BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN BELAJAR
A. Ilmu 1. Pengertian Ilmu Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekwivalen artinya dengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda). Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa Latin) yang berarti tahu,1 begitu pun ilmu berasal dari kata 'alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas. Di bawah ini penulis sampaikan serangkaian definisi tentang ilmu (science) oleh para ahli. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag menulis: "Science is empirical, rational, general and cumulative; and it is all four at once"2 (Ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum
dan
bertimbun-
bersusun; dan keempat-empatnya serentak). Mohammad Hatta menulis: "Tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dan, luar, majupun menurut bangunnya dari dalam"3
1
George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London: Umma Publishing House, 1958), hlm. 20. 2 Ralp Ross end Ernest Van Den Haag, The Fabric of Society, (New York: Delta Book, 1957), hlm. 195. 3 Mohammad Hatta, Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, (Jakarta: 1954), hlm. 12.
15
16
Karl Pearson (1857-1936), pengarang karya terkenal Grammar of Science, merumuskan "Science is the complete and consistent description of the facts of experience in the simplest possible terms"4 (Ilmu pengetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana/sesedikit mungkin). A. Bahquni, Guru-besar di Universitas Gajah Mada merumuskan, bahwa: "Science merupakan general consensus dari masyarakat yang terdiri dari para scientist."5 Herbert L. Searles, Guru besar filsafat di Universitas Southern California, mengatakan bahwa: "Ilmu pengetahuan itu ialah pengetahuan yang paling eksak, diverifikasikan secara paling cermat, dan yang paling umum yang dapat diperoleh manusia"6 R.B.S. Fudyartanta, seorang sarjana psikologi dari Universitas Gajah Mada, menulis: "Yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan ialah susunan yang sistematis daripada kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu obyek atau masalah yang diperoleh dari pemikiran yang runtut (hasil logika formil dan logika materiil)."7 Ashley Montagu, Guru besar antropologi di Rutgers University menyimpulkan "Science is a sistematized knowledge derived from observation, study, and experimentation carried on order to determine the nature of principles of what being studied."8 (Ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang disusun dalam satu sistema yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang distudi). Harsojo, Guru-besar antropologi di Universitas Pajajaran, menerangkan: bahwa ilmu itu: -
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan; 4
G. T. W. Patrick, hlm. 20. Djuma'in Basalim, Orientasi terhadap Science, Harian Abadi, 17 Maret 1969, 20 Maret 1969. 6 Herbert L. Searles, Logika dan Metode-Metode Ilmu, alih bahasa oleh Soejono Soemargono dan Sri Boedijah Soeharto, (Yogyakarta: stensilan, tth.), hlm. 79. 7 R.B.S. Fudyartanta, Epistemologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta, 1970), hlm. 11. 8 Ashley Montagu, The Cultured Man, (New York, 1959), hlm. 289. 5
17
-
Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati, oleh pancaindra manusia;
-
Suatu cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk: "Jika...; maka...."9 V. Afanasyef, seorang pemikir marxist bangsa Rusia, menulis:
"Science is the system of man's knowledge on nature, society and thought. It reflect the world in concepts, categories and laws, the correctness and truth of which are verified by practical experience."10 (Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. la mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukumhukum, yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis). Dalam Ensiklopedia Indonesia didapati keterangan sebagai berikut: Ilmu pengetahuan, suatu sistim dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu sistim dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).11 Dari keterangan-keterangan para ahli tentang ilmu pengetahuan itu jelaslah, bahwa ilmu pengetahuan itu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional, empiris,
umum dan
kumulatif
(bersusun
timbun);
bahwa
ilmu
pengetahuan itu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang di-studi-nya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan penginderaan manusia.
9
Harsojo, Apakah Ilmu Itu dan Ilmu Gabungan Tentang Tingkah Laku Manusia, (Bandung: Stensilan, 1972), hlm. 1. 10 V. Afanasyef, Marxist Philosophy, (Moskow, 1965), hlm. 342. 11 T. S. G. Mulia dan K. A. H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, Jilid F-M, artikel: ilmu pengetahuan, hlm. 647.
18
Selanjutnya dapatlah dirumuskan, bahwa ilmu pengetahuan itu ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukumhukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.
2. Obyek Ilmu Setiap ilmu pengetahuan (science, wetenschap, Wissenschaft) ditentukan oleh obyeknya. Ada dua macam obyek ilmu pengetahuan, yaitu: obyek materia dan obyek forma. Obyek materia (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu. Obyek forma (obiectum formale, formal object) ialah obyek
materia yang disoroti oleh suatu ilmu,
sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobyek materia sama.12 Pada garis besarnya obyek ilmu pengetahuan ialah alam dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian besar, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia. Wilhelm Dilthey (1833-1911) seorang filsuf bangsa Jerman, membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian: (a). Naturwissenschaft dan (b). Geistes-wissenschaft. "Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu tentangalam, maka obyek penyelidikan adalah alam semesta sejauh berada dalam waktu dan ruang."13 Manusia yang seharusnya menarik perhatian kita itu, adalah sebagian dari suatu alam tak terhingga dan ia sendiri di antara makhlukmakhluk hidup bertubuh. bisa atau memiliki kesanggupan untuk mempertimbangkan (mengawasi, memikirkan) alam ini, mengadakan 12
I.R. Pudjawijatna, Tahu dan Pengetahuan; Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta: 1967), hlm. 29-30, 82. 13 .I.G.M. Drost S.J., "Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam", dalam Basis: Majalah Kebudayaan Umurh, Nopember 1970, XX-2, hlm. 58.
19
percobaan-percobaan dan menduga adanya hubungan-hubungan dan undang-undang antara kenyataan-kenyataan. la juga menjadi obyek dari percobaan-percobaan dan perhatian pengawas. Kalau kita mengetahui bahwa pengetahuan adanya undang-undang yang berlaku atas dunia hidup itu bisa menerangi arti dari manusia dengan menerangkan wujudnya di muka bumi, tali-tali yang mempersatukan dia dengan bentuk-bentuk hidup lainnya dan perbedaan-perbedaan yang memberi sifat-sifat kepadanya, maka kita harus mempelajari evolusi (perkembangan) dari seluruh dunia dari awalnya, tanpa lupa bahwa observasi-observasi kita itu bisa tertutup oleh alat observasi kita sendiri.14 Ada beberapa cabang ilmu pengetahuan yang berobyek materia. sama: manusia, tegasnya: tingkah laku manusia. Apabila kita pelajari tingkah laku manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat maka tingkah laku itu mempunyai berbagai segi, seperti aspek biologis, psychologis, sosiologis dan anthropologis. Tentu segi-segi lain daripada tingkah laku manusia itu masih ada, yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, sebagai insan ekonomi, sebagai insan hukum atau sebagai insan sejarah. Akan tetapi untuk memahami konsep manusia-masyarakat, 'pendekatan dari sudut ilmu-ilmu inti tentang tingkah laku manusia, yaitu psychology sosiologi dan antropologi adalah yang paling utama. Seperti kita ketahui psychologi perdefinisi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia;15 Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam kelompok, sedang Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai makhluk bio-sosial, yaitu sebagai makhluk yang berbudaya. Jadi ketiga disiplin tersebut semuanya memusatkan penyelidikannya kepada tingkah laku manusia sebagai makhluk sosio-budaya.16 Jadi yang membedakan satu ilmu dari yang lainnya ialah obyeknya. Apabila kebetulan obyek materianya sama, maka yang terutama membedakan satu ilmu dari ilmu yang lainnya itu ialah obyek formanya, yaitu sudut pandangan_tertentu yang menentukan macam ilmu. 14
RD. H. Abdullah bin Nuh, Agama dalam Pembahasan, (Jakarta: 1961), hlm. 25. Catatan tambahan dari penyusun: Robert S. Woodworth dan G. Marouis, Psychology, hlm. 20, merumuskan: Psikologi ialah studi ilmiah tentang aktivitas individu dalam hubungan dengan lingkungan. 16 Harsojo, Apakah Ilmu Itu dan Ilmu Gabungan Tentang Tingkah Laku Manusia, (Bandung: 1972,) hlm. 31. Buku yang baik tentang titik pertemuan antara antropologi, psikologi dan sosiologi ialah John Gillin (Editor), For A Science of Social Man: Convergence in Anthropology, Psichology and Sociology, (New York: third printing, 1958). 15
20
3. Cabang-Cabang Ilmu Ada berbagai macam para ahli membagi ilmu pengetahuan, dan hal ini tergantung dari cara dan tempat para ahli itu meninjau. Sistem pendidikan pada zaman purba dan abad pertengahan berdasarkan artis liberalis atau kesenian merdeka, yang terdiri atas dua bagian, yaitu: a. Trivium atau tiga bagian, yaitu: (1) Gramatika, agar orang berbicara baik; (2) Dialektika, agar orang dapat berpikir secara baik serta logis dan formil; (3) Rhetorica, ini adalah de kunst der welsprekenheid, agar orang berbicara dengan indah. b. Quadrivum atau empat bagian, yaitu: (1) Arithmetica, yaitu ilmu hitung; (2) Geometrica, yaitu ilmu ukur; (3) Musica, yaitu musik; (4) Astronomia, yaitu ilmu perbintangan. Apabila sistem pendidikan tersebut di atas dihubungkan dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat, maka terdapatlah suatu persamaan, yaitu di A.S. ada College of Arts di samping ada College of Science.17 Ada yang membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian lain pula, yaitu: a. Ilmu Pengetahuan murni (ilmu teoritika, pure science, zuivere wetenschap, Reine Wissenschaft); dan b. Ilmu
Pengetahuan
terpakai
(ilmu
praktika,
applied
science,
toegespaste of practische wetenschap, Angewandte Wissenschaft). Tentang hal termaksud di atas, Herbert L. Searles, guru besar filsafat di Universitas Southern California, memberi catatan sebagai berikut: 17
hlm. 199.
Diokosoetono, Ikhtisar Ilmu Negara, disusun oleh R. Bardosono, (Jakarta: 1957),
21
Karena abad kita adalah abad teknologi, dan karena hasil-hasil penerapan ilmu bagi kefaedahan itu demikian mengesankannya, maka bila orang menyebut perkataan ilmu pengetahuan (science), maka kita cenderung untuk mengira hampir sepenuhnya tentang ilmu pengetahuan terpakai (= applied science). Tetapi itu merupakan kekhilafan yang gawat, karena yang terletak di balik hasil-hasil penerapan ilmu pengetahuan itu ialah karya teoritis yang teliti dari ilmu pengetahuan murni f = pure science), tanpa ilmu mana tak mungkin ada ilmu pengetahuan terpakai.18 Herbert
L.
Searles
sendiri
mengajukan
beberapa
macam
pembagian ilmu pengetahuan. Cara lain untuk memandang ilmu pengetahuan ialah melawankan ilmu pengetahuan "formil" (seperti logika dan matematika) dengan ilmu pengetahuan "alam" (seperti kimia, fisika dan biologi). Dan selanjutnya kedua kelompok ini dapat dilawankan dengan ilmu pengetahuan sosial yang lebih baru dan yang kurang eksak. Kita dapat juga menunjukkan perbedaan antara ilmu pengetahuan yang "deskriptif" dan yang "normatif". Ilmu-ilmu yang deskriptif sudah puas dengan berusaha memecahkan rahasia alam dan menguraikan serta melukiskan apa yang ada/terjadi. Di lain pihak, ilmu-ilmu yang normatif lebih bersangkutan dengan ukuran atau norma tentang apa yang seharusnya ada/terjadi, dan situasi yang diamati ditanggapi apakah sesuai atau tidak dengan ukuran-ukuran tersebut.19 Mohammad Hatta membagi ilmu pengetahuan itu atas tiga kelompok besar, yaitu: a. Ilmu Alam (yang terbagi atas teoritika dan praktika), b. Ilmu Sosial (yang terbagi juga atas teoritika dan praktika) dan c. Ilmu Kultur.20 Sistematika klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Eropa Barat menggolongkan ilmu pengetahuan atas empat bagian: a. Golongan Ilmu Hukum; b. Golongan Ilmu Agama; c. Golongan Ilmu Sastra dan Filsafat; d. Golongan Ilmu Pasti dan Alam.
18
Herbert L. Searles, hlm. 79. Ibid., 20 Mohammad Hatta, op.cit., hlm. 10-22. 19
22
Pembagian tersebut sering juga dipandang sebagai sistematika yang klasik atau kuno.21 Menurut Anglo-Sakson (Inggris dan Amerika Serikat) ilmu pengetahuan itu terbagi atas dua kelompok besar, yaitu: a. Golongan ilmu pengetahuan Arts, dan b. Golongan ilmu pengetahuan alam atau Science.22 Radioputro mengajukan urutan ilmu pengetahuan dari yang paling eksak sampai dengan yang paling abstrak, sebagai berikut: (1) Matematika; (2) Geometri; (3) Mekanika; (4) Fisika; (5) Kimia; (6) Biologi; (7) Fisiologi; (8) Sosiologi; (9) Sejarah.23 Undang-Undang Pokok tentang Perguruan Tinggi Nomor 22 Tahun 1961 di Indonesia menggolong-golongkan ilmu pengetahuan atas empat kelompok, yaitu: (1) Ilmu agama/kerohanian: a. Ilmu agama dan b. Ilmu jiwa; (2) Ilmu kebudayaan: a. Ilmu sastra; b. Ilmu sejarah; c. Ilmu pendidikan dan d. Ilmu filsafat; (3) Ilmu sosial: 21
R.B.S. Fudyartanta, Epistemologi: Intisari Filsafat Ilmu Pengetahuan, 1971, hlm.
22
Ibid., hlm. 3. Fudyartanta menambah filsafat sebagai No. 10.
2. 23
23
a. Ilmu hukum; b. Ilmu ekonomi; c. Ilmu sosial politik dan d. Ilmu ketatanegaraan dan ketataniagaan; (4) Ilmu eksakta dan teknik: a. Ilmu hayat; b. Ilmu kedokteran; c. Ilmu farmasi; d. Ilmu kedokteran hewan; e. Ilmu pertanian; f. Ilmu pasti dan alam; g. Ilmu teknik; h. Ilmu geologi dan i. Ilmu oceanografi.24 Stuart Chase dalam bukunya The Proper Study of Mankind membagi ilmu pengetahuan atas tiga kelompok besar, yaitu: a. ilmu pengetahuan alam; b. ilmu pengetahuan kemasyarakatan; dan c. humaniora.25 Dengan
tidak
mengecilkan
arti
pengelompokan-
pengelompokan lainnya oleh para ahli termaksud di atas, penulis mengikut pembagian Stuart Chase termaksud di atas, kemudian menambahkan ilmu yang termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut. Pada garis-besarnya ilmu pengetahuan terbagi atas tiga kelompok besar: a. Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences): 1) Biologi. 2) Antropologi fisik; 3) Ilmu kedokteran; 4) Ilmu farmasi; 5) Ilmu pertanian; 24
Ibid., hlm. 3-4. Stuart Chase, Cara-cara Dharmaputra, (Jakarta: 1964), hlm. 24. 25
Mempelajari
Manusia,
terjemahan
Gunawan
24
6) Ilmu pasti; 7) Ilmu alam; 8) Ilmu teknik; 9) Geologi; 10) dan lain sebagainya. b. Ilmu-ilmu kemasyarakatan (Social Sciences): 1) Ilmu hukum 2) Ilmu ekonomi; 3) Ilmu jiwa sosial; 4) Ilmu bumi sosial; 5) Sosiologi; 6) Antropologi budaya dan sosial; 7) Ilmu sejarah; 8) Ilmu politik; 9) Ilmu pendidikan; 10) Publisistik dan jurnalistik; 11) dan lain sebagainya. c. Humaniora (Studi humanitas, humanities studies): 1) Ilmu agama; 2) Ilmu filsafat; 3) Ilmu bahasa; 4) Ilmu seni; 5) Ilmu jiwa; 6) dan lain sebagainya. Pembagian ilmu pengetahuan atas tiga golongan termaksud di atas serta pemasukan salah satu ilmu tertentu ke dalam salah satu penggolongan termaksud di atas, hendaknya jangan dianggap tegas demikian (seperti hitam dan putih). Ilmu kedokteran pada dasarnya digolongkan ke dalam ilmu-ilmu kealaman, namun dia pada segi tertentu tidak dapat dilepaskan dari ilmu-ilmu lainnya, baik yang termasuk ilmuilmu kemasyarakatan maupun yang tergolong kelompok humaniora.
25
Sikap Ilmiah Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap
ilmuwan
dalam
melakukan
tugasnya
untuk
mempelajari,
meneruskan, menolak atau menerima serta merubah atau menambah suatu ilmu. Harsojo menyebutkan enam macam sikap ilmiah: 1). Obyektivitas. Dalam suatu peninjauan yang dipentingkan adalah obyeknya. Pengaruh subyek dalam memuat deskripsi dan analisa seharusnya dilepaskan jauh-jauh; walaupun tidak mungkin untuk mendapatkan obyektivitas yang absolut; oleh karena ilmu itu sendiri merupakan hasil budaya manusia, yang sebagai subyek sedikit banyak akan memberikan pengaruhnya. 2). Sikap serba relatif. Ilmu tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu mendasarkan kebenaran-kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat, yang secara a priori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori dalam ilmu sering digugurkan oleh teori-teori yang lain. Dan boleh dikatakan bahwa tujuan penyelidikan ilmu terutama adalah menggugurkan teori-teori yang sebelumnya telah diterima. 3). Sikap Skeptif. Yang dimaksud dengan sikap skeptif ialah sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat dasar-dasar pembuktiannya. 4). Kesabaran intelektual. Sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah, karena memang belum selesai dan cukup lengkap hasil dari penelitian, adalah sikap utama seorang ilmiawan. 5). Kesederhanaan.
Kesederhanaan
sebagai
sikap
ilmiah
adalah
kesederhanaan dalam cara berfikir, dalam cara menyatakan, dalam cara pembuktian.
26
6). Sikap tidak memihak pada etik. Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan ialah, bahwa ilmu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk; ilmu mempunyai tugas untuk mengemukakan apa yang salah dan apa yang benar secara relatif.26 Tini Gantini merumuskan delapan sikap ilmiah sebagai berikut: 1). Mempunyai dorongan ingin tahu yang mendorong kegelisahan untuk meneliti fakta-fakta baru; 2). Tidak berat sebelah dan berpandangan luas terhadap kebenaran; 3). Ada persesuaian apa yang diobservasi dan laporannya; 4). Keras hati dan rajin di dalam penelitian guna menentukan kebenaran; 5). Mempunyai sifat ragu-ragu yang menghindarkan pesimis terhadap usaha mencari kebenaran sehingga mendapat kebenaran; 6). Rendah hati dan toleran terhadap hal yang diketahui dan tidak diketahui; 7). Kurang mempunyai ketakutan; 8). Pikiran terbuka terhadap kebenaran-kebenaran baru. Stuart Chase mengikhtisarkan sepuluh unsur-unsur cara ilmiah seperti yang telah diuraikan hingga kini. Di bawah ini penulis turunkan lima di antaranya, sebagai berikut: 1). Pemeriksaan yang keras terhadap teori-teori oleh sarjana-sarjana lainnya (Emosi dan prasangka harus dibuang); 2). Suasana ragu yang kuat. Kesanggupan riang untuk berkata: "Saya keliru". 3). Ramalan dalam arti kemungkinan-kemungkinan, bukan kemutlakan; 4). Tidak ada pemecahan-pemecahan yang tertutup; ruangan selalu terbuka untuk bahan-bahan baru yang mungkin dapat memberikan kecocokan yang lebih memuaskan;
26
Ibid., hlm. 15
27
5). Tak ada rahasia, tidak ada monopoli, tidak ada keuntungan. Gudang terbuka untuk semua orang, siapa dan dimana saja.27 'Seorang sarjana Ilmu pengetahuan", tulis H. Abdullah bin Nuh, harus mendekati tiap persoalan dengan bersifat suka ragu-ragu (skeptis); ia tidak boleh membuat atau menyampingkan bahan bukti untuk hipotesinya, baik ilmiah maupun keagamaan, dan ia harus mengakui dengan jujur.28 Penyelidik mengumpulkan data secara obyektif, tidak berat sebelah dalam arti mengumpulkan hanya data yang menyokong kebenaran sebuah hipotesa dan mengabaikan data yang tidak sejalan dengan harapanharapan pribadi penyelidik. Tekanan pengumpulan data adalah menguji, bukan mutlak membuktikan kebenaran atau ketakbenaran hipotesa.29 "Di dalam sejarah ilmu pengetahuan", tulis Herbert L. Searles, Orang sangat menghargai tanpa pamrih sikap pikiran ilmiah. Ini diungkapkan dengan baik dalam anjuran Huxley kepada para ilmiawan agar ''duduk menghadapi fakta seperti seorang anak kecil, dan membiarkan diri kalian dibawa ke mana pun juga seperti yang dikehendaki". Karl Pearson menyatakannya secara lain: Menggolonggolongkan fakta, mengenal rangkaian hubungannya yang logis dan arti pentingnya yang relatif adalah fungsi dari ilmu pengetahuan, dan kebiasaan untuk membentuk tanggapan berdasarkan atas fakta ini, yang tidak dinodai oleh perasaan pribadi, merupakan ciri dari apa yang dapat dinamakan rangka pikiran yang ilmiah....30 Berdasarkan keterangan-keterangan tertera di atas, dapatlah kita menyimpulkan sikap yang seharusnya dimiliki oleh para ilmuwan dalam lapangan ilmu pengetahuan, yaitu: 1). Sikap serba skeptif: meragukan dan menyangsikan setiap pernyataan ilmiah yang belum terbukti dan teruji kebenarannya, 2). Sikap serba penasaran: minat, hasrat dan semangatnya senantiasa menyala untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan ilmu yang ditekuninya; 27
Tini Gantini, Methodology Research, (Bandung: tth.), hlm. 10. H. Abdullah Bin Nuh, hlm. 12. 29 Winarno Surachmad, Pengantar Penyelidikan Ilmiah: Dasar dan Metode, (Bandung: 1965), hlm. 11. 30 Herbert L. Searles, hlm. 45. 28
28
3). Sikap serba obyektif: menghindarkan, sekurang-kurangnya sangat meminimalkan sikap subyektif; menghindarkan emosi dan prasangka; dan tidak memihak kepada apa pun selain kepada kebenaran ilmiah; 4). Sikap berkejujuran intelektual: berani menyatakan kebenaran; berani surut dari pendiriannya sendiri yang kemudian terbukti keliru; dan terbuka menerima kebenaran-kebenaran yang baru dikenalnya; 5). Sikap-sikap lainnya: rendah hati, lapang dada, toleran, sabar, tabah hati, keras hati, sikap serba relatif, tekun dan rajin dalam usaha menemukan kebenaran-kebenaran ilmiah.
B. Belajar 1. Pengertian Belajar Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan banyak kegiatan yang sebenarnya merupakan gejala belajar.31 Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui apakah sebenarnya belajar itu. Walaupun telah banyak yang ditemukan, namun masih banyak lagi hal-hal yang belum dapat dipahami dengan jelas.32 Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan.33 Belajar merupakan usaha menggunakan setiap sarana atau sumber, baik di dalam maupun di luar pranata pendidikan, guna perkembangan dan pertumbuhan pribadi.34 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, belajar adalah berusaha, berlatih dan sebagainya supaya mendapat suatu kepandaian.35 Para ahli mendefinisikan belajar dalam redaksi yang berbeda-beda dan penekanan yang tidak sama sesuai dengan pendekatan 31 32
WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 34. S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991),
hlm. 96. 33
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
34
Y.B. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, (Jakarta: PT Grasindo, 1993),
hlm. 59. hlm. 2. 35
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, Cet. 5) 1976, hlm. 108.
29 masing-masing.36 Meskipun ada perbedaan namun pada intinya ada kesamaan. Karena perbedaan ini tidak perlu dijadikan alasan untuk menyudutkan pendapat lain. Pendapat yang berbeda bisa dijadikan acuan untuk membandingkan guna dicari persamaan dan kelebihan masingmasing pendapat serta kelemahannya.
a. Sardiman AM Secara umum, belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (id, ego, super ego) dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori.37 b. Chabib Toha Belajar merupakan suatu proses psikologi yang menghasilkan perubahan-perubahan ke arah kesempurnaan.38 c. Hilgard dan Brower sebagaimana dikutip Oemar Hamalik menyatakan: Belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktek, dan pengalaman.39 d. Sumadi Suryabrata mengartikan belajar sebagai: (1) bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial) (2) bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru dalam waktu yang relatif lama (3) bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).40
36
WS. Winkel, op. cit, hlm. 34. Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 24. 38 Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Anggota IKAPI, 1996), hlm. 126. 39 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), hlm. 45. 40 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV Rajawali, 1987), hlm. 249 37
30
Berdasarkan rumusan di atas maka belajar dapat dipandang suatu usaha untuk melakukan proses perubahan tingkah laku ke arah konsisten (menetap) sebagai pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Pengertian ini mengandung makna bahwa adanya belajar ditunjukkan oleh adanya usaha atau aktivitas tertentu. Menekankan segi aktivitas, WS. Winkel mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas mental/psikis dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman ketrampilan dan sikap.41 Dalam lingkup pendidikan, belajar diidentikkan dengan proses kegiatan sehari-hari siswa di sekolah/madrasah. Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subjek, yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Bahan belajar itu sangat beragam, baik bahan-bahan yang dirancang dan disiapkan secara khusus oleh guru, ataupun bahan belajar yang ada di alam sekitar yang tidak dirancang secara khusus tapi bisa dimanfaatkan siswa. Sedangkan dari sisi guru belajar itu dapat diamati secara tidak langsung. Artinya, proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar itu "tampak" lewat perilaku siswa dalam mempelajari bahan ajar. Perilaku belajar itu tampak pada tindak-tindak hasil belajar, termasuk tindak belajar berbagai bidang studi di sekolah. Perilaku belajar itu merupakan respon siswa terhadap tindak belajar dan tindak pembelajaran yang dilakukan guru.42 Belajar pula dapat diartikan memahami sesuatu yang baru dari kemudian memaknainya. Dengan kata lain, belajar adalah perubahan tingkah laku (change of behaviour) para peserta didik, baik pada aspek pengetahuan, sikap ataupun keterampilan sebagai hasil respon pembelajaran yang dilakukan guru. Oleh karena itu, belajar adalah "perubahan tingkah laku 41
WS. Winkel, op. cit, hlm. 36 Ahmadi Zayadi dan Abdul Majib, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.7-8 42
31
lebih merupakan proses internal siswa dalam rangka menuju tingkat kematangan. Berdasarkan uraian konsep belajar di atas antara lain memberikan penjelasan bahwa untuk memperoleh perubahan tingkah laku melakukan berbagai aktivitas berinteraksi dengan lingkungan sebagai suatu pengalaman. Dengan demikian proses belajar yang dilakukan seseorang yang berinteraksi dengan lingkungan menghasilkan perubahan-perubahan di pihak siswa, perubahan-perubahan itu merupakan kemampuan yang sebelumnya belum dimiliki, kemampuan-kemampuan yang diperoleh dari usaha belajar itulah "hasil belajar". Maka berhasil tidaknya seorang siswa dalam suatu proses belajar dapat dilihat dari hasil belajar. Hasil Belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.43 Mutu hasil belajar sebagai produk dari proses belajar mengajar biasanya diukur dengan tes hasil belajar yang tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas proses belajar mengajar yang dialami siswa tetapi juga faktor lain yang berada di luar pengaruh sistem pendidikan, di samping kemampuan siswa itu sendiri. Hasil belajar seseorang (siswa) dapat mengukur tinggi rendahnya kemampuan belajarnya yang ditunjukkan adanya perubahan perilaku pada seseorang sebagai hasil pengalaman. Kemampuan siswa yang merupakan perubahan tingkah laku sebagai bukti hasil belajar itu dapat diklasifikasikan dalam dimensi-dimensi tertentu. Kemampuan-kemampuan yang dihasilkan karena usaha belajar itu merupakan kemampuan internal yang harus dinyatakan atau dibuktikan dalam suatu prestasi. Prestasi belajar yang diberikan oleh siswa berdasarkan kemampuan internal yang diperolehnya sesuai dengan tujuan instruksional, menampakkan hasil belajar. Dari tepat atau tidak tepatnya prestasi belajar akan nampak, apakah hasil belajar sudah tercapai atau belum.
43
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 22
32
2. Tujuan Belajar Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu
dengan
lingkungannya
sehingga
berinteraksi dengan lingkungannya.
44
mereka
lebih
mampu
Untuk itu maka belajar harus
mempunyai tujuan dan ditinjau secara umum tujuan belajar itu ada tiga jenis:45 1. Untuk mendapatkan pengetahuan Hal ini ditandai dengan kemampuan berfikir. Pemilikan pengetahuan dan kemampuan berfikir sebagai yang tidak dapat dipisahkan. kemampuan
Dengan
kata
berfikir
lain
tanpa
tidak
bahan
dapat
mengembangkan
pengetahuan,
sebaliknya
kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih menonjol. Adapun jenis interaksi atau cara yang dipergunakan untuk kepentingan itu pada umumnya dengan model kuliah (presentasi), pemberian didik/siswa
tugas-tugas akan
bacaan.
diberikan
Dengan
pengetahuan
cara
demikian
sehingga
anak
menambah
pengetahuannya dan sekaligus akan mencarinya sendiri untuk mengembangkan
cara
berfikir
dalam
rangka
memperkaya
pengetahuannya. 2. Penanaman konsep dan keterampilan. Penanaman
konsep
atau
merumuskan
konsep,
juga
memerlukan suatu keterampilan. Jadi soal keterampilan yang bersifat jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmaniah adalah keterampilan44
Moh. Uzer Usman dan Lilies Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 4. 45 Sardiman, op. cit, hlm. 28 – 29.
33
keterampilan yang dapat dilihat, dan diamati, sehingga akan menitikberatkan pada keterampilan gerak/penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Termasuk dalam hal ini masalah-masalah
"teknik"
dan
"pengulangan".
Sedangkan
keterampilan rohani lebih rumit, karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat dilihat bagaimana ujung pangkalnya, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan dan keterampilan berfikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep. Jadi semata-mata bukan soal "pengulangan", tetapi mencari jawaban yang cepat dan tepat. Keterampilan itu memang dapat dididik, yaitu dengan banyak melatih kemampuan. Demikian juga mengungkapkan perasaan melalui bahasa tulis atau lisan, bukan soal kosa kata atau tata bahasa, semua memerlukan banyak latihan. Interaksi yang mengarah pada pencapaian keterampilan itu akan menuruti kaidah-kaidah tertentu dan bukan semata-mata hanya menghafal atau meniru. Cara berinteraksi, misalnya dengan metode role playing. 3. Pembentukan sikap Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk ini dibutuhkan kecakapan mengarahkan motivasi dan berfikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Dengan mencermati tujuan belajar sebagaimana dikemukakan di atas, maka pantaslah Allah Swt meninggikan beberapa derajat bagi orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan, sebagaimana firman-Nya:
34
ﺎ ِﺑﻤﺍﻟﻠﱠﻪﺕ ﻭ ٍ ﺎﺭﺟ ﺩ ﻢ ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻌ ﹾﻠﻦ ﺃﹸﻭﺗ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻢ ﻭ ﻮﺍ ﻣِﻨ ﹸﻜﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺮﹶﻓ ِﻊ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ (11 :ﺎﺩﻟﺔﲑ )ﺍ ﺧِﺒ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ Artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. AlMujaadilah: 11).46
ﺏ ِ ﺎﻭﻟﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒ ﹸﺃﺘ ﹶﺬﻛﱠﺮﻳ ﺎﻧﻤﻮ ﹶﻥ ِﺇﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻦ ﻟﹶﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻮ ﹶﻥ ﻭﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻦ ﺘﻮِﻱ ﺍﱠﻟﺬِﻳﺴ ﻳ ﻫ ﹾﻞ (9 :)ﺍﻟﺰﻣﺮ Artinya: Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? "Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (Q.S. az-Zumar: 9)47 Firman Allah Swt:
ﺭ ﻮﺍﻟﻨﺕ ﻭ ﺎﺘﻮِﻱ ﺍﻟﻈﱡﹸﻠﻤﺴ ﺗ ﻫ ﹾﻞ ﻡ ﹶﺃﺼﲑ ِ ﺒﺍﹾﻟﻰ ﻭﻋﻤ ﺘﻮِﻱ ﺍ َﻷﺴ ﻳ ﻫ ﹾﻞ ﹸﻗ ﹾﻞ (16 :)ﺍﻟﺮﻋﺪ Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang. (Q.S. ar-Ra'du: 16)48 Sabda Rasulullah Saw:
ﺏ ٍ ﺎﺑ ِﻦ ِﺷﻬﻋ ِﻦ ﺍ ﺲ ﻧﻮﻦ ﻳ ﻋ ﺐ ٍ ﻫ ﻭ ﻦ ﺑﺎ ﺍﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻴ ٍﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻔﻦ ﻋ ﺑ ﺪ ﺳﻌِﻴ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺎﺧﻄِﻴﺒ ﻳ ﹶﺔﺎ ِﻭﻣﻌ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻤ ِﻦ ﺣ ﺮ ﺒﺪِﺍﻟﻋ ﻦ ﺑ ﻴﺪﻤ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺣ ﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟ ِّﺪﻳ ِﻦ ﻬ ﻳ ﹶﻔﻘﱢ ﺍﻴﺮﺧ ﷲ ِﺑ ِﻪ ُ ِﺮ ِﺩ ﺍﻦ ﻳ ﻣ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨِﺒﺍﻟ
46
Soenaryo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1978), hlm. 910. Ibid., hlm. 747 48 Ibid., hlm. 371 47
35
ﷲ ﻟﹶﺎ ِ ﻣ ِﺮ ﺍ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ ﻤ ﹰﺔ ﹸﺔ ﻗﹶﺎِﺋﻫ ِﺬ ِﻩ ﺍﹾﻟﹸﺄﻣ ﺍ ﹶﻝﺗﺰ ﻦ ﻭﹶﻟ ﻌﻄِﻲ ﻳ ﷲ ُ ﺍﻢ ﻭ ﺎ ﻗﹶﺎ ِﺳﺎ ﹶﺃﻧﻧﻤﻭِﺇ (ﷲ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ِ ﺍﻣﺮ ﻲ ﹶﺃ ﻳ ﹾﺄِﺗ ﻰﺣﺘ ﻢ ﻬ ﺎﹶﻟ ﹶﻔﻦ ﺧ ﻣ ﻢ ﻫ ﻀﺮ ﻳ 49
Artinya: Bahwasannya telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id bin Ghufair dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman r.a. mengatakan bahwa ia mendengar Muawiyah berkhutbah, katanya, "Dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: 'Barangsiapa dikehendaki Allah akan beroleh kebaikan, diberiNya pengertian dalam hal agama. Dalam waktu yang hampir bersamaan, ada anak didik yang berteriak histeris mengejutkan anak didik yang lain yang sedang mendengarkan penjelasan guru. Kelas menjadi gaduh. Jalan pelajaran terhenti. Semua anak didik dan guru mengarahkan perhatian mereka ke arah sumber suara. Anak itu berteriak histeris bukan karena kejatuhan cecak, tetapi karena himpitan persoalan hidup yang berat yang tak tahan disandang akibat keluarga yang broken home. Padahal anak itu datang ke sekolah untuk belajar bersama temantemannya di kelas. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar, permasalahan yang timbul dari perilaku anak didik bermacam-macam ketika pelajaran sedang berlangsung di kelas. Karenanya, anak didik selalu menjadi persoalan dalam proses pendidikan. (H.R. al-Bukhary) Sabda Rasulullah Saw:
ﺎِﻟ ٍﺪﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺧ ﺑ ﺎﻋِﻴﻞﹸﺳﻤ ﺪﹶﺛﻨِﻲ ِﺇ ﺣ ﺎ ﹸﻥ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﺳ ﹾﻔﻴ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻴ ِﺪﻤ ﺎ ﺍﹾﻟﺤﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺎ ِﺯ ٍﻡ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺣ ﺑ ﺲ ﻴ ﹶﻗﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻫ ِﺮ ﺰ ﻩ ﺍﻟ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺎﻴ ِﺮ ﻣﻋﻠﹶﻰ ﹶﻏ ﻢ ﻟﹶﺎ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨِﺒﻮ ٍﺩ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﺴﻌ ﻣ ﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺒﺪﻋ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻖ ﺤ ﻫﹶﻠ ﹶﻜِﺘ ِﻪ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﻋﻠﹶﻰ ﻂ ﱢﻠ ﹶﺎﻟﹰﺎ ﹶﻓﺴﻪ ﻣ ﻩ ﺍﻟﱠﻠ ﺎﺟ ﹲﻞ ﺁﺗ ﺭ ﻴ ِﻦﺘﻨﺪ ِﺇﻟﱠﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﺛ ﺴ ﺣ (ﺎ )ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯﻤﻬ ﻌﱢﻠ ﻳﻭ ﺎﻳ ﹾﻘﻀِﻲ ِﺑﻬ ﻮ ﻤ ﹶﺔ ﹶﻓﻬ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻪ ﺍﹾﻟ ﻩ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﹲﻞ ﺁﺗﺭﺟ ﻭ 50
Artinya: Bahwasannya telah mengabarkan kepada kami dari al-Khumaid dari Sufyan dari Ismail bin Abbi Khalid pada yang lainnya dari az-Zuhry telah mendengar Qais bin Abi Khazim dari Abdullah 49
Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1410 H/1990 M), hlm. 28 50 Ibid., hlm. 29
36
bin Mas'ud r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jangan merasa iri hati, kecuali kepada dua orang: 1. Orang yang diberi Allah harta, kemudian dipergunakannya untuk yang hak, dan 2. Orang yang diberi Allah hikmah (ilmu yang hak), kemudian dipergunakannya (untuk yang hak) serta diajarkannya. (H.R. al-Bukhary).
3. Teori-Teori Belajar Dari dulu hingga sekarang para ahli psikologi dan pendidikan tidak bosan-bosannya
membicarakan
masalah
belajar.
Penelitian
demi
penelitian sudah pula dilakukan. Berbagai teori belajar telah tercipta sebagai hasil kerja keras dari penelitian. Kritik-kritik terhadap teori-teori belajar yang sudah ada dan dirasakan mempunyai kelemahan selalu dilakukan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang baru pun hadir di belantika kehidupan, mengisi lembaran sejarah dalam dunia pendidikan. Begitulah adanya, namun perlu disadari bahwa setiap teori belajar selalu tersimpan kelemahan di balik kelebihannya. Bagi pemakai teori-teori belajar diharapkan memahami kelemahan dan kelebihan teori-teori belajar yang ada agar dapat mengusahakan apa yang seharusnya dilakukan dalam perbuatan belajar.51 Pada mulanya teori-teori belajar itu dikembangkan oleh para ahli psikologi dan dicobakan tidak langsung kepada manusia di sekolah, melainkan
menggunakan
percobaan
dengan
binatang.
Mereka
beranggapan bahwa hasil percobaannya akan dapat diterapkan pada proses belajar-mengajar untuk manusia. Pada
tingkat
perkembangan
berikutnya,
baru
para
ahli
mencurahkan perhatiannya pada proses belajar-mengajar untuk manusia di sekolah. Penelitian-penelitiannya yang tertuang dalam berbagai teori yang berjenis-jenis, ada yang mereka sebut dengan: Programmed text. Teaching Machiness. Association theory dan lain-lain. Teori-teori ini kemudian
51
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op. cit, hlm. 17.
37
berkembang pada suatu stadium yang berdasar atas prinsip Conditioning, yakni pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Sehubungan dengan uraian di atas, maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai suatu proses psikologis, terjadi di dalam diri seseorang. Oleh karena itu sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Dalam hal ini secara global ada tiga teori yakni, teori ilmu jiwa daya, ilmu jiwa gestalt dan ilmu jiwa asosiasi.52 Untuk mengetahui teori-teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, akan dikemukakan dalam pembahasan berikut: 1. Teori tentang belajar menurut ilmu jiwa daya. Menurut teori ini "otak" manusia terdiri atas beberapa bagian, "faculties" atau daya-daya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu, misalnya daya untuk mengamati, menanggap, meng-khayal, mengingat,
berpikir,
dan
sebagainya.
Tiap-tiap
daya
dapat
dikembangkan melalui latihan. Misalnya daya untuk mengingat dianggap dapat dipupuk dan dikembangkan dengan latihan-latihan menghafal nama-nama, angka-angka, rumus-rumus, sajak-sajak, bahkan dengan menghafal suku-kata-kata yang tak berarti. Sebenarnya bukan menjadi soal apa yang dihafal. Setiap bahan dapat dipakai asal saja orang itu disuruh menghafal untuk melatih atau men-disiplinkan ingatannya. Dengan demikian diharapkan, agar daya ingatan itu terlatih dan sedia untuk mengingat apa pun juga. Jadi teori ini berpendirian, bahwa daya ingatan itu dapat dilatih seperti kita melatih otot. Demikian pula halnya dengan daya-daya lain, yang penting antara lain daya berpikir. Di sekolah kepada anak-anak diberikan soal-soal untuk melatih anak-anak berpikir, makin sulit soalnya makin baik. Karenanya pada itu soal-soal itu tidak perlu sesuai dengan keadaan dalam kehidupan yang sebenarnya. Mata 52
Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 31.
38
pelajaran yang paling serasi untuk melatih daya pikir ialah berhitung di SD dan ilmu pasti di Sekolah Menengah. Itulah alasannya maka sampai sekarang mata pelajaran itu sangat dijunjung tinggi sebab sangat bermanfaat untuk mengembangkan daya pikir dan "mengasah otak" sampai "tajam". "Otak yang telah ditajamkan" dapat pula digunakan untuk "menyayat" segala macam soal dalam bidang lain, juga dalam bidang kehidupan sehari-hari seperti lapangan politik, ekonomi,
pendidikan
dan
sebagainya.
Kesanggupan
berpikir.
mengingat dan sebagainya yang telah terlatih dianggap dengan sendirinya dapat dipakai, dipindahkan atau di-"transfer" kepada bidang-bidang lain dalam kehidupan anak. Dikatakan bahwa menurut teori ini transfer itu mutlak. Yang diutamakan di sini bukanlah penguasaan bahan yang dipelajari, melainkan latihan dengan bahanbahan itu guna pembentukan daya-daya, jadi pembentukan formalnya (mental discipline).53 Bagi pembinaan kurikulum ini berarti bahwa kepada anakanak harus disajikan bahan untuk melatih daya-daya yang dianggap penting, yakni daya-pikir. Orang yang pandai berpikir dipandang sebagai orang yang terdidik. Untuk melatih berpikir bahan yang dianggap paling sesuai ialah berhitung dan ilmu pasti, tetapi juga bahan lain yang mempunyai nilai membentuk daya itu.54 2. Teori belajar menurut ilmu jiwa gestalt Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Sebab keberadaannya keseluruhan itu juga lebih dahulu. Sehingga dalam kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh. Tokoh penting yang merumuskan penerapan dari kegiatan pengamatan ke kegiatan belajar itu adalah Koffka. Dalam mempersoalkan belajar, Koffka 53 54
berpendapat
bahwa
hukum-hukum
organisasi
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung: Jemmars, 1990), hlm. 73 Ibid, hlm. 74.
dalam
39
pengamatan itu berlaku/bisa diterapkan dalam kegiatan belajar. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa belajar itu pada pokoknya yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yakni mendapatkan respon yang tepat. Karena penemuan respon yang tepat tergantung pada kesediaan diri si subjek belajar dengan segala panca inderanya. Dalam kegiatan pengamatan keterlibatan semua panca indera itu sangat diperlukan. Menurut teori ini memang mudah atau sukarnya suatu pemecahan masalah itu tergantung pada pengamatan. Menurut aliran teori belajar itu, seseorang belajar jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung: a kesanggupan:
maksudnya
kesanggupan
atau
kemampuan
intelegensia individu. b Pengalaman: karena belajar, berarti akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah munculnya insight. c Taraf kompleksitas dari suatu situasi: semakin kompleks semakin sulit. d Latihan: dengan banyak latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight, dalam situasi-situasi yang bersamaan yang telah dilatih. e Trial and eror: sering seseorang itu tidak dapat memecahkan suatu masalah.
Baru
setelah
mengadakan
percobaan-percobaan,
seseorang itu dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.55 Dari aliran ilmu jiwa Gestalt/keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain:
55
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op. cit, hlm. 17.
40
a. Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya. b. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. c. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. d. Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas. e. Belajar
hanya
berhasil,
apabila
tercapai
kematangan
untuk
memperoleh insight. f. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme. g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi. Belajar menurut Ilmu Jiwa Gestalt, juga sangat menguntungkan untuk kegiatan belajar memecahkan masalah. Hal ini nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan juga suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Kemudian bagaimana seseorang itu dapat memecahkan masalah. Menurut J.Dewey ada lima langkah dalam upaya pemecahan, yakni. a. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan. b. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah. c. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumbersumber lain.
41
d. Menilai dan mencobakan usaha pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan yang diperoleh. e. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau berbuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal itu.56 3. Teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi Ilmu Jiwa Asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Dari aliran ini ada dua teori yang sangat terkenal, yakni: teori Konektionisme dari Thorndike dan teori Conditioning dari Pavlov. a
Teori Konektionisme Menurut Thorndike, dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara kesan pancaindera (sense impresion) dengan impuls untuk bertindak (impuls
to
action).
Asosiasi
yang
demikian
ini
dinamakan
"connecting". Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respon ini akan terjadi suatu hubungan yang erat kalau sering dilatih. Berkat latihan yang terus-menerus, hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi terbiasa, otomatis. Mengenai hubungan stimulus dan respon tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip atau hukum di antaranya: 1). Law of effect Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat, kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai perasaan tidak senang. Karena itu adanya usaha membesarkan hati, memuji dan kegiatan reinforcement sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih baik, sedang hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung. 56
Sardiman, op. cit, hlm. 34.
42
2). Law of multiple response Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respon yang tepat itu tidak segera nampak, sehingga individu yang belajar itu harus berulang kali mengadakan percobaan-percobaan sampai respon itu muncul dengan tepat. Prosedur inilah yang dalam belajar lazim disebutnya dengan istilah trial and error. Tetapi kalau dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema, alternatifalternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Jadi tidak sekedar coba-coba seperti pada binatang (pada awal percobaan Thorndike dengan kucing). Oleh karena itu istilah trial and error, lebih baik disebut dengan "discovering the right path to the objective". 3). Law of exercise atau Law of use and disuse. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika jarang atau tidak pemah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.57 4). Law of assimilation atau Law of analogy. Seseorang itu dapat menyesuaikan diri atau memberi respon yang sesuai dengan situasi sebelumnya. Hukum-hukum yang dikemukakan Thorndike itu banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Namun perlu diingat, bahwa teori Konektionisme dengan hukum-hukumnya diterapkan dalam kegiatan belajar sebenarnya ada beberapa keberatan. Keberatan-keberatan dari teori ini antara lain:
57
Syaiful Bahri Djamarah, op. cit, hlm. 23
43
1). Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis. Apabila ada stimulus dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respon. Latihanlatihan ujian, bahkan ulangan dan ujian para subjek didik banyak yang berdasarkan hal-hal semacam ini. 2). Pelajaran bersifat teacher centered. Dalam hal ini guru aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik/siswa (Guru memberi stimulus). 3). Subjek didik/siswa menjadi pasif, kurang terdorong untuk berfikir dan juga tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Siswa belajar menunggu datangnya stimulus dari guru. 4). Teori ini lebih mengutamakan materi, yakni hanya memupuk pengetahuan yang diterima dari guru dan cenderung menjadi intelektualistis. b
Teori Conditioning Kalau seseorang membau sate, air liur pun mulai keluar (kemecer). Demikian juga kalau seseorang naik kendaraan di jalan raya, begitu lampu merah, berhenti. Bentuk kelakuan itu pernah dipelajari berkat conditioning. Bentuk kelakuan semacam ini pernah dipelajari oleh Pavlov dengan mengadakan percobaan dengan anjing. Tiap kali anjing itu diberi makan, lampu dinyalakan. Karena melihat makanan maka air liurnya keluar. Begitu seterusnya hal itu dilakukan berkali-kali dan sering diulangi, sehingga menjadi kebiasaan. Karena sudah menjadi kebiasaan maka pada suatu ketika lampu dinyalakan tetapi tidak diberi makanan, air liur anjing pun keluar.58 Dalam praktek kehidupan sehari-hari pola seperti itu banyak terjadi. Seseorang itu akan melakukan sesuatu kebiasaan karena adanya sesuatu tanda. Misalnya anak sekolah mendengar lonceng, 58
Sardiman, op. cit, hlm. 36.
44
kemudian berkumpul, tentara akan mengerjakan atau melakukan segala sesuatu gerakan karena aba-aba dari komandannya, permainan sepak bola itu akan terhenti kalau mendengar bunyi peluit. Teori ini kalau diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain: 1). Percobaan
dalam
laboratorium,
berbeda
dengan
keadaan
sebenarnya. 2). Pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat, emosi dan sebagainya) dapat mempengaruhi hasil eksperimen. 3). Respon mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalkan lebih dulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang. 4). Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk beluk belajar yang ternyata sangat kompleks itu. Melihat ketiga teori belajar yang dirumuskan menurut Ilmu Jiwa Daya Gestalt maupun Asosiasi, ternyata memang berbeda-beda. Namun demikian sebagai teori yang berkait dengan kegiatan belajar, ketiganya ada beberapa persamaannya. Persamaan itu antara lain mengakui adanya prinsip-prinsip: 1). Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan faktor yang sangat penting. 2). Dalam kegiatan belajar selalu ada halangan/kesulitan 3). Dalam belajar memerlukan aktivitas. 4). Dalam menghadapi kesulitan, sering terdapat kemungkinan bermacam-macam respon.59
59
Ibid, hlm. 38.