BAB II TINJAUAN TEORITIS
Sebelum membuat keputusan dalam investasi, seorang investor akan meneliti laporan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan. Dari laporan keuangan tersebut, investor akan melakukan peramalan (forecasting) tentang keadaan perusahaan dan pasar di masa mendatang dengan menggunakan teknik-teknik forecasting dan penggunaan rasio-rasio keuangan. Setelah membandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain, investor tersebut akan mengambil keputusan investasi dengan cara membeli saham perusahaan yang dinilai paling menguntungkan untuk dijadikan obyek investasi.
2.1 Seputar Hal mengenai Manajemen Keuangan Keuangan (finance) secara umum berkaitan dengan penentuan nilai (corporate financial management) dan penentuan keputusan (decision making) yang berkaitan dengan bidang keuangan. Keputusan yang dimaksud adalah tentang bagaimana mengelola uang kas, bagaimana meningkatkan dana untuk pertumbuhan investasi, memilih aset atau produk yang dipilih untuk investasi, dan lain- lain. Sedangkan corporate financial management berfokus pada pembuatan dan perawatan nilai. Dapat disimpulkan bahwa ada kesamaan antara keuangan secara umum dengan corporate financial management:
11
12
1) investment decision Keputusan untuk menentukan aset apa yang akan dibeli oleh perusahaan melalui penggunaan untuk alokasi dana. Keputusan ini merupakan keputusan penentuan sisi sebelah kiri dari neraca (balance sheet), yaitu penentuan komponen-komponen current asset dan fixed asset. Keputusan ini disebut juga asset structure. 2) financing decision Keputusan tentang bagaimana perusahaan membuat sumber dana demi investasinya. Keputusan ini merupakan keputusan penentuan sisi sebelah kanan dari neraca, yaitu penentuan komponen-komponen current liabilities dan equities. 3) managerial decision Keputusan yang berkaitan dengan operasi perusahaan tentang sistem reward, besar kecilnya pertumbuhan perusahaan, apakah penjualan akan dilakukan dengan kredit, dan lain- lain.
2.1.1 Tujuan Perusahaan menurut Manajemen Keuangan Tujuan sebuah perusahaan adalah pemaksimalan kekayaan pemegang saham (stockholder wealth maximization). Tujuan tersebut ditempuh melalui usaha-usaha untuk menaikkan harga pasar dari saham perusahaan (stock market price maximization). Seluruh fungsi dari perusahaan harus sejalan dengan cita-cita perusaahan (goal congruence), yaitu mencapai keuntungan yang memadai sebagai hasil dari operasi perusahaan.
13
Suatu pencapaian keuntungan yang layak merupakan sasaran bagi semua perusahaan yang pernah berdiri. Tapi perlu tetap diingat bahwa sebuah perusahaan berdiri bukan untuk mencapai keuntungan setinggi-tingginya (profit maximization), karena usaha untuk mencapai keuntungan setinggi- tingginya (profit max = MC = MR) dianggap sudah tidak cocok dalam pemikiran perusahaan modern, alasan dari ketidakcocokan tersebut adalah sebagai berikut (Emery, Finnerty & Stowe 2004, 14): 1) adanya ketidakjelasan mengenai macam keuntungan apa yang harus dimaksimalkan, yaitu accounting profit yang didasarkan pada nilai buku atau apakah perusahaan berusaha memaksimalkan economic profit yang didasarkan pada nilai pasar dan pendapatan perusahaan yang wajar. 2) pemikiran untuk mencapai profit maximization tidak turut memikirkan time value of money. Time value of money sangat penting bagi dunia keuangan khususnya investasi, karena nilai uang dan arus kas pada setiap waktu dapat berbeda dan dapat berkontribusi langsung pada pendapatan total keseluruhan. Apakah perusahaan menginginkan suatu arus kas yang besar pada saat awal dan arus kas kecil pada periode-periode berikutnya? Atau malah sebaliknya? 3) untuk mencapai profit max, seorang investor ataupun perusahaan sering tidak memikirkan risiko-risiko yang timbul. Menurut teori keuangan fundamental, jika tingkat keuntungan meningkat maka dengan sendirinya tingkat risiko juga meningkat. Dari teori tersebut dapat diketahui bahwa antara tingkat keuntungan dan tingkat risiko memiliki korelasi yang positif.
14
4) usaha untuk mencapai profit max tidak akan pernah memikirkan kontribusi untuk para stakeholder perusahaan. Karena usaha perusahaan untuk memikirkan kontribusi untuk stakeholder perusahaan membutuhkan biaya yang sulit dihitung, sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan profit perusahaan secara drastis.
2.1.2 Tanggung Jawab Manajer Keuangan Selain keterkaitan dengan fungsi- fungsi dalam manajemen keuangan, seorang manajer keuangan merupakan pelaku penting dalam corporate financial management. Seorang manajer keuangan akan berusaha melakukan planning, analisis, dan forecasting dengan berbekal dari laporan-laporan keuangan dan kejadian di masa lampau. Dari hasil analisis dan forecasting tersebut, seorang manajer keuangan akan membuat keputusan-keputusan di bidang keuangan. Bagi sebuah perusahaan yang sukses, haruslah senantiasa memiliki manajer keuangan yang dapat menerapkan strategi-strategi pengambilan keputusan yang menyangkut bidang (Weston & Copeland 1992, 5): 1) pemilihan tentang jenis produk atau target pasar (segment) yang dituju; 2) strategi tepat untuk penelitian, investasi, produksi, pemasaran, dan penjualan; 3) penyeleksian, pelatihan, pengorganisasian, dan motivasi dari pihak pimpinan serta karyawan yang terkait; 4) penggunaan dana dengan biaya rendah dan efisien; dan 5) penyesuaian terhadap lingkungan yang terkait dengan bidang usaha dan perubahan kompetisi.
15
Selain itu, seorang manajer keuangan memiliki tanggung jawab sebagai berikut (Brigham & Houston 2004, 14-15): 1) melakukan forecasting dan planning; 2) membuat keputusan investasi dan keuangan; 3) melakukan koordinasi dan kontrol; 4) berhubungan dengan pasar keuangan; dan 5) melakukan hal- hal yang berhubungan dengan manajemen risiko.
2.1.3 Hubungan Manajer Keuangan dengan Para Pemegang Saham Para pemegang saham sebagai para pemilik perusahaan menunjuk seorang manajer keuangan untuk menjalankan fungsi- fungsi financial management. Namun sering terjadi gap antara para pemegang saham dengan manajer keuangan. Hubungan yang kurang baik antara atasan dan bawahan ini dikenal dengan agency theory, sedangkan masalah- masalahnya disebut dengan agency problem. Agency theory memperkenalkan bahwa adanya principal yaitu orang yang menjadi atasan sekaligus orang yang memberi kerja. Di bawah principal, terdapat agent yaitu bawahan sekaligus orang yang diberi kerja. Antara principal dan agent terdapat gap yang yang ditimbulkan karena pikiran dan anggapan masing- masing pihak. Bagi seorang principal, merasa bahwa agent sudah digaji maka principal berharap dapat menggunakan kemampuan agent semaksimal mungkin demi keuntungannya, principal menganggap agent belum bekerja maksimal. Sedangkan dari sisi agent, merasa bahwa dirinya sudah bekerja maksimal, namun antara apa yang agent terima dari principal dibandingkan dengan pekerjaan dan tekanan dirasa
16
sangat kurang. Maka itu seorang agent akan cenderung bekerja tidak maksimal atau pun menyelewengkan dana perusahaan karena merasa tidak puas dengan perlakuan principal. Pada dunia nyata, para pemegang saham berperan sebagai principal sedangkan manajer (keuangan) berperan sebagai agent. Agar tidak terjadi hub ungan yang tidak baik seperti dalam agency theory, maka para pemegang saham dapat memotivasi dan menarik minat manajer dengan (Brigham & Houston 2004, 21-24): 1) managerial compensation Para manajer harus diberi kompensasi yang sesuai. Perusahaan perlu untuk mendisain paket kompensasi dengan dua tujuan utama: a) menarik perhatian dan menjaga supaya manajer berkualitas tidak meninggalkan perusahaan; dan b) membuat manajer untuk tetap mendekati dan mencapai keinginan para pemegang saham. Bentuk-bentuk kompensasi antara lain: a) kenaikan gaji yang sesuai dengan biaya hidup; b) sebuah bonus
yang
dibayarkan
pada akhir
tahun,
di mana
bergantung dari keadaan keuntungan perusahaan pada tahun tersebut; dan c) pemberian pilihan untuk membeli saham perusahaan dengan harga lebih murah berdasarkan atas kinerja jangka panjang.
17
2) campur tangan langsung dari para pemegang saham Para pemegang saham dapat langsung berhubungan dengan manajer sehingga dapat terjadi hubungan yang lancar. 3) ancaman pemecatan Suatu ancaman lebih baik tidak digunakan, namun jika karena keadaan dan kinerja seorang manajer sering tidak mencapai target yang diharapkan; maka melalui RUPS, para pemegang saham dapat memecat atau mengganti manajer yang bersangkutan. 4) ancaman pengambilalihan perusahaan Pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain dapat terjadi secara bermusuhan, yaitu pihak manajemen perusahaan yang diakuisisi sebenarnya tidak setuju dengan pengambilalihan tersebut. Jika terjadi pengambilalihan tersebut, maka dapat menyebabkan pergantian manajemen lama dengan manajemen baru yang berisi orang-orang yang diinginkan oleh pihak akuisitor.
2.2 Informasi Keuangan Perusahaan Informasi- informasi yang mencerminkan keuangan perusahaan tergambarkan pada laporan-laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan sangat penting bagi banyak pihak dari dalam perusahaan maupun luar perusahaan. Karena sesuai dengan fungsinya, laporan keuangan menggambarkan struktur keuangan perusahaan yang bersangkutan dan sekaligus menggambarkan kemajuan atau pun kemunduran perusahaan. Suatu laporan keuangan merupakan ringkasan dari pelaporan keuangan
18
yang lengkap dari aktivitas keuangan dan bisnis perusahaan di mana biasanya ditulis dalam bentuk angka-angka (numerik). Bagi kalangan investor, peneliti dari universitas, penganalisis, bankir, birokrat pemerintahan, dan lain- lain; laporan keuangan merupakan satu-satunya fakta dari aktivitas perusahaan. Laporan keuangan bagi banyak pihak masih dianggap sebagai sumber informasi terbaik pada saat ini mengenai bisnis dari perusahaan tersebut. Meskipun sudah melampaui batas periode pencatatannya, laporan keuangan masih digunakan oleh secara efektif oleh para investor untuk mengetahui prospek sejarah dari suatu perusahaan. Menurut ilmu akuntansi, terdapat empat jenis laporan keuangan, yaitu: balance sheet (B/S), income statement (I/S), statement of cashflow, dan statement of retained earnings. Bagi seorang manajer keuangan terdapat tiga laporan yang paling penting, yaitu: balance sheet, income statement, dan statement of cashflow. Pihak-pihak yang berkepentingan pada informasi keuangan perusahaan: 1) pihak di dalam perusahaan: para pemegang saham (stockholder), manajemen keuangan, dan manajemen puncak/direksi; dan 2) pihak di luar perusahaan: pemberi kredit/pinjaman (debtholder), para calon investor, pemerintah yaitu direktorat jenderal pajak, dan para stakeholder perusahaan yang lain.
2.2.1 Sumber Informasi Keuangan Perusahaan Sumber informasi keuangan perusahaan terletak pada laporan keuangannya. Informasi keuangan perusahaan merupakan rangkuman kinerja keuangan dan posisi
19
keuangan pada bisnis perusahaaan. Namun, laporan keuangan perusahaan disusun berdasarkan data historis sehari- hari yang disusun oleh bagian akuntansi perusahaan. Sedangkan pengambilan keputusan dalam perusahaan berkaitan dengan masa depan, maka tidak cukup bagi pihak manajemen untuk mengambil keputusan hanya berdasarkan atas laporan keuangan perusahaan. Selain itu, sumber-sumber informasi lain bagi penganalisis kinerja keuangan perusahaan adalah sebagai berikut (Rees 1990, 9): 1) informasi keuangan: a) laporan tahunan dan rekening; b) laporan keuangan sementara; c) rincian arsip resmi; d) prospektus,
surat
edaran,
dan
dokumen-dokumen
penawaran; e) kumpulan data keuangan; f) data khusus persediaan pasar bagi perusahaan; g) data umum persediaan pasar; h) peramalan analisa keuangan; dan i) peramalan ma najemen. 2) informasi non-keuangan terukur: a) statistik produksi, permintaan, dan pekerjaan; dan b) statistik ekonomi resmi. 3) informasi non-keuangan tidak terukur: a) laporan ketua rapat, direktur, dan pemeriksa;
20
b) berita pegawai; c) komentar manajemen; d) komentar wartawan bagian keuangan dan manajemen; e) penilaian kredit mandiri; f) penilaian-penilaian mandiri; g) hubungan personal; dan h) hubungan dengan laporan masa lalu. 4) penilaian rekan sejawatan.
2.2.2 Masalah dalam Penggunaan Laporan Keuangan Laporan keuangan digunakan secara luas untuk melihat kinerja keuangan suatu perusahaan melalui analisis rasio. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah laporan keuangan sudah mencerminkan keseluruhan fakta historis dari perusahaan tersebut. Masalah tentang penggunaan laporan keuangan justru disebabkan dari dalam perusahaan tersebut sendiri. Pertama, perusahaan sering menerapkan window dressing techniques untuk membuat seolah-olah laporan keuangannya terlihat baik, karena perusahaan ingin supaya para calon investor tetap tertarik untuk menanamkan modalnya pada perusahaan sehingga harga saham perusahaan akan naik atau tidak turun (Brigham & Houston 2004, 98). Kedua, masalah dalam pembuatan laporan keuangan itu sendiri, terjadi gap antara kejadian sebenarnya yaitu kejadian sehari- hari perusahaan dalam fungsi masing- masing dengan pencatatan yang dilakukan pada saat berikutnya. Hal ini mungkin dikarenakan pada suatu perusahaan terdapat beberapa
21
fungsi yang berbeda yang masing- masing memiliki wewenang, urusan, dan pencatatan masing- masing sehingga sangat sulit dalam penggabungan keseluruhan catatan masing- masing fungsi perusahaan menjadi satu keseluruhan pencatatan yang utama. Ketiga, kadangkala perusahaan-perusahaan tidak menggunakan sistem laporan keuangan dan akuntansi yang baku dan standar; sehingga pada saat akan melakukan analisa
akan
terjadi
kesulitan
dalam
memperhitungkan
rasio-rasio
dan
memperbandingkan kinerja perusahaan.
2.3 Rasio Harga Saham terhadap Nilai Buku Perusahaan (Price to Book Value/ P/BV) Rasio P/BV adalah sebuah rasio yang membandingkan antara harga saham suatu perusahaan dengan nilai buku dari perusahaan tersebut. Jika suatu saham dijual dengan harga di bawah nilai buku dari ekuitas maka dikatakan undervalued, sedangkan jika suatu saham dijual dengan harga di atas nilai buku dari ekuitas maka dikatakan overvalued. Rasio sering digunakan di dalam pengambilan keputusan investasi, walaupun dari beberapa artikel dikatakan bahwa rasio P/BV sudah primitif. Harga pasar dari ekuitas pada suatu perusahaan merefleksikan ekspektasi pasar dari kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba (firm’s earning power) dan arus kas perusahaan. Nilai buku dari ekuitas adalah perbedaan antara nilai buku dari asetaset perusahaan dengan nilai buku dari kewajiban-kewajiban perusahaan. Ada beberapa alasan mengapa para investor menggunakan rasio P/BV dalam analisis investasi: pertama, nilai buku relatif lebih stabil dan dapat dibandingkan dengan nilai pasar. Bagi para investor yang tidak percaya penggunaan discounted
22
cashflow dalam mengestimasi nilai, nilai buku dianggap lebih simple sebagai ukuran perbandingan. Kedua, berdasarkan konsistensi standar akuntansi antar perusahaan, hasil rasio P/BV dapat dibandingkan antar sesama perusahaan yang sejenis untuk penilaiannya. Jika sebuah perusahaan memiliki tingkat keuntungan negatif, menyebabkan perusahaan tersebut tidak dapat dinilai menggunakan rasio price earnings (P/E ratio). Namun jika digunakan rasio P/BV, maka hal tersebut bukan masalah, karena sangat jarang perusahaan yang memiliki nilai buku yang negatif dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang negatif. Ada beberapa kekurangan sehubungan dengan pengukuran dan penggunaan rasio P/BV: pertama, nilai buku bersifat seperti keuntungan; dipengaruhi oleh keputusan-keputusan akuntansi tentang depresiasi dan variabel- variabel lain. Jika standar-standar akuntansi diterapkan berbeda-beda di antara perusahaan, maka rasio P/BV tidak dapat dibandingkan. Dengan pernyataan yang sama tentang rasio P/BV, dapat dikatakan bahwa rasio P/BV tidak dapat dibandingkan di antara perusahaan dari negara-negara yang menggunakan standar akuntansi yang berbeda. Kedua, nilai buku tidak dapat banyak mewakilkan untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang servis dan teknologi karena pada kedua bidang tersebut tidak memiliki aset perusahaan berbentuk fisik (tangible assets). Ketiga, nilai buku ekuitas dapat menjadi negatif jika sebuah perusahaan memiliki laporan keuangan yang terus-menerus rugi selama beberapa periode, karena hal tersebut akan menjadikan rasio P/BV negatif (http://pages.stern.nyu.edu/adamodaran/pdfiles/pbv.pdf). berdasarkan rumus dasar:
Rasio
P/BV
dihitung
23
P Rasio P/BV =
……….…………………(2.1) BV Model penilaian saham menyatakan bahwa nilai intrinsik suatu saham adalah nilai sekarang dari penjumlahan arus kas yang diharapkan diterima pemegang saham di masa datang. Arus kas tersebut didiskontokan dengan menggunakan tingkat biaya ekuitas (cost of capital) yang mencerminkan tingkat risiko saham yang bersangkutan. Bagi pemegang saham, karena arus kas yang diterima adalah dalam bentuk dividen, maka nilai intrinsik saham menunjukkan nilai sekarang dari seluruh dividen yang akan dibayarkan di masa datang. Besarnya dividen yang akan dibayarkan di masa datang sangat tergantung pada prospek pertumbuhan perusahaan, semakin tinggi tingkat pertumbuhan perusahaan maka semakin tinggi jumlah dividen yang akan dibayarkan perusahaan di masa datang. Jika perusahaan mengalami laju pertumbuhan yang konstan, maka nilai intrinsik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut (Utama & Santosa 1998, 129): Div1 V0 =
………………………………………….(2.2) r-g
Karena besarnya dividen dapat dinyatakan sebagai hasil kali dari nilai buku perusahaan (book value) dengan return on equity (ROE) dan rasio pembagian saham terhadap laba (dividend payout ratio), maka persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: BV0 x ROE x POR x (1 + g) V0 =
………………………(2.3) r–g
24
Jika kedua sisi persamaan dibagi BV0 dan jika diasumsikan nilai intrinsik adalah sama dengan harga saham, maka persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: P0 V0 =
ROE x POR x (1 + g) =
………...(2.4)
BV0
r– g
Jika ROE didasarkan pada laba yang diharapkan pada periode berikutnya, persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi: ROE x POR Rasio P/BV =
………………………….(2.5) r-g
Keterangan: V0 = nilai intrinsik saham pada periode sekarang Div1 = dividen yang akan dibayarkan pada periode berikutnya r = tingkat biaya ekuitas g = tingkat pertumbuhan dividen konstan BV0 = nilai buku perusahaan (book value) pada periode sekarang. ROE = return on equity pada periode berikutnya POR = rasio pembagian saham terhadap laba (dividend payout ratio/POR) pada periode berikutnya
2.4 Rasio Pembagian Dividen terhadap Laba (Dividend Payout Ratio/POR) Dividen adalah bagian dari pendapatan bersih perusahaan (net income) yang dibagikan kepada para pemegang saham. Keputusan pembagian dividen biasanya dirapatkan oleh direksi perusahaan dan kemudian pembagiannya akan dilakukan beberapa minggu setelahnya. Suatu dividen memiliki jangka waktu tak terbatas (perpetuity) selama perusahaan yang bersangkutan berdiri.
25
Proses waktu pembagian dividen: 1) annoucement date: direksi mengumumkan nilai dividen per lembar saham; 2) ex-dividend date: dua sampai tiga minggu setelah annoucement date, investor membeli saham perusahaan dengan tujuan untuk menerima dividen; 3) holder-of-record date: dua sampai tiga minggu setelah ex-dividend date, perusahaan melakukan penutupan buku dan pencatatan kepemilikan dari saham perusahaan; dan 4) payment date: dua sampai tiga minggu setelah holder-of-record date, perusahaan membagikan dividen kepada para pemegang saham perusahaan.
Tipe-tipe dividen: 1) cash dividend: dividen yang dibayarkan dengan uang tunai (cash); 2) stock dividend: dividen yang dibayarkan dalam bentuk saham perusahaan; 3) regular dividend: dividen yang dibayarkan denga n berdasarkan suatu standar interval waktu tertentu. Misalnya tiap tiga bulan (quarterly), tiap enam bulan (semiannually), dan tiap satu tahun (annually); 4) special dividend: dividen yang dibayarkan tidak berdasarkan suatu standar waktu tertentu sebagai tambahan dari regular dividend; dan 5) liquidating dividend: dividen yang dibayarkan bukan sebagai pendapatan tapi berdasarkan pembayaran kembali modal (paid in capital).
26
Dividen dapat dikatakan pendapatan sampingan dari para pemegang saham selain dari kenaikkan nilai pasar saham (capital gains). Pembagian dividen tetap dianggap sebagai suatu cashflow bagi seorang pemegang saham, sehingga tingkat pertumbuhan dividen yang diharapkan didasarkan pada required rate of return. Besarnya jumlah total dividen ya ng dibagikan adalah berdasarkan laba perusahaan setelah pajak setelah dikurangi dengan besarnya laba ditahan perusahaan (retained earnings). Dalam membuat keputusan mengenai dividen yang akan dibagikan kepada para pemegang saham, perusahaan akan lebih dulu menentukan target besarnya retention rate sebagai residual fund untuk operasi dan kepentingan perusahaan pada periode selanjutnya. Setelah itu perusahaan akan menentukan besarnya tingkat pembagian dividen dibandingkan dengan laba yang diperoleh perusahaan (dividend payout ratio/POR) (Emery, Finnerty, & Stowe 2004, 520). Persamaan-persamaan tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut (Brigham & Houston 2004, 41): Total dividen yang dibagikan Dividend per share = DPS =
………………...(2.6) Jumlah total saham perusahaan Laba bersih setelah pajak
Earnings per share = EPS =
…………….….(2.7) Jumlah total saham perusahaan
Dari persamaan (2.2) dan (2.3) dapat dibentuk persamaan (2.4): DPS Dividend payout ratio = POR =
……………………………………..……(2.8) EPS
27
Dalam hubungan antara suatu perusahaan terbuka dengan para investor, berlaku asymmetric informations (Sharpe, Alexander, & Bailey 1995, 619). Para investor di luar perusahaan tersebut kurang memiliki informasi yang cukup tentang keadaan di dalam perusahaan. Sedangkan informasi tersebut hanya dikuasai oleh beberapa orang yang ada di dalam perusahaan tersebut, yaitu terutama manajer perusahaan
tersebut
sendiri.
Kurangnya
informasi
tersebut
menyebabkan
ketidakjelasan, sehingga membuat para investor kesulitan untuk membuat keputusan untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut atau tidak. Investor akan berusaha untuk mengetahui tentang keadaan perusahaan melalui setiap tindakan dan keputusan yang dilakukan di dalam perusahaan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan prinsip dalam keuangan signaling theory yaitu actions convey information, yang maksudnya adalah suatu aksi menyatakan informasi (Emery, Finnerty, & Stowe 2004, 23). Dalam kaitan dengan POR, jika POR suatu perusahaan naik artinya perusahaan juga menaikkan besarnya besarnya dividen yang dibagikan kepada pemegang saham. Keputusan kenaikan dividen akan menjadi sinyal positif bagi para investor bahwa forecasted earnings perusahaan di masa datang juga meningkat, sehingga prospek perusahaan tersebut juga meningkat (Sharpe, Alexander, & Bailey 1995, 619). Peningkatan prospek perusahaan akan dapat menarik minat investor di luar perusahaan untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut, begitu pula jika terjadi sebaliknya.
2.5 Tingkat Pertumbuhan (Growth Rate/GR) Seorang investor yang akan menanamkan modalnya pada suatu saham perusahaan; akan sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan baik kemajuan
28
perusahaan, harga saham dan juga besarnya pembagian dividen. Dalam penelitian ini akan lebih banyak dibahas tingkat pertumbuhan berdasarkan atas pembagian dividen; karena dalam penelitian ini didasarkan atas teori dividend discount model, yaitu constant growth model. Berdasarkan atas dividend discount model, terdapat tiga macam tingkat pertumbuhan dividen (Jones 2004, 252-258): 1)
tingkat pertumbuhan nol (zero growth model) Besarnya pembagian dividen pada setiap periode adalah sama, yaitu dengan pertumbuhan 0%. Dengan kata lain, jumlah cash yang diterima para pemegang saham tiap periode sama.
2)
tingkat pertumbuhan konstan (constant growth model/normal growth model) Besarnya cash pembagian dividen pada setiap periode berbeda-beda, namun memiliki tingkat pertumbuhan yang sama pada keseluruhan yang sama pada keseluruhan periode.
3)
tingkat pertumbuhan berlipat (multiple growth rate/supernormal growth model) Tingkat pertumbuhan dividen pada setiap periode berbeda-beda, tingkat pertumbuhannya dapat semakin besar atau pun semakin kecil. Sebagian investor dalam menanamkan modalnya lebih banyak tertarik pada
capital gains ketimbang pembagian dividen. Namun di lain pihak, ada investor yang lebih menginginkan dividen yang dibagikan oleh perusahaan yang bersangkutan setiap interval waktu tertentu. Besarnya dividen yang dibagikan oleh suatu perusahaan pada tiap interval waktu dapat berbeda-beda. Hal itu tergantung dari keadaan keuangan perusahaan tiap periode, kebijakan keuangan, dan kebijakan dividen perusahaan itu sendiri. Dengan melihat perbedaan besarnya pembagian dari
29
beberapa periode, kita dapat mengetahui prospek tingkat pertumbuhan dividen suatu perusahaan di masa datang. Sedangkan tingkat pertumbuhan dividen suatu perusahaan dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan perusahaan tersebut. Dalam penelitian ini berdasarkan atas dividend discount model, maka tingkat pertumbuhan perusahaan akan dihitung dengan cara: DPSt – DPSt-1 GRt =
…………………………..(2.9) DPSt-1
Keterangan: DPSt
= dividend per share pada suatu periode t
DPSt-1 = dividend per share pada satu periode sebelum periode t
Tingkat pertumbuhan perusahaan juga sangat terpengaruh dengan asymmetric informations dan signaling theory. Karena jika perusahaan menurunkan besarnya dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham dapat menjadi sinyal negatif bagi para investor di luar perusahaan bahwa prospek tingkat pertumbuhan perusahaan tersebut menurun. Para investor dapat berpikir bahwa forecasted earnings perusahaan di masa datang juga menurun, akibat earnings perusahaan di masa sekarang menurun.
2.6 Beta Beta merupakan suatu pengukuran tingkat sensitivitas suatu saham terhadap pergerakan pasarnya. Beta disebut sebagai systematic risk, market risk, atau pun sebagai nondiversiable risk. Sebagai sebuah pengukuran risiko suatu perusahaan atau
30
sahamnya; beta
menunjukkan risiko yang tidak mungkin diperkecil atau
didiversifikasi oleh suatu perusahaan, karena yang diperhitungkan adalah faktor makro dari perusahaan tersebut (Jones 2004, 211-214). Hasil
pengukuran
beta
adalah
berupa
angka
desimal
yang
dapat
menggambarkan besarnya rata-rata perubahan pendapatan yang akan terjadi pada suatu sekuritas pada setiap perubahan pada tingkat pendapatan pasar (market return) sebesar 1 %. Misalnya jika suatu sekuritas memiliki nilai beta sebesar 1,0; maka artinya sekuritas tersebut akan mengalami rata-rata perubahan pendapatan sebesar 1 % apabila terjadi perubahan pada tingkat pendapatan pasarnya sebesar 1 % (Jones 2004, 229). Pengukuran beta tidak terlepas dari sebuah model rumus penilaian sekuritas yang sangat terkenal, yaitu: Markowitz’s Single Index Model atau Market Model. Rumus Single Index model tersebut adalah sebagai berikut (Jones 2004, 206): Ri = a i + ßi.Rm + ei............................................(2.10) Rata-rata tingkat pendapatan suatu sekuritas dapat dirumuskan sebagai berikut: IHSIi,t – IHSIi,t-1 Ri =
………………………(2.11) IHSIi,t-1
Sedangkan rata-rata tingkat pendapatan pasar dapat dirumuskan sebagai berikut: IHSGt – IHSGt-1 Rm =
……...………………...(2.12) IHSGt-1
31
Maka koefisien beta dapat juga dirumuskan sebagai berikut (Bodie, Kane, & Marcus 2005, 283): Cov (Ri , Rm) ßi =
.………….………………..(2.13) Var (Rm)
Keterangan: Ri = Rata-rata tingkat pendapatan suatu sekuritas i ai = Intersep ßi = Koefisien beta suatu sekuritas i Rm = Rata-rata tingkat pendapatan pasar IHSIi = Indeks Harga Saham Individual suatu sekuritas i IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan Cov = Fungsi covariance Var = Fungsi variance t = Pada tahun t t-1 = Pada satu periode sebelum tahun t
2.7 Return on Equity (ROE) ROE adalah sebuah rasio yang mengukur perbandingan antara seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan besarnya modal yang telah ditanamkan. ROE sering dijadikan suatu alat ukur bagi para calon investor untuk melihat perusahaan mana yang akan dipilih sebagai obyek investasi. ROE merupakan salah satu dari profitability ratio atau rasio akuntansi bottom line yang dianggap terpenting, yang maksudnya adalah untuk melihat seberapa kemampuan perusahaan dalam membentuk laba berdasarkan atas modal yang telah ditanamkan (Brigham & Houston 2004, 88). ROE memiliki persamaan sebagai berikut:
32
Laba bersih perusahaan setelah pajak ROE =
……………….(2.14) Ekuitas perusahaan
2.8 Variabel Dummy Dalam suatu analisis regresi, terkadang variabel terikat tidak hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang bersifat quantitative atau yang dapat diukur; tetapi juga dipengaruhi variabel- variabel yang bersifat qualitative atau yang tidak dapat dihitung seperti jenis kelamin, jenis ras, warna, agama, nationality, dan lain- lain. Variabel-variabel qualitative tersebut dinamakan variabel dummy (Gujarati 1992, 297). Variabel dummy adalah sebuah variabel yang hanya terdapat dua kemungkinan, yang dalam analisisnya akan dikodekan sebagai satu (1) dan yang lain sebagai nol (0) (Lind, Marchal, & Mason 2001, 520). Variabel dummy juga dikenal sebagai variabel indikator, variabel kategori, dan variabel qualitative (Gujarati 1992, 297). Variabel dummy dalam penelitian ini adalah pengkategorian perusahaan terbuka yang termasuk dalam sampel sebagai perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur sebagai satu (1) dan perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak dalam bidang manufaktur sebagai nol (0). Alasan penggunaan variabel dummy berupa pengkategorian seperti yang telah disebut adalah karena berdasarkan dugaan bahwa perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur memiliki nilai aset yang besar seperti mesin- mesin produksi untuk kegiatan seharihari perusahaan tersebut. Sedangkan hal tersebut dapat mempengaruhi nilai ekuitas
33
dan nilai buku perusahaan secara keseluruhan, dan dapat mempengaruhi nilai rasio P/BV perusahaan yang merupakan variabel terikat dari penelitian ini.
2.9 Faktor Interaksi Dalam aplikasinya, seringkali faktor interaksi dikaitkan dengan pemakaian model linear univariat, yang meliputi model regresi ga nda dan model regresi logistik. Faktor interaksi diperhatikan sebagai variabel bebas model tersebut. Namun sebenarnya, faktor interaksi memiliki pengertian yang sangat mendasar dalam analisis statistika, sehingga tidak seharusnya dikaitkan secara langsung dengan linier. Dengan kata lain, asosiasi antara faktor interaksi dengan variabel respon (variabel terikat) ditentukan oleh landasan teoritis atau substansinya; contohnya adalah asosiasi antara faktor tunggal, baik asosiasi biasa maupun asosiasi kasual (hubungan sebab akibat) (Agung 1999, 11). Dalam penelitian ini terdapat empat faktor interaksi yang merupakan hasil kali antara masing- masing variabel bebas POR, GR, beta, dan ROE dengan variabel dummy. Selanjutnya faktor interaksi akan berlaku seperti variabel-variabel bebas lainnya, yaitu dihubungkan dengan rasio P/BV sebagai variabel terikat dalam penelitian ini.
2.10 Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian serupa yang telah dilakukan para peneliti lain di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan Capaul, Rowley, & Sharpe (1981) meneliti rasio book to market value (B/MV ratio) yang merupakan
34
kebalikan dari rasio P/BV; dengan dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan dan imbal hasil (return) terhadap pasar modal Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dan Swiss. Hasil penelitian mereka adalah temuan bahwa rasio B/MV ternyata memiliki hubungan negatif dengan imbal hasil saham dan juga tingkat pertumbuhan perusahaan (Harris & Marston 1994, 18). Penelitian lain yang dilakukan oleh Fama & French (1992) mencari hubungan antara variabel bebas yang berupa beta dan growth rate dengan variabel terikat yang berupa rasio book to market value (B/MV ratio), yang merupakan kebalikan dari rasio P/BV (Harris & Marston 1994, 18-24). Penelitian tersebut mencatatkan: pertama, terdapat hubungan yang bersifat positif antara rasio B/MV dengan return dari per lembar saham. Kedua, hasil rasio B/MV yang tinggi berhubungan erat dengan tingkat risiko yang tinggi. Berdasarkan pemahaman mengenai teori fundamental ekonomi tentang rasio B/MV, Fama & French mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan ya ng memiliki rasio B/MV yang tinggi justru memiliki tingkat keuntungan yang rendah selama beberapa periode waktu. Namun Fama & French tidak melakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan beta dalam penelitian mereka tentang rasio B/MV, karena penelitian utama mereka membawa pada kesimpulan bahwa beta tidak penting dalam market pricing (Harris & Marston 1994, 18-24). Penelitian serupa yang dilakukan oleh Harris & Marston (1994, 18-24) menggunakan variabel- variabel yang sama seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fama & French (1992). Beda kedua penelitian tersebut adalah Harris & Marston menggunakan pengukuran forecasted growth rate berdasarkan
35
keuntungan dengan analisis prediksi (forecast) data, sedangkan Fama & French menggunakan pengukuran growth rate berdasarkan keuntungan namun dengan data riel. Pada penelitian tersebut, Harris & Marston menemukan bahwa: pertama, terdapat hubungan inverse (berkebalikan) antara rasio B/MV dan beta. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara beta dengan forecasted growth rate, kegagalan dalam pengendalian tingkat pertumbuhan dapat berakar dan diamati dari rasio B/MV dan beta. Kedua, rasio B/MV memiliki hubungan negatif dengan forecasted growth rate. Ketiga, dengan mengamati return melalui strategi-strategi portfolio yang berdasarkan pada rasio B/MV atau forecasted growth rate, maka dapat disimpulkan bahwa lebih baik menghindari saham- saham yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi (Harris & Marston 1994, 18-24). Penelitian lain di Indonesia yang dilakukan oleh Utama & Santosa (1998, 127140) memiliki dua tujuan, yaitu pertama, seberapa jauh rasio P/BV berkaitan dengan imbal hasil saham. Kedua, seberapa jauh rasio P/BV berkaitan dengan faktor- faktor fundamental perusahaan, yaitu rasio pembagian dividen terhadap laba (dividend payout ratio), beta, tingkat pertumbuhan yang diharapkan (expected growth rate/EGR), dan ROE; sedangkan variabel terikatnya adalah rasio P/BV. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 118 observasi yang mengambil periode sejak tahun 1991 sampai tahun 1996. Hasil dari penelitian tersebut adalah pertama, menemukan bahwa rasio P/BV dapat digunakan untuk menentukan strategi investasi karena dengan menggunakan rasio P/BV; investor dapat memperkirakan saham-saham yang mengalami undervalued dan overvalued, serta memperoleh imbal hasil yang signifikan. Kedua, menemukan bahwa dari keempat faktor fundamental yang
36
dianalisa ternyata hanya POR, EGR, dan ROE yang secara konsisten dan signifikan mempunyai hubungan yang positif dengan rasio P/BV, sedangkan beta memiliki hubungan negatif dengan Rasio P/BV. Ketiga, menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara rasio P/BV dengan imbal hasil saham, konsisten dengan temuan penelitian lainnya yang dilakukan di berbagai negara (Utama & Santosa 1998, 127140).
2.11 Kerangka Pemikiran Teoritis dan Perumusan Hipotesis Selain dikaitkan dengan teori dividend discount model dan signaling theory, penelitian ini juga akan mengacu berdasarkan rumus (2.5). Harga saham perusahaan merupakan komponen penting dalam pembentukan nilai rasio P/BV. Sedangkan harga saham dipengaruhi nilai intrinsik saham, pendapatan (earnings) di masa sekarang dan di masa datang, dan faktor-faktor lain seperti minat para investor terhadap saham perusahaan atas segala sinyal yang muncul akibat keputusankeputusan
yang
dilakukan
oleh
perusahaan
tersebut.
Keputusan-keputusan
perusahaan tersebut merupakan suatu informasi publik dapat menggambarkan keadaan, prospek, dan kinerja perusahaan; yang dapat dilihat berdasarkan faktorfaktor fundamental perusahaan dari laporan keuangan yang dipublikasikan sebagai kewajiban bagi sebuah perusahaan terbuka. Suatu informasi dapat mempengaruhi harga, maka digunakan variabel bebas yang berdasarkan lag dalam penelitian ini; karena variabel lag sudah merupakan public information. Sedangkan menurut regresi OLS, variabel bebas terjadi lebih dahulu dan mempengaruhi variabel terikat.
37
Selanjutnya akan dibahas faktor- faktor fundamental yang mempengaruhi rasio P/BV dalam subbab ini.
2.11.1 Pengaruh dari POR terhadap Rasio P/BV Jika POR suatu perusahaan naik, maka akan memberikan sinyal positif bagi para investor di luar perusahaan bahwa forecasted earnings perusahaan tersebut di masa datang naik. Saham perusahaan tersebut menjadi semakin berprospek yang meningkatkan minat para investor untuk membeli saham perusahaan. Berdasarkan teori ekonomi demand dan supply, jika suatu barang semakin dicari orang maka harga barang tersebut akan naik. Begitu pula dengan saham perusahaan tersebut, karena saham perusahaan semakin diminati investor maka harganya naik. Kenaikan harga saham perusahaan tersebut akan memicu kenaikan rasio P/BV perusahaan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Utama & Santosa (1998) mengindikasikan pengaruh positif yang signifikan antara POR dengan rasio P/BV perusahaan. Hipotesis 1: POR memiliki pengaruh positif terhadap rasio P/BV.
2.11.2 Pengaruh dari GR terhadap Rasio P/BV Jika perusahaan meningkatkan besarnya dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan yang tercermin pada DPS, maka dengan sendirinya prospek tingkat pertumbuhan perusahaan juga meningkat. Peningkatan prospek tingkat pertumbuhan perusahaan akan menyebabkan minat para investor terhadap perusahaan juga meningkat. Minat para investor untuk membeli saham perusahaan
38
tersebut akan berefek pada kenaikan harga saham perusahaan tersebut. Sehingga akan menyebabkan kenaikan rasio P/BV perusahaan. Penelitian-penelitian terahulu yang dilakukan oleh Capaul, Rowley, & Sharpe (1981); Fama & French (1992); Harris & Marston (1994); Damodaran (1996), dan Utama & Santosa (1998) mengindikasikan bahwa growth perusahaan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap rasio P/BV perusahaan. Hipotesis 2: GR memiliki pengaruh positif terhadap rasio P/BV.
2.11.3 Pengaruh dari beta terhadap Rasio P/BV Beta merupakan risiko pasar atau volatilitas perusahaan terhadap gejolak pasar. Suatu perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh risiko internal dalam bisnisnya tersebut; namun juga oleh risko yang tidak mungkin didiversifikasi, yaitu risiko eksternal perusahaan tersebut atau risiko pasar. Nilai beta suatu perusahaan yang semakin tinggi jelas berpotensi untuk semakin merugikan perusahaan tersebut. Peningkatan beta suatu perusahaan mempengaruhi secara negatif minat para investor untuk berinvestasi pada saham perusahaan tersebut. Dengan kata lain, peningkatan nilai beta suatu perusahaan akan menyebabkan penurunan harga saham perusahaan tersebut, dan kemudian menyebabkan penurunan rasio P/BV perusahaan. Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Capaul, Rowley, & Sharpe (1981), Fama & French (1982), Harris & Marston (1994), dan Utama & Santosa (1998) mengindikasikan bahwa beta memiliki pengaruh negatif denga n rasio P/BV perusahaan. Hipotesis 3: beta memiliki pengaruh negatif terhadap rasio P/BV.
39
2.11.4 Pengaruh dari ROE terhadap Rasio P/BV ROE dapat menjadi indikator simple mengenai keuntungan maupun kerugian perusahaan. Peningkatan laba bersih perusahaan setelah pajak akan menyebabkan peningkatan ROE suatu perusahaan. Setelah melihat peningkatan ROE perusahaan, para investor akan berpikir bahwa kinerja perusahaan baik, terbukti dari peningkatan laba bersih perusahaan setelah pajak. Kemudian para investor semakin berminat pada saham perusahaan tersebut, dan akan menyebabkan kenaikan harga saham perusahaan tersebut. Kenaikan harga saham perusahaan akan berujung pada kenaikan rasio P/BV perusahaan. Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Damodaran (1996) dan Utama &Santosa (1998) mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh positif antara ROE dengan rasio P/BV perusahaan. Hipotesis 4: ROE memiliki pengaruh positif terhadap rasio P/BV.
2.11.5 Perbedaan Rasio P/BV pada
Perus ahaan
Manufaktur
dan pada
Perusahaan Bukan Manufaktur Variabel dummy dalam penelitian ini adalah berupa pengkategorian perusahaan yang bergerak dalam bidang manufakur dan perusahaan yang tidak bergerak dalam bidang manufaktur. Pengkategorian perusahaan tersebut tidak didasarkan atas suatu teori dan literatur yang kuat, melainkan hanya atas dasar dugaan bahwa pada perusahaan manufaktur memiliki nilai aset yang besar seperti mesin- mesin produksi untuk kegiatan operasi sehari- hari perusahaan tersebut. Nilai aset perusahaan dapat
40
mempengaruhi nilai ekuitas dan nilai buku perusahaan secara keseluruhan yang juga dapat mempengaruhi rasio P/BV perusahaan. Hipotesis 5: terdapat
perbedaan
pengaruh
rasio
P/BV
antara
perusahaan
manufaktur dan perusahaan bukan manufaktur.
2.11.6 Perbedaan Pengaruh dari POR, GR, beta, dan ROE terhadap Rasio P/BV pada Perusahaan Manufaktur dan pada Perusahaan Bukan Manufaktur Faktor interaksi dalam penelitian ini adalah hasil kali dari masing- masing variabel bebas dengan variabel dummy, sehingga menjadi faktor interaksi (POR*dummy), (GR*dummy), (beta*dummy), dan (ROE*dummy). Faktor interaksi berfungsi untuk menunjukkan apakah hubungan masing- masing variabel bebas akan berbeda
terhadap
variabel
terikat
pada
perusahaan-perusahaan yang telah
dikategorikan sesuai variabel dummy, jika dibandingkan dengan masing- masing variabel bebas tanpa pengkategorian sesuai dengan variabel dummy. Hipotesis 6: terdapat perbedaan pengaruh dari POR terhadap rasio P/BV pada perusahaan manufaktur
dibandingkan
dengan
perusahaan bukan
manufaktur. Hipotesis 7: terdapat perbedaan pengaruh dari GR terhadap rasio P/BV pada perusahaan manufaktur manufaktur.
dibandingkan
dengan
perusahaan bukan
41
Hipotesis 8: terdapat perbedaan pengaruh dari beta terhadap rasio P/BV pada perusahaan manufaktur
dibandingkan
dengan
perusahaan bukan
manufaktur. Hipotesis 9: terdapat perbedaan pengaruh dari ROE terhadap rasio P/BV pada perusahaan manufaktur dibandingkan dengan perusahaan bukan manufaktur.
2.11.7 Pengaruh dari POR, GR, beta, dan ROE terhadap rasio P/BV secara bersama-sama Penelitian ini akan menguji apakah keempat variabel bebas yang utama memiliki pengaruh terhadap rasio P/BV secara bersama-sama. Pengujian ini akan dilakukan melalui F-test. Hipotesis 10: POR, GR, beta, dan ROE memiliki pengaruh positif terhadap rasio P/BV secara bersama-sama.
2.11.8 Pengaruh dari POR, GR, beta, ROE, variabel dummy jenis industri, dan faktor interaksi terhadap rasio P/BV secara bersama-sama Penelitian ini akan menguji apakah keempat variabel bebas yang utama memiliki pengaruh terhadap rasio P/BV secara bersama-sama. Pengujian ini akan dilakukan melalui F-test. Hipotesis 10: POR, GR, beta, ROE, variabel dummy, dan faktor interaksi memiliki pengaruh positif terhadap rasio P/BV secara bersama-sama.