BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN A. Perngertian Perjanjian Masyarakat Indonesia kerap kali meangalami kebingungan terhadap pengertian dari istilah Perjanjian, Pengertian, dan Kontrak. Perjanjian, diartikan secara luas meliputi berbagai bidang seperti Perjanjian Bilateral, Perjanjian Kawin, Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Sewa guna usaha, Perjanjian Waralaba, dan lain-lain. Di sisi lain, Kontrak diartikan sebagai perjanjian yang khusus dibuat di bidang bisnis seperti Kontrak Jual Beli, Kontrak Sewa, Kontrak Ekspor, Kontrak Sewa Beli, dan lain-lain.11 Kata “Kontrak” sebenarnya merupakan adopsi dari kata “Contract” yang berasal dari bahasa Inggris. Sedangkan “perjanjian” sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda.
11
Iswi Hariyani & R. Sefianto, Op.Cit., hal. 103.
Di samping itu ada istilah yang sepadan dengan istilah kontrak, yaitu istilah “transaksi” yang merupakan terjemahan dari istilah bahsa Inggris “transaction”. Namun yang paling lazim dan paling sering digunakan dalam dunia bisnis adalah istilah kontrak.12 Istilah kontrak muncul karena kebutuhan praktis, terutama dalam lingkungan bisnis.13 Menurut Henry Campbell Black, dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.14 Menurut Salim H.S. Kontrak adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.15 Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatakan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
12
Munir Fuady(II). Pengantar Hukum Bisnis menata Bisnis Modern di Era Global, Citra AdityaBakti, Bandung, 2005. hal. 9. 13 Dadang Sukandar. Membuat Surat Perjanjian. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta 2011. hal . 9. 14 Munir Fuady(II). Op.Cit., hal. 9. 15 Salim H.S.(II) Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2003. hal. 27.
perjanjian sepihak saja.16 Menurut R. Setiawan, definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :17 a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Subekti mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.19 Istilah perikatan sangat jarang digunakan oleh masyarakat awam, kita sering menjumpainya dalam istilah hukum yang berasal dari BW. Pasal 1233 menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan dalam Pasal 1234, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perikatan-perikatan dapat lahir dari kontrak atau perjanjian. 16
Mariam Darus Badrulzaman, dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 65. 17 Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern. PT. Refika Aditama, Bandung, 2004. hal. 41. 18 Subekti(I). Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta. 2002. hal.1. 19 Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Hal. 6.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang diperinci lagi atas, perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata (perikatan yang oleh undangundang dengan terjadinya suatu peristiwa tertentu ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum atau perikatan diantara pihak bersangkutan terlepas dari kemauan pihak tersebut) misalnya daluarsa, kematian, kelahiran (321 BW) dan perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai perbuatan orang (bahwa dengan dilakukannya serangkaian tindakan oleh seseorang, maka undang-undang meletakkan hubungan hukum perikatan antara orang tersebut) yang dibagi atas perbuatan halal ‘zaakwarneming’ (1354 BW) dan perbuatan melanggar hukum ‘onrechtmatigedaad’ (1365 BW). Buku III B.W. berjudul “Tentang Perikatan.” Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum dan perihal perikatan yang timbul dari perngurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan. Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian.20 Melihat batasan dari contract yang diberikan, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak mempunyai arti yang lebih kurang sama. Menurut Henry Campbell Black, dalam Black’s Law Dictionary juga dikatakan bahwa agreement mempunyai pengertian yang lebih luas daripada contract. Semua contract adalah
20
122.
Subekti(II). Pokok-pokok Hukum Perdata. Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 2001. hal.
agreement, tetapi tidak semua agreement merupakan contract. Sehubungan dengan hal tersebut, akan lebih jelas apabila melihat kepada rumusan atau pengertian yang diberikan oleh Subekti bahwa kontrak adalah lebih sempit daripada perjanjian karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.21 Transaksi adalah persetujuan jual beli, pelunasan, pembayaran.22 Istilah transaksi memiliki arti yang lebih sempit dari istilah kontrak, sedangkan istilah perikatan memiliki makna yang lebih luas dari perjanjian atau kontrak, karena perikatan dapat lahir dari baik menurut undang-undang maupun yang lahir dari suatu perjanjian atau kontrak.
B. Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain:23 1. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. 2. Perjanjian Cuma – Cuma Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. 21
Disitir oleh I.G. Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak. Penerbit Kesaint Blanc, Bekasi, 2007. hal. 12. 22 Ajarotni Nasution, dkk, Tesaurus Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008. hal. 83, 113. 23 Mariam Darus Badrulzaman, dkk.Op. Cit., Hal. 66.
3. Perjanjian Atas Beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 4. Perjanjian Bernama ( Benoemd ) Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. 5. Perjanjian Tidak Bernama ( Onbenoemde Overeenkomst ) Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya. 6. Perjanjian Obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. 7. Perjanjian Kebendaan ( Zakelijk ) Perjanjian
kebendaan
adalah
perjanjian
dengan
mana
seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). 8. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338). 9. Perjanjian Real Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak. 10. Perjanjian Liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada(Pasal 1438 KUHPerdata). 11. Perjanjian Pembuktian ( Bewijsovereenkomts ) Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yangberlaku di antara mereka. 12. Perjanjian Untung – untungan Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untunguntungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadianyang belum tentu. 13. Perjanjian Publik Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinated).
14. Perjanjian Campuran Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya. Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang (oleh undang-undang) diberikan suatu nama khusus disebut perjanjian bernama (benoemde atau nominaatcontracten) seperti jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, hibah, penitipan barang dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu disebut perjanjian tak bernama (obbenoemde atau innominaat contracten) seperti kontrak production sharing, joint venture, franchise, sewa guna usaha.
C. Asas – Asas dan Syarat Sah Perjanjian Di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai 19 Desember 1985 berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional Kedelapan asas itu antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Asas kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka di belakang hari. 2. Asas persamaan hukum Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama
dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. 3. Asas keseimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. 4. Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. 5. Asas moral Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. 6. Asas kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Dari bunyi ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa berhadapan dengan kekosongan perjanjian yang dibuat, maka ke dalam kekosongan tersebut dapat ditambahkan segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. 7. Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. 8. Asas perlindungan (protection) Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah. Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (asas pacta sunt servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Adapun penjelasan dari kelima asas itu sebagai berikut24 : 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak maksudnya para pihak bebas dalam menentukan bentuk dan isi dari perjanjian dengan ketentuan tidak dilarang oleh
24
Salim H.S.(II) Op. Cit., hal. 9.
undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat juga dianggap cukup sebagai suatu perjanjian yang sederhana dan mengikat bagi para pihak. Apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanya dimaksud sebagai alat pembuktian semata. Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan para pihak untuk a) membuat atau tidak membuat perjanjian; b) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 2. Asas Konsensualisme Asas Konsensualisme diadopsi dari Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi (1) sepakat mereka yang mereka yang mengikatkan dirinya. Berdasarkan asas ini juga menyatakan bahwa suatu perjanjian cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kontrak telah lahir dan mengikat para pihak begitu adanya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam kontrak sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu.25 Menurut Subekti, bahwa diambil asas tersebut berarti hanya perkataan sudah mengikat. Menurut beliau, pada dasarnya kontrak dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. 25
Dadang Sukandar. Op. Cit., Hal 11
3. Asas Kepastian Hukum Asas ini disebut juga dengan asas Pacta Sunt Servanda, dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.26 4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw) Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yan berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yag teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik yang mutlak, penormaannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menorma keadaan (penormaan tidak memihak) menurut norma-norma objektif.27 5. Asas Kepribadian (Personalitas)
26 27
Salim H.S.(I) Op.Cit. hal. 10. Ibid., hal. 11.
Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentiangan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentinagn dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi, “Perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi, “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseoraang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Pasal 1318 KUH Perdata menyimpulkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Syarat Sah Perjanjian Sebagai dasar hukum untuk syarat sah suatu perjanjian beralaskan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek perjanjian atau para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obektif karena menyangkut objek perjanjian. Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian secara otomatis dinyatakan batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan. Namun demikian, keputusan batal demi hukum itu harus didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri setempat. Sebaliknya, jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan apabila salah satu pihak meminta pembatalan kepada Pengadilan negeri setempat.28 Penentuan kata sepakat yang dimaksud dapat dilihat dari pendapat J. Satrio, sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptir (diterima/disambut) oleh lawan janjinya. Penawaran dan akseptasi bisa datangdari kedua belah pihak secara timbal balik. Selanjutnya yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud dengan sepakat di sini (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah sepakat pada saat lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya.29 Menurut Salim H. S, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan30 : 1. bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. bahasa yang sempurna secara lisan
28
Iswi Hariani & R. Sefianto. Op. Cit., hal.114 J. Satrio. Op. Cit., hal. 166. 30 Salim H.S.(II) Op. Cit., hal. 33. 29
3. bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya 4. bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya 5. diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan Pada umumnya kata sepakat dituangkan dalam isi perjanjian dan dikuatkan dengan adanya tanda tangan dari kedua belah pihak. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi meskipun telah tercapai kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena:31 1. kekhilafan atau kesesatan; 2. paksaan; 3. penipuan; 4. penyalahgunaan keadaan. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan adalah seseorang yang sudah dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan
setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-
perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tak cakap membuat suatu perjanjian adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa. 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. 3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
31
Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. Hal. 17.
Belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Berarti seseorang cakap melakukan suatu perbuatan hukum apabila telah mencapai umum 21 (dua puluh satu) tahun atau telah melangsungkan perkawinan meskipun belum mencapai usia tersebut. Dan apabila ia melakukan perceraian sebelum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, ia tetap dianggap sudah dewasa. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan juga dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, yaitu (Pasal 433 KUH Perdata) “setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.” Dari isi Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata dapat diketahui bahwa dalam Pasal ini ada dua kelompok orang yang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Kelompok pertama adalah orang-orang perempuan, dalam halhal ditetapkan oleh undang-undang, dan kelompok kedua adalah semua orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian. Orang-orang perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam ketentuan ini adalah istri. Dasar pemikiran diberlakukannya Pasal ini adalah anggapan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga, sehingga seorang istri kedudukannya menjadi di bawah suami, dan karenanya seorang istri menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.32
32
88.
C. S. T. Kansil, et. Al,. Model Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006. Hal.
Berkaitan dengan ketentuan ini maka pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran mahkamah Agung Nomor 3 yang intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 108 KUH Perdata dianggap tidak berlaku lagi. Namun ketentuan ini dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum karena hanya merupakan sebuah surat edaran, sehingga tidak dapat mencabut ketentuan dalam KUH Perdata. Berkaitan dengan kedudukan istri Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur : (1) hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (2) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mengenai ketidakmampuan seorang istri dalam kecakapan melakukan suatu perbuatan hukum sudah dihapuskan dengan ketentuan yang lebih bersifat khusus, yakni Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.33 Suatu obyek tertentu berdasarkan Pasal 1332 KUH Perdata hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Diberbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi terdiri atas : 1. memberikan sesuatu 2. berbuat sesuatu, dan 3. tidak berbuat sesuatu.
33
Imma Indra Dewi W. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perdata yang tidak cakap hukum di Kabupaten Sleman, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008. Hal. 562
Suatu sebab yang halal berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Contoh barang yang dilarang oleh undang-undang adalah narkoba, atau perdagangan manusia. Unsur-unsur dalam perjanjian Menurut J. Satrio, di dalam sebuah perjanjian terdapat beberapa unsurunsur meliputi: 1. unsur essensialia yang dimaksudkan dengan essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu perjanjian. Perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini memang ditentukan atau diharuskan oleh undang-undang karena bila tidak, perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak mengikat. Hal penting pula yang berkaitan dengan ketentuan pokok tersebut adalah mengenai hak dan kewajiban.34 2. unsur naturalia unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undangundang
diatur
dengan
hukum
yang
mengatur/menambah
(regelend/aanvullend recht). Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian. Namun, tanpa pencantuman syarat yang dimaksud pun, suatu perjanjian tetap sah. Hal34
I.G. Rai Widjaya. Op. Cit., hal. 118.
hal umum yang biasa termasuk di sini adalah cara pembayaran, waktu dan tempat penyerahan, biaya pengankutan.35 3. unsur accidentalia yaitu berbagi hal khusus (praticular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Kata accidental artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu memuat atau tidak. Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai suatu kepastian. Dan hal ini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar asas kebebasan berkontrak, asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.36
C. Teori Kepatutan Menurut Para Ahli Kepatutan berasal dari kata dasar “patut” yang artinya baik, layak, pantas, senonoh, sesuai benar. Jadi “Kepatutan” adalah kecocokan, kelayakan, kepantasan, kesesuaian.37 Hukum kontrak Romawi mengenal dua macam kontrak, yakni iudicia stricti iuris (suatu kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum) dan iudicia bonae fidei (bahwa kontrak harus sesuai dengan iktikad baik.) Domat dan Pothier sebagai penganut aliran hukum alam Romawi yang mendominasi pemikiran substansif isi Civil Code Perancis menyatakan bahwa hukum alam dan hukum kebiasaan menentukan bahwa setiap kontrak adalah bonae fidei, sebab kejujuran
35
Ibid., hal. 119. Ibid., hal. 120. 37 Ajarotni Nasution, dkk, Op. Cit., hal. 83, 113. 36
dan inregritas harus selalu ada dalam semua kontrak yang menuntut pemenuhan kontrak harus sesuai dengan kepatutan.38 Penafsiran patut menurut pendirian Hoge Raad adalah menetapkan arti atau maksud isi perjanjian. Hal yang menentukan pada penetapan isi perjanjian adalah arti yang diberikan oleh praktik pada isi perjanjian itu, buka maksud subjektif atau yang sebenarnya dari salah satu pihak.39 Undang-undang memberikan kebebasan para pihak untuk menetapkan isi perjanjian. Harapannya ialah agar melalui dan di dalam perjanjian para pihak saling memperjanjikan hal-hal sebaik dan selengkap mungkin. Sebagaimana telah disebutkan di atas, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Tentu saja yang paling menentukan adalah substansi dari perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Akan tetapi, jika perjanjian tidak lengkap atau dibuat dengan tidak sempurna, isi atau substansi perjanjian harus “ditambah” dengan undang-undang, kebiasaan, serta kepatutan dan kelayakan (redelijkheid en billijkheid). Oleh karena itu, undang-undang, kebiasaan, kepatutan, dan kelayakan dapat dikatakan merupakan sumber penambah atau pelengkap dari perikatan yang terjadi karena perjanjian.40 Menurut Tan Kamello, dalam KUH Perdata, kepatutan adalah salah satu tiang hukum yang wajib ditegakkan. Sebagai asas, fungsi kepatutan adalah
38
Ridwan Khairandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2004. hal.132 39 Ibid. 40 Herlien Budiono(I), Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010. hal. 134.
pertama, sebagai pedoman kerja bagi pembentuk undang-undang; kedua, sebagai, dasar untuk menginterpretasikan hukum (undang-undang dan kontrak); ketiga, sebagai dasar untuk melakukan analogi hukum.41 Menurut Herlien Budiono, asas-asas hukum khususnya hukum kontrak seharusnya didasarkan pada kesadaran hukum Indonesia yang hidup, baik berdasarkan hukum adat (semangat gotong royong, kekeluargaan, rukun, patut, pantas, dan laras maupun asas hukum modern (asas konsensus, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat). Untuk yang terakhir disebut asas-asas tersebut juga tumbuh kembang sesuai dengan perkembangan hukum kontrak dan dapat
ditemukan
di
dalam
perundang-undangan,
praktik
hukum,
dan
yurisprudensi.42 W. Friedmann menyebutkan kepatutan yang bebas cenderung untuk berbaur menjadi prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan tertentu, maka pelbagai metode menggunakan prinsip-prinsip kepatutan umum dalam perkembangan hukum cenderung untuk mendapat arti penting sebagai norma-norma politis dan sosial yang berubah dalam masyarakat yang terus berubah.43 Menurut Notohsmidjojo, ada 4 norma
yang sangat penting dalam
penggembalaan hukum, yaitu : kemanusiaan, keadilan, kepatutan (equity, billijkheid) dan kejujuran. Equity atau equitas adalah kepatutan yang wajib dipelihara dalam pengenaan undang-undang untuk menghilangkan ketajamannya. Contoh interpretasi Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatiige daad) tidak mengungkapkan pelanggaran undang-undang, atau 41
O. C. Kaligis. Asas Kepatutan dalam Arbitrase. Penerbit PT. Alumni. Bandung. 2009.
hal. 279. 42
Ibid., hal. 33-34. Friedmann. Teori & Filsafat Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. hal. 139.
43
hukum, melainkan juga kepatutan (billijkheid) yang perlu diperhatikan dalam pergaulan di masyarakat.44 Menurut Syahmin AK. Ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1337 KUHPerdata agaknya patut diambil alih dalam hukum perjanjian nasional di masa depan, yaitu suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Disadari sepenuhnya bahwa hal-hal yang dikemukakan diatas, yaitu pengertian lapangan hidup pribadi, lapangan hidup sosial, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum perlu senantiasa diteliti perkembangannya sehingga Hukum Perjanjian Nasioanal di masa depan dapat tetap mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat,
tanpa
meninggalkan
norma-norma
yang
terkandung
dalam
Pancasila.45
D. Kepatutan Sebagai Elemen Perjanjian Salah satu bentuk konkrit dari asas hukum menjadi suatu peraturan hukum dapat dilihat dari Pasal 1339 KUH Perdata sebagai ilustrasinya ialah pengaturan asas umum yang mewajibkan seseorang mengindahkan kepatutan dan kepantasan dalam perjanjian.46 Penambahan pelengkap suatu perjanjian seperti kebiasaan, kepatutan dan kelayakan ke dalam perjanjian harus didasari dengan iktikad baik. Kepatutan dan kelayakan tidak dapat ditambahkan secara mandiri, tetapi hanya dapat diterapkan
44
Notohamidjojo. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Griya Media, Salatiga, 2012. hal. 43. Syahmin AK. Hukum Kontrak Internasional. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
45
hal. 160. 46
Herlien Budiono(I). Op. Cit. hal. 28.
bersama, yakni jika ada kekosongan yang tidak dapat ditutup oleh undang-undang atau kebiasaan.47 Selain itu, kepatutan dapat dikaitkan dengan suatu kausa yang halal sebagai syarat sah perjanjian. Pembuat undang-undang tatkala mengatakan suatu perjanjian tidak memiliki kausa atau kausanya tidak halal dan maka dari itu tidak sah, sebenarnya hendak menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya akan mempunyai akibat hukum jika memenuhi dua syarat: (1) tujuan dari perjanjian tersebut mempunyai dasar yang pantas/ patut (redelijke grond); (2) harus mengandung sifat yang sah.48 Ruang lingkup kepatutan dapat dilihat dari salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Kewajiban ini kemudian dilanjutkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan.49 Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya kontrak sebagai berikut:50 1. Isi kontrak itu sendiri; 47
Ibid., hal. 136. Ibid., hal. 114-115. 49 Ridwan Khairandi. Op.Cit., hal. 192. 50 Ibid. 48
2. Kepatutan atau iktikad baik; 3. Kebiasaan; dan 4. Undang-undang. Menurut Tan Kamello, dalam doktrin hukum perjanjian, ajaran iktikad baik meliputi iktikad baik subjektif dan iktikad baik objektif. Ajaran iktikad baik subjektif diartikan dalam hubungannya dengan hukum benda yang bermakna kejujuran seperti yang tercantum dalam Pasal 533 KUH Perdata, sedangkan ajaran iktikad baik objektif adalah yang berhubungan dengan hukum perikatan, yaitu: pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Hal ini dimaksudkan agar berjalannnya perjanjian itu dapat dinilai dengan ukuran yang benar. Disinilah kaitan asas iktikad baik pada Pasal 1338 KUH Perdata dengan asas kepatutan yang tercantum dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Hakim berwenang untuk menyimpangi isi perjanjian jika bertentangan dengan kepatutan, walaupun yang harus paling diperhatikan paling utama adalah isi perjanjian, tetapi jika isi perjanjian itu tidak patut dilaksanakan, maka yang harus diutamakan adalah asas kepatutannya.51 Suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas “kepatutan” (Pasal 1339 KUH Perdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut:52 1. fungsi yang melarang Dalam hal ini kontrak yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan, misalnya dilarang
51
O. C. Kaligis. Op. Cit.. hal. 278-279. Munir Fuady(III). Hukum kontrak dari sudut pandang hukum bisnis.PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. 2007. hal. 128. 52
membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan dengan asas kepatutan (reasonability) 2. fungsi yang menambah Suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak, dimana tanpa isian tersebut, tujuan dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. Misalnya terhadap suatu kontrak jual beli (yang dibayar kemudian) tidak jelas siap yang harus menanggung risiko inflasi/devaluasi mata uang, maka adalah sesuai dengan asas “kepatutan” jika di pengadilan hakim menafsirkan bahwa risiko inflasi/devaluasi mata uang tersebut dipikul bersama secara fift-.fifty.
E. Berakhirnya Perjanjian Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan: 1. Karena pembayaran (Pasal 1382 – 1403 KUH Perdata) Pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh undangundang, tidak hanya penyerahan uang saja, tetapi juga penyerahan barang menurut perjanjian. Dengan demikian berarti yang dimaksud dengan pembayaran adalah pemenuhan perikatan, kewajiban atau utang debitor kepada kreditor. Dalam pengaturannya, diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk melakukan
pemenuhan perikatan manakala hal tersebut juga dikehendaki oleh kreditor, berdasarkan pada sifat dan jenis perikatannya. Orang yang dapat melakukan pembayaran utang adalah debitur yang berkepentingan langsung, penjamin atau borgtocher, orang ketiga yang bertindak atas nama debitur. Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu kreditur, orang yang menerima kuasa dari kreditur, orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata).53 Pada dasarnya yang menjadi objek pembayaran dalam Pasal 1389 KUH Perdata tergantung dari sifat dan isi perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.54 Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 KUH Perdata yang artinya penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat pembayaran oleh pihak ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur. Tujuan subrogasi adalah untuk memperkuat posisi pihak ketiga yang telah melunasi utang-utang debitur dan atau meminjamkan uang kepada debitur. Yang paling nyata adanya subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan kreditur kepada pihak ketiga.55 2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (Pasal 1404-1412 KUH Perdata) Ini suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang. Hapusnya perikatan karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan hanya dapat terjadi terhadap 53
Salim H.S.(II) Op.Cit., hal. 166. Ibid. 55 Ibid., hal. 167. 54
perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, baik itu berupa kebendaan dalam arti luas, maupun dalam bentuk uang sebagai pemenuhan utang dalam arti yang sempit.56 3. Karena pembaharuan hutang atau novasi (Pasal 1413-1424 KUH Perdata) Pembaharuan utang atau novasi berarti menghapus perjanjian lama dengan membuat/meletakkan suatu perikatan baru dengan segala ketentuan dan syaratsyarat baru dalam sebuah perjanjian baru. Ketentuan ini berbeda dengan pengertian subrogasi dan cessie. Novasi (pembaruan utang) adalah sebuah persetujuan dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatam lain dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.57 Pembaharuan utang atau novasi tersebut juga berbeda dari cessie sebagai bentuk levering (penyerahan) kebendahan yang dialihkan. Dengan demikian jelas bahwa novasi adalah suatu bentuk perjanjian, sedangkan cessie sendiri adalah suatu bentuk levering. Di dalam Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 1) novasi objektif, yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur dimana perjanjian lama dihapuskan, ini berkaitan dengan objek perjanjian; 2) novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur lama dibebaskan; 3) novasi subjektif yang aktif, yaitu penggantian
56
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi. Hapusnya Perikatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. hal. 67. 57 Salim H.S.(II) Op.Cit,. hal. 168.
kreditur, di mana kreditur lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur lama.58 4. karena perjumpaan utang atau kompensasi (Pasal 1425-1435 KUH Perdata) Istilah perjumpaan atau kompensasi utang menunjuk pada suatu keadaan di mana dua orang saling memiliki kewajiban atau utang satu terhadap yang lainnya. Dalam keadaan demikian, oleh undang-undang ditetapkan bahwa bagi kedua belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadilah penghapusan utang-utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain. Ada 3 syarat perjumpaan hutang, yaitu : (1) kedua kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut haruslah utang yang telah ada pada waktu perjumpaan serta telah jatuh tempo dann dapat ditagih serta dapat dihitung besarnya (processueel liquid); (2) kewajiban atau utang tersebut ada secara bertimbal balik antara dua pihak, yang satu merupakan debitor sekaligus kreditor terhadap yang lainnya; (3) kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut haruslah utang dengan wujud prestasi yang sama, atau objek yang sama, atau jumlah uang yang sama. Cara terjadinya kompensasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu 1) demi hukum berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata; dan 2) atas permintaan kedua belah pihak berdasarkan Pasal 1431 KUH Perdata.59 Kompensasi kontraktual adalah suatu bentuk kompensasi yang terjadi atas dasar permintaan dan persetujuan antara pihak debitur dan kreditur (Pasal 1431 KUH Perdata)60 58 59
Ibid., hal. 169. Ibid., hal. 170.
5. Karena pencampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUH Perdata) Pencampuran utang adalah pencampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan kreditur menjadi satu (Pasal 1436 KUH Perdata). Ada dua cara terjadinya pencampuran utang, yaitu: 1) dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum. Misalnya, si kreditur meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur, ini berarti kedudukan debitur menjadi krreditur; dan 2) dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual beli atau legaat. Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli waris dari kreditur.61 6. Karena pembebasan hutang (Pasal 1438-1443 KUH Perdata) Bahwa yang berpiutang dengan suka rela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya. Dalam pengaturan tentang pembebasan hutang mulai dari Pasal 1438-1443 KUH Perdata tidak satu Pasal pun memberikan pengertian langsung mengenai pembebasan utang, namun dikaikan dengan hapusnya perikatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1381 KUH Perdata, maka Pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditor yang memberbaskan debitor dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditor tersebut. Ada dua cara terjadinya pembebasan utang, yaitu (1) Cuma-Cuma, dan (2) prestasi dari pihak debitur. Pembebasan utang dengan Cuma-Cuma haurs dipandang sebagai penghadiahan (HR 16 Januari 1899 dan 10 januari 1902).
60 61
Ibid., hal. 171. Ibid., hal. 172.
Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.62 7. karena musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata) Pasal 1444 KUH Perdata, jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Dalam hal kebendaan yang musnah, hilang atau karena sesuatu hal tidak lagi dapat diperdagangkan tersebut memberikan hak atau tuntutan ganti rugi kepada debitor terhadap pihak ketiga mengenai kebendaan tersebut, Pasal 1445 KUH Perdata mewajibkan debitor tersebut untuk memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditor. Dengan demikian maka asas keadilan dan kepatutan dapat ditegakkan.63 Rumusan ayat terakhir dalam Pasal 1444 ayat (4) KUH Perdata dibuat untuk menegaskan kembali bahwa dalam hal perikatan tersebut bersumber dari undang-undang sebagai perbuatan melawan hukum, maka musnahnya kebendaan yang sedianya harus dikembalikan berdasarkan pada perikatan yang bersumber dari
undang-undang
karena
perbuatan
melawan
hukum
tersebut
tidak
menghapuskan kewajiban debitor untuk mengganti harga dari kebendaan tersebut.64 8. karena kebatalan atau pembatalan (Pasal 1446-1456 KUH Perdata)
62
Ibid. Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi. Op.Cit., hal. 182-183. 64 Ibid., hal. 183. 63
Pembatalan dapat terjadi karena tuntutan salah satu pihak terhadap hal-hal yang menurut undang-undang sebagai sebab dapat dimintakan pembatalan, seperti ketidakcakapan salah satu pihak saat pembuatan perjanjian, adanya unsur paksaan, penipuan, atau kekhilafan (tidak terpenuhinya syarat subyektif yang dimaksudkan dalam angka 1 dan angka 2 Pasal 1320 KUH Perdata). Cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kekurangan dalam kehendak orang atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya persesuaian kehendak dari para pihak dalam perjanjian. Cacat kehendak dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : 1. kekhilafan (dwaling) adalah suatu penggambaran yang keliru mengenai orangnya atau objek perjanjian yang dibuat oleh para pihak; 2. paksaan (dwang) adalah suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau pihak ketiga, sehingga memberi kesan dan menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orangorangnya, atau kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat (Pasal 1324 KUH Perdata); 3. Penipuan (bedrog) adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki suatu perjanjian. Di samping ketiga cacat di atas, dalam doktrin dikenal cacat kehendak yang keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (undue influence).65 Dengan dibatalkannya perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif, baik yang berhubungan dengan kesepakatan bebas di antara para pihak, dan kecakapan
serta
kewenangan
bertindak
para
pihak
dalam
perjanjian,
mengakibatkan pengembalian segala sesuatu kepada keadaan semula, sebagai mana di atur dalam Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata yang menentukan bahwa 65
Salim H.S.(II).Op. Cit., hal. 172-173.
setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat. 9. Karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam ketentuan mengenai perikatan dengan syarat batal; Seperti yang dijelaskan dalam rumusan Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya perikatan sebagai akibat berlakunya syarat batal diatur secara khusus dalam bab I Buku III tentang Perikatan pada Umumnya, dalam hal ini adalah ketentuan yang diatur dalam perikatan bersyarat, khususnya tentang perikatan dengan syarat batal. Menurut ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata mengatur mengenai perikatan dengan syarat batal dikatakan bahwa suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian melalui pencatuman syarat batal dalam suatu perjanjian, para pihak dapat mengembalikan apa yang telah diserahkan, atau dilakukan kepada keadaannya semula seolah-olah perikatan tidak pernah terjadi.
66
Biasanya suatu syarat batal
berlaku pada perjanian timbal balik. Selanjutnya Pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak sepenuhnya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
66
Ibid., hal. 175.
Perlu
diketahui
Pengakhiran
bahwa
pembatalan
berbeda
dengan
pengakhiran.
lebih awal dalam perjanjian, merupakan bentuk perikatan dengan
syarat tangguh, misalnya berupa terjadinya wanprestasi atau cidera janji salah satu pihak dalam perjanjian. Suatu perikatan dengan syarat tangguh dirumuskan dalam Pasal 1263 KUH Perdata adalah suatu perikatan yang tergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum akan terjadi, atau yang tergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Keadaan dan ketentuan tersebut adalah jelas berbeda dari ketentuan syarat batal, oleh karena ketentuan tersebut tidak membatalkan perjanjian, tidak mengembalikannya kepada keadaan semula (lihat Pasal 1265 KUH Perdata) namun yang terjadi justru pengakhiran lebih awal dengan ketentuan-ketentuan syarat tangguh. 10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam Buku IV KUH Perdata Dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya kontrak, yaitu 67: a. Jangka waktunya berakhir, b. Dilaksanakan objek perjanjian, c. Kesepakatan kedua belah pihak, d. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan e. Adanya putusan pengadilan. Setiap kontrak dibuat untuk menjadi sesempurna mungkin yang dimulai dari tahap pembicaraan awal, tahap negosiasi, kesepakatan, tahap perancangan kontrak,
penandatanganan
kontrak
hingga
pelaksanaan
kontrak,
baik
menggunakan jasa legal atau jasa notaris untuk mengurangi risiko kemungkinan timbulnya masalah dalam kontrak. Sekalipun demikian selengkap-lengkapnya suatu kontrak (perjanjian), selalu saja ada kekurangan-kekurangan di sana-sini
67
Ibid., hal. 165.