BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI dan DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL 2.1
Tinjauan Umum Tentang Hak Desain Industri 2.1.1 Pengertian Desain Industri dan Hak Desain Industri Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terdiri dari beberapa bidang, dan antara bidang satu dengan yang lainnya meski memiliki fokusnya masingmasing tetap memiliki hubungan dan kemiripan, kemiripan inilah terkadang yang membuat masyarakat awam kurang memahami adanya perbedaan arti serta fungsi dari masing-masing bidang HKI tersebut. Seperti halnya Hak Cipta yang lebih dikenal oleh masyarakat memiliki kemiripan dengan Desain Industri bahkan tekadang dianggap sama antara keduanya, hal ini membuat masyarakat kurang memahami dan menimbulkan kesalahpahaman dalam mengetahui bahwa Hak Cipta dengan Desain Industri tersebut dua bidang yang berbeda dan memiliki lingkup atau fokus yang beda. Perbandingan antara Hak Cipta dengan Desain Industri, sebagaimana disampaikan oleh NK Supasti D dalam makalah seminar HKI, Denpasar (2003), ialah dimana Hak Cipta obyek perlindungannya lebih kepada suatu karya yang bersifat seni, sedangkan Desain Industri obyeknya karya tentang
bentuk, bentuk tersebut memiliki nilai estetika yang kemudian dibuat untuk menghasilkan komoditas industri ( mass product ).1 Selain itu keduanya memiliki perbedaan dimana Desain Industri mendapatkan
perlindungan
dengan
pihak
pendesain
mengajukan
permohonan pendaftaran disertai dengan proses pemeriksaannya di Direktorat Jenderal HKI, sedangkan Hak Cipta pendaftarannya tidak disertai dengan proses pemeriksaan. Agar lebih memahami mengenai pengertian Desain Industri dalam Pasal 1 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000” Desain industri ialah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan”. Hak Desain Industri dalam Pasal 1 ayat (5) UU Desain Industri tahun 2000, yakni “hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut”. Secara sederhana dalam pasal ini menyatakan bahwa hak desain industri dikatakan sebagai hak eksklusif
1
NK Supasti D, dkk, Bahan Ajar Hak Kekayaan Intelektual, Bagian Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana, h.83
karena hanya pendesain saja yang boleh mendapatkan hak tersebut dari Negara. 2.1.2 Pengertian Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri Menurut Pasal 1 ayat (2) UU Desain Industri tahun 2000, yang disebut dengan Pendesaian adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri. Selain yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) diatas, Pendesain dapat diartikan bahwa dialah yang membuat kreasi yang berupa desain baru (bukan jiplakan) sehingga memiliki nilai estetis yang kemudian dapat diproduksi dan dipergunakan. Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000 disebutkan bahwa ”Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain”. Dan dalam Pasal 12 UU Desain Industri tahun 2000 menyebutkan bahwa “pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang hak Desain Industri, kecuali jika tebukti sebaliknya”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa definisi Pendesain ialah seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri yang baru dan memiliki nilai estetis yang kemudian dapat diproduksi menjadi sesuatu. Sedangkan Pemegang Hak Desain Industri ialah seorang atau beberapa orang yang merupakan pendesain (kecuali diperjanjikan lain antara pendesain dengan pihak lain) atas suatu desain indutri yang mengajukan permohonan pendaftaran desain
industri pertama kali kemudian diberikan hak kepemilikan atas desain indutri tersebut secara sah dengan dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri. 2.1.3 Permohonan Pendaftaran Desain Industri Sistem pendaftaran HKI pada umumnya sebagaimana digunakan dalam bidang Merek terdiri dari dua sistem, yakni Sistem Deklaratif dan Sistem Konstitutif. Sistem pendaftaran deklaratif adalah suatu sistem dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan, tetapi menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab pendaftaran suatu merek sewaktu-waktu dapat dibatalkan apabila ada pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik pertama dari merek yang telah didaftarkan. Sedangkan sistem konstitutif menekankan bahwa pendaftaran merupakan keharusan agar dapat memperoleh hak atas merek, sehingga adanya kepastian hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya pemilik merek yang paling utama untuk dilindungi, dan juga adanya kepastian hukum pembuktian, karena didasarkan pada fakta pendaftaran sebagai alat bukti utama. Menurut Yahya Harahappenegakan pendaftaran mengandung konsepsi sistem dualisme, satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran pertamaatau first to file principle, siapa pendaftar pertama dianggap mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari pemilik merek lainnya, tetapi berbarengan dengan itu ditegakkan pula doktrin pemakai pertamaatau prior user (first to use system), apabila dapat membuktikan bahwa dia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggappemilik paling
unggul haknya jika seseorang dapatmembuktikan sebagai pemakai pertama sesungguhnya. Penjelasan Umum tersebut memberikan kedudukan yang utama pada asas prior user has a better right atau pemakai pertama mempunyai hak yang lebih baik dari pendaftar pertama.2 Desain Industri dalam proses permohonan pendaftaran disertai dengan serangkaian proses pemeriksaan. Pada dasarnya dalam UndangUndang Desain Industri dikemukakan bahwa dalam pemeriksaan permohonan hak atas desain industri menganut Asas Kebaruan dan Pengajuan Pendaftaran Pertama. Dengan dianutnya Prinsip Pengajuan Pendaftaran Pertama (first to file), maka sistem permohonan pendaftaran Desain Industri termasuk sistem Konstitutif, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU Desain Industri tahun 2000. Permohonan pendaftaran desain industri merupakan langkah untuk memperoleh hak atas desain industri tersebut yang berupa Sertifikat Desain Industri. Sehinga tidak menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai pertama Desain Industri tersebut. Mengenai proses ataupun persyaratan permohonan pendaftaran diatur dalam Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UU Desain Industri tahun 2000, yang disebutkan sebagai berikut :
2 M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 19 tahun 1992, 1996, Citra Adityabakti, Bandung, h. 335-336
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia ke Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. (3) Permohonan harus memuat: a.tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b.nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain; c.nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d.nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan e.nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (4)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampiri dengan: a.contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya; b.surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa; c.surat pernyataan bahwa Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya adalah milik Pemohon atau milik Pendesain.
(5)Dalam hal Permohonan diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon lain. (6)Dalam hal Permohonan diajukan oleh bukan Pendesain, Permohonan harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri yang bersangkutan. Permohonan juga dapat dilakukan dengan Hak Prioritas yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU Desain Industri tahun 2000. Hak Prioritas merupakan salah satu prinsip dalam Konvensi Paris. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan Prioritas yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan dari negara tujuan (yang juga anggota Konvensi Paris) seolah-olah pengajuan dilakukan pada tanggal pengajuan yang pertama kali.3 Permohonan dengan Hak Prioritas ini wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri beserta terjemahannyadalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan hak prioritas.4 Bila terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan permohonan, Direktorat Jenderal HKI memberitahukan kepada pemohon atau kuasanya
3 Sudargo Gautama, 2000, Hak Atas Kekayaan Intelektual Peraturan Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.267 4 H. OK. Saidin, Op.cit, h.475
agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan kekurangan tersebut. 2.1.4 Lingkup Hak atas Desain Industri Lingkup hak dalam setiap bidang HKI berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Undang-Undangnya masing-masing. Desain
Industri
lingkuphak yang dimaksud sesuai dengan Pasal 9 UU Desain Industri tahun 2000, yakni : Pasal 9 ayat (1) “Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri”. Maksud dari pasal 9 ayat (1) ini ialah pemegang Hak Desain Industri berhak untuk melakukan apapun atas produk yang diberikan hak, baik membuat, memakai, menjual, atau mengimpornya, ataupun ingin memberikan hak pada pihak ketiga untuk melakukannya. Dan Pasal 9 ayat (2) “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemakaian Desain Industri untuk kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak Desain Industri”. Beberapa perkecualian yang tidak dapat dilindungi Desain Industri. Produk cetakan seperti, buku, kalender, sertifikat, dan lain-lain bukan merupakan domain perlindungan desain industri karena meski diproduksi atau dibuat secara masal, sudah memperoleh perlindungan dibawah hak cipta. Warna
semata tidak dapat dilindungi oleh desain industri, akan tetapi kombinasi warna yang diterapkan pada produk dapat dilindungi Desain Industri.5 Dengan dijelaskannya lingkup hak atas desain industri ini memberikan kepastian apa saja yang termasuk hak serta perlindungan yang didapat oleh Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri atas desain industrinya. 2.1.5 Sistem Perlindungan dan Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri Konsep dasar perlindungan HKI didasari oleh beberapa prinsip, yakni sebagai berikut :6
Prinsip keadilan ( The Principle of natural justice ) Pencipta sebuah karya, yang membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar untuk mendapatkan imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui hasil karyanya.
Prinsip ekonomi ( The Economic Principle ) Hak milik intelektual merupakan satu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari pemilikan tersebut seseorang akan mendapatkan keuntungan.
Prinsip kebudayaan ( The Cultural Argument )
5 Rahmi Jened Parinduri Nasution, 2013, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI), Rajawali Pers, h.258 6 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, 1982, Cetakan pertama, Bina Cipta, Bandung, h.24
Pengakuan atas karya, karsa, cipta manusia sebagai perwujudan suasana yang mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong ciptaan atau penemuan baru yang berguna bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia.
Prinsip sosial ( The Social Argument ) Hak apapun yang diberikan oleh hukum kepada seseorang atau persekutuan atau kesatuan lainnya juga untuk kepentingan seluruh masyarakat terpenuhi. Sistem perlindungan HKI disegala bidang pada dasarnya diberikan
setelah pihak melakukan pendaftaran kepemilikan artinya perlindungan hukum terhadap karya intelektual mensyaratkan adanya kewajiban melakukan pendaftaran. Akibat hukum, apabila tidak melakukan pendaftaran penghasil karya intelektual tidak dapat menuntut pihak lain yang menggunakan karya intelektual tersebut tanpa seijinnya. Sama seperti sistem perlindungan HKI bidang Desain Industri, perlindungan atas desain industri dapat dijalankan atau diberikan apabila si pendesain atau pihak lain (yang diberikan ijin oleh pendesain untuk mendapatkan hak desain industri) telah mendaftarkan dan permohonan pendaftaran tersebut diterima oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri. Dalam Pasal 26 paragraf 2 TRIPs Agreement yang mengatur soal perlindungan, menyatakan bahwa para peserta dapat mengadakan pengecualian terhadap perlindungan dari desain industri. Akan tetapi
pengecualian ini tidak dapat secara kurang wajar (not unreasonably) bertentangan dengan eksploitasi secara normal dari Desain Industri yang dilindungi itu.7 Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Desain Industri, perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan. Dan yang dimaksud tanggal mulai berlakunya jangka waktu perlindungan tersebut yakni setelah dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan telah diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Perlindungan Desain Industri setelah 10 tahun tidak dapat diperpanjang, kemudian desain industri tersebut akan menjadi milik umum atau masyarakat (Public Domain). Yang dimana setelah waktu perlindungan tersebut habis, masyarakat secara umum dapat membuat, menjual atau menggunakan desain tersebut tanpa perlu meminta izin si pendesain atau membayar kepada pendesain. Ketentuan jangka waktu perlindungan 10 tahun dan tidak dapat diperpanjang dalam UU Desain Industri tahun 2000 sama dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) TRIPs Agreement. 2.1.6 Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Desain Industri
7
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2004, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Peraturan Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.21
Suatu tindakan pelanggaran atau penyalahgunaan HKI secara hukum perdata termasuk penyalahgunaan hak ( abuse of right ) yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan,” Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Tindakan pelanggaran atau penyalahgunaan HKI yang melampaui aturan hukum pembatasan dapat mengakibatkan HKInya batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Tindakan yang dapat dikatakan sebagaipelanggaran atas Desain Industri, apabila melanggar ketentuan dalam pasal 9 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000, “Seseorang atau beberapa orang yang tanpa persetujuan Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri tersebut”. Sengketa dalam Desain Industri bukan hanya dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tanpa seijin Pendesain dan/atau pemegang hak desain industri saja, akan tetapi bisa karena ada pihak yang merasa dirinya yang terlebih dahulu membuat suatu desain akan tetapi ada pihak lain yang mendaftarkan desain tersebut kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dan ada beberapa jenis sengketa lainnya. Apabila terjadi hal-hal seperti diatas maka sengketa tersebut harus diselesaikan, baik secara Litigasi atau Non Litigasi. Secara Litigasi masing-
masing negara memiliki aturan sesuai dengan hukum nasionalnya dalam menentukan diselesaikan pada Pengadilan Perdata atau Pengadilan Pidana tergantung dari hasil jurisdiksi (choice of forum) dan pilihan hukumnya (choice of law). Dalam penyelesaian di Pengadilan harus dilakukan secara adil, layak, murah, tidak sulit dan dalam jangka waktu yang layak. Para pihak memiliki hak untuk didampingi oleh penasihat hukum yang independen. Part III Article 42 sampai Article 61 TRIPs mengatur mengenai penegakkan hukum di bidang HKI.8 Masing-masing pasal tersebut memberikan penjelasan yang pada dasarnya untuk memberikan penegakan hukum agar tidak terjadi pelanggaran di bidang HKI dan hal ini sesuai dengan tujuan utama dari penyelesaian Litigasi, yakni untuk menghentikan pelanggaran di bidang HKI. Mengenai penyelesaian sengketa tentang Desain Industri dapat dilakukan secara Litigasi dan Non-Litigasi. Secara Litigasi, proses penyelesaian dilakukan secara Pidana di Pengadilan Negeri atau Perdata di Pengadilan Niaga. Penyelesaian melalui proses hukum pidana dimulai dari adanya aduan dari pihak yang merasa dirugikan, kemudian dilakukan penyidikan oleh pihak penyidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000, yang menyatakan bahwa, ”Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan
8
Rahmi Jened Parinduri Nasution, Op.cit, h.333
tanggung jawabnya meliputi Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri”. Kewenangan penyidik dalam penyidikan kasus Desain Industri diatur dalam Pasal 53 ayat (2), yakni : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri; b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana di bidang Desain Industri; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari para pihak sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang Desain Industri; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain; f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan/atau barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Desain Industri; dan/atau g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tetap berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia karena tetap harus
memberitahukan saat dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penyidik POLRI, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (3) UU Desain Industri. Pelanggaran pidana terhadap hak desain industri yang diklasifikasikan sebagai delik aduan memiliki ancaman hukuman maksimum empat tahun, serta hukuman yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000.9 Akan tetapi, sengketa tentang Desain Industri yang diselesaikan secara Litigasi cenderung melalui Pengadilan Niaga, dan sengketa yang sering terjadi diawali dengan adanya gugatan dari satu pihak kepada pihak lain yang dianggap melakukan pelanggaran. Gugatan tersebut biasanya bertujuan untuk menuntut hak atau untuk membatalkan pendaftaran. Mengenai pembatalan dengan cara gugatan disebutkan dalam Pasal 38 UU Desain Industri tahun 2000, yakni: (1)
Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 4 kepada Pengadilan Niaga.
(2)
Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Direktorat Jenderal paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.
9
Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, PT. Grasindo, Jakarta, h.185
Adapun tata cara mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 39, yakni : (1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. (2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. (3)
Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. (5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. (6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. (7)Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan.
(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. (10)Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan. Apabila para pihak merasa tidak puas dengan putusan pada tingkat pengadilan Niaga, maka pihak yang merasa belum puas atau merasa keberatan dapat memohon Kasasi agar diberikan putusan seadil-adilnya oleh Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU Desain Industri tahun 2000. Upaya hukum yang dilakukan dalam sengketa Desain Industri hanya dapat dimohonkan kasasi, ialah karena jangka waktu upaya hukum yang memakan waktu cukup lama sehingga hal ini dapat menyebabkan proses upaya hukum akan menghabiskan waktu lebih lama dari waktu perlindungan desain industri yang disengketa kan, maka sederhananya dapat dikatakan menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Sedangkan penyelesaian dengan Non-Litigasi dilakukan diluar peradilan, penyelesaian ini dipilih apabila para pihak ingin mendapatkan solusi dan penyelesaian tanpa memperbesar permasalahan atau sengketa serta menghindari permasalahan hukum yang dapat timbul. Penyelesaian Non-Litigasi terdiri dari tiga bentuk, yakni : a.
Negosiasi :
Dalam Negosiasi para pihak yang bersengketa melakukan
kompromi atau tawar menawar demi didapatkannya kesepakatan yang adil bagi para pihak; b.
Mediasi :
Pada prinsipnya sama dengan Negosiasi, akan tetapi dalam
penyelesaian Mediasi terdapat pihak ketiga diantara kedua pihak yang bersengketa, pihak ketiga tersebut sebagai penengah (mediator) yang bersifat netral dan memiliki fungsi untuk memberikan saran-saran yang objektif, akan tetapi perlu diketahui bahwa bukan pihak ketiga yang menentukannya keputusan dari mediasi tersebut. c.
Arbitrase :
Bentuk
peradilan
yang
diselenggarakan
oleh
dan
berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka diselesaikan oleh hakim (arbiter) yang mereka tunjuk dan keputusan yang diambil oleh hakim (arbiter) merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat kedua pihak.10 Dalam penyelesaian arbitrase, yang dikatakan hakim dan berwenang untuk memeriksa perkara ialah
10
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.16
Arbiter. Dan untuk masuk dalam proses penyelesaian arbitrase pihak yang bersengketa harus membuat klausula arbitrase. Apapun pilihan penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa harus tetap mengikuti aturan hukum dari masing-masing bidang HKI dan hukum negara yang berlaku. Demi mengurangi dan mencegah sengketa dibidang HKI. 2.1.7 Pengaturan Nasional dan Internasional tentang Desain Industri Awal mula atau tonggak sejarah pengaturan di bidang HKI dengan diadakannya Konfrensi Diplomatik tahun 1883 di Paris yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai Perlindungan Hak Milik Perindustrian (Paris Convention for The Protection on Industrial Property-Paris Convention). Yang disusul oleh beberapa perundingan-perundingan terkait HKI yang menghasilkan perlindungan bagi HKI. Dalam bidang Desain Industri sama dengan bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya yang dilindungi dan diatur dalam peraturan dalam negeri dan internasional. Adapun peraturan yang mengatur tentang Desain industri secara Internasional , yakni : a. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property of 1883:Konvensi Paris merupakan konvensi yang mengatur perlindungan terhadap hak milik perindustrian ( Paten, Merek, Desain Industri). Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 20 Mret 1883, namun
mengalami beberapa kali revisi dan akhirnya diamandemen tanggal 2 Oktober 1979. b. The Haque Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Designs of 1925 : Konvensi ini berlaku secara terbuka untuk seluruh negara-negara anggota Konvensi Paris, dan konvensi ini telah ada sejak 6 November 1925. c. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs of 1968 : merupakan konvensi bidang desain yang berlaku sejak 27 April 1971. d. TRIPs Agreement under the World Trade Organization Agreement11 : merupakan perjanjian multilateral yang utama berkaitan tentang hak kekayaan intelektual, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1995.
Pada akhir tahun 2000, disahkan tiga Undang-Undang baru di bidang Kekayaan Intelektual yakni ialah yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri (UU Desain Industri tahun 2000) dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-Undang No.31 Tahun 2000 inilah yang menjadi peraturan Nasional mengenai Desain Industri di Indonesia. Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
11
H. OK. Saidin, Op. Cit., h.470
2.2
Tinjauan Umum Tentang DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (DIRJEN HKI) Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air.
Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Setelah melakukan beberapa perubahan-perubahan dalam bidang HKI, akhirnya pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundangundangan, Departemen Kehakiman.12
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sebuah unsur pelaksana Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7) UU Desain Industri, DitJen HKI merupakan Direktorat Jenderal yang dipimpin oleh Menteri. Dalam UU Desain Industri disampaikan bahwa permohonan pendaftaran diajukan kepada DitJen HKI, segala proses hingga dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri dilakukan oleh DitJen HKI. DitJen HKI memiliki kewenangan untuk proses pendaftaran kepemilikan Hak Desain Industri serta nantinya bertanggung jawab
12
www.dgip.go.id, diakses pada Februari 2016 id.m.wikipedia.org , diakses pada Februari 2016
13
atas Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri beserta Desain Industri yang telah terdaftar serta memiliki Sertifikat Desain Industri. Berikut bagian-bagian dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang disebutkan oleh bagan dibawah ini :
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Nyoman Darmadha, SH.,MH pada tanggal 1 Maret 2016, pada prinsipnya menyampaikan apabila pemohon yang mengajukan permohonan hak kekayaan intelektual berdomisili atau bertempat tinggal jauh diluar wilayah Jakarta (kedudukan dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI) dapat mengajukan permohonanya kepada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang berkedudukan di ibukota provinsi. Pernyataan tersebut sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Nomor : H-01.PR.07.06 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual Melalui Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam al 1 menyatakan bahwa “ Permohonan Hak Kekayaan Intelektual melalui Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana terlampir dalam keputusan ini”. Kemudan diperjelas dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa ,” Petunjuk pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai pedoman untuk memudahkan pelaksanaan penerimaaan permohonan hak kekayaan intelektual pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Putusan dari DitJen HKI tersebut telah resmi dilaksanakan sejak tanggal 23 April 2004.