TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH).
Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah
Ruang Terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau square (Gunadi, 1995). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka Hijau. Ruang terbuka didefinisikan sebagai ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 dalam Purnomohadi, 2006). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal, bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002) Ruang terbuka berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, pertukaran udara sebagian besar terjadi di areal (ruang) terbuka (Purnomohadi, 2006). Menurut Spreigen (1965) dalam Hakim (2002), ruang terbuka juga memiliki fungsi sebagai penunjang kenyamanan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan dan
pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang di dalam kota dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang terbuka lebih dominan (Hakim, 2002). Pelaksanaan pengembangan RTH dilakukan dengan pengisian tumbuhan pada ruang terbuka, baik secara alami ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman komoditi pertanian dalam arti luas, pertamanan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) ā€¯Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perenial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan
pelengkap
dan
penunjang
fungsi
RTH
yang
bersangkutanā€¯
(Purnomohadi, 1995) Penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk tiga hal, yaitu: 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu 1) luas minimum yang diperlukan, 2) lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk RTH, 3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 1), dan 4) distribusinya dalam kota (Tim IPB, 1993).
Konsentris
Linear
Terdistribusi
Mengikuti fisiografi (sungai)
Hierarkis
Jaringan
Gambar 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993) Anderson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa kawasan hijau terdiri dari barisan pepohonan sepanjang jalan, gerombolan vegetasi di taman-taman, terasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke daerah hutan. Menurut Grey dan Deneke (1978) ruang terbuka hijau akan disebut sebagai hutan kota jika memiliki luas minimum 0,4 ha, atau jika memiliki bentuk jalur lebarnya minimum 30 meter1. Ruang tebuka hijau meliputi semua vegetasi yang tumbuh di daerah taman, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan kawasan luar kota. Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah, 1996). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, RTH dikelompokkan menjadi 4 jenis 1
Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 menetapkan hutan kota dapat berbentuk bergerombol/menumpuk dengan berbentuk jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak rapat tidak beraturan, atau menyebar tidak beraturan dengan luas minimum 2500 m2, atau berbentuk jalur dengan lebar minimal 30 m.
yakni: RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan RTH fungsi tertentu (termasuk didalamnya RTH sempadan badan air dan pemakaman). Berbeda dengan Nurisyah,
Fandeli (2004) mengklasifikasikan
RTH
berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, dan kawasan hijau pekarangan. Djamal Irwan (1994) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi lingkungan terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan dan debu. Bentuk RTH dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk: a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan. b. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak memiliki pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol kecil c. Bentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya. Sedangkan Nurisjah (2005) membedakan bentuk ruang terbuka hijau berdasarkan kesesuaian fungsionalnya terhadap ruang-ruang kota. Ruang terbuka hijau dikelompokkan menjadi dua: a. Bentuk mengelompok, dibedakan lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek estetika ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas masyarakat kota dan kurang bermanfaat secara ekologis.
b. Bentuk jalur dikategorikan lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai, jalur hijau tepi kota dan sebagainya. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita, 1997 dalam Nurisjah, 2005). RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (Crowe, 1981). Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih. Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban.
Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan
memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang (Carpenter et al., 1975). Menurut Simonds (1983) RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya.
Secara lebih spesifik
dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana pendidikan. Menurut Purnomosidi (2006), kemudian dikukuhkan dan disempurnakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH
memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Sedangkan fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah: 1) fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam, 2) fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya. 3) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau Hingga saat ini, formula rumusan penentuan luas kebutuhan RTH untuk memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih terbatas pada penentuan luas secara kuantitatif. Luas RTH tersebut masih harus disesuaikan dengan faktor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi dan sebagainya. Perhitungan luas minimum kebutuhan RTH perkotaan secara kuantitatif dapat didasarkan pada: 1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, 2) jumlah penduduk, yakni 20m2 per kapita yang didistribusikan pada berbagai tingkat hierarki (Tabel 1), dan/atau 3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu biasanya dikaitkan dengan isuisu penting di suatu wilayah perkotaan antara lain kebutuhan oksigen, ketersediaan air, atau pencemaran udara.
Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No
Unit Lingkungan
1
250 jiwa
Taman RT
2
2500 jiwa
Taman RW
30.000 jiwa
Taman kelurahan
3
4
5
120.000 jiwa
480.000 jiwa
Tipe RTH
Taman kecamatan
Luas Minimal/ unit(m2)
Luas Minimal/ kapita (m2)
Lokasi
250
1,0
Ditengah lingkungan RT
1.250
0,5
Dipusat kegiatan RW
0,3
Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kelurahan
0,2
Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan
9.000
24.000
Pemakaman
disesuaikan
1,2
tersebar
Taman kota
144.000
0,3
Di pusat wilayah/kota
Hutan kota
disesuaikan
4,0
Di dalam/ kawasan pinggiran
Untuk fungsifungsi tertentu
disesuaikan
12,5
Disesuaikan dengan kebutuhan
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008
Kebutuhan oksigen di wilayah perkotaan, dapat menggunakan metode Gerarkis (Wisesa, 1988). Perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah konsumsi oksigen oleh penduduk kota, namun juga memperhitungkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ternak dan
kendaraan bermoor.
Kebutuhan
oksigen untuk manusia dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan memproduksi 480 liter CO2.
Untuk menghitung konsumsi oksigen oleh
kendaraan bermotor, terlebih dahulu perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor. Jenis kendaraan bermotor dibedakan menjadi kendaraan penumpang, kendaraan beban, kendaraan bis dan sepeda motor Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcchy Process) Proses Hierarki Analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa
model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif.
Atribut-atribut tersebut secara matematik
dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hierarki adalah merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya. Selanjutnya mengatur bagian-bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki. Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen unit lain, sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement, syntesis of priority, dan logical consistency. 1) Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan
hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan
terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy). 2) Comparative Judgment.
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison.
Agar
diperoleh skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban perlu memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari. 3) Synthesis of priority. Dari setiap matriks
pairwise comparison dicari
eigenvector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk hierarki.
Pengurutan elemen-
elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan priority setting. 4) Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat adalah kriterianya).
Kedua adalah
menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C, maka seharusnya A>C. Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008. Partisipasi masyarakat merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan dalam penataan ruang, baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan, melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan RTH di wilayah perkotaan adalah: 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam pengembangan ruang terbuka hijau, 2) memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pengembangan RTH, 3) menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budaya, 4) menjunjung tinggi keterbukaan dan semangat tetap menegakkan etika, serta 5) memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.