18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD AL-QARDH AL-HASAN
A. Pengertian Akad Al-Qardh Al-Hasan Berbicara masalah qardlul hasan itu sangat terkait dengan bahasan akad qardl dalam kajian fiqh klasiknya, baik pengertian, landasan hukum maupun syarat dan rukunnya, dan keduanya juga sama-sama masuk pada performance
akad
utang-piutang
/
pnjam-meminjam
dalam
konsep
muamalahnya. Tapi ada satu hal yang membedakan diantara keduanya, yaitu mengingat sumber dana dari adanya akad qardlul hasan adalah dari dana ZIS, maka konskuensi logisnya tidak ada satu kewajiban yang mengikat dalam hal pengembalian pinjaman harta, apabila terjadi kemadlaratan pada peminjam / penghutang. Dan kalau dilihat dari susunan kata “Hasan” yang di sini kedudukannya sebagai mudlof ilaih, maka dapat ditarik satu kesimpulan kalau aqad qardl hasan itu merupakan akad mu’amalah yang sangat bernuansa sosial dan non-profit. Sedangkan istilah al-qardh secara lughawi (etimologi) berarti (terputus). Harta yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia terputus dari pemiliknya.1 Dan menurut istilah (terminologinya), al-qardh sesuai dengan definisi yang berkembang di kalangan Fuqaha adalah sebagai berikut: 1
Sayyid Sabbiq, Fiqh As-Sunnah,Juz III, Darrul Fikr, Mesir, hlm. 182.
19
اﻟﻘﺮض هﻮ ﻣﺎﺗﻌﻄﻴﻪ ﻣﻦ ﻣﺎل ﻣﺜﻠﻲ ﻟﺘﺘﻘﺎﺿﺎﻩ او ﺑﻌﺒﺎرة ﻵﺧﺮ ﻟﻴﺮد اﺧﺮى هﻮ ﻋﻘﺪ ﻣﺨﺼﻮص ﻱﺮد ﻋﻠﻰ دﻓﻊ ﻣﺎل ﻣﺜﻠﻲ ﻣﺜﻠﻪ “Al-qardh adalah akad penyerahan (pemilikan) harta al-misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembaliannya, atau dengan pengertian lain,” suatu akad yang bertujuan untuk menyerahkan harta misliyat kepada pihak lain untuk dikembalikan yang sejenis dengannya.”2
Sedangkan menurut Sayyid Sabbiq, bahwa al-Qardh adalah:
.اﻟﻤﺎل اﻟﺬي ﻱﻌﻄﻴﻪ اﻟﻤﻘﺮض ﻟﻠﻤﻘﺘﺮض ﻟﻴﺮد ﻣﺜﻠﻪ اﻟﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﻗﺪرﺗﻪ ﻋﻠﻴﻪ "Sesuatu/harta yang diberikan oleh orang yang menghutangi kepada penghutang dengan pengembalian yang sama pada saat penghutang sudah mampu mengembalikan”.3 Sedangkan al-Qardh al-Hasan secara terminologinya adalah: Akad yang dikhususkan pada pinjaman harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi komersial, dalam arti si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.4 Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya akad al-Qardh maupun al-Qardh al-Hasan merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Maka sebenarnya al-Qardh/Qardhul Hasan disamping masuk pada term utang 2
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamiy Wa adillatuhu, Juz IV, hlm. 720. Ini adalah definisi yang disampaikan oleh Fuqaha Hanafiyah. Fuqaha Malakiyah mendefinisikan al-Qardh adalah “Penyerahan suatu harta kepada orang lain, yang tidak disertai iwadh (imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya. Menurut Fuqaha Syafi’iyah term al-Qardh mempunyai pengertian yang sama dalam term al-Salf, yakni “akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis dan sepadan. Baca Abdur Rahman al-Zajairy,Al-fiqh ‘Ala Madzahib alArba’ah, Juz II, hlm. 311-312. 3 Sayyod Sabbiq, Op.Cit, hlm. 182. 4 Karnaen Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1992,hlm.33.
20
piutang, dalam literature fiqh klasik juga menyebutkan bahwa al-qardh dikategorikan dalam akad tabarru’ atau tathawwui, yang sebenarnya dalam bahasan fiqh muamalah kalau dilihat dari segi ada atau tidak adanya kompensasi,
maka
akad
dibagi
menjadi
dua
bagian,
yakni
akad
tabarru’i/tathawwui dan akad tijarah/mu’awadah..5 Al-Qardh / Al-Qardh al-Hasan yang masuk pada term akad tabarru’i (gratuitous contract) adalah karena segala macam perjanjian yang terjadi di dalamnya menyangkut not-for profit transaction (transaksi nir-laba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’i dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan akad ini adalah dari Allah Swt, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tersebut. Tapi tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad itu.6 Disamping ada satu hal yang membedakan antara Qardh dan Qardhul Hasan, yaitu dari segi sumber dananya, sehingga konkuensinya
5
Ahmad asy-Syarbasyi, al-Mu’jam al-Iqtisad al-Islami (Beirut: Dar Alamil kutub,1987),
hlm. 163.
6
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:The International of Islamic Thought (IIIT), 2003, hlm.68.
21
berbeda, sebagaimana tersebut di atas. Mahmud Syahrur dalam kitabnya juga membedakan antara keduanya, yakni dari segi obyek pendayagunaannya. Beliau menerangkan, bahwa dana Qardh didayagunakan untuk pembiayaan yang bersifat produktif dan Qardhul Hasan untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif”.7
B. Landasan / Dasar Hukum Islam Konsep akad qardh/qardhul hasan sangat sejalan dengan misi Islam dalam perwujudan masyarakat yang kuat kehidupan ekonominya, karena adanya toleransi antar sesama umat atau tolong-menolong antar sesama dalam hal pemenuhan kebutuhan, sebagaimana tersebut di atas. Tentunya hal ini sangat didukung dengan berbagai landasan sumber hukum Islam, diantaranya al-Qur’an, hadits, ijma’ dan lainnya. 1. Landasan al-Qur’an Dalam pemahaman Islam, al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi. Keberadannya pun tidak pernah usang menghadapi setiap perubahan zaman. Hingga kini, Ia juga menjadi sandaran, rujukan hukum dari setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Al-qur’an secara global berisi tentang ilmu pengetahuan secara umum, mulai dari konsep umum tentang sosial, politik, budaya dan lain-lain. Disamping itu perintah Allah juga terkonsep rapi di dalamnya. Tidak terkecuali pembahasan 7
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an Qira’atun Mu’asharatun, (Beirut: Dar Alamil kutub,1990), hlm. 469-470.
22
tentang utang-piutang atau al-Qardh, sebagaimana yang tercantum dalam ayat al-Qur’an:
(١١ :ﻣﻦ ذاﻟﺬي ﻱﻘﺮض اﷲ ﻗﺮﺿﺎ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻴﻀﻌﻔﻪ ﻟﻪ وﻟﻪ اﺟﺮ آﺮﻱﻢ )اﻟﺤﺪﻱﺪ “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melimpahkan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al Hadid:11)8
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah.9 Selaras dengan meminjamkan kepada Allah maka kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”. Sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society). 2. Landasan Hadits Islam menempatkan Al-Hadits sebagai dasar hukum kedua setelah al-Qur’an. Ia juga menjadi penjelas atas ayat-ayat al-Qur’an yang pembahasnnya masih bersifat global. Sehingga terlihat secara gambling perintah untuk saling tolong menolong antar sesama, perlu kiranya penulis mengambil beberapa hadits yang menjadi dasar hukum al-Qardh. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi saw. bersabda:
ﻣﻦ ﻥﻔﺲ ﻋﻦ ﻣﺴﻠﻢ آﺮﺑﺔ ﻣﻦ آﺮب اﻟﺪﻥﻴﺎ ﻥﻔﺲ اﷲ ﻋﻨﻪ آﺮﺑﺔ ﻣﻦ آﺮب ﻱﻮم واﷲ ﻓﻲ ﻋﻮن.اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ وﻣﻦ ﻱﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺴﺮ ﻱﺴﺮ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﺪﻥﻴﺎ واﻻﺧﺮة ()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ وأﺑﻮداود واﻟﺘﺮﻣﺬى.اﻟﻌﺒﺪ ﻣﺎدام اﻟﻌﺒﺪ ﻓﻲ ﻋﻮن أﺧﻴﻪ 8
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, hlm. 902. 9 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum,Jakarta:Tazkia Institute, 1999, hlm. 186.
23
”Siapa yang memberikan keluangan terhadap orang miskin dari duka dan kabut dunia. Allah akan meluangkannya dari duka dan kabut hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan kesibukan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan dunia dan akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.” (Riwayat Muslim, Abu Daud dan At Tirmidzi).10 Dan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw. bersabda:
ﻣﺎﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻱﻘﺮض ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻗﺮﺿﺎﻣﺮﺗﻴﻦ أﻻ آﺼﺪﻗﺔ ﻣﺮة “Tidak ada seorang muslim yang menghutangi mualim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shadaqah.” 11
Dari Anas Ibnu Malik, Rasulullah bersabda:
اﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺸﺮ أﻣﺜﺎﻟﻬﺎ واﻟﻘﺮض:رأﻱﺖ ﻟﻴﻠﺔ أﺱﺮي ﺑﻲ ﻋﻠﻰ ﺑﺎب اﻟﺠﻨﺔ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻻن: ﻣﺎﺑﺎل اﻟﻘﺮض أﻓﻀﻞ ﻣﻦ اﻟﺼﺪﻗﺔ ؟ ﻗﺎل, ﻱﺎ ﺟﺒﺮﻱﻞ: ﻓﻘﻠﺖ.ﺑﺜﻤﺎﻥﻴﺔ ﻋﺸﺮ واﻟﻤﺴﺘﻘﺮض ﻻﻱﺴﺘﻘﺮض اﻻ ﻣﻦ ﺣﺎﺟﺔ,اﻟﺴﺎﺋﻞ ﻱﺴﺄل وﻋﻨﺪﻩ ”Aku melihat pada waktu malam di-isra’akan, pada pintu surga tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya: “wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari sahadaqah?’ Ia menjawab: “karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” 12
3. Ijma’ Imam madzhab dan mujtahid mempunyai peranan yang besar dalam memecahkan persoalan al-Qardh al-Hasan. Al-Ijma’, artinya kesepakatan para mujtahid dalam menggali hukum-hukum agama sesudah Rasulullah meninggal dunia dalam suatu masalah yang ada ketetapannya
10
Ibnu Sayyid Muhammad Syath Ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anatuh ath-Thalibin, Bairut, Libanon, 1993, hlm.59. 11 Hadits ini diriwayatkan oleh ibnu Majjah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadits 2421. 12 Hadits ini diriwayatkan oleh ibnu Majjah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadits 2422.
24
dalam kitab dan sunnah.13 Sedangkan Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian waris yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam penerapan hukum (tat biqi) bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.14 Para Ulama telah menyepakati bahwa al-qardh/al-qardlul al-hasan boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya. C. Rukun Dan Syarat Al-Qardh Al-Hasan Para Ulama Fiqh telah sepakat bahwa qardh maupun qardhul hasan, merupakan suatu bentuk akad tamlik atau akad atas harta, seperti halnya jual beli (bai’), sehingga mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, untuk selanjutnya akad qardh itu dapat dikatakan sah menurut syara’. Oleh karena akad qardh menyerupai akad jual beli (akad atas harta), jadi sedikit banyak komponen rukun dan syarat al-qardh sama dengan rukun dan syarat yang ada dalam jual beli (bai’).
13
hlm.22.
14
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,1998, hlm.22
25
Adapun rukun dan syarat al-qardh (perjannjian utang piutang) adalah: 1. Adanya yang berpiutang/pemberi pinjaman (muqridh) Dalam term ini yang disyaratkan adalah harus dari orang yang berhak untuk bertasarruf (jaaizu at-tasarruf) dalam arti, mempunyai kecakapan dalam bertindak hukum dan boleh (secara hukum) menggunakan harta, juga berdasarkan iradah (kehendak bebas).15 2. Adanya orang yang berutang/peminjam (muqtaridh) Syaratnya sama dengan ketentuan point 1. 3. Obyek / barang yang diutangkan / barang yang dipinjamkan (qardh) Harta benda yang menjadi obyeknya harus mal-mutaqawwim (jelas dan dapat memberikan manfaat kepada yang dipinjami). Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi obyek utang-piutang terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha Mazhab. Adapun perbedaan itu adalah: a. Menurut fuqaha mazhab Hanafiyah akad qardh hanya berlaku pada harta-benda al-misliyat, yakni harta benda yang banyak padanannya, yang lazimnya dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan.
15
Adapun maksud dari mempunyai kacakapan bertindak hukum dan boleh (secara hukum) menggunakan harta adalah: (i) berakal, agar tidak terkicuh, orang gila atau bodoh tidak sah/boleh. (ii) tidak mubadzir (pemboros) , maksudnya bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah transaksi/akad bukanlah manusia yang boros dan akhirnya dapat memubadzirkan barang. (iii) baligh (dewasa ) dalam hukum Islam. Selengkapnya dapat dibaca dalam Hukum Perjanjian Dalam Islam, Khairuman Pasaribu, hlm.35-37.
26
Sedangkan harta-benda al-qimiyyat tidak sah dijadikan obyek alqardh, seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain.16 b. Menurut fuqaha mazhab Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanabilah setiap harta benda yang boleh diberlakukan atasnya akad salam boleh diberlakukan atasnya akad qardh, baik berupa harta-benda al-misliyat, seperti mas, perak dan beberapa makanan, maupun al-qimiyyat. Pendapat ini didasarkan pada sunnah Rasulullah SAW. dimana beliau pernah berhutang seekor bakr (unta berumur 2 tahun). Ini jelas bukan takaran dan timbangan, dan karena barang yang dimiliki dengan akad salam bisa dimiliki dengan bai’ dan bisa diketahui dengan sifat, maka qardh hukumnya jawaz (boleh) seperti takaran dan timbangan. Adapun barang-barang yang tidak bisa diakadi salam seperti mutiara, dan lainlain, maka tidak sah qardhnya dalam Qaul Ashoh. Karena qardh itu menuntut ganti yang sama. 17 c. Atas dasar pendapat di atas, menurut Jumhurul Fuqaha’, setiap barang yang dijual syah diakadi dengan qardh, kecuali bani adam dan tidak syah menghutang beberapa kemanfaatan. Ini berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, seperti: mengajak orang berpanen supaya orang tersebut mengajak orang lain agar berpanen sepertinya. Atau
16
Abdul al-Rahman al-Jazary, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra,tt, hlm.340. 17 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuhu,Juz IV, Dar al-Fikr, hlm. 723.
27
menyuruh orang lain bertempat tinggal ditempatnya agar orang tersebut menempati tempat tinggal orang lain sebagai ganti.18 4. Adanya serah terima (ijab qabul) Oleh karena qardh merupakan akad atas harta, seperti bai’ dan hibah (seperti yang teruraikan di atas), maka teknis dalam akadnya harus dengan ijab qabul, disamping itu juga al-qardh ini merupakan pemilikan yang manusiawi. Adapun maksud dari ijab qabul tersebut adalah adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan/meminjamkan maupun dari pihak yang berutang/meminjam.19 Dan teknis dalam ijab qabul tersebut, bisa/boleh dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau yang sepadan dengannya,20 contohnya: “Aku milikkan harta ini kepadamu supaya lain hari engkau mengembalikan gantinya kepadaku”. Tapi apabila berkata, “Aku milikkan harta ini kepadamu tanpa menyebutkan kata gantinya, otomatis menjadi hibah (pemberian Cuma-Cuma). Maka apabila dua orang yang berakadan qardh berselisih, maka perkataan si penghutanglah yang dipercaya/dimenangkan, karena harta tersebut jelas ada padanya, dan si pemberi pinjaman tidak berhak meminta gantinya atas harta tersebut. Dan satu syarat lagi yang berkaitan dengan hal di atas, bahwa akad qardh tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar qardh itu sendiri 18
Wahbah al-Zuhaily, hlm.723. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta:PT. Sinar Grafika,1996,hlm.137. 20 Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf,Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’I,Juz II, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hlm. 82. 19
28
yang menguntungkan pihak muqridh (pihak yang menghutangi). Misalnya persyaratan memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau tambahan, fuqaha sepakat yang demikian ini haram hukumnya.21 Jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan dalam akad atau jika hal itu telah menjadi urf (adat kebiasaan di masyarakat) menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh. Sedangkan fuqaha Malikiyah membedakan utangpiutang yang bersumber dari jual beli dan utang-piutang ansih (al-qardh). Dalam hal yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang-piutang ansih (alqardh) penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, hukumnya adalah haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima.22 Penambahan perlunasan hutang yang diperjanjikan oleh muqtaridh (pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyyah pihak yang menghutangi makruh menerimanya. Sedangkan menurut Hanabilah pihak yang menghutangi dibolehkan menerimanya.23
21
Ghufron A. Mas’adi,Op.Cit., hlm. 173. Abdur Rahman al-Jaziry, Op.Cit., hlm.343. 23 pandangan Fuqaha mengenai utang-piutang yang dikaitkan dengan suatu keuntungan/manfaat selengkapnya dapat dibaca dalam Wahbah al-Zuhaily, Juz IV,hlm.725-727. 22
29
D. Beberapa Hukum Yang Berkaitan Dengan Akad Al-Qardh Al-Hasan Pertama, akad al-qardh al-hasan menetapkan peralihan pemilikan. Misalnya apabila seseorang menghutangkan satu kilogram kepada orang lain, maka barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh (orang yang menghutangi), dan muqtaridh (orang yang berhutang) menjadi pemilik atas barang tersebut sehingga ia bebas bertasarruf atasnya. Hal ini sebagaimana berlaku pada akad jual-beli hibbah, hadiah. Kedua, penyelesaian utang-piutang dilaksanakan di tempat akad berlangsung. Sekalipun demikian, dapat juga dilaksanakan ditempat lain sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan ongkos atau sepanjang disepakati demikian. Ketiga, pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang yang sejenis, jika obyek hutang adalah barang al-misliyyat atau dengan barang yang sepadan (senilai). Jika obyek utang adalah barang al-qimiyyat, ia sama sekali tidak wajib melunasi hutangnya dengan ‘ain (barang) yang dihutanginya. Pada sisi lain pihak muqridh tidak berhak menuntut pengembalian a’in yang dihutangkannya karena barang tersebut telah terlepas dari pemiliknya.24 Keempat, jika dalam akad ditetapkan waktu atau tempo perlunasan hutang, maka pihak muqridh tidak berhak menuntut perlunasan sebelum jatuh tempo, sebagaimana firman Allah:
24
Wahbah al-Zuhaily, Juz IV, Op.Cit, hlm.723-724.
30
(٢٨٢:اذا ﺗﺪا ﻱﻨﺘﻢ ﺑﺪﻱﻦ أﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ )اﻟﺒﻘﺮة “…apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan.” (Q.S. : 2 ayat 282).”
Dan berdalil pula kepada hadits yang diriwayatkan dari Amr bin ‘Auf Al-Muzani dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw, bersabda:
25
(اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﻋﻨﺪ ﺵﺮوﻃﻬﻢ )رواﻩ أﺑﻮ داود وأﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﺬى واﻟﺪار ﻗﻄﻨﻰ “orang-orang Islam itu berada pada syarat-syarat mereka” (riwayat Abu Daud, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ad-Daru Quthni).”
Sedang apabila tidak ada kesepakatan waktu atau tempo pengembaliannya, menurut fuqaha Malikiyyah perlunasan hutang berlaku sesuai adat yang berkembang. Misalnya jika seeorang meminjam satu kwintal padi tanpa dibatasi waktu pengembaliannya, sedangkan adat utang-piutang padi dibayarkan setelah musim panen. Maka ketika panen tiba muqtaridh wajib melunasinya. Jika sama sekali tidak berlaku adat tertentu, maka waktu perlunasan hutang berlaku semenjak pihak muqtaridh telah selesai memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan tujuannya.26 Kelima, ketika waktu perlunasan hutang tiba, sedang pihak muqtaridh belum mampu melunasi hutang, sangat dianjurkan oleh ajaran Islam
agar
pihak
muqridh
berkenan
memberi
kesempatan
dengan
memperpanjang waktu pelunasan, sekalipun demikian ia berhak menuntut pelunasannya, sebagaimana firman Allah:
25 26
Sayyiod Sabiq, Fiqh Sunnah,, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm.142. Abdur Rahman al-Zajairiy, Juz II, hlm.315.
31
وان آﺎن ذوﻋﺴﺮة ﻓﻨﻈﺮة اﻟﻰ ﻣﻴﺴﺮة وان ﺗﺼﺪﻗﻮا ﺧﻴﺮ ﻟﻜﻢ ان آﻨﺘﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮن (٢٨٠)اﻟﺒﻘﺮة ”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S.: 2 ayat 280)”.27 Pada sisi lain ajaran Islam juga menganjurkan agar pihak muqtaridh menyegerakan pelunasan hutang, karena bagaimanapun juga hutang adalah sebuah kepercayaan dan sekaligus pertolongan, sehingga kebajikan ini sepantasnya dibalas dengan kebajikan pula, yakni menyegerakan pelunasannya.
27
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm.147.
32