BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK
2.1. Pertanggung jawaban pers terhadap Pencemaran Nama Baik dalam Hukum Pidana Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar maka pelakunya akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Salah satu tindak pidana aduan adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain. Adanya hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemaran nama baik tersebut, maka dapat dilihat dahulu pengertiannya masing-masing. Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan.1
1
Mudzakir, 2004, Delik Penghinaan Dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik Dictum 3, Atmajaya Pres, Yogyakarta, hal 17.
Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan sedemikian rupa dan harus ditinjau dengan suatu perbuatan tertentu, seseorang pada umumnya akan merasa tersinggung atau tidak. Dapat dikatakan pula bahwa seorang anak yang masih sangat muda belum dapat merasakan tersinggung ini, dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa tersinggung itu. Maka, tidak ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua jenis orang tadi. Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya. Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan penghinaan. Oemar Seno Adji mendefinisikan pencemaran nama baik sebagai menyerang kehormatan atau nama baik (aanranding of geode naam).2 Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah “…, pencemaran nama baik secara tertulis dan dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal,…”. Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam bukunya, Oemar Seno Adji menyatakan 2
Oemar Seno Adji, 1990, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Erlangga, Jakarta, hal. 36.
pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut : a.
Penghinaan materiil Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif
dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum. b. Penghinaan formil Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup. Hukum pidana mengatur penghinaan dalam KUHP pada BAB XVI, Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 321 KUHP, penghinaan dalam bab ini meliputi enam macam penghinaan yaitu: 1) Pasal 310 ayat (1) KUHP mengenai pencemaran; Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Banyak pakar yang menggunakan istilah “menista”. Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar menggunakan kata “celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan
penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari Bahasa Belanda. Kata “nista” dan kata “celaan” merupakan kata sinonim.3 Unsur-unsur Pasal 310 ayat (1) KUHP, dibagi dua yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur-Unsur Objektif terdiri dari Barangsiapa, Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”, dan Dengan menuduhkan suatu hal. sedangkan Unsur Subjektif terdiri dari Dengan maksud yang nyata (kenlijk doel) supaya tuduhan itu diketahui umum (ruchtbaarheid te geven), dan Dengan sengaja (opzettelijk); 2) Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai pencemaran tertulis; Akibat dilakukan perbuatan tersebut baik dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Istilah “menista secara tertulis” oleh beberapa pakar dipergunakan istilah “menista dengan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan dengan kata-kata yang bersamaan atau hampir bersamaan. Berdasarkan rumusan diatas maka menista dan menista dengan tulisan mempunyai unsurunsur yang sama, bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Unsur-unsur tersebut yaitu: Barangsiapa, Dengan sengaja, Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”, Dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan. 3) Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai memfitnah;
3
Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, PT Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.
Pelaku kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Kata “fitnah” sehari-hari umumnya diartikan sebagai yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni: “perkataan yang dimaksud menjelekkan orang….”. Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikannya. Menurut Pasal 313 KUHP, membuktikan kebenaran ini juga tidak diperbolehkan apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, dan pengaduan ini in concreto tidak ada. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP tampaknya erat terkait dengan ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur kejahatan yang terkandung yaitu: a)
Semua unsur (objektif dan subjektif) dari : i. pencemaran [Pasal 310 ayat (1) atau. ii. pencemaran tertulis [Pasal 310 ayat (2).
b)
Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar;
c)
Tetapi si pembuat tidak dapat membuktian kebenaran tuduhannya;
d) Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya. 4) Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan; Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun
di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu kata eenvoudige belediging; sebagian pakar menerjemahkan kata eenvoudige dengan kata “biasa”, sebagian bakar lainnya menerjemahkan dengan kata “ringan”. Dalam Kamus Bahasa Belanda, kata eenvoudige: sederhana, bersahaja, ringan. Dengan demikian, tidak tepat jika dipergunakan kata penghinaan biasa. Unsur-unsur Pasal 315 KUHP terdiri dari Unsur Objektif yaitu Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran (dengan lisan) atau pencemaran tertulis, Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri degan lisan atau perbuatan, Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, sedangkan Unsur Subjektif yaitu Dengan sengaja. 5) Pasal 317 ayat (1) KUHP mengenai mengadu secara memfitnah; Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Unsur-unsur dalam Pasal 317 ayat (1) KUHP adalah Unsur Objektif yaitu Mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, Tentang seseorang kepada penguasa, Sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang. Unsur Subjektif adalah Dengan sengaja. 6) Pasal 318 ayat (1) KUHP mengenai tuduhan secara memfitnah.
Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah Unsur Objektif yaitu Sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana. Unsur Subjektif: Dengan sengaja. Perbuatan yang dilarang adalah Dengan sengaja melakukan perbuatan dengan maksud menuduh seseorang secara palsu, bahwa ia telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana), tuduhan mana ternyata palsu.4 Dalam kejahatan ini, terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya dengan seseuatu tindak pidana yang telah terjadi, dilakukan suatu perbuatan, hingga ia dicurigai sebagai pelaku dari tindak pidana itu. Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal dengan delik aduan, kecuali bila penghinaan ini dilakukan terhadap seseorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya secara sah. Objek dari penghinaan-penghinaan diatas haruslah manusia perorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu organisasi, segolongan penduduk, dan sebagainya.5 Supaya dapat dihukum dengan pasal menista atau pencemaran nama baik, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui oleh banyak orang baik secara lisan maupun tertulis, atau kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa terdakwa bermaksud menyiarkan tuduhan itu.
4
H. A. K. Moh Anwar, 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 145. 5 R. Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Serta Komentarnya Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal. 225.
Menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan menista atau menista dengan tulisan tidak dihukum apabila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa dilakukan untuk membela diri. Patut atau tidaknya alasan pembelaan diri atau kepentingan umum terletak pada pertimbangan hakim, sehingga apabila oleh hakim dinyatakan bahwa penghinaan tersebut benarbenar untuk membela kepentingan umum atau membela diri maka pelaku tidak dihukum. Tetapi bila oleh hakim penghinaan tersebut bukan untuk kepentingan umum atau membela diri, pelaku dikenakan hukuman Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP, dan apabila yang dituduhkan oleh si pelaku tidak benar adanya, maka si pelaku dihukum dengan Pasal 311 KUHP, yaitu memfitnah. 2.2. Pencemaran Nama Baik Seseorang R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni: 1.
Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP) Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus
dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud
agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan. 2.
Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP) Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut
dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar. 3.
Fitnah (Pasal 311 KUHP) Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan,
perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP). Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah). Berdasarkan pada apa yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
4.
Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP) Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang
sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan. 5.
Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Berikut Penjelasannya (hal. 337) memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja: a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri; b.
menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.
6.
Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP) Menurut R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang
diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya:
dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.6 Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang undang No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa “Isi siaran dilarang : a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul,
perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c.
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.” Undang undang No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE (Undang-undang No. 11 Tahun 2008) tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUUVI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
6
R. Sugandhi, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya,. Usaha Nasional, Surabaya, hal. 151.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE“ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” Pasal 310 ayat (1) KUHP Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP. Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah. Untuk membuktikan kedua dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk mengajukan bukti-bukti mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya (cyber crime). Namun demikian,
bukti permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil cetakan (print-out) yang menunjukkan pencemaran nama sekolah tersebut, sehingga penyidik dapat melakukan olah data dan informasi lebih lanjut. Untuk lebih meyakinkan, sangat diperlukan kehadiran ahli di bidang informasi dan teknologi yang dapat membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut menjadi fakta hukum. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikutip sebagai berikut: “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.” 2.3 Pengertian Pers Pers dan Fungsi Pers Seperti tema di atas, kali ini tentang pers dengan materi seputar pengertian Pers dan fungsi/peranan pers. Ada banyak pertanyaan mengenai pers, seperti apa itu pers?., apa fungsi pers dalam masyarakat ?. apa fungsi pers adanya pers di indonesia?..apa Manfaat pers dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dan indonesia?. apa peranan pers dalam masyaarakat dan di indonesia. Pertanyaan teman-teman kami akan sajikan jawabannya dengan pembahasan lengkap baik itu pengertian pers dan fungsi/peranan pers. Pertama-tama mari kita mulai dengan Pengertian Pers. Pengertian Pers Secara Umum adalah media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar serta data dan grafik dengan menggunakan media elektronik dan media cetak dan dll. Pers dalam etimologi, kata pers (Belanda), presse (prancis), Press (inggris), sedangkan kata pers dalam bahas latin adalah pressare dari kata
premere artinya "tekan" atau "cetak". definisi pers secara terminologisnya adalah media massa cetak atau media cetak. Istilah pers dikenal sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya itu istilah pers juga lazim dikaitkan dengan surat kabar (newspaper) atau majalah (magazine). Pers Menurut Para Ahli Pengertian pers menurut Weiner, mengatakan bahwa pengertian pers adalah wartawan cetak atau media cetak publistas atau peliputan berita, dan media mesin cetak. Pengertian Pers menurut Oemar Seno Adji pakar komunikasi membagi pengertian pers dalam arti sempit dan pengertian pers dalam arti luas, pengertian pers dalam arti sempit adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata bertulis, sedangkan pengertian pers dalam arti luas adalah memasukkan didalamnya sebuah media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan orang baik dengan kata yang tertulis maupun dengan lisan. Arti kata Pers Menurut Para Ahli Pengertian pers menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), yang berarti, media merupakan saluran atau sarana dalam memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. Pengertian pers menurut Undang undang No. 40 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian pers adalah lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak atau media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pers memiliki fungsi/peranan di indonesia dan dimasyarakat. Fungsi Pers adalah sebagai berikut
1. Fungsi Pers Secara Umum a. Memberikan informasi b. Memberikan control c. Menghubungkan atau menjembatangi suara-suara rakyat d. Memberikan hiburan e. Menambah wawasan 2. Fungsi pers di Indonesia a.
Media/saluran formasi kepada masyarkat
b.
Media/saluran bagi opini publik dan debat publik
c.
Media/saluran Investigasi terhadap masalah-masalah publik
d.
Media/saluran pembelajaran
e.
Media/saluran kebijakan publik kepada masyarakat dan program pemerintah
f.
Memajukan kesejahteraan bangsa
3.Fungsi Pers sebagai Media informasi Dalam media informasi fungsi pers adalah pers memberikan dan menyebarluaskan halhal
yang
perlu
kita
ketahui
yaitu
informasi
4. Fungsi Pers sebagai Media Pendidikan Dalam media pendidikan fungsinya adalah pers dalam melakukan menyebarluaskan informasi yang mendidik dengan tulisan-tulisan atau pemberitaan yang mengandung pengetahuan. 5. Fungsi Pers sebagai Media Intertaiment, Pers dalam media intertaiment adalah pers sebagai wahana hiburan dengan menampilkan berbagai macam seputar aktivitas dari artis, selebritis, dan tampilan-tampilan yang menarik.
6. Fungsi Pers sebagai Media kontrol sosial, Sebagai media kontrol sosial adalah memaparkan peristiwa yang buruk, keadaan-keadaan yang melanggar hukum, supaya peristiwa ini tidak terulang lagi dan membuat kesadaran masyarakat. 7. Fungsi Pers sebagai Lembaga Ekonomi Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi adalah pers merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang penerbitan yang menyajikan berita dengan bernilai jual tinggi dan melakukan periklanan yang menambah keuntungan pers. Kebijakan Penal
tetap diperlukan dalam rangka penanggulangan kejahatan karena
hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan social untuk menyalurkan ketidak sukaan masyarakat, pencelaan, kebencian masyarakat terhadap suatu objek perbuatan yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana perlindungan social. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa Penal Policy merupakan bagian dari perlindungan social yang memiliki sifat universal di semua Negara. Hukum pidana sebagai saran penaggulangan kejahatan, selama ini masih merupakan sesuatu yang lazim digunakan di berbagai Negara termasuk Indonesia. Peraktek perundang undangan selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hokum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hokum yang dianut di Indonesia.