BAB II TINJUAN PUSTAKA
2.1. LANDASAN TEORI 2.1.1.Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan
nilai-nilai
justice,
dan
bagaimana
perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan dalam kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie dan Parker, 1990). Penelitian Basamalah et al (2005) yang melakukan review atas social and environmental reporting and auditing dari dua perusahaan di Indonesia, yaitu PT Freeport Indonesia dan PT Inti Indorayon, mendukung prediksi legitimacy theory tersebut.
7
8
Di Indonesia kegiatan CSR telah diatur dalam undang – undang sejak 16 Agustus 2007 melalui Undang – Undang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), UU ini mengikat semua jenis korporasi yang berbentuk Perseroan Ter6batas baik itu berstatus swasta maupun Milik Negara. Pengikat perusahaan berbadan BUMN mengenai CSR telah diatur dalam UU tentang BUMN pasal 2 juncto pasal 66 Ayat 1, UU Nomor 19 tahun 2003 pasal 8 keputusan Menteri Negara Nomor 236 tahun 2003. Berbagai alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan informasi CSR secara sukarela telah diteliti dalam
penelitian
sebelumnya, diantaranya adalah karena untuk mentaati peraturan yang ada, untuk memperoleh keunggulan kompetitif melalui penerapan CSR, untuk memenuhi ketentuan kontrak pinjaman dan memenuhi ekspektasi masyarakat, untuk melegitimasi tindakan perusahaan, dan untuk menarik investasor (Deegan dan Blomquist, 2001; Hasnas, 1998; Ullman, 1985; Patten, 1992; dalam Basamalah et al, 2005). Pengungkapan informasi CSR itu sendiri merupakan suatu hal yang bersifat endogeneous (Core, 2001; Healy dan Palepu, 2001). Berbagai penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor determinan yang mempengaruhi informasi
perusahaan
CSR
profitabilitas,
d
telah an
dalam
banyak profil
melakukan
dilakukan.
industri
pengungkapan
Ukuran
berkorelasi
perusahaan,
positif
dengan
pengungkapan informasi CSR (Haniffa et al, 2005; Cowen et al, 1997; Trotman et al, 1981; Kelly, 1981; Sembiring, 2003; Sembiring, 2005; Sayekti, 2006; McGure et al, 1988; Roberts, 1992, Utomo 2000, dan
9
Anggraini, 2006). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa tingkat leverage juga berkorelasi dengan tingkat pengungkapan informasi CSR, meskipun hasilnya beragam. Roberts (1992) menemukan korelasi yang positif, sedangkan Sembiring (2003) dan Sayekti (2006) menemukan korelasi yang negatif. Selanjutnya, Haniffa et al (2005) dan Sembiring (2005) tidak menemukan korelasi antara tingkat leverage dan pengungkapan CSR. Faktor-faktor corporate governance juga d ikorelasikan dengan tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan. Ukuran dewan komisaris, ukuran komite audit, kualitas auditor eksternal, dan struktur kepemilikan berkorelasi positif dengan pengungkapan CSR (Haniffa et al, 2005; Sembiring, 2005; Anggraini, 2006; Sayekti, 2006).
2.1.2.Default risk Risiko kegagalan (default risk) adalah kemungkinan obligasi gagal jual karena ketidaksanggupan penerbit obligasi membayar bunga atau pembayaran nilai nominal obligasi pad saat jatuh tempo. Obligasi yang tidak mempunyai risiko kegagalan disebut obligasi bebas kegagalan (default-free bond), yaitu obligasi pemerintah (treasury bond). Obligasi pemerintah merupakan obligasi bebas risiko karena pemerintah dapat meningkatkan pajak atau menerbitkan obligasi baru untuk membayar obligasi jatuh tempo bilamana keuangan pemerintah mengalami defisit.Perbedaan antara tingkat bunga obligasi berisiko (default risk bond). Default Risk juga berkaitan dengan risiko gagal bayar, artinya risiko penerbit obligasi yang
10
mengalami kebangkrutan. Akibat adanya risiko ini, obligasi yang memiliki default risk dalam perdagangan di pasar obligasi mempunyai harga yang rendah dibandingkan dengan U.S Treaasury securities. Dilain pihak, obligasi ini dalam perdagangan di pasar obligasi memiliki yield yang lebih besar dari treasury bond. Studi mengenai gagal bayar obligasi
sesungguhnya
diturunkan
dari
studi
kebangkrutan
(bankcrupty). Suatu korporasi yang bangkrut berarti tidak dapat memenuhi kewajibannya, karena obligasi merupakan bagian dari kewajiban, maka dapat diasumsikan bahwa secara teknis emiten dalam keadaan bangkrut. Default risk merupakan default risk terhadap sejumlah pinjaman kredit yang telah dipinjam. Persoalan default risk ini sering di alami debitur pada saat debitur tidak dapat mengembalikan pinjaman secara tepat waktu yang disebabkan beberapa hal, seperti: 1.
Kondisi makro ekonomi yang tidak stabil, seperti terjadi krisis moneter;
2.
Kerugian akibat turunnya volume penjualan secara sistematis;
3.
Terjadi korupsi besar-besaran;
4.
Terjadi kudeta dan kekacauan lain.
Kebijakan yang dapat ditempuh untuk menghindari default risk yaitu : 1.
Bagi kreditor akan menaikkan angka jaminan pada tingkat yang benar-benar aman.
2.
Menghindari jaminan yang memiliki tingkat risiko tinggi;
3.
Menghindari jaminan yang memiliki nilai fluktuasi dipasaran.
11
2.1.3.Kapabilitas Perusahaan Kapabilitas Perusahaan (corporate capability) adalah bagaimana suatu perusahaan atau organisasi meng-utilisasi resourcesnya, terutama pegawai yang ada dan menetapkan proses bisnis yang terbaik
dalam
rangka
mewujudkan
sasarannya.
Kapabilitas
perusahaan ini, selanjutnya dapat pula menjadi identitas suatu organisasi, karena secara unik dapat membedakan antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain. Ada beberapa cara untuk membangun
kapabilitas
organisasi
yaitu
pertama,
melalui
pengembangan internal, kedua melalui akuisisi, ketiga melalui pendirian organisasi khusus dengan fokus pengembangan kapabilitas (Clayton M. Christensen , 2001). Setiap perusahaan membutuhkan kapabilitas dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya agar dapat mampu bersaing dan hidup berkelanjutan di pasar. Menurut Sampurno (2011:40)
kapabilitas
merepresentasikan
seperangkat
sumber
terintegrasi yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas – aktivitas penting. Kapabilitas atau kemampuan menyatu dalam pengetahuan dan keterampilan pekerja atau individu yang ada dalam perusahaan ataupun organisasi. Kapabilitas diartikan sebagai potensi untuk menjalankan aktivitas tertentu atau serangkaian aktivitas. Terkadang istilah “kecakapan” digunakan untuk merujuk pada kemampuan kita menjalankan aktvitas fungsional, sementara “kapabilitas” dianggap bagaimana mengkombinasikan berbagai kecakapan.
12
2.1.3.Kompleksitas Lingkungan Kompleksitas Lingkungan Kompleksitas lingkungan adalah fungsi dari kekuatan, jumlah dan hubungan antara kekuatan khusus dan umum yang dikelola organisasi. Makin besar jumlah dan perbedaan antara keduanya, makin kompleks dan tidak pasti lingkungan yang dihadapi, dan makin sulit organisasi untuk memprediksikan dan mengendalikannya. Kompleksitas dapat meningkat saat kekuatan khusus dan umum di lingkungan saling berhubungan. Semakin tinggi hubungan antar kekuatan itu di lingkungan khusus dan umum perusahaan,
makin
tinggi
pula
ketidakpastian
yang
dihadapi
organisasi. Makin kompleks lingkungan organisasi, ketidakpastian akan besar dalam lingkungan itu. Prediksi dan pengendalian aliran sumber daya sulit dan masalah yang berhubungan pengelolaan transaksi dengan lingkungan meningkat. Kompleksitas (keragaman) lingkungan menunjukan geterogenitas atau banyaknya elemen-elemen eksternal yang berpengaruh terhadap berfungsinya suatu organisasi. Lingkungan terdiri dari jenis lingkungan yang sangat kompleks hingga lingkungan yang sangat sederhana, dimana hanya ada sedikit elemen yang berpengaruh terhadap organisasi. Lingkungan yang kompleks dan juga tidak stabil merupakan segmen lingkungan dengan tingkat ketidakpastian yang paling tinggi. Terdapat sejumlah besar elemen lingkungan yang selalu berubah secara tidak terduga dan tanpa dapat dimengerti, sehingga menjadi sulit untuk dianalisis dan menimbulkan ketidakpastian yang tinggi bagi organisasi.
13
Ketidakpastian
lingkungan
menunjukkan
kepada
keadaan
dimana perusahaan (atau pimpinannya) tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai keadaan lingkungannya, sehingga akan menyebabkan timbulnya kesulitan dalam memperkirakan perubahan perubahan
lingkungan
yang
akan
terjadi,
ketidakpastian
ini
menyebabkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh organisasi mempunyai resiko kegagalan yang tinggi.
2.2. PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.2.1.CSR dan default risk CSR merupakan aktivitas positif yang dilakukan perusahaan terhadap
lingkungan
kepentingan
di
yang
masyarakat
diharapkan
oleh
(Brown
Dacin,
&
para
pemangku
1997;
Sen
&
Bhattacharya, 2001; Varadarajan & Menon, 1998). Efek CSR pada pengurangan default risk terjadi pada beberapa aspek. Pertama, CSR mampu menghasilakan arus kas masuk pada perusahaan. Hal ini merupakan yang paling sering dijelaskan pada banyak literatur. Contohnya, CSR berhubungan erat dengan kepuasan konsumen yang dapat menghasilakan profitabilitas perusahaan (Luo & Bhattacharya, 2006). Kedua, gagal bayar ditentukan tidak hanya dari tingkat arus kas namun juga dilihat dari volatiltas arus kas. CSR diketahui dapat membantu kestabilan performa keuangan perusahaan dengan cara mengembangkan citra dan reputasi (Carter, 2005). Ketiga, kegiatan CSR
menggambarkan
usaha
perusahaan
yang
efektif
dalam
menciptakan aset tak berwujud yang berharga (Luo & Bhattacharya,
14
2009; McWilliams & Siegel, 2001). Oleh karena itu, nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan CSR dapat berdampak pada pengurangan default risk perusahaan. CSR merupakan upaya perusahaan penting yang memproduksi aset perusahaan yang berharga. Secara khusus, CSR meningkatkan arus kas perusahaan, mengurangi volatilitas pendapatan, menciptakan nilai perusahaan, dan menghasilkan aset asuransi yang melindungi perusahaan dari gagal bayar. Oleh karena itu, diambil hipotesis: H1 : Corporate Social Responsibility (CSR) akan berhubungan secara negatif dengan default risk perusahaan.
2.2.2.Kapabilitas perusahaan, CSR, dan default risk Para peneliti mengemukakan bahwa sumber daya saja mungkin tidak cukup untuk membantu perusahaan mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Miller, 2003; Ray, Barney, & Muhanna, 2004). Sebaliknya, kapabilitas perusahaan harus menjadi penentu utama dalam mencapai keunggulan perusahaan. Kapabilitas adalah '' sebuah ikatan kompleks dari keterampilan dan pembelajaran kolektif, dilatih melalui proses organisasi, yang menentukan koordinasi unggul dari kegiatan fungsional. . .. '' (Day, 1994, hal. 38). Telah diketahui jika kapabilitas perusahaan tidak hanya secara kuat meningkatkan performa
perusahaan
(Vorhies
&
Morgan, 2005), tetapi juga
memoderasi hubungan antara atribut perusahaan dan pendapatan (e.g., Kotabe, Srinivasan, & Aulakh, 2002; Luo & Bhattacharya, 2006). Oleh karena itu, kapabilitas yang tinggi akan meningkatkan efek CSR
15
dalm penurunan default risk perusahaan. Sehingga dapat ditarik hipotesis: H2 : Kapabilitas perusahaan akan memperkuat hubungan antara CSR dengan default risk perusahaan. Ketika kapabilitas tinggi, CSR akan memiliki
dampak
yang
kuat
pada
pengurangan
default
risk
perusahaan.
2.2.3.Kompleksitas lingkungan, CSR, dan default risk Kompleksitas
lingkungan
telah
didefinisikan
sebagai
“heterogenitas” dan “pemusatan unsur – unsur lingkungan,” dan konsep ini mengikutsertakan faktor – faktor seperti jumlah pesaing, tingkat keberagaman, dan distribusi dari unsur – unsur lingkungan tersebut (Keats & Hitt, 1988, p.579). Peran CSR dapat berbeda pada pasar dengan komplektitas yang tinggi atau rendah. Hal ini dapat dilihat
dari
beberapa
aspek
operasional
perusahaan
seperti
pengembangan produk, eksplorasi pasar, orientasi pasar, perilaku konsumen, dan hubungan sosial. Oleh karena itu, dapat ditarik hipotesis: H3 : Kompleksitas lingkungan akan memperkuat hubungan antara CSR dengan default risk perusahaan. Ketika kompleksitas lingkungan tinggi, CSR akan memiliki dampak yang kuat pada pengurangan default risk perusahaan.
16
2.3. Penelitian Terdahulu Wenbin Sun, Kexiu Ciu (2014) Penelitian yang dilakukan Webin Sun dan Kexiu Ciu menggunakan variabel yang sama dengan penelitian ini. Variabel dependen adalah default risk
perusahaan
dan
variabel independen
adalah
corporate
social
responsibility (CSR) dengan tiga variabel moderasi yaitu kapabilitas, dinamisme lingkungan, dan kompleksitas lingkungan. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ditemukan adanya inkonsistensi signifikan pada variabel kontrol. Hutang perusahaan (hutang jangka panjang) secara positif berpengaruh pada default risk. Hasil dari penelitian ini juga mengatakan bahwa ketika perusahaan semakin besar, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan tersebut mengalami gagal bayar (Rego et al., 2009). Perusahaan yang memiliki banyak sektor bisnis akan mendapatkan lebih banyak pengalaman dan keuntungan dari persilangan sektor bisnis. Dalam penelitian ini mengatakan bahwa kapabilitas perusahaan memiliki pengaruh kuat pada pengurangan default risk perusahaan. CSR sama – sama memiliki peran penting pada perusahaan dengan kapabilitas tinggi maupun rendah. Dalam lingkungan yang kurang dinamis, peran CSR akan sangat terasa pada hubungan antara CSR dengan default risk. Akan tetapi lingkungan yang kompleks tidak memiliki dampak yang signifikan pada hubungan antara CSR dengan default risk.
17
2.4. Kerangka Pemikiran Berdasarkan
tinjauan
pustaka
dan
penelitian
terdahulu, maka
dihasilkan sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut: Dependen
Independen
Default Risk
CSR
1.Kapabilitas 2.Kompleksitas
Moderasi
1.Size 2.Leverage Kontrol Gambar II.1
Kerangka Pemikiran