BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR TEMATIK DAN ISHLAH A. Tinjauan Umum Tafsir Tematik 1. Pengertian Tafsir a. Pengertian Tafsir Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’il”, berasal akar kata “al-Fasr”, yang berarti menjelaskan atau menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba – yadribu” dan “yafsuru, fasran” dan fassarahu”, artinya ‘abanahu” (menjelaskannya). Kata al tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.1 Ahmad Asy Syirbani mengungkapkan, dalam bahasa Arab kata tafsir berasal dari akar kata “al fasr” yang berarti penjelasan atau keterangan, yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas, keterangan yang memberikan pengertian tentang sesuatu yang disebut tafsir. Jadi keterangan dan penjelasan itulah yang menyampaikan pengertian tentang sesuatu begini atau begitu.2 Sebagian ulama berpendapat kata “tafsir” (fasara) adalah kata kerja yang terbalik “safara” yang juga berarti menyingkap (al Kasyf) seperti kata ﺢ ﺒ ﺼ ﺍ ﺍﻟﺴ ﹶﻔﺭ ( َﺃwaktu subuh telah terang). Menurut Ar-Raghib, kata “al Fasr” dan “as Sufr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafadhnya tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti menampakkan benda kepada penglihatan mata.3 Dengan demikian dari ayat-ayat al Qur’an yang akan ditafsirkan ada beberapa tingkatan, ada yang sangat mudah dipahami,
1
Manna’ Khalil Al-Qotton, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terj Muzakar As (Bogor: Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 455 2 Ahmad Syirbani, Sejarah Tafsir Qur’an (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 5 3 Manna’ Khalil Al-Qotton, op. cit., hlm. 456
10
11
ada yang dapat dipahami dengan bahasa Arab, ada yang ditafsirkan oleh para ulama dan ada yang hanya diketahui oleh Allah saja. Tafsir secara istilah adalah sebagai berikut kata Az-Zarkarsy dalam al Burhan:
.ﻭ ِﺣ ﹶﻜ ِﻤ ِﻪ ﺣﻜﹶﺎ ِﻣ ِﻪ ِﺍﺍﺝﺤﺮ ﺘﺳ ﺍﺮﹶﺍ ِﻥ ﻭ ﺎﻧِﻰﺍﹾﻟﻘﹸﻣﻌ ﺎ ﹸﻥﺑﻴ ﺮ ﻴﺴ ِ ﺘ ﹾﻔﺍﹶﻟ “Tafsir itu adalah; menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”.4 b. Pengertian Ta’wil Ta’wil menurut bahasa diambil dari kata ل ٌ ﻭ ﹶﺍartinya kembali.5 Sebagian ulama berpendapat bahwa ta’wil searti dengan tafsir. Sehingga ahli bahasa mengatakan: (ﻴﻼﹰ ِﻼﻡِ ﹶﺘ ْﺄﻭ ل ﺍ ﹾﻟ ﹶﻜ ﹶ ٌ ﻭ “ )ﹶﺍRenungkan, kirakiraan dan tafsiran”.6 Seperti firman Allah dalam surat al furqon ayat 7:
ﻳِﻠ ِﻪﺗ ﹾﺄ ِﻭ ﺎ َﺀﺑِﺘﻐﺍﻨ ﹶﺔ ﻭﺘﺎ َﺀ ﺍﹾﻟ ِﻔﺑِﺘﻐِﺍ “…Karena menghendaki fitnah dan mencari-cari ta’wilnya”.7 Ta’wil secara istilah yaitu menurut ulama mutaakhirin para ahli fiqh, ahli ilmu, kalam, ahli hadits dan ahli tasawuf ialah:
ﺘ ِﺮﻥﹸﻳ ﹾﻘ ﻴ ِﻞﺪِﻟ ﺡ ِﻟ ِ ﻮ ﺟ ﺮ ﲎﹾﺍ ﹶﳌ ﻌ ﱃ ﹾﺍ ﹶﳌ ﺍ ِﺟ ِﺢ ِﺍ ﹶﲎ ﺍﻟﺮ ﻌ ﻋ ِﻦ ﹾﺍ ﹶﳌ ﻆ ﺍﻟﱠﻠ ﹾﻔ ﹸﺮﻑ ﺻ ﻮ ﻳ ﹸﻞ ﻫﺘ ﹾﺄ ِﻭﺍﹶﻟ ِﺑ ِﻪ
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 170 5 St Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Asy-Syifa’, 1993), hlm. 247 6 Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Terj. Muhammad Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 97 7 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an (Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 560
12
“Ta’wil ialah memalingkan lafadh dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada dalil yang menghendaki”.8 Jadi
menta’wilkan
al-Qur’an
ialah
membelokkan
atau
memalingkan lafadh-lafadh atau kalimat-kalimat yang ada dalam alQur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Sasaran ta’wil pada lazimnya menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikandungnya.9 c. Perbedaan dan Persamaan Tafsir dan Ta’wil Maka berdasarkan pengertian dan pendapat tentang tafsir dan ta’wil di atas ada perbedaan dan persamaannya. 1). Perbedaan Tafsir dan Ta’wil Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir dan ta’wil menurut ulama mutaakhirin dari pendapat yang mansyur:
ﻴﹶﺎ ﹸﻥﻮ ﺑ ﻳ ﹸﻞ ﻫﺘ ﹾﺄ ِﻭﺍﻟﺭ ِﺓ ﻭ ﺎﺿ ِﻊ ﺍﹾﻟ ِﻌﺒ ﻭ ﻦ ﺩ ِﻣ ﺘﻔﹶﺎﺴ ﺗ ﱴ ِ ﱏ ﺍﻟﱠ ِ ﺎﺎ ﹸﻥ ﹾﺍ ﹶﳌﻌﺑﻴ ﻮ ﺮ ﻫ ﻴﺴ ِ ﺘ ﹾﻔﺍﹶﻟ ﺭ ِﺓ ﺎﻳ ِﻖ ﹾﺍ ِﻻﺷﺩ ِﺑ ﹶﻄ ِﺮ ﺘﻔﹶﺎﺴ ﺗ ﱏ ِ ﺎﺎ ِﻥ ﹾﺍ ﹶﳌﻌﹾﺍ ﹶﳌﻌ “Tafsir adalah menerangkan makna yang diketahui dari bentuk ungkapan. Sedangkan ta’wil adalah menerangkan makna-makna yang diketahui dengan jalan isyarat”.10 Sebagian ulama melihat ada perbedaan antara keduanya yaitu: (a). Tafsir berbeda dengan ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Pengertian tafsir lebih umum daripada ta’wil, karena ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat.11 8
St. Amanah, op. cit., hlm. 249 Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Tafsir (Jakarta: bulan bintang, 1992) hlm. 144 10 St. Amanah, op. cit., hlm. 254 11 Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, op. cit., hlm. 146 9
13
(b). Tafsir menerangkan makna lafadh (ayat) melalui pendekatan riwayat,
sedangkan
(kemampuan ilmu).
ta’wil
melalui
pendekatan
dirayah
12
(c). Tafsir lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafadh dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.13 2). Persamaan Tafsir dan Ta’wil Persamaan antara tafsir dan ta’wil itu dilihat dari segi tujuannya yaitu sama-sama menjelaskan makna-makna ayat alQur’an.14 Kesimpulannya tafsir adalah makna-makna al-Qur’an yang jelas dan gamblang dilalahnya, sesuai yang dikehendaki Allah ‘Azza wajalla. Sedangkan ta’wil adalah makna-makna ayat yang samar yang masih membutuhkan pemikiran dan penggalian yang juga mempunyai banyak arti, dimana mufassir mengunggulkan sebagian arti saja yang lebih kuat dari segi pandangan dan pengambilan dalil serta kecenderungan kepada makna yang jelas dan lebih kuat, karena pada dasarnya hukum yang dikehendaki secara pasti itu diambil dari kitab Allah swt. d. Fungsi Tafsir Setelah diketahui bahwa tafsir adalah mencari arti lain dari lafadh al-Qur’an, maka kita perlu kiranya mengetahui fungsi tafsir itu sendiri. Kalaulah tidak ada kepentingan para mufassir, khususnya rasulullah, kemungkinan al-Qur’an akan dibiarkan sebagaimana adanya dan dipahami menurut teks-teks yang ada di dalamnya. Maka dalam bab ini penulis merasa perlu untuk melihat fungsi tafsir yang dilontarkan oleh para ulama agar kita semua tergugah untuk mengkajinya. Adapun fungsi tafsir tersebut antara lain:
12
Ibid., hlm. 147 Manna’ Khalil Al-Qotton, op. cit., hlm. 461 14 loc cit 13
14
1). Sebagai kunci untuk membuka hasanah dalam memahami isi kandungan al-Qur’an.15 2). Untuk memperoleh pemahaman yang tepat atas lafadl-lafadh dan ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an atau mencari implikasi legalnya.16 3). Untuk mengungkapkan segala macam rahasia yang tersusun dalam ayat-ayat al-Qur’an.17 4). Sebagai pembimbing umat dalam merealisasikan al-Qur’an di muka bumi agar sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah swt.18 2. Metodologi Tafsir Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang metode dan madzab penulisannya berbeda-beda menjadi 4 macam yaitu metode tahlily, ijmali, muqarrin dan maudlu’i. a. Tafsir Tahlily Tafsir tahlily yaitu mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segi-segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani.19 Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat, yaitu hukum fiqh, dalil-dalil syar’i, arti bahasa, norma-norma akhlaq, aqidah, perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat, majaz, isti’arah serta mengemukakan kaitan antara ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.20
15 16
Ibid., hlm. 148 Ahmad Von Denffer, Ilmu al-Qur’an Pengenalan Dasar (Jakarta: Rajawali Pers, 1988),
hlm. 141 17
Ahmad Syirbani, op. cit., hlm. 15 Ibid 19 Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 41 20 Ibid 18
15
Metode tahlily menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair ahli balaghah terdahulu, ucapan-ucapan ahli hikmah yang arif, teori-teori ilmiah yang benar, kajian-kajian bahasa atau berdasarkan pemahamannya, dan hal lain-lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Metode ini digunakan oleh ulama-ulama terdahulu, akan tetapi diantara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab) ada yang singkat (i’jaz) dan ada pula yang langkah pertengahan. Mereka sama-sama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlily tetapi dengan corak yang berbeda. b. Tafsir Ijmaly Tafsir ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayatayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua orang. Dengan demikian, penafsir metode ini mengikuti cara dan susunan al-Qur’an yang membuat masingmasing makna saling berkaitan dengan lainnya.21 Di dalam tafsirnya, seorang penafsir menggunakan lafadz yang mirip bahkan sama dengan lafadz al-Qur’an, sehingga akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri, tidak jauh dari lafadz-lafadznya. Sehingga di satu sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir, di sisi lain betul-betul sebagai karya tafsir, di sisi lain betul-betul mempunyai hubungan erat dengan susunan bahasa al-Qur’an. Cara penafsiran dengan gaya bahasa demikian sangat jelas bagi pandangan dan mudah dipahami. 21
Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir mawdhu’iy, Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 29
16
Pembahasan disertai dengan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga seakanakan al-Qur’an itu sendiri yang berbicara, membuat makna dan maksud ayat menjadi jelas. Demikianlah lafadz-lafadz al-Qur’an tersebut memperjelas tujuan dan manfaat yang diharapkan. Untuk mencapai tujuannya, penafsir juga meneliti dan mengkaji asbab alnuzulnya atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, meneliti hadits-hadits nabi atau atsar dari orang-orang shaleh.22 c. Tafsir Muqarrin Metode tafsir muqarrin yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat itu, baik mereka termasuk ulama salaf atau ulama hadits yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rasulullah, para sahabat atau tabi’in (tafsir bil al maktsur), atau berdasarkan ratio (tafsir bi al ra’yi), dan kecenderungan-kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madzab, siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu atau mendukung aliran tertentu dalam Islam.23 Mufassir
dengan
metode
muqarrin
dituntut
mampu
menganalisis pendapat-pendapat para ulama yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai dan menolak penafsiran yang dinilai kurang benar, serta menjelaskan alasan dari sikap yang diambilnya. Selain itu metode muqarrin mempunyai pengertian dan lapangan yang lebih luas, yaitu membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an atau membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits yang memperkuat al-Qur’an, atau hadits-hadits yang tampaknya berbeda serta mengkompromikan dan 22 23
Ibid., hlm.30 Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 75
17
menghilangkan pertentangan antara hadits-hadits itu, dan kajian lain yang dengan itu akan tampak jelas kelebihan dan professionalisme seorang mufassir pada bidangnya dengan kemampuan menggali makna al-Qur’an yang belum berhasil diungkap oleh mufassir-mufassir lain.24 d. Metode Tafsir Maudhu’i Metode yang digunakan dalam mengumpulkan penelitian ini adalah metode maudhu’i. Sebagaimana al-Farmawi, seperti yang diuraikan Dr. Wasiruddin Baidan, metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan, semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dari berbagai aspeknya.25 Metode tafsir maudhu’i/tematik ialah metode yang ditempuh seorang mufassir, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat alQur’an yang berbicara tentang satu masalah atau tema serta mengarah pada satu pengertian dan satu tujuan sekalipun ayat-ayat itu cara turunnya berbeda, tersebar dalam berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.26 Dengan metode ini seorang mufassir menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan, menguraikan dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi, dan apa yang dapat diistinbatkan dari segi i’rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi i’jajznya dan lain-lain sehingga satu tema itu dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat yang ada tersebut. Dalam penerapan metode ini, peneliti menggunakan langkahlangkah metode maudhu’i yang sudah berlaku dikalangan para ulama mufassir antara lain:
24
Ibid Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2000), cet. II, hlm. 151 26 Agil Husein al Munawar dan Masykur Hakim, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir (Semarang: Domas, 1994), hlm. 25
18
1). Menentukan tema tertentu yang akan dibahas 2). Menghimpun ayat-ayat berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan 3). Menyusun ayat-ayat secara runtut menurut kronologi masa turunnya disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbab al nuzul 4). Setelah menghimpun ayat-ayat tadi peneliti akan mendapat gambaran umum tentang korelasi dan keserasian antar ayat selanjutnya berkaitan langsung dengan tema yang ditentukan 5). Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh 6). Melengkapi pembahasan dengan hadits yang relevan dengan tema bahasan 7). Mempelajari ayat-ayat tersebut cara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khash, antara yang mutlaq dan muqayyad atau mengkompromikan ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesesuaiannya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.27 Metode
maudhu’i
mempunyai
beberapa
keistimewaan
dibanding dengan metode yang lain: 1). Menghindari problem atau kelemahan metode yang lain 2). Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits nabi merupakan cara terbaik menafsirkan al-Qur’an 3). Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami, sebab metode ini membawa
pembaca
kepada
petunjuk
al-Qur’an
tanpa
mengemukakan berbagai pembahas terperinci dalam satu disiplin ilmu, juga dengan metode ini dapat dibuktikan bahwa persoalan yang tersentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan 27
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 115
19
begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai
problema
kehidupan
disertai
dengan
jawaban-
jawabannya, dapat memperjelas fungsi al-Qur’an kembali, dan dapat membuktikan keistimewaannya. 4). Metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an sekaligus bukti dan ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.28 Contoh-contoh tafsir maudhu’i banyak sekali dapat ditemukan dalam al-Qur’an, diantaranya adalah ayat-ayat tentang tauhid dalam alQur’an, ayat-ayat tentang amal baik, tentang riba, takwa, shalat, haji, zakat, puasa, ahklak, sumpah, hukum, ijtihad dan tema-tema penting lainnya yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan umat Islam. Seorang orientalis Jerman mengarang satu kitab yang didalamnya merinci ayat-ayat al-Qur’an menjadi 800 tema. Ia menamakan kitabnya dengan “Tafshil ayat al-Qur’an al Karim” dengan tema yang berbeda-beda misalnya ayat-ayat tentang pertanian, perdagangan, industri, perkapalan, bangunan, peperangan, perdamaian dan lain-lain.29 Nampaknya metode maudhu’i memang yang paling baik dan akan mampu menjawab tantangan zaman, karena metode ini bukan hanya sekedar teori, namun ia berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Dalam hal ini penulisa ingin mengadakan studi analisis tentang salah satu tema pokok yaitu istilah dalam al-Qur’an. 3. Corak Penafsiran Para mufassir dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an sudah pasti hasilnya dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, latar belakang pendidikan serta keadaan sosial kehidupan. Maka lahirlah karya-karya tafsir dengan berbagai tafsir 28 29
Ibid., hlm. 117 Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 39
20
dengan corak yang berbeda, yaitu corak tafsir bi al maktsur, corak tafsir bi al ra’yi, corak tafsir fiqhi, corak tafsir falsafi, shufi, ilmy dan adaby. a. Tafsir bi al Maktsur Tafsir bi al maktsur adalah menafsirkan al-Qur’an dengan Qur’an, dengan sunah karena ia berfungsi menjelaskan kitab ullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh tabi’in besar karena mereka menerima langsung dari sahabat.30 1). Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an sebagaimana diketahui sebagian ayatnya merupakan tafsiran bagi sebagian yang lain. Maksudnya ialah bahwa suatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan ditempat lain, suatu ketentuan yang berbentuk global mengenai suatu masalah dijelaskan dalam topik lain, sesuatu yang bersifat umum dalam sebuah ayat ditakhsish oleh ayat lain, sesuatu yang mutlak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad mengenainya.31 Para ulama berkata bahwa penafsirannya yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat alQur’an terhadap sebagian yang lain. 2). Tafsir al-Qur’an dengan sunnah Tafsir al-Qur’an dengan sunnah dilakukan apabila tidak diperoleh penafsiran dengan al-Qur’an, sunnah adalah segala apa yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat budi pekerti yang luhur. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menegaskan bahwa beliau diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur’an kepada manusia, antara lain firman al-Qur’an dalam surat an nahl ayat 64:
30 31
Manna’ Khalil Al-Qotton, op. cit., hlm. 477 Mahmud Basmi Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 24
21
ﻤ ﹰﺔ ﺣ ﺭ ﻭ ﻮ ﻭﻫ ﻴ ِﻪﺍ ِﻓﺘﹶﻠ ﹸﻔﻮﺧ ﻯ ﺍ ﺍﱠﻟ ِﺬﻢﻦ ﹶﻟﻬ ﻴﺒﺏ ِﺍﻻﱠ ِﻟﺘ ﺎﻚ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻴﻋﹶﻠ ﺰﻟﹾﻨﹶﺎ ﻧﺎ ﹶﺍﻭﻣ ﻮ ﹶﻥ ﺆ ِﻣﻨ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﱢﻟ ﹶﻘ “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kamu yang beriman”.32 3). Tafsir al-Qur’an dengan pendapat para sahabat dan tabi’in Jika kita menemukan penafsiran al-Qur’an dengan alQur’an, dan juga tidak diketemukan dalam as-Sunnah, maka alQur’an ditafsirkan dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka. Ini mengingatkan mereka adalah orang-orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik mengetahui aspek-aspek kebalaghahannya. Selain itu generasi sahabat adalah generasi yang sangat dekat dengan Nabi dimana diantara mereka tak ada perselisihan, dan juga mereka menyaksikan sendiri saat al-Qur’an diturunkan dan mengerti pula kondisi saat itu (asbab al nuzulnya). Sebagaimana kita ketahui bahwa tafsir yang dinukilkan dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengannya. Maka jika penafsiran alQur’an tidak didapatkan dalam al-Qur’an itu sendiri dan tidak juga dari as-Sunah atau pendapat sahabat, maka penafsiran didasarkan pendapat para tabi’in, untuk menjelaskan kesamaran yang ditemui kaum muslimin tentang sebagian makna al-Qur’an dengan selalu berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar. Diantara kitab-kitab tafsir bi al maktsur adalah Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari, al Tafsir al 32
Depag RI, op. cit., hlm. 411
22
Manqul karya al-Baghawy, Tafsir al-Qur’an al ‘Adhim karya Ibn Katsir dan al-Bahr karya al ‘Alamah Abu al laits al Samarqandy.33 b. Tafsir bi al Ra’y Tafsir bi al-ra’y adalah mengenai al-Qur’an dengan jalan ijtihad setelah mufassir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, dan mufassir juga menggunakan syair-syair Arab sebagai pendukung, disamping memperhatikan juga asbab al nuzulnya, nasikh mansukhnya dan lain-lain.34 Apabila sebuah kitab tafsir lebih didominasi oleh tafsir bi al ra’y atau ijtihad sementara bi al maktsurnya hanya sedikit, maka tafsir yang demikian itu dinamakan tafsir bi al-ra’y. Para ulama berselisih pendapat mengenai membolehkan. Sebenarnya
ra’y,
membolehkan.
ada
yang
Sebenarnya
mengharamkan
perbedaan
itu
dan
karena
ada si
yang
penafsir
memastikan bahwa yang dimaksud Allah begini dan begitu, tanpa disertai dalil dan hujjah, atau karena mereka menafsirkan, padahal ia tidak tahu bahasa Arab, atau karena dorongan hawa nafsu sehingga hendak memutarbalikkan makna ayat-ayat al-Qur’an. Lain halnya kalau si penafsir mempunyai persyaratan cukup yang diperlakukan. Sehingga tak ada salahnya kalau ia berusaha menafsir al-Qur’an atas dasar pendapat dan akal.35 As-Suyuti mengutip pendapat Zarkasyi dalam al-burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’y: 1). Berpegang pada hadits-hadits Rasulullah dengan ketentuan, ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif dan maudlu’ 2). Berpegang pada ucapan sahabat Nabi karena apa yang mereka ucapkan menurut peristilahan hadits mutlak marfu’ (shalih atau 33
Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 48 Ibid 35 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 38334
384
23
hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbab an-nuzul dan halhal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ar-ra’y). 3). Mutlak harus berpegang teguh pada kaidah bahasa Arab 4). Berpegang teguh pada maksud, ayat, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan syara’36 c. Tafsir Sufi Tafsir sufi adalah penafsiran yang dilakukan kaum sufi yaitu menafsirkan al-Qur’an disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajarannya. Mereka menjadikan al-Qur’an sebagai landasan untuk memperkokoh langkah-langkah dan jalan yang mereka tempuh. Kaum sufi berpendapat bahwa di belakang dalil-dalil berupa kata-kata dan kalimat terdapat juga pemikiran sangat dalam dan makna yang sangat halus. Juga hakekat al-Qur’an tidak terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah saja, tetapi tersirat juga makna batin yang justru merupakan makna terpenting. Nasiruddin Khusru mengatakan, “Tafsir teks al-Qur’an secara lahir adalah jasadnya aqidah, sedang tafsir yang lebih mendalam ibarat ruhnya: mana mungkin jasad hidup tanpa ruh.37 Tafsir sufi dibedakan menjadi dua yaitu tafsir sufi an-nadzari dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi an-nadzari yaitu menafsirkan alQur’an berdasarkan persepsi para ahli supaya sesuai dengan pandangannya. Sedang tafsir sufi sesuai dengan isyarat yang mereka temukan di dalamnya, atau dengan kata lain, penafsiran al-Qur’an dengan pendekatan intuisi para ahli sufi.38 d. Tafsir ‘Ilmy Tafsir ‘ilmy adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam
al-Qur’an
dengan
mengaitkannya
dengan
ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang.39 Kenyataannya
36
Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama (Bandung: Pustaka, 1989), hlm. 287 37 Ahmad Asy-Syirbani, op. cit., hlm. 133 38 Ibid., hlm. 39 Agil Husein al Munawar, op. cit., hlm. 37
24
membuktikan makin maju akal pikiran manusia dan makin banyak bidang ilmu pengetahuan yang dikuasainya, ditambah lagi dengan semakin mendesaknya kebutuhan untuk menemukan berbagai hal yang baru serta makin sempurnanya peralatan yang diperlukan untuk mengadakan penelitian, semua isyarat al-Qur’an makin muncul kebenarannya.40 Namun ada sebagian yang menafsirkan al-Qur’an secara ilmiah dengan berlebihan, dimana mereka menetapkan secara pasti bahwa al-Qur’an telah mencakup seluruh ilmu pengetahuan serta mengisyaratkan semua persoalan. Sebagai dalil mereka menunjuk firman Allah. “Tidak ada sesuatu apapun yang kami alpakan di dalam al-Kitab”, padahal yang dimaksud al-Kitab dalam ayat tersebut ialah Lauh Mahfudz, pengertian Syathibi berpendapat, menggunakan ayat tersebut sebagai dalil untuk memperluas penafsiran ilmiah tidaklah dapat diterima. Karena yang dimaksud dengan kata “al-Kitab” dalam ayat itu adalah lauh mahfudz.41 Al-Qur’an adalah kitab dalam ayat itu dan hukum syari’at, bukan kitab yang menguraikan pengetahuan atau teknologi secara terperinci. e. Tafsir Fiqhi Sebagai akibat berkembangnya ilmu fiqh, yang setiap golongan berusaha,
membuktikan
kebenaran
pendapatnya
berdasarkan
penafsiran mereka, maka muncullah corak tafsir fiqhi adalah penafsiran terhadap ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan para sahabat Rasulullah menggali hukum-hukum syara’ dari ayat-ayat huukm yang terdapat dalam al-Qur’an terutama dari ayat-ayat hukum yang terdapat pada surat-surat yang turun di Madinah yang berisi syari’at Islam dengan segala cabangnya yaitu shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, muamalah, halal-haram dan sebagainya. Mereka berkata bahwa surat al-Baqarah saja memuat seribu berita,
40 41
Ahmad Asy-Syirbani, op. cit., hlm. 128 Ibid., hlm. 131
25 seribu perintah, seribu larangan dan seribu hukum.42 namun sekali lagi akibat lahirnya madzab-madzab fiqh, maka setiap madzab atau golongan berupaya menakwilkan ayat al-Qur’an, sehingga dapat dijadikan dalil atas kebenaran amdzabnya serta menggiring ayat-ayat al-Qur’an sehingga sejalan dengan ilmu kalam masing-masing dan dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip madzabnya. f. Tafsir Falsafi Tafsir falsafi yaitu akibat dari pengaruh pemikiran filsafat ke dalam dunia Islam melalui interaksi budaya Yunani dengan Islam, maka teori-teori filsafat mempengaruhi dalam menafsirkan al-Qur’an, diantara mufassir ada yang menolak pemikiran filsafat. Namun ada pula yang justru mengaguminya. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dengan agama serta berusaha menghilangkan pertentangan yang terjadi didalamnya mereka menafsirkan al-Qur’an dengan didasarkan pada teori-teori filsafat, sesuatu yang tidak mungkin ada kaitan makna dengan teks-teks ayat al-Qur’an. Mengenai tafsir falsafi ini Dr. Muh Husein adz-Dzahabi berkata: “Kami tidak mendengar seorang dari para filosof mengarang satu kitab tafsir al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanyalah sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang terpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat larangan mereka.43 g. Tafsir Adabi Tafsir adabi yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.44 Karena tafsir ini menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan 42
Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 59 Ibid., hlm. 62 44 Quraish Shihab, op. cit., hlm. 73 43
26
langsung dengan kehidupan masyarakat serta menanggulangi problema masyarakat berdasarkan ayat-ayat,maka corak baru dalam penafsiran al-Qur’an ini banyak menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta motivasi untuk menggali makna dan rahasiarahasia yang terkandung didalamnya. Corak tafsir adabi ini bermula dari Syekh Muhammad Abduh, dan banyak para mufassir pasca Muhammad Abduh mencurahkan perhatiannya pada tafsir adabi ini. B. Tinjauan Umum Tentang Ishlah 1. Pengertian Ishlah Kata Ishlah berasal dari kata ashlaha, yushlihu, ishlahan.45 Kata ini merupakan derivasi (tasyrif) dari shalaha yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 180 kali.46 Dengan berbagai derivasi dan termnya. Sedangkan Ishlah dengan berbagai variasinya sendiri digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 40 kali. Ishlah secara bahasa mengandung arti lawan dari penyimpangan, memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan diantara sesama kaum. Dalam bahasa Arab modern kata ini dipergunakan untuk pengertian tajdid (pembaharuan) atau rekonsiliasi.47 Ishlah dalam arti sulhu juga dibahas oleh para ulama fiqih yang diartikan sebagai perdamaian. Mereka sepakat atas “kejaizan” (kebolehan) dalam melakukan perdamaian antara sesama muslim, antara suami isteri, ketika dikhawatirkan terjadinya perpecahan.48 Dalam pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fiqh juga membahas kata Ishlah dalam bentuk istislah yaitu suatu cara penetapan 45 Kata ini merupakan salah satu dari 3 bentuk fi’il tsulatsi (bentuk kata yang terdiri dari tiga huruf) yang mendapatkan satu huruf (tsulatsi madhi’) yang mengikuti pola bentuk (wazan) af’ala, fa’ala, faa’ala, Musthofa al Ghalayaini, Jami’al Durus al ‘Arabiyah (Beirut: al Maktabah al Ashriyah, 1994), cet XxiX, juz I, hlm. 218 46 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al Mu’jam Mafahras li Al Fadh al-Qur’an al-Karim (beirut: Dasar al hadits al Dohirah, 1996), hlm. 504-507 47 John L Esposito, The Islamic Thfeat: Mythor Reality, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI, “Ancaman Islam: Mitos atau Realitas” (Bandung: Mizan, 1996), cet. III, hlm. 61 48 Sa’ad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Perspektif Ulama dalam Hukum Islam, terj. K.H. A Sahal Mahfudz, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 76
27
hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma’ dengan mendasarkan pada pemeliharaan al maslahat al mur salat yakni maslahat yang tidak disebutkan dengan nash tertentu akan tetapi sejalan dengan kehendak syara’. Dengan demikian al-maslahat al mursalat dapat diartikan dengan sesuatu yang tdiak ada dalil khusus yang mengakui dan tidak pula yang membatalkannya. Namun apabila diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti memilih
agama,
jiwa,
keturunan,
akal
dan
harta,
serta
dapat
49
menghilangkan kesulitan.
Istilah Ishlah juga diartikan sebagai suatu bentuk kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai yang dapat berlaku dalam keluarga, pengadilan, peperangan dan lain-lain.50 2. Pengertian Ishlah menurut para pakar a. Menurut Ali Syari’ati Ali Syari’ati, dalam bukunya immah dan imamah, membahas kata Ishlah ini berkaitan dengan kata khidmah (pelayanan). Menurutnya,
ishlah
adalah
melakukan
pekerjaan
membantu
meringankan pekerjaan yang lain sepanjang yang layak mereka kehendaki dan menyelaraskannya dengan apa yang seharusnya mereka rasakan
danapa
yang
dapat
menyampaikan
mereka
pada
kesempurnaan. Sedangkan kata khidmah adalah pekerjaan membantu meringankan terhadap yang di abdi sepenjang yang ia inginkan, membuuhkan, merasa nikmat, dan senang di sela-sela pengabdiannya. Dengan denmikian setiap orang yang menolong terhadap orang yang disayanginya yang ada kaitan hati dengannya, maka ia telah mengajukan pengkhidmatan. Adapun pribadi yang mengubah, menyadarkan, atau meluruskan berdasarkan komitmen, kesadaran 49
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. I, hlm. 41 50 Husein Sadily dkk, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ictiar Baru – Van Hoeve, 1982), hlm. 1946
28
suatu usahanya jika menyeleweng, khidmah adalah menolong pribadi dalam “Proses pembentukannya ke arah wvolusi dan penyempurnaan”, lebih lanjut ia mengatakan bahwa khidmah layanan yang tidak disertai dengan Ishlah (perbaikan), karena pelayanan yang tidak disertai dengan Ishlah (perbaikan) kadang-kadang berubah menjadi khidmat dan acapkali mengarah kepada penyelewengan. Untuk menguatkan pendapat ini, ia sependapat dengan prinsip umum yang berbunyi: “Setiap Ishlah (perbaikan) adalah khidmah (pelayanan), tetapi tidak setiap khidmah adalah Ishlah”. Prinisp ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan dalam banyak hal, diantaranya tentang problem-problem sosial, politik, kemanusiaan dan sejarah serta hukum.51 b. Menurut Qurais Shihab salah satu ayat dalam bidang ukhuwah surat al hujurat ayat 10 dapat dijadikan ladasan untuk pemantapan ukhuwah islamiyah.
ﻮ ﹶﻥﺣﻤ ﺮ ﺗ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﻪ ﹶﻟ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﻢ ﻭ ﻳﻜﹸﻮ ﺧ ﻦ ﹶﺃ ﻴﺑ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﻮ ﹲﺓ ﹶﻓﹶﺄ ﺧ ﻮ ﹶﻥ ِﺇﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﺎ ﺍﹾﻟﻧﻤِﺇ “Sesungguhnmya orang-orang mukmin adalah bersaudara itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan beryakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.52 Ayat tersebut menjadikan konsekuensi dari persamaan iman adalah melakukan Ishlah antar sesama saudara. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an berpendapat bahwa kata Ishlah hendaknya jangan dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih. Akan tetapi, kata tersebut harus dipahami sesuai dengan makna semaunya dengan memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadapnya. Menurutnya ada dua bentuk yang digunakan al-Qur’an, pertama “Ishlah” merupakan satu bentuk kata yang selalu membutuhkan obyek, dan kedua “Shalah”, yang digunakan dalam 51
Ali Syari’ati, Immah dan Imamah, terj. Faishol Hasanuddin (Bandar Lampung – Jakarta: Penerbit, YAPI, 1990), hlm. 44-45 52 Depag RI, op. cit., hlm. 846
29
bentuk
kata
sifat.
Sehingga
shalah
dapat
diartikan
sebagai
“terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu, sehingga ia dapat bermanfaat
(berfungsi)
dengan
baik
sesusai
dengan
tujuan
kehadirannya”. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya sehingga tujuan dimaksud tidak tercapai, maka manusia dan dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut padanya, dan apa yang dilakukannya dinamai Ishlah.53 c. Menurut John O.Voll Menurut John O.Voll dalam artikelnya “pembaharuan dan perubahan dalam Islam”, mengemukakan bahwa: dua dari pengertianpengertian utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata Ishlah dan tajdid. Ishlah biasa di terjemahkan sebagai “perubahan” dan tajdid sebagai “pembaharuan”. Secara berasma-sama kedua kata tersebut mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktekprakteknya dalam sejarah komunitas kaum muslimin.54 Selama berabad-abad arti khusus Ishlah dan tajdid telah berubah,
bergantung
pada
evolusi
pemikiran
dan
perubahan
lingkungan pada masyarakat Islam. Tetapi secara umum terdapat kesinambungan semangat yang mendasar pada perubahan makna yang khusus tersebut. Pada hakekatnya, dalam keadaan yang berubah, dan dengan implikasi yang berbeda-beda, Ishlah dan tajdid selalu mencakup seruan untuk kembali pada asas-asas pokok Islam seperti dikemukakan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam arti yang mendalam Ishlah dan tajdid adalah cara-cara perubahan yang didasar oleh wahyu Illahi dan sunnah Nabi.55
53
Quraish Shihab, op. cit., hlm. 360 John O. Voll, Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam dalam bukunya John L. Esposito (ed) Dinamika Kebangunan Islam, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), cet. I, hlm. 22 55 Ibid., hlm. 24 54
30
3. Klasifikasi penggunaan Ishlah dalam al-Qur’an Al-Qur’an dalam ungkapan ayatnya mengklasifikasi anjuran Ishlah dalam berbagai masalah, yaitu: a. Dalam Bidang Politik Dalam hubungan antara sesama kelompok masyarakat dan satu kelompok
masyarakat
dengan
pemerintah
terkadang
terjadi
perselisihan. Oleh karena itu al-Qur’an memerintahkan Ishlah bila terjadi hal tersebut seperti dijelaskan dalam surat al Hujurat (49) ayat 9:
ﻋﻠﹶﻰ ﺎﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﺖ ِﺇ ﻐ ﺑ ﺎ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﺘﻠﹸﻮﺍ ﹶﻓﹶﺄﺘﲔ ﺍ ﹾﻗ ﺆ ِﻣِﻨ ﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﺎ ِﻥ ِﻣﻭِﺇ ﹾﻥ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔﺘ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﺕ ﹶﻓﹶﺄ ﻣ ِﺮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻓﹶﺎ َﺀ ﺗﻔِﻲ َﺀ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ﻰﺣﺘ ﺒﻐِﻲﺗ ﻯ ﹶﻓﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺘِﻲﺧﺮ ﺍﹾﻟﹸﺄ ﲔ ﺴ ِﻄ ِ ﹾﻘ ﺍﹾﻟﻤﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﺴﻄﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ِ ﻭﹶﺃ ﹾﻗ ﺪ ِﻝ ﻌ ﺎ ﺑِﺎﹾﻟﻬﻤ ﻨﻴﺑ “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah sau dari kedua golongan itu, berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.56 Dalam ayat ini terdapat dua perintah Ishlah, pertama, melakukan Ishlah terhadap dua kelompok yang berperang dan melakukan Ishlah terhadap pembangkang pemerintah yang sah. Ishlah yang pertama adalah dengan cara mengajak kedua belah pihak untuk kembali kepada kitab Allah dan membawa mereka kemeja perundingan serba menghentikan peperangan.57 Sementara dalam masalah kedua, pemerintah terlebih dahulu wajib melakukan langkah persuasive untuk menyadarkan mereka kembali. Kalau mereka masih tetap berontak, maka pemerintah diijinkan untuk memerangi mereka
56
Depag RI, op. cit., hlm. 846 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al Kabir au Mafatih al Ghaib (Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1990), jilid XXVIII, hlm. 110 57
31
hingga tunduk. Pemerintah juga boleh menangguhkan hukuman terhadap mereka jika ternyata pelaksanaannya akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat.58 b. Urusan Rumah Tangga 1). Tentang nusyuz Nusyuz berasal dari kata an nasyz an nasyaf yang berarti tempat yang tinggi.59 Arti kata ini dalam pemakaiannya berkembang menjadi durhaka al ‘isyyam atau tidak patuh sebagai lawan kata qunut yang berarti senantiasa patuh.60 Dalam istilah fiqh nusyuz diartikan sebagai ketidakpatuhan, salah satu pasangan terhadap apa yang harus di patuhi dan atau rasa benci terhadap pasangannya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.61 Oleh karena itu apabila terdapat sesuatu yang memang tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Nusyuz berawal dari salah satu pihak suami atau isteri bukan keduanya, secara bersama-sama, karena ini disebut sebagai syiqaq, nusyuz pihak istri berarti ketidaktaatannya kepada suami, yang bisa berbentuk apabila istri tidak menghiraukan hak suami atas dirinya.62 Sedangkan nusyuznya suami lebih sering berbentuk pada kebencian atau ketidaksenangannya terhadap istrinya sehingga suami menjauhi atau tidak memperhatikan istrinya. Dalam
al-Qur’an,
nusyuz
pihak
istri
terhadap
suaminya
diungkapkan dalam an-Nisa ayat 34:
58
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al Anshari al-Qurthubi, al Jami’ li Ahkam alQur’an (Kairo: Daar al Qalam, 1996), cet III, jilid XVI, hlm. 318 59 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawar (Yogyakarta; Ponpes al Munawir, 1984), hlm. 1517 60 Abu Ja’far Muhammad Ibn al Thabari, al Jami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1992), jilid IV, hlm. 64 61 Wahbah az-Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al Fikr, 1989), hlm. Cet. III, jilid V, hlm. 338 62 al-Qurthubi, op. cit., jilid V, hlm. 180
32
ﺎﻭِﺑﻤ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﻬ ﻀ ﻌ ﺑ ﻪ ﻀ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﹶﻓﺎ ِﺀ ِﺑﻤﻨﺴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥﺍﻣﺎ ﹸﻝ ﹶﻗﻮﺮﺟ ﺍﻟ ﻆ ﺣ ِﻔ ﹶ ﺎﺐ ِﺑﻤ ِ ﻴﻐ ﺕ ِﻟ ﹾﻠ ﺎِﻓﻈﹶﺎﺕ ﺣ ﺎﺕ ﻗﹶﺎِﻧﺘ ﺎﺎِﻟﺤﻢ ﻓﹶﺎﻟﺼ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﻦ ﹶﺃ ﻧ ﹶﻔﻘﹸﻮﺍ ِﻣﹶﺃ ﺎ ِﺟ ِﻊﻤﻀ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻫﻦ ﻭﺠﺮ ﻫ ﺍﻦ ﻭ ﻫ ﹶﻓ ِﻌﻈﹸﻮﻫﻦ ﺯ ﻮﻧﺸ ﺎﻓﹸﻮ ﹶﻥﺗﺨ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲﻪ ﻭ ﺍﻟﱠﻠ ﺍﺎ ﹶﻛِﺒﲑﻋِﻠﻴ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺳﺒِﻴﻠﹰﺎ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻦ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻮﺍﺒﻐﺗ ﻢ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﻨﻜﹸﻌ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ ﹶﻃﻫﻦ ﻮﺿ ِﺮﺑ ﺍﻭ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita soleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanta yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”.63 Adapun nusyuz dari pihak suami kepada istrinya, diungkapkan oleh an-Nisa’ ayat 128
ﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﻴ ِﻬﻤﻋﹶﻠ ﺡ ﺎﺟﻨ ﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎﺍﺿﻋﺮ ﻭ ِﺇ ﺍ ﹶﺃﻮﺯﻧﺸ ﺎﻌِﻠﻬ ﺑ ﻦ ﺖ ِﻣ ﺎﹶﻓﺮﹶﺃ ﹲﺓ ﺧ ﻣ ﻭِﺇ ِﻥ ﺍ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺢ ﺸ ﺍﻟﻧﻔﹸﺲﺕ ﺍﹾﻟﹶﺄ ِ ﺮ ﻀ ِ ﺣ ﻭﺃﹸ ﺮ ﻴﺧ ﺢ ﹾﻠﺍﻟﺼﺎ ﻭﺻ ﹾﻠﺤ ﺎﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﺎﺼِﻠﺤ ﻳ ﺍﺧِﺒﲑ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﺎﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺑﻤ ﺘﻘﹸﻮﺍ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﺗﻭ ﻮﺍﺴﻨ ِﺤ ﺗ “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.64 Adapun dua jalan yang bisa ditempuh seorang isteri apabila mengalami perlakuan nusyuz dari suaminya, yaitu: pertama, bersabar dan jalan yang kedua adalah mengajukan khulu’ dengan 63 64
Depag RI, op. cit., hlm. 123 Ibid
33
kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya. Sehingga suaminya menjatuhkan talak. Adapun bagi suami yang menghadapi nusyuz dari istri adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam anNisa’ ayat 34. Tahap pertama berupa pemberian nasehat, petunjuk dan peringatan tentang ketakwaan kepada ketakwaan kepada Allah serta hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga.65 2). Syiqaq Kemudian Allah menerangkan cara yang baik untuk diterapakan ketika terjadi pertengkaran dan ketika takut terjadi perpecahan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 35:
ﺎ ِﺇ ﹾﻥﻫِﻠﻬ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻭ ﻫِﻠ ِﻪ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻌﺜﹸﻮﺍ ﺑﺎ ﻓﹶﺎﻴِﻨ ِﻬﻤﺑ ﻕ ﻢ ِﺷﻘﹶﺎ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺍﺧِﺒﲑ ﺎﻋﻠِﻴﻤ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺎ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻪ ﻮﱢﻓ ِﻖ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﻳﺻﻠﹶﺎﺣ ﺍ ِﺇﻳﺮِﻳﺪ “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.66 Ayat tersebut membahas tentang istilah dalam perkara syiqaq- syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada dua belah pihak suami dan istri secara bersama-sama. Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami istri itu, meskipun diduga tidak akan dapat diatasi. Al-Qur’an memerintahkan agar diutus dua orang hakam (juru damai). Pengutusan hakam ini dimaksudkan untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.67
65
Wahbah az-Zuhaili, op. cit., jilid VII, hlm. 338 Depag RI, op. cit., hlm.123 67 Quraish Shihab, Tafsir al Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an) (Jakarta: Lentera hati, 2000), volume II, hlm. 403 66
34
Berdasarkan pengertian nash (dhawair al nash) pada ayat 35 surat an-Nisa tersebut maka juru damai yang dimaksud adalah terdiri atas wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri. Fungsi utama hakam adalah mendamaikan.68 Walaupun telah terjadi perceraian, upaya untuk Ishlah menurut al-Qur’an masih tetap terbuka yakni dengan cara rujuk kepada bekas istrinya selama masih iddah (menunggui). Dengan syarat talaq tersebut masih dalam bentuk talak raj’i (talak yang masih bisa untuk dirujuk). 3). Poligami Poligami adalah perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih (namun cenderung diartikan: perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih).69 Al-Qur’an memerintahkan untuk mengadakan Ishlah dalam hal poligami. Pada dasarnya poligami menurut al-Qur’an adalah dibolehkan sampai pada batas maksimal empat orang istri seperti diungkapkan oleh ayat 3 an-Nisa’:
ﺎ ِﺀﻨﺴﻦ ﺍﻟ ﻢ ِﻣ ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺎ ﻃﹶﺎﻮﺍ ﻣﻧ ِﻜﺤﻰ ﻓﹶﺎﺎﻣﻴﺘﺴﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِ ﹾﻘﻢ ﹶﺃﻟﱠﺎ ﺗ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺖ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﺎﻭ ﻣ ﺪ ﹰﺓ ﹶﺃ ﺍ ِﺣﻌ ِﺪﻟﹸﻮﺍ ﹶﻓﻮ ﺗ ﻢ ﹶﺃﻟﱠﺎ ﺘﻉ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺎﺭﺑ ﻭ ﺙ ﻭﹸﺛﻠﹶﺎ ﹶ ﻰﻣﹾﺜﻨ ﻮﻟﹸﻮﺍﺗﻌ ﻰ ﹶﺃﻟﱠﺎﺩﻧ ﻚ ﹶﺃ ﻢ ﹶﺫِﻟ ﻧ ﹸﻜﺎﻳﻤﹶﺃ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kaum miilki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.70
68
Ibid M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 606 70 Depag RI, op. cit., hlm. 115 69
35
Kebolehan poligami tersebut dengan syarat harus dapat memenuhi keadilan diantara para istri-istrinya. Sehingga apabila dikhawatirkan tidak adanya keadilan hukumnya dilarang poligami itu dengan mengingat kemaslahatan yang tidak dapat ditimbulkan dan diperbolehkan. Poligami tersebut yaitu tiada adanya keadilan. Keadilan yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah dalam hal membagi cinta, karena begitu sulitnya hal itu terjadi, maka alQur’an pun memberikan solusi yaitu dengan cara mengadakan Ishlah (perbaikan). Sebagaimana ayat 129 an-Nisa’:
ﻴ ِﻞﻤ ﺗﻤِﻴﻠﹸﻮﺍ ﹸﻛ ﱠﻞ ﺍﹾﻟ ﻢ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﺘﺻ ﺮ ﺣ ﻮ ﻭﹶﻟ ﺎ ِﺀﻨﺴﻦ ﺍﻟ ﻴﺑ ﻌ ِﺪﻟﹸﻮﺍ ﺗ ﻮﺍ ﹶﺃ ﹾﻥﺘﻄِﻴﻌﺴ ﺗ ﻦ ﻭﹶﻟ ﺎﺭﺣِﻴﻤ ﺍﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻏﻔﹸﻮﺭ ﺘﻘﹸﻮﺍ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﺗﻭ ﻮﺍﺼِﻠﺤ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺗ ﻌﻠﱠ ﹶﻘ ِﺔ ﺎ ﻛﹶﺎﹾﻟﻤﻭﻫﺘ ﹶﺬﺭﹶﻓ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.71 Ishlah yang dimaksud adalah dengan cara melepaskan (menceraikan) istri yang lain. Sebagaimana diungkapkan dalam anNisa’ ayat 130, dan hanya dengan memilih satu diantaranya seperti ungkapan an-Nisa’ ayat 3 tersebut, maksud dari diperbolehkannya menceraikan istri yang yang lebih dari satu ini adalah untuk menghindarkan diri dari dosa sebab tidak bisa memenuhi hak diantara para istri. c. Dalam Masalah Wasiat Wasiat adalah pesan baik yang disampaikan kepada orang lain untuk dikerjakan, baik saat hidup maupun setelah kematian yang berpesan.72 71 72
Depag RI, op. cit., hlm. 143-144 M. Dahlan Al-Barry, op. cit., hlm. 783
36
Al-Qur’an juga memerintahkan Ishlah dalam masalah wasiat yang pada dasarnya dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan wasiat bagi wasiat maupun penerima wasiat maupun bagi ahli waris dari pewasiat maupun bagi ahli waris dari pewasiat.73 Pada
dasarnya
mengubah
wasiat
adalah
haram
yang
berdasarkan pada firman Allah (al-Baqarah: 180-181). Namun kalau tidak sesuai dengan ketentuan, hukumnya bisa berubah. Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 182, Allah memerintahkan agar umat Islam jika melihat pelaksanaan wasiat terjatuh kedalam dosa untuk segera melakukan Ishlah.
ﻪ ﻴ ِﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻋﹶﻠ ﻢ ﻢ ﹶﻓﻠﹶﺎ ِﺇﹾﺛ ﻬ ﻨﻴﺑ ﺢ ﺻﹶﻠ ﺎ ﹶﻓﹶﺄﻭ ِﺇﹾﺛﻤ ﻨﻔﹰﺎ ﹶﺃﺟ ﺹ ٍ ﻮﻦ ﻣ ﻑ ِﻣ ﺎﻦ ﺧ ﻤ ﹶﻓ ﺭﺣِﻴﻢ ﺭ ﹶﻏﻔﹸﻮ “(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.74 Ishlah dalam masalah wasiat ini dimaksudkan agar dalam proses pewasiatan itu tidak terjerumus dan mengakibatkan dosa sebab adanya penyimpangan bagi para pihak yang terlihat dalam pewasiatan itu. Sehingga membawa suatu kemudharatan bagi para pihak. Karena hal ini bisa merubah hukum wasiat menjadi makruh atau bahkan haram.
73 74
al Qurthubi, op. cit., Jilid II, hlm. 269 Depag RI, op. cit., hlm. 44