BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN PENGATURANNYA
2.1 Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik Immanuel Kant, seorang ahli filsafat Jerman (1724-1820) berpendapat bahwa sesuatu itu yang secara absolut baik, adalah keinginan baik (good will) itu sendiri. Jadi jelas, dalam hal ini pertanyaannya adalah “bagaimana dapat diidentifikasi keinginan baik tersebut?” Kant menjawabnya dengan mengatakan bahwa ada hukum moral yang rasional, yang bisa diidentifikasi berdasarkan akal. Menurut Kant, hukum moral semata-mata merupakan usaha intelektual untuk menemukannya, dengan kata lain tidak diciptakannya. Teoritisi hukum memiliki perbedaan pendekatan yang berbeda dalam mengalisis hukum, keadilan dan moral. Ada yang mendukung hubungan hukum, keadilan dan moral, ada yang memisahkannya, tergantung kepada kepercayaan dan nilai masing-masing individu,70 atau dengan perkataan lain, pembahasan tentang bahasa moral mengenai yang salah dan benar. Pertanyaan yang lebih spesifik adalah kapan bisa berdebat masalah moral sama dengan berdebat tentang fakta, dimana yang pertama hanyalah masalah pendapat. Ini adalah pertanyaan yang besar dimana para philosof menganggapnya sebagai bagian dari filsafat yang dikenal sebagai etika (ethics) yang menawarkan banyak jawaban. Argumen berdasarkan kewajiban, yang dalam kamus filsafat sebagai argumen deontological dapat dibagi kedalam yang berdasarkan agama dan berdasarkan bukan agama.
70
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI, Jakarta, hal. 130-133. (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy III).
48
49 Argumen berdasarkan agama, umpamanya, Tuhan menyampaikan kebenaran melalui kitab suci, atau melalui sabda nabi, pengalaman-pengalaman transcudentil, atas dasar mana hidup seluruhnya didasarkan. Bila kebenaran fakta ini tidak bisa ditunjukkan sama dengan kebenaran dari fakta yang “asli” dapat ditunjukkan, hal itu karena fakta berkenaan dengan keberadaan Tuhan bukanlah fakta dalam arti kedua. Mereka yang percaya adanya Tuhan, tentu puas dengan yang pertama (argumen berdasarkan agama), mereka yang tidak mempercayai Tuhan tentu berpendapat berlainan. Mereka yang mempercanyai adanya Tuhan, membuktikan Tuhan itu ada berdasarkan argumen yang rasional. Kedua, ada perbedaan paham mengenai legitimasi kekuasaan dalam agama ini terikat dalam perbedaan antara Katolik dan Protestan. Dalam hal ini penganut agama mempercayai perbedaan dalam menafsirkan kitab suci dan doktrin. Mereka yang tidak puas dengan jawaban yang berdasarkan keyakinan agama, mencoba mencari jawaban berdasarkan jawaban rasionalitas atas masalah moral. Philosof beriman, Imanuel Kant (1724-1804), misalnya, menganggap sesuatu yang absolut dan tak bersyarat mengenai yang baik adalah itikad yang baik, sedangkan yang lainnya yang secara komersional dikatakan sebagai baik (seperti kaya atau sehat) adalah baik hanya sejauh dipergunakan untuk mencapai hasil yang baik.71 Jelas, ini mengarahkan kita kepada pertanyaan bagaimana mengidentifikasikan itikad baik tersebut. Jawaban Kant adalah terdapat “pre-existing moral law”, dimana manusia ada rasional dan memiliki kehendak yang bebas, dapat mengidentifikasi dengan menggunakan akalnya dan apa yang ia perlu identifikasi dalam usaha 71
Wiryono Prodjodikoro, 2006, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal. 56. (selanjutnya disebut Wiryono Prodjodikoro II).
50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting bagi Kant adalah moral itu ada sebagaimana adanya, dari usaha intelektual manusia untuk mencerminkannya. Dengan perkataan lain, manusia tidak menciptakan moral. Moral adalah universal, absolut, tidak bersyarat dan harus dipatuhi. Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang berasal dari ajaran bona fides dalam Hukum Romawi.72 Itu sebabnya asas itikad baik memang lebih memiliki kedekatan dengan Sistem Civil Law ketimbang dengan Sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya. Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang dibuat oleh orang-orang Romawi.73 Pada mulanya hukum perjanjian Romawi hanya mengenal iudicia stricti iuris, yaitu perjanjian yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang secara ketat dan formal mengacu pada ius civile (seperangkat hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga Romawi). Dalam hal hakim menghadapi suatu kasus, hakim harus memutus sesuai dengan hukum dan apa yang dinyatakan dalam perjanjian. Baru kemudian, berkembang pula apa yang disebut dengan iudicia bonae fidei suatu konsep yang bersumber dari ius gentium (hukum alam) yang mengajarkan bahwa seseorang dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus sesuai dengan itikad baik. Ajaran ini berkembang seiring diakuinya perjanjian informal sebagai perjanjian yang bersifat konsensual.74 72
Reinhard Zimmerman and Simon Whitttaker, 2000, Good Faith in European Contract Law. Cambridge University Press, hal. 12. 73 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133. 74 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133.
51 Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak, yaitu: Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya; Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.75 Pada awal perkembangan hukum perjanjian Romawi, perjanjian dipandang sebagai sesuatu yang bersifat ritualistik. Perjanjian harus dibuat dalam suatu bentuk ritual (kontrak formal). Sedangkan, kontrak informal, seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan pemberian mandat (kuasa), pada awalnya hanya memiliki kekuatan moral. Baru lah dalam perkembangan selanjutnya kontrak informal ini memperoleh pengakuan sebagai perjanjian konsensual, seiring dengan perkembangan ajaran itikad baik dalam masyarakat Romawi.76 Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa itikad baik diperlukan karena hukum tidak dapat menjangkau keadaan-keadaan di masa mendatang. Beliau menjelaskan: Tidak ada buah perbuatan orang-orang manusia yang sempurna. Oleh karena peraturan-peraturan tersebut di atas hanya terbikin, oleh orangorang manusia saja, maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna. Peraturan-peraturan tersebut hanya dapat meliputi keadaankeadaan yang pada waktu terbentuknya peraturan-peraturan itu telah diketahui akan kemungkinannya. Baru kemudian ternyata ada keadaankeadaan yang seandainya dulu juga sudah diketahui kemungkinannya, tentu atau sekiranya dimasukkan dalam lingkungan peraturan. Dalam hal keadaan-keadaan semacam inilah nampak penting faktor kejujuran dari pihak yang berkepentingan. 77 75
Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, dalam Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit. Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 132. 77 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56. 76
52 Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian.78 Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik patut dilindungi; dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut merasakan pahit getir akibat ketidakjujuran tersebut. Walaupun asas itikad baik dipahami sebagai salah satu asas yang penting dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada definisi yang komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti itikad baik.79 Bahkan James Gordley menyatakan dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.80 Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa itikad baik (good faith) adalah: A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.81
78
Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 74. Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 129. 80 Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, Op.Cit, hal. 93. 81 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th edition, Thomson West, St. Paul, 79
hal. 713.
53 Charles Fried memahami itikad baik sebagai sebuah cara bertransaksi dengan pihak lain dalam perjanjian dengan jalan jujur (honestly) dan baik (decently).82 Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro menyamakan istilah itikad baik dengan kejujuran (goede trouw), 83 seperti yang banyak pula tercatat dalam literatur-literatur hukum. Kesulitan untuk memberikan batasan terhadap itikad baik bukan hanya merupakan persoalan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat, keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik. Profesor Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder” (pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk, yang oleh hakim dilarang.84 Secara filosofis, itikad baik dibedakan menjadi 2, yaitu itikad subyektif dan itikad baik obyektif yang diuraikan sebagai berikut :
2.1.1 Itikad Baik Subjektif Terminologi pemegang barang (bezitter) yang beritikad baik, pembeli barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir subjektif. Seorang pembeli 82
Charles Fried, dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 131. Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56. 84 Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181. 83
54 barang yang beritikad baik adalah orang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik dari barang yang dibelinya tersebut. Ia sama sekali tidak mengetahui jika seandainya ia membeli dari orang yang tidak berhak. Itu mengapa ia disebut sebagai seorang pembeli yang jujur. Dalam anasir ini, itikad baik memiliki arti kejujuran atau bersih.85 Dalam konsep yang hampir sama, Wirjono Prodjodikoro memahami itikad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.86
2.1.2 Itikad Baik Obyektif Ada perbedaan sifat antara itikad baik pada mulai berlakunya hubungan hukum dengan itikad baik dalam hal pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban dalam hubungan hukum. Itikad baik yang pertama terletak pada keadaan jiwa seorang manusia pada suatu waktu, yaitu pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum. Lain halnya dengan itikad baik dalam pelaksanaan
85 86
Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181. Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56.
55 hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Disini pun itikad baik nampak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan sebagai pelaksanaan perjanjian. Dalam melakukan tindakan inilah itikad baik harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa manusia itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada mulai orang membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.87 Dalam hal suatu perjanjian dianggap melanggar asas itikad baik, hukum memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengubah atau bahkan menghapus sebagian atau keseluruhan perjanjian. Asas itikad baik juga memberikan petunjuk bahwa dalam melaksanakan perjanjian hendaknya masing-masing pihak berlaku adil kepada pihak lainnya. Itikad baik merupakan pengertian hubungan (Relatie begrip) asas itu selanjutnya akan berlaku di dalam suatu hubungan Kontraktual, sedangkan kecermatan kemasyarakatan merupakan suatu pengertian (Begrip) yang umum jadi tidak didasarkan pada adanya hubungan Kontraktual.88 Itikad baik dalam arti obyektif merupakan suatu relatie (Begrip) dipegang teguh pada masa-masa
87 88
Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62. Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62.
56 sebelum perang dunia selanjutnya yurisprudensi juga menetapkan berlakunya atas itikad baik di dalam beberapa lembaga hukum yaitu: a. Keputusan para pihak (Partij Beslissing) Lembaga ini dimaksud guna menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul diatara para pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana para pihak berjanjian bahwa jika terjadi perselisihan diantara para pihak. Dalam hal ini, maka dalam melaksanakan keputusan ini harus diindahkan asas itikad baik. Penerapan asas ini dimaksudkan sebagai suatu pengawasan dalam pengambilan keputusan tersebut. b. Nasihat yang mengikat (Bindend Advies) Lembaga ini juga timbul untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Dalam lembaga Bindend Advies ini para pihak memperjanjikan bahwa perselisihan yang mungkin terjadi diantara mereka, akan dimintakan penyelesaiannya pada pihak III, dan nasihat/pertimbangan pihak III ini mengikat para pihak yang brsengketa itu. Di dalam mengambil keputusan berkenan denga sengketa tersebut
pihak ke III tersebut
harus
mengindahkan asas itikad baik (kepatutan) supaya ia tidak berlaku tidak adil terhadap para pihak. c. Perubahan Anggaran Dasar (Statuten Wijziging) Keputusan suatu badan hukum terurtama yang berkenaan dengan perubahan anggaran dasar badan hukum tersebut harus didasarkan pada itikad baik (Kepatutan), supaya perubahan itu masih merupakan pelaksanaan yang patut dari perjanjian semula.
57 Setelah Perang Dunia II, terjadi perkembangan yang penting dari asas itikad baik ini. Asas ini yang pada mulanya merupakan suatu pengertian hubungan, yang karenanya senantiasa berlaku dalam suatu hubungan kontraktual, kemudian dinyatakan berlaku dalam hal-hal lain yag tidak didasarkan suatu hubungan kontraktual. Arest H.R. tanggal 15 Nopember 1957 menetapkan bahwa: Para pihak yang sedang berarda dalam tahap pra kontraktual dan sedang bernegosiasi yuntuk memperoleh kata sepakat, masing-masing mempunyai kewajiban-kewjiban yang didasarkan pada itikad baik (kepatutan), kewajiban itu adalah: a. Kewajiban untuk mmeriksa (Onderzoekplicht) b. Kewajiban untuk memberitahukan (Mededeling plicht)89. Misalkan saja dalam perjanjian jual beli, Si penjual berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting berkenan dengan obyek/perjanjian itu, yang dapat membantu pembeli untuk mengambil keputusan untuk membeli benda tersebutm sedangkan pembeli berkewajiban untuk memeriksa obyek perjanjian tersebut apakah ada cacatnya atau tidak, apakah ada rencana pemerintah yang akan berpengaruh terhadap benda tersebut. Kewajiban untuk memberitahukan dan memeriksa itu harus diladasi itikad baik. Menurut Sudikno90 asas hukum itu bersifat dinamis, ia berkembang mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (Historich 89 90
Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 70. Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 9.
58 Bestimmt). Di atas telah diuraikan bahwa asas itikad baik telah mengalami perkembangan dari suatu pengertian hubungan (Relatie Begrip) menjadi suatu asas hukum antara para pihak. Di bawah ini akan diterangkan perkembangan selanjutnya, untuk melihat apakah asas itikad baik itu masih tetap merupakan suatu asas yang belaku di bidang hukum perjanjian saja atau telah berkambang menjadi asas yang berlaku juga dibidang hukum lain. Asas itikad baik yang hanya merupakan suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privaat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dengan lain perkataan, asas itikad baik itu telah berkembang dari asas hukum khusus menjadi asas hukum umum. Perkembangan yang demikian ini menurut hemat penulis sesungguhnya merupakan sesuatu keniscayaan, mengingat bahwa asas itikad baik ini adalah perwujudan dari suatu asas yang bersifat universal yaitu asas penilaian baik dan buruk sebagai dikemukakan oleh Scholten91, di dalam tataran dogmatik hukum. Sebagai suatu asas yang universal, ia berlaku kapan dan dimana saja, tidak tergantung oleh waktu dan tempat. Hal ini juga dibuktikan dari kenyataan bahwa asas itikad baik ini diadopsi pula di dalam Pasal 2 ayat (2) piagam PBB, yang menyebutkan bahwa: All members, in order to ensure to all of them the right and benefit resulting from membership, shall fulfill in good Faith the obligation assumed by them in accordance with the persent charter.
91
Ibid, hal. 11.
59 Serta di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969, yang menyebutkan bahwa: Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Pengakuan yang lebih jelas lagi bahwa asas itikad baik itu merupakan suatu asas yang bersifat universal dapat ditemukan di dalam considerans Konvensi Wina 1969 tersebut sebagai berikut: The principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized. Dari berbagai kenyataan tersebut di atas tidak salah kiranya jika penulis berpendapat bahwa asas itikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum, yang seyogyanya menjadi salah satu pedoman di dalam penyelesaian berbagai masalah hukum yang timbul di tanah air ini.
2.2 Itikad Baik dalam BW (Indonesia) Salah satu asas hukum khusus sebagaimana disebutkan di muka adalah asas itikad baik. Asas ini adalah asas hukum khusus karena merupakan asas hukum yang hanya berlaku dibidang hukum perdata saja. Kebanyakan ahli hukum mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, yang mengatur bahwa: “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Namun demikian, ayat ini sebenarnya bukan satu-satunya ketentuan dalam BW yang mengatur mengenai itikad baik. Di samping itu, BW sebenarnya memahami itikad baik dalam berbagai bentuk; tidak hanya itikad baik yang dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) BW tersebut saja.
60 Asas itikad baik ini sesungguhnya berasal dari hukum romawi. Di dalam hukum Romawi asas ini disebut asas Bonafides. BW mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 pengertian. Pengertian itikad baik yang pertama adalah pengertian itikad baik dalam arti subyektif itu disebut kejujuran. Pengertian itikad baik dalam artian subyektif/kejujuran terdapat dalam Pasal 530 BW dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dala, arti subyektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa.92 Djaja S. Meliala, dalam bukunya yang berjudul Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, berpendapat bahwa itikad baik memiliki peranan yang amat penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zakenrecht) sebagaimana
diatur
dalam
Buku
II
BW,
maupun
hak
perorangan
(persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III BW; bahkan, tidak dapat pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum perorangan dan keluarga dalam Buku I BW. 93 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada dalam ranah Buku III BW semata, melainkan terkandung pula dalam Buku II dan Buku IV serta secara implisit dalam Buku I BW. Pada Pasal 529 BW diterangkan tentang pengertian kedudukan berkuasa (bezit) selanjutnya pada Pasal 530 BW dikatakan bahwa: kedudukan demikian (bezit) itu ada yang beritikad baik dan ada yang buruk.
92
P.L. Wery, 1990, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland, Percetakan Negara RI, Jakarta, hal. 10. 93 Djaja S. Meliala, 1987, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet. 1, Binacipta, Bandung, hal. 6.
61 Seorang bezitter dianggap beritikad baik apabila ia tidak mengetahui adanya cacat pada ”kepemilikannya”. Dalam hal ini keadaan jiwa yang demikian itu dilindungi oleh undang-undang94. Dalam hal ini itikad baik (kejujuran) dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang memegang atau menguasai barang pada waktu ia mulai menguasai barang itu bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi, jadi menurut Wiryono Prodjodikoro95 kejujuran yang bersifat statis. Hal ini ditegaskan juga oleh Subekti96 yang menyatakan bahwa: “Dalam hukum benda itu itikad baik berarti kejujuran atau kebersihan”. Selanjutnya dinyatakan ”Kedudukan itu (bezit) beritikad baik, manakala si yang memegang memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat-cela yang terkandung di dalamnya” (Pasal 531 BW). Selanjutnya Pasal 548 BW mengatur ”Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas keberadaan yang dikuasai, sebagai berikut: 1. bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan; 2. bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik atas kebendaan itu; 3. bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di muka hakim, berhak menikmati segala hasilnya;
94
Ibid. Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 96 Subekti, Op.Cit, hal. 49. 95
62 4. bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, bilamana diganggu dalam memangkunya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana kehilangan kedudukannya.” Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW dalam pasal tersebut menentkan bahwa: “Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan pada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti itikad baik di sini adalah bahwa Si Pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak yang menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran itu diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu dianggap sah. Selanjutnya menurut PL Wery97 “tidak mengetahui adanya cacat itu meliputi juga tidak usah mengetahui”. Pengertian itikad baik yang kedua adalah itikad baik dalam artian obyektif. Di dalam Bahasa Indonesia pengertian itikad baik dalam artian obyektif itu disebut juga dengan istilah kepatutan. Itikad baik dalam artian obyektif itu dirumuskan dalam ayat (3) Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” Apa yang dimaksud dengan pelaksanaan dengan itikad baik (uitvoering te goeder Trouw) itu?. Menurut Wery:98 “Kedua pihak harus berlaku yang satu dengan yang lain seperti patutnya diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak melihat kepentingannya sendiri saja tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain”.
97 98
Ibid. Ibid.
63 Hal serupa juga dikemukakan oleh Aser Rutten99 sebagai berikut: “Melaksanakan perjanjian berdasarkan itikad baik berarti bahwa Sikreditur dalam pelaksanaan haknya dan debitur di dalam pemenuhan kewajibannya harus beriktikad sesuai dengan prsyaratan “Redelijkheid en billijkheid, artinya para pihak harus melaksanakan perjanjian itu sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beradab”. Selanjutnya melaksanakan suatu perjanjian, perilaku para pihak, baik debitur maupun kreditur harus diuji atas dasar norma-norma objektif yag tidak tertulis. Oleh karena itu pula itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW itu disebut itikad baik dalam arti obyektif. Obyektif di sini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata berdasrkan pada anggapan para pihak sendiri. Hal ini lebih ditegaskan oleh Wiryono Prodjodikoro100 yang menyatakan bahwa: Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatya tidak diperbolehkan kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang. Pandapat ini sejalan pula dengan pendapat Subekti101 yang menyatakan bahwa: ”Yang dimaksud dengan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah melaksanakan perjajian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif atau dengan lain perkataan”. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang 99
Asser Rutten, dalam Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya Bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20, No. 2 hal. 222. 100 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 101 Subekti II, Op.Cit, hal. 49.
64 benar selanjutnya menurut Subekti102 Pasal 1338 BW itu memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu pernajian agar jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Oleh karena itu hakim berkuasa untuk menyimpang dari ssi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu akan bertentangan dengan itikad baik. Itikad dalam arti kepatutan itu dipergunakan pula di dalam Pasal 1339 BW yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau UndangUndang”. Menurut Houwing103 itikad baik dan kepatutan dalam kedua pasal itu sama. Istilah kepatutan dalam Pasal 1339 BW diambil dari Domat dan istilah itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (8) BW diambil dari Pothier. Selanjutnya Pasal Pasal 1965 BW mengatur ”Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.” Pasal 1966 BW adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, itikad baik itu ada. Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli benda bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) BW yang mengatur ”terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya (dengan itikad baik) dianggap sebagai pemiliknya.” Menurut Subekti, itikad baik yang dipergunakan dalam pasal-pasal tersebut berbeda maknanya. Itikad baik yang digunakan dalam istilah “pemegang 102 103
Subekti II, Op.Cit, hal. 51. Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 86.
65 barang (bezitter)” dan “pembeli barang” berbeda dengan itikad baik dalam hukum perjanjian atau sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Itikad baik yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) BW mengandung pengertian bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik yang pertama mengandung unsur subjektif, sedangkan yang kedua mengandung unsur objektif.104
2.3 Itikad Baik dalam Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari si penjual kepada pembeli dan pembayaran harga baik seluruhnya maupun sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Pengaturan jual beli di Indonesia secara umum masih bersifat jamak karena jual beli dalam masyarakat masih mendasarkan pada 3 (tiga) hukum yang berbeda sesuai dengan kesepakatan darin masing-masing pihak 3 (tiga) hukum yang berlaku dalam jual beli yaitu: a. Ketentuan Hukum Adat mengenai jual beli benda bergerak dan tidak bergerak termasuk tanah (Ketentuan Hukum Adat); b. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengenai benda tidak bergerak khususnya tanah (Ketentuan Hukum Agraria); c. Ketentuan BW mengenai jual beli benda bergerak dan benda tidak bergerak sepanjang bukan mengenai tanah (Ketentuan BW). 104
Subekti II, Op.Cit, hal. 41.
66 Bahasan berikut akan menguraikan ketentuan Hukum Adat, Ketentuan Hukum Agraria dan Ketentuan BW.
2.3.1 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Adat Hukum adat merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan normanorma hukum tertulis yang dituangkan dalam kehidupan bermasyarakat yang secara tegas dibuat oleh penguasa legislatif dalam bentuk perundang-undangan dimana norma-norma hukum adat tidak tertulis.105 Jual beli tanah dalam hokum adat adalah salah satu bentukperalihan hak tas tanah. Menurut pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang. dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dari sini dapat disimpulkan pembeli telah mendapat hak milik atas tanah, sejak saat, terjadi jual beli. Jadi jual beli menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar sebagian), sisa harganya itu merupakan hutang pembeli kepada campur tangan pihak resmi, tidak perlu terjadi dihadapan pejabat, cukup dilakukan dengan lisan. Hal ini tentunya tidak termasuk didalam jual beli, benda-benda tertentu, terutama mengenai obyek benda-benda tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli yang resmi. 105
Boedi Harsono, 1999, Sejarah pembentukan UUPA, Isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.179. (selanjutnya disebut Boedi Harsono III).
67 Berlakunya hukum adat dalam masyarakat merupakan manifestasi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sangat tergantung pada basis social yang mendukungnya yaitu masyarakat adat itu sendiri. Namun demikian berlakunya hukum adat tidak terlepas dari berbagai pengaruh dari kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk pengaruh dari berbagai kekuatan politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundangundangan.106 Dalam penyusunan hukum tanah nasional hukum adat diberi kedudukan yang istimewa yaitu dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar pembentukannya. Semua hukum tanah mempunyai obyek pengaturan yang sama yaitu hakhak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah macamnya beragam yang disebabkan karena perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pembangunan hukum tanah nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yaitu komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Menurut UUPA semua tanah dalam wilayah RI adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Setiap WNI sebagai anggota bangsa Indonesia, mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan
106
Abdurrahman, 1994, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan agraria Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hal.10.
68 hak yang tanpa batas (hak milik). Pengggunaan tanah tersebut tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat kepentingan bersama yaitu kepentingan bangsa Indonesia.107 Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.108 Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan
107
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djambatan, Jakarta, hal. 236. (selanjutnya disebut Boedi Harsono IV) 108 Boedi Harsono, “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977, hal. 50.
69 hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.109 Bentuk-bentuk jual bell tanah dalam hukum adat antara lain yaitu: a. Jual lepas Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.110 Biasanya, pada jual lepas, calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan uang di muka, perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka uang
109 110
Ibid, hal. 296. Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 212.
70 sebagai jaminan tersebut menetap pada si calon penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengembalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya dari uang muka semula. Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam jual lepas adalah : 1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu kewajiban. Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan pembayaran
sesuatu
(uang/benda)
dapat
menimbulkan
suatu
kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau untuk membeli. 2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan uang sebagai jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1 diatas). 3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian uang sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak, jual beli baru dapat dilaksanakan. b. Jual gadai Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara,
71 walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.111 Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak : 1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik. 2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya. 3) Mengadakan perjanjian bagi hasil. Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti : 1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli gadai. 2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai. c. Jual tahunan Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain, dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. Dalam hal ini, terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu. Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah, menanami dan
111
Ibid, hal. 214.
72 memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.112 d. Jual Gangsur. Menurut Soerjono Soekanto pada jual gangsur ini, walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli.113 e. Jual beli dengan cicilan Menurut M. Yahya Harahap jual beli cicilan, merupakan salah satu bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”.114 Sementara itu jual beli menurut hukum pertanahan nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu: 1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya. 3. Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.115
112
Ibid, hal. 216. Ibid, hal. 217. 114 M. Harahap Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 26. 115 Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 330. 113
73 Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik tercapainya kata “sepakat“ mengenai barang dan harga. Dengan kesepakatan tersebut berarti perjanjian jual beli, tersebut menganut asas konsessualisme yang ditentukan dalam, Pasal 1458 BW, yang berbunyi : “Jual-beli itu dianggap telah mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”
2.3.2 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Agraria Pengaturan mengenai Hukum Pertanahan di Indonesia diatur dalam UUPA. Namun sebelum berlakunya UUPA hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas hukum barat.116 Dengan dikeluarkannya UUPA yang disahkan pada tanggal 24 September tahun 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia yang menjadi unifikasi hukum tanah. UUPA bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria, tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah.117 Hukum agraria sesudah berlakunya UUPA melahirkan hak atas tanah.118 UUPA mengatur secara tegas konversi hak-hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat dan hukum barat menjadi hak-hak atas tanah menurut ketentuan UUPA. Namun demikian, konvensi ini tidak menghapus akan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah bagi pemegang hak atas tanah. 116
Ibid, hal.1 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Grafikatama, Jakarta, hal.146. (selanjutnya disebut Effendi Perangin I). 118 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 23. 117
74 Tujuan pokok dari UUPA tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi rakyat, tetapi UUPA juga mengatur mengenai macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh perseorangan, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain ataupun badan hukum. Hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada perseorangan dan badan hukum diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA yakni: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. 119. Dengan berlakunya UUPA, maka berakhirlah pluralisme di bidang hukum tanah Indonesia. UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum tanah yang didasarkan pada hukum adat. Seiring dengan perkembangan hukum di bidang pertanahan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional terutama dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan, maka oleh Pemerintah telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, dalam Pasal 37 ayat (1) mengatur tentang cara pengalihan hak atas tanah yang dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT. 119
Pasal 53 UUPA : Ayat (1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undangundang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Ayat (2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
75 UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria menggunakan sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh Penjual kepada Pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada Penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.120 Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik adalah: “Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:121 1. Turun-temurun; Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 2. Terkuat; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak atas tanah yang lain. 3. Terpenuh; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
120
Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 10. Ali Achmad Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Sertipikat Dan Permasalahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 5-6 121
76 4. Dapat beralih dan dialihkan. 5. Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan. 6. Jangka waktu tidak terbatas Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah : 1. Warga Negara Indonesia; 2. Badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang meliputi: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara; b. Perkumpulan-perkumpulan
koperasi
Pertanian
yang
didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958; c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan Hukum Sosial Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA, menentukan bahwa; “Orang asing yang sesudah berlakunyaundang-undang inimemperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpawasiat atau percampuran harta karenaperkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia kehilangankewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnyahak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu,Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum,dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninyatetap berlangsung”. Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal 21
ayat
(4)
UUPA
ditentukan
bahwa:“selama
seseorang
disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak
77 dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini”. Dengan demikian yang berhak memilik hak atas tanah dengan Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena: 1. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan denganPeraturan Pemerintah; 2. Ketentuan Undang-Undang. Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas peraturan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan Perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama”. Betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik”, yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapa pun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi.
78 Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak). Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.122 Yang dimaksud dengan Peralihan Hak karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Berbeda dengan perbuatan hukum pemindahan hak dimana peralihan hak dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain.123 Perbuatan hukum Peralihan Hak untuk memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara: 1. Jual beli. Pasal 1457 BW menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. 2. Pemasukkan dalam Perusahaan atau Inbreng. 3. Tukar-menukar. Pasal 1541 BW menyatakan bahwa tukar-menukar ialah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain. 122 123
Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 333. Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 6.
79 4. Hibah. Pasal 1666 BW menyatakan bahwa hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. 5. Hibah wasiat (legaat). Hibah wasiat adalah suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang memberi itu masih hidup tetapi pelaksanaannya setelah yang memberi itu meninggal dunia.124 Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Prosedur pemindahan hak karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.125 Syarat Jual Beli Tanah ada 2, yaitu: Syarat Materiil dan Syarat Formil.126 1) Syarat Materiil Syarat ini sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut: a) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan 124
K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Atas Tanah, cet. 5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 35. Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana, Ed. 1, Cet, 2, Jakarta, hal. 90-92. 126 Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 2. (selanjutnya disebut Effendi Perangin II). 125
80 berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga Negara Indonesia tungal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 21 UUPA). b) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah 2 orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual. c) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut
81 adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum, yang artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli. 2) Syarat Formil. Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24 /97 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/riil/nyata. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai Peraturan Pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.127 Setelah dilakukannya Jual Beli atas sebidang tanah, masih ada 1 kegiatan lain yang memang harus dilakukan oleh PPAT ataupun dapat dilakukan sendiri oleh Pihak Pembeli, yaitu kegiatan Pemeliharaan Data. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu: Kegiatan untuk mendaftarkan dan mencatatkan bahwa telah terjadinya suatu Peralihan Hak atas Tanah, dan meminta agar Kantor Pertanahan segera mencoret nama Pemegang Hak yang lama menjadi Pemegang Hak yang baru, yaitu: Pihak Pembeli yang baru saja membeli sebidang tanah tersebut dalam Buku Tanah dan Sertifikat yang bersangkutan.
127
Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 23.
82 Di daftar maksudnya dibukukan dan diterbitkan tanda bukti haknya. Tanda bukti hak itu disebut sertifikat tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dalam satu sampul. Sertifikat itu merupakan alat pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat bukti sebagaimana penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.128 Bagi tanah-tanah yang telah bersertifikat, proses pendaftaran peralihan hanyalah dengan cara membubuhkan catatan pada lajur-lajur yang terdapat pada halaman ketiga dari buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya. Kalau peralihan hak itu untuk pertama kali, maka selain mencatat peralihan hak itu, nama pemegang hak yang tertulis pada halaman dua dicoret. Proses pendaftaran bagi tanah yang belum bersertifikat tentunya memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pendaftaran tanah yang sudah bersertifikat karena diperlukan penerbitan sertifikatnya dulu sebleum mencatat peralihan haknya.
128
Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Pertanahan, Prestasi Pusaka, Jakarta, hal. 91.
83 Adapun untuk menerbitkan sertiikatnya itu harus melalui proses seperti pengumuman, pengukuran tanahnya, dan sebagainya.129 Sertipikat Hak atas Tanah tersebut akan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) setelah pihak yang bersangkutan (dalam hal ini Pihak Pembeli) membawa persyaratan tertentu dan menjalani prosedur pendaftaran yang benar. Secara hierarkis, pendaftaran bisa dilakukan di Kantor Pertanahan di tingkat kota atau kabupaten setempat. Penerbitan bukti kepemilikan hak atas tanah ini merupakan bagian dari proses pendaftaran tanah yang dijalankan oleh Kantor Pertanahan.130 Di dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa : “Untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti dengan adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran Tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”. Sesuai isi Pasal 24 ayat (1) tersebut, bahwa bukti tertulis seperti : sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agararia Nomor 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah 129
Sunaryo Basuki, 2005, “Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah”, Makalah, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, hal. 2. 130 Kian Goenawan, 2009, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah dan Properti, Best Publisher, Yogyakarta, hal. 26.
84 tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan, dan lain sebagainya.131 Alat bukti tertulis tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting untuk pendaftaran hakhak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama. Selanjutnya di dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa : “Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah, berupa alat bukti untuk pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”. Dengan demikian, alat bukti tertulis yang dimaksud berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 merupakan bukti tertulis yang diperlukan dalam proses pendaftaran tanah hak-hak lama. Untuk hak-hak lama atas tanah apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembuktian hak dapat
131
Muhammad Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 126.
85 dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan pemohon dan pendahulunya selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, sedangkan untuk alat bukti tertulis pendaftaran tanah hak baru yang berasal dari tanah Negara diatur dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Baik bukti-bukti lama maupun bukti baru yang pada akhirnya bertujuan untuk penerbitan sertipikat bukti hak atas tanah yang memiliki kekuatan otentik.132 Hal ini juga diatur dalam Pasal 61 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan.
2.3.3 Ketentuan BW Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. 132
Ibid,
86 Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil law. Dalam perkembangannya diserap pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang menganut Common La w System, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Amerika Serikat telah menerima asas itikad baik dalam Uniform Commercial Code (UCC) maupun dalam putusan pengadilan. UCC menentukan : ”Every contract or duty within this Act imposes an obligation of good faith in its perfomances adn enforcement” BW mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian yang pertama adalah itikad baik dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat dalam Pasal 530 BW yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa.133 Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW dalam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad
133
Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927, diakses tanggal 11 Juni 2015.
87 baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti obyektif. Didalam bahasa Indonesia itikad baik dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan. Obyektif disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapn umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan para pihak sendiri.134 Sampai saat ini tidak ada makna tunggal itikad baik dan masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna itikad baik tersebut. Amerika Serikat telah sejak lama menerima doktrin itikad baik dalam kontrak yang terefleksi dalam Uniform Commercial Codes (UCC), Restatement of Contract, maupun putusan-putusan pengadilan. Hakim-hakim di Selandia Baru, Kanada, Australia belum begitu lama mengenal doktrin itikad baik sebagai bagian hukum mereka. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, namun asas itikad baik tersebut masih menimbulkan permasalahan berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari persepektif waktu, tempat serta subyeknya. Menurut ketentuan dari Pasal 1457 BW, yang dimaksud dengan jual beli adalah : ”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar hargayang telah dijanjikan”. Sedangkan menurut Pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 134
Ibid.
88 c. Suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahkan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi. Penyerahan hak itu dalam istiliah hukumnya biasa disebut Juridische levering (penyerahan menurut hukum) yang harus dilakukan dengan akta dimuka dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama Stbid No. 27 Tahun 1834.135 Untuk terjadinya perjanjian jual-beli ini cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak itu terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda setidaknya harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya mesti ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan benda lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan penukaran. Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa benda itu telah diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan ini akibat dari terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.136
135 136
Subekti IV)
K.Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 31. Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 69. . (Selanjutnya disebut
89 Menurut undang-undang, sejalan saat ditutupnya perjanjian risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.137 Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam BW ini bersifat obligatoir, yanq artinya bahwa perjanjian jual be1i baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.138
137
Sudaryo Soimin, 1994, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 94- 95. 138
Ibid.