SEKULARISME JEPANG: PREMIS UMUM MENGENAI EKSISTENSI RELIGI
Oleh:
Achsannanda Maulyta Sari NIM : 121411331035 Departemen Pendidikan Sastra Jepang Universitas Airlangga e-mail :
[email protected]
Abstrak Jepang terkenal dengan kemajuan teknologi, etos kerja, keunikan budayanya, dan makanannya. Selain itu, Jepang juga dikenal sebagai negara sekularisme. Sekularisme di Jepang beserta asumsi masyarakatnya mengenai religi ini sangatlah menarik untuk ditelaah. Jepang sebagai negara sekular berarti Jepang memandang bahwa moral dan etika tidak didasarkan pada agama. Karenanya agama cenderung dianggap tidak terlalu penting, bahkan pemerintah sekalipun tidak diperkenankan mengurusi masalah agama. Negara Jepang yang terkenal dengan etos kerja dan nilai kesopanannya yang tinggi, darimanakah kedua hal tersebut diperoleh jika agama bukan sebagai sumber moral dan etika yang dianut? Sedangkan Shinto dan Buddha dikenal sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Jepang. Berakar pada kepercayaaan animis orang Jepang kuno, Shinto berkembang menjadi kepercayaan masyarakat. Selain itu juga mulai berkembang agama dan religi lainnya di Jepang, dengan jumlah pemeluknya yang minoritas. Meski demikian, masyarakat Jepang berasumsi bahwasannya agama atau religi hanyalah sebatas kebiasaan, sifatnya bebas, dan tidak penting. Walaupun masyarakatnya sekuler, toleransi beragama tetap tinggi dan etika orang Jepang tidak sepenuhnya jelek. Terdapat nilai-nilai yang patut dicontoh seperti kesopanannya yang tinggi, etos kerja dan budaya malu yang berlaku.
Kata kunci: Sekularisme, Etika, Asumsi Masyarakat, Agama, Toleransi.
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
1
Pengantar Ketika mempelajari sejarah dunia, maka seringkali informasi yang didapatkan mengenai Agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Negara Jepang tidak lain adalah Shinto dan Buddha. Shinto (shintō 神道) memang telah lama dikenal sebagai agama yang berasal dari negeri Matahari Terbit. Informasi tersebut tidak salah, karena memang jika berkunjung ke negeri Sakura ini maka akan banyak ditemukan dua tempat ibadah yang mendominasi; yakni kuil ( Jinja 神社 ) dan Patung Buddha. Akan tetapi akan lebih baik jika dikaji lebih dalam lagi agar dapat diperoleh informasi yang valid, apakah memang benar kedua religi tersebut merupakan yang terbesar yang dianut oleh mayoritas penduduk Jepang saat ini serta bagaimanakah anggapan umum masyarakat Jepang tentang religi dan agama. Sebelum mengkaji lebih lanjut, hendaklah dipahami terlebih dahulu pengertian religi. Banyak sekali orang yang menganggap bahwa religi dan agama itu sama, namun sebenarnya mengandung arti yang berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Religi berarti kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Sedangkan agama adalah ajaran, sebuah sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari kedua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara agama dan religi ialah; Agama memiliki kitab suci (yang sumbernya diturunkan oleh wahyu Tuhan), memiliki Nabi, bersifat universal, dan ajarannya mengikat pemeluknya. Sedangkan religi berarti kepercayaan, tidak memiliki kitab suci (Kalaupun ada sumbernya ialah berasal dari buah pikiran manusia), tidak memiliki nabi, ajarannya tidak mengikat pemeluknya, dan kebanyakan terbentuk karena adat-istiadat atau tradisi. Karenanya Shinto kurang tepat bilamana disebut sebagai agama. Shinto adalah religi yang dianut masyarakat Jepang yang ajarannya menekankan bahwa alam ini memiliki kekuatan, seperti matahari, sungai, tanah, udara, air, api, dan lain sebagainya. Segala ritual didalamnya adalah tradisi-tradisi yang diwariskan nenek moyang secara turun-temurun.
Jepang Dalam Sekularisme Selain etos kerja dan kemajuannya, Jepang juga dikenal dengan keunikan kehidupan beragamanya. Jepang dikategorikan sebagai negara sekularisme di Asia. Sekularisme sendiri
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
2
dalam Kamus Besar bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sekularisme terutama muncul pada generasi muda. Akibat globalisasi, generasi penerus mengalami degradasi moral yakni mulai lunturnya kepercayaan terhadap kaisar sebagai keturunan dewa. Ritual keagamaan telah dianggap sebagai kepercayaan generasi tua yang kuno. Pola berpikir yang bergeser ke arah modern, yakni pencapaian kesejahteraan bukan berasal dari “Tuhan” melainkan dari usaha dan kerja keras. Akibat anggapan mereka berpikir tidak akan menjadi kaya dan sejahtera hanya dengan beribadah saja. Sebaliknya, sejauh ini Jepang telah menjadi negara maju. Maka mereka beranggapan dapat sejahtera tanpa terikat kewajiban untuk beribadah dirasa benar karena kesejahteraan itu mereka capai melalui bekerja keras dengan sungguh-sungguh. Sekularisme ini menjadi ciri-ciri khusus masyarakat Jepang dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat resmi lainya tentang identitas penduduk, identitas agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Layaknya negara sekuler lainya, pemerintahan Jepang tidak mengurusi masalah agama. Dalam undang-undang dasar Jepang, terdapat aturan bahwa pemerintah tidak diperbolehkan untuk ikut campur dalam urusan agama. Juga terdapat larangan keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama. Maka di Jepang ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), Departmen Agama, sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia), menteri agama dan juga hari libur untuk memperingati hari besar agama tertentu, ataupun ucapan selamat dari kepala pemerintahan pada perayaan agama tertentu, semuanya praktis tidak ada. Yang mungkin lebih menarik lagi adalah di lingkungan dunia pendidikan, pelajaran agama adalah dilarang untuk diajarakan di semua sekolah negeri milik pemerintah. Agama hanya dibahas dalam konteks sejarah saja. Jikalau di Indonesia Agama dijadikan sebagai sumber ajaran Etika dan Moral yang utama, maka di Jepang tidak. Etika, moral dan sopan santun yang kita ketahui dari negara Jepang tidak berasal dari ajaran agama maupun religi. Meski begitu terdapat nilai-nilai yang
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
3
diduga berasal dari beberapa agama dan religi, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme yang memang dalam Islam juga ada dan dianjurkan. Namun tetap, perilaku dan etika orang Jepang tidak berdasar pada agama /religi tertentu. Pendidikan karakter tersebut sudah diajarkan sejak kecil secara kontinu. Kita juga tahu bahwa Jepang dipenuhi dengan hal porno, dilimpahi dengan tempat judi, dan orang Jepang suka sekali minum minuman keras (sake). Tentu hal tersebut dianggap tidak baik dalam kebanyakan ajaran-ajaran agama dan religi yang ada. Akan tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit sekali yang berani korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman. Setidaknya tidak sampai terjadi konflik antar agama yang sering dialami oleh Indonesia. Itu semua karena bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan semata-mata untuk menghilangkan stres. Persoalan ini menjadi salah satu bukti sekularisme di Jepang. Kebiasaan, etika dan moral yang berlaku tidak didasarkan pada agama. Selain itu, kebiasaan tersebut bisa saja berasal dari tradisi maupun pengaruh globalisasi. Sejauh yang kita tahu, tiap region pastinya memiliki tolak ukur tersendiri, baik dalam nilai etika dan moral yang berlaku tergantung dari pemahaman, kebutuhan serta nilai yang dianut masyarakatnya.
Asumsi Mengenai Religi Jika ditanya soal agama orang Jepang modern cenderung mengaku tidak beragama (musyukyo). Mereka juga sering mengungkapkannya dengan cara lain., yakni “Nihonjin wa syukyo ni mukanshin.” Yang artinya orang Jepang tidak punya minat pada agama. Meski ada orang Jepang yang ketika ditanya mengenai agama ia menjawab menganut agama tertentu , namun sebenarnya ia tidaklah melaksanakan dan menghayati agama tersebut seperti orang Indonesia pada umumnya. Karena selain hanya dianggap kebiasaan, menurut orang Jepang agama adalah tren dan bukanlah sesuatu yang harus dianut secara wajib serta tidak mengikat. Di Jepang sendiri terdapat banyak sekali tempat ibadah, yaitu kuil Budha (otera) dan kuil Shinto (jinja). Bahkan telah dibangun Gereja dan Masjid. Meski demikian, tidak akan ada pemandangan berupa orang-orang yang secara berkala melakukan ritual ibadah seperti di Indonesia. Kebanyakan penduduknya melakukan ritual secara insidental, misalnya saat tahun baru saja.
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
4
Sebenarnya di Jepang telah ada berbagai macam agama dan religi, namun kebanyakan penduduk Jepang mayoritas menganut 2 agama, yatu agama Budha dan Shinto. Shinto dan Buddha tentu saja berbeda dan memiliki tempat ibadahnya sendiri sendiri, namun bagi masyarakat kebanyakan nyaris tidak terlalu peduli dengan perbedaanya. Keduanya dianggap sama saja. Upacara, ritual atau doa umumnya dilakukan di kedua kuil secara bergantian, misalnya pernikahan umumnya dirayakan lewat ritual Shinto dan pemakaman dilakukan lewat ritual Buddha. Hal ini tentu saja memungkinkan yang salah satunya disebabkan karena Shinto umumnya tidak memiliki tempat pemakaman dan kebanyakan kuburan miliki oleh Tera (tempat ibadah umat Buddha). Jadi menganut disini diartikan asal mengikuti ritual atau upacaranya saja, tanpa ada penghayatan dan pengamalan lebih dalam. Hubungan antara Buddha dan Shinto di Jepang cukup unik. Mereka seakan berbagi peran dan tugas. Untuk upacara yang bersifat "keduniawian" seperti peresmian gedung dan perusahaan baru, berdoa untuk lulus ujian, pernikahan dan lain-lain kebanyakan orang akan mendatangi kuil Shinto. Jadi ritual sepenuhnya dilakukan lewat tata cara Shinto. Sedangkan untuk masalah meditasi, pelajaran moral, perbaikan prilaku serta upacara yang bersifat "akhirat" atau "Nirvana" mereka menggunakan menggunakan ritual agama Buddha. Bukan berarti antara Sinto dan Buddha saling berhubungan dan bekerja sama di Jepang. Keduanya cukup berbeda namun bagi masyarakat umum adalah sama saja. Yang paling menarik mungkin adalah tentang agama Shinto. Shinto bagi orang Jepang bukanlah agama, namun hanya budaya atau kebiasaan saja. Shinto sama sekali tidak mengenal ajaran, kitab suci atapun nabi, namun uniknya memiliki kuil atau tempat suci untuk sembahyang. Jadi, sebetulnya bukan cuma sebatas agama Shinto saja, pada dasarnya semua agama bagi orang Jepang hanyalah sekedar budaya, tradisi atau kebiasaan saja. Bahkan akhir-akhir ini banyak orang Jepang yang melaksanakan pernikahan di Gereja, padahal belum tentu mereka yang bersangkutan beragama Nasrani. Terdapat sebagian kecil masyarakat Jepang yang berasumsi negatif mengenai agama. Bahkan ada dari mereka beranggapan bahwa agama hanya cocok dipelajari oleh orang yang memiliki kelainan mental atau sakit jiwa . Pengertian “beragama” oleh orang Jepang sendiri berarti telah memasuki organisasi keagamaan ataupun sekte-sekte tertentu dan dipaksa mematuhi ajarannya. Setelah terjadinya tragedi serangan gas sharin yang dilakukan oleh kelompok agama Aum Shinrikyo, pandangan kebanyakan orang tehadap agama yang memang sudah negatif semakin buruk. Agama itu justru dianggap berbahaya, identik dengan kekerasan,
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
5
terorisme, perang, kerusuhan dan sebagainya. Hal itu didukung pula dengan maraknya terjadi konflik antar umat beragama, ledakan bom atas nama agama yang banyak terjadi belahan dunia lain, sehingga tampak seperti membenarkan pendapat mereka tentang agama.
Analisis Eksistensi Religi: Bebas dan Tidak Penting Bagi kebanyakan orang Jepang, agama adalah suatu kebebasan. Dengan beragama jiwa menjadi bebas. Mereka sama sekali tidak mau terikat dengan satu faham agama tertentu. Jadi bukan hal aneh kalau masyarakat di negara tersebut menjalankan berbagai ritual agama campur aduk tanpa pernah ada yang memperdebatkannya. Misalnya saja: orang Jepang di hari tertentu akan berdoa di kuil Shinto, namun di hari yang lain juga berdoa di kuil Buddha. Saat upacara kelahiran, dewasa, peresmian gedung dan ritual lain yang bersifat keduniaan umumnya dilakukan dengan ritual Shinto dan untuk upacara kematian dilakukan sepenuhnya dengan ritual Buddha. Sedangkan khusus untuk upacara pernikahan ada dua pilihan yang ada; menikah ala Jepang yaitu dilangsungkan di kuil Shinto atau menikah ala barat yang berlangsung di gereja. Apakah pasangan pengantin tersebut adalah beragama Kristen, Shinto atau Buddha tidaklah terlalu penting bagi mereka. Dilihat dari banguan kuil yang ada, baik kuil Buddha maupun Shinto, pintunya hampir selalu terbuka atau tidak dikunci yang artinya kuil tersebut bebas dimasuki oleh siapa saja. Pengunjung tidak akan pernah ditanya tentang agama dan juga datang ke kuil tidak dituntut harus berdoa atau sembahyang. Malah fungsi daripada kuil tersebut kini bergeser, bukan sebagai tempat ibadah, melainkan sering dijadikan sebagai objek wisata oleh turis. Jadi agama betulbetul merupakan kebebasan di negara tersebut. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kebanyakan orang Jepang merasa nyaman kalau memilih untuk tidak beragama. Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. (Pada tahun 1996, mahasiswa yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%).
Orang Jepang tidak peduli orang lain
agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
6
masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi serta bebas. Siapa hendak memeluk agama ini maupun itu, tidak akan berdampak terhadap pemerintahan maupun terhadap sesamanya. Selain itu, bagi kebanyakan orang Jepang, agama bukanlah merupakan sesuatu hal yang penting, seperti yang tampak pada hasil survery yang dipublikasikan pada buku Japan Religion and Society Pradigms of Structure and Change, karangan Winston Davis, 1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan,
Sangat
Sedikit
Penting
Penting
12 %
34 %
Eropa Barat
27
Inggris
Tidak
T idak
Tidak
penting
tahu
44 %
10 %
0%
32
26
13
2
23
26
26
20
5
Amerika
56
30
8
5
1
India
81
14
3
2
0
Negara
Jepang
Terlalu penting
Jadi menurut tabel di atas, tampak bahwa 44% responden menganggap bahwa agama adalah tidak terlalu penting bagi mereka. Agama kini hanya menjadi status bagi mereka, tanpa mengenali lebih dalam tentang ajarannya karena memang dianggap tidak terlalu penting. Globalisasi telah menyebabkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan yang ada pada diri rakyat Jepang. Semua ritual yang mereka lakukan kini sudah bergeser maknanya. Hanya sedikit dari Jepang yang mengetahui tujuan sebenarnya dari setiap ritual itu. Sisanya, hanya menganggap ritual itu sebagai salah satu waktu untuk bersenang-senang dan berkumpul bersama.
Berpedoman Pada Perilaku Orang Jepang tidak menjadikan agama sebagai dasar atas tindakan mereka, lalu apakah yang dijadikan pedoman untuk bertindak? Pedoman tersebut adalah Perilaku dan Sopan santun. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang lebih mementingkan perbaikan prilaku dan pencarian diri dibandingkan dengan pencarian Tuhan atau agama. "Apa nama Tuhan dalam
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
7
agama Buddha ?" pasti akan susah untuk dijawab dan mereka sama sekali tidak mempersalahkanya karena menganggap jawaban dari pertanyaan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Dalam tata krama etika sopan santun berperilaku orang Jepang sangat ketat. Contohnya dalah dalam mempelajari bahasa Jepang, sangat penting untuk memahami dengan baik penggunaan bahasa sopan, bahasa standar dan bahasa merendahkan diri. Dalam Berbahasa, maka akan disesuaikan dengan lawan bicara. Hampir sama seperti ngoko, madya, kromo inggil pada bahasa Jawa. Jika ada pilihan kata yang salah atau terbalik saja bisa jadi dianggap sebagai tidak tahu manner atau sopan sopan, tanpa peduli betapa seringnya seseorang sembahyang. Terdapat beberapa hal pula yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu bertindak dengan berusaha menghindari “rasa malu”. Rasa malu merupakan sanksi masyarakat yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap “rasa bersalah”. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah ia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan ke dua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, “budaya malu” (hajino bunka) dan “ budaya rasa bersalah” (tsumino bunka) merupakan budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang (Benedict, 1979). Tujuan utama etika dan perilaku orang Jepang adalah membentuk hubungan baik di dalam komunitas. masyarakat Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Apapun bentuk komunitasnya, entah itu Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dan lain-lain, orang Jepang mementingkan komunitas tersebut termasuk kepentingan diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan. Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas. Karena itu sering kita lihat dalam film-film bahwa seusai bekerja,atau untuk merayakan keberhasilan perusahaan, karyawan dan atasan perusahaan tersebut akan berpesta sake. Acara minum bersama tersebut dianggap
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
8
akan mendorong kerukunan dan solidaritas antar pekerja. Sedangkan Semitic monoteisme, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam mengutamakan Allah daripada komunitas serta memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang. Orang Jepang adalah orang-orang yang masih memegang kuat tradisi yang berlaku pada masanya, seperti peran dalam struktur yang diterimanya melalui pendidikan di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakatnya ketika masa kecilnya. Perilaku yang telah tertanam merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajarinya dan menjadi kebudayaannya. Hingga sekarang, kegiatan kehidupan kelompok dalam menanamkan tanggung jawab, saling menghargai, rasa kebersamaan, solidaritas dan sebagainya tetap diajarkan pada anaknya sejak anak duduk di bangku sekolah sebagai pendidikan moral. Salah satu contohnya adalah belajar Disiplin. Kedisiplinan juga dianggap paling penting di Jepang. Dalam buku Sun Tzu disebutkan bahwa pada zaman dahulu, untuk mengajar kedisiplinan di Jepang dilakukan dengan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin praktis diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah dasar dianggap lebih berguna untuk perkembangan etika dan perilaku daripada ajaran agama apapun.
Toleransi Beragama Ketika zaman Edo (1603 - 1868) agama Kristen dilarang dan ditindas. pengikutnya dihukum mati atau diusir ke luar Jepang. Perlu diketahui bahwa konfilk agama yang ada saat itu sesungguhanya bukan disebabkan oleh alasan agama semata namun lebih banyak karena alasan politik dan kekuasaan. Apapun alasannya yang jelas semuanya ini adalah cerita lama yang sepertinya hampir tidak mungkin ditemukan di era modern. Saat ini gereja bisa kita jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil atau jinja. Belakangan ini, seiring dengan banyaknya pendatang dan imigran di negara tersebut, agama Islampun mulai tumbuh dan bersemi di negara ini dan mulai banyak berdiri masjid.
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
9
Meski dikenal sebagai negara sekularisme dengan adanya asumsi negatif dan sikap acuh tak acuh terhadap agama, namun toleransi beragama orang Jepang cukup tinggi. Umat muslim khusuk sholat Jumat di masjid orang Jepang tidak melarang. Bahkan mereka membantu umat muslim dengan menyediakan lahan parkir di halaman rumahnya. Selain itu jika perayaan Natal tiba, orang jepang yang nonnasrani ikut merayakan dengan membeli kado untuk orang yang disayang, memakan christmas cake, memberi kartu ucapan dan sebagainya. Namun mereka tidak pergi ke gereja untuk berdo’a layaknya umat nasrani. Toleransi dan saling menghormati kepercayaan pihak lain juga bisa ditemukan dalam berbagai kesempatan. Dalam setiap acara pesta atau perayaan misalnya. Indonesia terkenal dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan banyak sekali imigran di Jepang yang berasal dari luar negeri yang menganut agama Islam seperti Pakistan, Bangladesh, Mesir dan Indonesia. Maka pertanyaan seperti "Apakah anda makan daging babi atau minum bir?" hampir selalu ditanyakan oleh orang Jepang kepada orang asing. Di Jepang pernah orang Kristen menjadi Perdana Menteri, namanya OHIRA Masayoshi, Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena ketidakpedulian orang Jepang pada agama, karena agama adalah masalah pribadi yang bersifat bebas tidak berpengaruh terhadap tingkah laku dan kualitas seseorang. Bisa disimpulkan bahwa jaminan tentang kebebasan beragama yang diatur oleh undang undang, berfungsi dengan sangat baik dan bukan cuma sekedar slogan belaka.
Kesimpulan dan Saran Jepang sebagai negara sekularisme, agama tentu menjadi hal yang tidak amat penting bagi mayoritas penduduk negara tersebut. Agama adalah urusan pribadi, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk ikut campur, bahkan agama dianggap sebagai bagian atau kegiatan budaya belaka. Selama ini di dalam pikiran masyarakat negara beragama seperti Indonesia, sudah dibentuk suatu pemikiran bahwa agama adalah satu satunya sumber moral dan tuntunan hidup sejati. Tanpa agama berarti tidak bermoral. Namun tidak dengan negara Jepang.
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
10
Jepang tidak menganggap agama sebagai sumber moral atau apa yang mendasari etika mereka. Pedoman hidup mereka bukanlah agama, namun tingkah laku. Sumber etika orang Jepang sendiri adalah nilai-nilai yang sudah turun temurun diwariskan. Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah budaya malu, tanggung jawab, kedisiplinan, toleransi, rasa saling menghargai, dan solidaritas sosial. Hal tersebut sudah dididik dan diajarkan oleh lingkungaan sekitar sejak masa kanak-kanak. Bahkan dalam pendidikan dasar sekalipun telah diajarkan nilainilai tersebut, menggeser dan menggantikan posisi agama. Karenanya masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhur hingga sekarang. Etos kerja yang kita kenal pun juga dalah bagian dari apa yang telah diajarkan kepada masyarakatnya sejak dulu. Dalam sudut pandang yang lain, orang Jepang pun juga susah mengerti "keterikatan" kita yang menurut mereka berlebihan dalam hal agama. Dengan logikanya orang Jepang menganggap bahwa dengan sembahyang sepanjang hari saja tidak akan membuat hidup mereka menjadi tertib, lebih bersih, kaya dan tidak korupsi. Karenanya orang jepang lebih memilih untuk bekerja dengan sungguh-sungguh daripada mementingkan urusan beribadah. Bukan berarti tidak ada yang peduli akan agama, tetap ada yang peduli namun hanya segelintir saja masyarakatnya yang agamis. Jadi dari kenyataan yang ada sepertinya antara agama dan moral sama tidak selalu berhubungan. Agama adalah ibarat Bekerja bagi orang Indonesia, tanpa agama kita tidak bisa hidup. Sedangkan bagi orang Jepang Bekerja adalah agama, tanpa bekerja mereka tidak akan bisa hidup. Orang Jepang bangga dengan budaya kerja kerasnya dan di belahan dunia lain ada masyarakat yang sangat bangga dengan agama yang dimilikinya. Meski dikenal sebagai negara sekularisme, namun toleransi beraga milik orang Jepang dapat dikatakan tinggi. Sudah sepantasnya kita sebagai masyarakat Indonesia yang terkenal akan berbagai agama dan kepercayaannya dapat hidup berdampingan dengan damai. Kita lihat Jepang, meski mereka hidup dengan mengesampingkan perihal agama, mereka mampu mengorganisir masyarakatnya untuk patuh, rajin, tertib, disiplin, bertanggung jawab, tidak korupsi, serta etos kerjanya yang tinggi. Karena budaya malulah yang orang Jepang pegang erat. Mereka malu apabila melakukan tindakan buruk seperti korupsi. Kita sebagai masyarakat beragama justru sebaliknya, korupsi di Indonesia masihlah tinggi. Padahal jelas-jelas korupsi dilarang oleh agama. Lalu apa artinya beribadah siang malam apabila tetap bersikap buruk dan merugikan orang lain bahkan negara? Selain itu, di bumi pertiwi ini masih sering kita saksikan
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
11
pertikaian antar umat beragama. Konflik agama terjadi di mana-mana. Sedang di Jepang, masyarakatnya mampu hidup rukun dengan toleransi yang mereka punya. Maka marilah kita bercermin kembali. Lihatlah budaya kerja keras, malu, disiplin dan solidaritas serta toleransi yang dimiliki Jepang, ambil sisi positif yang mereka punya. Niscaya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur dan damai, masyarakatnya yang plural akan mampu hidup rukun dan terintegrasi berkat nasionalisme dan toleransi yang tinggi.
Daftar Pustaka
Ardika, Nyoman. 2009. Kehidupan Beragama di Jepang (online), diambil dari http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama.html, diakses tanggal 26 Desember 2014. Kakaina, Melisa. 2011. Agama Orang Jepang (online), diambil dari http://melisa-k-fisip09.web.unair.ac.id/profil.html, diakses tanggal 26 Desember 2014. Nelson, John K. 2012. Japanese Secularities and the Decline of Temple Buddhism. Journal of Religion in Japan 1 (2012) 37-60 (online), diambil dari http://www.academia.edu, diakses tanggal 27 Desember 2014. Shinto Kokusai Gakkai: Essay Competition 2009-2011 Resuslts. Toward a Deeper Understanding of Shinto Culture (online), diambil dari http://www.academia.edu, diakses tanggal 27 Desember 2014. Takeshi, Ishizawa. 2006. Catatan Seminar STIE PERBANAS SURABAYA (online), diambil dari http://www.02.246.ne.jp/~semar/perbanas.html, diakses tanggal 26 Desember 2014. Yulifar, Leli. Bangsa Jepang: Sinkretisme, Sekularisme dan Ethos Kerja (online), diambil dari http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196412041990012LELI_YULIFAR/tulisan_unt_jurnal/Makalah_Unt_Aspensi.pdf, diakses tanggal 25 Desember 2014.
Universitas Airlangga | Sekularisme Jepang: Premis Umum Mengenai Religi
12