BAB II UPACARA SYUKURAN NGAPATI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
A.
Upacara Syukuran Ngapati 1. Definisi Upacara Syukuran Ngapati Upacara, menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. 1 Sedangkan Purwadi dalam bukunya “Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal”, menjelaskan bahwa upacaraupacara daur hidup, dalam masa kehamilan hakikatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan mala petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan, mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan tidak ada kesulitan.2 Kata
syukuran menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
adalah mengadakan selamatan untuk bersyukur kepada tuhan.3
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2012), hlm. 1369. 2 Purwadi, Upacara Tradisonal Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), hlm. 130. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Op. cit., hlm. 1533.
21
22
Menurut Yana MH. dalam buku “Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa” bahwa jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau perlindungan dari bencana, maka selamatan harus diadakan. Tujuan utama selamatan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam selamatan orang jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan sematamata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.4 Sedangkan Ngapati adalah upacara atau selamatan yang diadakan oleh komunitas masyarakat Jawa untuk memperingati keberadaan janin yang dikandung ketika memasuki usia 4 bulan diambil dari bahasa Jawa papat (empat).5 Dibuku “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”, Karya Muhammad Sholihin dijelaskan bahwa jika seorang istri hamil mencapai usia 120 hari (4 bulan), maka diadakan ritual yang disebut upacara ngapati, karena tepat pada usia 4 bulan (sasi papat) dan juga disebut ngupati karena salah satu menu yang disediakan sebagai jamuannya adalah
4
Yana MH., Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang,2012), hlm. 119. 5 Hasan Su’aidi, Korelasi Tradisi Ngapati dengan Hadist Penciptaan Manusia,(Pekalongan: Jurnal Hukum Islam STAIN Pekalongan, No.1 April, V, 2007), hlm. 128.
23
ketupat (kupat). Tujuannya agar janin dan kandungan ibunya, selalu diberi keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan selalu.6 Sedangkan Abu An’im dalam bukunya “Fiqh Kehamilan dan Kelahiran” menjelaskan bahwa saat janin (embrio) berusia (empat bulan) dalam kandungan, mulailah kehidupan, sebab pada masa itu si janin diberi ruh, dan dan ditentukan rizkinya, ajalnya, langkah-langkah perilakunya dan sebagai orang yang celaka atau orang yang beruntung. Maka janin pada masa itu oleh sebagian masyarakat dirayakan dengan selamatan
(tasyakuran)
dengan
mengadakan
walimah
ngupati
(kandungan berumur 4 bulan), diisi dengan bersedekah dan berdo’a.7 Jadi upacara syukuran ngapati adalah salah satu tradisi yang berkembang ditengah masyarakat Islam Indonesia, khususnya Jawa. upacara tersebut diadakan sebagai bentuk tanda syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan, disamping permohonan atas keselamatan dan kesejahteraan janin. Acara ini dilaksanakan ketika umur janin mencapai usia 4 bulan. Karena janin pada saat itu telah sampai pada tahapan yang penting.8 2. Waktu Pelaksanaan Upacara Syukuran Ngapati Penyelenggaraan upacara dapat dilaksanakan menurut keinginan yang punya hajat, kecuali hari Jum’at. Karena hari Jum’at merupakan
6
Muhammad Sholihin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm.
71. 7 8
Abu An’im, Fiqh Kehamilan & Kelahiran, (Kediri:CV. Soemenang, 2009), hlm. 27. Hasan Su’aidi,. Op.cit., hlm. 129.
24
pantangan untuk menyelenggarakan upacara tradisional. Penyelenggaraan upacara dapat dilaksanakan sore hari, sesudah asar, sebelum maghrib.9 3. Tujuan Upacara Syukuran Ngapati Upacara
syukuran
ngapati
dimaksudkan
sebagai
langkah
antisipasi, memohon kepada Allah agar semuanya menjadi baik disisi Allah. Inti ritual sebenarnya adalah berdo’a mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang bermanfaat, yang penuh nilai-nilai ibadah, beruntung didunia dan diakhirat. Ia dapat menjadi generasi Islam yang shalih dan shalihah.10 4. Perlengkapan dalam Upacara Syukuran Ngapati Pada saat kandungan berumur empat bulan, persiapan dan perlengkapan terdiri dari: a. Nasi uduk atau nasi punar yang dibuat kuning dengan kunyit, adapun lauk-pauknya, yaitu sambal goreng ati, daging kerbau, ampela, dan jantung. b. Kue apem yang terbuat dari beras, diberi ragi dan gula kelapa. c. Ketupat dengan bentuk tertentu, yakni kupat sinta, kupat luwar, dan kupat jago.11
9
Purwadi, Op.cit., hlm. 134. Muhammad Sholihin, Op. cit., hlm. 72. 11 Nanik Herawati, Mutiara Adat Jawa, (Klaten: PT. Intan Pariwara,2010), hlm. 43. 10
25
B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan aspekaspek rohaniyah dan jasmaniyah juga harus berlangsung secara bertahap. Akan tetapi, suatu proses yang digunakan dalam usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan anak didik (manusia) kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individu, sosial, dan hamba tuhan yang mengabdikan diri pada-Nya. Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berawarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan ajaran agama Islam.12 Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktik pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.13 Pendidikan Islam lebih diarahkan pada keseimbangan dan keserasian hidup manusia. Sebagaimana pendapat Omar Moh al-Toumy al-Syaibany yang menyatakan pendidikan Islam adalah usaha mengubah
12
Ahmad Tafsir, ilmu pendidikan Islam dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2005), hlm. 24. 13 Al-rasyidin, Pendekatan Historis Teoristis Dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Prerss, 2005), hlm. 25.
26
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan. Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam.14 Menurut pemikiran Hasan Langgulung bahwa pendidikan dapat dilihat dari tiga segi yaitu : a.
Pendidikan
dari
segi
pandangan
individu
adalah
proses
menampakkan (manifestasi) yang tersembunyi (latent) pada peserta didik. b.
Pendidikan
dari
segi
pandangan
masyarakat
adalah
proses
pemindahan, seseorang tidak dapat atau tidak perlu melakukannya sendiri. c.
Pendidikan ketiga memandang bahwa pendidikan adalah interaksi antar potensi dan budaya, dimana kedua proses itu berjalan bersamasama, isi mengisi satu sama lain.15 Pendidikan Islam secara umum adalah ilmu pendidikan yang
berdasarkan Islam. Islam adalah norma agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berisi seperangkat dan bersumber pada AlQur’an dan Hadits serta akal. 2. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam atau tujuan pendidikan-pendidikan lainya, mengandung didalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai dengan
14
Omar Moh. Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,Terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang,1979), hlm. 399. 15 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: Pustaka AlHusna,1988), hlm. 3-4.
27
pandangan masing-masing yang harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan konsisten dengan mengunakan sarana-sarana fisik dan non fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilainya.16 Sementara tujuan pendidikan Islam menurut Zakiyah Darajat adalah terwujudnya kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa.17 Sedangkan menurut M. Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melaui proses tertentu. Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi tujuan pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu.18 Tahapan-tahapan pendidikan Islam meliputi: a. Tujuan tertinggi/terakhir Dalam tujuan pendidikan Islam, tujuan tertinggi atau terakhir ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia, dan peranannya sebagai makluk ciptaan Allah, yaitu: 1) Menjadi hamba Allah. Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah pada Allah. Tujuan hidup yang dijadikan
tujuan pendidikan itu diambil dari al-
Qur’an, surat Al-Dzariat ayat 56:
16
M. Arifin, Ilmu Pendidkan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2003), hlm. 53. Zakiyah Darajat, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992). hlm. 86. 18 M. Arifin, Op.cit., hlm. 223. 17
28
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.19 2) Mengantarkan subjek pendidik menjadi khalifatullah fil-ard (wakil Tuhan di bumi). Manusia
yang
mampu
memakmurkan
bumi
dan
melestarikannya. Dalam konteks sosiologis sebagai khalifatullah mampu menata kehidupan yang baik yang dilandasi normanorma ilahiyah dan insaniyah. Dalam konteks teknologis seorang khalifatullah mampu mengali potensi-potensi alam agar dapat terpelihara dan terjaga dari kerusakan lingkungan, dan sebaliknya dapat mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. AlAn’am:165)
Artinya: “Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadu.Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.20 19
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Cahaya Qur’an,2006),
hlm. 523. 20
Ibid, hlm. 150.
29
3) Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Tujuan ini merupakan tujuan yang dicita-citakan oleh setiap Muslim. Dalam mencapai tujuan yang diharapkan seseorang bisa melakukannya dengan usaha maksimal yang relevan dengan disertai do’a. (Q.S. Al-Qashash:77)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.21 b. Tujuan umum Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan pendekatan filosofis, tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum
berfungsi
sebagai
arah
yang taraf
pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku
dan
kepribadian
subjek
didik,
sehingga
menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
21
Ibid, hlm. 394.
mampu
30
c. Tujuan khusus Tujuan khusus ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi dan tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan umum.22 3. Dasar Pendidikan Islam Bangunan yang kokoh tentulah memerlukan pondasi yang kuat, pondasi tersebut pada gilirannya dapat menopang dan mempertahankan bangunan tersebut sesuai dengan cita-cita yang diharapkan, begitu pula pendidikan agama Islam, sesuatu yang fundamental, karena dari sanalah manusia berharap berkembangnya peradaban manusia yang mempunyai akhlak baik dan tentunya bernafaskan agama. Setidaknya dasar-dasar pendidikan agama Islam dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu : a. Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pendidikan.23
22
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigm Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95-103. 23 Syamsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2001), hlm. 75.
31
b. Sunah (Hadits) Seperti Al-Qur’an, as-Sunah berisi aqidah dan syariah, selain itu sunnah juga berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru pendidik utama. Hal ini pernah dicontohkan beliau, pertama, dengan menggunakan rumah al-Arqam Ibn Abi Al-Arqam sebagai tempat menuntut ilmu, kedua, dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis 10 (sepuluh) orang Islam,24 ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.25 c. Perkataan, perbuatan dan sikap para sahabat Pada masa Khulafaur Rasyidin sumber pendidikan Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur’an dan Sunnah juga perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dijadikan peganggan, karena Allah sendiri didalam Al-Qur’an yang memberikan pernyataan. d. Kemaslahatan masyarakat Pengertian masholikhul marsalah yaitu menerapkan peraturan atau undang-undang yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan
24 25
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 22. Zakiyah Darajat, et.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 21.
32
Sunah atau pertimbangan penolakan kebaikan penolakan kerusakan di masyarakat. e. Nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat f. Ijtihad Ijtihad secara terminologi adalah mencurahkan kesanggupan yang ada
dalam
membahas
(menyelidiki)
suatu
masalah
untuk
mendapatkan suatu hukum yamg bertitik tolak kepada kitab dan sunnah.26 Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunah yang seolah-olah akal sehat dari para ahli pendidikan agama Islam. Ijtihad tersebut harus dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu.27 4. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Nilai adalah suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Yang secara eksplisit menyertakan proses pertimbangan nilai seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat dan ciri-ciri nilai.28 Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan. Institusional yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Pandangan Freeman But dalam bukunya “Cultural History Of Western Education” yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib 26
Alauidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 127. Zakiyah Darajat, Loc.cit., hlm. 21. 28 R. Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 11. 27
33
menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai.29 Lebih dari itu, fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan
nilai-nilai
dinul
Islam
serta
memenuhi
aspirasi
masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan
bagi
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat.
Nilai
pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.30 Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi output bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas. Dengan banyaknya nilainilai Islam yang terdapat dalam pendidikan Islam, maka penulis mencoba membatasi bahasan dalam penulisan skripsi ini dan membatasi nilai-nilai pendidikan Islam dengan nilai pendidikan keimanan dan nilai pendidikan Akhlak (akhlakul karimah). a. Nilai Pendidikan Keimanan (Aqidah Islamiyah) Iman adalah adalah kepercayaan yang terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak (ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas 29
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 127. 30 Ibid, hlm. 128.
34
keseharian.31 Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan
lidah,
mengakui
benarnya
dalam
hati
dan
mengamalkannnya dengan anggota badan.32 Pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian yang pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman merupakan pilar yang mendasari keIslaman seseorang. Pembentukan iman harus diberikan pada anak sejak kecil, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Nilai-nilai keimanan harus mulai diperkenalkan pada anak dengan cara : 1) Memperkenalkan nama Allah SWT dan Rasul-Nya 2) Memberikan gambaran tentang siapa pencipta alam raya ini melalui kisah-kisah teladan 3) Memperkenalkan ke-Maha-Agungan Allah SWT.33 Rasulullah SAW. Adalah orang yang menjadi suri tauladan (Uswatu Khasanah) bagi umatnya, baik sebagai pemimpin maupun orang tua. Beliau mengajarkan pada umatnya bagaimana menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak-anaknya. Ada lima dasar pembinaan iman (Aqidah) yang harus diberikan
31
Yusuf Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), hlm.
32
Zainudin, et,al.,Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bina Aksara, 1991),
27. hlm. 97. 33
M. Nippan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,2001) Cet.II, hlm. 176.
35
pada
anak,
yaitu
membaca
kalimat
tauhid
pada
anak,
menanamkan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, mengajarkan Al-Qur’an dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan.34 Iman (Aqidah) yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang merupakan hal yang penting dalam perkembangan pendidikan anak. Salah satu yang bisa menguatkan aqidah adalah anak memiliki nilai pengorbanan dalam dirinya demi membela aqidah yang diyakini kebenarannya akan semakin kokoh aqidah yang ia miliki.35 Nilai
pendidikan
keimanan
termasuk
aspek-aspek
pendidikan yang patut mendapatkan perhatian pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini kepada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang tua dengan penuh kesungguhan. Pasalnya iman merupakan pilar yang mendasari iman seseorang. Pembentukan iman seharusnya diberikan kepada anak sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin di dalam kandungan
34
M. Nur Abdul Hafizh. “Manhaj Tarbiyah Al Nabawiyyah Li Al-Thift”, Penerjemah Kuswandini, dkk., Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW, (Bandung: Al-Bayan, 1997), hlm. 110. 35 Ibid, hlm. 147.
36
telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya.36 Oleh karena itu, pendidikan keimanan harus dijadikan sebagai salah satu pokok dari pendidikan kesalehan anak. Dengannya dapat diharapkan bahwa kelak ia akan tumbuh dewasa menjadi insan yang beriman kepada Allah SWT., melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan keimanan yang sejati bisa membentengi dirinya dari berbuat dan berkebiasaan buruk. b. Nilai Pendidikan Akhlak (Akhlakul Karimah) Dalam kamus ilmiah, akhlak diartikan budi pekerti, tingkah laku, atau perangai seseorang. dalam
pengertian
37
sehari-hari
Ismail Thaib menyatakan bahwa perkataan
akhlak
umumnya
disamakan dengan sopan santun atau kesusilaan.38 Sedangkan Daud ali menyebutkan bahwa: Akhlak adalah sikap yang menimbulkan kelakuan baik atau buruk. Akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Dalam garis besarnya ajaran akhlak berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia terhadap Khalik (tuhan maha pencipta), dan terhadap sesama mahluk (segala yang diciptakan 36
Zakiyah darajat, “Pendidikan Anak dalam keluarga : tinjauan psikologi agama”, dalam jalaudin rahmat dan muhtar gandatmaja, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, (Bandung:Remaja Rosda Karya,1993), hlm.60. 37 Pius A. Partanto, et.al., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 14 38 Ismail Thaib, Risalah Akhlak, (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984), hlm. 4.
37
oleh Khalik). Sikap terhadap sesama mahluk dapat dibagi dua yaitu, pertama, akhlak terhadap sesama manusia yakni diri sendiri, keluarga, tetangga dan masyarakat. kedua, akhlak terhadap mahluk bukan manusia yang ada disekitar lingkungan hidup yakni tumbuhan, hewan, dan akhlak terhadap bumi ,air serta udara. 39 Akhlak juga disebut sebagai keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari padanya melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat dalam jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak kalau
terpenuhinya
beberapa syarat yaitu : 1) perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, 2) perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dahulu sehingga benar-benar merupakan suatu kebiasaan.40 Dari beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: bahwa akhlak adalah suatu kebiasaan atau kehendak seseorang yang dapat mendorong melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk tanpa berpikir terlebih dahulu. Jadi kalau pengertian akhlak digabung dengan pengertian karimah yang artinya mulia, maka arti akhlakul karimah adalah perilaku manusia yang mulia atau dipandang baik yang dibiasakan dan perbuatan baik atau mulia yang dipandang baik oleh akal serta ajaran Islam.
39 40
Ibid, hlm. 348. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), hlm. 4.
38
Bilamana perbuatan-perbuatan yang timbul dari jiwa yang baik maka disebut akhlak yang baik (akhlak mahmudah) atau akhlakul karimah
sedangkan
jika
yang
timbul
kebalikanya,
maka
keadaannya disebut akhlak yang buruk (akhlak mazmumah). Dalam ajaran Islam, perwujudan Akhlak atau perillaku muslim dapat terimplementasikan melalui aplikasi nilai/norma yang senantiasa mendasarkan pada ajaran-ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua asas diatas tersebut, membentuk sistem nilai yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup (Iman) dan sikap hidup (akhlak), yang saling berinteraksi dalam mengatur kehidupan dan penghidupan manusia dalam semua aspek dan dimensi, baik individu maupun kelompok. C.
Budaya Jawa dan Pendidikan Islam Penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih yang mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang telah hidup dalam kegelapan animisme-dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Dalam cerita Babad Tanah
39
Jawa diterangkan bahwa Raja Majapahit tidak mau menerima agama baru, sehingga Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para da’i agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisir dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.41 Sikap religius manusia Jawa tersebut meliputi segala aspek kehidupan yang tidak lepas dari semua pemikiran Jawa. Semua perilaku orang Jawa selalu bertumpu pada kayakinan yang bersifat religius. Rasa religius itu dapat dilihat dalam tradisi Jawa yang berhubungan dengan kelahiran, kematian atau dalam kehidupan keseharian seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan rumah, memulai suatu kerja penting dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, orang Jawa selalu melakukannya dengan dasar perhitungan yang cermat dengan landasan keyakinan supranatural sejalan dengan perkembangan dan perjalanan paham ke Tuhanan masyarakat Jawa (sejak zaman animisme, Hindu, Budha, Islam, dan sebagainya, hingga berkembang menjadi kepercayaan yang dinamakan kejawen).42 Sementara itu, dalam penyebaran agama Islam memiliki sikap toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan Jawa. Hal ini terjadi karena jika lihat dalam surat Al-Hujurat ayat 13, tampak terdapat semangat untuk membuka diri terhadap peradapan luar. Ayatnya berbunyi: 41 42
Ridin Sofwan, dkk., Islam Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 32. Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam, (Yogyakarta: Narasi,2003), hlm. 30.
40
Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.43 Kata kunci dari ayat tersebut adalah saling mengenal.
Islam sudah memandang dirinya sebagai agama yang membuka diri dengan agama-agama lain dan dengan produk-produk kebudayaan manusia yang lain. Karena memang kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Oleh karena itu, Islam praktis tidak bisa menutupi diri dari bayang-bayang produk-produk kebudayaan manusia lainnya.44 Hubungan antara Islam dan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, yang secara bersama-sama menentukan nilai mata uang tersebut. Pada satu sisi, Islam yang datang dan berkembang di Jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara itu, pada sisi yang lain,budaya Jawa makin dipekaya oleh khazanah Islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan ciri yang khas sebagai budaya yang
43
Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 517. M. Imdadun Rachmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama, Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 207. 44
41
sinkretis, yakni Islam Kejawen (agama Islam yang bercorak kejawen). Pada titik inilah terjadi semacam “simbiosis mutualisme” antara Islam dan budaya Jawa. Keduanya (yang kemudian bergabung menjadi satu) dapat bekembang dan diterima oleh mayarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal, antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang sangat memungkinkan untuk saling berkonfrontasi.45 Akulturasi dan adaptasi keIslaman orang Jawa disebut kejawen atau juga disebut agama jawi yang juga merupakan keyakinan campuran mistik konsep hindu-budha yang selanjutnya disebut sebagai agama Islam yang varian. Pemeluk agama jawi dalam melakukan bermacam aktifitas dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya.46 Kebudayaan Jawa memandang kebatinan atau kejawen sebagai salah satu varian dari agama Islam. Perwujudan Islam di Jawa dapat dibagi menjadi dua varian yaitu agama Islam Jawa (kejawen) yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam serta santri yang mengikuti ajaran agama secara taat. Bentuk agama orang Jawa, baik para pengikut kebatinan (kejawen) ataupun sering yang sering digolongkan sebagai abangan, merupakan sinkretis antara unsurunsur pribumi, Hindu-Budha, dan Islam. Walaupun mereka banyak yang belum menjalankan shalat lima waktu dan shalat jum’at, namun mereka banyak yang taat berpuasa bulan Ramadhan. Mereka sangat yakin akan 45 46
Dhanu Priyo Prabowo, Op. cit., hlm. 9-10. Ridin Sofwan, Op. cit,. hlm. 67.
42
adanya Allah. Dan seperti halnya orang muslim pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah nabi-Nya.47 Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhan dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis dimana dia hidup. Perbedaan keberagaman muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentitas, tapi lebih pada cara pandang pemeluk muslim terhadap teks kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus aktual dan tradisi setempat.48 Dalam pandangan Islam semua nilai yang melembaga dalam tatanan kehidupan masyarakat dapat diterima atau ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tatanan nilai yang ada dalam masyarakat dengan menggunakan lima macam klasifikasi, yaitu: 1.
memelihara unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif.
2.
Menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan tetapi negatif.
3.
Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma yang belum ada dan di anggap positif.
47
Yana MH., Op.cit., hlm.125. Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keahlian Gender), (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2007), hlm. 87. 48
43
4.
Bersikap menerima, memelihara, memilih, mencerna, menggabunggabungkan, dalam satu sistem dan menyampaikan pada orang lain terhadap nilai pada umumnya.
5.
Menyelenggarakan penyucian nilai dan norma agar sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma Islam sendiri. 49
49
Abdul Khobir, Op. cit., hlm. 41- 42.