BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Aaker (2004) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasaran untuk diperhatikan, dibeli, digunakan atau dikonsumsikan.
Istilah produk mencakup benda-benda fisik, jasa-jasa,
kepribadian, tempat-tempat, organisasi dan ide-ide.
Nama lain untuk produk
adalah barang penawaran, penawaran, bingkisan nilai, dan berkas manfaat. Istilah produk ada tiga, pada tingkat dasarnya dapat kita sebutkan “produk inti”. Produk inti merupakan jawaban atas pertanyaan: “apakah pada hakekatnya yang dibeli oleh seorang pembeli?” produk itu hanyalah merupakan pengemasan suatu jasa yang memecahkan persoalan.
Produk yang disempurnakan
Produk Inti
Instalasi Garansi Penyerahan bebas biaya Sistem jasa pemeliharaan
Pengemasan
Merek
Ciri khas Mutu Corak Jasa inti Produk Formal Gambar 1. Hirarki Produk Sumber: Aaker (2004)
Aaker (2004) mengatakan bahwa produk formal adalah merupakan “pengemasan dari produk intinya”.
Itulah yang dikenal oleh pembeli sebagai
“tawaran yang nyata”. Jika produk formal merupakan benda fisik, maka oleh kaum calon pembeli ia dapat dikenal sebagai mempunyai lima macam ciri khas: yaitu taraf mutu, keistimewaan (features), ragam, nama merek dan kemasan (packaging).
Jika ia merupakan jasa, ia mungkin mempunyai beberapa atau
seluruh ciri khas itu dalam bentuk kiasan.
Akhirnya terdapat produk yang
5
disempurnakan (augmented product), yang mencakupi keseluruhan manfaat yang diterima atau dinikmati oleh pihak pembeli produk yang formal tadi. Dapat disimpulkan bahwa produk ialah segala sesuatu yang diprouksi oleh perusahaan untuk dikonsumsi oleh konsumen dengan tujuan memenuhi kebutuhannya. Hirarki produk. Setiap jenis produk berhubungan secara hirarkis dengan suatu kelompok produk-produk lain, adanya suatu hirarki produk yang merentang mulai dari kebutuhan pokok sampai aneka barang khas tertentu yang dapat memenuhi kebutuhan dasar itu.
Tujuh tingkat dalam tata-tangga atau hirarki
produk itu (Aaker, 2004), yaitu: 1. Golongan kebutuhan.
Kebutuhan inti yang menimbulkan golongan
produknya. 2. Golongan produk.
Seluruh kelompok produk yang dapat memenuhi
kebutuhan lebih kurang secara mantap. 3. Kelompok produk. Sekelompok produk dalam lingkungan golongan produk itu yang diketahui 4. Jajaran produk (product line).
Sekumpulan produk yang termasuk dalam
suatu kelompok produk yang berkaitan erat satu dengan yang lain, karena berfungsi secara serupa, dijual kepada kelompok pelanggan yang sama, dipasarkan melalui saluran pemasaran yang serupa, atau yang termasuk dalam rentang harga yang sama. 5. Jenis produk.
Sekumpulan barang yang termasuk dalam jajaran produk
dengan bentuk khas di antara berbagai bentuk produk itu 6. Merek. Nama yang terikat pada satu atau beberapa barang dalam jajaran produk itu yang dimaksudkan untuk mengenali sumber atau ciri khas dari barang bersangkutan. 7. Barang.
Suatu satuan khas dalam lingkungan suatu merek atau suatu
jajaran produk yang dapat diperbedakan karena ukuran, harga, rupa, atau atribut khas lainnya. Cateora
(2004),
mengatakan
bahwa
bagian
produk,
terdiri
atas
komponen inti terdiri atas produk fisik semacam program yang berisi teknologi yang diperlukan dan seluruh desain fitur dan fitur fungsionalnya. Pada program inilah variasi produk dapat ditambahkan atau dihapus untuk memuaskan perbedaan lokal.
Penyesuaian besar pada program dapat mempengaruhi
proses produk sehingga membutuhkan investasi modal tambahan. Komponen pengemasan meliputi fitur gaya, pengemasan, pencantuman label, merek
6
dagang, merek jual, kualitas, harga, dan seluruh aspek lain kemasan sebuah produk.
Komponen layanan pendukung meliputi perbaikan dan perawatan,
instruksi, pemasangan, jaminan, pengiriman, dan ketersediaan suku cadang. Banyak program pemasaran yang semestinya berhasil namun menemui kegagalan karena hanya sedikit perhatian yang diberikan pada komponen ini. Hal ini berlaku untuk setiap produk, salah satunya jalah produk pangan yang dibutuhkan setiap orang. Hadiwigeno dalam Widyakarya Pangan dan Gizi (1989) menyebutkan bahwa pangan ialah hasil dari suatu sistem yang kompleks dengan petani dan usahatani sebagai pelaku utama. Dapat disimpulkan bahwa pangan ialah segala hasil pertanian yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Hal ini juga mencakup wilayah pertanian secara luas seperti, perkebunan, tambak, tanaman pokok, peternakan, perikanan dll. Sedangkan yang dimaksud dengan industri pangan ialah merupakan industri pengolahan hasil pertanian yang dapat digolongkan sebagai salah satu subsistem dalam sistem industri pertanian.
Saefudin et al dalam Widyakarya Pangan dan Gizi (1989)
mengkategorikan pangan menjadi dua bagian yaitu: 1. Pangan nabati 2. Pangan hewani Pangan nabati mencakup bahan pangan seperti padi, jagung, kedele, ubi, kayu, dan gula. Sedangkan pangan hewani mencakup daging, telur, susu, dan ikan. Dari beragam produk pangan tersebut, baik yang mentah maupun yang telah diolah sebaiknya dibuat bauran produk dari sumber daya yang ada. Dapat disimpulkan bahwa pangan ialah segala sesuatu yang berasal dari sektor pertanian, perikanan, dan peternakan yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keputusan bauran produk Sumarwan (2002) mengatakan bahwa bauran produk dari suatu perusahaan dapat digambarkan mempunyai ukuran lebar, kedalaman, dan konsistensi tertentu.
Ukuran lebar dari suatu bauran produk menunjukkan
beberapa macam jajaran produk yang terdapat dalam perusahaan itu. Kedalaman suatu bauran produk menunjuk kepada jumlah aneka jenis barang yang disediakan dalam setiap jajaran produk.
Sedangkan yang disebut
konsistensi dari suatu bauran produk ialah kaitan erat antara aneka jajaran
7
produk itu berkenaan dengan pemakaian terakhir, syarat-syarat produksinya dan saluran distribusi atau aneka hal lainnya. Pengetahuan Produk Pengetahuan produk adalah kumpulan berbagai macam informasi mengenai produk. Pengetahuan ini meliputi kategori produk, merek, terminologi produk, atribut atau fitur produk, harga produk dan kepercayaan mengenai produk. Pengetahuan ini meliputi kelas produk, bentuk produk, merek, model/ fitur. Kelas produk adalah tingkat pengetahuan yang paling luas yang meliputi beberapa bentuk, merek dan model (Sumarwan, 2002). Pengetahuan atribut produk Seorang konsumen akan melihat suatu produk berdasarkan kepada karakteristik atau ciri atau atribut dari produk tersebut. Bagi seorang konsumen, maka mobil memiliki atribut warna, model, tahun pembuatan, kapasitas mesin, merek, manual atau otomatis, dan sebagainya. Atribut suatu produk dibedakan ke dalam atribut fisik dan atribut abstrak. Atribut fisik menggambarkan ciri-ciri fisik dari suatu produk, misalnya ukuran produk tersebut.
Sedangkan atribut
abstrak menggambarkan karakteristik subjektif dari suatu produk berdasarkan persepsi konsumen (Sumarwan, 2002). Pengetahuan manfaat produk Jenis pengetahuan produk yang kedua adalah pengetahuan tentang manfaat produk. Konsumen mengkonsumsi suatu produk atau jasa karena ia tahu betul manfaat produk tersebut bagi dirinya. Konsumen seringkali berpikir mengenai manfaat yang ia rasakan jika mengkonsumsi atau membeli suatu produk, bukan mengenai atributnya.
Konsumen mungkin tidak tertarik untuk
mengetahui berbagai macam kandungan (atribut) dari buah mengkudu tetapi karena ia mengetahui manfaatnya maka ia mengkonsumsi buah itu (Sumarwan, 2002). Pengetahuan pembelian Arti dan jenis pengetahuan, pengetahuan meliputi berbagai informasi yang diproses oleh konsumen untuk memperoleh suatu produk. Pengetahuan produk terdiri atas pengetahuan tentang di mana membeli produk dan kapan membeli produk. Ketika konsumen memutuskan akan membeli suatu produk, maka ia akan menentukan dimana ia membeli produk tersebut dan kapan akan membelinya. Ketika konsumen memutuskan akan membeli suatu produk maka
8
ia akan menentukan di mana ia membeli produk tersebut dan kapan akan membelinya. Keputusan konsumen mengenai tempat pembelian produk akan sangat ditentukan oleh pengetahuannya.
Implikasi penting bagi strategi
pemasaran adalah memberikan informasi kepada konsumen dimana konsumen bisa membeli produk tersebut (Sumarwan, 2002). Pengetahuan pemakaian Suatu produk akan memberikan manfaat kepada konsumen jika produk tersebut telah digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Agar produk tersebut bisa memberikan manfaat yang maksimal dan kepuasan yang tinggi kepada konsumen, maka konsumen harus bisa menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut dengan benar. Kesalahan yang dilakukan oleh konsumen dalam menggunakan produk akan menyebabkan produk tidak berfungsi dengan baik. Ini akan menyebabkan konsumen kecewa, padahal kesalahan terletak pada diri konsumen (Sumarwan, 2002).
2.1.2 Pengertian Komunikasi Pemasaran Kotler (2000) dalam Kusumastuti (2009) mendefinisikan komunikasi pemasaran sebagai usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik, terutama konsumen sasaran, mengenai keberadaan suatu produk di pasar. Komunikasi pemasaran dengan kata lain menggunakan teori komunikasi antar pribadi yaitu action assembly theory yang dijelaskan John Greene dalam Littlejohn (1999) sebagai bagaimana kita mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan yang kita miliki dalam berkomunikasi.
Lazarevic (2007) mengatakan bahwa
komunikasi pemasaran yang memiliki banyak variasi dalam mengorganisasikan pesan serta menyampaikannya untuk membangun hubungan dengan konsumen. Komunikasi pemasaran berkontribusi kepada efisiensi dari perusahaan dengan cara membangun sinergi dan integrasi informasi kepada konsumen. Komunikasi pemasaran yang digunakan sebaiknya unik dan memiliki ciri tersendiri. Kotler (2000) dalam Kusumastuti (2009) mengatakan bahwa, konsep yang sering digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut dikenal dengan bauran promosi yang terdiri atas lima teknik yaitu: 1. Periklanan, dalam hal ini mencakup periklanan di media cetak dan elektronik. Gambar bergerak, brosur, booklet. Leaflet, audio visual, dan videotape.
9
2. Promosi penjualan, dapat berupa kontes permainan, undian berhadiah, pameran, kupon, dll. 3. Hubungan masyarakat dan publisitas, yang meliputi kegiatan pidato. Seminar, laporan tahunan, donasi, amal, sponsorship, majalah perusahaan. 4. Penjualan tatap muka, seperti presentasi penjualan, pertemuan penjualan, program insentif, dan pameran perdagangan. 5. Pemasaran langsung, seperti katalog, surat, tv shopping, fax mail, e-mail, dll. Inti dari pemasaran ialah pertukaran, sedikitnya dilakukan oleh dua belah pihak untuk memperoleh kepuasan.
Komunikasi pemasaran adalah aplikasi
komunikasi yang bertujuan untuk membantu kegiatan pemasaran sebuah perusahaan. Aplikasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk media yang digunakan,
daya
tarik
pesan,
dan
frekuensi
penyajian
Kennedy
dan
Soemanegara (2006) dalam Kusumastuti (2009). Proses pertukaran komunikasi pemasaran memiliki beberapa peran, diantaranya
sebagai
berikut
(Kennedy
dan
Soemanegara,
2006
dalam
Kusumastuti, 2009): 1. Memberi informasi dan membuat konsumen menyadari keberadaan produk yang ditawarkan.
Melalui komunikasi pemasaran konsumen potensial
dibujuk agar berhasrat masuk kedalam hubungan pertukaran. 2. Mengingatkan konsumen, hal ini memiliki arti bahwa komunikasi pemasaran mengingatkan konsumen tentang keberadaan produk.
Dapat dikatakan
bahwa konsumen diingatkan dengan produk yang sejak dulu telah dikenal masih tetap ada dan hingga saat ini tetap ada di pasaran. Hal ini sangat penting bagi kelangsungan perusahaan karena sebuah perusahaan akan bertahan karena adanya konsumen. 3. Membujuk konsumen dan pelanggan potensial untuk melakukan pembelian, dalam hal ini pesan-pesan persuasif sangat dibutuhkan. 4. Menunjukkan perbedaan, komunikasi pemasaran dapat membedakan produk yang ditawarkan oleh suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Diferensiasi produk terkait dengan product positioning. Dalam diferensiasi produk, produk yang ditawarkan oleh satu perusahaan memang betul-betul berbeda secara fisik dan komposisi kandungan produk dengan produk lainnya.
10
5. Menghantarkan nilai-nilai sosial pada masyarakat.
Berdasarkan konsep
periklanan, suatu iklan akan menarik apabila menampilkan daya tarik tertentu, sesuai batas-batas nilai moral yang berkembang di masyarakat. Strategi komunikasi pemasaran bertujuan untuk mencapai tiga tahap perubahan yang ditujukan bagi konsumen, yang digambarkan oleh Gambar 2:
Tahapan Pencapaian Tujuan Komunikasi Awareness Stage
Interest Stage
Loyalty Stage
Gambar 2. Tahapan Pencapaian Tujuan Komunikasi Sumber: Kusumastuti (2009)
Tahap pertama adalah tahap perubahan pengetahuan. Dalam hal ini, konsumen mengetahui keberadaan suatu produk, untuk apa diciptakan, dan ditujukan kepada siapa. Tahap kedua adalah tahap perubahan sikap, dan yang terakhir adalah tahap perubahan perilaku yang dimaksudkan agar konsumen tidak berpaling kepada produk lain. Pesan yang disampaikan akan lebih baik apabila terdapat formula AIDA, yang dijabarkan sebagai berikut: Attention, pada tahap ini dikatakan sesuatu yang cukup menarik dan bermanfaat pada khalayak. Pada tahap ini pemberi pesan mencoba menceritakan sesuatu kepada khalayak tanpa dibesar-besarkan, atau mengancam. Pada tahap interest, pemberi pesan menjelaskan bagaimana keterkaitan antara pesan yang kita sampaikan dengan khalayak.
Hal ini
bertujuan agar penerima pesan mengatakan, “ini ide hebat, mungkin inilah yang saya perlukan”.
Selanjutnya pada tahap desire, pemberi pesan mencoba
meningkatkan keinginan penerima pesan agar bertindak sesuai dengan anjuran. Tujuannya agar penerima pesan berpikir bahwa ia benar-benar membutuhkan
11
hal yang kita tawarkan. Pada tahap action, menegaskan kepada khalayak cara melakukan tindakan yang dianjurkan. Komunikasi Antar Pribadi Sendjaja (1999) mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antar orang-orang yang saling berkomunikasi.
Proses dalam hal ini berarti mengacu pada perubahan dan
tindakan yang berlangsung secara terus-menerus.
Komunikasi ini juga
merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan pesan dan menerima pesan secara timbal balik.
Dipertukarkan dalam komunikasi adalah
makna yang berupa kesamaan pemahaman di antara orang-orang yang berkomunikasi
terhadap
pesan-pesan
yang
digunakan
dalam
proses
berkomunikasi. Pearson dalam Sendjaja (1999) menyebutkan ada enam karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu: 1. Komunikasi antar pribadi dengan diri sendiri.
Berbagai pengamatan dan
pemahaman berangkat dari diri kita, yang berarti dibatasi oleh siapa diri kita dan pengalaman kita. 2. Komunikasi antar pribadi yang bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu kepada
tindakan
pihak-pihak
yang
berkomunikasi
secara
serempak
menyampaikan dan menerima pesan. 3. Komunikasi antar pribadi mencakup aspek-aspek dan isi pesan yang berhubungan antar pribadi. Komunikasi antar pribadi tidak hanya berkenaan dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga mencakup siapa partner komunikasi dan bagaimana hubungan kita dengan partner tersebut. 4. Komunikasi antar pribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihakpihak yang berkomunikasi. 5. Komunikasi antar pribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan lainnya dalam proses komunikasi. 6. Komunikasi antar pribadi tidak dapat diubah maupun diulang.
Jika kita
melakukan kesalahan maka kesalahan tersebut tidak akan dapat diulang maupun dihapus. Memahami komunikasi dan hubungan antar pribadi dari sudut pandang individu adalah menempatkan pemahaman mengenai komunikasi dalam proses psikologis. Setiap individu dalam tindakan komunikasi memiliki pemahaman dan
12
makna pribadi terhadap semua hubungan dimana ia terlibat. Aspek psikologis dalam komunikasi antar pribadi menempatkan makna hubungan sosial kedalam individu, yaitu dalam diri partisipan komunikasi. Hal ini akan terlihat jelas apabila kita menyertakan rasa memiliki bahwa orang lain atau apapun yang diasosiasikan dengan kita merupakan milik kita, contoh: istri saya, produk saya, sesuatu yang diasosiasikan menjadi milik saya. Dapat disimpulkan bahwa kita mengartikan dan bahkan orang lain dalam pengertian yang berpusat pada diri kita sendiri, yaitu bagaimana segala sesuatunya berhubungan atau berkaitan dengan diri kita (Sendjaja,1999). Howard Gilles dalam Littlejohn (1999) mengungkapkan teori akomodasi, apabila kita perhatikan dengan seksama diantara dua orang yang sedang berbicara maka akan tampak salah satunya atau mungkin keduanya akan saling menyesuaikan.
Baik dalam kecepatan berbicara, intonasi, bahasa tubuh dll.
Menurut penelitian teori ini sangat penting dalam komunikasi, teori ini akan membawa kita kepada identifikasi sosial. Dapat pula sebagai acuan kita diterima di suatu grup, karena kebanyakan grup cenderung memiliki banyak kesamaan diantara orang-orang yang terlibat didalamnya.
Dapat disimpulkan bahwa
komunikasi antar pribadi merupakan proses pertukaran makna diantara orangorang yang berkomunikasi dalam proses yang berkelanjutan. Teori-teori tentang komunikasi pemasaran dan komunikasi antar pribadi ini kemudian diaplikasikan dalam proses pemasaran. Pemasaran menurut Aaker (2004) adalah proses dari perencanaan dan pemasaran dari sebuah konsep, pemberian harga, promosi, dan pendistribusian bahan baku, produk serta pelayanan untuk menciptakan kepuasan konsumen individual dan mencapai tujuan organisasi.
Konsep pemasaran memerlukan
kepuasan pelanggan untuk mencapai tujuan perusahaan. Kepuasan konsumen memerlukan kesigapan perusahaan untuk mencari informasi tentang kebutuhan pelanggan. Kecerdasan pemasaran adalah strategi didalam penelitian pemasaran, yang dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut (Aaker, 2004): 1. Fokus terhadap informasi dan menggunakan informasi tersebut sebagai sumber dari strategi berikutnya. 2. Tujuan dalam pemasaran tidak hanya untuk mendapatkan data, tetapi mendapatkan data untuk membantu membuat keputusan yang tepat.
13
3. Kecerdasan pemasaran memiliki kapasitas untuk menjadi yang utama dalam berkontribusi terhadap pengembangan bisnis melalui strategi penelitian, analisis hukum dan resiko, dll. Aaker (2004), berikut adalah beberapa hal yang mendasari akan kebutuhan kecerdasan pemasaran: 1. Produsen hanya sedikit melakukan kontak langsung dengan pelanggan. 2. Distributor
hanya
memiliki
sedikit
pengetahuan
tentang
kebutuhan,
kebiasaan, serta perubahan selera pelanggan. 3. Kita harus mengerti dunia kompetisi, tanpa memata-matai secara ilegal. 4. Tujuan utama perusahaan adalah memenuhi target penjualan dan meraih market share yang telah ditentukan. 5. Manajer perusahaan biasanya meminta rencana untuk memasuki pasar baru dan menambah kategori produk yang belum banyak dikenal konsumen. 6. Masa depan tidak dapat ditebak, dunia bisnis memerlukan antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dunia bisnis minimal lima sampai sepuluh tahun kedepan. Keuntungan menerapkan kecerdasan pemasaran (Aaker, 2004): 1. Keputusan Produk, kecerdasan pemasaran membantu dalam mengambil keputusan dalam produk yang baru dan juga mengoptimalisasi pemasaran produk sesuai dengan segmen konsumen yang dituju. 2. Segmentasi konsumen, kecerdasan konsumen memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mempelajari iklan. Dampak sebelum beriklan dan setelah beriklan.
Didasarkan kepada penelitian, kecerdasan pemasaran
memberikan perusahaan fleksibilitas untuk memilih media periklanan. Kecerdasan pemasaran juga memberikan perusahaan informasi yang cukup untuk menyeleksi target konsumen. 3. Harga dan Merek, kecerdasan pemasaran membantu perusahaan dalam mengambil keputusan terkait dengan pembangunan ekuitas merek, selain itu kecerdasan pemasaran juga membantu dalam menangkap tren yang sedang booming saat ini, dan arah perubahan trend tersebut. 4. Stakeholder,
kecerdasan pemasaran membantu semua pihak yaitu
konsumen, distributor dan supplier puas. 5. Estimasi pasar, persaingan kompetitif, dan distribusi. Kecerdasan marketing juga membantu dalam analisis kuantitatif pasar, analisis kebutuhan pasar,dan memperkirakan kebutuhan pasar dimasa yang akan datang.
14
Bussiness Intelligence Finance & Accounting Intelligence
Marketing Intelligence
HR Intelligence
Operations Intelligence
Marketing Research
De8ine Problem & info. needs
Look for Existing Data
Design Study
Collect & Analyze Data Use & Report Data for Decision Making Back-end Analysis Gambar 3. Bagian – bagian dari Business Intelligence Sumber: Aaker (2004)
Sehingga pemasaran ialah segala suatu proses dari awal pembentukan image hingga akhirnya produk tersebut dikenal konsumen dengan image yang telah dibuat di awal. Sedangkan kecerdasan pemasaran ialah salah satu kiat untuk memasarkan produk serta memperkenalkannya kepada khalayak. Tetapi bagaimana apabila yang ingin dikomunikasikan ialah sebuah ide/ gagasan? Dapatkah kecerdasan pemasaran melakukannya? Untuk itu selanjutnya akan dibahas mengenai kampanye komunikasi publik. Kampanye Komunikasi Publik Rice, Ronald E.
dan William J.
Paisley (1983) mengatakan bahwa
kampanye komunikasi digunakan untuk menginformasikan gagasan seseorang/ kelompok sehingga dapat mempengaruhi khalayak.
Banyak dari kita melihat
15
poster-poster, majalah, iklan televisi atau iklan di bus yang menginformasikan kampanye-kampanye seperti keluarga berencana, hemat energi, menyelamatkan hutan kita, mengurangi konsumsi minuman yang mengandung alkohol dan rokok, dll. Kampanye komunikasi publik bertujuan untuk merepresentasikan tujuan seseorang untuk mempengaruhi kebiasaan atau pemahaman seseorang melalui jalur komunikasi. Rosady (2005) mengatakan bahwa, kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang terencana untuk mencapai tujuan tertentu dan berupaya mempengaruhi khalayak sebagai target sasarannya. Konsep kampanye ialah melakukan kegiatan komunikasi secara terencana yang lebih moderat, terbuka, toleran, dan program yang jelas, persuasive serta dapat diidentifikasikan secara jelas nara sumbernya (komunikator) dan selalu berkonotasi posiif.
Dapat
disimpulkan bahwa kampanye komunikasi publik ialah usaha untuk merubah mindset seseorang tentang sebuah ide melalui jalur komunikasi. Aktivitas komunikasi dalam berkampanye biasanya berkaitan dengan suatu kepentingan dan tujuan. Charles U. Larson (1992) dalam Rosady (2005) telah membagi jenis-jenis kampanye kegiatan berdasarkan orientasi tujuannya. a. Product – Oriented Campaigns Kegiatan dalam kampanye berorientasi pada produk, dan biasanya dilakukan dalam kegiatan komersial kampanye promosi pemasaran suatu peluncuran produk yang baru. Seperti peluncuran provider dan produk. b. Candidate – Oriented Campaigns Ekegiatan
kampanye
yang
berorientasi
bagi
calon
kandidat
untuk
kepentingan kampanye politik, seperti kampanye pemilu dalam era reformasi. c. Idelogical or Cause – Oriented Campaigns Jenis kampanye ini berorientasi kepada perubahan pandangan sosial, seprti kegiatan kampanye program Keluarga Berencana Nasional (KBN), sadar bayar pajak, pelestarian lingkungan alam, dll. 2.1.3 Merek Asosiasi pemasaran Amerika mendefinisikan merek (brand) dalam Kotler (2007) sebagai “nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa pesaing.
Dapat dikatakan bahwa merek adalah produk atau jasa penambah
dimensi yang dengan cara tertentu mendeferensiasikannya dari produk atau jasa
16
lain yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama.
Kotler (2007)
mengatakan bahwa merek dapat mengidentifikasi sumber atau pembuat produk dan memungkinkan konsumen (individual atau organisasi) untuk menetapkan tanggung jawab pada pembuat atau distributor tertentu. Konsumen menemukan merek yang mana memuaskan kebutuhan mereka dan mana yang tidak. Ketika kehidupan konsumen menjadi lebih rumit, sibuk, dan kekurangan waktu, kemampuan merek untuk menyederhanakan pengambilan keputusan dan mengurangi resiko menjadi tak ternilai. Cateora (2007) mengatakan bahwa merek global sebagai penggunaan sebuah nama, istilah, tanda, simbol, desain diseluruh dunia, atau kombinasinya yang ditujukan untuk mengidentifikasi barang atau jasa yang dihasilkan satu penjual dan untuk membedakan mereka dan kompetitornya. Salah satu dimensi mutu yang utama adalah bagaimana sebuah produk memenuhi kebutuhan tertentu dari pembeli dengan baik.
Saat sebuah produk gagal memenuhi
ekspektasi kerja, mutunya yang buruk akan terlihat dengan jelas.
Sebuah
produk yang desainnya melebihi keinginan kegunaan yang diharapkan pembeli umumnya ekstranya.
memiliki harga
lebih
tinggi, yang
menggambarkan
kapasitas
Mutu untuk banyak produk dinilai berdasarkan pada pemenuhan
ekspektasi tertentu. Kotler (2007) strategi merek merupakan segi terpenting dari strategi produk.
Setiap tokoh pemasaran harus memutuskan barang-barang yang
manakah perlu diberi merek, bagaimana mengatur pemberian merek itu dan cara bagaimana harus mengelola aneka mereknya.
Kotler (2007) menyebutkan
bahwa merek adalah suatu nama, istilah, tanda, lambang atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut yang dimaksudkan untuk menandakan barang atau jasa dari pihak penjual tunggal atau pihak kelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang yang berasal dari pihak pesaingnya. Kotler (2007) merek juga menunjukkan fungsi-fungsi yang bernilai bagi perusahaan. Pertama, merek menyederhanakan penanganan atau penelusuran produk.
Merek membantu untuk mengorganisasikan catatan inventori dan
catatan akunting. Sebuah merek juga menawarkan perlindungan hukum yang kuat untuk fitur atau aspek produk yang unik.
Nama merek dapat dilindungi
melalui paten, pengemasan dapat dilindungi melalui hak cipta dan rancangan. Hak properti intelektual ini memastikan bahwa perusahaan dapat melakukan investasi secara aman dalam merek dan memperoleh keuntungan dari aset yang
17
bernilai. Merek dapat menandakan satu tingkat mutu tertentu, sehingga pembeli yang puas dapat lebih mudah memilih produk. Kesetiaan merek memberikan kemampuan untuk diramal dan keamanan perminataan bagi perusahaan sekaligus menjadi hambatan bagi perusahaan lain yang ingin memasuki pasar. Dapat disimpulkan bahwa merek ialah suatu “ciri khas” yang dapat berupa simbol/ nama dari suatu produk yang dapat membedakan produk tersebut dengan produk lainnya. Merek-merek terkuat dunia memiliki 10 atribut yang sama, yaitu (Kotler, 2007): 1. Merek itu unggul dalam menyerahkan manfaat yang benar-benar diinginkan konsumen. 2. Merek itu selalu relevan 3. Strategi penetapan harga didasarkan pada persepsi konsumen tentang nilai 4. Merek itu diposisikan secara tepat 5. Merek itu konsisten 6. Hirarki dan portofolio merek itu masuk akal 7. Merek itu memanfaatkan dan mengkoordinasikan daftar lengkap kegiatankegiatan pemasaran untuk membangun ekuitas 8. Manajer merek memahami arti merek bagi konsumen 9. Merek itu mendapat dukungan yang kuat dan memadai 10. Perusahaan memantau sumber ekuitas merek
2.1.4 Ekuitas Merek Kotler (2007) mendefinisikan ekuitas merek sebagai nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Nilai ini bisa dicerminkan dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak terhadap merek, harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang dimiliki perusahaan.
Ekuitas merek merupakan aset tak
berwujud yang penting, yang memiliki nilai psikologis dan keuangan bagi produk Ekuitas merek berbasis pelanggan dapat didefinisikan perbedaan dampak dari pengetahuan merek pada tanggapan konsumen terhadap pemasaran merek itu. Merek tertentu dikatakan memiliki ekuitas merek berbasis pelanggan yang positif bila konsumen bereaksi lebih menyenangkan terhadap produk tertentu, dan cara produk tersebut dipasarkan dan diidentifikasi, dibandingkan dengan ketika merek itu belum diidentifikasi. Sedangkan Aaker (2004) mendefinisikan ekuitas merek sebagai kesatuan aset dan keunggulan yang terkait dengan suatu merek yang dapat memberikan nilai tambah dari suatu produk ataupun terhadap pelayanan
18
yang diberikan suatu perusahaan. sendirinya,
perusahaan
perlu
Ekuitas merek tidak datang dengan
melakukan
usaha-usaha
tertentu
untuk
membangun ekuitas merek yang kuat. Disimpulkan bahwa ekuitas merek adalah segala sesuatu yang dapat memberikan nilai tambah bagi produk tersebut sehingga produk tersebut dapat terlihat lebih unggul dari kompetitornya. Membangun Ekuitas Merek Membangun ekuitas merek diperlukan tiga perangkat utama pendorong ekuitas merek (Kotler, 2007), yaitu: pilihan awal atas unsur-unsur merek atau identitas membentuk merek, produk dan layanan serta semua aktivitas pemasaran yang menyertai program pemasaran yang mendukung, dan asosiasi lain yang secara tidak langsung dialihkan ke merek dengan menautkannya dengan beberapa entitas lain. Unsur-unsur merek dapat memainkan sejumlah peran untuk membangun merek. Jika konsumen tidak menguji banyak informasi dalam mengambil keputusan produk, unsur-unsur merek seharusnya mudah dikenal dan diingat serta secara inheren bersifat deskriptif dan persuasif. Unsurunsur merek yang mudah diingat akan mengurangi beban komunikasi pemasaran untuk membangun kesadaran dan menghubungkan asosiasi merek. Pilihan unsur merek yang cermat dan asosiasi sekunder dapat memberikan sumbangan penting untuk membangun ekuitas merek, input utama muncul dari produk atau jasa dalam mendukung kegiatan pemasaran. Merek tidak hanya dibangun oleh iklan. Pelanggan akhirnya mengenal sebuah merek melalui kisaran kontak dan titik-titik singgung melalui observasi dan penggunaan pribadi, omongan mulut, interaksi dengan personel perusahaan, pengalaman online atau telepon, dan transaksi pembayaran.
Kontak merek dapat
didefinisikan sebagai pengalaman yang membawa informasi apapun yang dimiliki
pelanggan
terhadap
merek,
kategori
produk,
atau
pasar
yang
berhubungan dengan produk atau jasa pemasar. Pemasar menciptakan kontak merek dan membangun ekuitas merek melalui banyak jalan, seperti klub dan komunitas konsumen, pameran dagang, event, sponsor, kunjungan pabrik, hubungan masyarakat dan siaran pers, serta pemasaran bertujuan sosial. Blackston (2000) dalam Lazarevic (2007) mengatakan bahwa, hal yang penting menyangkut ekuitas merek ialah membangun hubungan diantara konsumen dan merek.
Hal ini memerlukan ikatan mental yang kuat.
Menggunakan selebriti sebagai endorser dapat memfasilitasi hal ini karena
19
endroser dapat mengadirkan kesamaan diantara mereka dengan merek. Tentu saja selebriti yang dipakai sebagai endorser harus dapat mencerminkan merek tersebut. Lazarevic (2007) juga mengatakan bahwa dalam membangun ekuitas merek akan efektif melalui segmentasi produk. Segmentasi penting karena ia menjelaskan mengapa pasar harus dibagi-bagi berdasarkan klasifikasi tertentu. Segementasi memberi jalan untuk mengetahui konsumen
mana yang akan
menjadi target mereka. Apabila perusahaan memasuki semua segmen yang ada untuk meningkatkan ekuitas merek mereka maka akan diperlukan biaya yang sangat besar.
Oleh karena itu diperlukan segementasi untuk merangkul
konsumen yang tepat. Kotler (2007) cara terakhir dalam mengangkat ekuitas merek ialah dengan cara “meminjam”.
Asosiasi merek sendiri bisa dihubungkan dengan
entitas yang dimiliki asosiasi mereka sendiri dan menciptakan asosiasi merek “sekunder.”
Dengan
kata
lain,
ekuitas
merek
bisa
diciptakan
dengan
menghubungkan merek dan informasi lain dalam memori yang mengandung arti bagi konsumen. Merek bisa dihubungkan dengan faktor sumber tertentu, seperti perusahaan, Negara atau wilayah geografis lain, saluran distribusi, dan juga kepada merek lain, tokoh, pemberian lisensi, juru bicara, acara-acara khusus, dan melalui pihak ketiga. Unsur-unsur dalam Ekuitas Merek Aaker (2004) mengatakan bahwa aset dan keunggulan dalam setiap ekuitas merek akan berbeda dari suatu konteks ke konteks yang lain, yang dapat dimasukkan menjadi lima kategori, yaitu: 1. Loyalitas merek (brand loyalty); 2. Kepedulian terhadap merek (brand awareness); 3. Kepedulian akan kualitas (perceived quality); 4. Asosiasi merek (brand association); dan 5. Aset-aset yang lain (other proprietary brand asset) Merek menarik minat konsumen, merupakan alasan utama dibalik hubungan yang terjalin antara konsumen dan merek.
Untuk membangun
hubungan ini, conscious effort telah dibentuk untuk menggerakkan produk dari sekedar dilihat menjadi digunakan, dengan pengalaman positif yang konsisten dari konsumen loyal menjadi hasil akhirnya.
20
Nilai-Nilai yang diperoleh konsumen: • Interpretasi dan informasi • Kepercayaan diri dalam membeli • Kepuasan pemakaian
Branf loyalty
Brand awareness Ekuitas Merek Nama Simbol Perceived quality
NIlai-nilai yang diperoleh produsen: • Efisiensi dan efektivitas pemasaran • Loyalitas merek • harga • perluasan Merek • Nilai tukar • Pasar Kompetitif
Brand associations
Other brand asset
Gambar 4. Unsur-unsur dalam Ekuitas Merek serta Pengaruhnya Sumber: Aaker (2004)
1.
Brand awareness (kesadaran merek) Aaker (2004) kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon
konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.
Kesadaran merek ini bukan hanya sekedar
menyangkut apakah konsumen mengetahui nama merek, namun berkaitan pula dengan mengaitkan dengan asosiasi tertentu yang ada di dalam benak konsumen. Kesadaran merek dapat dilihat dari puncak pikiran (top of mind), pengingatan kembali merek (brand recall), pengenalan merek (brand recognition) dan tidak menyadari merek (brand unaware). Merek yang memiliki top of mind tinggi akan memiliki nilai merek yang tinggi pula. Jika suatu merek tersimpan dengan baik dalam benak konsumen, akan mempengaruhi responden dalam mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut. Tong and Hawley (2009) mengatakan bahwa brand awareness merupakan komponen penting dari ekuitas merek.
Hal ini mencerminkan konsumen potensial untuk mengingat kembali
merek tersebut.
Hal ini dapat diraih dengan meningkatkan kualitas dan
21
komitmen, serta membiarkan konsumen menjadi familiar dengan merek kita serta membantu mereka dalam pembelian. 2. Brand association (asosiasi merek) Aaker (2004) asosiasi merek ialah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek, hal ini menyangkut terhadap kesan-kesan yang ditimbulkan oleh merek tersebut di benak konsumen.
Kesan-kesan tersebut
akan semakin meningkat dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam bauran produknya. Suatu merek yang kuat akan memiliki posisi yang menonjol dalam persaingan apabila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat.
Berbagai asosiasi tersebut maka akan menampilkan image yang kuat
terhadap produk tersebut. 3. Perceived quality (persepsi kualitas merek) Aaker (2004) persepsi kualitas merek adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Persepsi kualitas ini tidak dapat ditentukan secara objektif karena merupakan persepsi dari pelanggan individu. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa. Perceived quality merupakan inti dalam pembentukan ekuitas merek berbasis konsumen.
Zeithaml, (1988) dalam Tong and Hawley (2009)
mengatakan bahwa perceived quality ini bukan merupakan kualitas yang sebenarnya tetapi hal ini merupakan persepsi konsumen secara keseluruhan dari produk maupun pelayanan yang diberikan.
Kualitas yang baik memberikan
alasan yang baik kepada konsumen untuk membeli merek tersebut dan memberikan jalan bagi merek tersebut untuk membedakan diri mereka dengan para kompetitor, memberikan harga yang tinggi, dan memiliki basis yang kuat untuk perluasan merek. 4. Brand loyalty (loyalitas merek) Aaker (2004) loyalitas merek merupakan ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas merek yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran karena hal ini merupakan suatu ukuran keterikatan pelanggan terhadap suatu merek. Seorang pelanggan yang sangat loyal terhadap suatu merek tertentu tidak akan mudah memindahkan
22
pembeliannya ke merek lain.
Sehingga merek tersebut akan terhindar dari
merek produk pesaing apabila telah memiliki pelanggan yang loyal. Tong and Hawley (2009) mengatakan bahwa brand loyalty merupakan inti dari ekuitas merek, yang merupakan komponen utama. Konsumen yang loyal akan jarang untuk mengganti produk merek walaupun harga yang ditawarkan kompetitor lebih murah. Mereka juga akan selalu membeli lebih daripada konsumen yang tidak loyal. 5. Other brand asset (aset merek lainnya) Aaker (2004) aset-aset merek lainnya akan sangat bernilai jika aset-aset itu menghalangi dan mencegah para kompetitor menggerogoti loyalitas konsumen. Aset-aset merek lainnya meliputi, paten, sertifikasi, cap dagang, dan hubungan dengan lembaga lain.
2.1.5 Sertifikasi Halal Anton Apriantono, Joko Hermanto, dan Nur Wahid dalam buku mereka yang berjudul “Pedoman Produksi Pangan Halal” (2007) mengatakan bahwa perusahaan perlu memiliki sebuah komitmen yang kuat untuk menghasilkan produk halal.
Komitmen perusahaan ini perlu dijabarkan dalam bentuk
kebijaksanaan umum perusahaan.
Memang tidak ada keharusan bagi
perusahaan, baik di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar Indonesia untuk menghasilkan produk-produk yang halal saja.
Negara Indonesia yang
penduduknya heterogen dari segi keyakinan agama ini, keberadaan pangan non halal untuk kalangan non-muslim tetap dihormati dan diakui keberadaannya. Namun apabila komitmen perusahaan sudah menghendaki untuk memproduksi makanan halal, maka ia terikat dengan ketentuan dan peraturan mengenai kehalalan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwa sertifikasi halal ialah sertifikasi yang dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang telah mencantumkan sertifikasi halal pada kemasannya merupakan produk yang terjamin kehalalannya. Anton Apriantono et al (2007) kebijakan perusahaan untuk memproduksi pangan halal menuntut konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi. Selain itu keputusan tersebut juga mengandung sanksi-sanksi yang akan diterima jika ditemukan adanya penyimpangan dari aturan main yang telah ditentukan, sebagaimana telah diatur dalam hukum positif di Indonesia. Dalam kebijakan
23
perusahaan inipun masih diberikan kebebasan kepada manajemen perusahaan untuk memilih apakah komitmen kehalalan itu menyangkut seluruh produk yang dihasilkan atau hanya sebagian produk saja yang akan diproduksi secara halal. Kebijakan untuk Hanya Berproduksi Halal Anton Apriantono et al (2007) sebenarnya kebijakan inilah yang lebih dikehendaki, karena akan lebih aman bagi konsumen dan lebih sederhana penanganannya bagi produsen. Dalam kebijakan tersebut berarti perusahaan hanya akan memproduksi pangan halal saja. Oleh karena itu seluruh bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan adalah halal. Oleh karena itu tidak perlu ada lagi pemisahan bahan baku, pemisahan lini produksi, pemisahan gudang, pemisahan distribusi dan pemisahan administrasi. Sistem Jaminan Halal Anton Apriantono et al (2007) pada dasarnya suatu sistem manajemen yang diterapkan dalam menjamin sesuatu, apakah itu mutu atau halal, secara prinsip sama.
Namun, berbeda dengan mutu yang merupakan konsensus
manusia dalam mendefinisikan mutu suatu produk, dalam masalah halal ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa lalu melalui para ulama dan ilmuwan ketentuan itu diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari. Anton Apriantono et al (2007) dalam menghasilkan produk yang terjamin kehalalannya, harus ditetapkan Three Zero’s Concept
yaitu zero limit, zero
defect dan zero risk. Hal ini berarti bahan haram tidak boleh terdapat didalam bahan mentah (zero limit), bahan tambahan dan produk pada semua rangkaian produksi, termasuk juga tidak boleh ada bahan najis semacam tikus, atau kotoran
tikus
mengkontaminasi
menghasilkan produk halal.
bahan-bahan
yang
diperlukan
untuk
Dengan demikian, tidak boleh ada sama sekali
produk yang haram yang dihasilkan (zero detect) mengingat resiko besar yang ditanggung perusahaan apabila ada klaim produknya haram dan ternyata benar. Jika kedua hal ini diterapkan maka tidak ada resiko (zero risk) buruk yang akan ditanggung oleh perusahaan. Sistem jaminan halal terdiri dari lima komponen (Anton Apriantono et al ,2007), yaitu: 1. Standar manajemen halal; 2. Standar audit sistem halal; 3. Haram analysis critical control point;
24
4. Pedoman halal; dan 5. Database halal Anton Apriantono et al (2007) manajemen halal adalah “usaha-usaha mengelola semua fungsi dan aktivitas yang diperlukan untuk menentukan dan mencapai produk halal”. Sistem halal didefinisikan sebagai “struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, aktivitas kemampuan dan sumberdaya yang secara keseluruhannya dapat memastikan bahwa produk, proses dan pelayanan yang dihasilkan dapat memuaskan tujuan yang diinginkan yaitu dihasilkan produk yang terjamin kehalalannya. Disamping itu, keterlibatan top management juga ada dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan halal, yang juga penitng adalah komunikasi anatara koordinator halal dengan lembaga sertifikasi halal harus lancar. Standar audit sistem halal paling tidak mencakup kegiatan (Anton Apriantono et al, 2007): 1. Menentukan kesesuaian unsur-unsur sistem halal dengan kebutuhan yang telah ditentukan; 2. Menentukan efektivitas implementasi sistem halal dalam memenuhi tujuan yang ingin dicapai; dan 3. Memverifikasi ketidaksesuaian yang ditemukan pada audit pada periode sebelumnya telah dilakukan perbaikan sesuai dengan yang telah disepakati. Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP) pada prinsipnya mengikuti prinsip pada Harzard Analysis Critical Control Point. Tapi dalam hal ini, ditujukan pada usaha-usaha pencegahan masuknya bahan haram dan najis kedalam sistem produksi sedini mungkin. Bahan haram dan najis tidak boleh kontak dengan produk halal pada seluruh tangkaian produksi dan pada kadar berapapun. Anton Apriantono et al (2007) HrACCP dapat didefinisikan titik kritis dimana bahan haram dapat mengkontaminasi bahan halal yang akan diproduksi. Ada enam kegiatan dalam penerapan HrACCP yaitu: a) Mengidentifikasi dan menilai seluruh bahan haram dan najis yang mungkin ada dalam rangkaian produksi. b) Menentukan titik kendali kritis (critical control point). c) Memantapkan prosedur monitoring. d) Memantapkan tindakan perbaikan.
25
e) Memantapkan sistem pencatatan rekaman. f)
Memantapkan prosedur verifikasi. Anton Apriantono et al (2007) pedoman halal sangat diperlukan industri
untuk mengetahui apa saja yang diharamkan, baik secara umum maupun khusus. Disamping itu diperlukan pula standar bagaimana memproduksi pangan halal.
Ada beberapa pedoman yang bisa dijadikan acuan seperti yang
dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Codex, dan My Own Meal Inc. Anton Apriantono et al (2007) disamping itu setiap industri perlu membuat pedoman halal yang rinci dan spesifik bagi industri tersebut mengingat bahan baku yang dibutuhkan setiap industri berbeda. Sebagai contoh, industri flabor akan memerlukan bahan yang sangat banyak sekali dan lebih spesifik dibandingkan industri kecap, dengan demikian perlu adanya pedoman yang bukan hanya umum tapi khusus mengenai bahan-bahan yang tidak boleh dan boleh digunakan dalam industri tersebut. Pedoman sistem jaminan halal disusun oleh tim pengembangan sistem akreditasi lembaga srtifikasi halal yang dibentuk oleh badan standardisasi nasional pada tahun 2001. Anton Apriantono et al (2007) jaminan kehalalan suatu produk pangan dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk pangan, yang dengan sertifikat tersebut produsen dapat mencamtumkan logo halal pada kemasannya.
Sebagai upaya untuk memberikan kepastian
mengenai kehalalan produk pangan maka pada perjalanannya Lembaga pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mulai melakukan kegiatan sertifikasi halal bagi produk pangan pada tahun 1994. Ternyata hal ini menemui beberapa kendala seperti pihak pemerintah melalui (Departemen Kesehatan) Depkes dan Departemen Agama (Depag) merasa berwenang dalam pengawasan pengaturan produk pangan dan kaitannya dengan halal sekalipun, merasa pula berhak dalam menentukan kehalalan suatu produk.
Melalui berbagai pertemuan dan pembahasan maka tercapailah titik
temu dimana masalah sertifikasi halal akan ditangani oleh tiga lembaga yaitu, MUI, Depkes dan Depag. Ketiga lembaga tersebut menandatangani SKB (surat keputusan bersama) yang dilakukan pada tahun 1996.
Dengan bantuan
kementrian negara urusan pangan maka lahirlah Undang-Undang Pangan pada tahun 1996 dimana masalah halal juga diperhatikan walaupun sangat disayangkan masih bersifat ambiguous (akan didiskusikan lebih lanjut). Melalui perjuangan yang panjang yang dimotori oleh YLKI lahir pula Undang-Undang
26
Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku tahun 2000 dimana masalah label halal tercakup dalam UU ini.
Sebelumnya lahir pula Peraturan Pemerintah
tentang Label dan Iklan Pangan pada tahun 1999 dimana label halal juga diatur dalam peraturan tersebut. Anton Apriantono et al (2007) seperti tercantum pada PP No.69 tentang label dan Iklan Pangan, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Standardisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga yang melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa yang akan memeriksa kebenaran pernyataan halal yang akan dicantumkan pada label suatu produk pangan. Dengan dasar inilah BSN membentuk suatu tim Pengembangan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Halal pada tahun 2001. Tim ini beranggotakan personil yang mewakili lembaga pemerintah (Deptan, Badan POM, Deperindag, Depag), asosiasi industri pangan, konsumen (YLKI dan Yayasan Lembaga Konsumen Muslim), perguruan tinggi, LPPOM MUI dan BSN sendiri. Landasan hukum Berikut merupakan landasan hukum di Indonesia tentang sertifikasi halal, beserta penjelasannya. 1. UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan Didalam UU ini beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30, 34, dan 35.
Bunyi
pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah: Pasal 30 1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam, dan atau di kemasan pangan. 2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya mengenai: a) Nama produk; b) Daftar bahan yang digunakan; c) Berat bersih atau isi bersih; d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi; e) Keterangan tentang halal; dan f)
Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
27
Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan
pangan
ke
wilayah
Indonesia
untuk
diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam.
Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat
terhindar dari mengkonsumsi pangan yang haram. Dengan pencantuman label halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan yang dimaksud
dan
setiap
orang
yang
membuat
pernyataan
tersebut
bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut. Pasal 34 1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercataan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar atau tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. 2. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/ tahun1996 tentang Perubahan aras Kepmenkes
No.82/Menkes/SK/I/
tahun1996
tentang
Pencantuman
Tulisan “halal” pada Label Makanan Kepmenkes ini memuat perubahan penting Kepmenkes sebelumnya, kelihatannya perubahan ini sebagai konsekuensi adanya SKB tiga lembaga yaitu Depag, Depkes, dan MUI. Pasal-pasal yang berubah dan sekaligus relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sebagai berikut: Pasal 8 Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
28
Pasal 10 (1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa. (3) Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan. Pasal 11 Persetujuan pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa MUI. Pasal 12 (1) Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan: a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “Halal” b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “Halal” (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan. Sukmawati
(2006)
mengatakan
bahwa
perusahaan
yang
ingin
menyatakan bahwa produknya halal harus mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Menurut LPPOM MUI yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syariat islam, yaitu: 1. Tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi; 2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan, seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dan lain sebagainya; 3. Semua bahan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut syari’at Islam; 4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at islam; dan 5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
29
Hubungan Konsumen dengan Tingkat Kepentingan Sertifikasi Halal Prasetio (2006) dalam skripsinya yang berjudul “analisis konsumen biskuit terhadap tingkat kepentingan label halal (kajian eksplorasi terhadap masyarakat perkotaan)” mengatakan bahwa hasil analisis menunjukkan bahwa responden biskuit di kecamatan kebayoran lama sebagaian besar masih mempunyai tingkat apresiasi yang rendah terhadap label halal.
Dari 100
responden hanya terdapat 17 individu yang sering memperhatikan label halal. Sebanyak 44 orang tidak pernah memperhatikan label halal dan 37 orang memperhatikan label halal kadang-kadang. Prasetio (2006) kasus dari produk biskuit, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan kepedulian responden rendah terhadap label halal. Produk biskuit merupakan jenis pangan olahan yang tidak langsung berhubungan dengan bahan-bahan yang dipahami oleh responden sebagai makanan yang haram. Hal ini berbeda dengan jenis produk yang mempunyai kedekatan pada sesuatu yang jelas keharamannya seperi daging babi. Konsumen daging secara umum lebih hati-hati dalam melakukan proses pembelian, mereka telah mempunyai pengetahuan tentang haramnya daging babi.
Beberapa kasus tentang
beredarnya daging babi di masyarakat juga menambah tingkat kehati-hatian dari konsumen daging.
Lemahnya pengetahuan konsumen terhadap bahan baku
penyebab haramnya biskuit, berdampak pada tingkat apresiasi terhadap label halal yang rendah.
Selain faktor tersebut, pada produk biskuit belum terjadi
kasus seperti Ajinomoto yang sempat menyita perhatian media massa. Pemberitahuan media massa tentang pangan yang haram sangat berpengaruh terhadap masyarakat.
Amat disayangkan pemberitaan yang dilakukan hanya
dilakukan oleh media massa hanya bersifat temporer.
Merebaknya kasus
ajinomoto, membuat konsumen MSG akan lebih hati-hati dalam memperhatikan label halal setelah mengetahui bahwa produk tersebut ada kemungkinan haram. Prasetio (2006) dilihat dari sisi produsen biskuit, pihak ini juga memberi andil dalam mempengaruhi tingkat kesadaran konsumen.
Banyak produsen
biskuit yang sudah mempunyai sertifikat halal tidak memaksimalkan atribut tersebut dalam iklan di media massa. Mereka kurang menganggap pasar yang mayoritas muslim dengan menggunakan pendekatan-pendekatan emosional keagamaan.
Mereka juga kurang berani mengatakan bahwa biskuit yang
berlabel halal lebih terjamin kualitasnya dari biskuit yang tidak berlabel halal.
30
Iklan biskuit dengan menggunakan simbol emosional keagamaan hanya dilakukan pada momen-momen tertentu seperti lebaran. Prasetio (2006) disamping itu, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa produsen biskuit berskala besar banyak yang tidak memiliki sertifikasi halal. Produk yang tidak bersifat halal juga mempunyai kemasan, harga, dan rasa yang tidak kalah menarik dengan produk-produk yang berlabel halal. Produk tersebut umumnya sudah mempunyai merek yang tidak asing di benak masyarakat.
Produk dari Khong Guan, Nissin, Monde, Regal dan beberapa
lainnya merupakan contoh produk yang belum memiliki label halal. Prasetio (2006) belum terdapat kesepakatan tentang sistem jaminan halal merupakan salah satu penyebab produk pangan tidak hanya biskuit, yang belum mempunyai sertifikasi halal. Tidak adanya niat baik dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan label halal, akan menimbulkan benturan kepentingan yang saling tumpang tindih.
Hal ini sangat terlihat pada kasus pengunaan
strikerisasi untuk sertifikat halal beberapa tahun lalu. Terjadi tarik ulur berbagai kepentingan baik dari pemetintah, pengusaha, dan LPPOM MUI.
Pada level
masyarakat juga terjadi pro dan kontra antara pihak yang mendukung dan menentang kebijakan tersebut.
Pihak pengusaha menilai pemberlakuan
labelisasi pada produk halal akan menyebabkan biaya ekonomi tinggi, sehingga laba mereka berkurang. Opini miring juga di alamatkan kepada LPPOM MUI yang dituduh memiliki tujuan ekonomi dibalik kebijakan ini. Kondisi di atas tidak akan terjadi apabila masing-masing pihak memiliki pemahaman yang sama tentang sistem penjaminan halal yang ada sekarang. Sukmawati (2006) mengatakan bahwa dari hasil survei diketahui bahwa jumlah responden yang mengetahui mengenai label halal pada produk konsumen adalah 56 persen. Sebanyak 24 persen menyatakan bahwa mereka mengetahui mengenai komposisi bahan baku kosmetik yang menyebabkan kosmetik tersebut tidak halal.
Sedangkan 77 persen menyatakan tidak tahu
bahwa produk Wardah memiliki label halal.
Secara umum dapat dikatakan
bahwa pemahaman dan kepedulian konsumen terhadap produk kosmetik label halal masih rendah. konsumen
kosmetik
Penyebab rendahnya pemahaman dan kepedulian terhadap
berlabel
halal
dapat
bermacam-macam
diantaranya kurangnya pembelajaran untuk konsumen dari pihak produsen maupun LPPOM MUI.
Produsen dapat memberikan pengetahuan mengenai
label halal pada produknya melalui iklan ataupun brosur. Sedangkan LPPOM
31
MUI dapat memberikan pembelajaran melalui surat kabar atau sejenisnya. Kekurangpahaman konsumen juga diakibatkan oleh penulisan komposisi bahan pembuat kosmetik yang terkadang hanya ditulis dalam bahasa asing. Sukmawati (2006) konsumen umumnya hanya memperhatikan kehalalan produk pangan, padahal produk kosmetikpun perlu diperhatikan kehalalannya. Kosmetik dapat menjadi tidak halal jika bahan-bahan pembuatannya berasal dari bahan yang tidak halal. Pengetahuan konsumen kosmetik mengenai label halal pada produk kosmetik masih kurang, ditunjukkan oleh sedikitnya konsumen yang mengetahui komposisi kosmetik yang nantinya membuat kosmetik tersebut menjadi tidak halal. Label halal tidak menjadi faktor penting dalam pembelian maupun perpindahan produk kosmetik, karena dinilai yang terpenting adalah kecocokan produk. 2.2 Kerangka Pemikiran Pengetahuan terhadap Sertifikasi Halal • Lembaga • Masa Berlaku • Luas cakupan
Sertifikasi Halal
• • • • •
Karakteristik Responden Pendidikan Pendapatan Usia Jenis kelamin Agama
Kepedulian terhadap Sertifikasi Halal • Peran dalam menjaga kualitas • Peran dalam menjaga kehalalan • Peran dalam menjaga kelayakan
Ekuitas Merek: Brand Association Brand Loyalty
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Sosialisasi sertifikasi Halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI akan mencapai individunya.
responden
yang
memiliki
karakteristik
beragam
pada
setiap
Karakteristik tersebut kemudian akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan, kepedulian, serta ekuitas merek responden akan sertifikasi halal.
32
2.2.1 Hipotesis Penelitian 1.
Diduga
terdapat
hubungan
antara
karakteristik
dengan
tingkat
pengetahuan, tingkat kepedulian, dan tingkat ekuitas merek yang diberikan responden terhadap produk pangan bersertifikasi halal. 2.
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan, tingkat kepedulian, dan ekuitas merek suatu produk pangan bersertifikasi halal.
2.2.2 Definisi Operasional 1.
Jenis kelamin: sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Diukur dengan skala nominal (1) laki-laki dan (0) perempuan.
2.
Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, diukur dengan skala ordinal: (1) Rendah, jika tamat/tidak tamat SD dan sederajat, (2) Sedang, jika sedang menempuh pendidikan/tamat SMP dan SMA sederajat dan (3) Tinggi, jika sedang menempuh/ tamat pendidikan di perguruan tinggi.
3.
Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan seseorang per bulan. Apabila mahasiswa/pelajar maka dibatasi dengan uang saku yang diperoleh dalam 1 (satu) bulan. Pengukuran tingkat pendapatan dengan skala ordinal:
4.
Rendah
: < Rp 1.000.000, 00/bulan
Sedang
: Rp 1.000.000, 00 – Rp 3.000.000, 00/bulan
Tinggi
: > Rp 3.000.000, 00/bulan
Usia, dalam hal ini merupakan umur responden pada saat mengisi kuesioner. Digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) muda (16- 33 tahun), (2) dewasa (34-51 tahun), dan (3) tua (51 tahun keatas).
5.
Tingkat pengetahuan terhadap sertifikasi halal ialah pengetahuan yang dimiliki oleh responden seputar sertifikasi halal.
Pengetahuan ini
mencakup segala hal tentang LPPOM MUI dan ciri-ciri sertifikasi halal. Hal ini akan diukur dengan skala ordinal (1) rendah (skor 0-4), (2) sedang (skor 5-8), (3) tinggi (9-12). 6.
Tingkat kepedulian terhadap sertifikasi halal dalam ialah kepedulian responden terhadap peran sertifikasi halal terhadap kualitas, status kehalalan, dan kelayakan suatu produk pangan. Tingkat kepedulian dalam
33
hal ini akan diukur dengan skala ordinal (1) rendah (skor 15-30), (2) sedang (skor 31-45) dan (3) tinggi (skor 46-60). 7.
Tingkat ekuitas merek ialah segala bentuk nilai tambah yang diberikan kepada produk atau jasa. Hal ini mengacu pada persepsi konsumen akan produk bersertifikasi halal, dan loyalitas konsumen terhadap produk bersertifikasi halal. Diukur melalui skala ordinal (1) rendah (skor 10-20), (2) sedang (skor 21-30), dan (3) tinggi (31-40).
2.2.3 Definisi Konseptual 1.
Sertifikasi halal ialah sertifikasi yang dikeluarkan LPPOM MUI beserta BPPOM untuk menjamin kehalalan suatu produk.
2.
Agama dalam hal ini digolongkan menjadi lima sesuai dengan yang diakui oleh Indonesia yaitu, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha.