34
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKU USAHA DAN KADALUARSA
Segala bentuk kebutuhan manusia tentang barang dan/atau jasa sebagai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai kebutuhan manusia beraneka ragam dan dapat dibedakan dari macam kebutuhannya. Karena banyaknya kebutuhan manusia maka setiap manusia berusaha mencari atau memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa dalam hidupnya. Kebutuhan yang diberikan pleh pelaku usaha agar tercipta hubungan berbagai timbal balik baik konsumen maupun pelaku usaha yang saling membutuhkan. Berbagai barang dan/atau jasa yang diberikan secara tawaran oleh pelaku usaha terhadap konsumen sebagai kebutuhan yang bersifat timbal balik. Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan tersebut tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.1 Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya
1
Zumrotin K Susilo, Op.cit., h. 11.
35
kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa.2 Informasi yang diberikan oleh pelaku usaha tidak secara optimal dapat diakses oleh konsumen terhadap produk yang dibutuhkan dalam penggunaannya, terhadap pemakaian dan pemanfaatan produk barang dan/atau jasa. Hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh pelaku usaha yang sebagai pihak memproduksi dan menawarkan barang terhadap konsumen tidak memberikan penjelasan yang baik terhadap produk tentang bagaimana keadaan produk, cara penggunanaan produk, jaminan terhadap produk yang telah diproduksi. Terkadang pelaku usaha memberikan informasi yang tidak mudah dimengerti oleh konsumen, terkait dengan mengelabui konsumen atau pun tidak jujur terhadap produk yang ditawarkan demi mendapatkan keuntungan tanpa mempedulikan bagaimana akibat dari produk tersebut apabila di konsumsi oleh konsumen. 2.1
Pengertian Pelaku Usaha Pada umumnya pelaku usaha dapat dikatakan sebagai Pengusaha.
Pengusaha ialah sesorang atau memiliki badan usaha yang menjalankan berbagai usaha,
memproduksi,
mendistribusikan
produk
kepada
masyarakat
luas
konsumen, melakukan penawaran pada konsumen. Berbagai pengertian secara luas tentang, tidak hanya membicarakan tentang pelaku usaha, tapi juga tentang pedagang perantara dan pelaku usaha.3 Sedangkan pengertian pelaku usaha 2
Ibid., h. 8-9. Mariam Darus, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku (Standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek -Apsek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Jakarta, hal. 57. 3
36
menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Pasal 1 butir 3 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 pelaku usaha adalah: “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Definisi pelaku usaha yang diberikan oleh Pasal 1 butir 3 Undang – Undang Perlindungan Konsumen tersebut, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.4 Menurut defenisi tersebut, Undang-undang Perlindungan Konsumen berlaku baik bagi pelaku usaha ekonomi kuat, maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah. Pelaku usaha menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen juga tidak terbatas pada pelaku usaha perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau badan Hukum Indonesia, tetapi juga pelaku usaha perorangan yang bukan berwarganegara Indonesia atau pelaku usaha badan hukum asing, sepanjang mereka itu melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.5
4
A.Z. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 17. (Selanjutnya disebut A.Z. Nasution II). 5
Tawang Press,
Yogyakarta,
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta, h. 67.
37
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen6, tidak memuat defenisi mengenai hukum perlindungan konsumen tetapi memuat perumusan mengenai perlindungan konsumen yaitu sebagai ”segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Perlindungan
konsumen
berasaskan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Istilah konsumen dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau Consument/Konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. 7 Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu “Semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil”.8 Sebelum munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif 6
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta, h. 3. Mengutip pendapat A.S.Hornby (Gen.Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1987), h. 183, “(opp. To producer) person who uses goods”. (Selanjutnya disebut A.Z. Nasution III). 7
8
Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Permasalahannya, Kumpulan Karangan, Alumni Bandung, h. 48.
Hukum
Nasional
Dan
38
yang memberikan definisi/pengertian konsumen adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat9 (diberlakukan Pemerintah mulai tanggal 5 Maret 2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.10 Dilihat dari pengertian diatas, terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu :11 1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum. 2. Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian. Beberapa macam pelaku usaha yaitu sebagai berikut : a. Orang perorangan ; b. Badan usaha; c. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain; d. Orang perseorangan dengan badan usaha; e. Badan usaha dengan badan usaha.
9
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi, PT. Grasindo, Jakarta, h. 2. (Selanjutnya disebut Shidarta II). 11
Celina Tri Siwi Kretiyanti, Op.cit., h. 41.
39
Yang termasuk kegiatan usaha melalui perjanjian adalah huruf c sampai dengan huruf e. 3. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 4. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonseia. Khusus badan usaha, tidak harus didirikan dan berkeduduian di wilayah Republik Indonesia. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonseia (ISEI) menyebutkan tiga kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari:12 a) Investor yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha. Seperti perbankan, penyediaan dana lainya. b) Pelaku usaha yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan atau bahan-bahan lainnya). Seperti badan usaha/perorangan
12
Yusuf Sofie, 2003, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 67. (selanjutnya disebut Yusuf Sofie II).
40
yang berkaitan dengan pangan, sandang, obat-obatan dan lain sebagainya. c) Distributor
yaitu
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
memperdagangkan barang/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang retail, toko, supermarket, pedagang kaki lima dan lain sebaginya. Pelaku usaha dan konsumen merupakan para pihak yang saling terkait dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Pelaku usaha menyadari sepenuhnya bahwa kelangsungan hidup usahanya tergantung pada konsumen. Demikian pula konsumen yang tegantung kepada pelaku usaha dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, keseimbangan dalam berbagai segi menyangkut kepentingan kedua belah pihak merupakan hal yang ideal. 2.1.1
Hak-Hak Pelaku Usaha
Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha memiliki hak untuk memproduksi suatu barang dan/atau jasa sesuai dengan keahlian dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 6 diatur mengenai hak-hak pelaku usaha, anatara lain:13 1. Menerima pembayaran yang sesuai denagn kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, 2. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, 13
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
41
3. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, 4. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 2.1.2
Kewajiban Pelaku Usaha
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagai pemenuhan kebutuhan konsumen. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 7 kewajiban pelaku usaha antara lain:14 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur; 3. Memperlakukan konsumen dengan baik; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi; 5. Memberi kompensasi, ganti rugi barang dan/atau jasa. 2.1.3
Tanggungjawab Pelaku Usaha
Dalam memproduksi barang dan/atau jasa, pelau usaha tidak hanya sematamata mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi juga harus memperhatikan kepentingan konsumen. Maka dari itu, selain memiliki hak, pelaku usaha juga
14
Ibid.
42
dituntut akan tanggungjawabnya. Pelaku usaha bertanggungjawab atas hasil produksinya baik berupa barang maupun jasa. Dewasa ini, dari pelaku usaha juga dituntut mengenai tanggungjawab sosial (social responsibility) atas masalah-masalah sosial (social problems). Artinya, selain ia harus bertanggungjawab terhadap perusahaan, ia juga harus bertanggungjawab atas masalah-masalah yang timbul di masyarakat sehubungan dengan hasil produksi, cara produksi serta pemasaran produk-produknya. Tanggungjawab sosial yang dibebankan kepada pelaku usaha berkaitan dengan prinsip ekonomi yang diterapkan oleh pelaku usaha, yaitu ”dengan pengorbanan yang seminimal mungkin berusaha memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin”. Karena pelaku usaha dalam menjalankan usahanya berdasarkan motif dan kepentingan ekonomi dengan menggunakan prinsip di atas, maka terdapat kecenderungan pelaku usaha untuk menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperhatikan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut perlu diimbangi dengan tanggungjawab sosial pelaku usaha. Tanggungjawab sosial pelaku usaha dapat diwujudkan dalam produksi barang dan/atau jasa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Antara lain dengan mengikuti ketentuan-ketentuan berproduksi yang telah diatur dalam Undang-undang, maupun mengenai standarisasi mutu barang produksi dan industri yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah yang terkait lainnya.15
15
Celina Tri Siwi Kretiyanti, Op.cit., h. 43.
43
2.2
Tanggungjawab Produk Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini adalah semakin
meningkatnya perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen. Dalam era globalisasi, persaingan yang dihadapi bukan hanya di antara produk-produk pada level Domestik tapi bersifat Internasional. Permasalahan hukum ini yang bersifat tanggungjawab produk pelaku usaha (product liability). Tanggungjawab produk (product liability) lebih mengacu sebagai tanggungjawab pelaku usaha, dalam bahasa Jerman disebut ProduzentenHaftung.16 Tanggungjawab produk (product liability) adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang produk tersebut.17 Menurut
Johannes
Gunawan,
tujuan
utama
dari
dunia
hukum
memperkenalkan product liability ialah sebagai berikut:18 a. Member perlindungan kepada konsumen (consumer protection); b. Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara pelaku usaha dan konsumen (a fair apportionment of risks between producers and consumers); 16
Shidarta II, Op.cit., h. 80.
17
Celina Tri Siwi Kretiyanti, Op.cit., h. 101.
18
Johannes Gunawan, 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXXIX, Unika Parahyangan Bandung.
44
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat
(defective
product)
yang
menyebabkan
pelaku
usaha
harus
bertanggungjawab dikenal tiga macam cacat (defect) yaitu: 1. Production/Manufacturing Defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen; 2. Design Defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya; 3. Warning/Instruction Defect yaitu apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman. Dasar gugatan untuk tanggungjawab produk dapat dilakukan atas 3 (tiga) landasan, yaitu:19 1. Pelanggaran jaminan (breach of warranty), Pelanggaran jaminan berkaitan
dengan
jaminan
pelaku usaha
pada
produk
yang
dihasilkannya tidak mengandung cacat; 2. Kelalaian (negligence), yang dimaksud dengan kelalaian adalah pelaku usaha gagal menunjukkan, bahwa pelaku usaha kurang berhati-hati dalam membuat, menyimpan, dan mendistribusikan suatu barang.
19
Widijantoro, 1998, Product Liability Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jurnal Justitia Et Pax Juli-Agustus.
45
3. Tanggungjawab mutlak (strict liability). Yang dimaksud dengan tanggungjawab mutlak (strict liability) adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dengan diterapkannya prinsip tanggungjawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak pelaku usaha. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggungjawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:20 1. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan pelaku usaha di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran. 2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti pelaku usaha menjamin bahwa barang –barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggungjawab. 3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggungjawab mutlak, pun pelaku usaha yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer 20
Saefullah, 2000, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Dari Produk Pada Era Pasar Bebas, Di dalam Husni Syawali (Ed.), Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 54.
46
kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada pelaku usaha. Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory:21 1. Manufacturer ialah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian, akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. 2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi konsumen/korban/penggugat secara individual. Meskipun sistem tanggungjawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggungjawab pelaku usaha tersebut adalah:22 a. Jika pelaku usaha tidak mendengarkan produk (put into circulation); b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; 21 22
Ibid., h. 55. Ibid., h. 57.
47
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis; d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah; e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat; f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut; g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya
kerugian
tersebut
(Contributory
Negligence); h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts Of Godatau Force Majeur. Dengan diberlakukannya prinsip Strict Liability diharapkan para pelaku usaha menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para pelaku usaha akan lebih berhati-hati
48
dalam meproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun Luar Negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksinya. Pentingnya hukum tentang tanggungjawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung mutlak (stict liability) dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.
2.3
Pengertian Industri Masyarakat industri merupakan suatu lingkungan atau kondisi yang perlu
diciptakan dan dibangun agar landasan perubahan yang lebih kokoh dapat diwujudkan
antara
lain
melakukan
upaya-upaya
proses
pengembangan
sumberdaya manusia. Didalam era industrialisasi masyarakat digambarkan akan terdiri atas masyarakat yang produktif yang dilandasi oleh sikap mental dan motivasi yang kuat untuk maju berdisiplin, berdedikasi tinggi pada dirinya, keluarganya dan Negara.23 Pembangunan industri diarahkan pada pengembangan industri kecil dan sedang yang sifatnya padat karya demi terciptanya kesempatan kerja serta terciptanya suatu landasan pembangunan sektor industri yang lebih luas bagi
23
Maryatnodan Y. Sri Susilo, 1996, Tulisan Dari Masalah Usaha Kecil Sampai Masalah Ekonomi Makro, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 31.
49
pertumbuhan selanjutnya. Di samping itu perlu diusahakan agar perkembangan industri besar dan menengah hendaknya dapat merangsang pertumbuhan industri kecil dan saling mengisi. Dalam melaksanakan pembangunan industri perlu ditingkatkan langkahlangkah untuk mengembangkan usaha swasta nasional, untuk itu pemerintah perlu memberikan perhatian kepada pembangunan prasarana dan penciptaan iklim sehat yang menunjang pertumbuhan industri itu dalam hubungan ini perlu diusahakan pengembangan pendidikan, keterampilan guna meningkatkan produktifitas tenaga kerja serta pengembangan kecakapan manajemen para pengusaha nasional terutama pengusaha kecil. Tingkat
pertumbuhan
ekonomi
pada
akhir-akhir
ini
mengalami
peningkatan yang pesat, terutama di Negara-negara berkembang masih belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi angkatan kerja pada umumnya. Pertumbuhan yang pesat ini terutama pada sektor industri diharapkan mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang ada. Industri kecil dalam formatnya bisa disertai dengan Home Industry atau Cottage Industry karena kegiatannya dilakukan secara bersahaja, dan pada umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional. Dengan kata lain pengelolaan organisasi atau manajemen yang diterapkannya masih sederhana, dilakukan dengan kekeluargaan. Sedangkan kegiatan tersebut terpusat di rumah tangga atau dalam suatu wilayah di tempat kediamannya sendiri yang dilakukan secara musiman, pesanan terbatas (lokal) dan sebagian kecil secara bertahap agar terjangkau pemasarannya dan sebagaian kecil di ekspor.
50
Industri kecil memiliki berbagai arti yang berbeda sebagai konteks dan lembaga yang digunakannya, timbulnya berbagai kekeliruan interprestasi terhadap yang mencoba untuk mengadopsi kebijakan dari negara lain dalam pengembangan industri kecil. Pengusaha kecil dapat diartikan sebagai pengusaha yang memiliki usaha dari ekonomi domestik atau pada kalangan lokal yang tidak memiliki produksi besar.24 Untuk mengetahui macam-macam industri ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, pengelompokkan industri yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian (DP). Menurut DP, industri Nasional Indonesia dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu:25 1.
Industri dasar yang meliputi kelompok industri mesin dan logam dan kelompok kimia dasar. Yang termasuk dalam industri mesin dan logam dasar; industri mesin pertania, elektronika kereta api, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kimia dasar antara lain; industri pengolahan kayu, karet alam, dan sebagainya. Ditinjau
dari
misinya
industri
dasar
mempunyai
misi
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membantu penjualan struktur industri, dan bersifat padat modal. Teknologi tepat guna yang digunakan adalah teknologi maju, teruji dan tidak padat karya, namun dapat mendorong terciptanya lapangan kerja baru secara besar sejajar dengan
24 25
Faisal Basri, 2002, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, h. 206.
Arsyad, Lincolin, 2004, Ekonomi Pembangunan, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yogyakarta, h. 365-366.
51
tumbuhnya industri hilir dan kegiatan ekonomi lainnya yang dapat mensejahterakan masyarakat. 2.
Industri kecil yang meliputi antara lain industri pangan (makanan, minuman, tembakau), industri sandang dan kulit (tekstil, serta barang dari kulit), industri kimia dan bahan bangunan (industri kertas, percetakan, plastik, dan lain-lain). Kelompok industri kecil ini mempunyai misi melaksanakan pemerataan. Teknologi yang digunakan menengah atau sederhana, dan padat karya. Pengembangan
industri
kecil
ini
diharapkan
dapat
menambah
kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan meningkatkan nilai tambah dengan manfaatkan pasar dalam Negeri dan pasar Luar Negeri. 3.
Industri hilir yaitu kelompok aneka industri yang meliputi antara lain industri yang mengelolah sumber daya hutan, industri yang mengelola hasil pertambangan, industri yang mengolah sumber daya pertanian secara luas, dan lain-lain. Kelompok aneka industri ini mempunyai misi meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau pemerataan, memperluas kesempatan kerja, tidak padat modal, dan teknologi yang digunakan adalah teknologi menengah atau teknologi maju, yang dapat dipahami dengan cepat oleh masyarakat pada umumnya.
52
2.3.1
Ciri-ciri Industri Kecil
Ciri-ciri industri kecil menurut beberapa ahli sama dengan sektor informal. Ciri-ciri industri kecil adalah sebagai berikut: 1.
Pendidikan formal yang rendah;
2.
Modal usaha keci;
3.
Miskin;
4.
Upah rendah; dan
5.
Kegiatan dalam skala kecil.26
Dengan melihat ciri-ciri diatas merupakan bukti bahwa industri kecil memperoleh pembinaan-pembinaan demi meningkatkan produktivitas dan kualitas sehingga mampu bersaing dengan industri besar. Berikut ini uraian tentang karakteristik industri kecil yang sering ditemui dalam masyarakat: a. Rendahnya pendidikan pengusaha akan mempengaruhi pada kualitasnya, sebab sumber daya manusia dalam industri kecil memiliki dasar yang kuat maka sumber daya manusia sangat perlu dibenahi terlebih dahulu, baru kemudian membenahi faktor yang lain misalnya modal dan lokasi usaha. b. Keterbatasan modal merupakan suatu masalah yang sering dihadapi oleh para pengusaha kecil. Masalah permodalan telah menjadi suatu dilemma yang berkepanjangan. Keterbatasan akses bagi industri kecil pada dasarnya dapatlah dikatakan sebagai iklim 26
Martin Perry, 2000, Mengembangkan Usaha Kecil, PT Raja Grafindo Persada, Murai Kencana, Jakarta, h. 54.
53
diskriminatif yang bersumber dari sektor swasta. Memang apabila kita melihat telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan yang dapat mempermudah sektor industri kecil dengan berbagai program yang mereka canangkan, meskipun demikian, berbagai kenyataan
memperlihatkan
relatif
langkanya
kredit-kredit
institusional dari lembaga tersebut untuk sektor industri kecil, sehingga mayoritas pengusaha kecil yang bersangkutan cenderung menggantungkan
pembiayaan
perusahaannya
kepada
modal
sendiri, ataupun yang lainnya misalnya keluarga, sahabat, dan lainlain. c. Lemahnya penggunaan teknologi berkaitan erat dengan tinggi rendahnya tingkat produktivitas usaha. Karakteristik yang dimiliki oleh industri kecil dalam bidang teknologi pada umumnya masih sederhana
dan
tradisional.
Sehingga
akibatnya
tingkat
produktivitas oleh industri kecil rendah dan kualitasnya kurang dapat memenuhi selera pasar terutama pasar ekspor. 2.3.2
Maanfaat Industri Kecil
Terlepas dari adanya berbagai perbedaan definisi, industri kecil tetap mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian negara, selain dari segi ekonomi peran industri kecil juga berperan atau memberi manfaat dari segi sosial yang juga sangat berperan aktif dalam perekonomian. Kontribusi industri kecil dalam perekonomian secara makro cukup berarti. Sumbangan tersebut terutama dari segi penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, mereka juga memberikan
54
kontribusi dalam penciptakan nilai tambah dan devisa ekspor non migas meskipun nilainya relatif kecil.27 Kesimpulan tentang manfaat adanya industri kecil yaitu:28 a.
Industri kecil dapat menciptakan peluang berusaha yang luasnya dengan pembiayaan yang relatif murah;
b.
Industri kecil turut mengambil peranan dalam peningkatan dan mobilisasi tabungan domestik;
c.
Industri kecil mempunyai kedudukan komplementer terhadap industri besar dan sedang.
Usaha kecil dianggap sebagai kegiatan ekonomi yang tepat dalam pembangunan di Negara yang sedang berkembang, sebagai berikut:29 a.
Usaha kecil mendorong munculnya kewirausahaan domestik dan sekaligus menghemat sumber daya Negara;
b.
Usaha kecil menggunakan teknologi padat karya, sehingga dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja dibandingkan yang disediakan oleh perusahaan berskala besar;
c.
Usaha kecil dapat didirikan, dioperasikan dan memberi hasil dengan cepat;
d.
Pengembangan usaha kecil dapat mendorong proses desentralisasi interegional dan intra-regional, karena usaha kecil dapat berlokasi di kota-kota kecil dan pedesaan terpencil;
27
Maryatno dan Y. Sri Susilo, Op.cit., h. 4. Harimurti Subanar, 2001, Manajemen Usaha Kecil, Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, h. 5. 29 Ibid., h. 20-22. 28
55
e.
Usaha kecil memungkinkan tercapainya obyektif ekonomi dan sosial politik dalam masyarakat.
2.3.3
Kelebihan dan Kelemahan Usaha Kecil
2.3.3.1 Keunggulan Usaha Kecil Pada kenyataannya, usaha kecil mampu tetap bertahan dan mengantisipasi lemahnya perekonomian yang mengakibatkan inflasi maupun berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi dan proteksi, industri kecil di Indonesia mampu menambah nilai devisa bagi Negara. Sedangkan sektor informal mampu berperan sebagai buffer (penyangga) dalam perkonomian masyarakat lapisan bawah. Secara umum perusahaan skala kecil baik perorangan maupun kerja sama memiliki keunggulan dan daya tarik seperti:30 a.
Pemilik merangkap manajer perusahaan yang bekerja sendiri dan memiliki gaya manajemen sendiri.
b.
Perusahaan keluarga, dimana pengelolanya mungkin tidak memiliki keahlian manajerial yang handal.
c.
Sebagian besar membuat lapangan pekerjaan baru, inovasi, sumber daya baru serta barang dan jasa-jasa baru.
d.
Resiko usaha menjadi beban pemilik.
e.
Pertumbuhan yang lambat, tidak teratur, terkadang cepat dan prematur (Premature High-Growth).
f.
Fleksibel terhadap bentuk perkembanga jangka pendek, namun tidak memiliki rencana jangka panjang (Corporate-Plan).
30
Harimurti Subanar, Op.cit., h. 6-10.
56
g.
Independen dalam penentuan harga produksi atas barang atau jasajasanya.
h.
Prosedur hukumnya sederhana.
i.
Pajak
relatif
ringan,
karena
yang
dikenakan
pajak
adalah
pribadi/pengusaha, bukan perusahaannya. j.
Komunikasi dengan pihak luar bersifat pribadi.
k.
Mudah dalam proses pendiriannya.
l.
Mudah dibubarkan setiap saat jika dikehendaki.
m. Pemilik mengelola secara mandiri dan bebas waktu. n.
Pemilik menerima seluruh laba.
o.
Umumnya mempunyai kecenderungan mampu untuk survive.
p.
Merupakan tipe usaha yang paling cocok untuk mengelola produk, jasa atau proyek perintisan, yang sama sekali baru atau belum pernah ada yang mencobanya, sehingga memiliki sedikit pesaing.
q.
Meskipun tidak terlihat nyata, masing-masing usaha kecil dengan usaha kecil yang lain saling ketergantungan secara moril dan semangat berusaha.
Disamping kelebihan secara umum seperti diatas, usaha kecil memiliki arti strategi secara khusus bagi suatu perekonomian, di antaranya: a.
Dalam banyak pengerjaan produk tertentu, perusahaan besar banyak bergantung kepada perusahaan-perusahaan kecil, karena jika dikerjakan sendiri oleh mereka (perusahaan besar) maka margin-nya menjadi tidak ekonomis.
57
b.
Merupakan pemerataan konsentrasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat.
2.3.3.2 Kelemahan dalam Pengelola Usaha Kecil Berbagai kendala yang menyebabkan kelemahan serta hambatan bagi pengelola suatu usaha kecil diantaranya masih menyangkut faktor internal dari usaha kecil itu sendiri serta beberapa faktor eksternal, sebagai berikut:31 1.
Umumnya pengelola small-business merasa tidak memerlukan ataupun tidak pernah melakukan studi kelayakan, penelitian pasar, analisa perputaran uang tunai/kas, serta berbagai penelitian ini yang diperlukan suatu aktivitas bisnis.
2.
Tidak memiliki perencanaan sistem jangka panjang, sistem akuntasi yang memadai, anggaran kebutuhan, modal, struktur organisasi dan kewewenang. Serta alat-alat kegiatan manajerial lainnya (perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian usaha) yang umumnya diperlukan oleh suatu perusahaan bisnis.
3.
Kekurangan informasi bisnis, hanya mengacu pada intuisi dan ambisi pengelola, lemah dalam promosi.
4.
Kurangnya petunjuk pelaksanaan teknis operasional kegiatan dan pengawasan mutu hasil kerja dan produk, serta sering tidak konsisten dengan ketentuan order/pesanan, yang mengakibatkan klaim atau produk yang ditolak.
31
M. Tohar, 2000, Membuka Usaha Kecil, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, h. 29.
58
5.
Terlalu banyak biaya-biaya yang di luar pengendalian serta utang yang tidak
bermanfaat,
juga
tidak
dipatuhinya
ketentuan-ketentuan
pembukuan standar. 6.
Pembagian kerja tidak proporsional, sering terjadi pengelola memiliki pekerjaan yang melimpah atau karyawan yang bekerja di luar batas jam kerja standar.
7.
Kesulitan modal kerja atau tidak mengetahui secara tepat beberapa kebutuhan modal kerja, sebagai akibat tidak adanya perencanaan kas.
8.
Persediaan yang terlalu banyak, khususnya jenis barang-barang yang salah (kurang laku).
9.
Perkembangan usaha tergantung pada pengusaha yang setiap waktu dapat berhalangan karena sakit atau meninggal.
Meskipun demikian, pemerintah tetap mendorong agar industri/usaha kecil mampu lebih berkembang dan mandiri dengan melaksanakan berbagai 30 program pengembangan usaha kecil yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak-pihak atau lembaga swadaya masyarakat, di antaranya sebagai berikut:32 1. Program peningkatan kemampuan usaha. 2. Program pengembangan industri kecil untuk menunjang ekspor. 3. Program pengembangan keterkaitan sistem bapak angkat dengan mitra usaha. 4. Program pengembangan wiraswasta dan tenaga profesi. 5. Program penelitian dan pengembangn industri kecil.
32
Ibid., h. 10.
59
6. Program menciptakan /pengaturan iklim dan kerja sama. 7. Program pengembangan usaha kecil dari berbagai perguruan tinggi Negeri maupun swasta. 8. Seminar dan pameran produk-produk industri kecil tingkat Nasional maupun Internasional.
2.4
Pengertian Makanan dan Minuman Kadaluarsa Perlindungan Konsumen mengisyaratkan jaminan mutu dan kualitas
produk yang baik dan aman. Untuk senantiasa menjaga keamanan produk maka diperlukan pengaturan mengenai makanan kadaluwarsa yang seringkali menjadi masalah dalam mengkonsumsi suatu produk. Menurut Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan
Lampiran
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa33 menyatakan bahwa: a.
Makanan adalah barang yang diwadahi dan diberikan label dan yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia akan tetapi bukan obat. Label adalah tanda berupa tulisan, gambar, atau bentuk pernyataan lain yang disertakan pada wadah atau pembungkus makanan sebagai keterangan atau penjelasan. Makanan daluwarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal daluwarsa. Tanggal daluwarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen.
b.
c. d.
Pada Pasal 2 ayat 1 Keputusan Dirjen. POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Permenkes No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang
33
Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa.
60
Makanan Daluwarsa menyatakan bahwa pada label dari makanan tertentu yang diproduksi, diimpor dan diedarkan harus dicantumkan tanggal daluarsa secara jelas. Sedangkan apabila dilihat pada Pasal 5 ayat 1 Keputusan Dirjen. POM No. 02591/B/SK/
VIII/1991
tentang
Perubahan
Lampiran
Permenkes
No.
180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa menyatakan pelanggaran terhadap pasal 2 dikenakan dari sanksi yang bersifat administratif dan ketentuanketentuan yang berlaku. Makanan kadaluarsa merupakan salah satu pangan yang dapat merugikan konsumen apabila dikonsumsinya. Kadaluwarsa mempunyai arti sebagai sudah lewat ataupun habisnya jangka waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dan apabila dikonsumsi, maka makanan tersebut dapat membahayakan bagi kesehatan yang mengkonsumsinya. Kadaluarsa jika disimpulkan adalah penjualan barang ataupun peredaran produk kemasan dan makanan yang sudah tidak layak dijual kepada konsumen. Hal ini disebabkan karena produk tersebut telah kadaluarsa sehingga dapat mengganggu kesehatan dan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kanker. Makanan kadaluarsa selalu banyak kaitannya dengan daya simpan (shelf life) makanan tersebut. Daya simpan adalah kisaran waktu sejak makanan selesai diolah atau diproduksi oleh pabrik sampai konsumen menerima produk tersebut dalam kondisi dengan mutu yang baik, sesuai dengan harapan konsumen. Dalam hal ini persyaratan makanan yang masih memiliki mutu yang baik merupakan faktor yang penting. Daya simpan inilah yang nanti menentukan waktu kadaluarsa
61
suatu makanan. Oleh karena itu waktu kadaluarsa adalah batas akhir dari suatu daya simpan. Batas kadaluarsa merupakan batas dimana mutu makanan masih baik, lebih dari waktu tersebut makanan akan mengalami tingkat penerunan sedemikan rupa sehingga makanan tersebut dipandang tidak lagi pantas dikonsumsi oleh masyarakat atau konsumen. Tanggal kadaluarsa merupakan batas jaminan produsen ataupun pelaku usaha terhadap keamanan produk yang diproduksinya. Sebelum mencapai tanggal yang telah ditetapkan tersebut kualitas atas produk tersebut dapat dijamin oleh produsen atau pelaku usaha sepanjang kemasannya belum terbuka ataupun penyimpanannya sesuai dengan seharusnya. Apabila makanan telah memasuki batas tanggal penggunaannya maka makanan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena didalam makanan tersebut sudah tercemar oleh bakteri maupun kuman sehingga kualitas mutu dari produk tersebut tidak lagi dijamin oleh produsen. 2.4.1
Metode Penentuan Produk Pangan Kadaluarsa
Penentuan batas kadaluarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (shelf life) produk. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktorfaktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan ilmiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal), kondisi atmosfer (terutama suhu dan
62
kelembaban), serta daya tahan kemasan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.34 Umumnya produsen akan mencantumkan batas kadaluarsa sekitar dua hingga tiga bulan lebih cepat dari umur simpan produk yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan:35 1. Menghindarkan dampak-dampak yang merugikan konsumen, apabila batas kadaluarsa itu benar-benar terlampaui; 2. Memberi tenggang waktu kepada produsen untuk menarik produkproduknya yang telah melampaui batas kadaluarsa dari para pengecer atau tempat penjualan, agar konsumen tidak lagi membeli produk tersebut. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada konsumen, seperti keracunan makanan.
34
John Pieris Dan Wiwik Sriwidiarty, 2007, Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 129. 35
Ibid.