merupakan perpaduan dari kadar air dan gradien suhu pada transfer uap dan energi. Umumnya, pengeringan bahan-bahan biologik mengikuti periode laju pengeringan menurun. Pada periode ini, perpindahan air atau migrasi uap air melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan, perbedaan tekanan hidrostatik, dan kombinasi dari mekanisme - mekanisme yang ada (Mujumdar & Devahastin 2001). Difusivitas efektif ( ) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi, biasanya dinyatakan dalam m2/detik. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua, =
(2)
dengan mengasumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dengan anggapan bahwa resistensi perpindahan air tersebar secara merata di dalam bahan yang homogen, dan tidak terjadi perubahan volume akibat penyusutan maka persamaan (2) dapat ditulis menjadi: =
(3)
Apabila persamaan (3) dilakukan pemecahan dengan menggunakan kondisi batas sesuai bentuk masing - masing untuk berbagai bentuk standar (slab, silinder, dan bola) (Pakowski & Mujumdar 1995). Adapun, persamaan umum untuk bentuk datar (slab) dapat dituliskan sebagai berikut: MR =
=
exp
(4)
Persamaan (4) tersebut, kemudian disederhanakan lagi dengan cara hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Kemudian, melalui pendekatan yang dilakukan dengan cara semi - teoritis dan empiris, maka akan diperoleh suatu model pengeringan yang sesuai dengan data percobaan.
2.4.2. Model Semi Teoritis dan Empiris Persamaan pengeringan lapisan tipis diturunkan pula secara semi teoritis dan empiris untuk menyederhanakan penyelesaian persamaan difusi dan pengeringan. Model semi - teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku pada selang suhu, RH, dan kecepatan udara dimana model dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Beberapa model persamaan matematis yang dapat digunakan dalam perhitungan pengeringan lapisan tipis untuk produk hasil pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Model-model persamaan matematis pengeringan lapisan tipis (Akpinar EK 2006; Hii et al. 2009; Kaleemullah & Kailappan 2006; Ojediran & Raji 2010; Shen et al. 2011) No
Model
Persamaan
1
Lewis
MR = exp (- kt)
2
Henderson-Pabis
3
Page
MR = exp (- ktn)
4
Modified Page
MR = exp (- kt)n
5
Logarithmic
6
Two-term
7
Midilli-Kucuk
8
Wang and Singh
MR = a exp (- kt)
MR = a exp (- kt) + c MR = a exp (-
t) + b exp (-
t)
MR = a exp (- t)n + b.t MR = 1+ a t + b t2
Setiap produk hasil pertanian memiliki model persamaan yang berbeda. Penelitian karakteristik pengeringan lapisan tipis telah banyak dilakukan pada berbagai jenis bahan pertanian dan mendapatkan beragam model persamaan yang sesuai pada masing-masing bahan tersebut. Seperti yang telah dilakukan oleh Mohammadi et al. (2008) dan Hulasare (1997) menggunakan persamaan Page untuk pengeringan masing-masing produk kiwi dan gandum. Selain itu, Ojediran & Raji (2010) mendapatkan bahwa model Modified Page merupakan model yang paling sesuai dibandingkan beberapa model lainnya untuk jawawut, Shen et al. (2011) mendapatkan bahwa model Wang & Singh merupakan model terbaik untuk batang sorgum. Adapun, beberapa model pengeringan lapisan tipis yang dipilih karena biasa digunakan oleh para peneliti dalam menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis dari berbagai produk pertanian (Kashaninejad 2007): 1. Lewis model Model ini mengasumsikan bahwa tahanan dalam (internal resistance) dapat diabaikan. Hal ini berarti tidak ada perlawanan untuk bergeraknya air dari dalam bahan menuju ke permukaan bahan. Model ini paling umum digunakan karena sederhana. 2. Henderson & Pabis model Model ini merupakan salah satu pendekatan dan variasi dari model difusi yang telah digunakan oleh para peneliti dalam pemodelan karakteristik produk pertanian. 3. Page model Page mengusulkan bahwa ada dua konstanta empiris sebagai modifikasi dari model eksponensial (model Lewis) untuk memperbaiki kekurangannya dan menghasilkan model yang sesuai untuk berbagai bahan pertanian.
2.5.
KONSTANTA PENGERINGAN
Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas. Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Semakin tinggi nilai konstanta pengeringan, semakin cepat suatu bahan membebaskan airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapisan tipis
9
tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu, dan geometri bahan) dan kondisi pengeringan (suhu, kelembaban, dan laju udara pengeringan). Secara empiris, konstanta - konstanta pengeringan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (5) atau dikenal juga dengan model Page (Mohammadi et al. 2008). MR =
= exp (- ktn)
(5)
Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu dan RH udara pengeringan. Semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringannya. Hubungan antara konstanta pengeringan (k dan n pada model Page) dan suhu pengeringan dapat dinyatakan menggunakan persamaan berikut (Mohammadi et al. 2008): k, n = a + bT + cT2 (6) Demikian juga, hubungan antara konstanta pengeringan dan RH pengeringan dapat dinyatakan secara empiris menggunakan persamaan sebagai berikut: k, n = a + b(RH) + c(RH)2 (7) dimana a, b, dan c merupakan konstanta persamaan yang diperoleh dengan regresi non-linier, T adalah suhu pengeringan dan RH merupakan kelembaban relatif udara pengeringan.
2.6.
PENYUSUTAN DAN PENGOLAHAN CITRA
Berkurangnya air karena proses pengeringan menyebabkan penyusutan pada bahan. Penyusutan biasanya merupakan karakteristik yang dapat diketahui dengan menentukan perubahan yang terjadi pada volume dan atau dimensi bahan (Wang et al. 2007). Penyusutan pada bahan juga menyebabkan pengerutan, peretakan, dan pembengkokan. Difusivitas pada bahan akan berkurang sejalan dengan berkurangnya kadar air. Pada kasus yang ekstrim, difusivitas air terhalang oleh kulit yang kedap air, sehingga kadar air pada bagian dalam bahan tidak berubah (tetap). Hal ini disebut dengan case hardening. Semua hal tersebut dapat diminimalkan dengan penurunan laju pengeringan, sehingga penyusutan pada permukaan bahan berkurang dan difusivitas bahan akan mendekati konstan. Oleh karena itu, perlu mengontrol laju pengeringan dengan mengontrol kelembaban udara pengering. Pengolahan citra adalah suatu cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Fernandez et al (2005) menggunakan analisis citra untuk mengetahui perubahan warna, bentuk, dan penyusutan selama pengeringan buah apel berlangsung. Semua parameter yang berhubungan dengan bentuk (area, perimeter, fourier energy) diteliti dengan menggunakan sistem standar pengambilan citra, seperti camera digital, iluminasi, komputer (hardware dan software). Pengolahan citra merupakan suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk dua dimensi. Secara umum, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan atau menganalisis suatu gambar, sehingga informasi baru tentang gambar yang dibuat lebih jelas. Mengacu pada Niblack (1986) dalam Manalu (2011), terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu, point, area, geometri, dan frame. Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Hal - hal yang termasuk dalam operasi ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling, serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Hal yang termasuk dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Hal yang termasuk dalam operasi ini adalah translasi, scaling, rotasi, dan flip.
10
Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversikannya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebut yang akan diolah secara digital oleh komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstrasi informasi penting yang terdapat didalamnya. Sehingga, dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan, serta menghitung gambar yang terdiri dari langkah perolehan citra dan segmentasi. Sistem pengambilan citra (gambar) terdiri atas empat komponen dasar, yaitu iluminasi, kamera, hardware, dan software. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Hal ini berkaitan untuk keperluan penampilan secara visual. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks. Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner, serta memperkecil nilai noisy (gangguan) pada gambar (Da Fontoura & Marcondes 2001). Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya dan dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, atupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal di atas. Keempat cara thresholding ini digunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruang, harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan dan harus kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan objek, terutama untuk objek yang mempunyai permukaan licin. Adanya pantulan pada permukaan objek akan menghilangkan informasi warna karena permukaan akan menjadi putih atau sangat terang (warna telah dinetralkan) (Ahmad 2005). Terdapat dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model persamaan penyusutan bahan pangan selama pengeringan. Pertama, disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan yang kedua, didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004). Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Pada umumnya, model penyusutan didasarkan pada geometri standar, yaitu bentuk bola, silinder, kubus, dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan, yaitu ketebalan, diameter, luas permukaan, atau volume.
11
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan melakukan pengukuran terhadap parameter pengeringan dan penyusutan selama proses pengeringan. Adapun, metode pengeringan yang diterapkan pada penelitian ini adalah pengeringan lapisan tipis untuk bentuk datar (slab). Pengeringan lapisan tipis dilakukan dengan mengeringkan irisan singkong dalam satu lapisan, sehingga seluruh bagian bahan dapat terselimuti udara pengeringan. Dengan demikian, pengeringan lapisan tipis menyebabkan semua bagian bahan pada lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam. Adapun, perlakuan pada proses pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong ini terdiri atas dua faktor, yaitu faktor suhu dan faktor RH. Pada penelitian ini, karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong yang diamati meliputi perubahan rasio kadar air irisan singkong terhadap waktu pengeringan, laju pengeringan irisan singkong terhadap waktu pengeringan, dan perubahan laju pengeringan terhadap kadar air. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan nilai konstanta pengeringan dan menentukan pilihan model yang sesuai untuk pengeringan lapisan tipis singkong. Selain itu, penyusutan luas permukaan irisan singkong yang terjadi selama pengeringan diamati melalui perubahan rasio area terhadap waktu dan perubahan rasio area terhadap rasio kadar air. Sedangkan keterkaitan antara karakteristik pengeringan dengan penyusutan luas permukaan irisan singkong hanya dilakukan sampai penyusunan model persamaan empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air.
3.1.
WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB pada bulan Februari 2012 - April 2012.
3.2.
BAHAN DAN ALAT
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah singkong (Manihot esculenta Crantz) yang berasal dari petani di daerah Cikarawang. Alat - alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendali-terakuisisi, timbangan digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dengan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, seperangkat komputer, anemometer Kanomax A541, dan webcam.
Pengering Laboratorium Terkendali - Terakuisisi Mesin pengering laboratorium terkendali - terakuisisi memanfaatkan udara yang dipanaskan oleh elemen listrik berkapasitas 2000 W. Udara panas yang dihembuskan ke ruang pengering memiliki kelembaban relatif dan suhu yang terkontrol dan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pengontrolan RH menggunakan humidifier. Udara panas yang basah dari ruang air heater akan didorong oleh blower ke dalam ruang pengering. Apabila suhu dan RH yang dicapai lebih tinggi dari setpoint, maka dilakukan pembuangan kalor dan pembuangan uap air melalui dehumidifier yang memiliki efek pendinginan dan pengembunan. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kondisi PID dengan akurasi suhu 1 C dan RH 2 % sesuai dengan standar (ASABE 2006).
12
Kondisi pengeringan yang dapat dilakukan berada pada selang suhu 30 C - 80 C dan RH 20 % 90 %. Kecepatan aliran udara bervariasi dari (0.1 – 1) m/detik. Kecepatan udara yang masuk ke dalam ruang pengering yang berdimensi 35 cm x 35 cm x 35 cm dapat diatur dengan menarik atau mendorong tuas secara manual pada bagian flow controller. Pengendali utama dari mesin pengering ini menggunakan dua buah mikrokontroler AVR dari Atmel untuk merealisasikan fungsi yang ingin dicapai. Adapun beberapa sensor yang digunakan pada mesin ini yaitu, (1) suhu dan kelembaban, menggunakan SHT15 dari Sensirion dan (2) timbangan digital, menggunakan timbangan digital A&D seri GF-3000 dengan kapasitas maksimum 3 kg (termasuk baki bahan), dengan ketelitian 0.01 gram.
Gambar 4. Skema sistem fungsional pengering laboratorium
3.3.
PROSEDUR PERCOBAAN
Kegiatan penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu persiapan bahan, persiapan peralatan, pengoperasian mesin pengering, dan pengambilan data.
3.3.1. Persiapan Bahan Persiapan bahan dilakukan berdasarkan pengolahan pascapanen singkong yaitu, proses pengupasan, pencucian, pengirisan, dan blanching. Singkong yang sebelumnya telah dikupas kulit arinya, kemudian dicuci dan diiris melintang dengan ketebalan sekitar 3 mm. Lalu, irisan singkong tersebut direndam dalam air bersuhu 90 C selama 5 menit sebelum dilanjutkan dengan proses pengeringan.
13
3.3.2. Pengoperasian Alat Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar setengah hingga satu jam sebelum percobaan dimulai untuk menstabilkan ruang pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis singkong yang dilakukan adalah pada level suhu 40, 50, 60, dan 70 C dengan kondisi RH 30, 40, 50, dan 60 %, serta laju udara pengering (0.5 0.7) m/detik. Kondisi percobaan yang dilakukan pada penelitian ini dijelaskan pada Tabel 2, dimana perlakuan pada proses pengeringan lapisan tipis dari irisan singkong terdiri atas dua faktor, yaitu faktor suhu dan faktor RH. Tabel 2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis singkong RH
Suhu 30 %
40 %
50 %
60 %
40 C 50 C 60 C 70 C = dilakukan
Massa, suhu, dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan massa sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan digital GF-3000 A&D (kapasitas sampai dengan 3000 gram dengan ketelitian 0.01 gram). Pada saat penimbangan, blower akan mati sehingga tidak ada udara yang masuk ke ruang pengering. Percobaan dihentikan setelah massa sampel konstan. Data massa, suhu, dan kelembaban yang terekam, dicatat secara manual hingga pengeringan berakhir. Demikian juga perekaman citra diukur setiap 5 menit dengan kamera yang ditempatkan pada bagian atas pengering dengan jarak sekitar 15 cm dari bahan. Selama pengeringan berlangsung, citra irisan singkong direkam secara konsisten oleh komputer dengan resolusi 640 x 480 pixels; faktor skala dari 36 cm2 sama dengan 61297 pixels. Citra irisan singkong yang telah direkam, kemudian disimpan dalam bentuk .jpeg dan dikumpulkan menjadi sebuah arsip (file). Secara umum, pemrograman pengolahan citra dibedakan menjadi dua, yaitu program tunda, dimana program yang dibuat melakukan manipulasi dan analisis citra yang sudah direkam atau disimpan dalam bentuk file sebelumnya yang langsung ditangkap kamera. Jenis program lainnya adalah real-time program, yaitu program yang menangkap citra, memindahkan bingkai ke dalam memori komputer, melakukan analisis, dan menghasilkan citra lain tergantung tujuannya.
3.3.3. Pengambilan Data Pada pengujian menggunakan pengering laboratorium terkendali - terakuisisi ini, parameter yang diukur meliputi massa dan kadar air, suhu (ruang pengering dan bahan), kelembaban relatif (RH) ruang pengering, waktu pengoperasian alat, dan data perekaman citra menggunakan webcam.
14
Persiapan peralatan
Singkong umur 9 bulan, 4-6 cm
Waktu (10 menit)
Menstabilkan ruang pengering sesuai kondisi percobaan 30 menit
Pengupasan dan pencucian (15 menit) Pengirisan dengan ketebalan sekitar 3 mm
Start pengeringan
(5 menit) Blanching dengan air bersuhu 90 C (2 menit)
Perekaman data: suhu, RH, massa tiap 5 menit
Penirisan (1 menit) Penimbangan massa awal bahan
Perekaman citra
Analisis data pengeringan
Analisis data penyusutan
Analisis data
Gambar 5. Diagram alir prosedur percobaan dan pengambilan data
3.4.
ANALISIS DATA
Data - data hasil pengamatan yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan: 1. Laju penurunan kadar air untuk masing - masing perlakuan 2. Hubungan perubahan rasio kadar air terhadap waktu untuk masing - masing perlakuan 3. Hubungan laju pengeringan terhadap waktu untuk masing - masing perlakuan 4. Hubungan laju pengeringan terhadap kadar air untuk masing - masing perlakuan 5. Model persamaan matematis yang dapat menggambarkan secara tepat karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong 6. Hubungan konstanta pengeringan terhadap faktor suhu dan faktor RH 7. Perubahan luas permukaan sampel irisan singkong untuk masing - masing perlakuan 8. Perubahan rasio area terhadap waktu untuk masing - masing perlakuan 9. Perubahan rasio area terhadap rasio kadar air untuk masing - masing perlakuan 10. Penyusunan model persamaan empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air
15
3.4.1. Analisis Data Pengeringan 1.
Perhitungan Perubahan Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan dengan mengukur massa bahan sesudah dikeringkan dengan menggunakan oven drying. Data hasil penimbangan massa bahan selama proses pengeringan diolah untuk mengetahui kadar air bahan selama proses pengeringan. Persamaan yang digunakan: =
(8)
=
(9)
m = M =
x 100 % x 100 %
(10) (11)
Penentuan kadar air untuk mendapatkan mutu singkong yang sesuai dengan standar (SNI 01345-1994) dilakukan dengan cara menimbang dengan teliti kira - kira 5 gram sampel, kemudian menempatkannya dalam cawan porselen, silika, atau platina untuk dipanaskan dalam oven dengan suhu (105 ± 1) °C selama 5 jam. Didinginkan dalam desikator sampai tercapai suhu kamar, lalu ditimbang hasilnya. Kemudian dipanaskan lagi 30 menit dan didinginkan dalam desikator. Pekerjaan tersebut diulangi 3 - 4 kali sampai diperoleh selisih hasil penimbangan berturut-turut lebih kecil dari 0.001 gram. Besarnya nilai kadar air yang diperoleh dari setiap percobaan, kemudian dikonversi ke dalam bentuk rasio kadar air dengan persamaan sebagai berikut:
MR =
2.
(12)
Perhitungan Laju Pengeringan Laju pengeringan selama percobaan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: Laju Pengeringan
=
(13)
dimana dan masing - masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air pada saat t+dt (dalam kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (dalam menit), dt adalah selang waktu pengeringan (menit).
3.
Pemodelan Pengeringan Lapisan Tipis
Pemodelan pengeringan lapisan tipis dilakukan dengan menentukan model persamaan yang sesuai dengan hasil uji keabsahan model. Model persamaan digambarkan pada grafik MR terhadap waktu dan membandingkannya dengan grafik hasil percobaan. Nilai k, a, dan n hasil pemodelan digunakan untuk menghasilkan nilai MR model.
16
Adapun, persamaan pengeringan lapisan tipis yang diturunkan secara semi teoritis untuk menyederhanakan penyelesaian persamaan difusi dan pengeringan. Beberapa model persamaan yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Model matematika pengeringan lapisan tipis No
Model
Persamaan
1
Lewis
MR =
= exp (- kt)
2
Henderson & Pabis
MR =
= a exp (- kt)
3
Page
MR =
= exp (- ktn)
Ketiga model dipilih sebagai pembanding dengan data percobaan karena model - model tersebut merupakan model yang umum digunakan untuk menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis dan merupakan penyederhanaan model teoritis yang diperoleh dari persamaan difusi (Hukum II Fick). Dimana MR (moisture ratio) mewakili data kadar air, M merupakan kadar air saat t pengeringan berlangsung, M0 merupakan kadar air awal, Me adalah kadar air keseimbangan, k adalah konstanta pengeringan, serta n dan a adalah konstanta. Konstanta - konstanta dari model pengeringan lapisan tipis kemudian ditentukan secara eksperimental dari penormalisasian kurva pengeringan, kemudian dievaluasi berdasarkan koefisien determinasinya (R2). Konstanta pengeringan (k) merupakan suatu besaran yang dapat digunakan sebagai indikator seberapa cepat proses pengeringan dapat berlangsung pada suatu bahan. Menurut Wartono (1997), konstanta pengeringan (k) merupakan suatu besaran yang menyatakan tingkat kecepatan air atau massa air untuk terdifusi keluar meninggalkan bahan yang dikeringkan. Berikut adalah bentuk persamaan model Lewis yang dinormalisasi ln (MR) = - kt (14) dan bentuk persamaan dari model Henderson & Pabis ln (MR) = - kt + ln a (15) dimana, k dan a berturut - turut ditentukan sebagai slope dan intercept dari ln (MR) terhadap waktu (t). Pada persamaan Lewis, intercept diatur sama dengan 0. Sedangkan bentuk persamaan model Page yang dinormalisasi ln [-ln (MR)] = ln (k) + n ln (t) (16) dimana, k dan n berturut-turut ditentukan sebagai intercept dan slope dari ln [-ln (MR)] terhadap ln (t). Pemodelan yang dilakukan dalam hal mengetahui perilaku pengeringan dari produk pertanian yang berbeda - beda sering memerlukan metode statistikal yang berupa analisis regresi dan analisis korelasi (Yadollahinia et al. 2008). Adapun, model regresi linier dan non lnier dapat menjadi suatu tools yang penting untuk menemukan hubungan diantara variabel - variabel yang berbeda, terutama yang tidak mempunyai hubungan secara empiris. Oleh karena itu, data percobaan yang diperoleh akan dianalisis menggunakan regresi secara linier dan non linier dengan harapan koefisien - koefisien pada persamaan empiris (Tabel 3) diperkirakan dapat memposisikan secara tepat untuk data hasil pengeringan percobaan. Kriteria pembanding yang dipakai untuk menentukan model persamaan yang terbaik selain koefisien determinasi (R2), yaitu reduced chi - square χ2, root mean square error (RMSE) (Yadollahinia et al. 2008; Shen et al. 2011). Nilai R2 digunakan sebagai kriteria pembanding untuk menentukan ketepatan model. Reduced chi - square merupakan kuadrat rata - rata dari penyimpangan
17
antara hasil percobaan dengan hasil perhitungan model. Nilai RMSE merupakan deviasi antara nilai prediksi dari model dengan nilai hasil percobaan. Semakin tinggi nilai R2 dan semakin rendah nilai reduced chi - square χ2, root mean square error (RMSE) maka model akan semakin tepat. Kriteria pembanding tersebut dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
R2
=
(17)
χ2
=
(18)
RMSE =
(19)
dimana: MRexp,i merupakan rasio kadar air percobaan ke-i; MRpre,i merupakan rasio kadar air model ke-i; mrexp adalah nilai rata - rata dari rasio kadar air percobaan; mrpre adalah nilai rata - rata dari rasio kadar air model; N adalah jumlah pengamatan; z adalah jumlah konstanta dalam model pengeringan. Analisis regresi linier dan non linier dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel spreadsheet (Microsoft Office 2007).
18
Mulai
Perhitungan kadar air M
=
x 100 %
=
MR =
Penentuan nilai k dan konstanta n, a (pendekatan model Lewis, Henderson & Pabis, Page)
MR Lewis
MR: MR Lewis R2, χ2, RMSE (Lewis)
MR H & P
MR: MR H & P
MR Page
MR: MR Page
R2, χ2, RMSE (H & P)
R2, χ2, RMSE (Page)
Jika R2 mendekati 1; χ2 dan RMSE mendekati 0
Tidak
Bukan model terbaik
ya Model Terbaik
Selesai
Gambar 6. Bagan alir proses analisis data pengeringan untuk setiap perlakuan
19
3.4.2. Analisis Data Penyusutan Adanya penyusutan pada bahan mengindikasikan bahwa terjadi pengecilan dimensi volume, luas permukaan, ataupun ketebalan. Penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong tersebut diamati dan direkam menggunakan webcam yang dihubungkan ke komputer. Hasil citra irisan singkong yang telah direkam tersebut kemudian dianalisis menggunakan MATLAB 7.1 Release 14 (The MathWorks, Inc.). Analisis ini dilakukan terhadap area atau luas permukaan bahan. Berikut ini merupakan diagram alir dari proses pengolahan citra dengan menggunakan MATLAB 7.1 Release 14 (The MathWorks, Inc.):
Mulai
Membaca dan menampilkan citra pertama
Ekstraksi nilai pixel red, green, and blue (RGB)
Membuat citra dengan background yang seragam Membuka citra selanjutnya
Konversi citra ke citra biner
Menyimpan data citra biner ( .jpeg) dan data area (pixels) pada sebuah file dan menutup semua citra yang telah dikonversi
Apakah semua citra sudah terkonversi?
Tidak
ya Selesai
Gambar 7. Diagram alir proses pengolahan citra Data hasil pengolahan citra tersebut kemudian dihitung untuk mendapatkan nilai penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong yang terjadi selama pengeringan berlangsung. S =
(20)
Kemudian disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pada penelitian ini, model penyusutan luas permukaan menggunakan persamaan linier dengan persamaan sebagai berikut: = C1 + C2
(21)
20
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG
4.1.
4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar air awal 55.00 %bb - 67.74 %bb dan berakhir ketika tidak terjadi lagi perubahan massa, dimana kadar air akhir mendekati kadar air keseimbangan yang berada pada selang 8.17 %bb - 13.00 %bb. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data penurunan massa bahan untuk berbagai perlakuan suhu dan RH (Lampiran 2). Melalui pengukuran kadar air yang menggunakan metode oven, kemudian diperoleh data penurunan kadar air. Data tersebut kemudian dikonversi menjadi bentuk penurunan rasio kadar air dan diplotkan ke dalam suatu grafik sehingga diperoleh kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu (Gambar 8 dan Gambar 9). Tabel 4. Data kadar air dan lama pengeringan pada suhu 50 C Suhu (°C)
50
awal
akhir
awal
akhir
Berat Kering (g)
30
119.31
42.70
205.59
9.37
39.04
395
40
144.08
53.42
210.03
14.95
46.47
435
50
134.63
53.74
173.71
9.25
49.19
450
60
145.02
68.14
136.43
11.09
61.34
560
Total Waktu Pengeringan (menit)
RH (%)
Massa (gram)
Kadar Air (%bk)
Total Waktu Pengeringan (menit)
Tabel 5. Data kadar air dan lama pengeringan pada RH 40 % Suhu (°C)
RH (%)
40 50 60 70
40
awal
akhir
awal
akhir
Berat Kering (g)
109.32
54.15
122.25
10.09
49.19
510
144.08
53.42
210.03
14.95
46.47
435
183.74
74.69
172.40
10.73
67.45
430
143.70
53.34
193.38
8.90
48.98
185
Massa (gram)
Kadar Air (%bk)
Tabel 4 (perlakuan suhu yang sama yaitu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda) menunjukkan bahwa dengan massa awal irisan singkong yang hampir sama, seperti pada perlakuan RH 40 % dan RH 60 %, memiliki kadar air awal yang ternyata nilainya tidak sama (bervariasi). Demikian juga, pada perlakuan RH 30 %, dengan massa awal irisan singkong yang cenderung lebih rendah dibandingkan massa awal irisan singkong lainnya, ternyata memiliki kadar air awal yang cenderung tinggi, yaitu sekitar 67 %bb. Hal yang mempengaruhi bervariasinya nilai kadar air awal bahan adalah jenis varietas singkong yang dipakai, diduga berbeda pada beberapa perlakuan dan umur tanaman sampai dengan dipanen yang juga diduga tidak seragam. Tetapi, meskipun singkong yang digunakan berasal dari lokasi yang sama dengan varietas yang sama, struktur dan sifat fisik bahan dapat berbeda. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan antara irisan singkong yang digunakan untuk pengeringan pada perlakuan RH 40 % dan RH 60 %. Terlihat bahwa irisan singkong yang digunakan untuk perlakuan RH 40 % dan RH 60 % mempunyai berat awal yang hampir sama, tetapi
21
mempunyai berat kering yang berbeda sekitar 35 %. Dengan demikian, diduga bahwa struktur bahan lebih padat untuk sampel perlakuan RH 60 %. Hal yang sama juga terjadi pada sampel percobaan untuk suhu 60 °C dengan RH 40 % (Tabel 5). Perbedaan ini juga mempengaruhi karakteristik pengeringan sebagaimana akan lebih jelas pada pembahasan selanjutnya. Waktu pengeringan irisan singkong bervariasi menurut tingkatan suhu dan RH. Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu udara pengering, maka total waktu pengeringan semakin singkat. Selain itu, semakin tinggi RH udara pengering maka total waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan semakin lama. Dari perubahan RH udara pengering (Tabel 4) terdapat indikasi bahwa dengan adanya peningkatan RH dapat memperlambat waktu pengeringan. Hal ini ditunjukkan oleh RH 30 % yang mempunyai waktu pengeringan tercepat yaitu 395 menit dengan kadar air akhir sebesar 9.37 %bk dan RH 60 % mempunyai waktu pengeringan terlama yaitu 560 menit dengan kadar air akhir sebesar 11.09 %bk. Tetapi, perlakuan dengan tingkat RH yang berbeda - beda ini, tidak menunjukkan adanya konsistensi antara tingkat RH dengan kadar air akhir yang dicapai. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tingkat RH pada kadar air awal tertentu menghasilkan nilai kadar air akhir yang bervariasi. Pola perubahan rasio kadar air terhadap waktu pengeringan pada perlakuan suhu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8. Terlihat bahwa proses pengeringan berjalan cepat, mulai dari awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan kemudian semakin melambat, yang ditunjukkan dengan bentuk kurva yang melandai hingga proses pengeringan selesai. Adanya perbedaan trend kurva yang ditunjukkan oleh hasil percobaan untuk RH 60 % diduga karena struktur bahan yang lebih padat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
1.0 30% 40% 50% 60%
Rasio Kadar Air (-)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
Gambar 8. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada suhu 50 °C Gambar 8 menunjukkan semakin tinggi nilai RH, bentuk kurva relatif lebih landai dan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan singkong akan semakin lama, karena kecepatan atau kemampuan untuk pembebasan air menjadi lebih rendah. Berdasarkan perubahan suhu udara pengering (Tabel 5), terlihat indikasi bahwa dengan adanya peningkatan suhu udara pengering dapat mempercepat waktu pengeringan. Hal ini terlihat pada suhu
22
70 °C mempunyai waktu pengeringan tercepat yaitu 185 menit dengan kadar air akhir sebesar 8.90 %bk. Sedangkan suhu 40 °C mempunyai waktu pengeringan terlama yaitu 510 menit dengan kadar air akhir sebesar 10.09 %bk. Berdasarkan hasil perhitungan kadar air akhir bahan setelah pengeringan, ternyata semakin cepat proses pengeringan menyebabkan nilai kadar air akhir yang cenderung semakin rendah, kecuali pada kondisi suhu 40 °C yang seharusnya memiliki kadar air akhir lebih tinggi dibandingkan kondisi lainnya. Hal ini disebabkan oleh nilai kadar air awal bahan yang sangat kecil, sehingga membuat nilai kadar air akhir bahan juga semakin kecil. Pola perubahan rasio kadar air terhadap waktu pengeringan pada perlakuan RH 40 % dengan tingkat suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.
1.0 40 C 50 C 60 C 70 C
Rasio Kadar Air (-)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
Gambar 9. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada RH 40 % Gambar 9 menunjukkan semakin tinggi suhunya, bentuk kurva relatif lebih curam dan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan singkong akan semakin singkat, karena kecepatan atau kemampuan untuk pembebasan airnya lebih tinggi. Tetapi, pada suhu 50 °C terlihat bahwa trend penurunan rasio kadar airnya berhimpitan dengan perlakuan suhu 60 °C. Selain itu, waktu yang dipakai untuk mengeringkan irisan singkong juga cenderung hampir sama, yaitu hanya terjadi selisih 5 menit. Hal ini diduga karena terjadi ketidakstabilan alat kontrol suhu pada mesin pengering saat proses pengeringan berlangsung.
4.1.2
Perubahan Laju Pengeringan Terhadap Waktu
Laju pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan per satuan waktu. Proses penguapan sejumlah air dari permukaan bahan akan bertambah cepat dengan adanya peningkatan suhu, peningkatan kecepatan udara pengering, dan penurunan tingkat RH dalam proses pengeringan. Data laju pengeringan rata - rata yang dihitung dengan cara merata-ratakan besarnya nilai laju pengeringan setiap 5 menit pengambilan data selama proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.
23
Tabel 6. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada suhu 50 °C Suhu (°C )
50
RH (%)
Laju Pengeringan (%bk/menit)
30
0.497
40
0.448
50
0.365
60
0.224
Tabel 7. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada RH 40 % RH (%)
40
Suhu (°C )
Laju Pengeringan (%bk/menit)
40
0.219
50
0.448
60
0.376
70
0.992
Tabel 6 dan 7 memperlihatkan bahwa laju pengeringan rata - rata meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu atau semakin menurunnya tingkat RH. Hal ini disebabkan penguapan air akan berlangsung lebih cepat dengan bertambahnya suhu udara pengering atau menurunnya tingkat kelembaban relatif. Sehingga, laju pengeringan cenderung berbanding lurus dengan suhu pengeringan dan berbanding terbalik dengan kelembaban udaranya. Tabel 6 menunjukkan bahwa untuk perlakuan RH 30 % dengan kecepatan udara pengering yang cenderung konstan, yaitu sekitar 0.5 m/s memiliki laju pengeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan RH lainnya. Demikian juga pada perlakuan dengan tingkat suhu yang berbeda dan kecepatan udara pengering yang cenderung konstan (Tabel 7), terlihat bahwa untuk perlakuan suhu 40 °C memiliki laju pengeringan rata - rata yang lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu lainnya. Tetapi, untuk perlakuan suhu 60 °C menunjukkan bahwa nilai laju pengeringan rata - ratanya lebih kecil dibandingkan perlakuan suhu 50 °C dan tidak berada pada selang (0.448 - 0.992) %bk/menit. Selain diduga karena terjadi ketidakstabilan mesin pengering seperti pada kontrol suhu dan kecepatan aliran udara, hal ini dapat juga disebabkan oleh sifat bahan itu sendiri, seperti tingkat kadar air dan ketebalan bahan. Jika meninjau kembali pada Tabel 5, terlihat untuk perlakuan suhu 60 °C memiliki kandungan air yang lebih rendah atau sedikit dibandingkan dengan perlakuan suhu lainnya seperti 50 °C dan 70 °C. Jumlah kandungan air bahan yang sedikit ini menyebabkan proses penguapan menjadi susah. Akibatnya, laju pengeringan menjadi lebih rendah. Ketebalan dari irisan singkong ternyata juga berpengaruh dalam menentukan semakin tinggi atau rendahnya laju pengeringan. Terlihat pada Tabel 5 bahwa berat kering sampel irisan singkong untuk perlakuan suhu 60 °C dengan RH 40 % lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Sehingga, selain diduga bahwa struktur bahan lebih padat, irisan - irisan singkong pada perlakuan ini memiliki kemungkinan juga lebih tebal dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Irisan yang lebih tebal ini menyebabkan semakin sulitnya air untuk berpindah karena jarak yang harus ditempuh oleh air semakin jauh. Akibatnya, laju pengeringan menjadi lebih rendah. Gambar 10 dan 11 memperlihatkan kurva laju pengeringan terhadap waktu pada proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong. Terlihat bahwa trend laju pengeringan pada tahap awal lebih cepat, ditunjukkan dengan bentuk kurva yang lebih curam dibandingkan pada tahap akhir pengeringan. Hal yang menjadi penyebab penurunan kadar air yang relatif besar di awal pengeringan adalah masih terdapatnya air bebas yang berada di bagian permukaan bahan, sehingga terjadi perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air sampai tekanan uap air pada permukaan
24
menurun. Pada tahap berikutnya, terjadi perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan secara difusi yang mengakibatkan penurunan massa air menjadi lebih lambat. Hingga akhirnya setelah air bahan semakin berkurang, maka tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara disekitarnya dan tidak terjadi perpindahan air lagi. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk kurva yang relatif landai pada masa menjelang akhir pengeringan hingga tercapai keseimbangan. Selama proses pengeringan terdapat dua periode laju pengeringan, yaitu periode laju pengeringan konstan dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan menurun sering dikelompokkan lagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan laju pengeringan menurun kedua. Dalam periode laju pengeringan konstan, air yang berada pada permukaan bahan akan menguap seperti penguapan pada permukaan air bebas, dimana kecepatan penguapannya sama dengan kecepatan air yang dipindahkan dari dalam bahan ke permukaan. Sedangkan kondisi dimana kadar air saat laju pengeringan konstan ini berakhir lazim disebut sebagai kadar air kritis.
Laju Pengeringan (%bk/menit)
2.5 30% 40%
2.0
50% 60%
1.5
1.0 0.5 0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
Gambar 10. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada suhu 50 °C
Laju Pengeringan (%bk/menit)
3.0
70 C 60 C
2.5
50 C 2.0
40 C
1.5 1.0 0.5 0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
Gambar 11. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada RH 40 %
25
Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa sebagian besar dari kondisi perlakuan pengeringan tidak menunjukkan terjadinya laju pengeringan konstan sehingga dapat dikatakan bahwa pengeringan irisan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun. Hanya saja, laju pengeringan konstan terjadi sangat singkat pada perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %. Namun, karena laju pengeringan konstan ini sangat singkat sehingga dapat diabaikan. Terlihat pada Gambar 10, laju pengeringan menurun pertama pada semua tingkat RH terjadi sampai menit ke - 200, kemudian dilanjutkan dengan periode laju pengeringan menurun kedua hingga pengeringan berakhir. Gambar 11 menunjukkan bahwa laju pengeringan menurun pertama pada kondisi suhu pengeringan 70 °C terjadi sampai menit ke - 130 dan untuk kondisi suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C terjadi sampai menit ke - 180, kemudian dilanjutkan dengan periode laju pengeringan menurun kedua hingga pengeringan berakhir.
4.1.3
Perubahan Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air
Laju pengeringan dipengaruhi oleh kandungan air dalam bahan. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan pengurangan jumlah air di dalam bahan selama pengeringan. Hubungan antara kadar air dan laju pengeringan dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Seperti halnya hubungan antara perubahan laju pengeringan terhadap waktu, maka penurunan laju pengeringan terhadap kadar air dibagi juga menjadi dua periode, yaitu periode laju pengeringan konstan dan periode laju pengeringan menurun. Terlihat pada Gambar 12 dan 13 bahwa sebagian besar dari kondisi perlakuan pengeringan tidak menunjukkan terjadinya periode laju pengeringan konstan kecuali pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 60 %. Namun, laju pengeringan konstan ini terjadi sangat singkat pada awal pengeringan sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan bahwa pengeringan irisan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun. Terjadinya periode laju pengeringan konstan pada perlakuan pengeringan irisan singkong ini diduga karena adanya lapisan yang terbuka pada irisan - irisan singkong yang sebelumnya diberikan perlakuan pra pengeringan (blanching). Terlihat juga pada Gambar 12 dan 13, laju pengeringan akan menurun dengan cepat pada kadar air bahan tinggi yaitu di atas 193.38 %bk dan menurun dengan lambat pada kadar air bahan rendah, seperti pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 60 % dan suhu 40 °C untuk RH 40 %. Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin rendah kadar air bahan, maka laju pengeringannya semakin kecil.
Laju Pengeringan (%bk/menit)
2.5 30% 2.0
40%
50% 1.5
60%
1.0 0.5 0.0 0
50
100 150 Kadar Air (%bk)
200
250
Gambar 12. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air pada suhu 50 °C
26
Laju Pengeringan (%bk/menit)
3.0 40 C 2.5
50 C 60 C
2.0
70 C
1.5 1.0 0.5 0.0 0
50
100 150 Kadar Air (%bk)
200
250
Gambar 13. Kurva laju pengeringan terhadap rasio kadar air pada RH 40 %
Gambar 13 memperlihatkan bahwa kurva saling berhimpitan pada kondisi suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C. Terlihat juga adanya perbedaan trend kurva yang ditunjukkan oleh hasil percobaan untuk suhu 70 °C. Selain dikarenakan faktor kadar air yang cenderung bervariasi, suhu ternyata juga berperan dalam menentukan semakin tinggi atau rendahnya laju pengeringan. Sehingga, semakin rendah/tinggi suhu pengeringan dan semakin rendah/tinggi kadar air, maka laju pengeringannya menurun dengan lambat/cepat.
4.1.4
Model dan Konstanta Pengeringan Lapisan Tipis Singkong
Pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering (Hall 1980). Dengan demikian, semua bahan dalam lapisan tersebut akan mengalami pengeringan yang seragam. Pengeringan lapisan tipis irisan singkong ini menggunakan model semi - teoritis dan empiris untuk mendapatkan model pengeringannya. Adapun, model matematis pengeringan lapisan tipis irisan singkong yang dipilih meliputi model Lewis (Newton), Henderson & Pabis, dan Page. Perhitungan dilakukan dengan menormalkan persamaan dari model - model tersebut menjadi persamaan linier sederhana, seperti yang terlihat pada persamaan (13), (14), dan (15). Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis singkong berdasarkan model Lewis (Newton), Henderson & Pabis, dan Page dapat dilihat pada Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16. Ketiga gambar tersebut memperlihatkan perbandingan antara data percobaan pengeringan lapisan tipis singkong dengan data hasil perhitungan. Terlihat bahwa model Page (Gambar 16) adalah model yang paling mendekati data percobaan pengeringan lapisan tipis singkong, ditunjukkan dengan bentuk grafik yang sangat berhimpit dengan grafik hasil percobaan. Hal ini didukung juga oleh analisis statistikal yang dilakukan (Tabel 8 dan 9), dimana model Page memiliki nilai rata - rata R2 paling tinggi dan nilai rataan χ2, RMSE yang paling rendah dibandingkan dengan model Lewis dan Henderson & Pabis. Pada kondisi suhu 50 °C dengan tingkat RH berbeda, menghasilkan nilai rataan R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut adalah 0.9998, 0.004105, dan 0.000021. Pada kondisi RH 40 % dengan suhu yang berbeda memiliki nilai rataan berturut - turut 0.9998, 0.005013, dan 0.000035.
27
Sehingga, dapat dikatakan bahwa model Page adalah model yang dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong. Model Page memiliki nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut untuk semua perlakuan, berada pada kisaran 0.9995-0.9999, 0.002051-0.010040, dan 0.000004-0.000107. Kemudian diikuti oleh model Lewis dengan nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut pada kisaran 0.9879-0.9998, 0.0128510.057290, dan 0.000019-0.003371. Sedangkan model Henderson & Pabis memiliki nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut pada kisaran 0.9778-0.9998, 0.008550-0.106930, dan 0.000075-0.012071. berdasarkan uji keabsahan model - model tersebut, sehingga diketahui bahwa curve fitting terbaik terdapat pada kondisi perlakuan suhu 50 °C dengan RH 50 % (model Page), kondisi perlakuan suhu 50 °C dengan RH 30 % (model Lewis), dan kondisi perlakuan suhu 40 °C dengan RH 40 % (model Henderson & Pabis). Setelah diketahui bahwa model Page merupakan model yang dapat menggambarkan secara tepat karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong, maka akan digunakan nilai konstanta k dan n model Page untuk menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong. Tabel 8. Hasil analisis statistikal model pengeringan irisan singkong pada suhu 50 °C Henderson & Pabis Lewis Model Page Model Model Suhu RH (°C)
50
(%)
2
R
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
2
R
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
2
R
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
30
0.9993
128.51
1.69
0.9984
301.29
9.31
0.9999
35.48
0.13
40
0.9988
180.79
3.31
0.9969
376.54
14.51
0.9999
33.95
0.12
50
0.9985
217.36
4.78
0.9972
298.72
9.12
0.9999
20.51
0.04
60
0.9930
431.99
18.83
0.9851
752.66
57.67
0.9995
74.25
0.56
0.9974
207.95
7.15
0.9944
432.30
22.65
0.9998
41.05
0.21
Rata-rata
Tabel 9. Hasil analisis statistikal model pengeringan irisan singkong pada RH 40 % Henderson & Pabis Lewis Model Page Model Model RH Suhu (%)
40
(°C)
R2
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
R2
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
R2
RMSE
χ2
(x10-4)
(x10-4)
40
0.9998
43.45
0.19
0.9998
85.50
0.75
0.9999
31.61
0.10
50
0.9988
180.79
3.31
0.9969
376.54
14.51
0.9999
33.95
0.12
60
0.9990
173.96
3.06
0.9975
346.24
12.27
0.9999
34.56
0.12
70
0.9879
572.90
33.71
0.9778
1069.30
120.71
0.9996
100.40
1.07
0.9964
242.77
10.07
0.9930
469.40
37.06
0.9998
50.13
0.35
Rata-rata
Nilai konstanta - konstanta empiris dari model Lewis, Henderson & Pabis, dan model Page pada berbagai perlakuan suhu dan RH dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11.
28
1.0 50 C, 30% Predicted 50 C, 30 % 50 C, 40% Predicted 50 C, 40 % 50 C, 50% Predicted 50 C, 50 % 50 C, 60% Predicted 50 C, 60 %
Rasio Kadar Air (-)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
(a)
1.0 40 C, 40% Predicted 40 C, 40 % 50 C, 40%
0.8
Predicted 50 C, 40 %
Rasio Kadar Air (-)
60 C, 40% Predicted 60 C, 40 %
0.6
70 C, 40% Predicted 70 C, 40 %
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 Waktu (menit)
360
450
540
(b)
Gambar 14. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Lewis (a) suhu 50 °C; (b) RH 40 %
29
1.0 50 C, 30% Predicted 50 C, 30 % 50 C, 40%
0.8 Rasio Kadar Air (-)
Predicted 50 C, 40 % 50 C, 50% Predicted 50 C, 50 %
0.6
50 C, 60% Predicted 50 C, 60 %
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
(a)
1.0 40 C, 40% Predicted 40 C, 40 % 50 C, 40% Predicted 50 C, 40 % 60 C, 40% Predicted 60 C, 40 % 70 C, 40% Predicted 70 C, 40 %
Rasio Kadar Air (-)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 Waktu (menit)
360
450
540
(b)
Gambar 15. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Henderson & Pabis (a) suhu 50 °C; (b) RH 40 %
30
1.0 50 C, 30% Predicted 50 C, 30 % 50 C, 40% Predicted 50 C, 40 % 50 C, 50% Predicted 50 C, 50 % 50 C, 60% Predicted 50 C, 60 %
Rasio Kadar Air (-)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 360 Waktu (menit)
450
540
630
(a)
1.0 40 C, 40% Predicted 40 C, 40 % 50 C, 40%
0.8
Predicted 50 C, 40 %
Rasio Kadar Air (-)
60 C, 40% Predicted 60 C, 40 % 70 C, 40%
0.6
Predicted 70 C, 40 %
0.4
0.2
0.0 0
90
180
270 Waktu (menit)
360
450
540
(b)
Gambar 16. Kurva MR percobaan dan perhitungan dengan model Page (a) suhu 50 °C; (b) RH 40 %
31
Tabel 10. Nilai konstanta model pengeringan irisan singkong pada suhu 50 °C Henderson & Pabis Lewis Model Suhu RH Model (°C) (%) k k a k
50
n
30
0.0121
0.0125
1.1266
0.0099
1.0319
40
0.0109
0.0115
1.1710
0.0077
1.0583
50
0.0108
0.0112
1.1516
0.0069
1.0757
60
0.0079
0.0087
1.3400
0.0036
1.1223
Tabel 11. Nilai konstanta model pengeringan irisan singkong pada RH 40 % Henderson & Pabis Lewis Model RH Suhu Model (%) (°C) k k a
40
Page Model
Page Model k
n
40
0.0097
0.0097
1.0162
0.0076
0.9889
50
0.0109
0.0115
1.1710
0.0077
1.0583
60
0.0107
0.0112
1.1565
0.0075
1.0590
70
0.0228
0.0256
1.4350
0.0094
1.1722
Tabel 10 dan 11 memperlihatkan bahwa konstanta pengeringan (k, a, dan n) memiliki nilai yang berbeda - beda untuk setiap model pengeringan lapisan tipis yang ditentukan. Nilai konstanta pengeringan ini diperoleh secara bersamaan dengan proses perhitungan dari penormalisasian kurva pengeringan. Perubahan konstanta pengeringan akibat perlakuan suhu dan RH yang diperlihatkan pada Tabel 10 dan 11, menunjukkan bahwa perubahan suhu dan RH udara pengering mempengaruhi laju penguapan. Pengaruh peningkatan suhu udara pengering cenderung menyebabkan kenaikan laju penguapan dan pengaruh peningkatan RH udara pengering menyebabkan penurunan laju penguapan. Nilai k model Page pada perlakuan suhu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda (Tabel 10), bervariasi dari 0.0036 menit-1 - 0.0099 menit-1. Sedangkan pada model Lewis dan Henderson & Pabis terlihat menghasilkan nilai k yang berdekatan atau hampir sama (Tabel 10 dan 11). Yang membedakan diantara keduanya adalah bahwa model Lewis menggunakan pendekatan suku pertama (n = 1) untuk penyederhanaan penyelesaian persamaan umum difusi, sedangkan model Henderson & Pabis mengganti nilai konstanta pada suku pertama tersebut dengan suatu nilai konstanta a yang nilainya juga mendekati satu. Adanya nilai konstanta sama dengan satu pada model Lewis ternyata menghasilkan model yang lebih baik daripada model Henderson & Pabis. Adapun nilai k model Lewis dan Henderson & Pabis berturut - turut bervariasi dari 0.0079 menit-1 - 0.0121 menit-1 dan 0.0087 menit-1 - 0.0125 menit-1. Nilai k model Page pada perlakuan RH 40 % dengan tingkat suhu yang berbeda (Tabel 11), bervariasi diantara 0.0075 menit-1 - 0.0094 menit-1. Sedangkan nilai k model Lewis dan Henderson & Pabis masing - masing berkisar antara 0.0097 menit-1 - 0.0228 menit-1 dan 0.0097 menit-1 - 0.0256 menit-1. Terlihat pada perlakuan suhu yang sama, nilai k akan semakin mengecil dengan meningkatnya kelembaban udara (RH). Namun, pada perlakuan RH yang sama, nilai k akan cenderung semakin bertambah besar seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan, kecuali pada perlakuan suhu 60 °C
32
dengan RH 40 %. Hal ini dikarenakan nilai k sangat erat kaitannya dengan besarnya nilai koefisien difusi suatu bahan yang dikeringkan, dimana keduanya berbanding lurus. Berbeda dengan nilai k, nilai n akan semakin besar seiring dengan semakin meningkatnya suhu dan kelembaban udara. Secara empiris, nilai konstanta - konstanta pengeringan (k dan n) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (5). Besarnya nilai konstanta k dan n masing-masing pada perlakuan RH 40 % dengan tingkat suhu yang berbeda, bervariasi mulai dari 0.0075 menit-1 - 0.0094 menit-1 dan 0.9889 - 1.1722. Sedangkan nilai k dan n berturut - turut pada perlakuan suhu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda, bervariasi dari 0.0036 menit -1 - 0.0099 menit-1 dan 1.0319 - 1.1223. Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan, sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu dan RH udara pengeringan. Gambar 18 dan 19 merupakan grafik hubungan antara nilai k, n dengan suhu dan RH pengeringan. Berdasarkan gambar tersebut, dapat dilihat bahwa nilai k meningkat secara kuadratik terhadap suhu dan menurun secara kuadratik seiring bertambahnya RH. Selain itu, terlihat juga nilai n yang meningkat secara kuadratik terhadap suhu dan RH. 1.4 0.012
n hitung
K HITUNG
0.010
1.2
0.008
n
k (1/menit)
RH 40%
RH 40%
0.006
1.0
0.004 0.8
0.002 0
20
40
60
0
80
20
40
60
80
Suhu (° C)
Suhu (° C)
Gambar 17. Pengaruh suhu pengeringan terhadap k dan n pada RH 40 %
0.012
1.4
SUHU 50 C
SUHU 50 C
n hitung
0.009
1.2
n
k (1/menit)
K HITUNG
0.006
1.0 0.003 0.8
0.000 0
20
40
RH (%)
60
80
0
20
40
60
80
RH (%)
Gambar 18. Pengaruh RH pengeringan terhadap k dan n pada suhu 50 °C Hubungan antara konstanta pengeringan dengan suhu dan RH pengeringan dinyatakan secara empiris menggunakan persamaan (6) dan persamaan (7). Nilai konstanta a, b, dan c yang diperoleh dari regresi non-linier dapat dilihat pada Tabel 12. Sedangkan nilai konstanta (k, n) hasil perhitungan
33
ditentukan dari substitusi ketiga konstanta a, b, dan c pada berbagai tingkat suhu dan RH, seperti yang ditampilkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 12. Hubungan antara konstanta hitung dan konstanta model Page terhadap suhu dan RH Suhu RH a b c Konstanta Koefisien Korelasi SE -4 -4 (°C) (%) (x10 ) (x10 ) (x10-4) k
n
40 50 40 50
178.835
-4.289
0.043
0.9427
0.0003
111.710
0.282
-0.025
0.9815
0.0006
10843.2
-65.390
1.095
0.9643
0.0329
10381.3
-16.590
0.505
0.9915
0.0059
Tabel 13. Nilai k dan n percobaan dengan hasil perhitungan pada suhu 50 °C Suhu (°C) RH (%) k k hitung n
50
30
0.0099
0.0097
1.0319
1.0338
40
0.0077
0.0083
1.0583
1.0526
50
0.0069
0.0063
1.0757
1.0814
60
0.0036
0.0038
1.1223
1.1204
Tabel 14. Nilai k dan n percobaan dengan hasil perhitungan pada RH 40 % RH (%) Suhu (°C) k k hitung n
40
n hitung
n hitung
40
0.0076
0.0077
0.9889
0.9979
50
0.0077
0.0074
1.0583
1.0311
60
0.0075
0.0079
1.0590
1.0862
70
0.0094
0.0093
1.1722
1.2285
Dari hasil perhitungan (prediksi) konstanta pengeringan irisan singkong yang telah diperoleh tersebut, selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi besarnya penurunan kadar airnya.
4.2
PENYUSUTAN IRISAN SINGKONG
4.2.1
Hasil Pengolahan Citra Terhadap Penyusutan
Penyusutan pada sampel irisan singkong disebabkan oleh menguapnya air selama proses pengeringan yang berlangsung. Ketika air meninggalkan padatan, maka terbentuk suatu rongga rongga pada bahan. Pengeringan menyebabkan rongga - rongga yang sebelumnya diisi oleh air menjadi saling terhubung dan menyatu. Akibatnya, permukaan terluar dari suatu bahan akan mengerut ke dalam dan memberikan suatu kenampakan yang berkerut - kerut. Hal ini tentu saja akan mengurangi luasan permukaan dari bahan tersebut. Pengeringan dengan menggunakan suhu tinggi menyebabkan permukaan terluar akan mengering dengan cepat dan berpotensi untuk membentuk suatu kulit luar yang keras, sehingga tahan terhadap kekuatan yang akan mendorong ke bagian dalam. Sedangkan bagian dalam bahan yang relatif lunak ditarik ke permukaan luar, sehingga meninggalkan suatu lubang di tengah.
34
Penyusutan merupakan karakteristik yang dapat diketahui dengan menentukan perubahan yang terjadi pada volume dan atau dimensi bahan (Wang et al. 2007). Pada penelitian ini, besarnya tingkat perubahan dimensi bahan termasuk pengamatan terhadap perubahan bentuk yang ditimbulkan selama pengeringan dapat diketahui dengan bantuan pengolahan citra menggunakan webcam.
30 %
RH
40 %
50 %
60 %
0
90
180
270
360
450
540
Waktu (menit)
Gambar 19. Penyusutan area citra terhadap waktu pengeringan pada suhu 50 °C
70°C
Suhu
60°C
50°C
40°C
0
90
180
270
360
450
Waktu (menit)
Gambar 20. Penyusutan area citra terhadap waktu pengeringan pada RH 40 % Hasil perekaman citra dengan menggunakan webcam ditampilkan pada Gambar 19 dan Gambar 20. Terlihat pada kedua gambar, bahwa terjadi perubahan dimensi permukaan sampel irisan singkong selama berlangsungnya proses pengeringan. Selain perubahan dimensi permukaan, terlihat juga adanya dampak negatif dari proses pengeringan, yaitu perubahan bentuk fisik yang drastis seperti pengerutan yang disertai dengan pembengkokan pada bahan. Hal ini ditunjukkan oleh perlakuan suhu 50 °C untuk RH 30 % dan RH 50 %. Dengan demikian, kondisi pengeringan yang menyebabkan
35
perubahan bentuk fisik ini sedapat mungkin perlu dihindari untuk mempertahankan kualitas produk kering yang dihasilkan. Penyusutan luas permukaan irisan singkong selama pengeringan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22 yang merupakan hubungan antara rasio area (A/A0) terhadap waktu. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa luas permukaan sampel irisan singkong berkurang dengan cepat di awal pengeringan yang ditandai dengan bentuk kurva yang relatif lebih curam (mendekati linier), kemudian berkurang secara perlahan-lahan hingga stabil di masa-masa akhir pengeringan.
1.0
30% 40%
0.8
50% 60%
A/A0
0.6
0.4
0.2
0.0 0
100
200
300 400 Waktu (menit)
500
600
Gambar 21. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap waktu pengeringan pada suhu 50 °C 1.0
40 C 50 C
0.8
60 C
70 C A/A0
0.6
0.4
0.2
0.0 0
100
200
300 400 Waktu (menit)
500
600
Gambar 22. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap waktu pengeringan pada RH 40 %
36
4.2.2. Hubungan Perubahan Luas Permukaan dengan Penurunan Kadar Air Gambar 23 dan Gambar 24 menunjukkan hubungan antara penyusutan (perubahan) luas permukaan sampel irisan singkong dengan rasio kadar airnya pada berbagai tingkat suhu dan RH. Data rasio kadar air ini digunakan untuk mewakili data kadar air. Terlihat dari kedua gambar, perubahan luas permukaan sampel irisan singkong berbanding lurus dengan penurunan kadar airnya; ditunjukkan dengan bentuk grafik yang cenderung linier. Tetapi, kandungan air bahan terlihat lebih cepat menurun dibandingkan dengan penyusutan luas permukaan bahannya. Misalnya, pada kondisi perlakuan suhu 50 °C dengan RH 30 % (Gambar 23), dimana setelah rasio kadar air turun sebesar 40 %, penyusutan bahan baru terjadi sebesar 20 %. Hal ini akan terus berlangsung hingga tidak terjadi penurunan kadar air lagi dan diperoleh bahan kering dengan luas permukaan tertentu. Diketahui juga, bahwa kondisi pengeringan yang meliputi faktor suhu dan RH dapat mempengaruhi penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong. Tetapi, penyusutan luas permukaan selama proses pengeringan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang konsisten berdasarkan tingkat suhu dan RH. Seperti terlihat pada Gambar 23 dan 24, dimana trend penyusutan antara perlakuan RH 40 % dengan RH 60 % dan suhu 50 °C dengan 70 °C yang hampir sama (saling berhimpitan). Dengan demikian, diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan hubungan antara kondisi pengeringan dengan penyusutan luas permukaan irisan singkong.
1.0 30% 40% 0.8
50% 60%
A/A0
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4 0.6 Rasio Kadar Air
0.8
1.0
Gambar 23. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap rasio kadar air pada suhu 50 °C
37
1.0
40 C 50 C
0.8
60 C 70 C
A/A0
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4 0.6 Rasio Kadar Air
0.8
1.0
Gambar 24. Penyusutan area sampel irisan singkong terhadap rasio kadar air pada RH 40 % Tabel 15 dan 16 menunjukkan besarnya penyusutan luas permukaan pada setiap tingkat suhu dan RH pengeringan serta pengurangan kandungan air bahan selama pengeringan. Terlihat juga bahwa persentase berkurangnya air bahan lebih besar daripada penyusutan luas permukaan bahan pada semua tingkat perlakuan suhu dan RH yang diberikan. Persentase penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong berdasarkan RH pengeringan bervariasi dari 32.59 % - 49.81 %, sedangkan pengurangan kandungan air bahan memiliki persentase berkisar 91.87 % - 95.44 %. Demikian juga besarnya persentase penyusutan pada setiap suhu pengeringan bervariasi dari 22.03 % - 30.03 %, sedangkan persentase pengurangan kandungan air bahan berkisar antara 91.75 % - 95.39 %. Kondisi perlakuan yang menghasilkan susut luas permukaan bahan yang paling kecil, susut air bahan yang paling besar, dan tidak mengalami perubahan bentuk fisik yang drastis dapat mengindikasikan kualitas suatu produk kering tersebut baik. Tabel 15 dan 16 memperlihatkan bahwa hal tersebut dapat terjadi pada sampel untuk kondisi suhu 60 °C dengan RH 40 %, dimana susut luas permukaan yang terjadi 22.25 % dan susut air bahan sebesar 93.77 %. Tetapi, jika kondisi ini dihubungkan dengan perubahan laju pengeringannya yang cenderung rendah, maka hal yang diduga menjadi penyebab luas permukaan sampel hanya menyusut sedikit pada kondisi ini adalah serat singkong yang lebih banyak yang menyebabkan struktur bahan menjadi lebih padat; sebagai akibat dari umur tanaman yang lebih tua. Tabel 15. Penyusutan selama pengeringan pada perlakuan suhu 50 °C Suhu (°C)
50
Luas Permukaan (cm2)
Susut Air Bahan
Awal
Akhir
Susut (%)
(%)
30
15.72
7.89
49.81
95.44
40
11.69
7.88
32.59
92.88
50
10.11
6.41
36.59
94.67
60
16.26
10.54
35.18
91.87
RH (%)
38
Tabel 16. Penyusutan selama pengeringan pada perlakuan RH 40 % RH
Luas Permukaan (cm2)
Susut Air Bahan
Awal
Akhir
Susut (%)
(%)
40
10.35
8.07
22.03
91.75
50
11.69
7.88
32.59
92.88
60
16.27
12.65
22.25
93.77
70
11.07
7.69
30.53
95.39
Suhu (°C)
(%)
40
Hasil analisis regresi linier dari penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong terhadap rasio kadar air pada berbagai RH dan suhu, dapat diketahui dari persamaan (22) sampai persamaan (28) (data Lampiran 6). Adapun, setelah dilakukan analisis regresi linier, diketahui bahwa nilai koefisien korelasinya mendekati 1. Hal ini berarti kemampuan model linier untuk menggambarkan data percobaan adalah mendekati 100 %. Karena setiap perlakuan terlihat linier, maka penyusunan model penyusutan irisan singkong yang didasarkan pada persamaan (21) menggunakan data penurunan kadar air pada berbagai tingkat suhu dan RH. Nilai koefisien C 1 dan C2 yang diperoleh bersamaan dari analisis regresi linier ini kemudian akan digunakan sebagai parameter penentuan besarnya penyusutan luas permukaan irisan singkong.
Pada suhu 50 °C dan RH udara pengering 30 % = 0.501 + 0.503
(24)
R2 = 0.9954; SE = 0.0094
(25)
R2 = 0.9926; SE = 0.0069
(26)
Pada suhu 60 °C dan RH udara pengering 40 % = 0.785 + 0.219
R2 = 0.9987; SE = 0.0051
Pada suhu 40 °C dan RH udara pengering 40 % = 0.789 + 0.223
(23)
Pada suhu 50 °C dan RH udara pengering 60 % = 0.661 + 0.355
R2 = 0.9968; SE = 0.0067
Pada suhu 50 °C dan RH udara pengering 50 % = 0.629 + 0.379
(22)
Pada suhu 50 °C dan RH udara pengering 40 % = 0.678 + 0.315
R2 = 0.9991; SE = 0.0057
R2 = 0.9918; SE = 0.0036
(27)
Pada suhu 70 °C dan RH udara pengering 40 % = 0.682 + 0.303
R2 = 0.9939; SE = 0.0100
(28)
39
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
5.1 1.
2.
3.
4.
Sebagian besar dari kondisi perlakuan pengeringan tidak menunjukkan terjadinya laju pengeringan konstan kecuali pada perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %. Namun, laju pengeringan konstan ini sangat singkat pada awal pengeringan sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengeringan irisan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun. Model Page, dengan persamaan MR = exp (- ktn) adalah model yang dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong dengan sangat baik. Hal ini didukung oleh nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut untuk semua perlakuan yang berada pada kisaran 0.9995-0.9999, 0.002051-0.010040, dan 0.000004-0.000107. Selain itu, diketahui juga bahwa nilai k akan meningkat secara kuadratik terhadap suhu dan menurun secara kuadratik seiring bertambahnya RH, serta terlihat juga nilai n yang meningkat secara kuadratik terhadap suhu dan RH. Kondisi pengeringan yang meliputi faktor suhu dan RH dapat mempengaruhi penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong. Tetapi, penyusutan luas permukaan selama proses pengeringan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang konsisten berdasarkan tingkat suhu dan RH. Model persamaan penyusutan irisan singkong dinyatakan menggunakan persamaan linier sebagai fungsi dari rasio kadar air baik pada berbagai tingkat suhu maupun RH. Adapun, model persamaan penyusutan irisan singkong pada semua perlakuan adalah sebagai berikut: a. Pada tingkat suhu yang sama, 50 °C
RH udara pengering 30 % = 0.501 + 0.503
RH udara pengering 40 % = 0.678 + 0.315
RH udara pengering 50 % = 0.629 + 0.379
RH udara pengering 60 % = 0.661 + 0.355
b. Pada tingkat RH udara pengering yang sama, 40 %
Pada suhu 40 °C = 0.789 + 0.223
40
Pada suhu 60 °C = 0.785 + 0.219
Pada suhu 70 °C = 0.682 + 0.303
SARAN
5.2 1.
2.
Perlu dilakukan pengamatan secara keseluruhan, mencakup luas permukaan dan ketebalan bahan untuk mengetahui penyusutan total yang terjadi. Sehingga diperoleh model persamaan yang lebih dapat menggambarkan penyusutan irisan singkong sebagai fungsi rasio kadar air. Perlu diperhatikan jenis varietas dan umur tanaman singkong yang akan dipakai, karena berkaitan dengan kadar air awal dan kadar serat yang terkandung dalam singkong.
41
DAFTAR PUSTAKA Ahmad U. 2005. Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Akpinar EK. 2006. Mathematical modeling of thin layer drying process under open sun of some aromatic plants. Journal of Food Engineering 77:864-870. Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1999. Investasi Agribisnis Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Kanisius. Yogyakarta. Brooker DB, Barker-Arkema FW, Hall CW. 1974. Drying Cereal Grains. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Brooker DB, Barker-Arkema FW, Hall CW. 1981. Drying Cereal Grains. Westport, Connecticut: The AVI Pub. Da Fontoura L, Marcondes RJ. 2001. Shape analysis and classification: Theory and Practice. New Jersey, USA: CRC Press. Fernandez L, Castillero C, Aguilera JM. 2005. An application of image analysis to dehydration of apple discs. Journal of Food Engineering 67: 185-193. Hall CW. 1957. Drying Farm Corps. East Lansing, Michigan: Agricultural Consulting Associates Inc. Hall CW. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Westport Connecticut: The AVI Pub. Henderson SM, Perry RL 1976. Agricultural Process Engineering. Ed. ke-2. Westport Cennecticut: The AVI Pub. Hii CL, Law CL, Cloke M. 2009. Modelling using a new thin layer drying model and product quality of cocoa. Journal of Food Engineering 90:191-198. IITA (2005). Cassava Starch Production. Integrated Cassava Project. Nigeria. International Starch Institute (1999). Cassava. Science Park. Arrhus. Denmark. Kaleemullah S, Kailappan R. 2006. Modelling of thin-layer drying kinetics of red chillies. Journal of Food Engineering 76: 531-537. Kashaninejad M, Mortazavi A, Safekordi A, Tabil LG. 2007. Thin-layer drying characteristics and modeling of pistachio nuts. Journal of Food Engineering 78: 98-108. Manalu LP. 2011. Optimasi pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak berdasarkan analisis eksergi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marcelo SB, Almeida PIF. 2011. Modelling of drying kinetic of potatoes taking into account shrinkage. Procedia Food Science 1: 713-721. Mayor L, Sereno AM. 2004. Modelling shrinkage during convective drying of food materials: a review. Journal of Food Engineering 61: 373-386. Midilli A, Kucuk H. 2003. Mathematical modelling of thin layer drying of pistachio by using solar energy. Energy conversion and Management, 44(7): 1111-1122. Mohammadi A, Rafiee S, Keyhani A, Djomeh ZE. 2008. Estimation of thin-layer drying characteristics of kiwifruit (cv. Hayward) with use of Page’s Model. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 3 (5): 802-805. Mujumdar AS, Devahastin S. 2001. Fundamental principles of drying. In: Mujumdar AS (ed). Handbook of Industrial Drying, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York. Nambisan B. 2011. Strategies for elimination of cyanogens from cassava for reducing toxicity and improving food safety. Food and Chemical Toxicology 49: 690–693.
42
Ojediran JO, Raji AO. 2010. Thin layer drying of millet and effect of temperature on drying characteristics. International Food Research Journal 17: 1095-1106. Okigbo BN. 1980. Nutritional Implications of Projects Giving High Priority to the Production of Staples of Low Nutritive Quality: The Case for Cassava (Manihot esculenta, Crantz) in the Humid Tropics of West Africa. International Institute of Tropical Agriculture, Ibadan, Nigeria. Ospina B & Wheatley C. 1990. Processing of cassava tuber meals and chip. Roots, Tuber, Plantains, and Bananas in Animal Feeding: 41-65. Ӧzdemir M, Derves O. 1999. The thin-layer drying characteristicsof hezelnuts during roasting. Journal of Food Engineering 42: 225-233. Pakowski Z, Mujumdar AS. 1995. Basic process calculations in drying, pp. 71-112, in AS Mujumdar (Ed.) Handbook of Industrial Drying, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York. Penyuluh22. 2011. Pengolahan singkong. http://epetani.deptan.go.id. [18 Jan 2012]. Rizvi SSH. 2005. Thermodynamic properties of foods in dehydration. Di dalam: Rao MA, Risvi SSH, Datta AK, editor. Engineering Properties of Foods. Ed ke-3. Singapore: CRC Press. hlm 239-310. Rizvi SSH, Mittal GS. 1992. Experimental Methods in Food Engineering. New York: Van Nostrand Reinhold. Shen F et al. 2011. Thin-layer drying kinetics and quality changes of sweet sorghum stalk for ethanol production as affected by drying temperature. Industrial Crops and Products 34: 1588-1594. Sudarmadji, S. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Usman MA, Idakkwo PY. 2011. size reduction of cassava chips and the drying rate. [e-journal] Jorind (9) http://www.transcampus.org./journals. [25 Mei 2012]. Wang ZJS, Lioa X, Chen F, Zhao G, Wu J, and Hu X. 2007. Mathematical modeling on hot air drying of thin layer apple pomace. Food Research International 40:39-46. Wartono. 1997. Peningkatan laju pengeringan umbi-umbian dengan puffing gas CO2 dan udara [skripsi]. Yogyakarta: Program Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Wenlapatit S. (2004). Manufacturing Process Development in Thai Cassava Starch Industry. Cassava & Starch Technology Research Unit. Kasetsart University. Yadollahinia AR, Omid M, Rafiee. 2008. Design and fabrication of experimental dryer for studying agricultural products. Int. J. Agri. Biol 10: 61-65.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Tampilan mesin pengering terkendali
5
1 2 3 4
7
Tampilan mesin pengering terkendali
6
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Display LCD Webcam Ruang Pengering Timbangan Digital Komputer (PC) Humidifier Dehumidifier
45
Lampiran 2. Data Hasil Pengeringan 1.
Perlakuan suhu 40 °C dengan RH 40 %
80
70
70
Suhu RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100 150 200 250 300 350 400 450 500 Waktu (menit)
180
18
150
15
120
12
90
9
60
6
30
3
0
Massa Bahan Area Area (cm2)
Massa (gram)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
0 0
50
100 150 200 250 300 350 400 450 500 Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
46
Lanjutan 2.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 40 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Waktu (menit)
180
18
150
15
120
12
90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Massa Bahan Area Area (cm2)
Massa (gram)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
400
Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
47
Lanjutan 3.
Perlakuan suhu 60 °C dengan RH 40 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Waktu (menit)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
18
180
15 12
120 90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Area Area (cm2)
150 Massa (gram)
Massa Bahan
400
Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
48
Lanjutan 4.
Perlakuan suhu 70 °C dengan RH 40 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100
150
Waktu (menit)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
18
180
15 12
120 90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
100
Area Area (cm2)
150 Massa (gram)
Massa Bahan
150
Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
49
Lanjutan 5.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 30 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100
150
200
250
300
350
Waktu (menit)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
18
180
15 12
120 90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
100
150
200
250
300
Area
Area (cm2)
150 Massa (gram)
Massa Bahan
350
Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
50
Lanjutan 6.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 50 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Waktu (menit)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
18
180
15 12
120 90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Area Area (cm2)
150 Massa (gram)
Massa Bahan
450
Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
51
Lanjutan 7.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %
80
70
70
Suhu
RH
60
50
50
40
40
RH (%)
Suhu (°C)
60
30 30
20 10
20 0
50
100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 Waktu (menit)
Suhu dan RH udara pengering selama proses pengeringan
18
180
15 12
120 90
9
60
6
30
3
0
0 0
50
Area Area (cm2)
150 Massa (gram)
Massa Bahan
100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 Waktu (menit)
Massa dan luas permukaan bahan selama proses pengeringan
52
53
54
Lampiran 4. Hubungan antara k, n hasil model dengan k, n persamaan (6) dan (7)
1. Pada perlakuan RH yang sama dan suhu yang berbeda SUHU
k
40
0.00761
k HITUNG 0.007726
50
0.00772
0.007374
60
0.00755
0.007897
70
0.00941
0.009295
Quadratic Fit: y=a+bx+cx^2 Coefficient Data: a= 1.79E-02 b= -4.29E-04 c= 4.38E-06
SUHU
n
n HITUNG
40
0.99
0.99796
50
1.06
1.03112
60
1.06
1.08618
70
1.17
1.22853
Quadratic Fit: y=a+bx+cx^2 Coefficient Data: a= b= c=
1.08E+00 -6.54E-03 1.10E-04
Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0003443 Correlation Coefficient: 0.9427803 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0329973 Correlation Coefficient: 0.9643283 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
55
Lanjutan
2. Pada perlakuan suhu yang sama dan RH yang berbeda RH
k
k HITUNG
30
0.00996
0.009767
40
0.00772
0.008299
50
0.00691
0.006331
60
0.00367
0.003863
Quadratic Fit: y=a+bx+cx^2 Coefficient Data: a= 1.12E-02 b= 2.82E-05 c= -2.50E-06
RH
n
Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0005990 Correlation Coefficient: 0.9815344 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
n hitung
30
1.0319
1.03381
40
1.0583
1.05257
50
1.0757
1.08143
60
1.1223
1.12039
Quadratic Fit: y=a+bx+cx^2 Coefficient Data: a= 1.04E+00 b= -1.66E-03 c= 5.05E-05
Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0059890 Correlation Coefficient: 0.9915576 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
56
Lampiran 5. Penentuan nilai k, a, n dari model Lewis, Henderson & Pabis, dan Page 1. Perlakuan suhu 40 °C dengan RH 40 %
Lewis 0.0
-1.0
0
100
200
300
400
500
600 Lewis
ln MR
-2.0
Linear (Lewis) -3.0
-4.0 y = -0.0097x
-5.0 -6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
600
-1.0
ln MR
-2.0
Henderson & Pabis
-3.0
Linear (Henderson & Pabis)
-4.0 y = -0.0097x + 0.0161
-5.0 -6.0
ln (- (ln MR))
Page 2.0
Page
1.0
Linear (Page)
0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-1.0
-2.0 -3.0
y = 0.9889x - 4.8785
-4.0
57
Lanjutan 2. Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 40 %
Lewis 0.0 0
100
200
300
400
500
-1.0 Lewis
ln MR
-2.0
Linear (Lewis) -3.0 -4.0 y = -0.0109x
-5.0 -6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
-1.0
ln MR
-2.0
Henderson & Pabis Linear (Henderson & Pabis)
-3.0 -4.0 y = -0.0115x + 0.1579
-5.0 -6.0
Page Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR))
1.0 0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-1.0 -2.0 -3.0
y = 1.0544x - 4.8477
-4.0
58
Lanjutan 3. Perlakuan suhu 60 °C dengan RH 40 %
Lewis 0.0 -1.0
0
100
200
300
400
500 Lewis
ln MR
-2.0
Linear (Lewis)
-3.0 -4.0 -5.0
y = -0.0107x
-6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
-1.0 Henderson & Pabis
ln MR
-2.0
Linear (Henderson & Pabis) -3.0 -4.0 -5.0
y = -0.0112x + 0.1454
-6.0
Page Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR))
1.0
0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-1.0 -2.0 y = 1.059x - 4.8865 -3.0 -4.0
59
Lanjutan 4. Perlakuan suhu 70 °C dengan RH 40 %
Lewis 0.0 -1.0
0
50
100
150
200
Lewis
ln MR
-2.0
Linear (Lewis)
-3.0 -4.0
y = -0.0228x
-5.0 -6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
50
100
150
200
-1.0 Henderson & Pabis
ln MR
-2.0
Linear (Henderson & Pabis) -3.0 -4.0 y = -0.0256x + 0.3612
-5.0 -6.0
Page Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR))
1.0 0.0
0.0
2.0
4.0
6.0
-1.0 -2.0 -3.0
y = 1.1722x - 4.6662
-4.0
60
Lanjutan 5. Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 30 %
Lewis 0.0
ln MR
-1.0
0
100
200
300
400
500
-2.0
Lewis
-3.0
Linear (Lewis)
-4.0 y = -0.0121x
-5.0 -6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
-1.0 Henderson & Pabis ln MR
-2.0
Linear (Henderson & Pabis)
-3.0 -4.0 -5.0
y = -0.0125x + 0.1192
-6.0
Page Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR)
1.0 0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-1.0 -2.0 -3.0
y = 1.0319x - 4.6092
-4.0
61
Lanjutan 6. Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 50 %
Lewis 0.0
ln MR
-1.0
0
100
200
300
400
500
-2.0
Lewis
-3.0
Linear (Lewis)
-4.0 -5.0
y = -0.0108x
-6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
-1.0 Henderson & Pabis ln MR
-2.0
Linear (Henderson & Pabis)
-3.0 -4.0
-5.0
y = -0.0112x + 0.1412
-6.0
Page Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR)
1.0
0.0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-1.0 -2.0 -3.0
y = 1.0757x - 4.9746
-4.0
62
Lanjutan 7. Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %
Lewis 0.0
ln MR
-1.0
0
100
200
300
400
500
600
-2.0
Lewis
-3.0
Linear (Lewis)
-4.0 -5.0
y = -0.0079x
-6.0
Henderson & Pabis 0.0 0
100
200
300
400
500
600
-1.0 Henderson & Pabis
ln MR
-2.0
Linear (Henderson & Pabis)
-3.0 -4.0 -5.0
y = -0.0087x + 0.2927
-6.0
Page
Page
2.0
Linear (Page)
ln (- (ln MR)
1.0 0.0 -1.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
-2.0 -3.0
y = 1.1223x - 5.607
-4.0 -5.0
63
Lampiran 6. Penentuan model persamaan penyusutan irisan singkong 1.
Perlakuan suhu 40 °C dengan RH 40 %
Experimental Data Linear Model
Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 7.89841869380E-001 b= 2.22704758378E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0068616 Correlation Coefficient: 0.9925904 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
2.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 40 %
Experimental Data Linear Model
64
Lanjutan Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 6.77967671176E-001 b= 3.14773822389E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0067497 Correlation Coefficient: 0.9967733 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
3.
Perlakuan suhu 60 °C dengan RH 40 %
Experimental Data Linear Model
Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 7.84848715117E-001 b= 2.18986103297E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0035649 Correlation Coefficient: 0.9981484 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
65
Lanjutan 4.
Perlakuan suhu 70 °C dengan RH 40 %
Experimental Data Linear Model
Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 6.82241627280E-001 b= 3.02845029345E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0100148 Correlation Coefficient: 0.9938697 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
5.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 30 %
Experimental Data Linear Model
66
Lanjutan Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 5.00678520943E-001 b= 5.03040833641E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0057368 Correlation Coefficient: 0.9990606 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
6.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 50 %
Experimental Data Linear Model
Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 6.29364326753E-001 b= 3.78924135639E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0051070 Correlation Coefficient: 0.9987440 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
67
Lanjutan 7.
Perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %
Experimental Data Linear Model
Linear Fit: y=a+bx Coefficient Data: a= 6.61460270512E-001 b= 3.54758034403E-001 Linear Fit: y=a+bx Standard Error: 0.0094639 Correlation Coefficient: 0.9954281 Comments: Linear regression completed successfully. No weighting used.
68