BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG
2.1 Pengertian Religi Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada yang melakukan secara sungguh-sungguh, namun tidak orang yang hanya menganggap kegiatan tersebut sebagai ritual sehari-hari dan tidak merasakan bahwa itu sebagai kewajiban yang harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati. Masing-masing negara, daerah, bahkan setiap individu pasti memeluk dan meyakini agama atau kepercayaan yang mungkin berbeda satu sama lainnya. Namun, perbedaan yang terlihat hanyalah dari segi pelaksanaan ibadah atau tata cara berdo’a. Karena setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menuju kepada kebaikan, perdamaian, kebersamaan dan meraih kasih sayang dari Yang Maha Kuasa, tuhan yang menciptakan seluruh makhluk dan alam semesta ini. Keyakinan tersebut merupakan kekuatan setiap individu untuk terus bertahan dan menjalankan kehidupan ini dengan baik. Bagi orang-orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, akan melaksanakan kewajibannya dengan baik sehingga akan mendapatkan ketenangan hidup lahir dan bathin. Setiap agama mengatur tata cara hubungan manusia dan mengatur hubungan manusia dengan tuhan (Waridah Siti.dkk,2001: 176).
xvi
Universitas Sumatera Utara
Dengan keberadaan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat akan menciptakan kerukunan diantara sesama manusia. Agama juga dapat menciptakan ketenangan bathin bagi setiap individu. Ada beberapa fungsi agama dalam kehidupan manusia (Waridah Siti, dkk, 2001 : 176) yaitu: 1. Agama sebagai pedoman prinsip benar dan salah, juga memberikan tuntunan agar manusia mengenal hal-hal yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan. 2. Agama
sebagai
pedoman
pengungkapan
perasaan
kebersamaan
(kolektif), yaitu merupakan pedoman bagi setiap tindakan manusia dalam mengenal arti kebersamaan. 3. Agama sebagai pedoman perasaan keyakinan (confidence), yaitu agar manusia dalam berusaha selalu disertai keyakinan yang bersumber dari agama yaitu kepercayaan terhadap Tuhan. 4. Agama sebagai pedoman keberadaan (existence), bahwa keberadaan manusia di dunia menyangkut segala hal yang ada hubungannya dengan diri manusia semata-mata atas kehendak-Nya. Dalam agama manusia adalah umat yang memiliki segala keterbatasan. 5. Agama sebagai pedoman estetika (keindahan), maksudnya adalah pengungkapan estetika (keindahan) yang merupakan bagian kebudayaan sangatlah disukai oleh manusia, rasa keindahan merupakan bagian jiwa manusia yang tidak dapat dipisahkan, agama berfungsi membatasi keindahan dengan moral, keindahan tidak boleh bertentangan dengan moral.
xvii
Universitas Sumatera Utara
6. Agama sebagai pedoman rekreasi dan hiburan, bahwa manusia membutuhkan rekreasi dan hiburan yang bermacam-macam, tetapi tidak berarti tanpa mengenal batas, agama membatasi manusia dalam mencari kepuasan melalui rekreasi dan hiburan. Dari fungsi-fungsi agama tersebut, dapat kita ketahui bahwa kita tidak akan merasakan ketenangan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari apabila masig-masing individu tidak meyakini keberadaan Penciptanya, karena hanya agama yang mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup dan bertindak.
2.1.1. Konsep-konsep Dasar Religi Jepang Masing-masing negara, bahkan setiap individumemiliki konsep yang berbeda dalam memahami arti religi (agama) dalam kehidupannya, namun perbedaan itu tetap berpangkal pada satu keyakinan terhadap adanya Tuhan. Mengenai konsep religi bagi masyarakat Jepang, ada dua konsep dasar ketuhanan. Konsep pertama menyatakan tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta, konsep kedua adalah tuhan sebagagi dasar dari segala yang ada atau merupakan inti terdalam dari realitas ( Bellah, Robert. N,1992: 81). Maka, dapat diketahui bahwa konsep dasar tentang religi Jepang juga mengajarkan hal yang sama pada seluruh penganutnya. Keberadaan sang Pencipta sudah seharusnya kita yakini dalam hati kita masing-masing. Hal itu
xviii
Universitas Sumatera Utara
dapat kita rasakan, ketika kita merasakan kegelisahan atau kesedihan, dengan keyakinan terhadap Tuhan akan dapat memberi ketenangan. Begitu juga pada saat hadirnya kebahagian akan timbul rasa syukur atas karunia tersebut. Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa Jepang merupakan salah satu negara religius, dan dalam satu tahun penuh terdapat kegiatan ritual keagamaan yang tetap berlangsung di negara paling timur ini.
2.1.2. Agama-Agama di Jepang pada masa feodal Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang-Undang dasar, pasal 20 yang menyatakan bahwa : ”Tidak satu pun organisasi agama dapat menerima hak istimewa dari negara, dan tidak satu pun dapat mempunyai wewenang politik apa pun. Tidak seorang pun dapat dipaksa mengambil bagian dalam kegiatan, perayaan, upacara atau praktek agama. Negara dan instaninya harus membatasi diri tidak melakukan pendidikan agama atau kegiatan agama apa pun” (Japan Echo Inc. 1989:113) Jepang mengenal beberapa agama dalam kehidupan masyarakatnya, diantaranya adalah Shinto, Budha, dan kong Fu Tse. Dari beberapa agama tersebut shinto merupakan agama asli masyarakat Jepang, keberadaanya tetap terpelihara sampai saat ini. Di samping agama yang ada tersebut, Jepang juga memiliki banyak aliran-aliran kepercayaan yag juga berkembang pesat dalam kehidupan warganya.
xix
Universitas Sumatera Utara
Walaupun beraneka ragam agama yang dianut oleh penduduk yang bermukin di negeri sakura ini, tetapi tetap ada Undang-Undang yang telah ditetapkan telah dapat memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat. Ada beberapa agama yang dianut oleh penduduk yang berada di Jepang saat ini, yaitu sebagai berikut :
2.1.2.1. Shinto Agama asli Jepang adalah Shinto, yang berakar pada kepercayaaan animis orang Jepang kuno. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga dan dewadewa pelindung setempat. Shinto adalah salah satu agama (kepercayaan masyarakat) yang banyak dianut orang Jepang. Kegiatan peribadatannya mengutamakan pemujaaan terhadap arwah nenek moyang dan alam lingkungannya, sehingga para penganut agama Shinto mempercayai banyak dewa. Mitos mengenai asal keturunan dewa keluarga kaisar pernah menjadi salah satu prinsip dasar Shinto, yang menyatakan bahwa orang Jepang adalah keturunan dewa matahari (Amaterau Ookami). Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, dan khususnya selama Perang Dunia II, Shinto diangkat oleh penguasa menjadi agama negara.Namun, berdasarkan Undang-Undang dasar setelah perang, Shinto tidak lagi diberi dukungan resmi ataupun hak khusus, walaupun masih memegang peran pada upacara penting dalam berbagai segi kehidupan Jepang. Masih banyak orang
xx
Universitas Sumatera Utara
Jepang dewasa ini mengikuti upacara Shinto pada acara pernikahan (Japan Echo Inc. 1989:114). Kegiatan ibadah berlangsung di kuil shinto yang disebut Jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa, ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara pernikahan. Jinja sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Shinto maupun orang tidak beragama Shinto, misalnya pada saat hatsumode (Hatsumairi) ketika tahun baru, omiyamairi beberapa minggu setelah seseorang melahirkan , atau pada saat Shichigosan bagi anak perempuan yang berusia 3 atau 7 tahun dan anak laki-laki yang berusia 3 atau 5 tahun. Agama Shnto juga memiliki sebutan khusus untuk para pendeta mereka, yaitu kanmushi. Ia bertugas melaksanakan upacara-upacara ritual agama Shinto di Jinja, termasuk dalam pengelolaan keuangan tempat tersebut. Kegiatan seharihari yang dilakukan oleh seorang kanmushi antara lain mempersembahkan sesaen dan lelkaukan pemujaan terhadap para dewa, melakukan pembersihan diri (baik orang maupun barang) bagi pengunjung yang menginginkan kesehatan, keselamatan, kebahagiaan atau kesejahteraan dan ia juga bertugas melaksankan upacara pernikahan. Dalam
pengelolaan
keuangan
kuil,
kanmushi
turut
mengawasi
pendapatan dan pengeluaran keuangan, seperti dalam perhitungan hasil penjualan Omikuji, atau Engimono serta dalam perhitungan Saisen (uang sekolah) yang terkumpul dari pengunjung kuil. Para penganut agama Shinto
xxi
Universitas Sumatera Utara
memiliki tempat pemujaan yang khusus disediakan di rumah-rumah mereka, benda ini disebut dengan kamidana (altar shinto). Kamidana adalah benda/tempat yang dianggap suci bagi penganut agama shinto dan dipasang dalam rumah untuk mengadakan pemujaan terhadap arwah leluhur juga para dewa. Namun, tidak semua orang Jepang yang melengkapi rumahnya dengan kamidana ini. Di dalam kamidana antara lain tersimpan Omamori, Kanai anzen, dan sebagainya
yang dipercaya sebagai benda yang memiliki kekuatan untuk
menjaga kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Di depan Kamidana biasanya orang Jepang menyalakan lilin dan melengkapinya dengan berbagai makanan, minuman (mis: sake), dan sebagainya.
2.1.2.2. Budha Agama Budha adalah agama terbesar penganutnya di Jepang, yang pada akhir tahun 1985 mempunyai 92 juta pemeluk, masuk ke Jepang dari india melalui Cina dan Korea kira-kira pada tahun 538 Masehi (Japan Echo Inc. 1989:113). Setelah memperoleh dukungan kaisar, agama Budha disebarluaskan oleh para penguasa ke semua pelosok. Pada awal abad ke-9, agama ini secara khusus melayani kaum bangsawan istana. Pada periode Kamakura (1192-1338), suatu periode keresahan besar politik dan kekacauan sosial, muncullah banyak sekte baru Budhis yang menawarkan harapan keselamatan baik kepada prajurit maupun kepada rakyat
xxii
Universitas Sumatera Utara
petani. Agama Budha bukan hanya berkembang sebagai agama, tetapi juga banyak turut memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan. Selama periode Edo (1603 - 1868) ketika pemerintahan keshogunan yang bertangan besi membawakan damai dan kemakmuran yang tinggi dalam masyarakat,ternyata vitalitas spritual ajaran Budha malah banyak menyurut. Agama Budha di Jepang termasuk agama Budha Mahayana (wahana besar) di Asia Timur, dan pada umumnya mengajarkan keselamatan di taman firdaus untuk semua orang, bukan kesempurnaan perseorangan, dan mempunyai bentuk yang jauh berbeda dengan bentuk agama Budha yang ditemukan di bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Agama Budha di Jepang memiliki banyak aliran atau sekte-sekte yang keberadaannya masih dapat ditemukan sampai saat ini. Semua sekte agama Budha di Jepang dewasa ini, tergolong atau dapat diselusuri jejak asalnya pada cabang-cabang utama agama Budha yang masuk ke Jepang diantaranya adalah: jodo, jososhin, nichiren, shingon, tendai, dan zen (Sudjianto,2002:7 ). Kemudian, untuk pelaksanaan ritual penyembahan, biasanya pemeluk Budha memasang butsudan ( Altar Budha ), yaitu benda atau tempat yang dianggap suci dan dipasang di dalam rumah untuk melakukan pemujaan. Namun tidak semua orang Jepang melengkapi rumahnya dengan butsudan. Di dalam butsudan biasanya tersimpan patung Budha kecil, plakat papan nama-nama nenek moyang yang sudah meninggal, lonceng kecil, juga tempat membakar dupa atau menyalakan lilin. Di depan butsudan biasanya orang
xxiii
Universitas Sumatera Utara
Jepang menyajikan sesajen dan melakukan pemujaan atau peribadatan sambil membakar kemenyan. Kalau agama Shinto memiliki tempat peribadatan khusus, maka begitu juga halnya dengan agama Budha. Tera adalah kuil Budha, bangunan tempat peribadatan dimana para pendeta Budha tinggal untuk melakukan pertapaan atau melaksanakan upacara-upacara agama Budha. Kuil yang dijadikan tempat patung Budha ini sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Budha maupun orang yang bukan beragama Budha. Biasanya sangat ramai dikunjungi misalnya oleh orang-orang yang melakukan hakamairi ( akan berziarah ), ke makam nenek moyangnya pada waktu festival Bon atau yang lebih dikenal dengan istilah Obon, atau oleh orang yang mengunjunginya pada saat Omisoka ( malam tahun baru ) ataupun pada saat hatsumairi ( awal tahun baru ). Pendeta Budha dikenal dengan sebutan Oboosan atau disebut juga Soo.Ia bertugas melaksanakan atau memimpin upacara-upacara ritual agama Budha. Para Oboosan tinggal di tera untuk melakukan pertapaan dan mengatur pemeliharaan makam yang ada di sekitarnya. Mereka berpenampilan berbeda dengan kebanyakan orang, tidak memelihara rambut di kepalanya dan memakai pakaian khas seorang pendeta Budha, diantara mereka ada yang berkeluarga dan ada juga yang tidak berkeluarga.
xxiv
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.3. Kong Fu Tse Masyarakat Jepang lebih cenderung memandang kepercayaan Kong Fu Tse sebagai kode pedoman akhlak, dan bukan sebagai agama. Masuk ke Jepang pada permulaan abad ke-6. Kong Fu Tse mempunyai dampak yang besar pada pemikiran dan perilaku Jepang, tetapi pengaruhnya telah berkurang sejak Perang Dunia II ( Japan Echo Inc. 1989 : 115 ).
xxv
Universitas Sumatera Utara