27
BAB II URAIAN TEORETIS
2.1 Paradigma Kajian Agus Salim (2001) menyebutkan bahwa secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Khun yang dikenal sebagai tokoh pencetus teori mengenai paradigma. Dimana paradigma diartikan sebagai perangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba: 1990). Selanjutnya paradigma diartikan sebagai (a) A set of assumptions (seperangkat asumsi) (b) Belief concerning (asumsi yang dianggap benar). Bhaskar dan Roy (1980: 88-90) berpendapat bahwa untuk dapat sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan empirik melalui pengamatan yang tidak terbantahkan, yakni accepted to assume to be true (asumsi diterima untuk menjadi benar). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai A mental window, yang berarti tempat terdapat “frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan. Bogdan dan Biklen (1982: 30) dalam hal ini mengartikan paradigma sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dapat dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian (Moleong: 2000: 8). Dalam paradigma ilmu, sejumlah ilmuwan telah mengembangkan perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi mengenai perangkat ilmu ini telah ada secara sistematis pada abad ke-17, ketika Descrates pada tahun 1596-1950 mengembangkan cara pandang positivisme. Tradisi ini kemudian berkembang berdasarkan aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan paradigma ilmu tersebut. Disisi lain terdapat perbedaan pemaknaan dalam memahami paradigma. Menurut Ardianto dan Q-Anees dalam buku Filsafat Ilmu Komunikasi,
Universitas Sumatera Utara
28
menggunakan istilah teori dalam bidang komunikasi tidak memadai karena adanya perkembangan mutakhir pada manusia begitu pesat. Mereka sepakat mengartikan perspektif sebagai cara pandang atau cara kita menentukan sudut pandang ketika mengamati sesuatu. Hal ini diperkuat dengan kutipan dalam paragraf berikut: “.... bilamana seseorang mengamati peristiwa komunikasi, orang tidak memandang apakah orang itu yakin pada teori komunikasi tertentu atau memegang teguh proposisi aksiomatis tertentu dalam benaknya. Yang terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat gerakan dan suara tertentu. Relevansi atau arti dari konsep yang dipergunakan untuk memahami peristiwa komunikatif tersebut. Konsep itu menentukan apa yang relevan dalam peristiwa tadi; dan dalam pengertian ini maka apa yang tidak dicakup oleh orang tadi, dicakup oleh konsep tadi dan dinyatakan sebagai hal yang tidak relevan” (Fisher, 1990: 89) Becker
(Mulyana,
2001:
5)
mendefinisikan
perspektif
sebagai
“seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan”; “suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang”; “standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai” (Kriyantono, 2010: 47). Paradigma dalam penelitian kualitatif digunakan untuk melihat cara pandang peneliti berdasar kualitas-kualitas objek penelitian seperti nilai, makna, emosi manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, simbol-simbol atau artefak tertentu. Kualitas tersebut selanjutnya diteliti melalui pendekatan yang lebih banyak memberikan data yang rinci guna menghindari metode matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu mengandung meaning (makna). Dalam penelitian kualitatif, hal ini ditandai dari cara pandang seseorang dalam menjawab tiga pertanyaan dasar yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
29
1. Dimensi Ontologi What is the nature of reality? Artinya dalam dimensi ini seseorang harus mampu menjawab apakah sebenarnya hakikat dari suatu kenyataan? Bagi peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif jawaban dari pertanyaan tersebut diatas adalah satu-satunya kenyataan adalah kenyataan yang dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian. 2. Dimensi Epistimologi Apakah sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (known or knowable)? Pendekatan kualitatif menjawab ketika peneliti berinteraksi dengan objek yang diteliti, interaksi biasanya dilakukan dengan jarak dekat. Artinya peneliti terjun langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang berkualitas dan mendalam. 3. Dimensi Aksiologi Bagaimana peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian? Kondisi penelitian kualitatif menjawab sejalan dengan perkembangan jaman yang dapat dilihat dari kebutuhannya. Seperti penggunaan bahasa dalam penelitian yang cenderung menggunakan sudut pandang penulis dan lebih bersifat personal. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini. Paradigma ilmu ini adalah: Positivisme, Pospositivisme (yang sekarang dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conventional Paradigm), Konstruktivisme atau Interpretatif, dan Critical Theory (Realism). Dalam hal ini, peneliti mengambil pendekatan kontrusktivisme atau interpretatif yang merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacammacam kontruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Realitas yang diamatipun tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang karena hubungan antara
Universitas Sumatera Utara
30
pengamat dan objek bersifat satu kesatuan dan saling mempengaruhi, subjektif, dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya. Menurut Agus Salim (2001: 42-43) secara metodologis, aliran ini menerapkan dua metode dasar dalam penelitian, yakni: Pertama, melakukan identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang per orang. Kedua, mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu. Interpretivisme pertama kali dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi hermeneutika intelektual Jerman. Tradisi ini dikenal dengan istilah Verstehen dalam bahasa Jerman yang berarti proses aktif memaknai sesuatu yang kita amati seperti teks, perilaku, dan situasi. Teori ini dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang mengkritik empirisme logis. Dalam paradigma interpretivisme, suatu tindakan dapat memiliki banyak arti sehingga makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Untuk itu disimpulkan bahwa interpretasi merupakan suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna (Sendjaya, 2007). Denzin & Lincoln (2009: 148) menyebutkan bahwa kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi (internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti. Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna. Dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna
Universitas Sumatera Utara
31
dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Ulfa, 2012: 13) Littlejohn dan Foss dalam Encyclopedia Of Communication Theory (2009: 557-559) mendefenisikan
bahwa teori
interpretif secara ontologis
dan
epistemologis merupakan alat yang digunakan dalam penelitian yang peduli untuk memahami bagaimana individu dan kelompok menciptakan makna dalam praktik, komunikasi, dan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Teori interpretivisme juga sangat terkait dan dipengaruhi oleh tradisi filosofis benua lain, yang disebut hermeneutika. Hermeneutika adalah filosofi dari interpretasi dan pemahaman. Hermeneutika merupakan salah satu paradigma yang ingin melihat bagaimana pengalaman, bahasa, dan dialog berkontribusi pada proses interpretasi. Sejarah hermeneutika pertama kali dikenal dari studi yang menafsirkan naskah keagamaan kuno tapi akhirnya dimasukkan (melalui pemikiran Friedrich Schleiermacher dan Hans Georg Gadamer) agenda akademik lainnya yakni, tradisi hermeneutika mulai melihat interpretasi tidak hanya sebagai proses mengungkap makna teks, tetapi juga sebagai proses untuk memahami pengalaman sehari-hari dan rata-rata temuan dari dunia sosial. Secara luas interpretivist diartikan sebagai berikut: a. Peneliti yang tertarik terhadap cara, budaya, atau individu menciptakan makna dari tindakan, ritual, interaksi, dan pengalaman mereka sendiri. b. Peneliti yang ingin menafsirkan makna lokal dengan menempatkan mereka ke dalam sejarah, geografis, lingkungan politik, linguistik, ideologi, ekonomi, dan budaya yang lebih luas. c. Peneliti yang melihat makna dari teks dan kode-kode dan aturan di mana mereka bergantung untuk menyampaikan makna d. Sarjana filsafat yang berorientasi dalam mengeksplorasi ide-ide makna dan interpretasi dari diri mereka sendiri. Bryman
(2008:
16)
menjelaskan
bahwa
pandangan-pandangan
interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
32
diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan prosesproses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Ulfa, 2012: 15). Dengan kata lain paradigma interpretif melihat kebenaran sebagai suatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisan. Dalam hal ini peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salahsatu partisipan. Pada pendekatan ini setidaknya terdapat lebih sedikit penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang sangat mutalk tidaklah mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti. Seperti yang dikatan oleh Martin Hammersley (1992: 53) mendukung berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka. West & Turner (2009: 76) mengartikan bahwa pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevann dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan harus menyatakan secara jelas kepada pembacanya, karena nilai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Dijelaskan lagi bahwa peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti. Interpretif memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.
Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual.
2.
Makna merupakan konsep kunci, dimana pengalaman dipandang sebagai meaning centered (dasar pemahaman makna). Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia (Bungin, 2009: 115).
Universitas Sumatera Utara
33
2.2 Analisis Resepsi 2.2.1
Sejarah Perkembangan Dalam perkembangan media, pembahasan khalayak dan wacana isi
media merupakan salah satu hal yang paling umum dan populer diteliti oleh para akademisi. Terutama pada akademisi yang berbasis ilmu komunikasi. Selain karena ranah dan fokusnya, hal yang dilihat adalah bagaimana media mampu menstimuli wacana perbincangan dalam kehidupan masyarakat dalam konteks budaya. Hal ini berikutnya secara khusus menjadi bahan kajian para ilmuwan pada tahun 1980-an di Eropa. Studi diskursus media dan khalayak ini dikenal dengan reception analysis (analisis resepsi). Penelitian ini mempertimbangkan settingcontext historis dan kultural yang mempengaruhi pemaknaan. Sebagai respon dari studi tekstual, penelitian resepsi berpendapat bahwa khalayak media massa harus diteliti sebagai suatu kondisi sosial yang spesifik untuk dianalisis. Dalam tradisi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa varian diantaranya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary critism, cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen, 1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception analyisis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif. Seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik (Adi, 2008). Kemunculan reception analysis bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens, melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media. Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah, dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception analysis, makna yang ditemukan
Universitas Sumatera Utara
34
merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti. Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan kemampuannya dalam memaknai teks media. Mereka memilih cara pandang bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah pemaknaan teks media oleh audiens dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti (Littlejohn & Foss, 2009: 65-67). Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humanistik, reception analysis
menyarankan baik audience maupun konteks
komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana praktik kultural audiensnya (Jensen, 1999:137) Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif khalayak (Fiske, 1987). Pendekatan ini juga berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif
Universitas Sumatera Utara
35
dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang berbeda pada masing-masing individu secara langsung turut membangun kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000: 268). Pendekatan ini juga mencoba untuk membuka dan menguraikan pemahaman individu secara nyata, apa yang telah mereka alami dan rasakan. Analisis Resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks. Khalayak belum tentu melakukan pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat didalam teks secara aktif dan dikonstruksikan secara subjektif pula. (Narottama, 2008:5). Biasanya khalayak memproduksi makna pesan berdasarkan pengalaman dan pandangannya selama berinteraksi dengan media Adalah Morley pada tahun 1980 mempublikasikan Study of Nationawide
Audience
kemudian
dikenal
sebagai
pakar
yang
mempraktikkan analisis resepsi secara mendalam. Pertanyaan pokok studi Morley
tersebut
adalah
mengetahui
bagaimana
individu
menginterpretasikan suatu muatan program acara televisi dilihat dalam kaitannya dengan latarbelakang sosio kultural pemirsanya. Kajian resepsi sebagaimana dilakukan oleh Morley tersebut melandaskan diri pada pemikiran Stuart Hall, sekarang adalah profesor Sosiologi di Universitas Terbuka, dan merupakan tokoh utama dalam sejarah kebangkitan politik kiri di Inggris di tahun 1960-an dan 1970-an. Hall sendiri mengikuti gagasan Althusser dan berpendapat bahwa media muncul sebagai refleksi atas realitas dimana media itu terlebih dahulu mengkonstruksikannya (Adi, 2008). Hall memformulasi sebuah cadangan ke bentuk transmisi linear (pengirim – pesan – penerima) dan membuktikkannya dengan melihat
Universitas Sumatera Utara
36
komunikasi sebagai sebuah proses dari produksi makna termasuk konsep semiotik sebagai kode dan tanda yang memberikan lebih banyak manfaat (Nightingale 1996; Gurevich and Scannel 2003). Istilah ‘encoder’ dan ‘decoder’ telah digunakan lebih dulu di beberapa versi dari bentuk transmisi, contoh oleh Schramm pada tahun 1954. Namun dengan asumsi yang berbeda Hall menggambarkan kerangka semiotik, dimana konsep kode adalah pusatnya. Satu perbedaannya adalah Hall lebih kuat dalam menekankan maksud, satu sebagai encoding, memproduksi ‘struktur makna 1’ dan kemudian sebagai decoding, ketika si penerima memproduksi ‘struktur
makna 2’ menggambar pada kerangka
pengetahuan. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1 Sumber : users.aber.ac.uk Dan proses-proses encoding dan decoding terlihat sebagai ‘momen’ yang sangat jelas bersifat independen yang berhubungan satu sama lain. Satu sisi bisa membuktikan bahwa bentuk transmisi tradisional tidak menganggap dirinya sendiri sebagai pengirim dan penerima yang dilihat dengan cara yang sama, tapi fokus pada pengertian dan tulisan tanpa keraguan yang lebih kuat pada bentuknya Hall. Perbedaan penting lainnya adalah pada bentuk dalam konteks
diproses secara ideologi
Universitas Sumatera Utara
37
daripada informasi distribusi umum. Ini dibuat khusus dengan formulasi atas apa yang disebut dengan tipe, tiga hipotesa mendecode beberapa posisi; dominan-pokok, yang dinegoisasi, dan yang berlawanan. Tipe seperti itu dianggap sebagai sebuah bagian penting pada bentuk encoding/decoding. Laughey (2007:62) telah memasukkan tipe ini ke dalam versi yang telah dimodifikasi pada bentuk grafiknya Hall, dan Sturken (2009:72f) secara langsung ke tipe bahkan tanpa menyebutkan bentuk yang tepat. Menurut Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan media melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu hegemoni dominan, negosiasi, dan oposisi (Morissan dkk, 2010: 171-172): 1. Hegemoni Dominan (Dominant-Hegemonic Position) Hall menjelaskan hegemoni dominan sebagai situasi dimana, media menyampaikan pesan, khalayak menerimanya. Apa yang disampaikan media secara kebetulan juga disukai oleh khalayak. Ini adalah situasi dimana media menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak, sama-sama menggunakan budaya dominan yang berlaku. Media harus memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat. Jika, misalnya, khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui cara-cara yang dikehendaki media, maka media, pesan (iklan), dan khalayak sama-sama menggunakan ideologi dominan (Morissan dkk, 2010: 171). 2. Negosiasi (Negotiated Position). Posisi negosiasi adalah dimana khalayak secara umum menerima ideologi dominan, namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, khalayak bersedia menerima ideologi dominan yang bersifat umum, namun mereka akan melakukan beberapa pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan aturan budaya setempat (Morissan dkk, 2010: 171).
Universitas Sumatera Utara
38
3. Oposisi (Oppositional Position). Oposisi terjadi ketika khalayak yang kritis mengganti atau mengubah pesan atau kode yang disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audien menolak makna pesan yang dimaksud atau disukai media dan menggantikannya dengan cara berfikir mereka sendiri terhadap topik yang disampaikan media (Morissan dkk, 2010: 172).
2.2.2
Kritik terhadap Analisis Resepsi Meskipun dalam berbagai studi model teoritik ini sering digunakan
oleh peneliti dalam melakukan studi resepsi terhadap khalayak. Namun, ada beberapa kritik yang coba dikemukakan oleh beberapa ahli dalam rangka membangun dan memberikan solusi terhadap pola yang dianggap masih ambigu. Satu karakter penting yang sebelumnya tidak bisa diasumsi bahwa yang terencode dan yang terdecode seharusnya berhubungan. Tergantung pada kerangka pengetahuan atau kode yang diprogram terencode secara langsung terdecode. Terkadang dianggap sebagai bagian fitur bentuk yang penting (McQuail 2010 : 74). Sebuah masalah yang masih diragukan adalah ‘program yang ditulis’ atau teks media. Menurut bentuk grafik di atas hal itu berkesan untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari kedua makna yang terencode dan yang terdecode, pada akhirnya ini jelas ada sebelum decoding. Nightingale berkomentar, ini bisa ditafsirkan sebagai ‘diproduksi oleh satu dari dua grup yang berbeda : tim produksi atau peneliti akademik, atau keduanya’ (Nightingale 1996 : 31). Wren – Lewis (1983) memberikan solusi untuk permasalahan ini yakni, bisa diganti dengan ‘program sebagai struktur penanda’. Maka bisa dikatakan bermakna dalam arti memberikan bahan untuk interpretasi, struktur penanda, tapi pada waktu yang sama tidak harus menganggap berbagai interpretasi yang spesifik sebelum pendengar mendecoding (kecuali untuk encoded yang dimaksud, ‘struktur makna 1’). Permbahasan terkait menyangkut salah satu konsep yang paling sering dibahas dalam teks Hall,
Universitas Sumatera Utara
39
‘makna istimewa’ (atau bacaan istimewa). Hall mendefinisikan ini sebagai: “…there exists a pattern of 'preferred readings', and these both have the institutional/political/ideoogical order imprinted in them and have themselves become institutionalized. The domains of ‘preferred meanings’ have the whole social order embedded in them as a set of meanings, practices and beliefs” (Hall 1980: 134) Penjelasan di atas bermaksud bahwa sebuah pola ‘bacaan istimewa’, dan keduanya mempunyai kelembagaan/politis/ideologis yang secara berurutan tercetak didalamnya dan terlembagakan olehnya. Domain dari ‘makna istimewa’ mempunyai keseluruhan tatanan sosial yang tertanam dalam mereka sebagai satu set makna, praktik dan keyakinan. Disisi lain peneliti resepsi ada yang menyatakan bahwa penelitian ini akan membangun sebuah arti istimewa yang beralasan. Sebuah posisi yang lebih radikal meninggalkan konsep mengakui bahwa tidak ada interpretasi istimewa. Namun, dalam sebuah wawancara Hall kemudian berpendapat bahwa makna disukai lebih merupakan milik teks. “And preferred reading is simply a way of saying if you have control of the apparatus of signifying the world, if you’re in control of the media, you own it, you write the texts –to some extent it has a determining shape. Your decodings are going to take place somewhere within the universe of encoding.” (Hall 1994: 261) Jadi, Hall menjelaskan bahwa ada konvergensi antara ideologi dominan dan niat encoding dan praktek-praktek pengirim. Apa yang Hall ingin katakan adalah bahwa makna tidak sepenuhnya berubah-ubah, itu sangat dipengaruhi oleh pengkodean, tetapi tidak sepenuhnya ditentukan juga (Hall 1994:261 f ). Analisis penerimaan memiliki kekuatan dan kelemahan yang masing-masing berpengaruh terhadap analisis ini, antara lain (Baran & Davis, 2010: 306):
Universitas Sumatera Utara
40
a. Kekuatan -
Memusatkan perhatian pada individu dalam proses komunikasi massa
-
Menghargai kepandaian dan kemampuan konsumen media
-
Menerima berbagai jenis makna dalam teks media
-
Mencari pemahaman mendalam mengenai bagaimana orang menafsirkan konten media
-
Menyediakan analisis mendalam mengenai bagaimana cara media digunakan dalam konteks sosial sehari-hari
b. Kelemahan -
Biasanya
berdasarkan
interpretasi
subjektif
dan
laporan
khalayak -
Tidak dapat menunjukkan keberadaan atau ketiadaan efek
-
Menggunakan
metode
riset
kualitatif
yang
meniadakan
penjelasan sebab-akibat terlalu berorientasi kepada level mikro (tetapi mencoba untuk lebih mikroskopik). Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi. Struktur ini sangat bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi mobil, gestur dan lain sebagainya. Maka film Di Balik Frekuensi dalam penelitian ini disebut dengan teks. Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266, 268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi. Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang mana hal ini dapat membatasi dan membentuk interpretasi potensial tentang suatu teks.
Universitas Sumatera Utara
41
Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilainilainya yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena jarang disosialisasikan kepada masyarakat (Ulfa, 2008).
2.2.3
Interpretasi Secara harafiah interpretasi merupakan proses aktif dan inventif.
Kemudian
didefinisikan
sebagai
suatu
tindakan
kreatif
dalam
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan makna. Teori ini umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Alfred Schutz menyebutkan bahwa ada tiga asumsi dasar mengapa orang bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Djuarsa,dkk.2007) : 1. Mereka berasumsi bahwa realitas dan struktur kehidupan adalah konstan, yaitu kehidupan akan tetap tampak seperti semula. 2. Mereka
beranggapan
bahwa
pengalaman
mereka
terhadap
kehidupan adalah valid. Sehingga orang menganggap bahwa persepsi mereka teradap peristiwa adalah akurat. 3. Orang melihat dirinya sendiri memeliki kekuatan untuk bertindak mencapai sesuatu dan mempengaruhi kehidupan. Interpretasi juga didefinisikan sebagai kondisi aktif sesorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999:199).
Makna
pesan
media
tidaklah
permanen,
melainkan
dikonstruksikan oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak cenderung aktif dalam menginterpretasikan dan memaknai teks media.
2.2.4
Khalayak Aktif Studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson &
Goldings, 1997: 123–124) dalam penelitian skripsi Ulfa (2012: 8) bahwa penelitian khalayak pada studi media dikarakteristikkan oleh dua asumsi: (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b) bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi di atas berarti bahwa
Universitas Sumatera Utara
42
mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media. Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu: 1.
Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang mereka gunakan.
2.
Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.
3.
Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka inginkan.
4.
Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media.
5.
Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media. Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat
membuat individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Proses interpretasi terjadi apabila khalayak mampu meberikan makna tersendiri atas ritual konsumsi media yang dilakukan dalam konteks sosialnya setiap hari. Ada tiga cara yang memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000:262), yaitu: 1. Interpretasi Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting, dan
Universitas Sumatera Utara
43
bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi berbeda untuk sebuah pesan yang sama. 2. Konteks Sosial Interpretasi Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial disekitarnya. Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial. 3. Aksi Kolektif Khalayak terkadang melakukan aksi kolektif sehubungan dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media massa.
2.3 Kajian Pustaka 2.3.1
Komunikasi Massa Menurut Wright (1959) defenisi komunikasi massa bisa dibagi
kedalam tiga ciri yakni; Pertama, komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen, dan anonim. Kedua, pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara. Ketiga, komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar. Secara umum John Vivian (2008: 450) mengartikan komunikasi massa sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur, atau membujuk. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pusat dari komunikasi massa adalah media. Adapun menurut Sendjaya, dkk (2007) media merupakan organisasi yang menyebarkan informasi berupa produk budaya atau pesan yang mempengaruhi dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
44
Selanjutnya Vivian (2008: 4) merujuk sebuah pengertian bahwa media massa biasanya dianggap sebagai sumber berita dan hiburan yang juga membawa pesan persuasi. Dalam konteks penelitian ini, media massa dianggap memiliki arti penting karena pengaruhnya pada struktur tatanan sosial. Hal ini ditandai dengan terjadinya kebergantungan masyarakat terhadap informasi yang disajikan oleh media massa. Vivian memberikan contoh bahwa setiap pagi sebagian besar masyarakat bangun lalu mendengarkan radio, tokoh politik menghabiskan sebagian besar dana kampanyenya melalui iklan televisi untuk menjaring pemilih. Para pengusaha tergantung kepada iklan untuk menciptakan pangsa pasar yang besar. Peranan media massa ini semakin terasa begitu penting sesuai dengan pemaparan Vivian dalam poin-poin berikut: 1. Melalui media massa kita mengetahui hampir segala sesuatu yang kita tahu tentang dunia di luar lingkungan dekat kita. 2. Warga yang berpengetahuan (informed) dan aktif sangat mungkin terwujud di dalam demokrasi modern hanya jika media massa berjalan dengan baik. 3. Orang membutuhkan media massa untuk mengekspresikan ide-ide mereka ke khalayak luas. Tanpa media, gagasan kita hanya akan sampai kepada jaringan terdekat kita. 4. Negara-negara kuat menggunakan media massa untuk menyebarkan ideologinya dan untuk tujuan komersial. Dimana, media massa adalah alat utama para propagandis, pengiklan, dan sebagainya. Pengenalan media massa perlu didalami melalui kajian literasi media. Vivian membagi jenis-jenis media massa yakni, buku, surat kabar, majalah, sound recording, film, radio, televisi, dan internet. Media massa tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan khalayak untuk memproduksi makna berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
45
peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 2007: 39).
2.3.1.1 Film Isi media massa termasuk film, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat dalam mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin diciptakan oleh produsen media tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Menurut UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman pada Pasal (1) poin 1 menjabarkan bahwa pengertian Film adalah karya cipta, seni, dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. Ephraim Kate mendefinisikan filmologi sebagai sebuah studi dan analisis terhadap landasan psikologis dan aspek estetika sebuah film dan konsekuensi sosial, moral, dan emosional yang ditimbulkan. Sedangkan filmografi didefinisikan sebagai gambaran kerja dari pihak yang terlibat dalam sebuah karya film, biasanya secara
kronologis,
(scriptwriter),
khususnya
kamerawan,
aktor,
sutradara, dan
penulis
setiap
orang
naskah yang
berhubungan dengan film (Ramli, Ahmad dan Faturahman, 2005: 49).
Universitas Sumatera Utara
46
Film sebagai media komunikasi pandang-dengar (audiovisual) memiliki beberapa karakteristik, antara lain sebagai berikut: 1. Adanya permintaan yang banyak sesuai dengan keinginan masyarakat
tanpa
membedakan
usia,
latarbelakang
atau
pengalaman. 2. Memiliki dampak psikologis yang besar, dinamis, dan mampu mempengaruhi penonton. 3. Mampu membangun sikap dengan memperhatikan rasio dan emosi sebuah film. 4. Mudah didistribusikan dan dipertunjukkan. 5. Terilustrasikan dengan cepat sebagai pengejawantahan sebuah ide atau sesuatu lainnya. 6. Biasanya lebih dramatis den lengkap dari hidup itu sendiri. 7. Terdokumentasikan dengan tepat, baik gambar maupun suara 8. Observatif; secara selektif mampu meperlihatkan karakter dan peristiwa yang menceritakan sebuah cerita. 9. Interpretatif; mampu menghubungkan sesuatu yang sebelumnya tidak berhubungan. 10. Mampu menjual sebuah produk dan ide (sebuah alat propaganda yang ampuh). 11.Dapat menunjukkan situasi yang kompleks dan terstruktur. 12.Mampu menjembatani waktu; baik masa lampau maupun masa yang akan datang. 13.Dapat mencakup jarak yang jauh dan menembus ruang yang sulit ditembus. 14.Mampu
memperbesar
dan
memperkecil
objek;
dapat
memperlihatkan sesuatu secara mendetail (microscopically). 15. Mampu
untuk
menghentikan
gerak,
mempercepat
atau
memperlambat gerakan yang nyata dan memperlihatkan hubungan waktu yang kompleks (speed photography) dapat memperlihatkan sebuah peristiwa yang terjadi dalam mikrosekon (microseconds);
Universitas Sumatera Utara
47
time lapse photography, dapat memperlihatkan aktivitas berjamjam dan berhari-hari dalam beberapa detik. 16.Konstan dalam isi dan penyampaian. Menurut Quick dan Tom (1972) secara umum, film dapat digunakan setiap orang. Baik untuk menghibur, menginformasikan, mempersuasikan, merekam, dan eksperimen. Berikut penjabaran filmfilm tersebut (Ramli, Ahmad dan Faturahman, 2005: 52): 1. Film Hiburan. Film kategori ini biasanya menggunakan anggaran biaya yang cukup besar dan ditujukan untuk bioskop-bioskop. Film ini biasanya memperkerjakan aktor dan menggunakan kru film yang banyak. Muatan film ini dapat berupa musik, komedi, drama, sinema aksi (seperti film perang, cowboys,detektif, dll). 2. Film Informasi. Sebagai sebuah media komunikasi, film sebenarnya memiliki fungsi informasi hanya saja film ini menekankan pada proses menginformasikan disbanding menghibur. Film ini mendiskusikan bagaimana sesuatu itu bekerja, bagaimana sesuatu itu terbuat dll. 3. Film Persuasi. Film ini digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Yang termasuk dalam film ini antara lain, iklan, propaganda, dan promosi. 4. Film Rekaman (Dokumenter). Film ini berusaha merekam fakta atau peristiwa kedalam bentuk film yang biasanya dikenal film dokumenter. Film jenis ini berusaha menjelaskan sebuah realitas atau kehidupan nyata. Film ini
menggambarkan
serta
mendiskusikan
kondisi
sosial
sebagaimana adanya serta melukiskan kehidupan dan aktifitas sebagaimana yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
48
5. Film Eksperimen. Film jenis ini berisikan eksperimen atau percobaan yang diharapkan
dapat
memperlihatkan
kepada
dunia
berbagai
pemikiran baru yang cenderung subjektif .
2.3.1.2 Film Dokumenter Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) defenisi Film Dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan. Sebagai tambahan kajian yang lebih teoritis untuk melengkapi penelitian ini, peneliti menyadur tulisan Teresa Bergman dalam Encyclopedia Of Communication Theory (2009: 317-320) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dimana menurut Teresa, teori film dokumenter berusaha untuk mencapai beberapa tujuan, yang meliputi definisi genre film dokumenter, artikulasi berbagai komponen, dan menggambarkan efek dan digunakan dalam masyarakat. Film dokumenter menginformasikan teori. Isu-isu ini sangat relevan untuk bidang komunikasi dan retorika karena sebagian besar film dokumenter terlibat dalam berbagai bentuk persuasi. Sesuai paparan John Vivian dalam bukunya berjudul Teori Komunikasi Massa pada Edisi kedelapan (2008), salah satu yang menjadi sejarah dan awal mulanya tercipta film dokumenter adalah film documenter berjudul Nanook of The North karya Robert Flaherty. Film non-fiksi ini mengeksplorasi kejadian historis, masa kini
dari
fenomena
alam
dan
kehidupan
sosial
dengan
menggunakan video film sejak tahun 1922 tentang kehidupan Eskimo. Film ini dianggap sebagai upaya untuk merekam realitas – tidak ada aktor, tidak ada rancangan plot cerita. Film ini kuat terutama bukan hanya karena ia menggunakan pendekatan baru
Universitas Sumatera Utara
49
dan subjek yang menarik, tetapi juga karena secara kebetulan, Nanook mati kelaparan ditengah padang es saat film ini dirilis. Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation’s Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek,Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin – Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit
Universitas Sumatera Utara
50
Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain. Pada tahun 1936 di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk. Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi filmfilm dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.
Universitas Sumatera Utara
51
Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya. (http://coffilosofia.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-filmdokumenter-dan-implikasinya-pada-perkembangan-film-sertafestival-dokumenter-di-indonesia/)
2.3.2
Konglomerasi Media Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian
konglomerasi adalah keutuhan yang terjadi dari bermacam-macam unsur. Sementara media yang dikaitkan didalam pembahasan ini berarti sarana atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Pada dasarnya konglomerasi media sematamata tidak muncul dan berdiri sendiri tanpa landasan teoretis yang lebih tinggi. Namun, dalam penelitian ini dibutuhkan perhatian khusus yang tepat sasaran terhadap konteks kepemilikan media. Peneliti menemukan bahwa teori yang melandasi konteks kepemilikan media adalah ekonomipolitik. Adapun
empat
teori
besar
ekonomi-politik
yang
sedang
berkembang di dunia diantaranya adalah: libertarianisme, kapitalisme,
Universitas Sumatera Utara
52
sosialisme, dan liberalisme modern. Diantara keempat teori tersebut konglomerasi media cenderung masuk pada bagian teori kapitalisme. Berdasarkan pengertiannya menurut Usman Kansong dalam buku Ekonomi Media (2009: 22) kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mengijinkan individu atau kosporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara) memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan atau kapital negara. Dimana menurut teori ini, individu atau perusahaan bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, misalnya melalui harga, promosi, dan lain-lain. Industri media dimiliki oleh swasta dan bebas berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dennis McQuail (1991) menyebutkan bentuk-bentuk kepemilikan media menjadi tiga bentuk: 1. Perusahaan Komersial (Media Swasta) 2. Institusi Nirlaba (Media komunitas dan media pemerintah) 3. Lembaga yang dikontrol publik (Media Publik). Sementara Usman Kansong (2009) menjelaskan bahwa ada tiga bentuk kepemilikan media, yaitu monopoli, oligopoli, dan kompetisi monopolistik. Dalam tipe kepemilikan monopoli, suatu industri media sangat mendominasi pasar. Tipe kepemilikan monopoli biasanya terdapat di negara-negara otoriter atau komunis. Hanya saja media pemerintah seperti itu lebih merupakan institusi sosial, politik, dan alat propaganda , tidak bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam tipe oligopoli, industri media ditandai dengna beberapa perusahaan media yang dimiliki oleh pemilik berbeda yang bermain di pasar. Mereka saling bersaing di dalam pasar, namun ada satu produsen atau satu pemilik media saja yang relatif lebih dominan dibanding yang lainnya. Sementara dalam kompetisi monopolitstik, banyak industri media yang memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh pemilik yang berbeda-beda yang beroperasi di pasar. Konglomerasi media dalam hal ini disebut juga sebagai konsentrasi kepemilikan media. Artinya, dari beragam media yang ada, rata-rata pemiliknya hanya terdiri dari kaum elite yang jumlahnya tidak banyak. Kansong (2009) menyebutkan bahwa permasalahan konsentrasi kapital
Universitas Sumatera Utara
53
oleh media dibedakan dalam beberapa hal, yaitu level konsentrasi, arah konsentrasi dan level pengamatan, serta derajat konsentrasi media. Konsentrasi media biasanya terjadi diantara situasi monopoli dan persaingan sempurna. Konsentrasi diperhitungkan secara eksesif ketika ada tiga atau empat perusahaan yang menguasai 50% jangkauan pasar. Hal ini juga dipicu oleh persaingan itu sendiri dalam mendapatkan sinergi dan keuntungan maksimal. Dalam bukunya berjudul Teori Komunikasi Massa, John Vivian (2008: 26-32) menyebutkan bahwa konglomerasi adalah menggabungkan perusahaan-perusahaan menjadi perusahaan besar. Berikutnya Vivian mengklasifikasikan pembahasan konglomerasi media kedalam beberapa bagian, yakni: 1. Konsolidasi Kepemilikan Media. Tren kearah konglomerasi melibatkan proses merger, akuisisi, dan pembelian saham (buyout) yang mengonsolidasikan kepemilikan media ke semakin dikit perusahaan. 2. Kolaborasi Kepemilikan Media. Pada poin ini Vivian mengatakan bahwa selain konsolidasi kepemilikan media, perusahaan-perusahaan media juga mengadakan perjanjian kerjasama. 3. Efek Dubious dari Konglomerasi. Kritikus seperti Ben Bagdikian mengatakan bahwa konglomerasi memengaruhi diversitas pesan yang diberikan media massa. Berbicara di Madison Insitute, Bagdikian menggambarkan konglomerasi dalam nada
cenderung
negatif:
“Mereka
berusaha
menguasai
atau
mendominasi pasarbukan hanya untuk satu medium tapi semua media. Tujuannya adalah mengontrol semua proses dari naskah awal atau serial baru sampai ke penggunaannya dalam beragam bentuk.” Fenomena konsentrasi kepemilikan juga terjadi di Indonesia pasca reformasi. Diamati dari proses yang terjadi konglomerasi media memiliki dampak postif dan negatif. Setidaknya terdapat dua dampak positif yakni:
Universitas Sumatera Utara
54
1.
Konglomerasi mengurangi derajat kompetisi media melalui merger (bergabungnya dua atau lebih media yang kedudukannya relatif seimbang dalam pasar), akuisisi, dan kemitraan strategis.
2.
Kinerja ekonomi media yang diakuisisi atau dimerger diharapkan lebih baik dibanding sebelumnya (Kansong, 2009:26) Namun
terdapat
setidaknya
empat
dampak
negatif
dari
konglomerasi media, yakni: 1. Konglomerasi pada gilirannya akan memicu komersialisasi. Dimana pemilik media lebih mengutamakan mencari keuntungan ketimbang mendidik, memberi informasi, atau melakukan kontrol sosial, serta menghibur. Kenyataan bahwa peningkatan rating stasiun televisi didasari oleh acara-acara yang tidak mendidik. Hal itu sejalan dengan pernyataan Herman dan Chomsky tentang kepemilikan media, bahwa kebutuhan
media
akan
keuntungan
secara
ekonomis
amat
mempengaruhi content media secara keseluruhan. 2. Konglomerasi juga bisa menyebabkan keseragaman content atau isi atau materi program. Keseragaman menyebabakan publik tidak memiliki banyak pilihan. Di bidang pemberitaan misalnya, stasiun televisi yang memiliki hubungan kepemilikan biasanya menerapkan sistem newsroom yang akan didistribusikan ke perusahaan lain yang masih berada dalam satu payung yang sama. 3. Melemahnya fungsi kontrol jurnalistik, terutama yang terkait dengan kepentingan pemilik. Hal ini berkaitan erat dengan kebebasan pers. Seperti yang dikatakan oleh Ziauddin Sardar kebebasan menjadi milik mereka yang menguasai pers. Dalam konteks ini, teori hegemoni Antonio Gramsci menyebutkan bahwa pemilik atau konglomerat media menghegemoni, menguasai, dan mendominasi media, semata untuk kepentingan mereka sendiri. 4. Menurunnya kualitas konten media. Hal ini sejalan dengan tulisan John Vivian (2008) mengenai efek negatif dari konglomerasi, yakni: a. Kualitas. Perusahaan induk biasanya memanfaatkan anak perusahaannya hanya untuk memperkaya konglomerat secepat
Universitas Sumatera Utara
55
mungkin dengan cara apa saja, tanpa peduli mutu dan kualitas produk yang dihasilkan. Contohnya, perusahaan induk mendesak anak perusahaan untuk mengurangi biaya demi menaikkan keuntungan/laba. b. Kemiripan. Dengan adanya channel media yang banyak lahir dari satu perusahaam media induk, hal ini dikhawatirkan akan mengurangi diversitas isi media, dan memperbesar kemiripan sajian informasi dibeberapa media. c. Instabilitas
Korporat.
Konglomerasi
juga
menimbulkan
ketidakstabilan. Perusahaan induk yang mengejar profit akan segera menjual anak perusahaannya yang diperkirakan tidak menguntungkan untuk mendapatkan dana tunai.
2.4 Model Teoretik Secara garis besar model teoretik penelitian ini menggunakan model encoding-decoding yang diformulasikan oleh Stuart Hall berdasarkan kerangka pemikiran yang akan dijabarkan melalui skema berikut dibawah ini. Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa kerangka pemikiran merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena penelitian kualitatif, serta kemungkinan akan melahirkan asumsi yang dapat digunakan dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Sekaran (2000) mengatakan bahwa kerangka berpikir dapat diartikan sebagi model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali (diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan (Castella: 2014).
Universitas Sumatera Utara
56
Gambar 2.2 Film Dokumenter (Di Balik Frekuensi) Interpretasi Penonton terhadap Konglomerasi Media
Posisi Penonton
Hegemoni Dominan
Negosiasi
Oposisi
Universitas Sumatera Utara