BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAKDIR
A. Pengertian Takdir Secara etimologis takdir berasal dari bahasa Arab, qadarayaqduru-qadran, yang berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Dan ketika membentuk kata taqdir mempunyai arti yang ditakdirkan, ditentukan Allah.1 Kata tersebut juga mempunyai arti dugaan, perkiraan, hipotesis, berdasarkan atau menurut perkiraan.2 Percaya kepada takdir atau qadla dan qadar, merupakan rukun iman ke-6 atau terakhir. Beriman kepada takdir artinya seseorang mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah menjadikan segala makhluk dengan kodrat dan irodat-Nya dan segala hikmah-Nya.3 Dalam pengertian sehari-hari, qadla dan qadar disebut juga taqdir, yang biasanya diartikan sebagai ketentuan Tuhan. Kalau ditilik dari segi bahasa, qadla berarti: keputusan atau ketetapan.4 Sedangkan qadar berarti ketentuan atau ukuran.5 Secara rinci pengertian qadla adalah ketentuan–ketentuan yang telah ditetapkan Allah sejak jaman azali tentang segala sesuatu yang menyangkut makhluk-Nya, seperti bulan mengitari matahari, api membakar, nasib baik dan buruk, manfaat dan malapetaka, sukses dan gagal, sehat dan
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1990, hlm. 332 2
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, hlm. 1096 3
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 136
4
Baca Q.S: Bani Israil: 4
5
Baca Q.S: al-Furqan: 2
13
14
sakit dan sebagainya. Sedangkan qadar adalah perwujudan dari ketentuan-ketentuan Allah yang telah ada sejak jaman azali.6 Kepercayaan kepada qadla dan qadar Allah secara ringkasnya menyatakan, bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk juga yang terjadi pada diri manusia, baik dan buruk, suka dan duka, dan segala gerak-gerik hidup ini, semuanya tidaklah terlepas dari takdir atau ketentuan Ilahi. Semuanya yaitu alam benda-benda atau masyarakat manusia, dikuasai oleh suatu hukum yang pasti dan tetap, juga tidak tunduk kepada kemauan manusia. Bukti adanya takdir Tuhan ini dapat dilihat pada diri manusia sendiri, sejak lahir sampai mati. Kapan dan di mana manusia lahir, ia tidak memilihnya. Dan ketika lahir ke dunia, manusia tidak memilih ibu dan bapak. Tidak memilih bangsa dan tanah air. Bahkan juga tidak memilih jenis laki-laki atau perempuan, dan tidak memilih bentuk dan rupa tubuhnya sendiri, jangkung atau cebol, cantik atau buruk. Semua itu telah ditentukan (ditakdirkan) oleh Tuhan, dan manusia tinggal menerimanya saja. Pendek kata takdir atau qadla dan qadar Allah yang menguasai alam ini tidak terbantah adanya. Segi kehidupan di alam ini membuktikannya
sendiri,
karena
itu
orang
Islam
wajib
mempercayainya.7 Allah berfirman dalam surat al-Hadid: 22:
ﺒ ِﻞ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﹶﻗ ﺏ ِﻣ ٍ ﺎﻢ ِﺇﻟﱠﺎ ﻓِﻲ ِﻛﺘ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻭﻟﹶﺎ ﻓِﻲ ﹶﺃ ﺽ ِ ﺭ ﺒ ٍﺔ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣﺼِﻴ ﻦ ﺏ ِﻣ ﺎﺎ ﹶﺃﺻﻣ (22 :ﲑ )ﺍﳊﺪﻳﺪ ﺴ ِ ﻳ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻚ ﺎ ِﺇﻥﱠ ﹶﺫِﻟﺮﹶﺃﻫ ﺒﻧ “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
6
Muhammad Ahmad, op.cit., hlm. 137
7
Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Aqidah Lengkap, Bina Ilmu, Surabaya, 19811,
hlm. 216
15
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid: 22) Dalam al-Qur’an berkali-kali disebutkan masalah kadar atau takdir, seperti: a. Segala sesuatu terlaksana dengan takdir Tuhan
(8 :ﺍ ٍﺭ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ِﺑ ِﻤ ﹾﻘﺪﺪﻩ ﻨﻲ ٍﺀ ِﻋ ﺷ ﻭ ﹸﻛﻞﱡ “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (Q.S: ar-Ra’du: 8)
b. Segala sesuatu dalam perbendaharaan takdir Tuhan
(21 :ﻌﻠﹸﻮ ٍﻡ )ﺍﳊﺠﺮ ﻣ ﺪ ٍﺭ ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺑ ﹶﻘ ﹸﻟﻨﺰﻧ ﺎﻭﻣ ﻪﺍِﺋﻨﺧﺰ ﺎﺪﻧ ﻨﻲ ٍﺀ ِﺇﻟﱠﺎ ِﻋ ﺷ ﻦ ﻭِﺇ ﹾﻥ ِﻣ “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (Q.S: al-Hijr: 21) c. Segala sesuatu diciptakan dengan takdir
(49 :ﺪ ٍﺭ )ﺍﻟﻘﻤﺮ ﻩ ِﺑ ﹶﻘ ﺎﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﺎ ﹸﻛ ﱠﻞِﺇﻧ “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. (Q.S: al-Qamar: 49) Yang dapat diambil kesimpulan dari ayat-ayat yang tertera di atas itu bahwa maksud dan makna kadar atau takdir itu ialah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Allah untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastiankepastian yang diikatkan di dalamnya antara sebab dengan musababnya, juga antara sebab dan akibatnya. Imam Nawawi memberikan definisi takdir sebagaimana yang dikutip oleh Sayid Sabiq menyatakan bahwa: “sesungguhnya segala
16
sesuatu yang maujud ini oleh Allah digariskan (ditentukan) sejak jaman dahulu. Dia mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh Allah”.8 Dengan demikian makna takdir ialah bahawa Allah membuat beberapa ketentuan, peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala yang maujud ini dan bahwa segala sesuatu yang maujud itu pasti akan berlaku, beredar dan berjalan tepat dan sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam ketentuan, peraturan dan undang-undang tadi. Beriman kepada takdir adalah sebagian dari kepercayaan atau akidah yang ditanamkan benar-benar dalam hati setiap orang muslim. Dalam hal takdir itu tidak ada pengertian paksaan. Hal tersebut ditandaskan oleh Imam al-Khaththabi yang menyatakan bahwa: “banyak orang yang mengira bahwa arti qadla dan qadar adalah pemaksaan yang dilaksanakan oleh Allah kepada hambaNya untuk mengikuti apa saja yang yang telah digariskan menurut ketentuan dan keputusan-Nya. Padahal sebenarnya tidaklah demikian dan salah sekali apa yang mereka sangkakan itu. Yang benar ialah bahwa arti takdir itu adalah suatu pemberitahuan mengenai telah diketahuinya oleh Allah perihal apa yang ada dalam perbuatan setiap orang yang berupa apapun. Jadi timbulnya itupun menurut takdir yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan asli penciptaannya yakni tentang buruk atau baiknya. Ringkasnya bahwa takdir itu adalah sebagai nama untuk sesuatu yang timbul yang ditentukan dari perbuatan Dzat Yang Maha Menentukan.
8
Sayid Sabiq, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), Diponegoro, Bandung, 1989, hlm. 150
17
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Allah pasti Maha Mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Dan terlaksananya kejadian itu nanti pasti cocok sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu Tuhan itu. Tetapi sama sekali pengetahuan Tuhan tadi tidaklah akan memberi bekas apapun pada kehendak seseorang hamba, karena mengetahui itu adalah sifat penyingkapan sesuatu, bukannya suatu sifat yang memberikan kesan, bekas atau pengaruh. Sebagai contoh ialah seorang ayah yang mengetahui bahwa anaknya itu pandai, cerdik dan cerdas otaknya, giat dalam mempelajari semua pelajarannya dan berusaha keras untuk menghafal dan memahaminya. Pengetahuan semacam itu belum tentu akan memberi kebahagiaan atau kelulusannya kepada anak itu dalam menempuh ujian. Adapun hikmah yang dapat diambil dari beriman kepada takdir adalah supaya kekuatan dan kecakapan manusia itu dapat mencapai kepada pengertian untuk menyadari adanya peraturan dan ketentuanketentuan Tuhan, kemudian dilaksanakan untuk membina dan membangun dengan bersendikan itu, juga untuk mengeluarkan harta benda yang terdapat dalam perbendaharaan bumi agar dapat diambil kemanfaatannya. Selain itu agar dapat diolah pula segala kebaikan yang dapat digali dari benda-benda yang terdapat dalam alam semesta. Dengan demikian maka keimanan kepada takdir itu adalah merupakan suatu kekuatan yang dapat membangkitkan kegiatan bekerja dan kegairahan berusaha, bahkan dapat merupakan dorongan yang positif untuk memperoleh kehidupan yang layak dan pantas di dunia ini, sebagaimana
juga
halnya
keimanan
kepada
takdir
itu
akan
menghubungkan manusia ini dengan Tuhan Yang Maha Menguasai seluruh yang maujud ini. Demikianlah sehingga manusia itu akan dapat mengangkat dirinya kepada sifat-sifat yang luhur dan mulia. Akhirnya ia akan menjadi seorang yang tidak enggan diperintah, tabah menghadapi kesukaran, berani membela yang hak, berhati baja untuk merealisasikan
18
hal-hal yang benar serta menetapi segala kewajiban yang dipikulkan kepadanya. Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta itu hanyalah berjalan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Dzat Yang Maha Tinggi. Oleh sebab itu, jikalau ia tertimpa oleh kemadlaratan, iapun tidak akan menyesal, tetapi sebaliknya jikalau ia dilimpahi pertolongan dan keuntungan, iapun tidak bergembira sehingga lupa daratan. Manakalah seseorang itu sudah tidak bersifat kedua hal tersebut di atas yakni tidak menyesal, lemah atau lumpuh karena timbulnya keburukan yang tidak diharapkan, juga tidak gembira yang melampaui batas karena mendapat pertolongan dan keuntungan, maka itulah seorang manusia yang lurus, terpuji, dapat mencapai arah keluhuran dan ketinggian yang teratas sekali.9
B. Hubungan Ikhtiar dengan Qadla dan Qadar Kalau segala sesuatu telah dikuasai oleh takdir Tuhan, maka di manakah lagi tempat ikhtiar atau usaha manusia ?. Padahal seperti diketahui bahwa manusia juga disuruh oleh Tuhan untuk berikhtiar ? Banyak pendapat berkaitan dengan keterlibatan usaha manusia dalam mewarnai takdir. Di antaranya adalah al-Jubba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada atas kehendak dan kemauannya sendiri. Adapun daya (istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat
dalam diri manunsia sebelum adanya
perbuatan. Doktrin Qadariyah berdasar atas suatu premis bahwa manusia dengan kreasinya karena Allah, telah dianugerahi kapasitas atau kehendak. Oleh karena itu istilah qadar (kekuasaan) menghasilkan 9
Ibid., hlm. 152-153
19
perbuatan-perbuatannya
sendiri
dan
karena
itu
harus
tetap
bertanggungjawab atasnya.10 Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Jabbar bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manunsia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Manusia adalah adalah makhluk yang dapat memilih. Artinya kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Hal tersebut perlu ditegaskan bahwa untuk mewujudkan perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah terwujud perbuatan tersebut.11 Berbeda dengan pendapat di atas manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih, segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Manusia menurut mereka sama dengan wayang yang digerakkan oleh ki dalang, karena itu manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Pendapat
inilah
yang
terkenal
dengan
Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan.12 Doktrin Jabariyah berdasar asumsi bahwa manusia dan perbuatan-perbuatannya diciptakan oleh Allah, dan oleh karena itu, persoalan tentang pertanggungjawaban manusia tidaklah relevan.13 Asy’ari lebih memandang bahwa manusia adalah lemah, karena manusia bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Akan tetaapi manusia mempunyai peluang untuk bergerak/ berusaha memilih. 10
Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, terj. Mochtar Zoerni & Joko S. Kahhar, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm. 34 11
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986, hlm. 102 12
Muhammad Ahmad, op.cit., hlm. 139
13
Majid Khadduri, loc..cit.
20
Dengan demikian maksud dari Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga manusia merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan.14 Demikian persoalan yang timbul berkenaan dengan ajaran qadla dan qadar Allah. Lebih dari itu timbul pertanyaan pula dengan adanya takdir Tuhan, apa tidak berarti bahwa manusia itu serba terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga manusia tidak lagi merdeka dalam berbuat. Persoalan tersebut dapat dijawab bahwa kebebasan bagi manusia, jelas memang ada, sebab perbuatan-perbuatan manusia ditentukan dan dilakukan atas dasar kehendak atau kemauannya sendiri. Inilah kenyataaannya, tetapi di samping itu harus diakui pula kenyataan yang lain, bahwa tidak jarang pula manusia gagal dalam berbagai usahanya, sekalipun telah dikerjakan dengan sekuat tenaga. Ini semua membuktikan
bahwa
manusia
memang
mempunyai
kebebasan/
kemerdekaan dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi kebebasan itu ialah kebebasan yang terbatas. Jadi kebebasan manusia ialah kebebasan yang tidak mutlak. Keterbatasan kebebasan manusia itu ialah disebabkan karena kebebasan manusia sebenarnya hanyalah dalam lingkungan kodrat dan irodatnya Tuhan. Karena itu suatu usaha yang direncanakan manunsia dapat berhasil, hanya kalau hal itu bersesuaian dengan rencana yang lebih tinggi kedudukan dan kekuatannya, yaitu rencana Tuhan. Ikhtiar atau usaha manusia, tidak musti secara mutlak berhasil. Namun hal itu perlu dan wajib dilakukan. Dan sesudah berikhtiar, hendaknya orang juga berdoa dan bertawakal
secara ikhlas kepada
Tuhan. Kalau ikhtiar berhasil, Allah yang punya karunia, kalau tidak berhasil, Allah yang punya kuasa. 14
Harun Nasution, op.cit., hlm. 108
21
Walaupun demikian, penempatan tawakal tidak boleh keliru. Tawakal letaknya ialah sesudah ikhtiar. Orang tidak dapat disebut tawakal jika belum ikhtiar lebih dulu.15 Adapun hikmah ajaran qadla dan qadar adalah kadang-kadang orang salah tafsir dalam mempercayai qadla dan qadar, sehingga pengaruh yang timbul karenanya sangatlah negatif. Sejarah Islam telah mencatat bahwa kemunduran dan kejatuhan umat Islam di dunia, terutama juga disebabkan karena kesalahan mereka dalam mempercayai qadla dan qadar. Kepercayaan yang salah kepada qadla dan qadar menyebabkan terbunuhnya ikhtiar. Tidak lagi orang mau bekerja, tetapi hanya berpangku tangan mengharapkan jatuhnya sesuatu dari langit. Segala sesuatu digantungkan kepada takdir, tanpa ada usaha. Akan tetapi sebaliknya apabila ajaran qadla dan qadar dipercayai sebagaimana mestinya, tentulah ia menjadi sumber bagi bangkitnya amal-amal ikhtiar manusia, bahkan tentu menjadi sumber militansi yang tidak kenal menyerah. Orang umpamanya, menjadi tidak takut menghadapi bahaya seperti mati di medan perang, dan sebagainya, sebab ketentuan mati sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak mentakdirkan mati di medan perang, ia tidak akan mati di sana sekalipun
peluru selalu
berdesingan di kanan kirinya. Mati tidak musti terjadi di medan perang. Orang yang sedang nyenyak tidur di atas ranjangpun dapat juga mati apabila takdir Tuhan menentukan begitu.16 Inilah pelajaran yang dapat diambil dari takdir bahwa dengan adanya kepercayaan yaitu buruk dan baik, sakit dan senang, hina dan mulia, naik dan jatuh dan sebagainya yang telah masuk sebaik-baiknya
15
Humaidi Tatapangarsa, op.cit., hlm. 215-218
16
Ibid., hlm. 218
22
ke dalam jiwa yang sudah terpatri dari sekian pokok kepercayaan, yaitu tauhid kepada Tuhan yang telah memberi nilai atau arti hidup. Oleh karenanya ikhtiar dan usaha membuat diri bertambah dekat kepada Tuhan, mengasah budi pekerti dan akal, sehingga menjadi manusia yang mencapai derajat yang sempurna dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak perlu ragu-ragu dan bimbang dalam mengerjakan suatu amal yang baik, karena Tuhan telah menjanjikan kepada hambaNya yang saleh akan dimasukkan ke dalam surga dan yang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka. Walaupun demikian manusia harus berusaha membersihkan jiwa sehingga harapan hidup melebihi harapannya terhadap surga atau takut neraka. Karena yang terpenting adalah bagaimana hati tidak jauh dari Tuhan, bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa puncak segala nikmat di dunia adalah mengenal Tuhan ?.17 Secara umum dapat dijelaskan bahwa kepercayaan kepada takdir atau qadla dan qadar adalah salah satu dari enam pokok rukun iman. Menurut penyelidikan para ahli sejarah dan sosiologi menyatakan bahwa tersiarnya agama Islam, yaitu hanya setengah abad serta berhasil meruntuhkan kerajaan raksasa pada waktu itu, yaitu Romawi dan Persia adalah lantaran kepercayaan kepada takdir. Bangsa Arab yang dulunya tidak mengenal jiwa persatuan politik, perjuangan antar bangsa dalam waktu sekejap telah berubah jalan sejarahnya. Sehingga sejarawan Inggris Arnold Toynbee sebagaimana yang dikutip Hamka dalam bukunya Pelajaran Agama Islam menyatakan bahwa kedahsyatan sejarah yang terjadi di dunia ini baru tertuliskan tiga kali, yaitu; pertama, ketika Roma telah menerima agama Kristen yang berhasil menancapkan kekuasaan di daratan Eropa, kedua kebangkitan agama Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad, 17
Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hlm. 313
23
ketiga terbukanya era baru dan jaman modern yang ditandai dengan kebebasan berpendapat. Kebangkitan Islam sebagian besar adalah karena kepercayaan akan takdir. Umat Islam yang telah mendapatkan siraman rohani ajaran Islam dengan sendirinya percaya akan adanya takdir. Percaya kepada takdir menjadikan pendorong atau semangat. Manusia ditakdirkan hidup hanya satu kali, sehingga hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya. Oleh karenanya nasib kaum muslimin terletak di bawah kilatan pedangnya, sehingga harus berjihad. Agama tanpa jihad adalah agama yang mati. Umat Islam menyerbu ke tengah-tengah musuh dengan gagah perkasa. Mereka tidak takut mati, karena mati di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak mentakdirkan celaka, tidaklah ada suatu kecelakaan akan menimpa diri. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
ﻮ ﹶﻥﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﻮﻛﱠ ِﻞ ﺍﹾﻟ ﺘﻴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻭ ﺎﻮ ﹶﻻﻧ ﻣ ﻮ ﺎ ﻫﻪ ﹶﻟﻨ ﺐ ﺍﻟﱠﻠ ﺘﺎ ﹶﻛﺎ ِﺍﻻﱠ ﻣﺒﻨﻳﺼِﻴ ﻦ ﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﻟ (51 :)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal". (Q.S: at-Taubah: 51) Ayat tersebut melarang keras kepada kaum muslimin untuk datang kepada tukang tenung dan tukang ramal, yang katanya pandai menilik atau membaca nasib, mengetahui buruk dan baik yang akan menimpa di belakang hari. Demikian juga dilarang untuk menanyakan nasib kepada tukang tenung karena yang demikian itu dapat mengurangi kepercayaan kepada Tuhan. Dengan kata lain jangan ragu menghadapi bahaya, sebab buruk dan baik, sakit dan senang, naik dan jatuh, menang
24
atau kalah, semuanya itu sudah tertulis sebagai nasib dan manusia yang memegangnya melainkan Tuhan.18 Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia tidak lebih dari potret manusia itu sendiri, di samping ketentuan yang sudah digariskan oleh sang Pencipta. Akan tetapi manusia di sini sangat berperan dalam menentukan nasib mereka, sehingga peran aktif dan tindakan positif manusialah yang akan menentukan apakah ia akan bahagia di dunia dan diakhirat ataukah kerugian yang melanda, baik di dunia bahkan di akhirat kelak. Walaupun demikian setelah manusia berbuat atau berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang terbaik (amar ma’ruf dan nahi munkar), akan tetapi Al-Qur’an mengajarkan supaya manusia menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dengan demikian setelah manusia berusaha baru hasil usahanya (baik berhasil atau tidak) diserahkan kepada Allah yang mengatur dan menentukan keberhasilan usaha manusia.19 Hal tersebut bukan berarti manusia langsung menyerahkan diri semuanya kepada Allah (tawakal). Karena tawakal kepada Allah bukan berarti menghilangkan dan meninggalkan sarana dan usaha. Bahkan tawakal tidak sah manakala tidak disertai dengan upaya untuk mencapai apa yang dibutuhkan umat manusia. Sarana-sarana yang ada dengan disertai uapaya merupakan perantara tawakal yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan karena Allah mengikat sesuatu dengan sebab akibat. Ini artinya usaha dan sarana adalah modal utama, setelah hal tersebut dilakukan baru tawakal dikerjakan.20 Pada ayat lain Allah juga menjelaskan:
18
Ibid., hlm. 314
19
Imam Abu al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997. 20
Sayid Sabiq, Islamuna (Nilai-Nilai Islami), terj. HMS. Prodjodikoro, dkk., Sumbangsih Offset, Yogyakarta, 1988, hlm. 84
25
(8 : )ﺍﻟﺮﻋﺪ.ﺍ ٍﺭ ِﺑ ِﻤ ﹾﻘﺪﺪﻩ ﻨﻲ ٍﺀ ِﻋ ﺷ ﻭ ﹸﻛﻞﱡ “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (Q.S: ar-Ra’du: 8)
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan sesuai dengan kadarnya adalah segala bentuk akibat yang diterima manusia adalah sesui dengan amal dan perbuatan manusia itu sendiri. Hal itu dianalogkan dengan bahwa setiap anak akan lahir dari perut ibunya. Artinya kalau manusia berusaha untuk berbuat baik maka ia akan mendapatkan kebaikan, akan tetapi jika ia mendapatkan bencana atau siksa, maka itu adalah hasil perbuatan jahatnya.21 Seseorang yang meninggalkan usaha dengan mengharapkan keberhasilan ibarat ingin terbang ke angkasa tanpa sayap. Menginginkan anak tanpa istri, ingin menggerakkan senjata tanpa kekuatan atau mengharapkan keberhasilan tanaman atau usaha tanpa kesungguhan kerja. Inilah sindiran yang dilontarkan dalam sebuah syair:
ﺲ ِ ﺒِﺒﻋﻠﹶﻲ ﺍﹾﻟﻴ ﺠﺮِﻱ ﺗﻨ ﹶﺔ ﹶﻻﻴﺴ ِﻔ ِﺍﻥﱠ ﺍﻟ
ﺎﺎِﻟ ﹶﻜﻬﻣﺴ ﻚ ﺴﹸﻠ ﺗ ﻢ ﻭﹶﻟ ﺎ ﹶﺓﻨﺠﻮﺍﻟﺮﺟ ﺗ
“Kamu ingin sukses tanpa menempuh jalannya Sungguh perahu takkan bisa berjalan di tanah daratan”.22 Beriman kepada takdir bagi setiap orang Islam bukan dimaksudkan untuk menjadikan manusia lemah, pasif, statis atau manusia yang menyerah tanpa usaha. Bahkan dengan beriman kepada takdir mengharuskan manusia untuk berbangkit dan berusaha keras demi mencapai takdir yang sesuai dengan kehendak atau yang diinginkan.23
21
Imam Abu Abdullah Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997. 22
Sayid Sabiq, op.cit., hlm. 87
23
Muhammad Ahmad, op.cit., 137
26
Berkaitan dengan hal tersebut Allah berfirman:
(11 :ﻢ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﺎ ِﺑﹶﺄﻭﺍ ﻣﺮﻐﻴ ﻳ ﻰﺣﺘ ﻮ ٍﻡ ﺎ ِﺑ ﹶﻘﺮ ﻣ ﻐﻴ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (Q.S: arRa’du: 11). Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah Allah tidak akan menimpakan suatu bencana atau adzab tanpa ada sebab musababnya. Hal tersebut disebabkan karena manusia melakukan dosa (melanggar larangan Allah dan tidak melaksanakan
apa
yang
diperintahkan-Nya),
akhirnya
Allah
menurunkan musibah hingga penduduk bumi tersebut taubat dan berbuat baik serta menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya.24 Hal tersebut menunjukkan bahwa apa-apa yang ditimpakan atau ditetapkan kepada manusia tidak lain karena keterlibatan (ulah tangan) manusia. Kalau perilakunya baik maka ia akan menuai kebaikan, begitu sebaliknya, jika ia menanam benih kejahatan atau kerusakan, maka ia akan memetik buah simalakama dan akan menanggung adzab baik di dunia dan terlebih di akhirat. Adapun manfaat yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang beriman kepada takdir di antaranya ialah: a). mendorong lahirnya niat dan keberanian dalam menegakkan kebenaran, b). menimbulkan ketenangan jiwa dan pikiran, c). tidak putus asa dalam menghadapi setiap persoalan, dan d). selalu tawakal kepada Allah dalam menghadapi segala persoalan hidupnya.25 Dengan demikian, semakin tinggi kadar keimanan seseorang terhadap takdir Allah, maka semakin tinggi pula keyakinan terhadap 24
Imam Abu Abdullah Al-Qurthubi, op.cit.
25
loc.cit.
27
segala yang terjadi di alam ini, yang mana Allah telah menciptakan kesuksesan dan kegagalan, siksa dan pertolongan. Jikalau manusia senantiasa berusaha dan berdoa, niscaya Allah tidak akan menutup mata dan telinga, sehingga apa yang diinginkan oleh hamba-Nya akan dikabulkan. Dan kalaupun tidak dikabulkan bukan berarti Allah tidak sayang kepada hamba-Nya yang rajin usaha dan berdoa, akan tetapi ada rahasia di balik itu semua. Karena belum tentu sesuatu itu baik dan cocok diberikan kepada manusia, manakala manusia meminta kepada Allah, akan tetapi Allah-lah yang lebih mengetahui seluk beluk manusia dan apa yang terjadi kepada manusia. Manusia diciptakan di dunia ini adalah sesuai dengan kadar atau komposisi manusia, sehingga kalau manusia menjalankan apa yang telah digariskan (peraturan Allah) maka ia akan sukses baik di dunia dan akhirat, dan begitu sebaliknya. Akan tetapi kesemuanya itu terserah manusia, apakah ingin mencapai kebahagiaan hakiki (ukhrawi) atau kebahagiaan semu (duniawi) ?.