BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Balita Balita didefinisikan sebagai anak dibawah lima tahun dan merupakan periode usia setelah bayi dengan rentang 0-5 tahun (Gibney, 2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah isitilah umur bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Sedangkan menurut Brown (2005), batasan usia bayi dan balita yaitu infant (bayi) 0-1 tahun, toddlers (masa mulai berjalan) 1-3 tahun, dan preschool age (anak usia prasekolah) 3-5 tahun. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara
dan
berjalan
sudah
bertambah
baik
namun
kemampuan lain masih terbatas. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa balita adalah anak usia dibawah 5 tahun yang terdiri dari infant, toddlers, dan preschool age. Di usia ini anak perlu mendapatkan perhatian penuh dari orang tua maupun
lingkungan
sehingga
anak dapat tumbuh dan
berkembang secara sempurna.
10
11 2.2 Gizi Gizi adalah proses dimana tubuh kita menerima makanan serta proses organisme suatu makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zatzat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan serta menghasilkan energi (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Eastwood (2003), gizi atau nutrient adalah zat atau pertikel kimia yang digunakan oleh mahluk hidup untuk aktivitas metabolisme.
Hasil
metabolisme
ini
dibutuhkan
untuk
menghasilkan energi, pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak, reproduksi dan menyusui. Adapun macam-macam gizi yang diperlukan oleh tubuh yaitu karbohidrat dan lemak sebagai penghasil energi, protein berguna untuk pertumbuhan, serta vitamin dan mineral berguna
untuk pengatur
(United
States Department
of
Agriculture Child and Adult Care Food Program, 2002). 2.2.1 Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi
dangan
kebutuhan
zat
gizi
(Wilasasih
dan
Wirjadmadi, 2012). Status gizi biasanya dilakukan untuk mengetahui tinggi dan berat badan. Standar penilaian
12 status
gizi
Kesehatan
pada
anak
Republik
sesuai
Indonesia
keputusan yaitu
Menteri
menggunakan
antropometri yaitu kategori status gizi berdasarkan berat badan dibanding umur (BB/U) diklasifikasikan menjadi gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih. Status gizi berdasarkan
tinggi
badan
dibanding
umur
(TB/U)
diklasifikasikan menjadi sangat pendek, pendek, normal, tinggi. Status gizi berdasarkan berat badan dibanding panjang badan atau berat badan dibanding tinggi badan (BB/PB atau BB/TB) diklasifikasikan menjadi sangat kurus, kurus normal, dan gemuk (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2011) Penilaian status gizi pada balita, angka berat badan dan tinggi badan dikonversikan berdasarkan nilai terstandar (ZScore. Z-Score atau Standar Deviasi yaitu sebagai batas ambang kategori dan digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan serta mengetahui klasifikasi status gizi.
13 Tabel 2.1. Status Gizi Berdasarkan Z-Score
Klasifikasi
Status Gizi
Z-Score
BB/U
Gizi Buruk
<-3 SD
Gizi Kurang
-3 SD – <-2 SD
Gizi Baik
-2 SD – 2 SD
Gizi Lebih
>2 SD
Sangat Pendek
<-3 SD
Pendek
-3 SD – <-2 SD
Normal
-2 SD – 2 SD
Tinggi
>2 SD
Sangat Kurus
<-3 SD
Kurus
-3 SD – <-2 SD
Normal
-2 SD – 2 SD
Gemuk
>2 SD
TB/U
BB/PB atau BB/TB
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia, 2011 2.2.2 Gizi Buruk Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tana klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor (Depkes RI, 2008).
14 2.2.2.1 Marasmus Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai tampak sangat kurus, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. 2.2.2.2 Kwashiorkor Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai
dengan
edema
seluruh
tubuh
terutama
dipunggung kaki, wajah membulat dan lembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan sayu, dan rambut tipis/kemerahan. 2.2.2.3 Maramus-Kwashiorkor Maramus-Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dangan tanda-tanda dari marasmus- dan kwashiorkor. 2.2.3 Gizi Kurang Gizi
kurang
adalah
cerminan
dari
asupan
makanan yang tidak cukup, penyakit infeksi, kekurangan vitamin maupun mineral. Ketika tubuh tidak mendapatkan jumlah yang tepat dari vitamin, mineral, ataupun nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tubuh akan mengalami kekurangan gizi yang merupakan konsekuensi dari mengkonsumsi nutrisi yang lebih sedikit. Anak-anak yang sudah mengalami kekurangan gizi dapat menderita kekurangan energi protein (KEP).
Balita dikatakan
15 mengalami gizi kurang apabila BB/U -3 SD – <-2 SD (UNICEF, 2012). 2.3 Stunting Stunting merupakan bentuk umum dari kekurangan gizi yang dapat mempengaruhi bayi sebelum dan awal setelah lahir yang dapat dikaitkan dengan ukuran ibu, gizi ibu selama kehamilan. Stunting juga merupakan cerminan dari gizi kurang yang bersifat kronis atau berlangsung lama selama periode pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan yaitu pada usia 0-59 bulan. Stunting adalah keadaan tinggi atau panjang badan yang kurang terhadap umur yaitu sebagai indikator malgizi kronis (Sudiman, 2008). Stunting menurut
WHO Child Growth Standart TB/U <-2 SD (stunting sedang) dan -3 SD (stunting berat). Seorang anak yang mengalami stunting sering terlihat seperti anak dengan tinggi badan yang normal, namun sebenarnya mereka lebih pendek dari ukuran tinggi badan normal untuk anak seusianya. Stunting sudah dimulai sejak sebelum kelahiran yang disebabkan karena status gizi ibu buruk selama kehamilan, pola makan yang buruk, kualitas makanan yang buruk dan intensitas frekuensi untuk terserang penyakit akan lebih sering (UNICEF 2010 ; Wiyogowati, 2012).
16 2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Penyebab stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk adaptasi fisiologis pertumbuhan atau non patologis karena dua penyebab utamanya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan respon terhadap tingginya penyakit infeksi (Sudiman, 2008). Menurut Supariasa (2002) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stunting terbagi atas dua macam faktor yaitu faktor secara langsung yakni asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik. Sedangkan faktor secara tidak langsung yakni pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, pola asuh orang tua, distribusi
makanan
dan
besarnya
keluarga/jumlah
anggota keluarga. Banyak
penelitian
mengungkapkan
bahwa
prevalensi stunting banyak ditemukan pada balita dari keluarga
yang
berstatus
sosial
ekonomi
rendah,
penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah anggota
keluarga,
pekerjaan
ibu
dan
sanitasi
lingkungan (Fikadu, dkk, 2014). Menurut UNICEF Indonesia (2012), prevalensi stunting banyak ditemukan pada praktek pemberian makanan, perilaku kebersihan,
17 dan pola asuh. Status nutrisi ibu pada masa kehamilan dan kurang optimal dalam pemberian ASI Ekslusif dan makanan pendamping ASI juga dapat berkontribusi terhadap penyebab stunting (WHO, 2012). Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting, yakni sebagai berikut: 2.3.1.1 Nutrisi Masa Kehamilan Status
gizi
ibu
selama
dalam
kandungan
merupakan faktor penentu yang sangat penting dari pertumbuhan dan perkembangan janin, diet sehat yang seimbang penting sebelum dan selama masa kehamilan
(Williamson,
2006).
Apabila
ibu
mengalami kekurangan gizi pada masa kehamilan akan berakibat kematian, anemia, kelesuhan dan kelemahan. Begitupun pada janin dan bayi akan berakibat
kematian
pada
bayi,
retardasi
pertumbuhan intrauterin (stunted), BBLR, cacat lahir, meningkatkan resiko infeksi serta dapat mengalami kerusakan otak (LINKAGES, 2004). 2.3.1.2 Nutrisi Nutrisi merupakan salah satu komponen penting dalam proses tumbuh dan berkembang selama masa pertumbuhan, sehingga kebutuhan zat gizi
18 yang diperlukan seperti protein , karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air, apabila semua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau kurang terpenuhi maka akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Hidayat, 2009). 2.3.1.3 ASI Ekslusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Bayi atau balita dalam praktek pemberian ASI ekslusif maupun MP-ASI yang kurang optimal dan terbatasnya makanan dalam hal kualitas, kuantitas dan jenis akan memberikan kontribusi terhadap stunting (WHO, 2012) 2.3.1.4 Kelengkapan Imunisasi Imunisasi merupakan proses dimana seseorang dibuat menjadi kebal terhadap penyakit-penyakit menular yaitu dengan pemberian vaksin. Vaksin dapat merangsang sistem kekebalan tubuh guna untuk
melindungi
seseorang
terhadap
penyakit
infeksi. Dengan demikian, anak yang imunisasinya tidak
lengkap
mengakibatkan
kekebalan
tubuh
menurun sehingga anak mudah terserang penyakit dan asupan nutrisi berkurang yang mengakibatkan status gizi anak menjadi buruk (WHO, 2012).
19 2.3.1.5 Penyakit Infeksi Penyakit
infeksi
juga
dapat
menyebabkan
terjadinya kejadian stunting, akan tetapi tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan kekambuhan penyakit infeksi yang diderita oleh bayi maupun balita
dan
apabila
ketidakcukupan
dalam
hal
pemberian makanan untuk pemulihan (WHO, 2012). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita adalah ISPA dan diare (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012). 2.3.1.6 Pola Asuh Ibu sangat berperan penting dalam praktik pola asuh pada anak, karena perhatian dan dukungan terhadap anak akan memberikan dampak positif bagi keadaan status gizi anak. Menurut Husaini (2000) menyatakan peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh kembang anak. 2.3.1.7 Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga 5-7 atau 8-10 lebih cenderung akan mengalami stunting dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anggota keluarganya 2-4 orang, dikarenakan menipisnya sumber daya dan
20 penyediaan makanan dirumah akan lebih besar (Fikadu, dkk, 2014). 2.3.1.8 Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya kejadian stunting, karena keadaan sosial ekonomi atau keadaan rumah tangga yang tergolong rendah akan mempengaruhi tingkat pendidikan rendah, kualitas sanitasi dan air minum yang rendah, daya beli yang rendah serta layanan kesehatan yang terbatas, semuanya dapat berkontribusi terkena penyakit dan rendahnya asupan zat gizi sehingga berpeluang untuk terjadinya stunting (Fikadu, dkk, 2014) 2.1.3.9 Status Pendidikan Keluarga Tingkat pendidikan keluarga yang rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak meyakini pentingnya
pemenuhan
pentingnya
pelayanan
menunjang
pertumbuhan
kebutuhan kesehatan pada
gizi
serta
lain
yang
anak,
sehingga
berpeluang terhadap terjadinya stunting (Hidayat, 2009).
21 2.3.1.10 Pekerjaan Ibu Anak-anak pedagang
yang
atau
ibunya
petani
bekerja
sebagai
lebih
mungkin
akan
mengalami stunting daripada anak-anak yang ibunya dirumah, dikarenakan bertemunya ibu dan anak sangat jarang. Pada umur anak-anak yang masih harus
diberikan
ASI
ekslusif
dan
makanan
pendamping terkadang tidak tepat sehingga memiliki efek yang besar pada pertumbuhan anak (Fikadu, dkk, 2014) 2.3.1.11 Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu
lingkungan
pembuangan
yang
kotoran
mencakup
(jamban),
perumahan,
penyediaan air
bersih dan sebagainya (Notoadmojo, 2003). Sanitasi lingkungan juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan standar kondisi lingkungan yang mendasar
dan
mempengaruhi
kesejaheraan
manusia. Kondisi tersebut mencakup: a) Pasokan air yang bersih dan aman; b) Pembuangan limbah dari hewan, manusia yang industri dan efisien;
22 c) Perlindungan
makanan
dari
kontaminasi
biologis dan kimia; d) Udara yang bersih dan aman e) Rumah yang bersih dan aman Lingkungan
perumahan
merupakan
suatu
tempat yang ditinggali oleh masyarakat, kurangnya pasokan air bersih, akses ke fasilitas kamar mandi maupun toilet ataupun sanitasi yang tidak memadai dapat beresiko terhadap kejadian stunting (Fikadu, dkk, 2014). 2.3.1.12 Berat Badan Lahir Rendah Berat badan lahir rendah dan prematur sering terjadi bersama-sama, dan kedua faktor tersebut berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir. Berat bayi yang kurang saat lahir beresiko besar untuk hidup selama persalinan maupun sesudah persalinan. Dikatakan berat badan lahir rendah apabila berat bayi kurang dari 2500 gram (Price dan Gwin, 2014). Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin
muda umur kehamilan,
fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan
23 prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena kelahiran prematur (Wong, dkk,. 2008). 2.4 Penelitian Sebelumnya Berdasarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting yaitu dimulai dari status sosial ekonomi, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ibu dan sanitasi lingkungan, praktek pemberian makanan, perilaku kebersihan, dan pola asuh, status nutrisi ibu pada masa kehamilan dan kurang optimal dalam pemberian ASI Ekslusif dan makanan pendamping ASI dan kelengkapan mengikuti imunisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fikadu dkk (2014), di Ethiopia Selatan pada anak-anak usia 24-59 bulan berjumlah 242 (121 kasus – 121 kontrol) didapatkan rata-rata 95% faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting yaitu jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga, pekerjaan ibu, pemberian ASI eksklusif, lama menyusui, serta praktek dalam pemberian makanan. Dengan demikian, setelah diketahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting perlu
untuk
dilakukan
penyuluhan
kesehatan
terhadap
24 ibu/pengasuh tentang pentingnya pemberian ASI ekslusif, pemberian makanan tambahan yang sesuai kepada anakanak. Penelitian Wirjadmadi
yang
(2008)
dilakukan
di
Desa
oleh
Wilasasih
Kemabangan,
dan
Kecamatan
Kebomas, Kabupaten Gresik dengan metode penelitian bersifat analitik yang dilakukan secara cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh balita berusia 12-60 bulan beserta ibunya. Hasil yang didapatkan bahwa faktor umur, jenis konsumsi, tingkat kehadiran diposyandu, frekuensi sehat sakit, dan lama sakit memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting pada balita. Dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan, rangsangan psikososial, kebersihan dan sanitasi lingkungan, serta pemanfaatan pelayanan kesehatan memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting pada
anak usia antara 6-23 bulan. Hal ini berdasarkan penelitian ini dilakukan oleh Renyeot dkk (2012) dengan rancangan cross sectional. Sampelnya yaitu anak usia 6-23 bulan beserta ibunya sebagai responden. Pengumpulan data diperoleh dari kuesioner
kemudian
analisa
menggunakan uji chi-squar.
data
dilakukan
dengan
2.5 Perspektif Teoritis
Faktor Langsung
Faktor tidak Langsung
Keterangan: Penyebab langsung dan Tidak langsung Akibat
1. 2. 3. 4.
Asupan Makanan (Supariasa, 2002) Infeksi Penyakit (Supariasa, 2002) BBLR (Kusuma, 2013) Genetik (Soetjiningsih, 1995)
1. Pengetahuan tentang gizi : gizi ibu dan gizi anak. (Supariasa, 2002) 2. Pendidikan orang tua (Supariasa, 2002) 3. Pendapatan orang tua (Supariasa, 2002) 4. Besar keluarga/jumlah anggota keluarga (Supariasa, 2002) 5. Sosial Ekonomi (Sudiman, 2008, Supariasa, 2002 ) 6. Pola Asuh (Kainde, 2014, Supariasa, 2002)
Balita Stunting
Bagan 2.1 Perpespektif Teoritis Faktor Langsung dan Faktor tidak Langsung yang mempengaruhi Balita Stunting
25