REVOLUSI KOPERNIKAN ALA IMMANUEL KANT
Moh. Tamtowi Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Jl. T. Nyak Arief No. 128, Kompleks Asrama Haji Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT The history of western philosophy is coloured by a long debate between rationalism and empiricism. Immanuel Kant then came to synthesise the very contradictive thought. Kant tried to establish a philosophical system to overcome extremities of both rationalism and empiricism. The effort was to differentiate knowledge produced by rationalism from empiricism. Experience, which is the source of knowledge from empiricism perspective, produces a new knowledge (synthesis), but it is not in general knowledge. While ratio is capable of building a general knowledge (analytic), but it is unable to produce a new one. This is how the idea of “synthesis a priori” comes to emerge. This kind of thought is known as transcendental philosophy. Kata Kunci: a priori, a posteriori, sintesis a priori, filsafat transendental Pendahuluan Sejarah filsafat merupakan sejarah pertarungan antara akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi untuk mengendalikan jalan hidup manusia. Kadangkadang akal memenangkan pertarungan dan kadang sebaliknya. Dominasi salah satunya saja akan membahayakan kehidupan manusia. Yang ideal adalah terwujudnya keseimbangan dan keserasian antara kedua unsur penting tersebut dalam menuntut kehidupan umat manusia. Dunia pemikiran sangat mempengaruhi roda kehidupan manusia. Ketika sebuah pemikiran diterima secara umum, maka ia akan menjadi aliran yang dominan. Rasionalisme pernah mendominasi aliran pemikiran filsafat. Demikian pula empirisisme. Keduanya memposisikan diri secara ekstrim terhadap yang lainnya. Rasionalisme mendewakan akal, sedangkan empirisisme memfokuskan pada pengalaman. Keduanya sangat ketat memegangi metode masing-masing sehingga terjadi pergulatan panjang dalam sejarah pemikiran kefilsafatan. Pertentangan seperti ini selalu mewarnai dinamika pemikiran manusia. Namun demikian, selalu hadir tokoh besar dengan ide brillian dan cemerlang untuk membangun sintesa atas dikotomi pemikiran yang saling bertentangan. Di tengah dahsyatnya pergulatan antara rasionalisme dan empirisime, hadirlah Immanuel Kant yang berjuang melakukan sintesa atas dua aliran pemikiran besar dunia tersebut. pada posisi sintesis inilah pemikiran Kant mendapatkan tempat yang terhormat dalam sejarah dinamika pemikiran filsafat di Barat. Menurut Kant, adalah sikap yang salah mempertentangkan secara ekstrim kedua aliran pemikiran tersebut. Demikian pula memilih salah satunya dan meninggalkan yang lainnya
54
Moh. Tamtowi: Revolusi Kopernikan Ala Immanuel Kant
juga merupakan kekeliruan.1 Sintesa Kant inilah yang akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Immanuel Kant: Setting Kehidupan dan Pergumulan Filsafat Pada Masanya Immanuel Kant adalah penerus zaman pencerahan. Filsafatnya mengantarkan pada suatu gagasan baru yang memberi arah kepada pemikiran filsafat sesudahnya. Latar belakang kehidupan Kant tidaklah terlalu istimewa. Tidak ada hal khusus yang menyebabkan ia menonjol di masyarakat. Ia dilahirkan pada 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur (wilayah Rusia). Pendidikan menengahnya diselesaikan di kampung halamannya. Pada usia 16 tahun, Kant memasuki Universitas Konigsberg dan setelah tamat bekerja sebagai dosen privat. Pada tahun 1755 ia kembali ke Universitas Konigsberg untuk menjadi dosen dan setelah lima belas tahun bekerja sebagai dosen ia diangkat menjadi profesor.2 Secara fisik, kondisi tubuhnya sangat lemah dan sering sakit-sakitan, tetapi ia hidup sampai usia delapan puluh tahun. Badannya kecil, tetapi ia pemikir raksasa. Kant meninggal pada tanggal 12 Februari 1804 di Konigsberg.3 Secara periodik, pemikiran Kant dapat dipetakan menjadi empat tahap. Pertama, ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz dan Wolf sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut dengan periode rasionalistik. Istilah a priori dan a posteriori diadopsi dari dua gurunya tersebut. Kedua, berlangsung antara tahun 1760 sampai 1770 yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini lazim disebut dengan periode empiristik. Pada periode ini, pengaruh David Hume sangat dominan. Dream of a Spirit Seer ditulis Kant pada periode ini. Ketiga, adalah periode kritik. Pada tahap inilah lahir karya-karya antara lain; The Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to Any Future Metaphysics (1783), Fondation of The Metaphysics of Ethic (1785), Metaphysical Fondation of natural Science (1786), Critique of Practical Reason (1788) dan Critique of Judgment (1790). Periode Keempat berlangsung antara tahun 1790-1804 di mana Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Periode ini ditandai dengan lahirnya Religion within The Limit of Pure Reason (1794 dan sebuah kumpulan esai yang berjudul Eternal Peace.4 . Gagasan-gagasan Kant terinspirasi oleh pertentangan antara pemikiran metafisik Jerman yang dikembangkan oleh Wolf dan empirisisme Inggris yang bermuara pada Hume. Bentrokan ini memaksa Kant untuk memikirkan unsurunsur pemikiran manusia yang bersumber pada pengalaman dan mana saja yang bersumber pada rasio. Semula Kant dipengaruhi oleh pemikiran rasionalisme Leibniz dan Wolf. Kemudian ia mengagumi empirisime Hume. Ia mengakui bahwa Hume lah yang membangunkannya dari dogmatisme.5 Dari sinilah ia 1
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy, (London & New York: Second Edition, 1985), hal. 133. 2 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hal. 57. 3 Frederick Copleston, SJ., A History of Philosophy, Vol. VI (New Jersey: Paulist Press, 1960), hal. 183. 4 Ibid., hal. 58-59. 5 Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya pada pengertianpengertian yang sudah ada tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakikatnya. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran agama dan ilmu pengetahuan begitu saja tanpa mempertanyakan dan mempertanggung jawabkan secara kritis. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012
55
mengembangkan kritisisme. Menurut Kant, kritisime adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Bagi dogmatisme, rasio punya kewenangan untuk merambah kawasan metafisik. Spekulasi rasional terhadap kawasan ini menghasilkan doktrin metafisika dogmatik-spekulatif. Kant secara tegas menolak doktrin ini.6 Leibniz membangun filsafatnya berdasarkan pada pengertian substansi. Substansi adalah suatu “ada” yang dapat beraksi. Jadi, apa yang disebut Spinoza sebagai Allah, oleh Leibniz diterapkan pada benda tunggal. “Aku” mengenal dirinya sebagai suatu “ada” yang berdiri sendiri. “Ada” adalah suatu aktifitas, berfikir dan berkehendak. Sebagai “Ada” yang tunggal, ia dibedakan dari “ada” yang lain. Alam semesta terdiri dari substansi-substansi ini yang jumlahnya tidak terbilang. Substansi, oleh Leibniz, disebut dengan monade. Tiap monade bersifat tunggal dan tidak dapat dibagi. Ia adalah aktif dan kerjanya bersifat immanen. Kerja dalam dirinya itu terdiri dari mengamati dan menginginkan. Karya mengamati itu terdiri dari memantulkan alam semesta dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, barang siapa mengenal satu monade secara menyeluruh, maka ia telah mengetahui seluruh alam semesta. Hubungan antara satu monade dengan monade yang lain didasarkan pada sistem keselarasan. Keselarasan itu telah ditentukan sebelumnya oleh Allah.7 Ajaran Leibniz dikembangkan dan diperkenalkan lebih lanjut oleh Wolff. Hume menggunakan prinsip-prinsip empirisisme dengan cara yang paling radikal. Pengertian substansi dan kausalitas menjadi obyek utama sasaran kritiknya. Ia tidak menerima adanya substansi, sebab yang dialami itu hanyalah kesankesan beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya; putih, licin, ringan). Tetapi atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya; sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Kita menyangka bahwa di bawah keadan-keadaan kesadaran itu terdapat alas tetap, namun itu hanyalah suatu kepercayaan (belief) saja. Pengalaman tidak mengizinkan kesimpulan itu.8 Sama halnya dengan kausalitas. Jika suatu gejala tertentu selalu disusul dengan gejala lain, maka dengan sendirinya kita cenderung dengan pikiran bahwa gejala yang terakhir disebabkan oleh gejala yang pertama. Misalnya, batu yang disinari matahari menjadi panas. Kita menyimpulkan bahwa batu menjadi panas karena disinari oleh matahari. Kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman, tetapi hanyalah merupakan kepercayaan. Pengalaman hanyalah memberikan urutan gelaja-gejala dan tidak memperlihatkan ikatan sebab akibat.9 Konsekwensi pendirian Hume ini, ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu mencapai kepastian sebab keduanya mendasarkan diri pada prinsip kausalitas. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci untuk menyingkap tabir realitas pada diri sobyeknya, lepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisisme mengira bahwa pengalaman yang diperoleh dari obyek (alam) merupakan kunci 6
M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norm in Ghazali and Immanual Kant (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992), hal. 54. 7 Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, cet. XI, 1995), hal. 40-42. 8 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, cet. XV, 1998), hal. 52. 9 Ibid., hal. 53. Lihat pula, Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 100.
56
Moh. Tamtowi: Revolusi Kopernikan Ala Immanuel Kant
utamanya. Dari sinilah Immanuel Kant membangun sebuah sistem logika untuk membela ilmu pengetahuan dan filsafat. Model Logika Immanuel Kant Problem yang ingin dipecahkan oleh Kant adalah persoalan obyektifitas sebuah pengetahuan yang dihasilkan, baik oleh pengalaman melalui alat indera maupun yang dihasilkan oleh akal. Kant bermaksud merekonstruksi kembali sifat obyektifitas dunia dan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh dua aliran filsafat tersebut. Agar maksud ini dapat tercapai, Kant harus mampu menghindarkan diri dari sikap memihak terhadap rasionalisme dan empirisisme. Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti dalam ilmu pasti, seperti yang disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti-alam itu telah mengajarkan kepada kita untuk secara kritis meneliti terlebih dahulu tentang pengenalan. Penelitian tentang pengenalan ini memberitahukan kepada kita tentang nilai dan jangkauan pengenalan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi pengenalan yang tepat. Pengenalan bersandar pada putusan. Putusan menghubungkan dua pengertian yang terdiri dari subyek dan predikat. Misalnya, “meja itu mahal” atau “lingkaran itu bulat”. Putusan yang pertama (meja itu mahal), predikatnya (mahal) menambahkan sesuatu yang baru kepada subyeknya (meja). Dianggap menambahkan pengertian yang baru karena tidak semua meja itu mahal. Pengetahuan “mahal” didapat setelah melalui observasi atau adanya pengalaman terhadap meja-meja yang lain. Putusan seperti itu disebut dengan putusan sintesis dan diperoleh secara a posteriori. Pada putusan yang kedua (lingkaran itu bulat), predikat (bulat) tidak memberikan atau menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (lingkaran), sebab semua lingkaran adalah bulat. Putusan model ini disebut dengan putusan analitis dan diperoleh secara a priori.10 Menurut Kant, syarat-syarat bagi segala ilmu pengetahuan adalah; a) bersifat umum dan perlu mutlak, b) memberi pengetahuan yang baru. Empirisisme hanya mampu memberikan putusan-putusan sintesis, jadi tidak mungkin memberikan pengetahuan yang umum. Rasionalisme hanya mampu membentuk putusan-putusan yang analitis, jadi tidak mungkin menghasilkan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, dua-duanya tidak memenuhi syarat yang dituntut oleh ilmu pengetahuan. 11 Berangkat dari analisis inilah, Kant berusaha membahas kemungkinan ditemukannya suatu putusan yang sintesis sekaligus a priori atau lebih dikenal dengan putusan sintesis a priori. Maksudnya adalah putusan yang sintesis namun tidak tergantung pada pengalaman. Apa yang dapat menjadi penghubung bagi putusan sintesis yang sekaligus a priori itu? Filsafat yang menangani masalah ini adalah filsafat transendental. Pada dasarnya, Kant tidak memberikan sebuah sistem filsafat transendental, melainkan sekedar untuk- dalam bentuk kritik- menunjukkan adanya kemungkinan bagi sistem semacam itu.12 Atas dasar itulah Kant menyusun buku Kritik der Reinen Vernunft. Pertama-tama ia membagi pada transcendentale elementerlehre 10
Harun Kadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hal. 65. Ibid., hal. 65-66. 12 Bernard Delfgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, (Yogyakrta: Tiara Wacana, 1992), 11
hal. 122 Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012
57
dan transcendentale methodenlehre. Yang pertama membahas penyelidikan kritik pada unsur-unsur a priori pada pengetahuan kita. Sesuai dengan pemilahanpemilahan pengetahuan inderawi dan akali, maka elementerlehre dibagi dalam transcendentale aesthetik dan transcendentale logik. Transcendentale logik dibagi dua, yaitu transcendentale analytik dan transcendentale dialektik.13 Penginderan, menurut Kant, bersifat reseptif terhadap obyek, sedangkan akal bersifat konstruktif terhadap data-data inderawi dalam mengemukakan putusan. Hubungan langsung antara pengenalan dengan sasaran yang diamati disebut pengamatan. Yang diamati bukanlah substansi dari obyek, tetapi hanyalah representasi (fenomena, gejala-gejala) dari obyek tersebut, yang kita amati bukan “meja” dalam dirinya sendiri, melainkan gagasan kita tentang meja. Obyek yang ditangkap indera kita bentuk dalam sebuah fantasi menjadi suatu gambar tertentu yang dikuasai oleh kedua bentuk a priori yaitu ruang dan waktu. Untuk memperjelas pemahaman tentang putusan sintesis a priori, maka akan diambil satu contoh. Misalnya, “Saya melihat rumah”. Saya tidak dapat melihat rumah secara keseluruhan, tetapi saya menerima cerapan-cerapan inderawi yang bermacam-macam. Saya melihat pintu, jendela, tembok, pagar, genteng, atap dan lain-lain. Cerapan-cerapan itu belum merupakan sebuah sintesa. Lalu bekerjalah akal dengan gaya fantasinya untuk mengkonstruksi atau mengkoordinasi cerapan-cerapan tersebut menjadi sebuah gambar yang dikuasai oleh ruang dan waktu. Sekarang saya baru mendapatkan gambar rumah yang saya amati tadi. Gambar rumah inilah yang disebut dengan fenomena atau representasi. Gambar itu belum saya kenal sebelum saya pikirkan. Berpikir adalah menyusun putusan. Putusan terdiri dari subyek dan predikat. Saya dapat memutuskan; “rumah itu indah”. Putusan ini masih berkisar pada hal-hal yang empiris, sebab antara rumah dan indah adalah pengertian empiris. Kant lebih mengutamakan pengertian-pengertian transendental yang menurutnya tidak timbul dari pengamatan, tetapi telah ada pada kita sekalipun pengertian tersebut baru diaktualisasikan pada pengamatan inderawi. Cerapan-cerapan tersebut dipikirkan menurut salah satu pengertian a priori. Jadi, putusan saya adalah “rumah adalah substansi”. Pengertian a priori seperti ini oleh Kant disebut dengan kategori.14 Menurut Kant, ada empat kategori yang secara khusus bersifat asasi, yaitu kuantitas, kualitas, hubungan dan modalitas. Masing-masing mengandung tiga bentuk kategori. Kuantitas mengandung kategori kesatuan, kejamakan dan keutuhan. Kualitas mengandung kategori realitas, negasi dan pembatasan. Hubungan mengandung kategori substansi, kausalitas dan timbal balik (resiproritas). Modalitas mengandung kategori kemungkinan, peneguhan dan keperluan. Tiap-tiap deretan kategori terdiri dari tiga kategori, di mana yang pertama dan kedua saling bertentangan (misalnya kesatuan dan kejamakan) sedang yang ketiga (keutuhan) merupakan unsur yang lebih tingga dari dua unsur yang mendahuluinya. Dengan demikian ada dua belas kategori yang diajukan oleh Kant. Kategori terpenting adalah substansi dan kausalitas. Dengan kategori tersebut Kant berhasil menjawab skeptisisme Hume akan ketidakmungkinan pengetahuan kita mencapai kepastian. Kant sangat terpengaruh oleh akselerasi kemajuan ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton dengan landasan 13
Ibid., hal. 122-123. Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hal. 67-68.
14
58
Moh. Tamtowi: Revolusi Kopernikan Ala Immanuel Kant
matematis. Pengenalan pada tahap rasio dengan memfungsikan rasio untuk menarik kesimpulan dari putusan-putusan yang dibuat oleh akal. Rasio membuat argumentasi berlandaskan pada tiga idea; jiwa, dunia dan Allah (ideas of reason). Ketiga idea tersebut bersifat a priori yang berfungsi merangsang dan memadukan pengetahuan.15 Kant bermaksud membela sain dari skeptisisme Hume. Kant mengatakan bahwa menjawab persoalan Hume merupakan tujuan dari filsafat yang dibangunnya.16 Menurut Kant, Hume telah menyederhanakan proses mengetahui hanya dengan menyerap kesan-kesan yang dikopi dari obyek. Bagi Kant, ada tiga tahap untuk menyusun pengalaman. Pertama, sensasi-sensasi yang tidak teratur disusun dalam kerangka ruang dan waktu. Kedua, mempersepsikan sensasi yang telah tersusun tadi ke dalam konsep-konsep kesatuan, substansi, kausalitas dan kemungkinan (4 dari 12 kategori). Ketiga, memberikan putusan. Ini yang disebut Kant dengan regulative principles of science.17 Selanjutnya, menurut Kant pengetahuan kita berasal dari dua sumber utama, yaitu kemampuan menerima representasi dan kemampuan mengetahui berdasarkan representasi tersebut.18 Kata critique yang dimaksud Kant dalam bukunya Critique of Pure Reason adalah pembahasan tentang kritis, sedangkan yang dimaksud dengan akal murni adalah akal yang bekerja secara logis, yaitu akal yang dikepala. Ia berusaha membedakannya dari akal yang tidak murni. Akal tidak murni adalah indera. Kant meletakkan akal murni di atas akal tidak murni. Pure reason menghasilkan pengetahuan dengan tanpa melalui perantaraan indera. Pengetahuan yang diperoleh dari akal murni itu diperoleh dari watak dan struktur jiwa kita yang inheren.19 Menurut Kant, pengalaman hanyalah merupakan lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman mengatakan kepada kita apa-nya bukan apa ia sesungguhnya. Oleh karena itu, pengalaman tidak bisa menghasilkan kebenaran umum. Akal lah yang menghasilkan kebenaran umum. Inilah kebenaran yang a priori. Matematika merupakan contoh konkrit kebenaran a priori ini. Bagaimana kepastian itu kita peroleh? Jiwa kita merupakan organ aktif. Jiwa itu–inilah yang dimaksud oleh Kant dengan struktur jiwa yang inheren– mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi, maka pengalaman yang sepotong-sepotong yang masuk itu menjadi tersusun. Ada dua tahap dalam proses sejak diserapnya pengalaman material sampai terbentuknya pemikiran akhir. Pertama, adalah proses mengkoordinasi sensasisensasi dengan cara memasukkannya ke dalam acuan-acuan berupa ruang dan waktu. Kedua, mengkoordinasi persepsi-persepsi yang sudah masuh dalam acuan ruang dan waktu itu dengan cara memasukkannya ke dalam kategori pemikiran.
15
Forrest E. Brain & Walter Kaufmann, From Plato to Nietzsche (USA: Prentice Hall, 1997), hal. 823. 16 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, hal. 58. 17 John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (New York: Oxford University Press, 1988), hal. 107. 18 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. N.K. Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), hal. 92. 19 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1994), hal. 153. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012
59
Tahap pertama disebut oleh Kant dengan estetika transendental, sedangkan tahap yang kedua disebut dengan logika transendental.20 Apa makna sensasi dan persepsi? Bagaimana jiwa mengubah sensasi menjadi persepsi? Sensasi adalah penginderaan. Ia hanyalah keadaan jiwa ketika menanggapi rangsangan. Misalnya, kita menangkap suara dengan telinga, cahaya dengan mata, cuaca dengan kulit. Semua itu merupakan bahan mentah pengalaman. Sensasi-sensasi itu bertempat pada ruang dan waktu. Setelah ada rangsangan itu, kita menyadari adanya suara musik, cahaya lampu, udara dingin. Kesadaran akan obyek itulah yang disebut dengan persepsi. Sensasi-sensasi itu masuk melalui indera ke otak, lalu diperhatikan kemudian disadari. Tidak semua stimulus ke panca indera dapat langsung diteruskan ke otak. Ada hukum-hukum yang harus dipatuhi. Penangkapan itu diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan itulah hukum-hukum itu, misalnya bunyi detak jam. Kita tidak mendengarnya kalau tidak bertujuan mendengarkan. Tetapi bunyi yang lebih rendah akan terdengar apabila ada tujuan untuk mendengarkannya. Oleh karena itu, kesadaran tentang obyek ditentukan oleh sensasi, pemikiran dan tujuan jiwa.21 Menurut Kant, jiwa yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan dua cara. Pertama, stimulus itu disusun sesuai dengan ruang datangnya sensasi. Kedua, stimulus tersebut disusun sesuai dengan waktu terjadinya sensasi itu. Jiwalah yang menempatkan sensasi pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami. Ia adalah alat persepsi, oleh karena itu ia a priori. Ruang dan waktu itu a priori karena semua persepsi memerlukannya. Demikian pula hukum-hukum yang ada dalam ruang dan waktu juga harus a priori dan absolute, inilah matematika. Hukum-hukum matematika adalah hukumhukum yang berada dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, matematika dapat diselamatkan dari skeptisisme Hume. Beberapa Catatan Terhadap Pemikiran Kant Upaya Kant untuk mendamaikan perseteruan antara rasionalisme dan empirisisme cukup menyentak dunia pemikiran waktu itu. Orang tidak menyangka Kant mampu menghasilkan karya spektakuler yang mampu merubah arah jalannya perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sesudahnya. Namun demikian, upaya sintesa Kant ini masih mengandung beberapa cacat. Memang, ia telah berusaha secara maksimal untuk tidak terjebak kepada pemihakan salah satu aliran. Tetapi pada akhirnya ia jatuh dalam pemihakan yang ditakutkannya itu, Kant ternyata memihak kepada rasionalisme. Pemihakan ini terlihat dapat dilihat dari alur pikirannya yang menempatkan akal murni di atas akal tidak murni (indera). Pengalaman hanyalah bahan mentah bagi pengetahuan dan akallah yang mampu menghasilkan pengetahuan yang sesungguhnya. Pemihakan ini bukan berarti ia telah menafikan peran pengalaman (indera) sebagaimana dilakukan oleh kaum rasionalis, tetapi lebih disebabkan karena ia menomorduakan indera. Kant tidak mampu menyusun sistem filsafat yang mensejajarkan indera dengan akal dalam rangka memperoleh pengetahuan yang obyektif, atau yang disebutnya sintesis a priori. 20 21
60
Ibid., hal. 155-156. Ibid., hal. 156. Moh. Tamtowi: Revolusi Kopernikan Ala Immanuel Kant
Kegagalan semacam ini juga dialami oleh al-Ghazali ketika berusaha mensintesakan antara syari`ah dan haqiqah. Al-Ghazali menempatkan syari`ah di bawah haqiqah. Hal serupa dilakukan asy-Syafi`i ketika berusaha mendamaikan madrasah al-hadis dan madrasah ar-ra`yi. Tetapi, asy-Syafi`i akhirnya cenderung kepada madrasah al-hadis. Dari usaha sintesa ini juga dapat ditarik garis pembeda antara Islam dan Barat, dalam perjalanan sejarah, menemukan tokoh Immanuel Kant yang berusaha mengawinkan tradisi rasionalis dan empirisis, di dalam Islam tampaknya belum ditemukan tokoh yang serupa.22 Tetapi dalam Islam kita dapat menemukan tokohtokoh yang berusaha menserasikan antara akal dan wahyu, semisal Ibnu Rusyd. Kesimpulan Kant berusaha membangun sistem filsafat yang mengatasi ekstrimitas rasionalisme dan empirisisme. Ia berusaha memilah-milah pengetahuan mana yang dihasilkan indera dan mana yang diproduksi oleh akal. Pengalaman menghasilkan pengetahuan baru (sintesis) tetapi tidak bersifat umum. Sedangkan akal mampu menyusun pengetahuan yang umum (analitis), tetapi tidak menghasilkan pengetahuan yang baru. Dari sinilah lahir ide sintesis a priori. Pemikiran seperti ini dikenal dengan filsafat transendental. Dalam mengamati obyek untuk menyusun pengetahuan harus melalui tahap-tahap. Pertama, menyusun sensasi-sensasi ke dalam ruang dan waktu. Kedua, mempersepsi sensasi tadi dalam konsep-konsep kategori. Ketiga, memberkan putusan. Aturan berpikir seperti ini disebut logika transendental. Betapapun seriusnya Kant untuk membangun kerangka pemikiran filsafat yang mantap, kokoh dan sintesis bagi penemuan kebenaran yang meyakinkan, namun demikian Kant tetap memiliki kekurangan. Kekurangan itu manusiawi dan bahkan menjadi ruang bagi pemikir setelahnya untuk berkarya demi dinamika keilmuan sekaligus kontributif bagi kemajuan peradaban.
22
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmedernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 1997), hal. 23. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. The Idea of Universality of Ethical Norm in Ghazali and Immanual Kant, Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992. ----------, Falsafah Kalam di Era Posmedernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 1997. Bernard Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakrta: Tiara Wacana, 1992. Brain, Forrest E. & Walter Kaufmann, From Plato to Nietzsche, USA: Prentice Hall, 1997. Copleston, SJ., Frederick. A History of Philosophy, Vol. VI New Jersey: Paulist Press, 1960. Gallagher, Kenneth T. Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, cet. XI, 1995. Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason, trans. N.K. Smith, New York: St. Martin’s Press, 1965. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. XV, 1998. Losee, John. A Historical Introduction to the Philosophy of Science, New York: Oxford University Press, 1988. Scruton, Roger. A Short History of Modern Philosophy, London & New York: second Edition, 1985. Siswanto, Joko. Sistem-sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1994.
62
Moh. Tamtowi: Revolusi Kopernikan Ala Immanuel Kant