BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN ZAKAT
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya. Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang signifikan, yakni hanya bersifat sementara. Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya kita berdiam diri dan tidak melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman telah menuntut kita untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara profesional. Dalam masalah ini penulis akan berusaha memfokuskan kepada dua bahasan yakni pengelolaan zakat dalam perspektif fiqh dan pengelolaan zakat dalam perspektif hukum positif.
17
18
A. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Fiqih Zakat menurut bahasa adalah berkah, tumbuh, bersih, suci, syukur, dan baik.1 Sedang menurut istilah adalah mengeluarkan harta untuk diberikan kepada orang-orang tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara'.2 Zakat merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk kesejahteraan muslim dan oleh orang muslim.3 Menurut Wahbah Zuhaily, zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki satu nisab dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Nishab adalah “kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban mengeluarkan zakat”.4 Adapun pengertian infaq yaitu mendermakan rezeki atau sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT semata. Infaq dibedakan dari zakat dan shadaqah. Zakat merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya, sedang infaq lebih luas dan umum yakni tidak terdapat ketentuan mengenai jenis dan jumlah harta yang akan dikeluarkan serta tidak ditentukan kepada siapa saja infaq tersebut harus diberikan. Sementara itu, mengenai infaq dan shadaqah dari segi pengertiannya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama mendermakan sesuatu kepada orang lain. Namun dari segi waktu antara keduanya terdapat
1
Drs. Moh. Rifai, et.al., Kifayatul Akhyar, Alih Bahasa, Semarang: hlm. 114. Ibid. 3 Munawir Syadzali, et. al, Zakat dan Pajak, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1991, Cet ke 2, hlm. 160. 4 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, terj. Bandung: Rosda Karya, 2004, hlm. 2. 2
19
perbedaan, waktu untuk mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki dari Allah tanpa ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkan, sedang pada shadaqah tidak ada ketentuan waktu, jumlah maupun peruntukannya.5 Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan fundamental dalam Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Al-Qur’an sering disertai dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam surat Taubah ayat 34:
ﺏ ٍ ﻌﺬﹶﺍ ﻢ ِﺑ ﻫ ﺮ ﺸ ﺒﷲ ﹶﻓ ِ ﻴ ِﻞ ﺍﺳِﺒ ﺎ ﻓِﻲﻧﻬﻮ ﻨ ِﻔ ﹸﻘﻳ ﻭ ﹶﻻ ﻀ ﹶﺔ ﺍﹾﻟ ِﻔﺐ ﻭ ﻫ ﻭ ﹶﻥ ﺍﻟﺬﱠ ﻳ ﹾﻜِﻨﺰ ﻦ ﻳﺍﻟﱠ ِﺬ… ﻭ .(34:ﻴ ٍﻢ )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔﹶﺃِﻟ “…..Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkanya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih”. Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan perintah mengerjakan sholat. Hal ini menegaskan adanya kaitan komplementer antara ibadah sholat dan zakat. Sholat berdimensi vertikal-ketuhanan, sementara zakat berdimensi horizontal kemanusiaan. Zakat tidak hanya saja sebagai wujud kebaikan hati orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Tetapi zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, yang wajib dikeluarkan bila sudah mencapai nisabnya.6 Menurut Quraisy Shihab, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda, bahkan shadaqah dan infak pun demikian. Allah telah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, dengan 5
Dahlan Abdul Azis (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 716-717. 6 Djamal Do’a, Pengelolaan Zakat Oleh Negara Untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Korpus, Cet.1, hlm. 76.
20
demikian ia harus diarahkan untuk kepentingan bersama.7 Infaq menurut Didin Khafidhuddin berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan (penghasilan) untuk suatu kepentingan yang diperintahkan oleh Islam. jika zakat ada nishabnya, infaq dan shadaqah tidak mengenal nishab. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi ataupun rendah (QS. Al-Imran: 134). Adapun dalam pendistribusiannya, zakat harus diberikan kepada mustahiq tertentu (delapan ashnaf), sedangkan infaq dan shadaqah boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim dan sebagainya.8 Selain perintah untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur dengan tegas dan jelas tentang pemungutan dan pengelolaan harta zakat. Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw. pernah berkata kepada mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman.9
ﺩ ﻋﻠﻰ ﻓﺄﻋﻠﻤﻬﻢ ﺃ ﹼﻥ ﺍﷲ ﺍﻓﺘﺮﺽ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﰱ ﺍﻣﻮﺍﳍﻢ ﺗﺆﺧﺪ ﻣﻦ ﺃﻏﻨﻴﺎﺅﻫﻢ ﻭﺗﺮ... ...ﻓﻘﺮﺍﺅﻫﻢ …Beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orangorang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…10 Menurut Syekhul Islam al-Hafiz Ibnu hajar,
hadits di atas dapat
dijadikan dalil bahwa imamlah yang berhak memungut dan membagikan 7
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 323. Didin Khafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998, hlm. 14-15. 9 Abdillah bin Ismail, Shahih al- Bukhari, Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992 M, hlm. 427. 10 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, op. cit, hlm. 277. 8
21
zakat, baik ia sendiri yang melakukannya atau melalui wakilnya. Dan mereka yang enggan mengeluarkan zakat akan dipaksa.11 Begitu
jelasnya kewajiban untuk mengeluarkan zakat, sehingga
khalifah Abu Bakar pernah memerangi orang yang menolak mengeluarkan zakat di masa pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat telah banyak dilakukan, tetapi telaah dari perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat nampaknya belum banyak menjadi sorotan. Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, zakat tidak hanya dimaknai secara teologis (ibadah) saja yaitu sebagai manifestasi kepatuhan individu kepada Tuhan, tetapi dimaknai secara sosio ekonomi juga yaitu sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa, dan harta benda, zakat juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.12 Pada zaman Nabi Saw dan para Khalifah al Rasyidun, zakat merupakan suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah al Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya menarik zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah terkumpul tersebut dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah.
11 12
Al-Hafiz Ibnu hajar, Fathul Barri, Beirut: Dar al- Fikr, tth, Jilid III, hlm. 261. Djamal Do’a, op.cit, hlm. 76.
22
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy untuk menghasilkan pengumpulan zakat maka para pengusaha sebaiknya mengadakan “Badan Amalah” atau petugas yang mengurusi zakat.13 Kemudian menurut As-Syirazy: “wajib atas kepala negeri mengadakan badan amalah (pengumpul zakat) dan mengutus mereka pergi memungut zakat dan mengumpulkannya dari yang bersangkutan”. Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, katanya:
.ﺍ ﹼﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺑﻌﺚ ﻋﻤﺮﺑﻦ ﺍﳋﻄﹼﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ “Bahwasanya Rasulullah saw telah mengutus Umar Ibnu Khathab, pergi memungut zakat”.14 Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.15 Oleh karena itu, tenaga yang terampil menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang professional. Karena salah satu sebab mengapa pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu karena banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Menurut Amin Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak
13
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, Cet Ke-5, 1984, hlm.
14
An- Nawawi, Al-Majmu’, Al- Mathba'ah, Mesir, tth, hlm. 167. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKIS, tth, hlm. 152.
77. 15
23
lancar yaitu, pertama memang para wajib zakat belum sadar pada kewajiban agamanya. Kedua, mereka sudah sadar, tetapi enggan mengeluarkannya karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia pengumpul zakat.16 Dalam buku Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Thoyib I.M17. menjelaskan bahwa kesadaran dari umat Islam sendiri dalam menunaikan zakat masih sangat rendah walaupun rata-rata orang Islam menyadari akan pentingnya zakat jika dilaksanakan sebagaimana mestinya. Orang Islam ratarata lebih rajin bersembahyang, puasa dan naik haji daripada membayar zakat. Ini salah satu dari ciri bahwa tingkat keimanannya sebenarnya masih rendah, dan pertanda bahwa sifat kikir dan tamak masih kuat melekat pada mereka. Sementara itu menurut Daud ali, kesadaran umat Islam yang cukup tinggi dalam mengeluarkan zakat baru tampak dalam penuaian zakat fitrah, sedangkan kesadaran yang sama untuk mengeluarkan zakat harta masih sedikit.18 Dengan melihat masih rendah dan tipisnya tingkat kesadaran umat Islam dalam mengeluarkan zakat harta, maka pensosialisasian dan penyuluhan kepada umat Islam tentang esensi zakat sangat perlu diadakan oleh para amil atau da’i zakat. 1. Pengertian Amil
16
Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, Cet IV, 1995,
hlm. 63. 17
Thoyib I.M. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, tth, hlm. 155. 18 Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,Jakarta: UI Press, Cet. I, hlm. 63.
24
Kata ‘amil berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan dengan “yang mengerjakan atau pelaksana”.19Amil adalah orang atau badan
yang
mengurus
soal
zakat
dan
shadaqah
dengan
cara
mengumpulkan, mencatat dan menyalurkan atau membagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam.20 Muhammad Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat 60 surat AtTaubah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan amil zakat, yaitu: “mereka yang ditugaskan oleh Imam atau pemerintah atau yang mewakilinya, untuk melaksanakan pengumpulan zakat dan dinamai aljubat, serta menyimpan atau memeliharanya yang dinamai al-hazanah (bendaharawan), termasuk pula para penggembala, petugas administrasi. Mereka semua harus terdiri dari orang-orang muslim.21 Berdasarkan definisi di atas, maka seorang amil haruslah yang diangkat sebagai petugas oleh pemerintah. Berbeda dengan pendapat Rasyid Ridha, Abu Zahrah memudahkan dalam mendefinisikan amil, menurutnya amil adalah “mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat, menghimpun, menghitung, mencari orang-orang yang butuh (mustahiq) serta membagikan kepada mereka”.22 Yusuf Qardhawi lebih jelas lagi memperinci para amil zakat, dengan menyatakan: “Semua orang yang terlibat atau ikut aktif dalam
19
Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur'an, op. cit, hlm. 325. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1993, hlm. 134. 21 M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, Mesir, 1368H, Jilid 10, hlm. 513. 22 Quraish Shihab, op.cit., hlm. 326. 20
25
organisasi kezakatan termasuk penanggung jawab, para pengumpul, pembagi, bendaharawan, penulis, dan sebagainya.23 Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa amil tidak harus diangkat atau ditunjuk penguasa, namun semua ulama sependapat bahwa keterlibatan
imam
dalam
pengelolaan
zakat
merupakan
suatu
kebijaksanaan yang terpuji.24 Memang pada awal Islam, para amil diangkat langsung oleh Rasulullah saw. Tetapi pada masa pemerintahan Usman r.a. kebijaksanaan pengumpulan zakat diubah. Pada masa Nabi saw para sahabat menyerahkan harta zakat itu kepada beliau untuk kemudian beliau serahkan kepada para baitul maal atau para amil agar dibagikan sesuai dengan petunjuk agama. Tetapi pada masa ‘Utsman, karena harta kekayaan telah sedemikian melimpah, dan demi kemaslahatan umum, beliau mengalihkan wewenang pembagian kepada pemilik harta secara langsung. Tetapi pengalihan ini tidak menghilangkan kewajiban imam untuk maksud tersebut.25 Meskipun muzakki telah memperoleh wewenang dari penguasa untuk membagikan zakatnya sendiri kepada yang berhak, tetapi wewenang itu hanya menjadikannya sebagai wakil dari imam atau pemerintah. Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat Al-Taubah ayat 60, menulis: “Ayat ini menunjukkan bahwa Imam atau yang 23
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Zakat, Muassasah Al-Risalah, Dar Al-Qalam, Beirut, Cet VI, Jilid II, hlm. 576. 24 Quraish Shihab, op .cit. 25 Sjechul Hadi P, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet I, 1993, hlm. 8.
26
ditugaskannya berkewajiban mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat. Buktinya adalah bahwa Allah menetapkan petugas-petugas untuk maksud tersebut. Ini dikuatkan lagi dengan firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”26 (QS. 9: 103). Seorang amil zakat hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut27: 1. Hendaklah dia seorang muslim, karena zakat itu urusan kaum muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka. 2. Hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya, sehingga patut diserahi tugas yang berkaitan dengan kepentingan umat. 3. Petugas zakat itu hendaklah orang jujur, karena dia diamanati harta kaum muslimin. 4. Memahami hukum-hukum zakat, sebab bila ia tidak mengetahui hukum zakat tak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya, dan akan lebih banyak berbuat kesalahan. 5. Kemampuan untuk melaksanakan tugas. Petugas zakat hendaklah memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya. Kejujuran saja belum mencukupi bila tidak disertai kemampuan untuk bekerja. 2. Hak dan Kewajiban Amil
26
Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, Dar al-Kitab al Ulumiyyah, Beirut: 1938, Jilid VIII, hlm.
80.. 27
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Bandung: Litera Antar Nusa dan Mizan, Cet ke-4, 1993, hlm. 551-552.
27
Petugas amil zakat mempunyai berbagai macam tugas dan pekerjaan
yang
berhubungan
dengan
pengaturan
tentang
zakat.
Diantaranya yaitu soal sensus atau pendataan terhadap orang-orang yang wajib zakat, dan macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakati, kemudian mengetahui para mustahiq zakat. Berapa jumlah mereka, dan hal-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani secara sempurna oleh para ahli dan petugas serta para pembantunya.28 Para amil zakat, pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni para pengumpul dan para pembagi29: a) Para pengumpul, bertugas mendata dan menetapkan muzakki. Dalam hal ini para pengumpul menetapkan jenis-jenis harta mereka yang wajib dizakati, dan jumlah yang harus mereka bayar. Kemudian mengambil dan menyimpannya untuk diserahkan kepada para petugas yang membagikan apa yang telah mereka kumpulkan itu. Para pengumpul juga harus mengetahui hukum-hukum zakat, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan jenis harta, kadar nishab, haul dan sebagainya. b) Para pembagi, bertugas mendata dan menetapkan siapa saja yang berhak mendapatkan zakat. Dalam hal ini para amil harus mengetahui siapa-siapa saja yang berhak menerima zakat; seperti misalnya siapa yang dimaksud dengan fakir dan miskin, apa syarat-syarat yang harus terpenuhi.untuk dinamai 28 29
Ibid, hlm. 546. Quraish Shihab, op.cit, hlm. 328-329
28
dengan fakir dan miskin, gharim, ibn sabil, muallaf dan sebagainya. Para amil yang bertugas juga diharapkan mengetahui tata krama pembagian harta zakat, serta doa-doa yang berkaitan dengan tugastugasnya, karena hal ini sangat penting, bukan hanya bagi para pemberi dan penerima tetapi juga bagi kesempurnaan ibadah zakat. Amil adalah sangat penting dalam urusan pengelolaan zakat sehingga dalam surat Taubah ayat 60 Allah SWT menetapkan sebagai salah satu kelompok yang berhak menerima
bagian zakat.30 Menurut
Yusuf Qardhawi amil juga adalah pegawai, maka hendaklah ia diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan. Dan meskipun amil termasuk seorang yang kaya, ia tetap diberi zakat, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya, bukan berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Sebagaimana dijelaskan dalam sunan Ibnu Majah dari Nabi Saw yang mengatakan:
ﺃﻭ، ﺃﻭ ﻟﻌﺎﻣﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻟﻐﺎﺯ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ: ﺇ ﹼﻻ ﺍﳋﻤﺴﺔ،ﺪﻗﺔ ﻟﻐﲏﻻ ﲢ ﹼﻞ ﺍﻟﺼ ﻕ ﻋﻠﻰ ﺃﻭ ﻟﺮﺟﻞ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺟﺎﺭ ﻣﺴﻜﲔ ﻓﺘﺼﺪ، ﺃﻭ ﻟﺮﺟﻞ ﺇﺷﺘﺮﺍﻫﺎ ﲟﺎﻟﻪ،ﻟﻐﺎﺭﻡ .ﲏ ﻓﺄﻫﺪﺍﻫﺎ ﺍﳌﺴﻜﲔ ﻟﻠﻐ،ﺍﳌﺴﻜﲔ “Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali dalam lima hal. Pertama, orang berperang di jalan Allah. Kedua, karena jadi amil zakat. Ketiga, orang berhutang. Keempat, orang yang membeli barang sedekah dengan hartanya. Kelima orang yang tetangganya seorang miskin, lalu ia bersedekah kepada orang miskin itu, maka dihadiahkannya kembali kepada orang kaya itu pula”.31 Menurut Imam Syafi’i, bagian para ‘amil adalah sama dengan bagian kelompok lainnya, yaitu masing-masing seperdelapan. Karena 30 31
Ibid. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Darul Fikr, Beirut, hlm. 590.
29
didasarkan pada pendapatnya yang menyamakan bagian semua golongan mustahiq. Adapun kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, maka harus diambilkan dari harta yang ada di luar zakat.32 Ibn Rusyd menegaskan dalam Bidayah Al-Mujtahid bahwa para fuqoha’ yang memberikan hak bagi amil yang kaya untuk memperoleh bagian zakat membenarkan pula pemberiannya kepada para qadhi atau hakim agama dan orang-orang yang semacamnya yang memberi manfaat kepada kaum muslim, karena para fuqoha tersebut berpendapat bahwa illat penyerahan zakat bagi delapan ashnaf bukan sekedar karena kebutuhan mereka, tetapi juga karena manfaat yang mereka dapat berikan kepada kaum muslimin.33
32 33
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. op.cit., hlm. 556. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Jakarta: Pustaka Amani, cet. I, 1995, hlm. 64.
30
3. Tujuan dan Fungsi Amil Amil zakat, yang secara tekstual terdapat dalam surat Taubat ayat 60, memiliki peran yang sangat penting, baik dalam pengumpulan dan pendistribusian
ZIS
maupun
dalam
usaha
melakukan
kegiatan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Upaya pendekatan yang digerakan dari bawah oleh amil dalam rangka merebut hati dan kepercayaan dari umat sangat perlu dilakukan, bahkan mungkin saja merupakan cara yang tepat dan efektif. Akan lebih baik juga jika dipelajari segi-segi sosialnya dan perilaku atau sifat-sifat dari masyarakat tersebut sehingga mudah untuk memasukinya. Dengan mengetahui watak anggota-anggota masyarakat, cara serta taktik pendekatannya akan bisa lebih kena dan lebih diterima oleh masyarakat. Unsur ulama serta pengurus masjid yang selama ini juga telah teruji kejujuran dan kepemimpinannya juga tidak boleh diabaikan karena kendali jiwa dari umat selama ini juga terletak di tangan mereka. Namun mereka juga perlu didampingi oleh seseorang yang berpikiran maju dan mengerti cara-cara serta manajemen modern disamping juga memiliki kejujuran yang dapat dipercaya.34 Kemudian mengumpulkan dan mengolah data masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui apakah anggota-anggota keluarga termasuk ke dalam yang wajib membayar atau menerima zakat. Dari daftar tersebut dan melakukan pendekatan kepada mereka kita akan dapat
34
Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 158.
31
menentukan prioritas siapa yang paling patut dibantu dan dalam bentuk apa sebaiknya bantuan itu diberikan, apakah itu berupa modal untuk berusaha, dalam bentuk apa dan berapa, apakah itu berupa beasiswa, uang sekolah untuk anak-anak dan lain sebagainya.35 Mengadakan penyuluhan untuk sosialisasi zakat juga sangat perlu dilakukan,
hal
ini
menduduki
fungsi
kunci
untuk
keberhasilan
pengumpulan ZIS. Karena itu setiap sarana harus dimanfaatkan secara optimal, mulai dari medium khutbah jum’at, majelis taklim, surat kabar, majalah, melihat secara langsung penyaluran dan pendayagunaan ZIS, dapat dalam bentuk gambar, tayangan televisi, dan sebagainya. Dengan hal ini mungkin akan menumbuhkan kepercayaan kepada para muzakki.36 Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib zakat atau muzakki dan yang berhak menerima zakat; ia berkewajiban menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyariatkannya zakat itu. Dengan telah diserahkannya harta itu oleh wajib zakat kepada amil zakat, maka beban muzakki akan terlepas dari kewajiban membayar zakat.37 Sebagai perantara atau penghubung, amil harus mampu mengelola keuangan dengan baik dan benar. Pemisahan yang jelas antara sumber
35
Ibid. Didin Khafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 100. 37 Amir Syarifuddin, Pemeliharaan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta: Angkasa Raya, 197. 36
32
keuangan dan pengalokasian yang tepat pada dasarnya, akan semakin menguatkan posisi amil tersebut. Menurut Imam al-Jashah, amil zakat memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah: 1. Menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena wajib zakat (muzakki). 2. Menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati. 3. Menyeleksi jumlah para mustahiq zakat. 4. Menetapkan jadwal pembayaran zakat bagi masing-masing muzakki. 5. Menentukan kriteria penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap mustahik sesuai dengan kondisi masing-masing.38 Setelah berfungsinya badan amil zakat seperti yang dimaksudkan di atas, maka untuk mencapai hasil yang maksimal, efektif dan efisien serta tercapainya sasaran dan tujuan zakat maka pendayagunaannya lebih baik dan diusahakan yang bersifat produktif. Hendaknya model pemberian zakat secara konvensional yakni yang bersifat
konsumtif seperti yang diterapkan selama ini hanya
diberikan kepada fakir miskin yang betul-betul tidak mempunyai potensi produktif, seperti karena usia sangat lanjut, cacat fisik atau mental dan sebagainya. Terhadap mustahik tersebut, lembaga amil zakat mempunyai wewenang untuk menetapkan cara bagaimana menuntaskan kemiskinan
38
Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II, 2001, hlm. 171.
33
mereka dengan harta zakat itu. Karena pada hakekatnya kebijaksanaan dan pengelolaan harta zakat sepenuhnya ada ditangan lembaga amil zakat.39 Sebenarnya zakat produktif sudah pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar Ibn Khathab, yang menyerahkan zakat berupa tiga ekor unta sekaligus kepada salah seorang mustahiq yang kerap datang untuk meminta zakatnya tetapi nasibnya tetap belum berubah. Dengan demikian Khalifah Umar memberikan zakat dalam bentuk produktif dengan harapan yang bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi sebagai pembayar zakat dari hasil keuntungannya. Dan ternyata harapan Khalifah Umar pun menjadi kenyataan.40 Pemanfaatan harta zakat yang dijelaskan dalam fiqh memberi petunjuk perlunya suatu kebijaksanaan dan kecermatan dalam pemerataan dan penyamaan kebutuhan yang nyata dari kelompok-kelompok penerima zakat, kemampuan mustahiq dalam menggunakan dana zakat yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraannya dan kebebasannya dari kemelaratan, sehingga pada gilirannya mustahik tidak lagi menjadi penerima zakat, tetapi akan menjadi pembayar zakat. Telah banyak dijelaskan bahwa jika penerima zakat mempunyai keahlian atau keterampilan, maka pemberian sebaiknya dalam bentuk modal usaha yang memungkinkan mustahiq akan mendapatkan keuntungan yang dapat
39 40
Ibid, hlm. 171-172. Ibid, hlm. 173
34
memenuhi kebutuhannya, sehingga akan berjalan terus dan tidak langsung habis seperti jika diberikan dalam bentuk konsumtif.41 Konsep zakat produktif inilah yang paling memungkinkan lebih efektif terwujudnya tujuan zakat. Dengan demikian, zakat bukan lagi sebagai tujuan, tetapi sebagai alat mencapai tujuan yaitu mewujudkan keadilan sosial dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Namun perlu diperhatikan pula, bahwa keberhasilan amil zakat bukan ditentukan oleh besar kecilnya dana ZIS yang dihimpun atau didayagunakan, melainkan juga pada sejauh mana para mustahiq (yang mendapatkan ZIS produktif) tersebut dapat mengembangkan dan
meningkatkan kegiatan usahanya.
Oleh karena itu, aspek monitoring dan pembinaan dari amil atau da’i zakat perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.
B. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif UU No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan keputusan menteri agama Nomor 581 tahun 1999, pelaksanaan zakat diatur oleh negara dan dilaksanakan oleh badan khusus yang mengatur itu. Dalam pelaksanaan akan efektif jika badan resmi yang mengelola dan mengontrolnya juga diikuti dengan sanksi-sanksi. Turut campurnya pemerintah dalam
kegiatan keagamaan ini bukan merupakan
barang baru karena sejak semula pemerintah pun mengatur tentang soal-soal
41
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, Cet. II, 1994, hlm. 236.
35
perkawinan, haji, pendidikan agama, dan peradilan agama. Dengan demikian, pengaturan zakat ini perlu dilakukan karena manfaat dan kegunaannya adalah jelas sekali. Apalagi dewasa ini aspek pemerataan dan memerangi kemiskinan merupakan tema utama dari pembangunan, dengan mengelola urusan zakat secara professional akan memperlancar pembangunan tersebut.42 Dalam Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa organisasi yang berhak mengelola zakat terbagi menjadi dua bagian. Yakni organisasi yang dibentuk oleh pemerintah disebut Badan Amil Zakat (BAZ) yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur
masyarakat
dan
pemerintah
dengan
tugas
mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.43 Serta organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat, disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ) yaitu institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam.44 Namun demikian, kedua bentuk organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yakni bertujuan mengelola dana zakat dan sumber-sumber dana sosial yang lain secara maksimal untuk keperluan umat. Sebagaimana termuat dalam keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/ 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan
42
Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 156. Dalam keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Pasal 1 ayat 1, hlm. 25. 44 Ibid, Pasal 1 Ayat 2. 43
36
Shadaqah (BAZIS) pasal 6, bahwa fungsi utama dari BAZIS adalah sebagai wadah pengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran, dan pendayagunaan zakat, infak, dan shodaqoh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional. Dari pasal 6 yang tersebut di atas, maka fungsi dari BAZIS, adalah mengumpulkan zakat, infak dan shadaqah dari masyarakat. Pengumpulan zakat, infak dan shodaqoh oleh BAZIS itu dilakukan dengan cara menerima dan atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan dari muzakki. Perhitungan zakat dilakukan oleh muzakki itu sendiri, kecuali apabila muzakki itu tidak mampu melaksanakannya, maka pihak BAZIS akanmembantu muzakki untuk menghitung zakatnya.45 Dengan semakin banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan semakin mudah dalam mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat muzakki dapat lebih leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional. Seiring dengan berjalannya waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua kemungkinan: Pertama, dalam mengeluarkan zakat para muzakki akan memilih lembaganya yaitu lembaga amil akan terseleksi dengan sendirinya, sehingga bisa jadi lembaga yang terbentuk dengan motivasi yang kurang baik akan macet, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif yang benar akan semakin berkembang. Kedua, akan terjadi saingan yang sehat yang saling
45
H.A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 48.
37
menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil tersebut akan saling menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan para muzakki.46 Badan amil zakat dan lembaga amil zakat bisa dibentuk pada semua tingkatan, mulai tingkat nasional sampai tingkat lokal. Dalam BAZ, kepengurusannya memiliki struktur baku sesuai dengan wilayah dalam ketatanegaraan. Struktur tertinggi ada di pusat dan terendah di tingkat kecamatan. Sedang di desa atau di kelurahan tidak sampai pada tingkatan BAZ tetapi hanya terbatas pada unit pengumpul (UPZ). BAZ tingkat nasional pembentukannya disahkan oleh presiden, di propinsi oleh Gubernur dan seterusnya sampai tingkat kecamatan. Namun dalam LAZ
pembentukannya sangat bervariasi yaitu
tergantung pada motivasi para pendirinya. Ini bukan berarti untuk mendapat pengesahan sebagai lembaga amil, tidak ada mekanismenya. Pemerintah dalam UU tersebut telah menetapkan mekanisme pembentukan lembaga amil, sehingga tidak sembarang orang dapat dengan mudah mendirikan lembaga amil. Dalam perkembangan organisasi dan keuangannya, pemerintah berhak untuk mengawasinya.47 Undang-Undang zakat secara garis besar memuat aturan tentang pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan professional, dilakukan oleh amil yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. Jurnal dikeluarkan secara periodik dan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian atau kesalahan 46
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, Cet Ke-1, 2004, hlm. 206. 47 Ibid, hlm. 207.
38
dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi sehingga memungkinkan harta zakat akan terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan dan dikelola dengan baik sesuai dengan visi dan misinya.48 UU zakat juga menyebutkan jenis-jenis harta yang dikenai zakat yang belum ada pada zaman Rasulullah saw yaitu hasil pendapatan dan jasa. Jenis harta ini merupakan zakat untuk penghasilan pekerja modern, yang disebut dengan zakat profesi. Bentuk zakat baru ini merupakan langkah maju, mengingat seiring dengan perkembangan zaman maka hukum pun berkembang mengiringinya, karena hukum agama Islam adalah universal, elastis dan tidak hanya untuk pada saat itu saja.49 Selain itu, dalam undang-undang juga diatur tentang aturan pembayaran zakat sekaligus pajak. Yaitu bagi masyarakat yang sudah membayar zakat, maka pembayaran pajaknya
akan dikurangi dengan
sejumlah zakat yang telah dibayarkan. Hal ini merupakan jalan tengah yang lebih baik dan bisa diterima di tengah perdebatan pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan zakat dan pajak. Karena bagaimanapun juga zakat tidak bisa disamakan dengan pajak. Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar Al- Qur’an dan Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban atas dasar pemerintah. Kehadiran Undang-Undang zakat tersebut, juga memberikan semangat agar pengelolaan zakat ditangani oleh negara seperti yang telah dilakukan pada masa awal Islam. Dalam ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh 48
Muhamad, Zakat Profesi, Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 42. 49 Ibid.
39
negara dan pemerintah kepada orang-orang kaya dan untuk dibagikan kepada para fakir miskin sebagai haknya.50 Dari uraian di atas, dapat ditarik garis besarnya bahwa di dalam harta orang kaya, terdapat sebagian hak milik orang miskin yang harus dikeluarkan melalui zakat bila sudah sampai pada nishabnya. Dari penjelasan tentang zakat, baik menurut perspektif fiqh maupun perspektif UU No 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, peran amil sangat menentukan terhadap keberhasilan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Seorang amil zakat yang mempunyai dedikasi tinggi, cakap, dan terampil, akan melaksanakan pengelolaannya dengan baik. Dan apabila pengelolaannya dilaksanakan secara professional, transparan, dan diberikan sesuai dengan sasarannya, maka tujuan pengelolaan zakat akan berhasil. Dalam pendayagunaannya, pendistribusian harta zakat diusahakan bersifat produktif, sehingga akan mencetak mustahiq yang kreatif dan apabila mustahiq tersebut berhasil dalam menjalankan usahanya, maka mustahiq akan berubah menjadi muzakki baru yang wajib mengeluarkan zakat. Keberhasilan amil zakat pada dasarnya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya dana ZIS yang terkumpul, melainkan dari diantaranya : 1) Kesadaran para muzakki untuk mengeluarkan zakat. 2) Profesionalisme
para
mendayagunakan zakat.
50
Ibid, hlm. 43.
amil
zakat
dalam
mendistribusikan
dan
40
3) Kreativitas
mustahiq
(yang
mendapatkan
meningkatkan dan mengembangkan usahanya.
ZIS
produktif)
dalam
41
Panduan Wawancara (Intervew Guide) 1. Bagaimana prosedur pengumpulan zakat yang dijalankan oleh LAZIS AlMuhajirin? 2. Bagaimana sistem pendayagunaan zakat yang dijalankan oleh LAZIS AlMuhajirin? 3. Bagaimana cara yang ditempuh LAZIS dalam mensosialisasikan zakat kepada para muzakki? 4. Berapa besar dana ZIS yang terkumpul dalam satu tahun atau periode tertentu? 5. Apakah para muzakki mengarahkan alokasinya untuk masing-masing zakat, infaq dan shadaqah? 6. Bagaimana perbandingan dana yang diterima LAZIS antara zakat, infaq dan shadaqah? 7. Sistem pembagian zakat yang dilakukan dengan cara konsumtif atau produktif? 8. Bagaimana cara zakat tersebut diserahkan? a) Langsung (dengan perantara) kepada 8 asnaf? b) Memenuhi permintaan, dengan atau tanpa surat resmi? 9. Berapa besar dana yang diterima oleh mustahiq dalam satu tahun atau periode tertentu? 10. Apakah para muzakki mengetahui kemana uang zakat itu didistribusikan?
42
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet ke-12, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet. Ke-1,2004. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang: CV. Toha Putra, 1995, hlm. 288. Hafiddudin, Didin, Manajemen Syari’ah Dalam Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1. ________, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, Cet1, 2002. Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Mandar Maju,.1990. Mas’udi, Masdar F. et.al. Pendayagunaan ZIS, Jakarta: Cet ke-1,2004. _________, Menggagas Ulang Zakat, Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 2005. Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1992. Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1996. Qodir, Abdurrahman, Zakat Dalam Dimensi Mahdlah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke,-2. Qordawi, Yusuf, Hukum zakat, Terjemahan, Bandung: Mizan, Cet-ke.4, 1993. Raharjo, Dawan, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1999. Syaifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998. Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: Toko Gunung Agung, Cet. Ke-10, 1997.