BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERATURAN DAERAH DAN RUANG TERBUKA HIJAU
2.1 Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah 2.1.1 Pengertian Peraturan Daerah Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.1 Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat.2 Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat.3 Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 18 A amandemen keempat UUDNRI Tahun 1945, dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas
1
Bambang Yudhoyono, 2000, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 5 2
3
M. Solli Lubis, 1978, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, h. 150
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1998, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Rajawali, 28 Jakarta, h.52
desentralisasi sebab asas tersebut
memberikan indikasi positif bagi penyelenggaraan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Menurut pendapat Riant Nugroho D. memberikan pengertian mengenai desentralisasi yaitu sebagai pendelegasian, prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.4 Pendapat lain juga dikemukakan oleh Amrah Muslimin yang menyatakan bahwa Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.5 Pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di daerah. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat 6 UUD NRI Tahun 1945 menetapkan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Peraturan Daerah merupakan salah satu dari jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 6 UUD NRI Tahun 1945 maka setiap daerah diberikan wewenang untuk membuat sendiri peraturan daerahnya. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur bahwa peraturan
daerah
di
bentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
4
daerah
Riant Nugroho D., 2002, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Resolusi Kajian Dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Alex Media Kompurindo, Jakarta, h. 42 5
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung,
h. 42
Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011), menjadi landasan hukum untuk penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk juga peraturan lokal tadi yaitu peraturan daerah yang berlaku mengikat bagi daerah tempat peraturan daerah itu dibentuk. Peraturan Daerah merupakan produk hukum daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan dalam pelaksanaannya berlaku secara lokal, sehingga kekuatan mengikatnya hanya pada daerah dibentuk. Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: “Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.” Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 8 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota
dengan
persetujuan
bersama
Bupati/Walikota.” Ketentuan yang tercantum diatas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk membuat Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Peraturan Daerah tetap mengacu pada peraturan hukum lebih tinggi di atasnya, sehingga tidak serta merta akan mengesampingkan aturan-aturan yang lebih tinggi. Prinsip peraturan
daerah adalah untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi diatasnya maka tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut. Oleh karena itu daya ikat dari Peraturan Daerah adalah hanya mengikat bagi setiap aspek-aspek kepentingan daerah, namun tidak berarti dengan berlaku mengikat secara lokal tersebut, sehingga pemerintah daerah menganggap bahwa pengawasan pemerintah terhadap peraturan daerah tidak ada. Justru kewenangan pembentukan peraturan daerah diberikan kepada daerah untuk melakukannya dengan tetap mendapat pengawasan dan pembinaan hukum oleh pemerintah melalui institusi pemerintah yang berkompeten, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kewenangan pembentukan peraturan daerah (PERDA) tersebut, merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya peraturan daerah merupakan salah satu sarana penyelenggaraan otonomi daerah. Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama dengan
DPRD,
untuk
penyelenggaraan
otonomi
yang
dimiliki
oleh
daerah
provinsi/kabupaten/kota. Peraturan daerah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dijelaskan di atas, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah yang
dibuat oleh suatu
daerah, baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah, namun dalam asas hukum pemberlakuannya tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau menyangkut kepentingan umum.
2.1.2 Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam penyusunan perundang-
undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan terdapat
4 (empat)
landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-undangan agar menghasilkan perundangundangan yang tangguh dan berkualitas.6 Keempat landasan tersebut adalah:
a) Landasan yuridis Landasan ini berkaitan dengan ketentuan hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid, competentie) pembuat peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-undnagan atau tidak. Hal ini sangat penting untuk disebutkan dalam perundang-undangan karena seorang pejabat/suatu badan tidak berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan. Landasan ini dibagi menjadi dua: 1) Dari segi formil landasan ini memberikan kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu 2) Dari segi materiil sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi 3 hal: 1) Kewenangan dari pembuat perundang-undangan 2) Kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur 3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu pembuatan perundang-undangan
6
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, 2009, Legislatif Drafting, Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atmajaya, Yogjakarta, h. 25-28
Landasan yuridis dalam suatu perundang-undangan ini ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”. b) Landasan Sosiologis Landasan Sosiologis yaitu satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup.Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.7Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. c) Landasan Filosofis Landasan ini berkaitan dengan dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan
negara.
Suatu
rumusan
perundang-undangan
harus
mendapat
pembenaran
(recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.8 d) Landasan Politis Landasan ini berkaitan dengan garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasional
7
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
8
Budiman NPD., 2005, Ilmu Pengantar Perundang-Undangan, UII Press, Yogjakarta, h. 33
h. 18
(Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Selain landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan yang dapat digunakan diantaranya, landasan ekonomis, ekologis, cultural, religi, administratif dan teknis perencanaan yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik di semua tingkatan pemerintah.
2.1.3 Asas Pembentukan Peraturan Daerah Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. kelembagaan atau organisasi pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundangundangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundangundangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain asas-asas yang telah dikemukakan diatas lebih lanjut dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 juga menyatakan bahwa materi muatan Perda juga harus mengandung asas-asas sebagai berikut: a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. k. asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan. Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Ruang Terbuka Hijau 2.2.1 Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka bisa diartikan sebagai ruang diluar bangunan. Ruang terbuka ini antara lain meliputi taman, lapangan olah raga, jalan, pedestrian dll. Ruang terbuka inimerupakan elemen penting yang harus dipertimbangkan dalam perancangan kota karena biasanya ruang terbuka ini merupakan ruang publik. Kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama Ruang Terbuka Hijau (RTH) saat ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang berdampak keberbagai sendi kehidupan perkotaan antara lain sering terjadinya banjir, peningkatan pencemaran udara, dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial.9 Ruang Terbuka Hijau dikenal dengan istilah RTH, merupakan istilah yang telah lama diperkenalkan. Pedoman Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 (selanjutnya disebut Inmendagri No. 14 Tahun 1988).dalam ketentuan ini diatur bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan yang mencakup bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya, maka diperlukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasankawasan hijau. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan dititikberatkan pada hijau sebagai unsur kota, baik produktif maupun non produktif, dapat berupa kawasan jalur hijau pertamanan kota, kawasan hijau pertanian, kawasan jalur hijau pesisir pantai, kawasan jalur hijau sungai dan bentuk ruang terbuka hijau lainnya. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 tersebut, maka pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah ruang-ruang terbuka dalam kota atau wilayah yang 9
Tutur Lussetyowati, Analisa Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, http://eprints.unsri.ac.id/128/1/Pages_from_PROSIDING_AVOER_2011-23.pdf, diakses pada 20 Februari 2014
lebih luas, baik dalam bentuk areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhtumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah propinsi dan kabupaten/kota. RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Luas ideal RTHKP minimal 20 % dari luas kawasan perkotaan.
10
ibid
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Ruang Terbuka Hijau adalah ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. Penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau pekarangan. 2.2.2 Bentuk Ruang Terbuka Hijau Bentuk ruang terbuka hijau kawasan perkotaan ada berbagai macam versi bergantung pada sumber peraturan yang berlaku. Diantaranya menurut dokumen yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Pembentuk Kota Taman”, tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Dirjen Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari: 1. Ruang Terbuka privat; halaman rumah, halaman kantor, halaman sekolah, halaman tempat ibadah, halaman rumah sakit, halaman hotel, kawasan industri, stasiun, bandara, dan pertanian kota. 2. Ruang Terbuka publik; taman rekeasi, taman/lapangan olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau (sempadan jalan, sungai, rel KA, SUTET), dan hutan kota (HK konservasi, HK wisata, HK industri). Menurut Pasal 29 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau dibagi menjadi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:
kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;
kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi;
area pengembangan keanekaragaman hayati;
area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
tempat pemakaman umum;
pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
area mitigasi/evakuasi bencana; dan
ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut. Menurut Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan, yang termasuk kedalam ruang terbuka hijau antara lain: a. Taman kota; b. Taman wisata alam; c. Taman rekreasi; d. Taman lingkungan perumahan dan permukiman;
e. Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; f. Taman hutan raya; g. Hutan kota; h. Hutan lindung; i. Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; j. Cagar alam; k. Kebun raya; l. Kebun binatang; m. Pemakaman umum; n. Lapangan olah raga; o. Lapangan upacara; p. Parkir terbuka; q. Lahan pertanian perkotaan; r. Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); s. Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; t. Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; u. Kawasan dan jalur hijau; v. Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan w. Taman atap (roof garden).
2.2.3 Manfaat dan Fungsi Pembentukan Ruang Terbuka Hijau
Pembentukan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan dan menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Manfaat yang dapat diperoleh dari ruang terbuka hijau kota antara lain: memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan; memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota; memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah. Menurut Departemen Kehutanan, adapun manfaat dan fungsi Ruang Terbuka Hijau adalah sebagai berikut11 : a. Sebagai paru-paru kota. Tanaman sebagai elemen hijau, pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan dan mengambil CO2 dalam proses Fotosintesis. b. Sebagai pengatur lingkungan (mikro) Vegetasi menurukan suhu kota dan meningkatkan kelembaban sehingga menimbulkan hawa lingkungan setempat sejuk, nyaman dan segar. c. Sebagai peredam kebisingan sekitar 25%-80%. Vegetasi mempunyai kemampuan untuk mengurangi kebisingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap vegetasi terhadap suara adalah ± 6 - 8 dB(A)/100 feet. d. Pencipta lingkungan hidup (ekologis) dan sumber plasma nutfah. Penghijauan dapat menciptakan ruang hidup bagi makhluk hidup di alam. Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di 11
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28038/4/Chapter%20II.pdf,diunduh pada 10 Juli 2014
bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komporatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. e. Penyeimbang alam (adaphis) merupakan pembentukan tempat-tempat hidup alam bagi satwa yang hidup di sekitarnya. f. Perlindungan (protektif), terhadap kondisi fisik alami sekitarnya (angin kencang, terik matahari, gas atau debu-debu). Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayanglayang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga pertikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Manfaat dariadanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota. g. Keindahan (estetika). Dengan terdapatnya unsur-unsur penghijauan yang direncanakan secara baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota.
Vegetasi dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada maupun aroma. Unsur-unsur penghijauan yang direncanakan secara baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota. Vegetasi tidak hanya memberikan kesan lembut terhadap lingkungan keras, akan tetapi dengan ketidakteraturannya akan membuat lingkungan yang harmonis. h. Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah. i. Kesehatan (hygiene), misalnya untuk terapi mata. j. Rekreasi dan pendidikan (edukatif), jalur hijau dengan aneka vegetasi k. mengandung nilai-nilai ilmiah. Ruang terbuka tidak dapat dipisahkan dari manusia baik secara psikologis, emosional, ataupun dimensional. Manusia berada didalam ruang, bergerak, menghayati, dan berpikir, juga membuat ruang untuk menciptakan dunianya. Ruang terbuka sebenarnya merupakan wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakat di wilayah tersebut. karena itu, ruang terbuka mempunyai kontribusi yang akan diberikan kepada manusia berupa dampak yang positif. Fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Fungsi sosial ·
Tempat bermain, berolah raga
·
Tempat bersantai
·
Tempat komunikasi sosial
·
Tempat peralihan atau tempat menunggu
·
Memberikan cadangan ruang kota untuk keperluan darurat
·
Sebagai sarana penghubung antara satu tempat dengan tempat yang lain
· 2.
Sebagai pembatas atau jarak di antara massa bangunan
Fungsi Ekologis ·
Penyegaran udara
·
Penyerap air hujan
·
Pengontrol radiasi matahari
·
Pengendalian banjir
·
Memelihara ekosistem tertentu
·
Pelembut arsitektur bangunan
·
Meredam kebisingan
·
Menyerap debu
Sedangkan fungsi ruang terbuka hijau kawasan perkotaan menurut Pasal 3 Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 antara lain: a. Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; c. Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. Pengendali tata air; dan e. Sarana estetika kota.