FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
Ishak Hariyanto Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Email.
[email protected]
Abstrak: Etika adalah aturan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bayangkan saja dunia tanpa adanya etika atau moralitas maka konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun yang memiliki hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh etika filsafat Immanuel Kant untuk memberikan suntikan etika serta moralitas kebaikan dalam fenomena demokrasi saat ini. Demokrasi dalam konteks ini adalah kedaulatan milik rakyat, rakyat bebas memilih dan dipilih, rakyat di atas segala-galanya. Akan tetapi, demokrasi tersebut salah dimaknai serta salah diaplikasikan oleh kebanyakan orang, sehingga demokrasi hanya dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan pribadi semata. Bagi Kant hal ini menandakan betapa keringnya moralitas yang ada pada diri kita. Maka dari itu, Kant mengajarkan etika kewajiban untuk melakukan kebaikan tanpa ada suatu tujuan tertentu dan tidak menggunakan orang lain jadi sarana demi kepentingan pribadi, etika ini disebut oleh Kant sebagai konsep deontologi yakni nilai-nilai etika kebaikan yang berdasarkan konsep kewajiban agar hidup lebih berkualitas. Kata kunci: Filsafat Etika Immanuel Kant, Negara Demokrasi
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
1
A. Pendahuluan Moral sangat penting dalam ke hidupan kita bayangkan andaikan dunia tanpa moralitas itu akan men jadi sebuah dunia di mana tidak ada seorang pun memiliki keyakinan tentang moral entah itu apa yang disebut dengan benar dan yang salah, baik atukah buruk. Maka Kon sekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Meninjam bahasa Sokrates “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup”.1 Karena kita mebicarakan masalah besar yakni tentang moral maka banyak juga kontroversi tentang makna moral. Filsafat moral sesungguhnya upaya untuk mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang di tuntut dari kita seperti kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya hidup” dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna, jika kita memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas. Mengutip pendapat Emmet Barcalow mengenai moral yakni:
There would be no moral restrains or constraints on peoples behavior.It would be also be a world in which there was no conception of vice and virtue, kindness, honesty and compassion would not be considered morally better than cruetly, dishonesty and malevolence. No distinction would be made between justice and injustice. No one would be believe that anyone has any moral rights or duties. No one would ever claim or believe that people have a moral right to life or right to freedom of expression or that we have a moral duty to refrain from harming others.2
Terjemahan bebasnya: bayangkan saja andaikan dunia tidak ada moralitas, maka tidak akan ada yang mampu menahan kendala serta perilaku yang ada pada manusia. Hal ini juga akan menjadi sebuah dunia di mana tidak akan ada konsepsi mengenai kebajikan, kebaikan, kejujuran dan kasih sayang. Semuanya tidak akan bisa dianggap secara moral lebih baik daripada ketidak jujuran dan kedengkian. Dan tidak akan ada perbedaan antara keadilan dan ketidakadilan. Tidak ada yang akan percaya bahwa seseorang memiliki hak moral atau kewajiban. Tidak ada yang akan pernah mengklaim atau percaya bahwa orang-orang memiliki hak moral untuk hidup atau hak untuk kebebasan berekspresi dan bahkan kita memiliki kewajiban moral untuk Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories and Issues, (United States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 1. 2
James Rachels, The Elements of Moral Phylosophy, Terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17. 1
2
|
Komunitas
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
menahan diri dari menyakiti orang lain. Selain itu juga, dunia tanpa moralitas tidak akan ada secara moral dengan benar atau salah, baik atau buruk. Dunia tanpa moral, maka manusia tidak akan bermoral serta kebaikan dunia akan diganti menjadi kekejaman, dan perbudakan. Tidak akan ada rasa keadilan karena tidak adanya moralitas. Orang yang tidak bermoral tidak akan bisa dituduh melakukan kejahatan, tidak ada yang memiliki tugas amoral untuk mengurangi bahaya serius yang diberlakukan kepada orang terhadap resiko keinginan mereka. Dalam konteks negara demokrasi saat ini banyaknya demoralisasi yang terjadi, pemerkosaan, pembunuhan, korupsi merajalela, lalu dimankah letak moralitas yang menjadi dasar aturan hidup. Kehidupan ini akan rusak apabila tidak ada hal yang baik yang tertanam dalam diri kita, maka dalam hal ini kant mengajarkan kita untuk melakukan hal yang baik dan memang itu nalar kita sudah menganggap baik tanpa terkecuali dan itulah yang disebut dengan deontologi (etika kewajiban). Konsep moralitas memang berbedabeda dalam setiap masyarakat dan me rupakan kesepahaman yang pas untuk kebiasaan-kebiasaan yang di setujui bersama. Akan tetapi, dalam hal ini penulis sangat tertarik ntuk mengkaji konsep etika yang dibangun oleh
Immanuel Kant dan menghubungkan dengan negara demokrasi. B. Biografi dan Latar Belakang Pemikiran 1. Biografi Singkat Kehidupan Immanuel Kant Immanuel Kant adalah seorang filsuf yang sangat luas pengaruhnya dalam sejarah Filsafat modern hingga sekarang. Ia lahir di Konisberg PrusiaTimur, pada tanggal 22 April 1724. Kant merupakan anak keempat dari empat bersaudara dan ia lahir dalam keluarga yang miskin. Orientasi etis pietisme yang sangat kental dan tiadanya penekanan terhadap dogma teologis menjadi sebuah ciri khas Kant dan faktor determinan dalam filsafatnya. Setelah menyelesaikan kuliah di universitas Konigsberg dan ia menjadi tutor di beberapa keluarga aristokrat. Kant mengajar di almamaternya sebagai dosen selama lima belas tahun. Ia banyak menulis buku-buku sebagian dari karya-karyanya adalah tentang metafisika, logika, etika, dan sains dan juga tentang alam. Pada tahun 1770 dia diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika di Konigsberg, dan pada tahun 1781 dia menerbitkan karyanya yang sangat luar biasa termasyhur yakni Critique of Pure Reason. Karya ini membuka bidang-bidang studi masalah-masalah baru pada zaman
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
3
ketika dia hidup. Kant juga adalah sosok filsuf yang sangat teratur rendah hari dan tidak suka menonjolkan keilmuannya. 2. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant Dalam konteks pemikiran, ses eorang tidaklah lepas dari sejarah serta setting sosial yang mempengaruhi kehidupannya dimana dia hidup. Dalam hal ini penulis mencoba memberikan hal-hal yang melatarbelakangi pe mikiran filosofis Immanuel Kant. Pada zaman yang disebut dengan Aufklarung (zaman pencerahan). Pada abad ke-18, bahwa di Eropa Barat mengalami suatu zaman baru yakni zaman pencerahan.3 Atau senada dengan zaman yang disebut dengan enlightenment.4 Pada zaman ini orang-orang mendapatkan cahaya baru dalam segi rasionya. Menurut Immanuel Kant pencerahan yang dimaksudkan adalah orang keluar dari keadaan akil-balig atau terlahir kembali seperti orang S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika...,hlm. 25. 4 Enlightenmentmerupakan periode pemikiran Eropa yang dicirikan oleh penekanan terhadap pengalaman dan rasio, tidak mempercayai agama dan otoritas tradisional, dan terjadi kemunculan bertahap ideal-ideal tentang masyarakat yang liberal, sekuler dan demokratis. Di Inggris, gerakan ini dimulai pada abad ke-17 lewat tulisan tulisan Francis Bacon dan Hobbes. Sedangkan di Perancis lebih pada penekanan baru terhadap rasio dan di tandai oleh Descrates. Sedangkan di Jerman ditandai dengan filsafat kritis Kant. Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 280. 3
4
|
Komunitas
yang sedang berulang tahun. Orangorang sebelum terjadinya pencerahan belum memiliki sikap kritis dan rasionya belum digunakan. Sehingga ketika terjadinya pencerahan mereka baru sadar bahwa banyaknya kesalahan yang terjadi terhadap rasionya. Kesalah itu terletak pada ke engganan memanfaatkan rasionya, karena lebih berpusat pada otoritas di luar dirinya-seperti wahyu ilahi, nasihat orang yang terkenal, ajaranajaran Gereja atau negara. Begitu besarnya otoritas gereja pada saat itu sehingga memicu adanya gerakangerakan. Maka di saat itu pula terjadilah perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesatnya. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu disebut dalam bahasa Jerman dengan aufklarung dan yang mem pengaruhi pola pemikiran Immanuel Kant. Sehingga wajar Kant adalah filsuf yang sangat berpengaruh serta termasyhur di abad pertengahan. Perkembangan pola pemikiran pada zaman pencerahan ini tidak hanya berkembang di Jerman saja, akan tetapi pencerahan ini berkembang juga di Inggris lalu di daratan Eropa, kemudian di Prancis berjalan dengan amat radikal, sehingga memberi jalan bagi revolusi Prancis pada tanggal 14 juli 1789. Pada masa pencerahan di Jerman, muncul gerakan keagamaan Lutheranisme abad ke-18. Gerakan yang dimaksudkan adalah Pietisme yang dipelopori Spener (1635-1705)
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
dan France (1663-1727), muncul reaksi atas teologicial akademik yang sangat rasional dan Gereja Institusional yang kaku. Pietisme amat menekankan kesalehan hidup, sikap batin yang baik dan moralitas keras. Mulai saat itu, Kant tidak suka beribadah di gereja, dan menganggap doadoa tidak perlu sebab Tuhan sudah mengetahui setiap kebutuhan dan isi hati manusia, baginya doa bisa mendatangkan penghinaan terhadap diri sendiri. Selanjutnya dengan adanya Allah free will dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai postulat/ dalil-dalil dari akal budi praktis: ide yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral. Pemikiran Kant juga sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Hume. Keduanya mewakili pemikiran filosofis kuat di masa pencerahan. Leibniz sebagai tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme.5 C. Konsep Etika Immanuel Kant 1. Etika Immanuel Kant dan Negara Demokrasi Etika Kant dalam negara de mokrasi di sini terkait apabila dalam suatu masyarakat sudah tidak menghiraukan lagi aturan, hukum serta norma-norma sosial dalam hidup bermasyarakat. Maka etika Kant dalam konteks ini masuk untuk mengkritisi negara yang mengusung demokrasi
yang hanya mengatasnamakan rakyat, demi rakyat dan aspirasi rakyat, akan tetapi itu semua hanya omong kosong. Oleh karena itu, etika Kant di sini masuk untuk mengkritisi semua yang mengatasnamakan rakayat, karena ajaran Kant tentang Etika terdiri dari prinsip akal budi praktis yang murni. Prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap baik hanya bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni baik untuk kehendak setiap makhluk yang rasional, karena akal dalam konteks ini berfungsi sebagai verifikator.6 Etika dalam pandangan Kant yakni sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang. Betapa murni etika yang diajarkan oleh Kant kepada kita semua. Apabila menarik etika yang diajarkan oleh Kant di atas dengan konteks demokrasi masih relevan, karena bagaimana kita harus berbuat kepada seseorang tanpa ada tujuan tertentu dan memang itu baik untuk dilakukan. Seperti contoh: seorang 6
5
Ibid., 732.
29.
Immanuel Kant, Critique of Pure...,hlm.
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
5
pejabat negara secara tidak sadar dan secara spontan menolong anak jalanan yang sedang kelaparan karena seharian belum makan. Etika yang seperti ini yang telah diajarkan oleh Kant yakni etika kewajiban menolong orang tanpa ada tujuan tertentu, yang penting orang itu selamat. Ajaran etika Kant yang harus kita resapi juga yakni tidak ada konsep bahwa manusia menjadi sarana bagi kepentingan orang lain. Akan tetapi, pada konteks negara demokrasi7 saat ini keuniversalan etika serta keabsolutan etika jarang kita jumpai, karena penulis beranggapan di negara demokrasi Indonesia masih menganut kebenaran relative, seperti yang diusung oleh kaum relativis, sehingga mengakibatkan konflik kepentingan pribadi dan orang saling sikut satu sama lain dan melakukan tindakan-tindakan amoral dan bahkan membuat orang lain menjadi sarana, serta budak demi kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, para kaum relativis beranggapan berikut: There is no permanent or universal standard by which right and truth in regard to these metters can be Demokrasi yang dimaksud disini adalah pemerintahan dipegang oleh rakyat secara lansung, demokrasi dalampemikiran Yunani kuno yang lahir di Athena merupakan pemerintahan oleh warga langsung. Dalam masyarakat modern kedaulatan di tangan rakyat secara umum baik laki-laki maupun perempuan yang di ekspresikan secara lansung lewat pemilu dengan syarat-syarat tertentu. Lihat Simon Blackburn, Kamus..., hlm. 226. 7
6
|
Komunitas
established and different folkways compared and criticized.8
Apabila kita tidak mengakui kebenaran itu secara umum dan mengatakan bahwa kebaikan itu relatif, maka yang akan terjadi banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terekam di media-media, pe merkosaan, pembunuhan, dan bahkan korupsi. Kenapa itu semua bisa terjadi, karena tidak adanya kontrol efektif dari para pengambil kebijakan sehingga mengakibatkan fenomena tersebut bisa terjadi. Untuk menjawab fenomena-fenomena tersebut, maka hendaknya meresapi apa yang telah diajarkan oleh etikus tersohor yakni Immnuel Kant. Kant beranggapan kekerasan, pemerkosaan, korupsi dan penyakit yang ada di masyarakat itu bisa terjadi karena jauh dari nilainilai etika kewajiban serta jauh dari moralitas yang menjadi aturan dalam hidup.9 Demokrasi yang menjadi ke banggaan negara pada saat ini se sungguhnya belumlah siap, dikarena kan hilangnya aplikasi moralitas yang mengakibatkannya belum siap. Lihat saja, bagaimana maraknya para pejabat yang gila kehormatan saling adu satu sama lain untuk mendapatkan sebuah Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories..., hlm. 48. 9 Penyampaian Kuliah “Filsafat Etika dan Moral”pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 27 Oktober 2014, oleh. Dr. Haryatmoko, M. A. 8
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
kekuasaan, alih-alih mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Secara tidak lansung masyarakat hanya di buat menjadi kambing hitam oleh para pejabat, dan masyarakat juga, hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengamankan posisi mereka. Bagi Kant, hal tersebut tidak bermoral, karena selalu menggunakan orang lain untuk menjadi sarana kepentingan pribadi. Oleh karena itu, Kant membangun konsep etikanya dalam bingkai law and order, sebagai jalan praksisnya, yakni suatu kebaikan itu harus berdasarkan aturan-aturan serta norma-norma sosial, karena dalam kancah kehidupan bermasyarakat yang beradab hanya akan terjadi apabila manusia itu memenuhi aturan-aturan Tuhan, alam, negara serta aturanaturan yang lain.10 Pada saat ini, Indonesia akan selalu dihadapkan pada pesta-pesta besar kerakyatan seperti pemilihan presiden, kepala daerah dan pemilihan yang lain, akan tetapi, bagaimanakah nasib masyarakat kedepan apabila para pejabat setelah mendapatkan suara serta aspirasi dari rakyat, apakah akan tetap loyal untuk rakyat ataukah berpaling setelah mereka mendapatkan posisi yang tertinggi. Ataukah masyarakat hanya akan menjadi korban serta batu loncatan dan sekedar menjadi sarana kepentingan mereka, tanpa memikirkan visi-misi yang telah I Bambang Sugiharto, Wajah Baru Etika dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 34.
mereka usung atas nama rakyat. Dalam pandangan Kant, hal tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral, karena selalu mengatasnamakan rakyat dan menggunakan rakyat menjadi sarana kepentingan pribadi. Untuk menjawab itu semua, hendaknya kita harus kembali pada nilai-nilai etika yang diajarkan oleh Kant, yakni sebuah etika kewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik, tanpa ada sebuah tujuan tertentu, karena sebuah perbuatan baik yang dilakukan seseorang tanpa tujuan tertentu dan memang kebaikan itu dilakukan secara spontanitas itulah yang disebut oleh Kant sebagai konsep“deontologi”. Namun pada saat yang sama, hanya sedikit dari kita yang sadar bahwa etika deontologi sangat penting sebagai senjata untuk menghadapi tantangan global agar dunia ini penuh dengan kedamaian dan ketentraman, sehingga tidak ada lagi orang yang saling sikut sesama saudara, membunuh satu sama lain atas nama agama, ras, suku dan bahkan kepercayaan.11 Kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik akan menjadi dasar bagi tindakan moral dan tindakan yang baik juga harus dilakukan tanpa terkecuali sebagai pijakan moral. Kadang-kadang kita beranggapan bahwa kesehatan, prestasi, kekayaan, maupun keberhasilan merupakan
10
James Rachels, The Elements of Moral..., hlm. 230. 11
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
7
tindakan baik, akan tetapi bagi Kant hal ini hanya bersifat sementara saja, hanya baik secara terbatas, sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada. Dalam penilaian Kant, sesuatu yang dikatakan baik apabila perbuatan itu memang baik tanpa ada sebuah pencapaian tujuan tertentu. Perbuatan yang baik dan bermoral yakni apabila seseorang melakukan sesuatu yang baik memang sebuah keharusandan itu dilakukan berdasarkan spontanitas (imperatif kategoris). Dalam The Metaphysics of Moral (Metafisika Moralitas), Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai ke sesuaian atau ketidaksesuaian. Kese suaian atau ketidaksesuaian yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek penilaian. Nilainilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas. Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum ba tiniah manusia. Kant melihat moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebaikan dalam arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara.
8
|
Komunitas
Akan tetapi kebaikan yang tertinggi itu akan menciptkan kebahagiaan.12 Untuk mencapai kebahagiaan yang sejati tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan, akan tetapi memerlukan pembiasaan untuk me lakukan hal yang baik. Untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, filsuf tersohor Aristoteles pernah mengatakan tentang kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati baginya adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia dalam hidupnya, tidak akan ada lagi yang akan dicari lagi oleh manusia selain kebahagiaan. Akan tetapi, selama itu belum dicapai oleh manusia maka manusia tidak akan pernah merasa puas dan akan tetap mencarinya, karena yang dicari oleh manusia itu sebenarnya adalah kebahagiaan, kalau orang sudah bahagia maka tidak akan ada lagi yang dicari selebihnya. Dan sebaliknya, selama ia belum bahagia, apapun yang diperoleh tidak akan membuatnya merasa puas. Kebahagiaan menurut Aristoteles apa-apa yang dicari oleh seseorang. Etika kebahagian ini disebut oleh Aristoteles dengan etika “eudaimonia”13 yang berarti “bahagia”. 12
46.
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm.
Eudaimonia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kebahagiaan, rasa kesejahteraan, keberhasilan, etika eudaimonia ini adalah tujuan sentral semua sistem etika kuno. Menurut Aristoteles ini adalah hal yang paling baik termulia dan paling menyenangkan di dunia. Eudaimonia ini diartikan sebagai etika atau konsep kebahagian atau rasa kesejahteraan. Namun kata ini memiliki konotasi yang sama dengan keberhasilan 13
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
Jadi bagaimana manusia harus hidup, Aristoteles menjawab bahwa manusia harus meletakkan kehidupannya sedemikian rupa sehingga ia menjadi semakin bahagia. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, jadi aturan-aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Jadi betapa pentingnya untuk menanamkan nilainilai moral dalam aspek kehidupan guna mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dan kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan kebahagiaan, tujuan moralitas adalah mengantarkan manusia ke tujuan akhirnya yakni kebahagiaan.14 Oleh karena itu, hendaknya kita selalu mempertimbangkan apa-apa yang hendak dilakukan dan pentingnya pertimbangan secara rasioanal sebagai dasar moralitas, karena moralitas adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya menjadi orang baik.15 Dalam konteks etika, penulis mencoba menarik pendapat Paul Recoeur dalam Kaplan, dimana Recoeur memberikan tiga tesis dalam kaitannya dengan etika dan moralitas. karena sebagai tambahan untuk menjalani hidup dengan baik, ia juga harus mengandung tindakan yang baik. Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 295. 14 Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 3-4. 15 Ibid., hlm. 9.
Dimana etika merujuk pada tujuan teologis menjalani kehidupan yang baik, yang merupakan karakteristik dari tradisi Aristotelian, sementara moralitas merujuk pada kewajiban untuk menghormati norma-norma universal yang merupakan karakteristik dari tradisi deontological ethics16 yang dianut oleh kantian: (1) keutamaan etika di atas moralitas, (2) keniscayaan bahwa tujuan etika harus di mediasi oleh norma moral, (3) moralitas jalan lain harus memasukkan etika untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan apriori. Etika mencakup moralitas, tetapi sementara ia merupakan sub ordinat etika, moralitas merupakan sebuah momen yang penting dan deontologis berkaitan dengan aktualisasai etika.17 Diantara tradisi Kantian dan Aristoteles. Recoeur mengusulkan untuk menegakkan “suatu hubungan yang meliputi subordinasi dan komplementaritas sekaligus”, yang pada ahirnya akan diperkuat oleh jalan lain terahir moralitas menuju etika. Jalan lain terahir menuju etika yang diperkaya oleh moralitas adalah Deontological Ethics (Etika Deontologis) merupakan etika yang berdasarkan konsep tentang kewajiban, atau apa yang benar, hakhak, lawan dari sistem etika yang berdasarkan ide dasar meraih sejumlah kondisi hubungan baik atau kualitas-kualitas karakter yang dibutuhkan untuk hidup dengan baik. Sistem deontologis ini disuarkaan oleh Kant. Lihat Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 230. 17 David M. Kaplan, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010), hlm. 154. 16
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
9
bentuk kearifan praktis yang diarahkan menuju aplikasi yang tepat atas normanorma universal dalam pelbagai situasi partikular. Kearifan praktis merupakan seni mediasi syarat partikular dari tujuan etis dan syarat universal dari norma moral yang diarahkan untuk bertindak secara tepat dan adil dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama orang lain dalam sebuah masyarakat yang baik dan adil. Keterkaitan antara moral dan etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika mencari tahu hukum tindakan atau prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia dan moralitas menjadi suatu kesesuaian tindakan manusia dengan norma batiniah. Etika dan moral mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya sematamata.18 Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni. Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara moral, kita juga terbatas— kita sering di dorong oleh nafsu dan keinginan hewani dari pada di dorong S.P. Lili. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius 2004), hlm. 287. 18
10
|
Komunitas
oleh pertimbangan moral. Namun demikian, dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa yang benar. Ada caracara dimana kita dapat mengerjakan apa yang menjadi tugas kita, melalui prinsip-prinsip penguniversalan di mana kita merencanakan untuk ber tindak dan mempertimbangkan im plikasi dari prinsip-prinsip tersebut untuk menjadi hukum universal yang disebut “categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris.19 Namun demikian, untuk ber tindak secara moral bukan sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi kebenaran, bukan melakukan itu demi hal itu cocok dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan padanya adalah bukan tindakan moral, yang bisa di sebut tindakan moral adalah memberi uang pada pengemis dikarenakan amal baik dan bisa di universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang dan membuat kita secara khusus layak di hormati.20 Mungkin, implikasi paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari analisisnya tentang kapasitas moral kita untuk 19
155.
David M. Kaplan, Recoeur’s Critical...,hlm
Awaludinblogspot.com Maret 2013. 20
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
diakses
23
mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana tujuan-tujuan tertentu. Prinsip ini menjadi salah satu inspirasi bagi ide Hak Asasi Manusia secara universal yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi acuan yang sangat penting bagi teori selanjutnya dan bagi etika internasional kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi tolok ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda. Dalam hal hukum moralitas yang universal yang diperdebatkan seperti dikutip berikut ini: According to Kant deontology, the ultimate principle of morality must be a moral law conceived so abstractly that it is capable of guiding us to the right action in application to every possible set of circumstances. So the only relevant feature of the moral law is its generality, the fact that it has the formal property of universalizability, by virtue of which it can be applied at all times to every moral agent. From this chain of reasoning about
our ordinary moral concepts, Kant derived as a preliminary statement of moral obligation the notion that right actions are those that practical reason would will as universal law.21
Berdasarkan deontoliginya Kant, dia mengatakan moralitas harus dijadikan sebagai kewajiban, prinsip dan juga sebagai hukum. Dalam konsepsi moralitas yang abstrak itu sesungguhnya mampu membimbing kita kepada tindakan yang tepat dalam keadaan apapun. Jadi satu-satunya bagian yang sesuai dari hukum moral itu adalah keumumannya, faktanya moral memiliki sifat formal dari keuniversalannya yang dapat diterapkan pada setiap saat bagi pelaku moral. Dari keseluruhan nalar kita tentang konsep moral, Kant memberikan pernyataan tentang kewajiban moral itu sendiri. Kewajiban moral dalam gagasan Kant adalah setiap tindakan tepat yang dilakukan secara praktis atas kemauan tanpa tujuan tertentu, itulah yang disebut dengan hukum universal. Meskipun hukum keuniversalan tentang moralitas dipermasalahkan akan tetapi paling tidak berfungsi secara praktis seperti dikutip berikut: Reason is transcendent for theoretical philosophy, that is, it is a concept such that no instance corresponding to it can be given in any possible http://www.philosophypages.com/ hy/5i.htm. 21
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
11
experience, and of an object of which we cannot obtain any theoretical knowledge: The concept of freedom cannot hold as a constitutive but solely as a regulative and, indeed, merely negative principle of speculative reason. But in reason’s practical use the concept of freedom proves its reality by practical principles, which are laws of a causality of pure reason for determining choice independently of any empirical conditions (of sensibility generally) and prove a pure will in us, in which moral concepts and laws have their source. On this concept of freedom, which is positive (from a practical point of view), are based unconditional practical laws, which are called moral. For us, whose choice is sensibly affected and so does not of itself.22
Terjemahan bebasnya: Alasan transenden dalam filsafat teoritis adalah tentang sebuah konsep pengalaman dan mungkin tidak ada contoh yang sesuai dengan itu. Dimana konsep pengalaman dari obyek yang kita tidak dapat memperolehnya dalam pengetahuan secara teoritis: Konsep kebebasan tidak hanya semata-mata sebagai konstitutif akan tetapi sebagai alasan yang regulatif dan memang itu hanya alasan prinsip yang negatif bukan alasan spekulatif. Akan tetapi, alasan penggunaan konsep kebebasan secara praktis ini membuktikan realitasnya pada prinsip-prinsip yang
praktis, dimana semua itu adalah hukum kausalitas atau alasan secara alami dalam menentukan pilihan secara independen dari kondisi-kondisi empiris atau kepekaan umum yang membuktikan kemauan secara alami dalam diri kita, dimana konsep moral dan hukum itu sesungguhnya memiliki sumber tersendiri. Pada konsep kebebasan yang positif ini, sebenarnya harus dilihat dari sudut pandang dan harus didasarkan pada hukum yang praktis tanpa syarat apapun dan itulah yang disebut dengan moral. Jadi pada dasarnya sebuah pilihan yang bijaksana itu tidak terkontaminasi oleh keinginan atau tujuan apapun, akan tetapi berjalan dengan alasan yang murni atau berjalan dengan sendirinya. 2. Perbedaan Antara Imperatif Hipotetis dan Imperatif Kate goris Dalam konteks ini penulis ingin mencoba menjabarkan apa yang menjadi permasalahan dalam moralitas dan apa yang harus kita lakukan. Dalam permasalahan moral, kadang-kadang kita agak sulit membedakan antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan perbedaan diantara keduanya sebagai landasan kita dalam hidup berdemokrasi.
Immanuel Kant, The Metaphysics of Moral, (United States of America: Cambridge University Press, 1991), hlm. 48. 22
12
|
Komunitas
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
1. Imperatif Hipotetis Imperatif Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Prinsip-prinsip dari imperatif-hipotetis hanya menyaratkan adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai saja sehingga melakukan hal yang baik. Contohnya: jika para pejabat ingin menduduki posisi tertinggi, maka harus berani blusukan dan menyuarakan kepentingankepentingan rakyat. Perintah dalam imperatif hipotetis memang memberikan suatu perbuatan yang baik dalam arti tertentu seperti “menduduki posisi tertinggi” sebab ada syarat untuk meraih suatu tujuan.23 Imperatif memberitahu kita pada tindakan-tindakan yang baik, dan di lain pihak imperatif yang sama juga merumuskan suatu kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan adanya imperatif, kita bisa tahu tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam arti tertentu, yang perlu diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil tindakan tersebut atau bahkan kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut. Imperatif hipotetis hanya menyatakan bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu tujuan yang mungkin diinginkan, dalam arti kita melakukan hal yang baik karena ada tujuan tertentu saja untuk kepentingan kita. 23
289.
S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan …, hlm.
a) Imperatif hipotetis problema tis Kadang-kadang imperatif hipo tetis bersifat problematik jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan. Sedangkan imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila tujuan yang hendak dicapai adalah jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu yang dapat dicapai oleh usaha manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa saja dikehendaki oleh dirinya sendiri. Sebagai akibat dari semuanya itu, adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak terhingga tetapi sejauh tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak perlu untuk meraih tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan alam dan sering disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada permasalahan mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa banyaknya tujuan yang diinginkan oleh kebanyakan orang dan banyaknya sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama lain. Kant berpendapat, bahwa apabila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik. Sebagai gambaran secara umum, mungkin kita semua masih ingat ketika masih anak-anak dulu, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
13
kedepannya. Akan tetapi orangtualah yang membantu membekali kita dengan kemampuan menggunakan sarana-sarana yang ada demi meraih sesuatu yang kita inginkan. Tetapi sebenarnya mereka juga tidak tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam hidup anaknya kelak. Orangtua mendidik anak-anaknya dengan berpikir selama apa yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin anak mereka inginkan. Maka orangtua perlu memberikan kecakapan-kecakapan dalam me makai berbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling bertentangan satu sama lain. Ada satu tujuan berbeda yang mungkin dinginkan, dan pada kenyataannya sudah tentu dingin kan oleh setiap orang. Tujuan yang diinginkan tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut Kant adalah terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap di bidang empiris seperti: kekayaan, kehormatan, ke kuasaan, kesejahteraan, kesehatan, dll. Kebahagiaan sebagai tujuan, menurut Kant tidak hanya sesuatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga dapat dipastikan sebagai suatu
yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan kodratnya.24 b) Imperatif hipotetis asertoris Imperatif hipotetis asertoris merupakan sebuah tindakan yang menegaskan keharusan praktis suatu tindakan sebagai sarana untuk meng gapai suatu tujuan. Imperatif hipotetis asertoris memerintahkan orang untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya, misalnya: “kebahagiaan” imperatif tersebut akan mengatakan, setiap orang memang menghendaki kebahagiaan karena keharusan kodrat, sehingga kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk dapat mencapainya. Sudah barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk dapat mewujudkannya, contohnya: Apabila kita ingin sukses dalam hidup maka berusahalah dengan sungguh-sunguh dan jangan mudah menyerah apabila menghadapi permasalahan. Jadi kebahagiaan bukanlah suatu tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan dengan sesuka hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang kesukaannya. Karena dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang diperintahkan secara spontan, mungkin kita bisa melakukannya, akan tetapi kenyataanya setiap orang menghendaki kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menekankan bah 24
14
|
Komunitas
Ibid.
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
wa semua orang memang benarbenar menghendaki yang namanya kebahagiaan dan pastinya kita wajib melakukan tindakan tertentu guna mencapai semuanya itu. Imperatif hipotetis asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk mencapai apa yang diinginkan, melainkan juga saranasarana untuk mencapai tujuan yang dapat kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat dipastikan ada pada diri setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya, kemampuan orang untuk memilih sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini dinamai oleh Kant sebagai wisdom (kebijaksanaan).25 Jadi sebuah perintah yang ber hubungan dengan pemilihan saranasarana untuk mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif hipotetis asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara mutlak, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut. Hingga pada akhirnya, menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu tindakan dilakukan begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan imperatif ini bersifat kategoris.
2. Imperatif Kategoris Manusia dalam dinamika hidupnya sebenarnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri dan eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam konteks ini, Kant beranggapan imperatif kategoris mengikat para pelaku rasional, semata-mata karena mereka makhluk rasional dengan kata lain seseorang yang tidak menerima prinsip ini dinyatakan bersalah bukan hanya tidak bermoral melainkan karena irrasioanal. Hal ini mencengangkan kita bahwa ada dorongan baik secara rasional maupun moral atas apa yang boleh dipercayai dan dilakukan oleh orang yang baik. Gagasan pokok imperatif kategoris adalah suatu keputusan moral harus didukung oleh alasan-alasan yang baik jikalau benar bahwa kita harus atau tidak boleh melakukan sesuatu tindakan, maka harus ada alasan mengapa kita harus melakukan atau tidak boleh melakukan itu. Misalnya; kita berpikir bahwa kita tidak boleh membakar hutan karena hal itu akan merusak harta orang dan orang-oang akan terbunuh.26 Jebakan Kant terletak pada kenyataan, “jikalau kita bisa mengartikan hal-hal itu sebagai alasan untuk satu kasus, kita juga harus James Rachels, The Elements of Moral..., hlm. 231. 26
25
Ibid.
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
15
menerimanya sebagai alasan-alasan dalam kasus lain”. Jikalau ada kasus lain dimana harta rusak, orang-orang tebunuh, apakah kita harus menerima hal itu sebagai alsan untuk tindakan dalam kasus itu juga. Tidak baik mengatakan bahwa kita menerima alasan-alasan itu pada suatu saat, tetapi tidak untuk seterusnya; atau orang lain harus menghormatinya serta menerimanya tetapi kita tidak harus. Alasan moralnya jika benar karena mengikat semua orang pada setiap waktu. Inilah tuntutan untuk konsistensi, dan Kant benar ketika beranggapan bahwa tak ada seorangpun yang rasional dapat menyangkalnya.27 Dalam imperatif kategoris ini ada kewajiban yang menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka kewajiban itu tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah, lebih jauh lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif. Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah secara moral/ maksim. Ada dua segi yang perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah, dan kedua, bahwa perintah itu kategoris.28 Ibid., hlm. 232. 28 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke19(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 145 27
16
|
Komunitas
Dalam konteks negara demokrasi, sesungguhnya para pejabat harus memperhatikan apa yang disebut dengan Imperatif kategoris oleh Kant agar lebih bermoral. Bukan hanya sekedar mengusung nama rakyat, aspirasi rakyat untuk kepentingan pribadi semata, sehingga rakyat hanya sebagai sarana serta kambing hitam dalam mencapai tujuan saja. Akan tetapi, kita harus memperhatikan imperatif kategoris sebagai landasan dalam bertindak karena imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun. Bertindak secara moral, dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim)29 yang dapat Maxim adalah perintah subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakantindakan yang konkret. Maksim bukan segala macam pertimbangan. Maksim adalah sikapsikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika..., hlm. 147. Maxim umumnya aturan atau panduan sederhana dan mudah diingat untuk menjalani hidup: seperti contoh: mustahil pengutang bisa memberi pinjaman. Sedangkan Tennyson membicarakan tentang maksim yakni sekumpulan maksim yang dikhotbahkan langsung ke hati anak perempuan sehingga 29
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum”. Maksim itu menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.30 D. Kesimpulan Dari ulasan etika di atas, penulis mencoba menarik kesimpulan dari intisari ajaran etika Immanuel Kant. Ajaran Kant tentang etika terdiri dari etika yang murni. Dalam prinsip akal budi praktis yang murni terdiri dari prinsip-prinsip praktis—dalam arti proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan secara maksim diasosiakan dengan pendekatan pepatah bagi moralitas. Dalam penggunaan Kant setiap tindakan muncul sesuai dengan maksim atau prinsip subjektif yang bersesuaian sehingga tindakan itu-pun dilakukan. Bentuk pertamanya adalah imperatif kategoris yang menegaskan bahwa kita hanya bisa memberi tahu apakah sebuah tindakan sudah benar dengan melihat apakah maksimnya dapat diniatkan secara konsisten untuk menjadi hukum universal. Sedangkan dalam Maximin Principle (prinsip maksim) yang kemukakan oleh John Rawls mengatakan prinsip maksim adalah teori keputusan yang menyatakan bahwa minimal dalam sejumlah situasi keputusan yang benar adalah yang sanggup memaksimalkan hasil minimum dari situlah istilah ini berasal, maksimalisasi yang minimum yaitu mebuat hasil yang terburuk menjadi sebaik mungkin, pendapat ini sering di deskripsikan sebagai pembalikan resiko. Prinsip ini merupakan komponen kunci dalam karya John Rawls yang sangat berpengaruh yakni A Thery of Justice. Simon Blacburn, Kamus..., hlm. 541-532. 30 Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai ..., 146.
praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksimmaksim, jika kondisi ini dianggap oleh subjek sebagai suatu yang benar hanya bagi kehendaknya sendiri, akan tetapi prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk yang rasional. Ajaran Kant tentang etika juga terdapat pembagian yakni. Pertama, bagi Kant etika menjadi kewajiban mendasar dalam tindakan moral dan moralitas. Dan terlebih lagi dalam konteks negara demokrasi harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai moralitas, karena etika merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat kita melakukan hal baik karena secara spontanitas. Mungkin selama ini kita sering menonton fenomena serta aplikasi demokrasi di negara ini, dimana demokrasi itu lebih cenderung kepada imperatif hipotetis, yakni bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
17
hendak dicapai tanpa memperhatikan nilai moral yang terkandung di dalamnya. Dan cenderung bertindak hanya mementingkan urusan pribadi semata dan bahkan kita selalu membuat orang lain menjadi sarana demi kepentingan kita. Dalam konteks negara demokrasi, masyarakat sebagai korban dan sarana semata, dan bertindak hanya demi kepentingan pribadi serta memanfaatkan orang lain menjadi sarana kepentingan kita. Maka dari itu, hendaknya kita selalu memperhatikan nilai-nilai moral serta etika kewajiban deontologi sebelum bertindak, dan untuk menjawab itu semua Immanuel Kant telah merekomendasikan kepada kita mengenai kewajiban-kewajiban dan menyeru kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban mutlak.
http://www.philosophypages.com/ hy/5i.htm.
DAFTAR PUSTAKA 23
--------, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Barcalow, Emmet, Moral Philosophy Theories And Issues, United States of America: Wadsworth Publishing Company, 1998.
Tjahjadi, Lili,S.P., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan I m p e r a t i f Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Awaludinblogspot.com Maret 2013.
diakses
Blacburn, Simon, Kamus Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
18
|
Komunitas
Kant, Immanuel, The Metaphysics of Moral, United States Of America: Cambridge University Press, 1991. --------, Critique of Pure Reason, The Liberal Arts Press New York, 1956. Kaplan, M., David, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010. Rachels James,The Elements of Moral Phylosophy, terj. A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius, 2004. Suharyo, I.,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Suseno, Magnis, Franz, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
--------, Petualangan Intelektual, Yogyakarta, Kanisius 2004.
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam