20
BAB II TINJAUAN UMUM POLIGAMI A. Pengertian Poligami Secara Etimologis poligami berasal dari bahasa Yunani yakni apolus banyak dan gomos perkawinan. Kata lain yang hampir sama dengan itu adalah poligini juga berasal dari bahasa Yunani polus dan gene yaitu perempuan. Jadi yang dimaksud dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang pria mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu bersamaan.1 Dalam “ Ensiklopedi Islam” dijelaskan Poligami berasal dari bahasa Yunani,yang berati suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Poligami dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu poliandri dan pologini. Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki - laki. Sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki - laki dengan lebih dari seorang perempuan.2 Sama halnya dengan beberapa pengertian di atas Beni Ahmad Saebeni menjelaskan dalam bukunya “Perkawinan dalam Hukum Islam Dan Undang - Undang (Prespektif Fiqh Munkahat Dan UU No 1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya) 1
Nasrudin Baidan, Tafsir bi - Ra’yi ( Upaya Penggalian Konsep Wanita di dalam Al-Qur’an) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 94 2
Van Hoeve , Ensiklopedi Islam, Jilid 4 ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 107
21
Poligami berasal dari bahasa Yunani, “polus” yang artinya banyak dan “gemein” yang artinya “kawin”, jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristeri banyak pada saat yang sama. Lebih lanjut Ahmad Saebani menjelaskan, Dalam Bahasa Arab, poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilang/ berpasangan). Sedang dalam bahasa Indonesia disebut dengan permaduan.3 Adapun dalam konsep fikih ta’did al-zawjah lebih umum dipahami sebagai pengumpulan dua sampai empat isteri dalam waktu yang bersamaan oleh seorang suami. Sedang dalam Bahasa Indonesia poligami disebut permaduan.4 Dalam Webster sebagaimana dikutip oleh Nasarudin Umar dalam bukunya “Fikih Wanita Untuk Semua” disebutkan poligami adalah seorang yang mempunyai dua atau lebih pasangan dalam waktu yang sama. Akan tetapi dalam konteks yang demikian menurut Nasarudin, pada dasarnya yang lebih tepat adalah poligini yaitu seorang suami yang mempunyai dua atau lebih isteri dalam waktu yang sama, meski bisa juga berarti poliandri yang berarti memiliki dua atau lebih suami dalam waktu yang sama.5
3
Beni Ahmad Saebeni, Perkawinan dalam Hukum Islam Dan Undang Undang (Prespektif Fiqh Munkahat Dan UU No 1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya ), (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2008), hlm. 37 4
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010, hlm. 93 5
Ibid, hlm. 93
22
Dari beberapa pengertian di atas menunjukan bahwa maksud poligami pada umumnya adalah lebih dipahami dengan pengertian beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan. B. Sejarah Poligami 1. Poligami Sebelum Islam Tidak dapat dipungkiri secara historis, poligami sudah banyak dipraktikan dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam lahir. Begitu juga dalam agama samawi umat terdahulu telah mempraktikan sistem poligami. Cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan kebenarannya. Dan hal ini diakui oleh Mustafa al-Saba’i yang dikutip Nasrudin Baidan, dalam Tafsir bi - Ra’yi dimana Nasarudin menjelaskan: “Poligami itu sudah ada dikalangan bangsa - bangsa yang hidup pada zaman purba…pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, assyiria, Mesir dan lain lain. Poligami di kalangan mereka terbatas sehingga mencapai 130 isteri bagi seorang suami bahkan salah seorang raja cina ada yang mempunyai isteri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu orang)”.6 Agama samawi yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga tidak melarang adanya poligami. Bahkan dalam agama samawi kebolehan berpoligami tanpa batas. Nabi - nabi yang disebut dalam Taurath semua berpoligami tanpa pengecualian. Dan dalam 6
keterangannya
diriwayatkan
nabi
Sulaiman
Nasrudin Baidan, Tafsir bi - Ra’yi ( Upaya Penggalian Konsep Wanita di dalam Al-Qur’an) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 94
as.
23
Mempunyai 700 (tujuh ratus ) isteri orang merdeka dan 300 (tiga ratus ) orang berasal dari budak. Sedangkan dalam agama Kristen tidak ada keterangan. Menurut Jhon L.Esposito sebagaimana dikutip Anshary dalam bukunya “Hukum Perkawinan di Indonesia” menyatakan sebelum Islam datang poligini dipraktikan dalam banyak masyarakat Mesopotamia dan Mediterania. Beberapa pengamat mengkaitkan poligami dengan sistem kekeluargaan patriarichat, tetapi menurut beliau di beberapa Negara di dunia, Poligami juga terdapat pada masyarakat yang matriarichat. Dikalangan bangsa arab jahiliyah mengawini beberapa orang wanita merupakan hal yang lumrah, dan mereka menganggap wanita wanita itu sebagai hak milik yang bisa digadaikan dan diperjual belikan.7 Sejalan dengan Anshary, Nasarudin Umar menegaskan selain poligami dipandang sebagai sebuah kewajaran pada zaman sebelum Islam poligami juga menjadi penanda tinggi rendahnya kelas atau status sosial. Namun poligami tidak hanya dilakukan di kalangan raja - raja dan nabi - nabi saja tetapi juga di semua tingkatan masyarakat. Bahkan di pusat- pusat peradaban di masa silam seperti Babilonia, Syiria, poligami
7
Ansharay, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah- masalah Krusial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 85-86
24
begitu kuat. Diwilayah lain Asia seperti cina seorang laki - laki bahkan bisa mempunyai istri 3000 orang.8 Agama - agama besar selain Islam seperti ( Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani juga memberikan pengakuan terhadap eksistensi poligami. Meski agama Kristen saat ini tampaknya menolak praktik poligami, sesungguhnya larangan tersebut bukan bersumber dari ajaran asli agamanya. Larangan itu lebih kepada
kelanjutan
dari
tradisi
Romawi
yang
pernah
menyelamatkan ajaran Nasrani.9 Dalam Bibel tidak ditemukan suatu ayat yang dengan tegas menolak poligami. Bahkan di dalam Bibel diceritakan bahwa King Salamon (Sulaiman) mempunyai isteri 700 (tuju ratus) orang ditambah selir 300 orang. Perjanjian Lama dalam bab Genesis Pasal 16 ayat 1 menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim di suruh mengambil budaknya Siti Hajar sebagai isteri kedua. Juga disebutkan Nabi Ya’kub dan Nabi Daud mempunyai isteri lebih dari 100 (seratus) orang.10 Larangan poligami dalam agama Kristen muncul setelah renaisans. Ketika itu hukum - hukum Gereja banyak menyerap hukum - hukum Romawi, Sementara hukum - hukum Romawi
8
Lihat Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm. 94
9
Ibid.
10
Ibid. hlm. 94
25
banyak dipengaruhi oleh para pemikir humanis, terutama setelah kaisar Yustianus menetapkan Corpus Luris Civils atau biasa juga disebut Corpus Luris Yustianus, yang berisi hukum hukum kekeluargaan. Dari Romawi hukum - hukum tersebut menyebar keberbagai pelosok di bawah dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang terkenal dengan code civil-nya yang di dalamnya menganut asas monogami.11 Sedangkan dalam agama Hindu, Budha, tidak diperoleh penjelasan secara eksplisit mengenai masalah poligami. Hanya saja di dalam kitab Mahabarata dan Ramayana bayak memuat cerita - cerita tentang kehidupan keluarga Kurawa dan Padawa serta beberapa tokoh lainnya yang melakukan praktik poligami dalam pengertian poligini maupun poliandri.12 2. Poligami Dalam Islam Perkembangan mengikuti
pola
poligami
pandangan
dalam
masyarakat
sejarah
manusia
terhadap
kaum
perempuan, ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina poligami menjadi subur dan begitu juga sebaliknya pada saat masyarakat memandang kedudukan dan derajat
perempuan
terhormat
poligamipun
berkurang.
Perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti 11
Ibid. hlm. 95
12
Ibid. hlm. 96
26
tinggi rendahnya derajat perempuan dimata masyarakat. Ketika Islam datang poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang menyinggung tentang poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan kandungan ayat.13 Pertama membatasai jumlah bilangan istri hanya sampai
empat.
Sejumlah
riwayat
memaparkan
bahwa
pembatasan poligami tersebut diantaranya sebagaimana dikutip Musdah Mulia, dalam bukunya “Pandangan Islam Tentang Poligami”, diantaranya riwayat dari Naufal ibn Muawiyah ia berkata“ Ketika Aku Masuk Islam Aku memiliki lima orang Istri”, kemudian Rosulullah berkata “ceraiakannlah yang satu dan pertahankannlah yang empat. Dan pada riwayat lain Qais bin Tsabit berkata “ketika aku masuk Islam aku mempunyai delapan istri aku menyampiakan hal itu kepada Rosul dan beliau berkata pilih dari mereka empat orang”. Riwayat serupa juga disampaiakan Ghailan ibn Salamah ast-Tsaqafi menjelaskan bahwa dirinya punya sepuluh orang istri lalu Rosul bersabda pilih empat orang dan ceraikan yang lainnya.14
13
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999, cet ke 1, hlm. 3 14
Ibid, hlm. 4
27
Kedua menetapkan syarat yang ketat dalam poligami yaitu harus mampu berlaku adil persyaratan yang ditetapkan tentang kebolehan poligami itu sangat berat dan hampir - hampir dapat dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya artinya Islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki - laki tidak boleh lagi semena - semena terhadap istri mereka seperti sedia kala. Dengan demikian praktik poligami dalam Islam sangat berbeda dengan praktik poligami sebelumnya.
Perbedaan itu
menonjol pada dua hal pertama; pada bilangan istri dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat, pembatasan ini dirasakan sangat berat sebab laki - laki pada msa itu sudah terbiasa dengan banyak isteri kemudian mereka disuruh memilih empat saja dan menceraiakan yang lainnya. Kedua pada syarat poligami harus berlaku adil dimana sebelumnya tidak mengenal syarat apapun termasuk syarat keadilan akibatnya poligami pada masa itu banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum permpuan karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil sehingga mereka berlaku aniaya dan semena- semena mengikuti luapan nafsunya.15
15
Ibid, 5
28
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Musdah mulia di atas Nasarudin Baidan mengemukakan bahawa ditetapkannya syarat yang ketat maka tampak dan terasa sekali betapa Islam sangat memperhatikan hak - hak wanita secara mendasar sehingga kaum pria tidak dapat berbuat sesuka hatinya dengan kaum hawa. Hak semacam itulah yang tidak diataur di masa silam. Sehingga terjadilah poligami tanpa batas yang kemudian membuat
kaum
wanita
menderita
karena
tak
berdaya
menghadapinya.16 Dapatlah kita mengerti bahwa ketika Islam datang praktik poligami tanpa batas sudah dijalankan. Kemudian Islam datang untuk mengatakan kepada kaum laki - laki bahwa terdapat batas yang tidak boleh dilanggar oleh kaum muslimin yaitu empat orang isteri dan terdapat persayaratan untuk dapat berlaku adil. Jika tidak dapat berlaku adil maka Islam memerintahkan untuk menikah dengan seorang wanita saja atau budak wanita. Hal ini seperti apa di jelaskan sayyid Qutub dalam bukunya “Tafsir Fi Zhilail Qur’an Dibawah Naungan AlQur’an,” ( terjemahan Aad Yasin,dkk) dimana Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan melainkan untuk membatasi bukan untuk membiarkan kaum laki - laki memperturutkan hawa
16
Nasrudin Baidan, Tafsir bi - Ra’yi ( Upaya Penggalian Konsep Wanita di dalam Al-Qur’an) Loc.cit hlm. 99
29
nafsunya. Tetapi untuk mengikat poligami ini dengan syarat adil jika tidak dapat berlaku adil maka tidak di berikan syarat itu kepada yang bersangkutan.17 Berdasarkan fakta sejarah di atas menunjukan bahwa pada dasarnya praktek poligami yang dipraktikan dikalangan masyarakat modern seperti sekarang ini merupakan kelanjutan dari syari’at yang diamalkan oleh umat - umat terdahulu. Bahkan dalam Islam pelaksanaanya jauh lebih teratur dengan persyaratan - persyaratan yang ketat, tidak boleh dilakukan dengan semaunya sebagaimana di masa silam. Jadi tidak benar jika sistem poligami di pandang sebagai ajaran Islam saja. Dan tidak benar pula sebuah anggapan yang memandang Nabi Muhamadlah yang mempelopori adanya praktik poligami. Pendapat - pendapat yang demikian tentu tidak valid karena tidak sejalan dengan fakta sejarah. Dan hal yang lebih penting untuk dimengerti bahwa di syari’atkannya kembali di dalam Islam bukanlah hanya sebuah budaya ikut- ikutan melainkan mempunyai tujuan tersendiri yaitu demi memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia.
17
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilail Qur’an Dibawah Naungan AlQur’an, ( terjemahan Aad Yasin,dkk) jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2010, h. 116
30
C. Syarat - Syarat dan Dasar Hukum Poligami 1. Syarat - Syarat Poligami Peraturan poligami di Indonesia telah diatur sejak 33 tahun yang lalu oleh pemerintah dalam rangka melindungi warga negaranya khususnya kaum perempuan dari tindak ketidak adilan, melalui UU No 1 tentang perkawinan Tahun 1974 Pasal 3,4, dan 5. Sementara bagi PNS harus ada izin dari atasan bagi pegawai negeri sipil dengan ditertibkannya Peraturan Pemerintah tahun 1983 dan kemudian disempurnakan pada PP No 45 Tahun 1990 hal ini dilatar belakangi untuk menjaga wibawa PNS dan dimaksudkan melindungi isteri - isteri PNS. Adapaun dalam undang - undang ini membolehkan poligami dengan dua syarat secara umum: a. Syarat alternatif yaitu jika istri cacat badan, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Syarat Komulatif terdapat izin tertulis dari istri, berlaku adil dan dapat memenuhi kebutuhan para istri.18 Terlepas adanya ketentuan dua syarat tersebut di dalam hukum positif juga terdapat beberapa prosedur yang harus di lalui.
18
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: ElKAHFI, 2008, hal. 202
31
Hal ini kemudian lebih lanjut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagaimana tercantum dalam pasal- pasal berikut: Pasal 56 KHI a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan agama b. Pengajuan permohonan yang dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 c. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, tanpa izin dari Pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 KHI Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang hanya akan beristri lebih dari seorang apa bila a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak tersembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan Setelah permohonan izin poligami diterima Pengadilan kemudian memeriksa dan memproses permohonan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 57 KHI meliputi:
32
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi b. Ada atau tidaknya persetujuan istri baik persetujuan tertulis maupun persetujuan lisan. Apabial persetujuan tersebut merupakan persetujuan lisan maka persetujuan tersebut harus di ucapkan di depan persidangan c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri - istri.19 Secara mendalam prosedur poligami juga dapat kita lihat dalam peraturan pemerintah RI Nomor 9/ 1975 Pasal 40 dijelaskan bahwa apabila seoarang suami bermaksud untuk berisateri lebih dari seorang ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal ini merupakan penegasan untuk melaksanakan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tata cara pelaksanaannya diuraiakan dalam Pasal 41 yang menyebutkab bahwa Pengadilan memerikasa hal - hal berikut: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi ialah: Bahwa isteri tidak dapt menjalankan kewajibannya sebagai isteri Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak kunjung sembuh 19
Zainudin Ali, Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 48
33
Bahwa isateri tidak dapat melahirkan keturunan b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri baik persetujuan tertulis maupun lisan. Apabila persetujuan itu merupakan ijin lisan harus diucapkan didepan Pengadilan c. Ada atau tidaknya persetujuan kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri dan anak – anak dengan memperlihatkan Surat keterangan menegenai pengasilan suami yanbg di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja Surat keterangan pajak penghasilan atau Surat
keterangan
lain
yang
dapat
diterima
oleh
pengadilan.20 d. Ada atau tidaknya adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri –isteri dan anak - anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat untuk itu. Suami yang bermaksud beristeri lebih dari seorang menurut Pasal 40 harus mengajukan permohonan ke pengadilan. Isi permohonannya adalah sebagaiman terdapat dalam Pasal 41 yang akan diperiksa oleh pengadilan yaitu: 1. Surat permohonan poligami 2. Alasan - alasan poligami 20
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Isalam dan UndangUndang Prespektif Fikih Munakat dan UU No 1 Th 1974 Tentang Poligami dan problematikanya, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 69
34
3. Surat persetujuan dari isteri 4. Surat keterangan penghasilan dari tempat ia bekerja yang ditanda tangani oleh bendahara 5. Surat keteranagn pajak peenghsilan 6. Surat perjanjian dia atas segel tentang jaminannya akan akan berlaku adil kepada isteri - isteri dan anak - anak.21 Pemerikasaan
pengadilan
akan
dicocokan
melalui
pemanggilan kepada isteri yang dimintai persetujuannya oleh suaminya yang hendak poligami sebagaiman ditegaskan dalam Pasl 42 ayat 1 bahwa bahwa dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal- hal pada pasal 40 dan pasal 41 pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiranlampirannya. Apabila pengadilan telah berpendapat telah cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari satu pengadilan memberikan putusannya dengan member izin beristeri lebih dari seorang. Dengan pasal - pasal diatas dapat disimpulkan bahwa alasan yuridis diberikannya suami berpoligami adalah bahwa semua permohonan yang diajukan telah dibenarkan oleh hakim di pengadilan, diasmping semua persyaratn dan alasan - alasan yang 21
Ibid, hal. 70
35
telah diajukan telah memenuhi ketentuan Undang - undang No 1 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaaan Undang - undang Nomor 1 tahun 1974 Sebaliknya jika syarat - syarat dan alasan permohonan poligaminya tidak terpenuhi secara otomatis permohonannya tertolak. Dengan demikian jika melakukan poligami bertentangan dengan undang- undang dan perturan yang berlaku.22 Sedangkan dalam hukum Islam juga terdapat ketetapan yang berkaitan dengan syarat poligami diantaranya dapat kita lihat dalam beberapa pendapat berikut: Meurut Sayyid Qutub sebagaimana dikutip oleh Nassarudin dalam buku “Fikih Wanita” menjelaskan bahwa secara umum para ulama sepakat menetapkan syarat poligami antara lain: Tidak mengumpulkan istri lebih dari empat orang, tidak mengumpulkan wanita yang mempunyai hubungan famili dekat yaitu mengumpulkan dua kakak adik sekaligus atau ibu dan anak dan seorang wanita dengan saudara ayahnya atau saudara ibunya dan adil terhadap sitri - istri adil dalam hal ini meliputi menyediakan tempat tinggal tiap - tiap isteri, persamaan waktu menginap tiap - tiap isteri, dan berprasangka yang sama (yang baik).23
22
Ibid.
23
Lihat Nassarudin Umar, Loc.Cit, hlm. 98
36
Sementara menurut Abdurakhman Al-Ghazali, dalam buku “Fikih Munakahat”, menjelaskan terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam poligami: dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri - isteri dan anak - anak, serta orang - orang yang mrnjsdi tanggungan, dan mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anak dengan baik.24 Jika diperhatikan di Dalam hukum positif terdapat beberapa prosedur dan syarat yang harus di penuhi namun demikian jika terdapat perbedaan yang mendasar dalam hal ketetapan dalam menentukan persyaratan poligami di dalam Islam untuk poligami seseorang tidak diperlukan adanya izin dari istri karena dalam konteks hukum Islam persyaratan yang mendasar adanya ketentuan syarat adil kepada istri - istri dan anak - anak 2. Dasar Hukum Poligami Ajaran Islam mentransfer praktik tradisional poligami dengan beberapa perbaikan dan dicantumkan dalam Al-Qur’an Surat An - Nisa’ ayat ini lah yang sering dijadikan landasan bagi kebanyakan umat Islam dalam kebolehan berpoligami. Ayat pertama berbunyi :
24
Abdurakhman Al-Ghazali, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 388
37
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.25
Menurut
Muhamad
shahrur
Ayat
diatas
berisi
peringatan agar manusia bertakwa kepada Allah bahkan perintah ini diulang dua kali pertama manusia diperintahkan bertakwa kepada allah serta seruan kepada mereka untuk menyambung tali silaurrakhim dengan berpangkal kepada kemanusiaan universal bukan pandangan kelompok atau kesukuan yang sempit sebagai isyarat bahwa manusia berasal dari nafs yang sama.26 Yang kemudian allah beralih pada pembicaraan anak yatim dalam ayat yang kedua. 25
Departemen Agama RI , Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemah Qs An-Nisa’ 4: ayat 1: Bandung, Diponegoro, 2006, hlm. 77 26
Muhammad shahrur, Metodologi Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hal. 427
38
Artinya :
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.27 Menurut Musdah Mulia dalam bukunya , “Pandangan Islam Tentang Poligami” menjelaskan ayat tersebut
berisi
penegasan agar manusia berlaku adil terutama terhadap anak yatim. Ayat ini secara spesifik berbicara soal anak yatim kehidupan bangsa arab pada jaman jahiliyah tidak pernah sepi dari peperangan baik peperangan antar suku maupun maupun antar bangsa. Pola
kehidupan
yang
demikian
menyebabkab
banyaknya jumlah anak yatim karena ayah - ayah mereka gugur di medan perang Dalam tradisi arab jahiliyah pemelihraaan anak anak yatim menjadi tanggung jawab para walinya para wali berkuasa penuh atas anak yatim yang berada dalam perwaliannya
27
Departemen Agama RI , Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemah Qs An-Nisa’ 4: ayat 2, Op.Cit
39
termasuk mengausai harta - harta mereka sampai anak yatim itu dewasa dan sudah ammpu mengelola sendiri hartanya.28 Namun
demikian
lebih
lanjut
Musdah
Mulia
mengemukakan pada implementasinya realitas menunjukan tidak sedikit para wali yang kemudian berlaku curang terhadap anakanak yatim yang berada dalam perlindungannya dengan tidak memberikan harta mereka walaupun mereka sudah dewasa dan mampu menjaga hartanya sendiri. Kecurangan lain yang dilakukan para wali adalah menukar barang - barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak yatim yang tercampur di dalam harta mereka tradisi ini berlangsung hingga awal Islam dan kemudian ayat ini turun untuk mengecam ketidak adilan tersebut.
Artinya :
28
Musdah Mulia, Ibid, hal. 29
40
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.29 Ayat ketiga inilah satu - satunya ayat yang sering dijadikan pembenaran dan menjadi dalil bagi kebolehan poligami. Menurut Ashabuni Ayat ini turun berkaitan dengan sikap Ghilan seorang suami yang ingin menikahi anak - anak yang cantik dan kaya yang berada di bawah perwaliannya tanpa maskawin dan mahar. Menurut kebiasaan yang berlaku pada masyarakat arab jahiliyah dahulu para wali anak yatim mencampur adukan hartanya dengan harta anak yatim yang berada dalam perwaliannya. Jika kebetulan anak perempuan yatim itu cantik dan banyak hartanya si wali menikahinya tanpa mahar atau dengan mahar yang sedikit. Tetapi
jika
anak
tersebut
tidak
cantik
si
wali
enggan
menikahkannya dengan orang lain tersebut. Itulah sebabnya ayat tersebut menyebutkan bahwa “Jika si wali tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim itu maka para wali itu di anjurkan untuk menikahi perempuan lain saja boleh dua, tiga, atau empat”.30 29
Departemen Agama RI , Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemah Qs An-Nisa’ 4: ayat 3, Loc.Cit
30
Ashabuni, Tafsir ayat - ayat Hukum, Jilid I, Bandung : PT AlMa’arif, 1994, hlm. 734
41
Akan tetapi pada umumnya Para mufassir sepakat bahwa terdapat beberapa asbabun nuzul yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh bukhari Muslim, Nasa’i dan baihaqi dari Urwah ibn zubair yang dikutip Sayyid Qutub dalam tafsirnya “Tafsir fi Zhilalil Qur’an” mencertitakan Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah Ibnu Zubair r.a pernah bertanya kepada Aisyah tentang Firman Allah (yang artinya ) “jika kamu takut tidak akan berbuat adil adil terhadap hak - hak wanita yatim bila kamu menikah….lalu Aisyah menjawab “Wahai anak saudara wanitaku anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Ia campurkan hartanya dengan harta walinya lalu si wali itutertarik kepada harta dan kecantikannya. Kemudian si wali hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak sebagaimana yang diberikan orang - orang lain karena itu mereka dilarang menikahi wanita yatim kecuali dengan berlaku adil kepadanya dan memberikan maskawin sebagaimana yang berlaku serta diperintahkanlah kepadanya untuk menikahi wanita lain.31 Urwah mengatakan bahwa Aisyah berkata: Orang Orang meminta fatwa kepada Rosulullah saw sesudah turunnya
31
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilail Qur’an Dibawah Naungan AlQur’an, ( terjemahan Aad Yasin,dkk) jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2010, h. 113
42
ayat ini , lalu menurunkan ayat 127 surat an-Nisa’ “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita katakannlah Allah memberi fatwa kepada mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga menfatwakan) tentang wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sedang kamu ingin menikahi mereka…”Aisyah berkata “ Firman Allah dalam ayat yang terakhir ini …..”sedang kamu inginkan menikahi mereka” ialah keinginan yang salah seorang dari kamu terhadap wanita yatim yang hartanya sedikit dan tidak seberapa cantik. Maka mereka dilarang menikahi wanita wanita yang diinginkan harta dan kecantikannya kecuali dengan adil karena biasanya mereka benci kepada wanita - wanita yatim yang tidak memiliki harta yang banyak dan tidak cantik.32Sayyid Qutub dalam hal ini memandang Hadist Aisyah r.a ini menggambarkan salah satu sisi dari pandangan yang dominan di kalangan masyarakat jahiliyah , kemudian masih berlaku dikalangan masyarakat muslim. Sehingga datanglah Al-Qur’an melarang dan menghapuskannya. Dengan
pengarahan
-
pengarahannnya
yang
tinggi
dan
diserahkannya urusan ini kepada hati nurani dengan mengatakan “Jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak - hak) wanita yatim ( bila kamu menikahinya)…. Maka ini adalah 32
Ibid. hlm. 114
43
keprihatinan,
ketakwaan,
dan
takut
kepada
Allah
yang
menggetarkan hati wali apabila dia tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yang dalam pemeliharaannya.33 Penjelasan yang serupa juga mengenai sebab turunnya ayat dikemukakan pula oleh at-Tahabarsyi, dan Thabatha’i keduanya merupakan ulama dari iran serta wahbah Zuhaili ulama dari syiria sebagaimana dikutip Musdah Mulia yang mana menjelaskan allah melarang para wali mengawini anak yatim dengan cara yang tidak adil dan sebagai gantinya mereka dipersilakan mengawini perempuna lain satu sampai empat.34 Pemikiran at-Tahabarsyi, Thabatha’i tersebut sejalan dengan pendapat Muhamad Shahrur yang mana menjelaskan bahwa sebab turunya ayat 3 QS an-nisa’ diatas Allah menindak lanjuti pembahasan anak yatim dengan memerintahkan manusia untuk menikahi wanita- wanita yang disenangi dua, tiga, atau empat yang dibatasi hanya pada suatu kondisi yaitu takut untuk tidak berbuat adil kepada anak - anak yatim. Dan berdasarkan pemahaman ayat ini 3 QS an-Nisa’ ini pula Muhamad
Sharur melihat bahwa Allah tidak hanya
membolehkan poligami tetapi allah sangat menganjurkan poligami namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi pertama bahwa istri
33
Ibid.hlm. 115
34
Musdah Mulia, Loc.Cit, hal. 29
44
pertama, kedua, dan ketiga harus janda kedua harus dapat berlaku adil sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika dua syarat tersebut tidak terpenuhi. Dan pendapat Muhammad Shahrur ini didasarkan pada struktur bahasa dalam kaidah firman allah “Dan jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim kawinilah perempuan- permpuan yang kammu senangi dua, tiga atau empat”.35 Sementara Amir syarifudin sebagaimana dikutip M. Anshary dalam bukunya “ Hukum Perkawinan di Indonesia” menegaskan bahwa sebab turunya ayat tersebut secara tidak langsung mengandung pengertian kebolehan menikahi wanita sampai empat itu mempunyai syarat - syarat yang berat yaitu berlaku adil sebagiaman disebutkan dalam firman Allah di atas Yang mana amir Syarifudin juga menegaskan dari pengertian ini dapat ditarik dua garis hukum pertama; bahwa al-Qur’an menganut asas monogami hal ini terlihat dari pilihan isteri untuk beristeri hal ini terlihat dari pilihan untuk beristeri satu orang saja setelah kemungkinan beristeri lebih dari dua orang diberikan oleh Allah SWT. Kedua; kebolehan berpoligami ditentukan dengan syarat yang sangat berat yaitu sanggup berlaku adil kepada para isteri. Adil dalam hal nafkah kasih sayang, dan giliran.36 35
Muhammad shahrur, Metodologi Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hal. 428 36
Lihat Anshary, Loc.cit, hlm. 86
45
Sedikit berbeda dengan pandangan beberapa pendapat diatas Muhamad Abduh sebagaimana dikutip Umul Baroroh, dalam buku “Bias Jender Dalam Pemahaman Islam( Poligami dalam Pandangan Mufassir dan Fukaha)”, menjelaskan bahwa penyebutan poligami dalam ayat an- nisa tersebut adalah dalam konteks anak yatim dan larangan memakan harta anak yatim meskipun dengan jalan perkawinan menurut muhamad abduh jika laki- laki khawatir akan memakan harta anak yatim yang akan dikawini maka dilarang mengawininya dan dianjurkan untuk menikahi wanita lain dua, tiga atau empat Kemudian dengan mengaitkan ayat tersebut kepada ayat sebelumnya
Muhamad
Abduh
mengatakan
bahwa
islam
memperbolehkan poligami akan tetapi secara pribadi menentang praktik poligami dalam masyarakat. Karena hal ini menurutnya akan sulit untuk merealisasikan keadilan diantara para istri sehingga dapat menimbulkan dampak pada sulitnya masyarakat yang tentram dan damai yang justru berawal dari terbinanya keluarga sementara itu poligami tidak dapat menciptakan suasana semacam itu. Namun demikian pada prinsipnya Muhamad abduh tidak menolak praktik poligami
pada zaman rosulullah karena
kadar keagamaan masyarakat muslim pada zaman dahulu masih
46
dekat dengan Nabi muhamad sehingga praktik poligami pada masa itu tidak menimbulkan kerusakan sosial.37 Dari uraian beberapa pendapat ulama diatas menuju pada suatu pemahaman bahwa pada dasarnya menjadikan dalil dalil diats sebagai dalil atas pembenaran kebolehan dalam poligami kurang signifikan karena pada prinsipnya ayat tersebut turun bukan dalam konteks pembicaraan poligami melainkan dalam koteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil yang menimpa anak -anak yatim pada masa itu. Ayat - ayat an-Nisa’ diatas pada intinya mengandung sutau peringatan agar manusia menghindari segala bentuk perilakau tidak adil dan semena - mena, terutama dalam perkawinan
untuk
itu
demi
penegakan
keadilan
Allah
memperingatkan kepada suami akan dua hal: Pertama, dilarang menikahi anak yatim perempuan yang berada dalam perwalian mereka jika tidak dapat berlaku adil kedua, dilarang poligami jika tidak dapat berlaku adil. D. Dampak Poligami Poligami mempunyai dampak positif dan dampak negatif sehingga tidak heran jika poligami menjadi persoalan yang cukup controversial. 37
Umul Baroroh, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam( Poligami dalam Pandangan Mufassir dan Fukaha), Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 71-72
47
1. Dampak Positif Pada dasarnya poligami mempunyai khikmah positif antara lain: menurut Abdurrahman Al-Ghazali dalam bukunya “Fikih Munakahat” a. Untuk mendapatkan keturunan bagi yang subur yang isterinya mandul b.Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraiakan isteri yang tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak tersembuhkan c. Menyelamatkan suami dari hyper seks dari perbuatan zina dan kritis ahlak lainnya. d.Menyelamatkan wanita dari krisis ahlak mengingat banyaknya jumlah wanita daripada jumlah pria.38 Khikmah lain dari disyari’atkannya poligami menurut Muhammad Shahrur akan dapat mengurangi beberapa kesulitan diantaranya adanya seorang laki - laki di sisi seorang janda akan mampu memelihara dan menjaga agar tidak terjatuh dalam perbuatan keji, pelipata gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak - anak yatim dimana mereka tumbuh dan dibesarkan di dalamnya. Keberadaan ibu disisi anak yatim akan mendidik mereka agar tidak menjadi
38
Abdurakhman Al-Ghazali, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 21
48
gelandangan dan terhindar dari kenakalan remaja.dan lain sebagainya. Dari uraian di atas dapat di mengerti sejatinya jika poligami di jalankan sesuai dengan ketentuan syari’at mempunyai hikmah yang luar biasa namun sebaliknya jika poligami dijalankan tanpa ketentuan syari’at ia akan keluar dari tujuan awal disyari’atkan poligami dan akan membawa dampak yang juga tidak ringan. 2. Dampak Negatif Menurut hasil penelitian LBH APIK Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami: a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. b.Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri - istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anakanaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari hari.
49
c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. d.Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya. e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti - ganti pasangan menyebabkan suami / istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.39 Selain poligami mempunyai dampak negatif bagi sitri dampak yang lain juga dapat dirasakan oleh suami menurut Abdul Halim Assuqaq dalam buku “Kebebasan Wanita” poligami berdampak:
39
LBH Apik, “ Bila Suami Anda Melakukan Poligami”, Jakarta:
[email protected], Selasa 23 Februari 2011, 14.00WIB, hlm. 1
50
a. Bertambahnya tanggung jawab di atas pundak suami yaitu tanggung jawab memlihara dua rumah tangga atau lebih dan tanggung jawab memelihara anak dalam jumlah lebih besar baik laki - laki maupun perempuan b. Menambah beban dab kesulitan diatas pundak suami dalam hal ini suami akan beban dan kesulitan karena tindakan istri – istri yang dipicu oleh rasa cemburu yang memang sudah menjadi fitrahnya. Dan kecemburuan ini menjadi nestapa yang besar bagi wanita.40
40
Ibid