BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN TEORI KEADILAN DENGAN ASAS PROPORSIONALITAS SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN KONTRAKTUAL 2.1. Kajian Mengenai Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Berbicara mengenai hubungan yang terjadi antara kedua belah pihak maka tidak akan terlepas dari suatu sebab yang mendorong keinginan seseorang untuk mengikatkan dirinya dengan orang lain, yang dilandasi dengan aturan yang jelas, memerintah kedua belah pihak tersebut untuk melakukan suatu klausul yang disepakati untuk mencapai keuntungan yang diinginkan. Kerap kali proses tersebut tidak berjalan mulus dimana salah satu pihak dinilai memberikan suatu prestasi yang dianggap tidak setara dengan kontraprestasi yang didapat sehingga pendapat bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara baku tidak dianggap seimbang. Maka dari itu, sangat penting untuk mengetahui apakah perjanjian itu, bagaimana prosesnya dan bagaimana menilai suatu perjanjian yang baik melalui asas – asas yang relevan sehingga menjadi perjanjian yang baik menurut Undang – undang. Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPER didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.
39
40
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan
terjemahan
dari
toestemming
yang
ditafsirkan
sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak / kata sepakat). Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan katasepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum". Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu,1 menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
1
Subekti, 2006, Hukum Perjanjian (cetakan 16), Intermasa, Jakarta, hal 9
41
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Pengertian perjanjian yang dijabarkan dalam KUHPER tersebut menurut para sarjana masih terlalu luas dan memiliki beberapa kelemahan. Sehingga dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan dimana tetap ada satu pihak akan wajib berprestasi dan pihak lainnya menerima prestasi sedangkan cita – cita yang akan dicapai dengan berbagai asas perjanjian yaitu adanya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban dimana keduanya saling menguntungkan sehingga terlahir kata sepakat antara kedua belah pihak. Menurut Suryodiningrat, definisi Pasal 1313 KUHPER ditentang karena adanya argumentasi berikut :2 1) Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas maka dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan ( contoh : perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum )
2
R.M Suryodiningrat, 2009, Asas – Asas Hukum Perikatan cetakan ke - III, Tarsito, Bandung, HAL 72
42
2) Definisi Pasal 1313 KUHPER hanya mengenai persetujuan sepihak ( unilateral ) , satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi, seharusnya perjanjian itu berdimensi dua pihak yang saling berprestasi. 3) Pasal
1313 KUHPER
hanya
mengenai
persetujuan
obligatoir(
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak ) dan tidak berlaku bagi persetujuan lainnya misalnya perjanjian membebaskan ; perjanjian dilapangan ; hukum keluarga ; perjanjian kebendaan dan perjanjian pembuktian. Pengerian perjanjian secara otentik yang dirumuskan olehpembentuk Undangundang sebagaimana terdapat dalam Pasal1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang ataulebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.Terhadap rumusan tersebut Prof. Subekti berpendapat bahwa walaupun definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luaskarena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.3 Atas dasar alasan-alasan tersebut maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkandiri untuk melaksanakan suatu hal dalam harta 3
Subekti, 2009, Aneka Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, hal. 1
43
kekayaan”. Prof. Subekti yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada oranglain atau dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimanadua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.4 Dasar hukum pengaturan tentang perjanjian diatur dalam KUH Perdata buku ketiga mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456.Pasal 1233 menerangkan tentang pengertian dari perikatan yang merupakan awal dari suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan dimana jika dilihat dari sumber, maka terdapat dua sumber lahirnya perikatan yaitu Undang – undang dan perjanjian.5 Pasal – pasal tersebut telah mengatur mengenai perikatan, munculnya perikatan, syarat sahnya perjanjian, hapusnya perikatan dan pembatalan perikatan. Dari ketentuan – ketentuan tersebut maka dapat dianalisa berbagai macam norma dasar ataupun asas – asas yang menjadi fondasi dari suatu hukum perjanjian, bentuk – bentuk perjanjian serta aturan – aturan khusus yang mengatur mengenai berbagai macam perjanjian yang diperbolehkan hukumnya di Indonesia.
2.1.2. Asas – Asas Dalam Perjanjian
4
Ibid, hal.3 Ahmadi Miru, 2012, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3
5
44
Asas hukum berperan penting sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Suatu asas dapat dibilang kuat jika suatu asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu bentuk argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah perilaku, dalam hal ini asas hanya akan memberikan argumen – argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan, asas hukum juga memeberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.6Maka dalam ilmu hukum asas berperan sebagai sebuah pedoman pemikiran aturan atas prinsip prinsip hukum yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan dasar yang melatar belakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan. Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaituasas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan berikut ini :7 1) Asas Kebebasan Berkontrak Merupakan asas yang paling terkenal karena didekatkan dengan Pasal 1338 KUHPER namun jika dicermati ayat dan alineanya maka terdapat beberapa asas yang terkandung didalamnya. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuanPasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
6
JJ. Bruggink, Op Cit, hal. 120 Abdul. R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, hal 46 7
45
berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :8 a) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun c) Menentukan isi dari perjanjian, pelaksaan, persyaratan dan d) Menentukan bentuk dari perjanjian apakah itu tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya
asas kebebasan berkontrak menurut Mariam
Badrulzaman adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissancemelalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau dan menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.9 2) Asas Konsensualisme Dalam hukum perjanjian, dikenal asas konsensualisme yang sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya perjanjian.Pengertian ini sebenarnya tidak tepat mengingat bahwa lahirnya suatu perjanjian yaitu setelah
terjadinya
kesepakatan.
Dengan
demikian,
apabila
tercapai
kesepakatan antara kedua belah pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu
8
Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak :Teori Dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9 Ibid, hal. 9
9
46
belum dilaksanakan pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riil tidak berlaku. 3) Asas Itikad Baik Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPER bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R di Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya asas itikad baik itu sehingga dalam perundingan – perundingan atau perjanjian para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan ini akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan – kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing – masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas – batas wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing – masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
47
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma - norma objektif.10 4) Asas Pact Sund Servanda ( Mengikatnya Kontrak ) Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji – janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang – undang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku dan mengikat sebagai undang – undang bagi mereka yang menyepakatinya. 5) Asas Kepribadian ( Personalitas ) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan dan atau membuat perjanjian hanyauntuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalampasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340KUH Perdata berbunyi : “ suatu perjanjian
10
Ibid, hal. 21
48
hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Diatas merupakan kelima asas penting yang dikenal dalam hukum perjanjian. Namun akibat luasnya makna perjanjian dalam KUHPER seperti yang dijelaskan diatas maka suatu norma akan kembali bergerak dinamis tanpa suatu asas yang menjadi pijakan konkret suatu norma hukum. Dalam dunia bisnis, perjanjian sangatlah dibutuhkan untuk menjaga suatu atmosfir kegiatan pertukaran hak , kewajiban serta menyangkut harta benda agar dilakukan secara baik dan adil dan menghindari suatu keadaan “saling makan”. Dalam hal ini perlu adanya suatu asas yang dapat menjamin suatu keadaan kesetaraan dalam dunia bisnis. 2.1.3. Bentuk Bentuk Perjanjian Dalam KUH Perdata, tidak dijelaskan secara konkrit mengenai perjanjian – perjanjian yang boleh dibuat di Indonesia melainkan sedikit tersirat bahwa KUH Perdata membolehkan segala bentuk perjanjian yang dimasa depan akan mengikuti perkembangan masyarakat. Namun, terdapat aturan yang menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang timbul harus selalu tunduk terhadap semua ketentuan – ketentuan dasar yang terdapat dalam KUH Perdata seperti dalam ketentuan Pasal 1319 yaitu : “ semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan – peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Melihat ketentuan Pasal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh seseorang, baik
49
yang telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur, tetap tunduk terhadap ketentuan umum perikatan dalam KUH Perdata. Dalam hukum Indonesia terdapat banyak jenis perjanjian yang dapat dilihat dari berbagai segi. Namun dari segi perikatan yang muncul maka perjanjian dapat dibagi menjadi :11 1. Perjanjian Atas Beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuandimana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasipihak lain, dimana kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. 2. Perjanjian Cuma – Cuma Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian atau persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan atau prestasi kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Contohnya adalah hibah 3. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUH Perdata dan
11
J. Satrio, 2009, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 37
50
perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUH Perdata. Dalam perjanjian jual beli, hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan menerima barangnya 4. Perjanjian Bernama atau Perjanjian Tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUH Perdata Buku Ketiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain – lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Undang – undang.Misalnya perjanjian leasing, Perjanjian keagenan dan distributor serta perjanjian kredit. 5. Perjanjian Nominat dan Inominat Perjanjian Nominat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata dimana termasuk didalamnya adalah perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan perjanjian inominat adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjian inominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain lain
51
Sedangkan Achmad Busro dalam bukunya Hukum Perikatan menyatakan bahwa perjanjian dapat dibagi menjadi :12 1. Perjanjian Atas Beban ( Onder Bezwareden ) Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuan dimana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. 2. Perjanjian timbal balik tak sempurna Perjanjian ini pada dasarnya adalah perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, tetapi dalam hal – hal tertentu, dapat timbul kewajiban – kewajiban pada pihak lain, misalnya perjanjian pemberian kuasa ( Lastgeving) tanpa upah 3. Perjanjian Konsensuil Perjanjian konsensuil adalah dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan 4. Perjanjian riil Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contohnya perjanjian utang piutang, perjanjian pinjam pakai, dan perjanjian penitipan barang. Apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya 12
Achmad Busro, 2010, Hukum Perikatan, Octama, Semarang, hal 4
52
terdapat suatu perjanjian pendahuluan (
Pactum de contrahendo
voorovereenkomst ) 2.1.4. Syarat sahnya Perjanjian Walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus diperhatikan yaitu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPER, yaitu : 1) Kesepakatan Kedua Belah Pihak Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diaturdalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satuorang atau lebih dengan pihak lainnya. 2) Kecakapan Dalam Bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum.
Perbuatan
hukum
adalah
perbuatan
yang
akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yangcakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.13 Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa menurut undang – undang 13
Subekti, Op Cit, hal. 19
53
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 ayat (1) sedangkan orang yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 adalah : a. Orang – orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh Undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang – undang telah melarang membuat perjanjian tertentu
3) Adanya Objek Perjanjian Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi ( pokok perjanjian). Artinya apa yang telah diperjanjikan hak – hak dan kewajiban – kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yaitu : a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1234 KUHPER) 4) Sebab Yang Halal Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Maksudnya disini adalah isi dari perjanjian tersebut. Suatu sebab akandilarang jika bertentangan dengan Undang – undang, kesusilaan atau ketertiban umum sesuai Pasal 1337 KUHPER
54
2.1.5. Berakhirnya Perikatan Dalam undang – undang tidak ada yang mengatur tentang hapus atau berakhirnya suatu perjanjian melainkan berakhirnya suatu perikatan, perikatan dan perjanjian bukanlah suatu hal yang sama seperti yang sudah dijelaskan diatas. Berikut merupakan sebab – sebab berkahirnya suatu perikatan sesuai dengan pasal 1381 KUHPER : a. Karena pembayaran b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan c. Karena pembaharuan utang d. Karena perjumpaan utang e. Karena perjumpaan utang dan kompensasi f. Karena percampuran utang g. Karena pembebasan utang h. Karena musnahnya barang yang terutang i. Karena pembatalan atau kebatalan j. Karena berlakunya suatu syarat batal k. Karena lewatnya waktu
55
Hapusnya suatu perikatan tidak hanya dijelaskan dalam KUHPER, namun Terdapat beberapa pendapat lain yang berbicara mengenai berakhirnya suatu perikatan menurut R. Setiawan14yaitu : a. Ditentukan dalam Klausul para pihak, contohnya perjanjian tersebut berakhir pada waktu tertentu b. Undang – undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan, misalnya pasal 1066 KUHPER, yang menyebutkan bahwa ahli waris tertentuuntuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Waktu persetujuan dalam pasal 1066 ayat (4) KUHPER dibatasi hanya 5 tahun c. Para pihak atau undang – undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus, misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan akan hapus seperti yang tercantum pada persetujuan : 1) Persetujuan Perseroan ( Pasal 1646 ayat (4) KUHPER ) 2) Persetujuan pemberian kuasa ( Pasal 1813 KUHPER ) 3) Persetujuan kerja ( Pasal 1603 KUHPER ) d. Pernyataan penghentian persetujuan ( Opzegging ). Penghentian persetujuan ini dapat dilakukan baik oleh salah satu ataupun kedua belah pihak dan ini hanya ada persetujuan – persetujuan yang bersifat sementara, misalnya persetujuan kerja dan persetujuan sewa – menyewa. e. Persetujuan hapus karena putusan hakim 14
Setiawan, R. 2005, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Cetakan ke II, Bumi Cipta, Bandung, hal. 49
56
f. Tujuan dari persetujuan telah tercapai g. Dengan persetujuan para pihak Beberapa faktor tersebut dapat menjadi suatu penyebab berakhirnya suatu perikatan di Indonesia, namun kita dapat melihat pperbandingan faktor lain dalam pandangan asing yaitu dari Erwan MacINTYRE dalam bukunya menyebutkan bahwa : “A party’s contractual liability is discharged or ceases to exist in a matter of four ways : 1. By performance; 2. By agreement; 3. By frustration; or 4. By Breach15
Tiga faktor diatas yaitu performance, agreement dan breach adalah faktor yang sudah kita kenal yaitu performance merupakan tindakan dalam arti kedua belah pihak telah mencapai tujuan dari kontrak sesuai dengan yang disepakati, agreement yaitu persetujuan dari para pihak dan yang ketiga adalah breach merupakan penolakan terhadap hal yang disepakati sehingga dapat terjadinya wanprestasi yang berakhir pada putusan hakim. Yang menarik disini adalah frustration dimana jika diartikan secara literal mempunyai sinonim dengan kata desperation tapi dalam bahasa inggris hukum dikenal sebagai frustation yaitu suatu keadaan dimana : “A contract may become frustrated if it becomes impossible to perform, illegal to perform or radically different from what the parties contemplated. If a
15
Erwan Macintyre, 2007, Essentials of Bussiness Law, Pearson Education Limited, England, pg. 125
57
contract is impossible to perform when it is made then it may be void for mistake”.16
Melihat pernyataan diatas maka dapat dipahami bahwa suatu kontrak dapat batal demi hukum jika klausulnya sangat sulit untuk dilakukan, bertentangan dengan hukum dan berbeda dengan apa yang diinginkan para pihak sehingga dapat menjadi celah untuk suatu tindakan wanprestasi jika kontrak telah dibuat. Jika kita melihat perbandingan dalam hukum Indonesia, seperti yang disebutkan diatas maka terlihat kesamaan dalam syarat berakhirnya suatu perikatan namun belum disebutkan mengenai kontrak dengan klausula yang mustahil untuk dipenuhi oleh para pihak. Dalam hal ini tergantung dari bentuk kontraknya, dalam kontrak kerjasama dalam prinsipnya maka para pihak dapat bernegosiasi untuk mengurangi beban dalam klausul tersebut, menggantinya dengan klausul lain atau menghapus klausul tersebut 2.2. Pemahaman Asas Proporsionalitas 2.2.1. Pemahaman Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Baku Terdapat beberapa asas – asas umum yang mendukung suatu perancangan kontrak yang baik. Namun diluar dari asas – asas tersebut, dibutuhkan suatu asas yang berorientasi kepada keadilan karena suatu produk hukum mencita – citakan suatu bentuk keadilan yang diharapkan akan dipatuhi oleh para penggunanya. Suatu perjanjian dibuat dengan kesepakatan para pihak, tapi didalam dunia bisnis suatu bentuk dan norma hukum yang efisien diperlukan sebagai suatu acuan dasar dalam
16
Erwan Macintyre, Ibid, hal. 129
58
berkontrak. Seperti contohnya perjanjian baku, melalui suatu proses perkembangan kehidupan manusia kita menuntut agar suatu perjanjian atau bentuk kontrak dapat dipahami dan disepakati secara cepat dan praktis. Perjanjian baku menandai suatu perkembangan perikatan bisnis yang didalamnya terdapat suatu kepentingan antara kedua belah pihak yang dapat dilaksanakan segera dengan cepat. Kontrak baku ini memang mengakomodasi suatu kegiatan bisnis namun masih banyak ahli yang menilai bahwa kontrak baku telah memberikan ketidak seimbangan para pihak. Disini penulis akan memberikan uraian tentang penting asas proporsionalitas ditinjau dari prinsip keadilan untuk mengubah cara pandang kontrak baku yang dikatakan tidak seimbang menjadi “ proporsional “. Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas tampak lebih dominan dalam kontrak komersial. Dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan sehingga tujuan para pihak yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional ( fair ). Asas keseimbangan tidak dilihat sebagaimana asas keseimbangan yang berkonteks keseimbangan – matematis ( equilibrium) namun lebih kepada proses dan mekaanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.
59
Untuk mencari makna asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofi keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai pendapat filsuf dan sarjana :17 1. Aristoteles menyatakan bahwa prinsip yang sama diperlakukan sama dan prinsip yang tidak sama diperlakukan tidak sama. 2. Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing – masing apa yang menjadi haknya. Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima.. Pada hakikatnya, gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi pemaknaan asas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak. 3. Hegel mengatakan bahwa sentuhan proporsionalitas dalam pertukaran prestasi para pihak yang berkontrak melalui pengakuan akan adanya hak milik. Hak milik menurut Hegel merupakan landasan bagi hak – hak lainnya. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga pemegang hak milik. Adanya saling menghormati hak milik sekaligus mempertahankan eksistensi masing – masing pihak merupakan landasan terjadinya
hubungan
proporsionalitas.
17
Agus Yudha Hernoko, Op Cit, hal 84
kontraktual
yang
bersubstansikan
asas
60
4. Lyons berpendapat bahwa suatu iklim kontrak yang sesungguhnya pada hakikatnya memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar menawar, atau bahkan perbedaan – perbedaan yang relevan antara para pihak. Argumen kontrak menuntut pertukaran gagasan secara bebas dan melalui proses meminjam, yang pada akhirnya ssemua pihak akan sampai pada kesepakatan bersama mengenai prinsip – prinsip keadilan yang tepat bagi mereka. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh – sungguh merefleksikan kepentingan semua pihak. 5. Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang setara ( kesetaraan ) tidak berat sebelah dan fair. Artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk kedalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidak samaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi semacam inilah asas proporsionalitas bermakna equitability.
61
Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yanng mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Pemikiran seperti ini mengingatkan kita pada awamnya dan para ahli atau sarjana pada khusunya untuk tidak lagi berpatutan oleh kebebasan berkontrak namun mengfokuskan pembelajaran mengenai kriteria serta prosedur bagi perkembangan doktrin “ keadilan kontraktual “. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendeekatan.Pertama adalah pendekatan prosedurraal dimana pendekatan ini mengfokuskan kepada permasalahan kebebasan kehendak dalam pembuatan suatu kontrak.Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan substantif dimana pendekatan ini bertujuan untuk memberikan dorongan kandungan atau substansi serta pelaksaan kontrak. Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas proporsionalitas memiliki arti “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan porsi atau proporsi dan bagiannya dalam seluruh kegiatan kontraktual”. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam sebuah proses hubungan mengikat baik pada fase prakontrakktual,
pembentukan
kontrak
maupun
pelaksanaan
kontrak.
Asas
proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak agar lahirlah suatu hubungan yang kondusif dan fair.
62
Berdasarkan kajian diatas maka terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar untuk menemukan apabila suatu kontrak mengandung asas proporsionalitas atau tiidak yaitu sebagai berikut :18 1. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil’ melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “ kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)”. 2. Berlandaskan pada kesamaan dan kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan) 3. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip distribusi – proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair (distribusi proporsional) 18
Ibid, hal 88
63
4. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, apakah kadarnya ringan atau berat atau sebab dari hal – hal lain harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win – win solution Kontrak yang berperan sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para pihak yang berkontrak. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut terwujud dalam pemberian kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran hak dan kewajiban tersebut tetap harus konsisten berada dalam koridor aturan main yang mempertimbangakan prinsip distribusi yang proporsional. 2.2.2. Konsep Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak Pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwabanyak perjanjian di dalam transaksi bisnis, yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara pihak, akan tetapi perjanjian itu dibuat oleh salah satu pihak dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak kemudian disodorkan kepada pihak lain yang sudah disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk melakukan
64
negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan itu.19 Perjanjian yang demikian inilah yang dinamakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam transaksi perbankan adalah bank yang bersangkutan) dan pihak lain (dalam transaksi perbankan adalah nasabah dari bank tersebut) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.20 Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut standard contract, atau standard agreement. Kata baku atau standar artinya bahwa tolak ukur yang dipakai sebagai patokan. Dalam arti lain, perjanjian baku ini adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan penguasa.21 Rumusan perjanjian baku diatas pada prinsipnya mempunyai arti yang sama. Perjanjian baku dapat dirumuskan dalam pengertian bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian baku kadang tidak memperhatikan isinya, tetapi hanya menekankan pada
19
Munir Fuady, 2022, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22 20 Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal 66. 21 Abdul Kadir Mohammad, 2010, Hukum Perikatan( Cetakan ke III ), Citra Aditya Bhakti, Bandung , hal 78.
65
bagian pentingnya dengan janji-janji atau klausula yang harus dipenuhi oleh para pihak yang menggunakan perjanjian baku.22 Perjanjian baku yang dibuat dalam jumlah banyak diberlakukan secara sama terhadap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam keadaan kreditur telah menentukan isi dan bentuk perjanjian pada saat pembuatannya, maka dapat dikatakan debitur tidak mempunyai kedudukan seimbang dengan kreditur. Jika debitur menyetujui salah satu syarat, maka mungkin debitur bersikap menerima atau tidak menerima sama sekali kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi tidak ada sama sekali.23 Perjanjian baku lahir sebagai akibat dari perubahan masyarakat. Latar belakang timbulnya perjanjian baku adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar, perusahaan pemerintah, mengadakan kerja sama dengan debitur danuntuk kepentingannya mereka menentukan syarat sepihak. Pihak lawannya yang ada pada umumnya mempunyai kedudukan yang lemah, baik karena posisinya atau karena ketidaktahuannya, hanya menerima syarat yang disodorkan itu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh penguasa akan menguntungkan pengusaha berupa24 :
22
Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahnnya, alumni, Jakarta, hal. 58. 23 Ibid, hal. 59 24 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 8
66
1. Efisiensi waktu, biaya dan tenaga 2. Praktis karena sudah tersedia suatu bentuk naskah yang dicetak berupa formulir atau blangko yang siap ditanda tangani 3. Penyelesaian cepat, karena kreditur hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya. 4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak 2.2.3. Penjabaran Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Baku Hubungan kontraktual yang lahir dari perikatan antar para pihak pada hakikatnya memang tidak dapat dilepaskan dari masalah keadilan. Kontrak atau perjanjian sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak yang lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Maka akan sangat tepat jika dilakukan suatu analisis demi menarik benang merah antara asas proporsionalitas dalam perjanjian yang justru dimulai dari aspek filosofis keadilan dalam berkontrak. Sampai sekarang ini keadilan merupakan suatu kata yang sangat rumit untuk dijelaskan secaraa konkrit terlebih jika dikaitkan dengan kepentingan yang demikian kompleks. Menurut Rawls, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas – asas keadilan yang dipilih bersama benar – benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin
67
pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.25 Dalam perkembangannya, Rawls merumuskan berbagi prinsip keadilan distributif yang dapat mengedepankan asas hak daripada asas manfaat sebagai berikut :26 1. Prinsip pertama yaitu bahwa semua orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang palling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang. 2. Prinsip kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang – orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus te rbuka bagi semua orang Melihat penjelasan diatas dapat dipahami bahwa menurut Rawls, konsep kesamaan dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua orang dan ditentukan oleh berbagai kondisi, keadaan – keadaan dan dan kualitas masing – masing. Tentunya pandangan ini semakin membuka mata mereka yang senantiasa menuntut hasil yang sama tanpa memandang proses (prosedur) dari awal hingga akhir. 25
Andre Ata Ujan, 2004, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Jakarta, hal. 21 26 Ibid, hal. 129
68
Menurut Rawls, kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan suatu prosedur. Keadilan sebagai fairness atau pure procedure justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga jika setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Dengan demikian, konsep keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.27Oleh karena itu, harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan – perbedaan yang secara obyektif ada pada setiap individu. Analisis komprehensif tentang keadilan tidak lengkap apabila tidak mengupas soal equity (kepatutan).Kepatutan merupakan penjaga dari pelaksanaan undang – undang, karena equity terletak diluar undang – undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.Equity merupakan gagasan fairness dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian memberi peluang untuk penilaian yang melengkapi sifat umum dari undang – undang. Duynstee menyatakan bahwa definisi equity sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional (menurut akal sehatnya). Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mereduksi keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan
27
Ibid, hal. 131
69
individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu.28 Melalui penerapan equity dalam praktik akan memberlakukan nilai keadilan dalam hubungan individu dikembalikan pada proporsi sewajarnya karena equity sangat mempertimbangkan aspek penting yang melingkupi itikad baik, maksud para pihak dan situasi atau keadaan – keadaan. Segala penjelasan mengenai equity (kepatutan) dengan segala aspeknya memang bukan barang baru lagi dalam ranah hukum Indonesia. Dalam lingkup KUH Perdata, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam rumusan Pasal 1339 KUH Perdata yaitu : “Perjanjian – perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang”. Substansi Pasal 1339 KUH Perdata ini menekankan kepada
pentingnya
kepatutan (equity) dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual para pihak, disamping dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak. Contoh yang lain, dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dimana “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, ayat ini pun mengandung unsur kepatutan dimana terdapat kalimat itikad baik didalamnya. 2.2.4. Ciri dan Bentuk Perjanjian Baku Mengingat bahwa kegiatan bisnis bergerak secara dinamis tanpa menunggu aturan, maka mau tidak mau hukum juga harus dapat menyesuaikan diri dengan
28
E. Sumaryono, 2005, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 90
70
perkembangan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, etos kerja dunia bisnis yang mengedepankan efisiensi waktu dan menggunakan sedikit mungkin sumber daya demi mendapat profit yang tinggi telah mengubah cara pandang kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri – ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Ciriciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian baku dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan dari kepentingan konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin, karena konsumen hanya menyetujui syarat syaratyang disodorkan oleh pengusaha. Mengutip pernyataan dari Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku mempunyai ciri – ciri berikut29 : 1. Isinya dibuat dan ditetapkan sepihak oleh pihak yang lebih kuat 2. Debitur tidak ikut serta dalam penentuan isi perjanjian 3. Terdorong oleh kebutuhan, maka debitur menyetujui perjanjian tersebut 4. Sudah dipersiapkan secara masal dan kolektif Perjanjian baku memiliki beragam bentuk yang dikenal dalam dunia bisnis ataupun yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan bisnis itu sendiri antara lain30: 1. Perjanjian baku sepihak
29
Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 69 Ibid, hal. 6
30
71
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya dibuat oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah Perjanjian baku ini merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu 3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh advokat dan notaris Perjanjian baku disini berkaitan dengan perjanjian yang konsepnya sejak semulasudah disiapkan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat. Jika suatu perjanjian baku memang sudah disiapkan oleh pihak kreditur, maka dalam pelaksanaannya perjanjian – perjanjian dengan syarat – syarat baku tersebut juga memiliki bentuk permanen yang biasanya digunakan oleh pihak kreditur antara lain31 : 1. Dokumen Merupakan perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal – hal tertentu dan atau tidak berakhirnya perjanjian itu 2. Dalam bentuk persyaratan dalam perjanjian
31
Az Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen (suatu pengantar), Diadit Media, Jakarta, hal. 95
72
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yangtermuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tandapenjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan pengumuman yangdiletakkan dalam di ruang penerimaan tamu atau dilapangansecarik kertas tertentu yang termuat dalam kemasan atau padawadah produk yang bersangkutan. 2.2.5. Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak Sebelum membahas kredibilitas perjanjian baku dalam hukum, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang berlakunya perjanjian dengan syarat – syarat baku32: 1. Memuatnya dalam butir – butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya dikalangan pengusaha, baik itu produsen, distributor maupun pedagang eceran produk yang bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia barang atau jasa ditawarkan pada orang banyak ( kontrak jual beli, sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat – alat elektronik dll ) 2. Dengan memuatnya dalam carik – carik kertas baik berupa tabel, kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain – lain bentuk penjualan dan atau penyerahan barang dari toko, kedai, supermarket dan lainnya 3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat – syarat baku ditempat tertentu, seperti ditempat parkir atau dipenginapan dengan meletakkan pengumuman itu di meja / ruang dimana tempat itu
32
Ibid hal. 16
73
disewakan. Contohnya : kalimat “ barang berharga yang hilang bukan tanggung jawab kami”. Melihat sifat dari perjanjian baku ini kesannya seperti dipaksakan maka akan ditinjau lebih jauh dengan memakai beberapa pendapat ahli tentang keabsahannya dimata hukum, bagaimana perjanjian ini bisa bertahan sampai saat ini dan apa landasan yang menjadikannya sebagai suatu kebutuhan standar dalam menjalankan kegiatan bisnis. Dalam menganalisa keabsahan ini, akan dijabarkan beberapa pendapat sebagai berikut33: 1. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian karena kedudukan pengusaha adaah seperti pembentuk undang – undang 2. Pitlo berpendapat bahwaperjanjian baku adalah perjanjian paksa 3. Stein berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian 4. Asser Rutten berpendapat bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab atas dirinya. Tanda tangan pada formulir perjanjian
baku
membangkitkan
kepercayaan
bahwa
yang
menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian Namun ada yang berpendapat berbeda, Hondius mengatakan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaan” ( Gebruik ) yang
33
Sutan Remi Sjahdeini, Op Cit, hal. 70
74
berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Sutan Remi Sjahdeini sepakat dengan pendapat Hondius, menurutnya :34 “Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat”. Melihat uraian diatas maka keabsahan berlakunya perjanjian baku memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dibahas apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang menindas dan tidak adil. Maksud dari sangat berat sebelah ialah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Keabsahan dari berlakunya perjanjian tersebut tidak perlu dipersoalkan karena secara praktek sudah diterima namun perlu diatur secara tegas mengenai klausul – klausul atau ketentuan – ketentuan dalam perjanjian baku baik sebagian atau seluruhnya agar mengikat pihak lainnya.
34
www.majalahhawk.com, diakses tanggal 15 Februari 2014 pukul 22.00 wita
75
2.3. Pengertian Franchise Istilah Franchise merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan dalam bahawa Indonesia akan menjadi waralaba. Istilah waralaba pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh LPPM ( lembaga pendidikan dan pembinaan manajemen ). Waralaba berasal dari kata wara yang berarti besar atau istimewa dan laba yang berarti keuntungan.35 Dan jika digabungkan akan memiliki arti kegiatan bisnis yang bertujuan untuk mengambil keuntungan yang besar dimana istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan istilah franchiseitu sendiri. Disamping pengertian tersebut, terdapat beberapa pengertian tentang franchise/ waralaba yaitu : 1. Pengertian waralaba sesuai dengan yang tertuang di Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Perdagangan nomor 53 tahun 2012 yaitu Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. 2. Pengertian waralaba ditinjau dari sisi ekonomi yang dibagi menurut kegiatannya yaitu : a. Franchise produk dan merk dagang adalah bentuk franchise yang palingsederhana. Dalam franchise produk dan merek 35
Barly Haliem, 2010, Mengembangkan Bisnis Tanpa Modal, Kontan, Tgl 10 januari, hal 14 kolom 3
76
dagang ini pemberi waralabaatau franchisor memberikan hak kepada penerima waralaba atau franchisee untuk menjual produk yang dikembangkan oleh franchisor yang disertaidengan pemberian izin untuk menggunakan merek dagang atau nama dagang franchisor. Pemberian izin atau lisensi penggunaan merek dagang atau nama dagangtersebut diberikan dalam rangka penjualan produk yang diwaralabakan ataspemberian izin penggunaan merek dagang dan nama dagang Pada era tahun 1980an, Franchise menjadi suatu masa depan bagi dunia bisnis di Indonesia. Kerja sama waralaba ini berkembang sangat pesat yang pada saat itu dipelopori oleh perusahaan multinasional. Pilihan atau padanan kata untuk franchise adalah “waralaba” atau keuntungan istimewa. Istilah ini diperkenalkan pertam kali oleh lembaga pendidikan dan pengembangan manajemen ( LPPM ),36 namun untuk lebih jelasnya akan dijabarkan beberapa pengertian tentang Franchise menurut para ahli dan beberapa kamus : 1. Martin Mendelsohn37 Pemberian sebuah lisensi ( Franchisor) kepada pihak lain ( Franchisee), lisensi tersebutmemberikan hak kepada Franchiseeuntuk berusaha dengan menggunakan merk dagang Franchisor, dan untuk menggunakan seluruh paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk
36
Adrian Suteji, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 7 http://www.franchise-id.com pada tanggal 10 Februari 2014 pukul 20.15
37
77
membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan bisnis dan untuk menjalankan dengan terus menerus atas dasar – dasar yang ditentukannya. 2. Rooseno Harjowidigno38 Franchise adalah suatu sistem usaha dalam bidang perdagangan atau jasa, mempunyai ciri khas bisnis tersendiri, baik mengenai jenis dan bentuk produk yang diusahakan, identitas perusahaan (merek dagang, logo, desain bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional. 3. V. Winarto39 Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung kepada konsumen. 4. Janet Housden40 Franchise adalah suatu ikatan kontraktual terhadap suatu kepentingan dalam mana, suatu organisasi yaitu pihak franchisor, yang telah mengembangkan suatu formula untuk menghasilkan dan / atau menjual produk atau servis, diperlukan haknya untuk menjalankan bisnis kepada
38
Munir Fuady, 2010, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 16 IbId, hal 18 40 Munir Fuady, 2009, Pembiayaan Perusahaan masa kini ( Tinjauan Hukum Bisnis ), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 136 39
78
perusahaan lain, yaitu pihak Franchisee, dengan batasan – batasan dan pengawasan tertentu. Dalam hampir semua franchise yang penting, dalam menjalankan bisnisnya secara franchise, pihak franchisee selalu menggunakan nama pihak franchisor sebagai nama dagangannya. 5. Dalam literatur asing terdapat pendapat mengenai pengertian franchise yang dikemukakan dalam British Franchise Association yaitu : ”A contractual license granted by one person ( thefranchisor ) to another ( the franchisee ) which : 1. Permits or requires the franchisee to carry on, during the period of the franchise, a particular bussiness under or using a specific name belonging to or associated with the franchisor; 2. Entitles the franchisor to exercise continuing control during the period of the franchise over the manner in which the franchisee carry on the business which is the subject of the franchise; 3. Obliges the franchisor to provide the franchisee with assistance in carrying on the businesswhich is the subject of the franchise ( in relation to the organization of the franchisee’s business, the training of staff, merchandising, management, or otherwise ); 4. Requires the franchisee periodically, during the period of franchise, to pay the franchisor sums of money in conideration for the franchise, or for goods or services provided by the franchisor to the franchisee; 5. Which is not transaction between a holding company andits subsidiary ( as defined in section 736 of the companies ACT 1985 ) or between subsidiaries of the same holding company, or between an individual and a company controlled by him. Sesuai dengan uraian mengenai franchisediatas maka franchiseadalah suatu kegiatan bisnis yang membolehkan sang franchiseeuntuk menjalankan bisnis dengan cara mengakomodir suatu brand atau nama milik sang franchisor serta tunduk kepada perjanjian yang telah disetujui oleh keduanya dengan terikat kepada ketentuan dalam isi perjanjian tersebut dimana sang franchiseeberkewajiban untuk membayar
79
sejumlah dana kepada franchisor yang sudah membantunya dalam menjalankan bisnis tersebut. 6. Dalam Black’s law Dictionary franchise didefinisikan sebagai41 : “A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell products or services. In its simple terms, a franchise is a license from owner of a trademark or trade name permiting another to sell product or service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has evolved into an elaborate agreement under which the franchise undertakes to conduct a business or sell a product or service in accordance with methods and procedures prescribed by the franchisor, and the franchisor undertakes to assist the franchiseethorugh advertising, promotion and other advisory services. Meskipun terdapat perbedaan – perbedaan antara beberapa pengertian mengenai franchise seperti yang yang dipaparkan diatas namun disini dapat diambil kesimpulan bahwa franchise itu adalah suatu kegiatan bisnis modern yang membolehkan pemilik franchise ( franchisor ) untuk menunjuk penerima franchise ( franchisee ) untuk menjalankan bisnis dengan menggunakan serta mendistribusikan nama perusahaan, simbol – simbol komersial serta barang – barang yang dimiliki oleh franchisor dengan syarat memberikan sejumlah dana starting point mengingat usaha yang dijalankan oleh pihak franchisor adalah usaha yang sudah memiliki nama di masyarakat serta bersedia untuk mengikuti metode dan aturan – aturan bisnis yang ditetapkan oleh pihak franchisor. 2.3.1. Perkembangan Franchise di Negara Common Law Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan41
Bryan A. Gamer, Op Cit, hal. 34
80
keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang / berpatokan pada putusanputusan sebelumnya).42 Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia.Kecuali negara bagianLousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yangmenganut sistem hukum civil law. Sekilas mengenai perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law (Anglosaxon) dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem civil law diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada universitas - universitas, yang menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan perkembangan sistem common law terletak pada putusan-putusan hakim, yang bukan hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.43 Kelahiran peraturan mengenai waralaba di Amerika Serikat terjadi di tahun 1956 yaitu dengan diterima dan diundangkannya the Automobile Dealer Franchise 42
Hardijan Rusli, 2009, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law ( Cetakan ke – III ), Pusaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 16 43 Ibid, hal 17
81
Act.44Tujuan luhur dari lahirnya peraturan itu adalah untuk memelihara keseimbangan kekuasaan antara pembuat mobil dan dealer penerima waralaba. Untuk tujuan itu, hukum memperbolehkan dealer mengajukan tuntutan di Pengadilan Distrik Amerika Serikat guna mendapatkan ganti rugi dari para pembuat mobil yang tidak memenuhi persyaratan perjanjian waralaba, atau secara tidak adil membatalkan atau menolak memperbaharui perjanjian waralaba. Walaupun pada awalnya peraturan tersebut hanya ditujukan dalam hubungan dealer penerima waralaba dengan para pembuat mobil, pengadilan ternyata memberlakukan undang-undang itu sebagai bentuk “kodififkasi” dari janji untuk memberikan perlakuan adil dan pelaksanaan itikad baik yang dapat diterapkan pada semua kontrak komersial yang berkaitan dengan pemberian waralaba. Seperti diperkenankan oleh undang-undang 1956, 49 dari 50 negara bagian menyetujui legislasi ini dengan perbaikan disana-sini untuk menutup kekurangan yang ada.Undang-undang yang berlaku dihampir seluruh negara bagian ini menangani dan mengatur setiap aspek dari hubungan antara dealer dan pembuat mobil, termasuk juga didalamnya ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan ataupun pengakhiran lebih awal dari perjanjian waralaba. Hasilnya, para dealermobil secara umum dapat menikmati hubungan yang cukup adildengan para pembuat mobil yang merupakan pemberi waralaba.45 Undang - undang yang berlaku di California tersebut menyatakan tidak sah setiap orang yang menawarkan atau menjual waralaba,dengan nama apapun di negara
44
Robert Purwin Jr, 2004, The Franchise Fraud, John Willet and Sons Inc., New York, hal 32 Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 14
45
82
bagian California kecuali jika waralaba tersebut terdaftar pada Commissioner of Corporations negara bagian California atau kegiatan waralaba tersebut secara tegas dibebaskan dari kewajiban atau persyaratan untuk melakukan pendaftaran. Selain itu ditentukan juga bahwa kegiatan menjual waralaba yang seharusnya didaftarkan dengan, dengan nama apapun di negara bagian California adalah suatu hal yang melanggar hukum, jika salinan prospektus dan perjanjian yang diusulkan sehubungan dengan penjualan waralaba kepada calon penerima waralaba paling sedikit sepuluh hari kerja sebelum pelaksanaan perjanjian atau pembayaran yang dilakukan oleh penerima waralaba kepada pemberi waralaba dilakukan.46Karena itu California adalah negara bagian pertama yang mengharuskan pendaftaran dan pemberian penjelasan atas penjualan suatu usaha waralaba. Sebagai catatan, perlu disampaikan juga tentang perkecualian dari persyaratan California mengenai pemberi waralaba yang :47 1. Memiliki kekayaan berisi $5 juta atau lebih (atau kekayaan bersih$1 juta atau lebih, dan paling sedikit 80 persen dan kekayaan bersih itu dimiliki oleh perusahaan dengan kekayaan bersih tidak kurang dari $5 juta) 2. Mempunyai paling sedikit 25 penerima waralaba yang sudah melakukan bisnis secara terus menerus selama lima tahun berturut-turut sebelum penawaran atau penjualan dilakukan, atau sudah melakukan bisnis yang
46
Hardijan Rusli, 2008“Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law (cetakan ke – ii), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 16. 47 Hardijan Rusli, Op Cit, hal 44
83
menjadi subyek waralaba secara terus menerus paling sedikit lima tahun sebelum penawaran atau penjualan dilakukan. Walaupun pemberi waralaba ini tidak perlu mendaftar, namun pemberi waralaba yang dibebaskan dari pendaftaran inipun harus menjelaskan secara tertulis
kepada
calon
penerima
waralaba
kategori
informasi
yang
dispesifikasikan dalam undang-undang. Penyerahan penjelasan tertulis ini harus dilakukan paling sedikit sepuluh hari kerja sebelum dibuatnya suatu perjanjian waralaba yang mengikat atau diterimanya suatu pembayaran oleh penerima waralaba. Selain itu para pemberi waralaba ini diwajibkan untuk melaporkan
tentang
pengecualian
pendaftaran
tersebut
kepada
the
Commissioner. Selanjutnya walaupun pemberi waralaba itu bebas dari pendaftaran, perubahan penting apa pun pada suatu waralaba yang sudah ada harus dijelaskan secara tertulis kepada setiap penerima waralaba. Undang-undang yang berlaku di California itu juga mengharuskan untuk melakukan pendaftaran dan penjelasan atas suatu modifikasi yang signifikan pada waralaba yang telah diberikan, dengan tidak memperhatikan apakah kewajiban pendaftaran telah disyaratkan padasaat waralaba tersebut diberikan pertama kali. Bentuk pendaftaran danpenjelasan yang harus disampaikan ditentukan oleh the Commissioner.48
48
Martin Mandelshon,2008, Franchising : Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Pustak Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13
84
Selain hal tersebut diatas, undang-undang tersebut juga mengatur mengenai masalah penanganan biaya waralaba, pemeliharaan catatan dan pembukuan, serta promosi dan iklan waralaba. Undang-undang yang berlaku di California ini tidak saja mewajibkan pemberi waralaba bertanggung jawab atas kerusakan / kerugian yang diderita oleh penerima waralaba atas penyampaian informasi yang tidak benar,tetapi penerima waralaba juga diberikan hak untuk dapat menuntut pemberi waralaba apabila waralaba itu dibatalkan atau diakhiri secara sepihak oleh pemberi waralaba. Penerima waralaba yang merasa tertipu dapat menuntut ganti rugi dari individu (baik orang perseorangan ataupun badan usaha) yang berasosiasi dengan pemberi waralaba dalam hal ternyata pemberi waralaba berada dalam posisi judgement proof (yaitu tanpa cukup aset yang dapat dipertimbangkan untuk memberikan ganti rugi), atau pemberi waralaba sudah dinyatakan pailit.49 Menyusul diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang waralaba di negara bagian California, sebanyak 14 negara bagian lain telah juga memberlakukan undang - undang pendaftaran dan pemberian penjelasan atas kegiatan usaha yang melibatkan penawaran dan penjualan waralaba. Negara-negara bagian itu adalah Hawaii (kewajiban memberikan penjelasan saja), illinois, Indiana,Marylan, Michigan (kewajiban memberikan penjelasan danpembuatan dokumen pemberitahuan), Minnesota, New York, NorthDakota, Oregon (kewajiban memberikan penjelasan saja), Rhode Island, South Dakota, Virginia, Washington dan Wisconsin (keduanya). Perlu diketahui bahwa pada mulanya Hawaii dan Michigan memberlakukan undang49
Ibid, hal 22
85
undang pendaftaran dan jugakewajiban memberikan penjelasan, tetapi kemudian undang-undang pendaftaran tersebut dicabut kembali.50 Pada prinsipnya negara bagian yang mewajibkan pendaftaran waralaba dalam peraturannya tersebut menyatakan bahwa hanya waralaba yang telah terdaftar secara benar saja, yang dapat memulai melakukan penawaran, dan selanjutnya menjual waralaba di dalam negara bagian tersebut. Meskipun seluruh dokumen yang berhubungan dengan pendaftaran diserahkan kepada the Commissioner, dan bahwa para pejabat negara bagian (dalam the Commissioner) tersebut pada beberapa negara bagian tertentu seperti California dan New York akan membaca dan mengevaluasi bahan dan edaran penawaran yang diserahkan, untuk menentukan cukup tidaknya bahan-bahan tersebut mengandung penjelasan tentang fakta-fakta terpenting, peninjauan tersebut sama sekali tidak mengindikasikan bahwa penawaran itusudah “disetujui” oleh negara bagian tersebut. Pendaftaran memang sangat diperlukan dan penting untuk mencegah penipuan, khususnya bagi yang mensyaratkan adanya pembayaran biaya waralaba tertentu dan jumlah-jumlah uang atau biaya lain yang dibayar. Dalam hal inimaka nilai biaya atau uang pembayaran yang dilakukan tersebut akan ditempatkan dalam penguasaan pihak ketiga sampai kewajiban pemberi waralaba terhadap penerima waralaba sudah dipenuhi. 2.3.2. Perkembangan dan Pengaturan Franchise Di Negara Civil Law Sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (EropaKontinental) oleh negara50
Ibid, hal 25
86
negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis danlain-lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkatusaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.51 Sehubungan dengan belum terdapatnya perundang-undangan khusus yang mengatur
mengenai
waralaba,
Komisi
Uni
Eropa
mengadakan
penelitian
untukmeneliti sejauh mana permasalahan yang berhubungandengan perjanjian waralaba. Hal selanjutnya dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan hukum persaingan Eropa. Komisi Uni Eropa mengadakan pula kerjasama dengan European Franchise Federation dan organisasi-organisasi lain untuk mendapatkan satu kesatuan pandangan mengenai kepastian hukum dalam perjanjian waralaba. Pada bulan Februari 1980 ditetapkan dasar-dasar pembentukan perjanjian waralaba yang selaras dengan European Code Of Ethics for Franchising. European Code Of Ethics for Franchising pada dasarnya masih belum dapat memberikan kepastian hukum, karena kode etik tersebut bersifat pedoman umum dalam menyelaraskan perjanjian waralaba negara negara di Eropa. Hingga saat ini tidak semua negara-negara dieropa memiliki peraturan di bidang waralaba. Pengaturan hukum mengenai waralaba seringkali disandarkan pada hukum umum 51
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hal 27
87
seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum sosial masing-masing negara. Pihak dewan Uni-Eropa (European Council) mempunyai peranan penting dalam membuat pelaksanaan - pelaksanaan keputusan yang dijalankan oleh Komisi Eropa (European Council), juga peraturan-peraturan waralaba.52 Keputusan Mahkamah Eropa tentang kasus Pronuptia (Pronuptia deParis Pronuptia de Paris Irmgard Schiligalis-Hamburg Case 161/84 of28 Jaunuary 1986) merupakan suatu keputusan penting yang dijadikan pedoman dalam persaingan di bidang waralaba. Hal tersebut kemudian melahirkan pranata hukum yang berkaitan dengan The Franchising Block Exemption Regulation and The Vertical Restraints Block Excemotion Regulation. Setelah itu Komisi Eropa menghasilkan kembali 5 (lima) keputusan di bidang waralaba, dan menyusun rancangan peraturan untuk perjanjian waralaba yang disebut The Franchising Block Exemption Regulation, diundangkan pada tanggal 28 Desember 1988 dan mulai berlaku sejak 1 Februari 1989.53 Uni Eropa merupakan salah satu pelaku bisnis terbesar di dunia.Negara – negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah mengharmonisasikan beberapa segi kehidupan mereka, seperti bidang ekonomi, standar kehidupan, juga aturan pranata hukum termasuk didalamnya adalah pranata waralaba. Hampir semua negara-negara anggota Uni Eropa telah melakukanupaya harmonisasi di bidang pranata hukum waralaba melalui EuropeanCode of Ethics for 52
Douglas, J. Queen, 2007, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise ( Cetakan ke – II ), Pt. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 6 53 M. L. Barron,2010, Fundamentals of Bussiness Law, McGraw Hill Book Co., Sydney, hal. 33
88
Franchising(selanjutnya disebut European Code).European Code merupakan kode etik yang menjadi pedoman umum agarterdapat standardisasi perjanjian yang mengatur ketentuan-ketentuan bagi para pihak dalam perjanjian waralaba.European Code ini tidak berupa aturan yang mengikat namun dipakai sebagai acuan namun dalampraktek sehari-hari. Kode etik ini sangat efektif dan ditaati oleh masyarakat negara-negara Uni Eropa. Di dalam European Code ini terdapat beberapa kode etik yang harus ditaati dan disesuaikan dengan kondisi masing – masing negara yaitu :54 a) Definiton of Franchising b) Guiding Principles c) Recrutment, advertising and disclosure d) Selection of individual franchisee e) The kontrak franchise f) The Code OF ethics and master franchise system Dalam pasal 2 yakni mengenai guiding principles mengatur mengenai kewajiban kedua belah pihak. Dalam pasal 2.2 menyatakan bahwa pemberi waralaba (franchisor) wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : a) Telah menjalankan konsep bisnisnya dengan sukses, untuk jangka waktu yang masuk akal dan sekurang – kurangnya telah mempunyai satu unit sebelum memulai jaringan bisnis melalui pola waralaba ini
54
Susan Blake, 2008, A Practical Approach To Legal Advice & Drafting, Inns Of Court School Of Law, London, hal 24
89
b) Menjadi pemilik, atau mempunyai hak yang sah atas nama dagang, merek dagang, atau identitas pembeda lainnya c) Memberikan latihan awal dan bantuan teknik selama perjanjian berlangsung Ketentuan dalam pasal 2.2 huruf (a) diatas mengenai kewajiban dari pemberi waralaba (franchisor) untuk memiliki pengalaman dalam menjalankan konsep bisnis membuat posisi berimbang dapat terpenuhi. Posisi berimbang antara para pihak dapat terpenuhi karena diharapkan konsep bisnis yang ditawarkan memang telah memiliki nilai ekonomis yang cukup memadai untuk meraih kesuksesan. Dalam hal ini, penerima waralaba (franchisee) dilindungi kepentingannya karena dengan syarat ini diharapkan konsep bisnis yang dibeli oleh penerima waralaba (franchisee) telah mapan dan resiko gagal dapat dieliminasi serendah mungkin. Selain itu, disyaratkan pula pemberi waralaba (franchisor) telah mengelola minimal 1 (satu) unit bisnis sebelum memasarkan konsep bisnisnya melalui konsep waralaba. Syarat ini dianggap melindungi posisi penerima waralaba (franchisee) karena pemberi waralaba (franchisor) yang menjual konsep waralaba diharapkan telah berpengalaman mengelola bisnis sendiri. Hal ini sangat diperlukan guna meminimalisasikan risiko yang kemungkinan ditanggung penerima waralaba ( franchisee ) akibat gagalnya konsep bisnis yang dibelinya. Selanjutnya pasal 2.2 huruf (b) yang pada intinya mengatur bahwa pemberi waralaba (franchisor) harus dapat membuktikan bahwa pihaknya merupakan pemilik hak yang sah atas hak kekayaan intelektual dari konsep bisnis waralaba bersangkutan.
90
Hal ini tentu saja memberikan posisi berimbang bagi penerima waralaba (franchisee) karena kepemilikan yang sah atas hak kekayaani ntelektual sangat bernilai, dimana salah satu dasar kesuksesan daribisnis waralaba adalah adanya merek yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pasal 2.2 huruf (c) yang mengatur mengenai kewajiban dari pemberi waralaba (franchisor) untuk memberikan bantuan kepada penerima waralaba (franchisee) berupa pelatihan wala, bantuan teknis, bantuan berkesinambungan selama perjanjian tertentu saja akan memberikan perlindungan bagi penerima waralaba (franchisee). Pasal 2.3.memuat tentang kewajiban penerima waralaba ( franchisee ) yaitu : a) Memberikan upaya terbaik dalam menjalankan / mengembangkan bisnis waralaba dan menjaga identitas dan reputasi jaringan waralaba b) Mendukung pemberi waralaba ( franchisor ) dengan data operasional dan laporan keuangan yang benar untuk memudahkan penentuan pekerjaan, juga sebagai pedoman manajemen yang efektif, serta mengijinkan agen waralaba ( franchise of agent ) untuk memeriksa pembukuan dengan wajar c) Tidak membocorkan know how uang diberikan pemberi waralaba ( franchisor ), baik selama perjanjian berlangsung dan setelah perjanjian berakhir
91
Pasal 2.4 memuat mengenai kewajiban yang secara terus menerus bagi kedua belah pihak adalah melakukan transaksi yang adil satu sama lain. Franchisor harus memberikan pemberitahuan (notice) tertulis kepada penerima waralaba (franchisee) dalam setiap pembatalan kontrak (breach of contract), dan memberikan waktu yang wajar untuk memberi ganti rugi (remedy default). Pasal ini mengakomodir pula kewajiban para pihak untuk menyelesaikan protes, konflik dan perselisihan dengan berlandaskan itikad baik dan goodwill secara wajar dan adil dengan cara menjalin komunikasi dan negosiasi. Yang diatur dalam pasal 1 hingga pasal 2.4 diatas merupakan kewajiban yang sejalan dengan kepastian hukum bagi para pihak. Hal tersebut dapat dijadikan acuan dalam menyusun hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba. Kewajiban - kewajiban yang diatur dalam kode etik hanya merupakan kewajiban yang umum atau pokok saja. Selain itu, masih terdapat beberapa kewajiban lain yang dapat diperinci dan dapat dinegosiasikan dalam perjanjian waralaba, misalnya kewajiban waralaba untuk membayar upah (fee), seperti initial fee, anual fee, royalties, advertising fee, juga kewajiban pemberi waralaba (franchisee) untuk menutup asuransi, kewajiban pemberi waralaba (franchisor) untuk meminjamkan manual guide.55 Ketentuan dalam pasal 3 secara umum mengenai penerimaan (recruitment), periklanan (advertising), pengungkapan (disclosure), dan perjanjian awal (pre-
55
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu,2009,Hukum Bisnis dalam persepsi Dunia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal 15
92
contract) dapat memberikan perlindungan hukum kepada pemegang waralaba (franchisee) sebelum menutup perjanjian maupun perjanjian awal. Perlunya keterbukaan, informasi yang tidak menyesatkan dan tidak bermakna ganda serta adanya waktu yang cukup bagi calon penerima waralaba (franchisee) sebelum memasuki bisnis waralaba adalah untuk memberikan gambaran mengenai bisnis yang akan dimasuki oleh calon penerima waralaba (franchisee) dapat menilai bonafiditas dari penerima waralaba (franchisor), sehingga calon pemegang waralaba (franchisee) dapat terhindar dari kegagalan usaha waralaba, dan dapat terhindar pula dari pemberi waralaba (franchisor) yang beritikad kurang baik. Hal ini tentu saja akan memberikan perlindungan bagi pihak penerima waralaba (franchisee) sehingga posisi berimbang dapat tercapai. Pasal 4 memuat mengenai kewajiban dari pemberi waralaba (franchisor) untuk mengadakan seleksi dan menerima calon penerima waralaba (franchisee) berdasarkan hasil pencarian mengenai kemampuan dasar, pendidikan, kualitas pribadi, dan sumber daya keuangan untuk menjalankan bisnis waralaba. Hal ini penting dilakukan dalam rangka menilai bonafiditas, minat dan keseriusan calon penerima waralaba (franchisee) agar lebih menjamin keberhasilan bisnis penerima waralaba (franchisee) yang pada akhirnya menjaga kelangsungan kegiatan bisnis waralaba. Hal ini memberikan posisi berimbang bagi pihak pemberi waralaba (franchisor) karena memiliki kebebasan untuk menilai calon penerima waralaba (franchisee) yang potensial dan serius.
93
Pasal 5 mencantumkan mengenai syarat minimum yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba, antara lain : a) The rights granted to the franchisor, yaitu hak – hak yang diberikan kepada pemberi waralaba b) The rights granted to the individual franchisee, yaitu hak – hak yang diberikan kepada penerima waralaba c) The goods and / or services to be provided to the individual franchisee, yaitu barang / dan jasa yang disediakan bagi penerima waralaba d) The obligations of the franchisor, yaitu kewajiban pemberi waralaba e) The obligations of individual franchisee,
yaitu kewajiban penerima
waralaba f) The terms of payment by the individual franchisee, yaitu jangka waktu pembayaran yang harus dilakukan oleh penerima waralaba g) The duration of agreement whisch should be long enough to allow individual franchisee to amortize their initial investments specific to the franchise, yaitu jangka waktu perjanjian yang cukup agar penerima waralaba dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan dalam rangka memasuki bisnis waralaba h) The basis for any renewal of the agreement the terms upon which the individual franchisee may sell or transfer the franchised business and the franchisor’s possible pre - emption rights in this respect, yaitu dasar untuk pembaharuan perjanjian dan klausula yang menyatakan penerima
94
waralaba dapat menjual atau mengalihkan bisnis waralaba, dan kemungkinan mendapatkan penawaran terlebih dahulu bagi pemberi waralaba atas bisnis waralaba tersebut i) The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or changed methods, yaitu hak dari pemberi waralaba untuk melakukan penyesuaian atau memperbaharui, atau merubah metode j) Provisions for termination of the agreement provisions for surrendering promptly upon termination of the kontrak franchise any tangible and intangible property belonging to the franchisor or other owner thereof, yaitu ketentuan mengenai pengakhiran perjanjian, untuk penyerahan dengan segera baik benda berwujud maupun tidak berwujud milik pemberi waralaba atau pemilik yang berhak setelah perjanjian berakhir Ketentuan mengenai syarat minimum yang harus tercantum dalam perjanjian waralaba sangat relevan guna memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam waralaba, terutama bagi pihak penerima waralaba (franchisee) agar terdapat posisi yang berimbang bagi para pihak. Selain itu, hal ini dapat digunakan pula sebagai pedoman didalam penyusunan perjanjian waralaba yang baik dengan memperhatikan kedudukan kontraktual yang berimbang bagi para pihak. Pasal terakhir yakni Pasal 6 mengatur mengenai hubungan pemberi waralaba (franchisor), penerima waralaba (franchisee), dan (masterfranchisee), yang pada intina bahwa European Code dapat diterapkan untuk mengatur hubungan antara
95
pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee), juga dapat diterapkan antara (masterfranchisee) dengan penerima waralaba (franchisee). Kode etik mengenai waralaba di negara Eropa yang tergabung dalam European Franchise Commision bersifat sangat umum, singkat, akan tetapi telah memuat halhal mendasar dalam mengatur hubungan parapihak yang berupa hak dan kewajban secara berimbang sehingga posisi berimbang dalam hubungan kontraktual para pihak dapat tercapai. Posisi berimbang dapat tercapai sejak saat perjanjian awal, karena dengan disyaratkannya pengungkapan oleh pemberi waralaba (franchisor) yang jelas, terperinci, dan tidak mengandung kesesatan akan membuat posisi penerima waralaba (franchisee) mempunyai akses mendapatkan informasi yang jelas dan berimbang untuk dapat memasuki bisnis waralaba dengan tanpa keraguan apapun. Hal ini berimbang pula dengan posisi pemberi waralaba (franchisor) untuk dapat menilai kelayakan penerima waralaba (franchisee) yang ditawarkan oleh pemberi waralaba (franchisor). Posisi berimbang di dalam kontrak diharapkan dapat berlangsung dengan baik, hal ini diakomodir dalam ketentuan yang mengatur perlindungan bagi pemberi waralaba (franchisee), khususnya dari pemberi waralaba (franchisor) yang beritikad buruk, memberikan kesesatan informasi, hak dan kewajiban yang tidak berimbang, namun dipihak lain perlindungan secara berimbang diberikan pula terhadap pihak pemberi waralaba (franchisor). Jadi posisi berimbang antara para pihak dalam hal ini dapat
tercapai
saat
penerima
waraba
(franchisee)
mendapatkan
suatu
96
pengungkapanyang berisikan informasi yang jelas mengenai bisnis waralaba, namun disisi lain pemberi waralaba (franchisor) dapat menilai kelayakan penerima waralaba (franchisee) untuk dapat terlibat dalam bisnis waralaba. 2.3.3. Perkembangan Franchise di Indonesia Di Indonesia waralaba dikenal sejak era 1970-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen, dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekira 1995. Setelah itu, usaha waralaba mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga tahun 2000, waralaba asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elite.56 Pemerintah mengizinkan kegiatan usaha franchise ini dengan harapan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya usaha
franchise
asing,
maka
beberapa
pengusahaI
ndonesia
juga
mulai
mengembangkan usaha franchise lokal, seperti Es Teler 77, Califonia Fried Chicken, Kursus bahas Inggris Oxford, Kursus Komputer Widyaloka, Ny.Tansil Fried Chicken and Steak, Kurumaya, Laundrette (Laundry), Ristra Salon &Centre, Rudi Hadisuwarno (Salon Kecantikan), SS Foto (cuci cetak film) dan Toys City (toko mainan anak anak). Kalangan bisnis Indonesia umumnya memberikan nilai yang lebih tinggi pada identitas Internasional (Franchise asing) dan yakin akan memperoleh keuntungan lebih banyak dengan mengoperasikan bisnis franchise asing 56
Iman Sjahputra Tunggal, 2005, Franchising : Konsep dan Kasus,Harvarindo, Jakarta, hal 5
97
tersebut.57 Padahal dengan mengoperasikan bisnis franchise lokal mereka akan memperoleh beberapa kemudahan, antara lain biayanya lebih rendah, perbedaan waktu dan jarak tidak menghambat komunikasi, tidak ada perbedaan bahasa dan budaya, serta lebih sedikit kesulitan yang dihadapi dibanding dengan franchise asing, disamping itu modal yang di pergunakan juga tidak begitu besar. Pesatnya pertumbuhan franchise di Indonesia kini ternyata mempunyai sejarah yang cukup panjang dan berliku berawal dari sebuah pemikiran bahwa sistem waralaba terbukti sukses memacu perekonomian di banyak negara maju seperti Amerika dan beberapa negara maju lainnya.58Tidak hanya itu franchise juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi cukup banyak tenaga kerja. Franchise di Indonesia berawal dari upaya pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang melihat sistem franchise sebagai suatu cara, usaha untuk menggiatkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Di Indonesia juga terdapat Organisasi Perusahaan Franchise yakni disebut dengan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1990 atas dorongan daripemerintah Indonesia dan ILO (Internasional Labour Organisation)adapun latar belakang pendirian organisasi ini yaitu adanya keinginan untuk mempersatukan diri dalam suatu wadah organisasi pada tingkat nasional serta merupakan forum kerjasama demi meningkatkan dan mengembangkan potensi dalam menjadikan dirinya sebagai mitra pemerintahan, maupun sektor swasta lainnya. Franchisor yang 57
J. Queen, Op Cit, hal 15 Rooseno Harjowidigno, 2007, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, Jakarta hal 3 58
98
menjadi pendirinya yaitu : PT. Trims Mustika Citra, ES Teler 77, Widyaloka, NilaSari, Homes 21. Maka dimulailah sebuah usaha untuk mendata usaha franchise yang ada di Indonesia dengan menggandeng International Labour Organization (ILO).59 Secara umum perkembangan bisnis dengan menggunakan sistem franchise di Amerika telah dimulai pada tahun 1863 yaitu dengan munculnya Singer Sewing Machine Company.60 Perkembangan selanjutnya metode franchise tidak hanya masuk dalam lapangan automobile dan minuman ringan (soft drink) saja. Franchising menjadi bagian integral dalam sistem distribusi. Diperkirakan pada tahun 1985 lebih dari 30 persen penjualan retail dilakukan melalui outlet-outlet franchise.61 Masuknya bisnis dengan menggunakan sistem franchise di Indonesia bermula dari kebijakan atau political will pemerintah terhadap maraknya perdagangan eceran (retail) maupun investasi asing yang ada. Perdagangan retail yang merambah Indonesia berasal dari luar negeri masuk melalui penamaman modal asing, sedangkan saat itu perusahaan retail lokal cukup banyak, antara lain seperti Matahari, Hero, dan Golden Truly.62Tampaknya pemerintah memandang perlu melakukan proteksi terhadap perusahaan – perusahaan retail lokal dalam menghadapi persaingan bisnis dengan perusahaan asing.
59
Pietra Saragosa, 2005, Kiat Praktis Membuka Usaha – Mewaralabakan Usaha Anda, Pt. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal 4 60 www.franchise-id.com pada tanggal 28 April 2015 pukul 21.00 61 www.franchise-id.com pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 21.00 62 V. Winarto, 2010, Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia Aspek Hukum dan Non Hukum, dalam Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum tentang Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT Citra Aditya Bakti , Bandung , hal 9
99
Kebijakan atau political will melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing nomor 1 Tahun 1967 serta Peraturan Pemerintah Nomor20 Tahun 1994 tentang Daftar Negatif Investasi (list of sectors closedfor investment) telah membatasi atau merestriksi perdagangan retailyang masuk 100 persen di Indonesia. Demikian pula dengan Keputusan Presiden nomor 31 tahun 1995 tentang daftar sektor-sektoryang tertutup bagi modal asing masuk di dalamnya, karena mengingat adanya sektor-sektor tertentu yang masih dipandang perlu diproteksi ataupun pertimbangan lain diantaranya segi ekonomi, sosial, politik,dan kultur. Strategi bisnis kemudian dijalankan oleh pengusaha – pengusaha retail asing untuk melakukan penerobosan atas restriksi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang. 2.3.4. Bentuk Dan Struktur Kontrak Franchise Perlu diketahui bahwa istilah franchise atau yang dengan istilah Indonesianya dikenal sebagai franchise tersebut memiliki batasan dan definisi yang sangat bervariasi. Namun pada dasarnya variasi batasandan definisi tentang franchise tersebut paling tidak memiliki elemen–elemendasar yang sama, baik dari aspek perjanjian atau kontraknya,maupun dari segi hak milik intelektual yang melekat di dalamnya. Dari sudut franchisor (pengwaralaba), franchise dapat dianggap sebagai sekelompok hak milik intelektual; dari sudut franchisee (pewaralaba), waralaba dapat dianggap sebagai paket bisnis, sedangkan dari sudut hukum, franchise adalah suatu
100
kontrak atau perjanjian kerja sama standar dan dari sudut pemerintah dan masyarakat umum dianggap sebagai hubungan kemitraan usaha.63 Seperti yang dikemukakan oleh Douglas. J. Queen, terdapat macam – macam bentuk franchise seperti :64 1. Franchise format bisnis Disini franchisee memperoleh hak dan kewajiban untuk memasarkan dan menjual produk pelayanan di wilayah tertentu dengan standar operasional dan pemasaran. Adapun jenis format bisnis franchise terdiri atas : a. Franchise Pekerjaan; b. Franchise usaha dan; c. Franchise investasi 2. Franchise Distribusi Produk Dalam bentuk ini, franchisee memperoleh lisensi eksklusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Disamping itu, franchisor juga memberikan franchiseewilayah, dimana franchisee ataupun sub pemilik franchise membeli hak untuk mengoperasikan / menjual franchise di wilayah geografi tertentu. Sub pemilik franchise bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh
63
Martin Mendelsohn, Op Cit , hal 4.
64
Douglas J. Queen, Op Cit, hal. 5
101
pemasaran franchise, melatih dan membantu pemegang franchisebaru, dan melakukan pengendalian dukungan operasi serta penagihan royalti. Franchise
wilayah
franchiseinduk
memberikan
untuk
kesempatan
mengembangkan
kepada
rantai
pemegang
usaha
agar
perkembangannya lebih cepat, dimana keahlian manajemen dan resiko terhadap financial merupakan tanggung renteng antara pemegang franchise induk dengan sub pemegangnya.Namun demikian tentu saja pemegang induk menarik royalti dan penjualan produk. Adapun Lieberman, membagi operasi bisnis franchise kedalam tiga kategori, yaitu :65 1. Distributorship or product Franchise Melalui lisensi manufaktur seorang distributor menjual produk – produknya, misalkan automobile dealership dan
gasoline station
operation. 2. Bussiness format franchise Franchisee menjadi bagian ( anggota kelompok ) dari usaha yang dimiliki oleh franchisor, misalkan fast food chains, real estate brokerages, dan beberapa firma akunting yang dijalankan dengan sistem ini. 3. Manufacturing Plants
65
Juajir Sumardi, 2007, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 18
102
Franchisor memberi ijin kepada franchisee untuk menjual produknya dibawah standar yang dipersyaratkan oleh franchisor. Bentuk semacam ini biasanya untuk barang – barang elektronik. Begitu pula dengan Bryce Webster mengemukakan bentuk – bentuk franchisekedalam 4 kategori, yaitu :66 1. Product Franchise Pada bentuk ini, franchisee berdasarkan lisensi yang diperoleh dari franchisor menjual barang-barang hasil produksi franchisor, sehingga membawa merek dagang franchise. Hubungan yang muncul adalah hubungan distributorship antara franchisee dengan franchisor. Franchise bentuk ini, dewasa ini masih digunakan antara lain pada industri automotif. 2. Manufacturing Franchises Pada bentuk ini, franchisor memberikan bahan-bahan rahasia(secret ingredients atau know how) yang menjadi dasar bagiproduksi franchisor. Franchisee hanya tinggal menjual produksi barang-barang tersebut sesuai dengan standar produksi dan merek yang telah ditetapkan oleh franchisor. Contoh dari bentuk ini adalah pada industri soft drink, antara lain coca cola, pepsi, dan lain-lain. 3. Bussiness Format Franchises
66
Ibid, hal. 25
103
Sebagaimana pengertian sebelumnya, bentuk ini sangat populer dewasa ini.
Franchisor
memberikan
lisensi
kepada
franchisee
untuk
menggunakan nama franchisor. Namun dalam mengikuti metode standar pengoperasian dan berada di bawah pengawasan franchisor. Di samping itu, franchisee harus membayar fee atau royalti kepada franchisor. Sebagaimana contohnya adalah fast food chain seperti California Fried Chicken, McDonald’s, Texas Fried Chicken. 4. Bussiness Opportunity Ventures Franchisee di sini menggunakan sistem yang dimiliki franchisor dalam menjalankan dan menjual produknya. Bentuk franchise yang semacam ini dapat dicontohkan antara lain seperti vending machine (penjualan mesin). Dari berbagai pengertian franchise diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kesamaan yang dapat dilihat adalah bahwa penggunaan sistem kerja dengan sistem bisnis yang telah distandarkan oleh franchisor untuk mekanisme bisnis yang akan dijalankan oleh franchisee. Ini merupakan suatu dasar patokan bentuk – bentuk franchise yang berbeda dimana yang menjadikannya sedikit berbeda adalah isi dari klausul kontrak franchiseitu sendiri. Dalam penyusunan suatu kontrak sudah sebaiknya memperhatikan struktur kontrak itu sendiri. Kontrak seringkali tidak mudah untuk dirancang, kedua belah pihak harus menentukan secara benar antara hak dan kewajiban sedangkan harus tepat dimata hukum sehingga lahirlah suatu kontrak yang baik. Tidak ada bentuk
104
kontrak yang selalu cocok dalam setiap transaksi umat manusia karena dalam dunia bisnis, kepentingan haklah yang akan selalu diutamakan ditambah lagi dengan kaburnya aturan – aturan hukum dalam suatu langkah – langkah perancangan kontrak sehingga terdapat banyak sekali bentuk kontrak yang dibuat sesuai dengan selera para pihak. Dalam praktek terdapat kecenderungan untuk mengusahakan suatu bentuk kontrak yang relattif baik dan sistematis, penyusunan kontrak secara sistematis berguna bagi para pihak untuk dapat melihat hukum, kepentingan serta hak dan kewajibannya secara jelas. Secara singkat, Prof. Erman Rajagukguk mengatakan bahwa suatu kontrak mempunyai suatu struktur sebagai berikut :67 Bagian I : “Yang isinya harus diterapkan dalam semua kontrak yaitu antara lain: judul, tanggal, para pihak, kata sepakat menggunankan latar belakang (recitle), mengenai sesuatu untuk apa perjanjian diadakan, tidak melangar hukum (sesuatu sebab yang halal) dan pasal 1 yang isinya tentang definisi” Bagian II : “Merupakan bagian dari kontrak berisi tentang isi kontrak yang khas. Bagian inilah yang membedakan isi kontrak yang satu dengan kontrak
67
www.majalahwk.com/artikel-artikel/info-usaha/187-edisi-majalah.html, pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 10.00
105
yang lain. Yang dapat dilakukan adalah mengkoleksi contoh-contoh kontrak atau literatur-literatur tentang kontrak dalam suatu check list” Bagian III : “Merupakan suatu bagian kontrak yang berisi pasal-pasal yang harus ada di semua kontrak yang dibuat meliputi isi kontrak yang prinsip antara lain yaitu: wanprestasi (even of default), peringatan (notice) atau somasi, ganti rugi atau denda, force majeure atau keadaan darurat, choice of law/governing law/applicable law, Penyelesaian sengketa (settlement of dispute), bahasa yang dipakai, ketentuan amandemen untuk kontrak jangka panjang, the entire agreement (kalimat dari keseluruhan perjanjian), penutup dan tanda tangan”