10
BAB II WACANA TENTANG TRANSFORMASI SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Transformasi Sosial Istilah
transformasi
sosial
adalah
gabungan
dari
dua
kata
‘transformasi’ dan ‘sosial’. Kata ‘transformasi’ dalam ensiklopedi umum merupakan istilah ilmu eksakta1 yang kemudian diintrodusir ke dalam ilmu sosial yang memiliki maksud perubahan bentuk2 dan secara lebih rinci memiliki arti perubahan fisik maupun nonfisik (bentuk, rupa, sifat, dan sebagainya).3 Sementara kata ‘sosial’ memiiliki pengertian; pertama, segala sesuatu yang mengenai masyarakat; kemasyarakatan, dan kedua, suka memperhatikan kepentingan
umum
(suka
menolong,
menderma
dan
sebagainya).4
Terminologi transformasi sosial dalam ensiklopedi nasional Indonesia memiliki pengertian, perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak, dan sebagainya, dalam hubungan timbal balik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok.5 Timbulnya tranformasi sosial bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi oleh ragam faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah timbunan kebudayaan, kontak dengan kebudayaan lain, penduduk yang heterogen, kekacauan sosial dan perubahan sosial itu sendiri. Dalam transformasi sosial akan melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan
1 Di dalamnya terdapat pembagian istilah seperti; transformasi Linier, transformasi Affin dan transformasi Orthogonal serta terdapat juga istilah transformator. Selanjutnya lihat; Prof. Mr. A.G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 1354. 2 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 801. 3 Mas’ud Khasan abdul Qohar, Kamus Ilmiah Populer, (t.tpt: Penerbit Bintang Pelajar, 1998), hlm. 418-419. 4 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 961. 5 Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 16, (t.tpt, Cipta Adi Pustaka, 1991) hlm. 422.
11
sosial.6 Dalam ensiklopedi nasional Indonesia disebutkan pula, seringkali istilah transformasi sosial diartikan sama dengan perubahan sosial.7 Sementara dalam penjelasan Agus Salim, terdapat pembedaan dalam proses perubahan sosial. Dia membagi proses perubahan sosial menjadi dua; proses reproduksi dan proses transformasi. Proses reproduksi adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya dalam kehidupan sehari-hari meliputi; material (kebendaan, teknologi), immaterial (non-benda, adat, norma, nilai-nilai). Sementara proses transformasi adalah suatu proses penciptaan suatu ha yang baru (somethig new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Agus menjelaskan yang berubah adalah apek budaya yang sifatnya material sedangkan sifatnya immaterial sulit sekali diaadakan perubahan.8 Membahas istilah transformasi jika tanpa dikaitkan dengan sesuatu yang lain menurut Ryadi Gunawan, merupakan upaya pengalihan dari sebuah bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses, transformasi merupakan tahapan, atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna perubahan.9 Munculnya konsep transformasi tidak lepas dengan tokoh Karl Max dan Max Weber. Bagi Marx, transformasi masyarakat dibayangkan melalui proses dialektika transformasi kontinyu dengan hadirnya pertentangan kelas yang memperebutkan penguasaan berbagai alat reproduksi dan saat mencapai puncak dialektika akan tercipta “masyarakat yang tak berkelas”. Gagasan ini bersumber dari filsafat dialektikanya Hegel yang mengajarkan tentang siklus tesis dan antitesis. Sementara bagi Weber, bayangan transformasi itu tidaklah lewat suatu proses dialektika linear sebagaimana pikiran Marx, namun proses transformasi
6
ibid. loc. cit. 8 Agus Salim, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 20-21. 9 Ryadi Gunawan, Transformasi Sosial Politik: Antaran Demokratisasi dan Stabilitas, dalam M. Masyhur Amin (ed) Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: KPSM, 1993) hlm. 228. 7
12
dan perubahan itu melalui proses evolusioner yang mana berbagai unsurnya saling berpengaruh atau saling mempengaruhi dalam sebuah tipe ideal masyarakat. Dari pemaparan tersebut, sebenarnya pengertian transformasi itu dikenakan pada sejumlah objek sehingga sebagai konsep, sering merupakan sebuah dikusi yang panjang. Dari rintisan para pemikir besar itulah, lahirlah berbagai pendukung dan pemrotes. Namun, transformasi itu mengabsahkan pendapat masing-masing pendukung atau pemrotes dalam konteks teori-teori besar yang memiliki ideologi.10 Dalam perkembangan selanjutnya teori-teori sosial yang dibangun oleh dua tokoh di atas semakin berkembang yang kemudian melahirkan pendukung seperti Talcot Parsons yang kemudian melahirkan teori kapitalisme di pihak Weber. Kemudian dari pihak Marx muncul para pemikir sosial berhaluan kritis yang menganjurkan model sosialisme seperti Antonio Gramsci, Habermas dan Foucoult yang senantiasa mempersoalkan relasi sosial sebagai biang keladi munculnya ketidakadilan.11 Dari pemaparan di atas mengenai teori transformasi sosial, banyak terdapat perbedaan konsep yang melandasi teori tersebut. Seperti ada yang menganggap bahwa transformasi sosial sama dengan perubahan sosial, sementara ada penjelasan lain yang menyebutkan bahwa proses dari perubahan sosial adalah reproduksi dan transformasi. Meskipun terdapat perbedaan, peneliti dalam bagian ini tidak bermaksud menyelesaikan permasalahan silang pendapat mengenai terminologi transformasi sosial. Dalam bagian ini peneliti hanya bertujuan untuk memperkenallkan tentang teori transformasi sosial. Sehingga yang bisa diambil dari bagian ini adalah sebuah teori yang mengusung perubahan dalam khidupan sosial masyarakat. B. Pendidikan Islam Ketika membicarakan pendidikan Islam, maka ada dua hal yang menjadi fokus perhatiannya. Dua hal tersebut menurut Qodri adalah; pertama, mendidik siswa atau siswi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau 10
ibid. hlm. 229-230. Untuk uraian secara lengkap dalam perkembangan teori-teori sosial bisa dibaca Ian Craib, Teori-teori sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas, (Jakarta: Rajawali, 1986). 11
13
akhlak Islam. Kedua, mendidik siswa atau siswi untuk mempelajari materi pelajaran Islam atau subyek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.12 Perhatian akan pemaknaan pendidikan Islam tentunya tidak seragam dari satu pemikir dengan pemikir yang lain, karena bergantung pada penekanan akan maksud pendidikan Islam serta tujuan yang ingin dicapai. Sebelum masuk ke pembahasan secara definitif tentang pendidikan Islam, ada beberapa istilah dalam Islam yang menjadi acuan awal dalam mendudukkan makna pendidikan dalam Islam. Hal ini penting sebagai penguat untuk menjelaskan bahwa Islam memiliki dasar-dasar ajaran yang jelas tentang pendidikan. Dan juga untuk menjelaskan bahwa Islam disebarkan oleh Muhammad SAW bermula dan berangkat dari pembaharuan pendidikan. 1. Istilah-istilah Pendidikan dalam Islam Pentingnya pendidikan merupakan sebagai syarat menjadikan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sistem peradaban. Jaluddin melihat bahwa Islam sebenarnya sarat akan nilai-nilai yang berhubungan erat dengan pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengkaji makna kata Islam yang memiliki arti sulam (tangga), memiliki kesetaraan makna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di samping itu bisa juga dimaknai sebagai istislam
(penyerahan
diri)
juga salama (keselamatan)
serta salima
(kesejahteraan).13 Sehingga bila pemaknaan kata tersebut dikaitkan dengan pendidikan maka memiliki pengertian sebagai upaya peningkatan diri untuk semakin dekat kepada Allah sehingga dapat memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Berdasar uraian di atas, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan makna dengan pendidikan. Berdasarkan rangukaman Jalaluddin dan juga Moh. Shofan ada tiga istilah yakni; tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.14 Istilah 12
Qodri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial [Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat], (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 22. 13 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 68. 14 Uraian lengkapnya bisa dilbaca buku Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membaongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm. 38-48. dan Jalaluddin, op. cit., hlm. 70-71.
14
tarbiyah berasal dari kata rabba-yarbu (bertambah dan tumbuh), kata al-Rabb juga dari kata tarbiyah yang memiliki arti, mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Kata taribyah, dengan demikian memiliki arti yang sangat luas dan bermacam-macam dalam penggunannya, dan dapat mempunyai makna pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan, pengembangan, penciptaan dan keagungan yang kesemuanya dalam rangka menuju kesempurnaan sesuatu sesuai dengan kedudukannya. Yang kedua adalah kata ta’lim yang berasal dari kata alama yang berarti mengajar, atau dari kata allama-ya’lamu (mengecap atau memberi tanda) dan dari kata alima-ya’lamu (mengerti atau memberi tanda). Dengan demikian kata ta’lim sama dengan kata pengajaran yang hanya sekedar memiliki arti memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian. Istilah selanjutnya adalah ta’dib yang merujuk pada kata adab, secara terminologis, ta’dib berasal dari kata aduba-ya’dubu (melatih, mendisiplin diri berperilaku baik dan sopan) atau dari kata addaba (mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan) yang dalam kehidupan sehari-hari adab sering diartikan sebagai sopan santun yang mencerminkan kepribadian. Sehingga bisa dibilang pendidikan dalam pengertian yang hakiki sangat tepat bila merujuk dari kata ta’dib. Di samping tiga istilah di atas, kata iqra’ juga bisa dimasukkan sebagai istilah dalam Islam yang memiliki maksud mendidik. Iqra’ adalah bentuk kata perintah (fi’il amr) dari kata qara’a dan dari kata masdhar qira’atan atau qur’anan. Qara’a berarti membaca, sedangkan qira’atan atau qur’anan berarti bacaan, dengan demikian iqra’ berarti bacalah. Iqra’ dalam arti bacalah adalah perintah untuk mendalami, mengalami, menyelami, memahami dan menghayati apa yang dibaca.15 Mengapa kemudian kata ini memiliki kaitan dengan istilah pendidikan, karena membaca adalah salah satu aktifitas utama 15
H. Endang Saefuddin Anshari, Iqra’ Sebagai Mabda’ dalam Chabib Thoha dkk (ed) Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996), hlm. 86 dan 88.
15
dalam proses pendidikan. Tanpa proses membaca tersebut, sesungguhnya terdapat potensi peserta didik yang tidak tergali dalam proses pendidikan. 2. Definisi Pendidikan Islam Setelah mendeskripsikan istilah-istilah dalam Islam yang secara mendasar memiliki maksud atau orientasi sama dengan pendidikan, penjelasan selanjutnya adalah tentang arti atau definisi pendidikan Islam yang lebih teknis dan konseptual. Definisi tentang pendidikan Islam sangat banyak sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pemikir pendidikan Islam. Namun sebelum melangkah lebih jauh, pendidikan Islam (PI) dan pendidikan agama Islam (PAI) terlebih dulu harus dibedakan. Secara tekhnis Munir Mulkhan menjelaskan, pembelajaran agama Islam di sekolah umum lebih tepat disebut pendidikan agama Islam (PAI), namun sekali waktu sering disebut sebagai pendidikan Islam (PI). Sedangkan sekolah Islam seperti pesantren dan madrasah lebih tepat disebut sebagai pendidikan Islam (PI), acap kali disebut juga pendidikan agama Islam (PAI).16 Sehingga dengan demikian menjadi jelas perbedaan antara PAI dengan PI dan kerancuan yang kadang ada tidak terjadi lagi. Sebagaimana terdapat dalam rangkuman Moh. Shofan ada banyak defnisi pendidikan Islam dari para tokoh pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya menjelaskan, ‘pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam’. Sementara Zuhairini memaknai ‘pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau sesuai atau sesuatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam’.17 Dan dalam konsepsi Jalaluddin, ‘pendidikan Islam secara umum dapat diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syariat Islam 16
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 54-55. 17 Moh. Shofan, op. cit., hlm.52-53.
16
yang disampaikan oleh Rasul Allah agar manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta kondisi kehidupan islami yang ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan akhirat’.18 Sementara dari sudut pandang Chabib Thoha tampak pemaknaan pendidikan dalam konteks ke-Indonesia-an, ‘pendidikan Islam menurutnya adalah sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatif peserta didik untuk menjadi
manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah
swt,
berkepribadian Pancasila, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa, negara serta agama’.19 Dari beberapa definisi pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa penekanan makna pendidikan Islam adalah pada upaya atau usaha menjadikan manusia berkepribadian baik (akhlaqul karimah), yang bisa diterjemahkan secara lebih luas. Misalnya, cerdas, terampil, etos kerja tinggi, berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab. Dan dalam usaha menuju ke arah pembentukan kepribadian yang baik itu, ajaran-ajaran Islam dijadikan sebagai landasannya. Sementara kalau dikontekskan ke dalam Indonesia, pendidikan Islam harus juga melandasinya dengan Pancasila. 3. Tujuan Pendidikan Islam Sistem pendidikan Islam tidak akan menemukan hasil yang diinginkan bila tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan secara implisit sudah terdapat di dalam definisi pendidikan Islam, namun karena tujuan itu harus jelas maka mesti ada perumusan tersendiri tentang tujuan pendidikan Islam. Seperti Nana Sudjana yang merinci tujuan pendidikan menjadi; tujuan umum dan tujuan khusus; yang terbagi menjadi tujuan lembaga, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.20
18
Jalaluddin, op. cit., hlm. 72. Chabib Thoha, Epistemologi dalam Pendidikan Islam, dalam Chabib Thoha dkk (ed) op. cit., hlm. 199. 20 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), hlm. 56-59. 19
17
Munir Mulkhan secara umum dan filosofis menyatakan, bahwa maksud utama pendidikan adalah pengembangan pemahaman dan penyadaran peserta didik atas dunia empirik yang mereka alami dan dunianya di masa mendatang.21 Dan secara lengkap Jalaluddin mencantumkan tujuh dimensi utama dalam tujuan pendidikan Islam; pertama, dimensi hakikat penciptaan manusia, kedua, dimensi tauhid, ketiga, dimensi moral, keempat, dimensi perbedaan individu, kelima, dimensi sosial, keenam, profesional, dan ketujuh, dimensi ruang dan waktu.22 Banyaknya aspek dalam sebuah tujuan pendidikan memungkinkan setiap proses pembelajaran untuk mengarahkan peserta didik menjalankan salah satu aspek tujuan tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi logis mengingat banyaknya isi pelajaran dalam pendidikan Islam, sehingga pemilahan aspek tujuan tersebut menjadikan orientasi setiap pelajaran menjadi jelas pula. Sementara tujuan pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesia-an adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang takwa dan produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian pendidikan Islam tidak sekedar menjadi ‘cagar budaya’ yang mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu tetapi sebagai agent of cange tanpa menghilangkan ciri khasnya yaitu ciri keislaman.23 Bila pendidikan Islam mampu melangkah ke arah tersebut maka pendidikan mampu untuk menjadi pendidikan alternatif, juga responsif terhadap tuntutan masa depan, yaitu bukan hanya mendidik peserta didik menjadi saleh tetapi juga produktif. C. Transformasi Sosial dalam Pendidikan Islam Untuk memulai bagian ini, ada ayat Al-Qur’an yang relevan untuk dijadikan sandaran yaitu surat al-Ra’d ayat 11; 21
Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 215. Lihat secara lengkap Jalaluddin, op. cit., hlm. 91-96. 23 H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 150. 22
18
ﻮ ٍﻡ ﺎ ِﺑ ﹶﻘﺮ ﻣ ﻐﻴ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ﻣ ِﺮ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ ﻦ ﹶﺃ ﻪ ِﻣ ﻧﺤ ﹶﻔﻈﹸﻮ ﻳ ﺧ ﹾﻠ ِﻔ ِﻪ ﻦ ﻭ ِﻣ ﻳ ِﻪﺪ ﻳ ﻴ ِﻦﺑ ﻦﺕ ﻣ ﺎﻌ ﱢﻘﺒ ﻣ ﻟﹶﻪ ﻭِﻧ ِﻪﻦ ﺩﻢ ﻣﺎ ﹶﻟﻬﻭﻣ ﺩ ﹶﻟﻪ ﺮ ﻣ ﻼ ﻮﺀﹰﺍ ﹶﻓ ﹶﻮ ٍﻡ ﺳ ﻪ ِﺑ ﹶﻘ ﺩ ﺍﻟﻠﹼ ﺍﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹶﺃﺭ ﻢ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﺎ ِﺑﹶﺄﻭﹾﺍ ﻣﻴﺮﻐ ﻳ ﻰﺣﺘ (11 :ﻭﺍ ٍﻝ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﻣِﻦ “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung selain Dia.”24 Inti dari ayat tersebut di atas adalah kalimat “sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri’. ‘Keadaan’ yang dimaksud salah satunya adalah, Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka.25 Jadi, Islam memiliki nilai yang secara universal mengajarkan umatnya untuk senantiasa berubah dari kejelekan menuju kebaikan (transformatif). Perubahan dalam Islam merupakan keniscayaan, sesuai dengan konsep tauhid Islam yang mengajarkan hanya Allah yang kekal. Tauhid berasal dari kata Arab, wahid atau ahad yang berarti satu, dan ia merujuk kepada apa yang bagi kita merupakan kenyataan yang paling fundamental.26 Segala sesuatu baik itu pemikiran, bangunan arsitektur, serta budaya akan senantiasa berubah dari masa ke masa. Sebagaimana pemaparan M. Masyhur Amin yang menjelaskan terjadinya gelombang perubahan sampai tiga kali dalam sejarah kebudayaan Islam. Gelombang pertama menggambarkan masyarakat Arab sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sehingga disebut sebagai masyarakat Jahiliyah,
masyarakat
yang
berpegang
pada
nilai-nilai
berhalaisme,
perbudakan manusia atas manusia, permusuhan dan penuh kedzaliman. 24
Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, (Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thia’at al-Mushaf asy-Syarif, 1415 H), hlm. 370. 25 loc. cit. 26 Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies (ed), Wajah-wajah Islam; Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 24.
19
Gelombang perubahan kedua pada masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah
pengganti
dan
penerus
kepemimpinan
Rasulullah
dengan
melanjutkan perjuangan-nya dengan menyebarkan (difusi) nilai-nilai islam ke luar Jazirah Arab, yang pada saat itu menjadi ajang pertarungan antara dua kekuatan besar, Romawi dan Persia. Dan gelombang yang ketiga dapat dilihat dari sudut perkembangan pengetahuan, seni, filsafat dan ekonomi sehingga Islam menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu.27 Fenomena perubahan yang terjadi dalam dunia Islam seperti pemaparan di atas, tentunya memberikan sebuah kesimpulan bahwa mengapa Islam sekarang mundur adalah karena spirit atau jiwa untuk selalu berubah sudah hilang. Hal itu tercermin dalam pernyataan Fazlur Rahman; Penutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke-4 H/ 10 M dan 5 H/ 11M telah membawa pada kemacetan umum dalam ilmu, hukum, intelektual, khususnya yang pertama, ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagamaan sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut sekarang ini, khususnya filsafat dan pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.28
Kenyataan yang terjadi pada masa sekarang ini merupakan pekerjaan rumah seluruh umat Islam. Karena Islam dewasa ini tidak ditampilkan sebagai perbuatan sosial tetapi hanya sebagai hiasan untuk diperjual-belikan. Eko Prasetyo menuturkan; Terkoyaknya otoritas agama ini yang membuat semangat keagamaan kemudian bergerak sebatas di permukaan. Ritualisme yang menggebu-gebu dibuktikan tidak hanya melalui penampilan melainkan juga kebijakan. Islam tidak dilihat sebagai misi pembebasan atas umat yang tertindas melainkan manifestasi dari kesalehan yang egoistis dan individual. Tampaknya gejala keagamaan semacam ini menguntungkan sistem sosial yang ada saat ini. Sebuah sistem yang sebenarnya mengekalkan nilai-nili perbudakan dan diskriminasi.
27
Baca lengkap M. Masyhur Amin, Dinamika Islam Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, (Yogyakarta: LKPSM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), 1993), hlm. 39-53. 28 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1984), hlm. 270.
20
Islam kemudian disuap ajarannya untuk sekedar menjadi ornamen ketimbang menjadi sebuah sistem yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.29
Melihat
pentingnya
semangat
transformatif
dalam
membawa
kehidupan umat Islam yang lebih baik, tentunya menjadi keharusan bagi setiap generasi Islam untuk selalu memelihara nuansa perubahan serta kebebasan berkarya. Sehingga nilai perubahan dalam Islam termasuk sebagai nilai yang secara mendasar merupakan sebuah nilai positif baik ke dalam maupun ke luar. Karena menurut Komaruddin Hidayat, barangkali Islam memiliki akar tradisi yang paling kuat dan terus berkembang. Di dalam jantung tradisi itu terdapat al-Qur’an yang memiliki daya gerak ke luar (sentrifugal), memasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal).30 Islam, agama yang dibawa Muhammad merupakan ajaran yang mengajak umat manusia untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang berkeadaban. Masyarakat yang beradab adalah sebuah masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah tatkala beliau di Madinah. Jadi parameter realitas masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan agenda pembangunan kota Madinah. Nilai-nilai dalam Islam secara normatif menegaskan bahwa Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk secara aktif melakukan perubahan. Perubahan yang diharapkan adalah perubahan kepada kebaikan, sesuai dengan prinsip Islam yakni barang siapa yang hari ini labih baik dari hari kemarin dia termasuk orang yang beruntung. Membangun masyarakat yang lebih baik adalah anjuran dalam Islam. Masyarakat Arab yang waktu diturunkannya Islam sedang dalam kondisi kemerosotan moral sehingga menciptakan sistem kehidupan yang
29
Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum, Islam itu Agama Perlawanan, (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm. 51. 30 Komaruddin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, Menangkap Makna-makna Tersembunyi di Balik Perintah Bribadah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 130.
21
timpang, bejat, berlaku hukum rimba. Sebagaimana yang dituturkan Dr. Ahmad A. Galwash, “Arabia during the pre Islamic days was in a very low state of civilization. Awful superstition and idolatry prevailed everywhere. Gross licentiousness was indulged in crime of infanticide and human sacrifices were common”.31 (Arab selama masa pra Islam dalam keadaan peradaban yang sangat lemah. terjadi penyembahan takhayul dan berhala yang sangat hebat. Perbuatan moral yang kotor diperturutkan di sini. Kejahatan berupa pembunuhan anak dan pengorbanan manusia menjadi hal yang biasa.) Dengan latar belakang itulah, Muhammad datang membawa agenda besar untuk memperbaiki sistem kehidupan yang tidak berkeadilan tersebut. Islam datang dengan ajaran baru untuk menyadarkan kesesatan orang Jahiliyah.32 Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium.
Watak
kapitalisme
yang
mengakumulasikan
kapital
dan
memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir.33
31
Ahmad A. Galwash, The Religion Of Islam, (Cairo, Studies in Islam Series, 1966), hlm.
53. 32
Jahiliyah atau the age of ignorance adalah “In the time of the prophet youth, religion meant numerous gods and goddesses, often worshipped through trees and stones. While the tribal code encouraged the notion of muruwwa, manhood, which was the glorification of tribal chivalry, the treatment of women was abominable. Female infanticide was common. Society was on the verge of anarchy and disorder” (adalah dalam masa muda rasul, agama memiliki banyak dewa dan dewi, bahkan pemujaan lewat pohon dan batu. Sementara aturan mengenai suku menganjurkan ide kejantanan yang memuja kekesatriaan, perlakuan terhadap perempuan sangat buruk. Pembunuhan anak perempuan adalah hal yang biasa. Masyarakat dalam ambang kekerasan dan ketidakteraturan), baca Akbar S. Ahmed, Living Islam: From Samarkand to Stornoway, (New York: BBC Books, 1994), hlm. 22. 33 Alam Tulus, “Muhammad Mengajarkan Sosialisme Jauh Sebelum Karl Marx”, http://media.isnet.org/islam/index.html. Tanggal akses 3 Februari 2006.
22
Ketidakadilan sistem sosial dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah adalah penyulut atas keprihatinan Muhammad. Hal ini tidak lepas atas agenda diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Menjadi khalifah merupakan tanggung jawab yang maha berat yang harus ditanggung manusia, sehingga harus mampu menciptakan kehidupan yang berlandaskan persamaan dan keadilan tanpa paksaan. Islam melihat kenyataan sosial bukan sebagai apa adanya tetapi sebagai yang seharusnya. Karena Islam tidak sekedar sebagai agama tetapi juga jalan hidup, maka Islam memiliki nilai-nilai normatif dan aplikatif untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada sebuah gagasan universal (tawhid) dan sejumlah tujuan bersama: mencapai kedilan (‘adl) dan ilmu (‘ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah (khalifah) Tuhan.34 Karena sesungguhnya kehidupan yang memiliki makna adalah sebuah bentuk kehidupan yang masyarakatnya memiliki landasan atau tauhid kuat serta memiliki inisiatif atau ilmu untuk merancangnya. Salah satu sifat dari masyarakat yang islami adalah masyarakat yang berkasih sayang.35 Karena apabila orang Islam yang satu menyayangi orang Islam yang lain bahkan umat non Islam, niscaya aturan-aturan semacam undang-undang tidak lagi diperlukan. Sikap kasih sayang inilah yang harus menjadi inti dalam ajaran Islam. Sehingga manifestasi dari rasa sayang tersebut bisa tereskpresikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. kehidupan yang tinggi nilainya akan bisa dinikmati bersama. Orang kaya sayang dengan orang miskin sehingga tidak ada lagi penggusuran. Antara kaum pria dan wanita yang memiliki rasa kasih sayang tidak akan ada lagi eksploitasi. Rasa sayang terhadap generasi selanjutnya akan menciptakan pendidikan yang benar-benar berkualitas tanpa harus terbebani dengan biaya yang tinggi. Untuk itulah dibutuhkan sebuah model pendidikan yang baik. Tanpa pendidikan yang baik mustahil sebuah usaha menuju transformasi sosial dapat 34
Ziauddin Sardar dan Merryl Davies (ed), op. cit., hlm. 115. Ahmad Shalaby. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, (t.tpt: Penerbit Amzah. 2001), hlm. 336. 35
23
terwujud. Begitu pula Islam, karena ayat yang pertama turun adalah iqra’ (perintah membaca) yang kemudian disusul dengan al-Muddatsir (perintah untuk bangkit). Dan secara historis, Muhamamd memang telah melakukan revolusi dalam bidang pendidikan, beliau melakukan pemberantasan buta huruf secara besar-besaran. Hal ini didasarkan atas perseimbangan bahwa agama tidak akan berkembang apabila jatuh di tangan orang-orang bodoh dan terbelakang (jahiliyah).36 Perubahan sosial (transformasi sosial) adalah sebuah tema besar yang mengangkat realitas masyarakat yang sangat komplek mulai dari pola berfikir, budaya, agama sampai pada status sosial individu. Tema besar berupa perubahan sosial tersebut tidak luput dari pandangan Islam yang mempelopori adanya perubahan sosial di Makkah dan Madinah. Inilah relevansi wacana transformasi sosial dalam pendidikan Islam yang mengusung ideologi perubahan. Pendidikan dalam sejarah penyebaran Islam merupakan pondasi. Sehingga ayat pertama yang turun yang dimulai dengan kata iqra’ kemudian menjadi mabda’ dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Iqra’ adalah fi’il amr (kata perintah) dari kata kerja qara’a dan dari masdhar qira’atan dan qur’anan (bacaan). Iqra’ dalam arti ‘bacakanlah’ adalah perintah untuk menyampaikan, memberitakan, memberitahukan, mewariskan, memanfaatkan dan mengamalkan yang dibaca.37 Pendidikan dalam seluruh komponen kehidupan umat manusia barangkali memang memiliki signifikansi yang sangat kuat. Tanpa pendidikan, pelatihan untuk mengembangkan pola pikir manusia tidak akan terpenuhi. Sebagaimana terangkum dalam tulisan Maulana Wahiduddin Khan; 36
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 4. 37 Sementara sesuatu yang dibaca itu adalah; al-Qur’an, ma yuha ilaika (apa yang diwahyukan padamu, ma yutla amamaka wa ‘stami’ ma yutla (apa-apa yang diliwatkan di depanmu dan menyimak apa yang telah diliwatkan itu, ma unzila ilaika minal Qur’an (apa yang telah dinuzulkan kepadamu dari al-Quran). Selengkapnya baca H. Endang Saefudin Anshari, M.A., Iqra’ Sebagai Mabda’, dalam Cahbib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996), hlm. 8689.
24
Education makes man a right thinker and a correct decision maker. It achieves this by bringing him knowledge from the external world, teaching him to reason, and acquainting him with past history, so that he may be a better judge of the present. Without education, man, as it were, is shut up in a windowless room. With education, he 38
finds himself in a room its windows open to the out side world.
(pendidikan membuat manusia menjadi pemikir dan pembuat keputusan yang benar. Untuk mencapainya adalah dengan memberinya pengetahuan dari dunia luar, mengajarnya untuk berpikir, dan memperkenalkannya dengan sejarah masa lal, sehingga menjadi pemkir atau hakim yang lebih baik di masa sekarang. Tanpa pendidikan, manusia telah menutup diri dalam ruangan yang tidak berjendela. Dengan pendidikan, dia akan menemukan dirinya sendiri berada di dalam ruangan yang terbuka terhadap dunia luar).
Pentingnya ilmu dalam Islam sebagai manifestasi dari pendidikan tersebar dalam istilah-istilah seperti uthlubul ‘ilma atau tholabul ‘ilmi faridhotun. Muhammad mampu melakukan dialektika dengan kondisi riil di masyarakat sehingga mampu membangun paradigma baru yang menggelitik cara pandang lama. Dari cara berfikir jahili ka arah pencerahan, Islam membuktikan dirinya sebagai ajaran yang sanggup memberikan solusi baik praktis maupun strategis yang benar-benar efektif dalam konteks itu.39 Sehingga out put dari proses pendidikan berupa ketrampilan membaca dan menulis, yang telah ada sejauh tertentu di Arabia sebelum Islam, meningkat dengan datangnya Islam, terutama sekali dengan ekspansinya.40 Namun dalam era dewasa ini pendidikan Islam khususnya di Indonesia mengalami keterpurukan seperti yang ditulis Eko Prasetyo; Di bidang pendidikan kita menyaksikan banyaknya anak yang tak bisa ditampung di sekolah. Sekolah menjadi urusan pribadi bukan bagian dari tanggung jawab publik. Itu sebabnya tak semua orang kemudian bisa bersekolah. Yang menyebut diri sebagai sekolah Islam sekalipun, tak bisa dijangkau oleh semua anak muslim. Label Islam malahan digunakan untuk ‘memeras’ uang peserta didik. Pendidikan berkualitas itu mahal. Dan kredo ini ditafsirkan, apalagi pendidikan Islam pastilah jauh lebih mahal. Karena selain berkualitas juga mendidik anak untuk menjadi seorang yang beriman.
38
Maulana Wahiduddin Khan, Principles of Islam, (New Delhi: GOODWORD BOOK, 2000), hlm. 21. 39 Akhmad Efendi, “Wacana Kritis dalam Historisitas Pendidikan Islam”, dalam jurnal Edukasi “Pendidikan Islam Kritis”, Volume II No. 1 Januari 2004, hlm. 27. 40 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 263.
25
Latihan menjadi orang yang beriman bukanlah sesuatu yang murah. Bahkan beberapa pesantren kini juga membuka fasilitas berdasar atas kemampuan seseorang menyetor uang. Pesantren yang dulu hendak menjawab kebutuhan rakyat akan pendidikan yang murah kini berbalik menjauh dari mandat sebenarnya. Memang ada beberapa pesantren yang masih menjalankan mandat idealis, tapi itu kian lama kian sedikit.41
Pendidikan Islam dewasa ini tidak mampu melakukan perubahanperubahan mendasar atas kebutuhan umat. Juga terdapat kritikan, pendidikan agama telah menjauhkan peserta didik untuk menjadi pribadi yang matang dan kritis. Agama dipahatkan hanya dalam perilaku yang distandarkan dan hafalan doa yang dibacakan berulang-ulang.42 Padahal sudah jelas bahwa pendidikan yang berfondasi kalimat iqra’ memiliki agenda untuk mengamalkan ajaranajaran yang ada di dalam al-Quran untuk menghilangkan kezaliman di muka bumi ini. Dan sekarang ini, kehidupan manusia juga telah mengalami banyak perubahan mulai dari gaya hidup sampai pada perubahan nilai. Nilai kasih sayang adalah salah satu hal yang sudah mulai hilang dalam kehidupan ini. Gus Mus menyatakan, kasih sayang tidak dihargai lagi. Manusia lebih mementingkan ‘daging’ ketimbang ‘ruh’. Hingga karena pendewaan orang terhadap ‘daging’ inilah semuanya lenyap: tidak ada kejujuran, keadilan, toleransi dan seterusnya, orang terbentuk dalam nuansa materialistikkapitalistik.43 Dengan demikian peran penting pendidikan adalah untuk memberikan petunjuk (hudan) bagi para peserta didik.44 Pada gilirannya, pendidikan dalam konteks keislaman memiliki tugas untuk tidak sekedar mengarahkan peserta didik untuk memiliki kesalehan secara ritual tetapi juga mampu memiliki kesalehan sosial. Kesalehan sosial inilah yang kemudian harus terus
41
Eko Prasetyo, op. cit., hlm. 69. ibid., hlm, 92. 43 Abu Asma Anshari dkk, Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun K.H.A. Mustofa Bisri, (Semarang: HMT Foundation, 2005), hlm. 188. 44 Namun pemikiran tersebut masih menjadi pro kontra “apakah seseorang atau peserta didik menjadi muslim karena petunjuk (hudan) Allah atau karena peran pendidikan?” baca Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 56. 42
26
diupayakan untuk menciptakan masyarakat yang memiliki pola relasi yang berkeadilan. Pendidikan Islam merupakan media dakwah untuk menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga para cendekiawan Islam harus memiliki gagasan-gagasan yang senantiasa berpihak pada kaum atau lapisan masyarakat yang didzalimi. Demikian juga pendidikan Islam semestinya memiliki landasan pengajaran yang selalu memberikan pengetahuan bahwa mencari ilmu tidak sekedar ibadah tetapi memiliki konskekuensi untuk membawa nilai-nilai perubahan dalam masyarakat. Menuju ke penciptaan kesalehan sosial sebagai upaya terciptanya masyarakat yang berlandaskan nilai persamaan dan keadilan juga sebagai upaya mencipatakan kemaslahatan umat. Dalam terminologi Islam, keadilan adalah antitesis dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam kisah perjalanan Rasul, Abdurrahman asy Syarqowi menuturkan dalam buku roman sejarah Muhammad bahwa sangat sedih hati Muhammad melihat ketimpangan dan intimidasi. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing, manusia dimiliki oleh manusia lainnya. Orang-orang yang lemah dalam cengkraman para saudagar serta masih banyak lagi penggambaran kehidupan sosial di Makkah dan sekitarnya yang tidak beradab.45 Keadilan dalam Islam adalah ketentuan yang wajib, dan salah satu unsur penting kehidupan sosial dan kemanusiaan. Ia tidak semata “hak” dari sekalian hak yang pemiliknya dapat merelakannya jika ia mau, atau ia tidak perhatikan dengan sengaja tanpa mendapat celaan dan dosa. Namun ia adalah ketentuan yang wajib yang ditetapkan oleh Allah swt bagi semua manusia tanpa pengecualian. Sehingga di jadikan al’adlu ‘keadilan’ sebagai salah satu nama dari nama-namanya yang indah (Asma’ul Husna).46 Dalam al-Qur’an surat asy-Syuura: 15, Allah memerintahkan untuk berlaku adil. 45
Secara lengkap baca Abdurrahman asy Syarqowi, Roman Sejarah; Muhammad Sang Pembebas, judul asli Muhammad Rasulul Hurriyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) 46 Muhammad Imaroh, Islam dan Keamanan Sosial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 116.
27
ﻪ ﻣِﻦ ﺰ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﹼ ﺎ ﺃﹶﻧﺖ ِﺑﻤ ﻨﻭﹸﻗ ﹾﻞ ﺁﻣ ﻢ ﻫ ﺍﺀﻫﻮ ﻊ ﹶﺃ ﺘِﺒﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﺕ ﺮ ﺎ ﺃﹸ ِﻣﻢ ﹶﻛﻤ ﺘ ِﻘﺳ ﺍﻉ ﻭ ﺩ ﻚ ﻓﹶﺎ ﹶﻓِﻠ ﹶﺬِﻟ (15 :)ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ.... ﻨﻜﹸﻢﻴﺑ ﻋ ِﺪ ﹶﻝ ِﻟﹶﺄﺮﺕ ﻭﺃﹸ ِﻣ ﺏ ٍ ﺎِﻛﺘ “Maka, karena itu serulah mereka kepada agama itu dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: ‘aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu…” 47 Untuk mewujudkan transformasi sosial juga harus memperhatikan nilai persamaan. Persamaan adalah kesamaan dalam kedudukan sosial, di depan hukum, dalam menanggung beban responsibilitas dan dalam mendapatkan
kesempatan
untuk
mengaktualisasikan
diri
di
tengah
masyarakat, dalam kadar yang setara di antara seluruh anggota masyarakat. Sementara dalam terminologi Arab kata sama adalah sawa (nusawwiya) itu menunjukkan makna keseimbangan dan keadilan.48 Mengenai ajaran persamaan, di dalam al-Qur’an surat an-Nisa' ayat 1 dijelaskan mengenai realitas penciptaan manusia yang sebenarnya adalah sama atau satu.
ﺑﺚﱠﻭ ﺎﺟﻬ ﻭ ﺯ ﺎﻨﻬﻖ ِﻣ ﺧﹶﻠ ﻭ ﺪ ٍﺓ ﺍ ِﺣﺲ ﻭ ٍ ﻧ ﹾﻔ ﻦﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸﻢ ﻣ ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹸﻜﺭﺑ ﺗﻘﹸﻮﹾﺍﺱ ﺍ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (1 :)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.... ﺎﺀﻭِﻧﺴ ﺎ ﹰﻻ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍﺎ ِﺭﺟﻬﻤ ﻨِﻣ “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…” (Q.S. an-Nisa’: 1)49 Sementara Dr. Fuad Abdul Mun’im Ahmad50 menerangkan bahwa sawa atau al-musawah secara etimologi berarti; ( ﺍﳌﻤﺎﺛﻠـﺔ ﻭ ﺍﳌﻌﺎﺩﻟﻠـﺔsama dan seimbang) sementara secara terminologis berarti;
47
Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 785-786. Muhammad Imaroh, op. cit., hlm. 120. 49 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 114. 50 Fu’ad abdul Mun’im Ahmad, Ushulun Nidhomil Hukmi fil Islam ma’a Bayani Tathbiq fil Mamlakah al-‘Arabiyah Assa’udiyah, (Arab Saudi: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1991 M/ 1411 H). 48
28
ﺍﻥ ﲨﻴﻊ ﺍﻻﻓﺮﺍﺩ ﺍﻣﺎﻡ ﺷﺮﻉ ﺍﷲ ﺳﻮﺍﺀ ﺩﻭﻥ ﲤﻴﻴﺰ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻻﺻﻞ ﺍﻭ ﺍﻻﺟﻨﺲ
ﺍﻭﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻭﺍﳌﺮﻛﺰ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﻓىﺎﻛﺘﺴﺎﺏ ﺍﳊﻘﻮﻕ ﻭﺍﻟﺘﺤﻤﻞ ﺑﺎﻻﻟﺘﺰﺍﻣﺎﺕ ﻭﺍﺩﺍ ﺋﻬﺎ (terjemahan bebasnya adalah, sesungguhnya seluruh pribadi manusia di depan syariat Allah adalah sama, bukan perbedaan di antara mereka disebabkan oleh asalnya (keturunan) atau jenisnya (ras atau kelamin) atau bahasa atau daerah dalam memperoleh hak-hak dan berkumpul dalam kewajiban dan larangan) yang mencakup persamaan antara yang kaya dan yang miskin
اﻟﻤﺴﺎوة ﺑﻴﻦ اﻟﻔﻘﺮاء واﻟﻤﺴﺎآﻴﻦpersaudaraan Islam اﻻﺧﻮةاﻻ ﺳﻼﻣﻴﺔ, kesamaan perintah bagi semua manusia وﺣﺪ ة اﻟﺘﻜﺎ ﻟﻴﻒ ﻟﻠﺠﻤﻴﻊ. Persamaan dalam pandangan Islam adalah kesamaan dan kesetaraan utuh di depan hukum dan kesamaan secara penuh dalam mendapatkan kesempatan, serta keseimbangan antara orang-orang yang berbeda-beda bagiannya dari kesempatan yang terbuka bagi seluruh orang itu. Dan Islam dalam memandang segala fenomena kemasyarakatan tersebut senantiasa mendasarkan pada prinsip kemaslahatan. Kemaslahatan dalam perspektif Islam—dari al-Ghazali—adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan (dampak negatif) dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Adapun tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.51 Sehingga bisa disimpulkan bahwa orang yang melakukan sesuatu untuk memelihara kelima aspek tersebut, maka perbuatannya dinamakan maslahat. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima tujuan syarak tersebut juga disebut maslahat.
51
1144.
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) cet 3, hlm. 1143-
29
Kemaslahatan tersebut adalah untuk mencapai aturan hidup yang baik, dan aturan hidup dalam Islam menurut Aabid Taufiq al-Hashimy52 adalah;
ﻣﺎ ﺍﺧﺘﻄﻪ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻟﻼﻧﺴﺎﻥ ﰲ ﺍﻓﺎﻕ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﺮﻭﺣﻴﺔ ﻭﺍﳋﻠﻘﻴﺔ ﻭﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻭﺍﻻ ﻗﺘﺼﺎﺩﻳﺔ ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﺮﺑﻮﻳﺔ ﲟﺎ ﺍﻧﺰﻟﻪ ﰱ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﻭﺷﺮﺡ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﰱ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﺍﺟﺘﻬﺎﺩ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﳌﻔﺴﺮﻳﻦ (terjemahan bebasnya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi manusia dalam bidang-bidang kehidupan seperti kejiwaan, penciptaan, kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pendidikan, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah dalam hadis serta ijtihad para ulama dan ahli tafsir). Jadi, perubahan sosial atau transformasi sosial yang diharapkan dalam pendidikan Islam adalah perubahan yang membawa misi kemaslahatan ummat dengan rumusan yang telah ada di dalam al-Qur’an, hadis dan hasil ijtihad dan penafsiran para ulama’. Ketika muncul perubahan dalam kehidupan masyarakat yang memunculkan ketidakadilan, ketidakseimbangan dan perbudakan maka pendidikan Islam harus menentang kenyataan sosial yang seperti itu. Kenyataan sosial yang ada harus senantiasa dibaca dan dikritisi untuk menjaga agar nilai-nilai keadilan selalu tertanam dalam kehidupan masyarakat.
52
Aabid Taufiq al-Hashimy, Thuruqu Tadris al-Din, (Baghdad: Muassasah Risalah, 1981 M/ 1401 H), hlm. 259.
30