1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM PEMASYARAKATAN DAN RECIDIVIS
2.1.Efektivitas 2.1.1.Pengertian Efektifitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil, dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan. Suatu sistem hukum dikatakan efektiv jika tujuan dari hukum tersebut yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum telah tercapai dengan baik.
2.1.2.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Berlakunya Hukum Berbicara efektivitas berlakunya hukum berarti terkait mengenai daya paksa suatu hukum agar masyarakat taat dan tertib dalam melaksanakan hukum. Masalah pokok terkait dengan efektivitas berlakunya hukum sesungguhnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
2
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.1 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
2.2.Sistem Pemasyarakatan 2.2.1.Sejarah Perkembangan Kepenjaraan Di Indonesia Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.2
1
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 2 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 54.
3
Dikenalnya pidana penjara oleh orang di dunia sudah sejak abad keenam belas atau abad ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara yang dikenal dewasa ini, pidana penjara yang dilakukan waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana di menara-menara, di benteng-benteng, dan lain-lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk sementara maupun yang untuk seumur hidup. Goffman di dalam tulisannya menggambarkan penjara sebagai institusi yang bersifat totaliter (totale institutie). Dengan ini dimaksud bahwa seluruh fungsi kehidupan terpenting manusia berlangsung di dalam suatu organisasi yang berada di luar kehidupan normal sehari-hari. Tinggal, bekerja, tidur, rekreasi dan aktivitas rutin manusia lainnya dilangsungkan dalam suatu institusi yang dipisahkan dari masyarakat dengan tembok atau pagar tinggi. Hidup dari pagi hari hingga larut malam dijalani dengan mengikuti aturan-aturan yang ketat dan tidak ada peluang bagi penghuni untuk mengubah aturan-aturan tersebut.3 Di dalam institusi total tersebut, demikian dikatakan Goffman, terjadi proses mortifikasi, hilangnya kemanusiaan penghuni. Ego dari manusia dipunahkan, individualitas dari manusia tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Hilangnya individualitas penghuni penjara ditegaskan dengan mewajibkan mereka mengenakan seragam, sekalipun bukan baju garis-garis
3
Septa Candra et. al., 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar, h. 226, dikutip dari E. Goffman, Totale Instituties, Rotterdam Universitaire Pers, Rotterdam, 1975.
4
klasik, bisa saja berwarna coklat tua, ditambah dengan celana dan jas yang kerapkali tidak seukuran dengan tubuh narapidana. Jenis pidana penjara bukan merupakan jenis pidana asli bangsa Indonesia. Dalam sejarah diketahui bahwa jenis pidana yang banyak dilakukan pada masamasa sebelum datangnya penjajah di nusantara adalah pidana badan (capital punishment). Jika ada tempat penampungan (persinggahan) bagi terpidana, maka fungsinya sebagai tempat sementara untuk menunggu eksekusi pidana badan, bukan sebagai tempat pembinaan sebagaimana dikonsepsikan oleh pemikiran penologi.4 Sistem pidana penjara baru diperkenalkan di Indonesia pada zaman penjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan sehingga belum ada pidana penjara. Meskipun demikian, pada masa tersebut sudah ada rumah tahanan yang dipakai tersangka untuk menunggu putusan hakim atau menunggu pelaksanaan (eksekusi) pidana mati atau pidana badan jenis lain. Sudarto mengemukakan bahwa pada zaman Majapahit belum dikenal jenis pidana pencabutan kemerdekaan. Jenis pidana pokok yang berlaku pada masa tersebut adalah pidana mati, pidana potong anggota badan yang bersalah, denda, dang anti kerugian.5 Selanjutnya pada zaman kompeni sudah dikenal istilah spinhius dan rasphius. Spinhius adalah rumah tahanan bagi para wanita tunasusila, pemalas
4
Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana & Penologi: Rekontruksi Model Pembinaan Berbasis Kompetensi Bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h. 26. 5 Ibid, h.27.
5
kerja, dan peminum (pemabuk). Mereka dikurung untuk diperbaiki tingkah laku dan mentalitasnya dengan cara memberi pekerjaan meraut kayu untuk dijadikan bahan cat. Menurut Sudarto, rasphius diperuntukan khusus bagi narapidana lakilaki. Para penghuni rasphius diberi pendidikan agama dan diberi pekerjaan agar menjadi contoh oleh penjara-penjara lain yang menjalankan pidana hilang kemerdekaan. Rumah tahanan di Batavia (Jakarta) pada zaman Kompeni ada 3 macam yaitu, Bui (tahun 1602) yang dibangun di batas wilayah pemerintah kota, Ketingkwartier merupakan tempat terpidana yang dirantai, Vrouwentouchthuis merupakan tempat penampungan orang-orang berjenis kelamin perempuan bangsa Belanda yang melanggar kesusilaan.6 Sistem kepenjaraan pada zaman Hindia Belanda seiring perkembangannya terbagi menjadi enam babakan, yaitu Tahun 1800-1816, Tahun 1816-1854, Tahun 1854-1870, Tahun 1870-1905, Tahun 1905-1918, dan Tahun 1917-1942. Dalam rentang waktu tahun 1800-1816 di wilayah nusantara terjadi dua masa pemerintahan, yaitu masa pemerintahan penjajahan Belanda (1800-1810_ dan masa penjajahan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1800-1810 keadaan bui tetap sebagaimana masa kompeni, yaitu berupa kamar berukuran kecil seperti kandang binatang. Tahun 1811 saat pemerintahan Inggris berkuasa di Indonesia, Rafless sebagai penguasa di zaman tersebut memerintahkan agar dilakukan perbaikan keadaan dan mulai didirikan bui di tiap-tiap tempat yang terdapat pengadilannya. Segala bentuk pidana yang bersifat kejam dan mengakibatkan
6
Ibid
6
terpidana cacat badan diperintahkan oleh Rafles agar dihapus dan tidak diberlakukan lagi. Tahun 1816-1854 setelah pemerintah Hindia Belanda kembali menguasai wilayah nusantara setelah beberapa saat wilayah nusantara dikuasai Inggris, usaha Rafless
dilanjutkan
oleh
pemerintah
Hindia
Belanda
dengan
jalan
mengklasifikasikan terpidana yaitu: a. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan memakai rantai; b. Orang-orang yang dipidana kerja paksa biasa; c. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan diberi upah. Tahun 1856 Jenderal Pokrol A.J. Swart mengumumkan pemberitaan tentang akan ada pendirian rumah-rumah penjara baru di wilayah Hindia Belanda. Pemberitaan tersebut memuat keterangan-keterangan tentang ketertiban, makanan, pakaian, kesehatan, keadaan tempat narapidana bekerja, dan bermacam-macam pekerjaan yang harus dijalani oleh narapidana. Pada tahun 1861 Pokrol Jenderal A.W. Reoppard memberitakan bahwa pemerintah Hindia Belanda menyesalkan keadaan penjara-penjara pada waktu itu. Menurut pemberitaan tersebut, keadaan Ketingkwartier tidak layak, kurang ruangan, penerangan dan pertukaran udara kurang lancer, dan penjara tersebut diperuntukan khusus bagi orang Indonesia. Bahkan A.W. Reoppard menyesalkan keadaan orang Belanda di penjara yang tidak diberi pekerjaan sehingga selalu bermalas-malasan. Atas pernyataan tersebut Gubernur Jenderal Sloet van der Beele pada tahun 1865 memerintahkan Residen Riouw untuk melakukan studi banding di penjara Singapura. Hasil studi banding
7
tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai contoh pengelolaan penjara di Indonesia. Hasil studi banding Residen Riouw ternyata tidak segera membawa perbaikan penjara, tetapi akhirnya melahirkan peraturan untuk penjara-penjara di Hindia Belanda yang dimuat dalam Lembar Negara (Stbl.) 1871 Nomor 78 (Tucht Reglement van 1871). Peraturan tersebut dirancang oleh Departemen Justisi yang baru didirikan tahun 1870. Tucht Reglement van 1871 mengatur agar adanya pemisahan pemenjaraan antara: a. Golongan Indonesia dengan Golongan Eropa b. Perempuan dengan laki-laki c. Terpidana dengan katagori berat dengan terpidana berkatagori lainnya. Selain itu, pada tiap-tiap penjara harus diadakan pendaftaran dan pencatatan terhadap narapidana yang ada dalam penjara, dan mereka harus dibagibagi dalam beberapa bagian menurut golongan narapidana. Jika tidak ada alasan yang sah, kepala penjara dilarang memasukan atau mengurung orang. Mulai tahun 1905 di Hindia Belanda terjadi perubahan metode pemenjaraan yang cukup mendasar. Peningkatan tersebut adalah melalui pendirian beberapa penjara yang berlahan luas dan kondisinya diperbaiki, serta kualitas dan kuantitas pegawai-pegawainya ditingkatkan. Di penjara Glodog mulai diadakan percobaan pembinaan dengan cara memberikan pekerjaan kepada narapidana yang dijatuhi pidana kerja paksa di dalam lingkungan pagar tembok penjara. Dalam jangka waktu antara tahun 1905 sampai dengan 1918 di wilayah Hindia Belanda didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh Central Gevengenis,
8
dan didirikan penjara-penjara pusat yang berukuran sangat besar sehingga menampung kira-kira 700 orang. Penjara tersebut merupakan gabungan Huis van Bewaring. Pada masa 1917-1942 di wilayah Hindia Belanda mulai dilakukan Reglemen Penjara Baru (Gestichten Reglement) Stbl. 1917 Nomor 708, yaitu mulai tanggal 1 Januari 1918 berdasar Pasal 29 Weetbook van Strafrecht (WvS). Peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tersebut menjadi dasar perlakuan terhadap para narapidana dan cara pengelolaan penjara. Pada masa tersebut di Hindia Belanda mulai didirikan penjara-penjara istimewa untuk beberapa golongan narapidana, misalnya pendirian penjara di Jatinegara tahun 1919. Penjara Jatinegara khusus digunakan untuk menampung orang-orang yang dipidana penjara seumur hidup dan narapidana nakal (narapidana yang melakukan pelanggaran berat di dalam penjara). Pada Tahun 1925 di Tanah Tinggi, didirikan sebuah penjara khusus untuk anak-anak (yaitu orang yang berumur kurang dari 20 tahun). Pada tahun 1925 di Batavia dan Surabaya didirikan Clearing House untuk mengumpulkan narapidan yang dipidana penjara lebih dari 1 tahun untuk diselidiki, dipilih, kemudian dikirim ke penjara lain yang sesuai dengan jiwa, watak dan kebutuhan narapidana, terutama berkaitan dengan jenis pekerjaan di dalam penjara. Tahun 1925, penjara Cipinang mencoba untuk membuat tempat tidur yang terpisah untuk narapidana yang disebut chambaretta, yaitu berupa kerangkeng yang berbentuk sangkar yang dibuat dari jeruji besi, dan pada tiap-tiap kerangkeng hanya ditempati satu orang dengan maksud agar
9
narapidana tidak melakukan perbuatan cabul. Pada tahun 1927 didirikan 2 penjara khusus untuk anak-anak yaitu di Ambarawa dan Pemekasan. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, pada periode tahun 1917-1942 terdapat beberapa perubahan mendasar, yaitu pada tahun 1930, dan tahun 1931.pada tahun 1930 terjadi beberapa perubahan berikut: 1) Mengubah pembagian narapidana laki-laki yang dijatuhi pidana penjara lebih dari satu tahun dalam 2 golongan, berdasarkan hasil penyelidikan di Clearig House, yaitu golongan narapidana yang sulit dididik kearah yang baik dan narapidana yang mudah dididik menuju arah yang baik. 2) Untuk kedua golongan sebagaimana tercantum dalam angka 1 tersebut, diadakan pembagian semacam reformatory (sebagaimana ada Elmira), yaitu di penjara Malang, Madiun dan Sukamiskin. 3) Mengadakan psichopaten di Glodog. 4) Mengadakan sistem cellilousie. 5) Penjara untuk orang Eropa di Semarang dipindahkan ke Sukamiskin. 6) Kursus-kursus untuk pegawai kepenjaraan. 7) Mengangkat seorang pegawai reklasering. 8) Mendirikan dana reklasering. Sedangkan pada tahun 1931 perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:
10
a) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk narapidana yang berasal dari golongan terpelajar dan dianggap berkedudukan di masyarakat. b) Penjara Sukamiskin diberi peralatan percetakan (untuk latihan kerja). c) Percobaan chambaretta di Penjara Cipinang dilanjutkan. d) Golongan narapidana yang berstatus orang-orang komunis yang dipenjara di Padang dan Glodok dipindahkan ke Pamekasan. e) Penjara anak-anak di Pamekasan dihapus, dan tempatnya digunakan untuk orang-orang komunis sebagaimana dimaksud dalam huruf d. Anak-anak terpidana yang ada di Pamekasan dipindahkan ke Banyubiru dan Tangerang. f) Adanya
percobaan
dengan
ploeg-stukloon
system,
yaitu
mempekerjakan orang antara 7 sampai 8 orang untuk bekerja bersamasama dengan mendapat upah. Setelah berakhirnya masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, pidana penjara masih tetap dilanjutkan keberlakuannya hingga pada masa penjajahan tentara Jepang yaitu tahun 1943 hungga tahun 1945 dan dimasa awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia pidana penjara masih tetap diterapkan dalam hal menindak orang-orang yang melanggar hukum agar orang yang melanggar hukum tersebut merasa jera karena telah berbuat hal yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Tahun 1963, konsep pemenjaraan mulai diubah menjadi konsep pemasyarakatan sehingga istilah Rumah Penjara diganti dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
11
Sistem pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Sahardjo sebagai Menteri Kehakiman sewaktu penerimaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Digantinya istilah penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa penjatuhan pidana tidak hanya terfokus pada itikad menghukum saja melainkan berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi yang bertujuan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna. Menurut Lamintang untuk menjadikan tujuan pidana penjara sebagai upaya pemasyarakatan, ternyata dalam praktik gagasan tersebut tidak didukung oleh konsepsi yang jelas dan sarana yang memadai. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, pedoman pelaksanaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan hanya didasarkan pada Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Stbl. Tahun 1917 No. 708 yaitu Gestishtenreglement.
Meskipun
demikian,
menurut
Lamintang
untuk
menindaklanjuti gagasan pemasyarakatan, Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia sudah berusaha menyesuaikan perlakuan terhadap narapidana dalam LAPAS dengan menerbitkan suatu petunjuk pelaksanaan pembinaan narapidana yang disebut Manual Pemasyarakatan. Setelah keluarnya UU Pemasyarakatan tahun 1965 seluruh sistem pembinaan narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia didasarkan pada ketentuan UU tersebut
dan
dipadu
oleh
beberapa
peraturan
perundang-undangan
12
pelaksanaannya, baik Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri maupun peraturanperaturan yang secara hierarki ada dibawahnya.
2.2.2. Pengertian Sistem Pemasyarakatan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan pengertian Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu, ketentuan pasal-pasal
yang berkaitan dengan sistem
pemasyarakatan juga diatur pada Pasal 2 dan Pasal 5 yaitu : Pasal 2 Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 5 Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a. Pengayoman b. Persamaan perlakuan dan pelayanan c. Pendidikan d. Pembimbingan e. Penghormatan harkat dan martabat manusia f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
13
Tehnik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahaptahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan (treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang diberikan,
pendidikan-pendidikan
atau
pelajaran-pelajaran
yang
akan
ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.7 Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yaitu : Pasal 10 (1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar. (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. (3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di LAPAS. Pasal 11 Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi : a. pencatatan : 1. putusan pengadilan 2. jati diri
7
Soedjono D, 1972, Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana (Dasar-Dasar Penologi), Alumni, Bandung, h. 91.
14
3. barang dan uang yang dibawa b. pemeriksaan kesehatan c. pembuatan pasfoto d. pengambilan sidik jari e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana. Pasal 12 (1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar : a. Umur b. jenis kelamin c. lama pidana yang dijatuhkan d. jenis kejahatan e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. (2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.
Setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan pemasyarakatan diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya. Perlakuan selanjutnya ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan kemundurannya, setelah diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam sifatnya.8 Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat setelah bebas. Disamping itu Pemasyarakatan juga dinyatakan sebagai suatu
8
Ibid, h. 93.
15
system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Lembaga Pemasyarakatan dapat diumpamakan sebagai sebuah sanggar yaitu sebagai rumah atau ruangan yang diatur baik-baik untuk mengerjakan sesuatu. Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan. 9 Pembinaan juga diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari
9
Petrus & Irwan Panjaitan, op.cit, h. 45.
16
kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam Lapas.
2.2.3.Pengertian
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan Pengertian lembaga pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tertuang dalam Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan suatu tempat bagi seseorang yang telah diputus bersalah oleh hakim karena melanggar hukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya. Seseorang yang menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan tersebut disebut dengan istilah warga binaan pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Selanjutnya mengenai pengertian narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan diatur pengertiannya dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, dan Pasal 1 angka 9 yang menyebutkan sebagai berikut:
17
Pasal 1 angka 7 Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Pasal 1 angka 8 Anak Didik Pemasyarakatan adalah: a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pasal 1 angka 9 Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalambimbingan BAPAS.
2.3.Recidivis 2.3.1.Pengertian Recidivis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kaitannya terhadap penjatuhan pidana diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus, meringankan, dan memperberat penjatuhan hukuman pidana. Dalam hal tindak recidive, dalam ketentuan KUHP merupakan tindakan yang dapat memperberat penjatuhan hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP. Terkait pemberatan pemidanaan terhadap recidivis adalah maksimum pidana dan ditambah dengan 1/3 dari pasal yang bersangkutan. The Dictionary of Criminal Justice menyebutkan pengertian recidivis sebagai berikut:
18
“recidivist is a person who has been convicted of one or more crimes and who is alleged or found to have subsequently committed another crime or series of crimes.”10 Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat (sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang.11 Ulangan atau recidive terjadi jika satu orang yang telah dihukum karena sesuatu delik, melakukan lagi suatu perbuatan yang boleh dihukum. Definisi ini mengandung dua pengertian: a. Adanya beberapa delik yang dilakukan oleh satu orang (sebaliknya pada hal “penyertaan”: beberapa orang yang melakukan satu delik). b. Antara waktu-waktu dilakukan delik-delik itu, pembuat sudah dihukum karena salah satu delik itu. 12
10
George E. Rush, 2003, The Dictionary of Criminal Justice, Dushkin/McGraw-Hill, United States of America, h.299. 11 Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Rajawali Pers, Jakarta, h.80. 12 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana: Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, h.67.
19
Pengertian kedua membedakan ulangan dari gabungan, sebab gabungan delik-delik ada jika satu orang melakukan beberapa delik pada hal antara waktuwaktu dilakukannya tidak ada keputusan hakim tentang salah satu perbuatan itu. Perbedaan ini dapat dinyatakan secara pendek seperti berikut: a. Ulangan = delik – vonis – delik – vonis b. Gabungan = delik – delik – vonis
2.3.2.Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pemidanaan Recidive dijadikan sebagai dasar hukum terhadap pemberatan pemidanaan didasari dengan alasan bahwa seseorang yang telah mendapat hukuman pidana kemudian mengulangi kembali melakukan perbuatan kejahatan, maka hal tersebut membuktikan bahwa orang tersebut memiliki tabiat yang tidak baik dan karenanya dianggap sangat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga recidivis dijatuhi pidana yang lebih berat. Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3 (tiga) faktor, ialah: 1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana. 2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama. 3. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. 13 Pemberatan pada pengulangan yang terpenting ialah pada faktor yang kedua dan ketiga karena penjatuhan pidana karena melakukan tindak pidana
13
Adami Chazawi, op.cit. h.82.
20
dianggap sebagai suatu peringatan dari negara atas perbuatan yang dilakukannya tidak dibenarkan atau melanggar ketentuan undang-undang. Melakukan tindak pidana yang kedua kalinya dianggap tidak mengindahkan peringatan dari negara, menunjukan kelakuan orang tersebut memiliki tabiat sangat buruk. Dengan demikian tidak cukup mempidana sebagaimana yang diancamkan pada tindak pidana bersangkutan atau pengulangan pemidanaannya diperberat.
2.3.3.Jenis-Jenis Recidivis Penambahan hukuman terhadap pengulangan dapat diatur menurut dua jenis sistem: a. Sistem ulangan umum (recidive general): hukuman maksimum yang diancam pada suatu delik ditambah, jika pembuat telah dihukum lebih dahulu karena delik lain yang mana saja. b. Sistem ulangan khusus (recidive spesial): hukuman maksimum itu baru ditambah, jika pembuat telah dihukum lebih dahulu karena satu delik yang sama-sama atau semacam dengan delik yang kemudian dilakukan.14 Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum (General Recidive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP mengatur sebagai berikut : a. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tindak pidana tertentu yang disebutkan di dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP, dan b. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387, dan 388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat
14
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, op.cit. h.68.
21
terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP. 15 Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada yang diterangkan pada butir a dan b tersebut diatas, tidak dapat terjadi pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah, maka pengaturannya tidak dimuat dalam Buku Pertama, melainkan dikelompokkan pada ketiga pasal tersebut dalam Buku II dan pasal-pasal tertentu lainnya dalam Buku II (kejahatan) maupun Buku ke III (pelanggaran). Sistem yang dipergunakan dalam KUHP adalah sistem antara, berhubung penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang memiliki sifat yang sama dengan kejahatan yang ia lakukan sebelumnya. Hal ini menunjukan, bahwa dalam recidive tidak perlu setiap jenis kejahatan yang diulang kembali adalah sejenis dan tidak perlu setiap kejahatan dilakukan lagi.16 Sistem antara ini berarti pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang merupakan golongan tertentu yang ditetapkan undang-undang. Penggolongan perbuatan pidana menurut undang-undang ini maksudnya undangundang yang menentukan sejumlah perbuatan pidana yang kemudian dibagi kedalam golongan-golongan yang menurut sifatnya dianggap sama atau sejenis. Penggolongan tersebut dapat dilihat mengenai pengaturan recidive yang diatur dalam Bab XXXI Buku II KUHP Pasal 486, 487, dan 489. Disamping hal tersebut, KUHP menganut sistem recidive khusus yang tidak diatur dalam Bab
15 16
Adami Chazawi, op.cit. h.81. Teguh Prasetyo, op.cit. h.193.
22
XXXI Buku II KUHP yang akan tetapi masalah pengulangan tersebut secara tersendiri diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan. Selain dibedakan menjadi pengulangan umum dan pengulangan khusus, dalam doktrin hukum pidana recidive juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Pengulangan kebetulan (accidentele recidive) Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan karena mencuri uang majikannya, setelah keluar LP kemudian mencuri sepotong roti karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana. 2. Pengulangan Kebiasaan (habituale recidive) Pengulangan karena kebiasaan, menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana yang setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan disini memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP yang berlaku di Indonesia tidak membedakan antara dua jenis pengulangan tersebut. 17
2.3.4.Recidivis Dalam Ketentuan KUHP Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam KUHP Indonesia pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, 487, dan 488. Berdasarkan ketiga pasal tersebut, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan sebagai dasar pengulangan adalah sebagai berikut: a. Pasal 486: Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: 1) Dengan maksud untuk mencari keuntungan yang tidak layak. 2) Yang menggunakan tipu muslihat.
17
Adami Chazawi, op.cit. h.87-88.
23
b. Pasal 487: Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: 1) Terhadap badan dan jiwa seseorang. 2) Kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: Kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan perbuatanperbuatan yang bersifat penghinaan. Hukuman maksimum baru dapat ditambah dengan sepertiganya, jika seseorang melakukan kejahatan dari salah satu golongan tersebutdan kemudian ia bersalah lagi karena suatu kejahatan tersebut dalam golongan itu juga. Selain dari tiga penggolongan tersebut, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan (recidive spesial), misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP.