6
BAB II TINJAUAN TEORITIS Teori dan Konsep Dalam bagian berikut dibahas mengenai beberapa teori dan konsep yang terkait dengan kajian.
2.1. Tinjauan tentang Persepsi a. Pengertian Ada beberapa macam pendapat ahli yang berhasil dikumpulkan mengenai konsep persepsi, yaitu sebagai berikut : Menurut Hammer dan Organ (1978) dalam Indrawijaya (1990), bahwa persepsi adalah suatu proses dengan mana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkunganya. Bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi pula perilaku yang akan dipilihnya. Thoha (1996) mengatakan, bahwa persepsi merupakan proses kognitif yang
dialami
oleh
setiap
orang
dalam
memberi
informasi
tentang
lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Pendapat lain mengatakan, bahwa persepsi adalah menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mengecap dan mencium dunia di sekitar kita (Morgan, King dan Robinson dalam Adi, 1994). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, persepsi terbentuk atas dasar informasi atau data yang diperoleh dari lingkungan, kemudian diserap oleh panca indera manusia
serta pengolahan sebagian dari pengolahan
ingatan yaitu berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang
dan
terjadilah proses psikologis sehingga manusia yang bersangkutan menyadari apa yang dilihat, didengar, diterima dan sebagainya, maka individu tersebut mengalami persepsi, yang diwujudkan dalam perilaku terhadap suatu obyek. Melengkapi pengertian di atas, Rahmat (1996) mengemukakan pengertian persepsi yaitu pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory
7
stimuli). Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektuasi, motivasi dan memori. Selanjutnya, masih menurut Rahmat, persepsi ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Krech dan Crutchfield (1977) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Dengan demikian, ada beberapa aspek yang turut menentukan terjadinya persepsi, yaitu : aspek perhatian, aspek motivasi, aspek pengetahuan, aspek personal dan aspek situasi. Merujuk pada Kartono (1984), bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana
individu
mengenal,
membandingkan,
menggolongkan
dan
menginterpretasikan terhadap rangsangan yang datang. Dari beberapa pengertian persepsi di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa persepsi individu atau seseorang dapat terjadi apabila ada : a. obyek yaitu adanya stimuli atau peristiwa yang diamati atau yang dialami. b. Situasi atau lingkungan yang mendukung c. Personal (pengamat atau yang diamati)
b. Proses Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh adanya obyek yang direspon oleh penginderaan, yaitu proses yang berujud diterimanya sebagai stimulus oleh individu melalui alat reseptornya yang diteruskan melalui pengolahan ingatan (memory) dan terjadi proses psikologis sehingga individu tersebut mengalami persepsi. Dengan kata lain persepsi terjadi melalui tahap-tahap dimana setiap tahapannya dapat dibedakan. Proses terjadinya persepsi menurut Indrawijaya (1990) terbagi dalam empat tahap, yaitu : 1) Proses Masukan (Input Proces), yaitu proses persepsi dimulai dari tahap penerimaan rangsangan, yang ditentukan baik oleh faktor luar maupun faktor dari dalam manusianya sendiri, yang dapat dikategorikan atas lima faktor, yaitu pertama,
faktor lingkungan, yang secara sempit hanya
menyangkut warna, bunyi, sinar, dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial, dan politik. Semua unsur faktor ini mempengaruhi seseorang dalam menerima dan menafsirkan suatu rangsangan. Kedua, faktor konsepsi, yaitu pendapat atau teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya. Seseorang yang mempunyai konsepsi, pendapat, dan teori bahwa manusia pada dasarnya baik,
8
cenderung menerima semua rangsangan sebagai sesuatu yang baik atau paling tidak sebagai sesuatu yang bermanfaat. Orang yang mempunyai konsepsi, pendapat, dan teori bahwa manusia itu jahat, cenderung mencurigai latar belakangnya. Selanjutnya yang berpendapat bahwa seseorang tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jahat, akan cenderung mencari tahu dan berusaha mengerti secara keseluruhan latar belakang setiap rangsangan. Ketiga, faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri (The concept of self). Seseorang mungkin saja beranggapan bahwa dirinyalah yang terbaik, sedangkan orang lain selalu kurang baik dari dirinya. Orang demikian akan berkeyakinan bahwa apapun bentuk dan sifat rangsangan, ia selalu bertindak berdasarkan apa yang menurut dirinya baik. Sebaliknnya, ada pula orang yang beranggapan bahwa orang lain selalu baik dari dirinya. Keempat, Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dalam menafsirkan suatu. Dapatlah dimengerti bahwa orang selalu berusaha menarik manfaat dari suatu rangsangan untuk kepentingannya sendiri, karena akan memberikan suatu harapan baginya. Kelima, Faktor pengalaman masa lampau. Setiap kali orang dihadapkan pada suatu rangsangan, maka ia akan membandingkan dengan pengalaman masa lalunya. 2) Selektivitas Manusia memperoleh berbagai rangsangan
dari lingkungannya
terbatasi oleh kemampuannya, artinya manusia tidak mampu memproses seluruh rangsangan dan akan cenderung memberikan perhatian pada rangsangan tertentu saja. Manusia bersifat memilih, walaupun sering tidak disadari bahwa setiap rangsangan akan mempunyai relevansi, nilai dan arti baginya. Ini berarti, tingkat pentingnya suatu rangsangan pada setiap orang atau orang yang satu dengan yang lainnya dapat saja berbeda. 3) Proses Penutupan (closure) Tingkat kemampuan manusia dalam menerima rangsangan selalu terbatas, namun manusia selalu berusaha mengisi kekurangannya dengan pengalamannya sendiri. Ini terjadi bila ia telah memahami keseluruhan
9
situasi. Proses untuk saling melengkapi kekurangan ini disebut proses penutupan. 4) Konteks Persepsi terjadi dalam suatu kesatuan atau dalam suatu konteks. Isi kesatuan atau konteks ini dapat berupa faktor lingkungan fisik, emosional dan lingkungan sosial.
c. Faktor-faktor yang mempengaruh Persepsi Persepsi banyak dipengaruh oleh beberapa faktor, Rahmat (1989) mengemukakan, secara garis besar ada tiga hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu : faktor perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Faktor Perhatian Andersen dalam Rahmat (1989) memberikan definisi perhatian adalah proses mental ketika
stimuli atau rangkaian stimuli
menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian itu sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor Eksternal yang mempengaruhi perhatian adalah : a. Gerakan. Manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. b. Intensitas stimuli. Dimana manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. c. Kebaruan (Novelty). Hal-hal yang baru, yang luar biasa, dan yang berbeda akan menarik perhatian. d. Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian.
Faktor Internal yang mempengaruhi perhatian adalah : a) Faktor biologis, yaitu suatu kecenderungan seseorang menaruh perhatian pada hal-hal tertentu sesuai dengan tuntutan
kebutuhan
dalam dirinya. b) Faktor Sosiopsikologis, yaitu kemampuan seseorang
menaruh
perhatian pada berbagai stimuli secara serentak. Makin besar keragaman
stimuli yang mendapat perhatian, makin berkurang
ketajaman persepsi seseorang pada stimuli tertentu.
10
c) Faktor Sosiogenis adalah sikap, kebiasaan dan kemauan seseorang dapat mempengaruhi apa yang diperhatikan. 2) Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang memberikan respon pada stimuli itu. 3) Faktor Struktural yang mempengaruhi persepsi Faktor-faktor struktural semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf
individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler,
merumuskan prinsiup-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori ini, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dalam hal ini untuk memahami seseorang, kita harus melihat dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapinya. Senada dengan hal di atas, Thoha (1996), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut : 1) Faktor Psikologis Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi 2) Faktor Famili Banyak sikap dan persepsi-persepsi
seseorang diturunkan oleh
orang tuanya karena famili sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi seseorang. 3) Faktor Kebudayaan Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruh sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini. Menurut Wirawan (1983), terdapat beberapa aspek dalam persepsi yang dapat dijadikan alasan bahwa suatu persepsi itu ada. Adapun aspek-aspek tersebut adalah : 1) Aspek pengetahuan Yaitu bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang mempunyai kesadaran. Hal itu dapat terlihat dari kemampuannya untuk melakukan suatu
11
proses berfikir, berkehendak dan merasa sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia memperoleh banyak pengetahuan. 2) Aspek Pemahaman Yaitu berkaitan dengan obyek tingkah laku atau respon yang dimiliki, mewakili suatu pengertian terhadap pesan dalam komunikasi, oleh karena itu pengertian tentang pemahaman merupakan proses menerima suatu obyek kedalam pemikiran seseorang dan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek dalam bentuk tingkah laku. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa persepsi sangat bersifat pribadi. Persepsi seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor personal. Oleh karenanya, seseorang sering kali melihat segala sesuatu atau suatu kejadian dengan cara yang berbeda walaupun dalam obyek yang sama, tergantung pada personalnya dan lingkungan dimana orang tersebut berada Jika dikaitkan dengan judul kajian, maka secara umum kajian akan mengkaji tentang persepsi masyarakat terhadap program-program Corporate Social Responsibility dalam pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT. Aqua Golden Mississipi di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi.
2.2. Tinjauan tentang Pemberdayaan Konsep pemberdayaan muncul karena kritik terhadap pembangunan yang lebih menekankan pada ekonomi dengan menggunakan pendekatan trickle down effect, definisi yang lebih luas diungkapkan oleh Pranarka dan Prijono (1996) bahwa pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Pemberdayaan diadopsi dari istilah empowerment, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ’pemberkuasaan’ dalam arti pemberian atau peningkatan ’kekuasaan’ atau power, yang merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat. Menurut Pranarka (dalam Pranarka dan Prijono, 1996) proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu : (1) kecenderungan primer yaitu pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
12
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. (2) kecenderungan sekunder yaitu pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Lebih lanjut Stewart (1998) dalam Rudito (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan menuntut perluasan peran, wewenang dan kekuasaan dan bertambahnya keluwesan tentang bagaimana (dan oleh siapa) peran-peran tersebut dilakukan. Pemberdayaan merupakan suatu proses dan mempunyai tujuan, sebagaimana
dinyatakan
Solomon
(1976)
dalam
Purnama
(2006)
bahwa
pemberdayaan mengandung dua unsur ”proses” dan unsur ”hasil atau tujuan akhir yang hendak dicapai”. Sebagai proses, maka pemberdayaan digunakan untuk memperoleh keberdayaan atau kemampuan mengembangkan keberdayaan, serta memperoleh dan menggunakan keberdayaan tersebut. Sedangkan pemberdayaan dipandang sebagai suatu hasil atau tujuan akhir yaitu sebagai keberdayaan. Lebih lanjut, Torre (1985) dalam Purnama (2006) menyimpulkan dalam sintesisnya bahwa pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana orang menjadi kuat atau mampu untuk berpartisipasi, memiliki kemampuan untuk mengontrol dan mempengaruhi
peristiwa
serta
institusi-institusi
yang
berkaitan
dengan
kehidupannya. Pemberdayaan memiliki konsekuensi untuk memdidik orang untuk memperoleh
ketrampilan,
pengetahuan,
serta
tenaga
yang
cukup
untuk
mempengaruhi kehidupannya. Menurut Ife (1995), ’empowerment aims to increase the power of disadvantaged’, dalam tulisan yang sama Ife menjelaskan pemberdayaan pada aspek tujuan, bahwa pemberdayaan manusia dilakukan dengan meningkatkan sumber-sumber daya, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masa depan dan berpartisipasi dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat. Pendapat lain mengatakan, bahwa pemberdayaan adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yakni yang bersifat ”people-centered, participatory, empowering, and sustainable. (Chambers, 1995 dalam Rudito, 2003) Di dalam literatur pembangunan, konsep pemberdayaan bahkan memiliki perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stiefel yang dikutip oleh Prijono (1996) mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan
13
partisipatif. Sedangkan pendapat Borrini dan Shanty yang masih dikutip oleh Prijono (1996) mendefinisikan dalam pespektif lingkungan, bahwa pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alami dan pengelolaan secara berkelanjutan. Menurut Kartasasmita (1996) bahwa memberdayakan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak
mampu
untuk
melepaskan
diri
dari
perangkap
kemiskinan
dan
keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Karakteristik pemberdayaan masyarakat merupakan suatu gerakan yang diarahkan kepada dua komponen yaitu penggerak dan masyarakat yang digerakkan secara simultan. Perpaduan kedua komponen tersebut akan menghasilkan kemampuan, kemandirian, kinerja dan karya sehingga berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan kelembagaan. Berdasarkan uraian-uraian mengenai pemberdayaan di atas, nampak bahwa pemberdayaan berorientasi kepada pembangunan masyarakat yang diharapkan masyarakat dapat menjadi mandiri, memiliki kemampuan, memiliki akses terhadap sumberdaya yang berkelanjutan dan aktif berpartisipasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas sehingga dari keadaan tidak berdaya atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya, yang dilaksanakan melalui suatu proses terencana dengan cara memberikan atau berbagi kekuasaan atau kekuatan dari mereka yang memiliki kekuatan penuh (powerfull) yaitu pemerintah dan perusahaan kepada mereka yang memiliki kekuatan lemah (powerless) yaitu masyarakat. Dimana pembangunan masyarakat tersebut bercirikan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, artinya tidak bersifat top down tetapi berpusat pada masyarakat (people centered development), dalam rangka mewujudkan keberfungsian sosial. Dalam pemberdayaan
pencapaian memerlukan
tujuan
dari
komitmen
pemberdayaan, untuk
memelihara
penerapan dan
strategi
memperbaiki
efektivitas pelayanan dan bisa mengeliminasi penilaian negatif dan diskriminatif bagi kelompok
minoritas.
Sebagaimana
Ife
(1995)
juga
menyatakan
bahwa
pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dari keadaan yang merugikan.
14
2.3. Urgensi Pemberdayaan dalam Masyarakat Masyarakat yang ideal adalah jika masing-masing anggotanya dapat menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan posisi masing-masing yang disandangnya, namun pada tataran faktual, karena kemajuan dan ekspansi ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat pada saat ini, umat manusia mengalami keterasingan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tercabut dari nilai-nilai agama dan budayanya sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya dalam kondisi seperti itu masyarakat membutuhkan bantuan,
keterlibatan
dan
kepedulian
dari
pihak
lain
untuk
mengatasi
permasalahannya, sesuai dengan jenis permasalahan yang mereka rasakan sehingga diharapkan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Jika fungsi setiap anggota masyarakat dapat dijalankan dengan baik maka keberfungsiaan sosial akan tercapai. PBB (1987) mengungkapkan beberapa permasalahan masyarakat di negara berkembang adalah : kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan dan nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak, anak-anak yang tidak diinginkan dan tidak terdidik, serta masalah sosial psikhologis yang menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan dalam suatu masyarakat. Selama ini sudah banyak intervensi kegiatan atau program-program pemberdayaan
yang
telah
dilaksanakan
tetapi
belum
efektif
dan
belum
menampakkan hasil yang optimal. Menurut Sulistiati (2006), beberapa analisis perkiraan kelemahan program pemberdayaan yang selama ini dijalankan yaitu : 1) Perencanaan program kurang didasarkan pada analisis kebutuhan (need analisys). Ini menjadi faktor penting, sebab pihak perencana program seringkali membuat perencanaan dari atas (top down planning) dibanding perencanaan dari bawah (bottom up planning). 2) Program
lebih
banyak
memberikan
bantuan
material
dibanding
aspek
pemberdayaan (empowering). 3) Kurang ada koordinasi dan komunikasi lintas unit yang sama-sama fokus pada sasaran (coodination). 4) Kurang menyadari hakekat masyarakat sebagai sistem yang terkait erat dengan lingkungannya,
sehingga
setiap
perencanaan
program
sebaiknya
juga
memperhatikan penguatan sub-sistem yang lainnya sebagai lingkungan seperti lapangan pekerjaan, pendidikan, perumahan dan kesehatan 5) Kurang diperhatikan aspek kesinambungan (sustainability)
15
6) Kurang dikembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait (networking).
Tanggung jawab terhadap pembangunan sosial bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga tugas semua komponen yang terkait di dalamnya, antara lain masyarakat, Dunia Usaha (Perusahaan) dan stakeholders lainnya.
Perusahaan
merupakan salah satu komponen yang ada di lingkungan masyarakat, yang dapat diandalkan sebagai mitra kerja pemerintah dalam membangun masyarakat atau mengembangkan masyarakat, tugas tersebut sebagai instrument strategis dalam menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera, kokoh, kuat dan dapat diandalkan dalam segala aspek kehidupan. Perusahaan sebagai Dunia Usaha, dapat mewujudkan keterlibatannya dalam pembangunan masyarakat
melalui program-program
yang dikemasnya sebagai
Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha/perusahaan (Corporate Social Responcibility). Salah satu dimensi dari Corporate Social Responcibility (CSR) ini adalah Community Development (Comdev) atau Pengembangan Masyarakat. Untuk itu dunia usaha atau perusahaan yang memiliki posisi strategis dalam pendanaan sangatlah diharapkan peran dan kepeduliannya terhadap masyarakat disekitar perusahaan berada. Hal tersebut sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha/Perusahaan yang sekarang ini sedang digalakkan oleh pemerintah yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui programprogram yang ada dalam CSR inilah diharapkan program pemberdayaan masyarakat di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi dapat dilaksanakan oleh PT. Aqua Golden Mississpi.
2.4. Tinjauan tentang Masyarakat Pengertian masyarakat sering dihubungkan dengan kelompok orang yang hidup bersama di suatu tempat dan mempunyai nilai dan norma. Menurut Suparlan (1990), masyarakat
adalah kumpulan dari sejumlah orang dalam suatu tempat
tertentu yang menunjukkan adanya kepemilikan norma-norma hidup bersama walaupun didalamnya terdapat berbagai lapisan atau lingkungan sosial. Pengertian lain disampaikan oleh Sadily (1993), masyarakat adalah segolongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertahan secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.
16
Merujuk pendapat Iver dan Page yang dikutip Soekanto (1990), menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Dari kedua pengertian di atas, masyarakat merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu, dengan aturan yang berlaku di tempat tersebut berupa norma dan nilai atau dengan kata lain mempunyai adat istiadat sebagai hasil dari interaksi yang mereka lakukan sejak lama. Menurut Linton yang dikutip Soekanto (1990), masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Sumarjan yang dikutip Soekanto (1990) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Walaupun definisi-definisi tersebut di atas berlainan, akan tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu pengertian masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama. b. Bercampur untuk waktu
yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah
sama dengan kumpulan benda mati seperti meja, kursi dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya, maka akan muncul manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti. Juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan atau perasaan-perasaan, sebagai akibat hidup bersama itu, tumbuhlah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. c. Mereka sadar bahwa mereka adalah merupakan satu kesatuan. d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
17
Menurut Koentjaraningrat (1990) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Definisi tersebut sejalan dengan yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin yang dikutip Koentjaraningrat (1990) yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah ”...... The largest groupings in which common customs, traditions, attitudes, and feelings of unity are operative. Dari definisi tersebut, masyarakat merupakan kesatuan manusia yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : interaksi antar warganya, adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warganya.
2.5. Tinjauan tentang Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Reponsibility (CSR) yang dimaknai sebagai Tangung Jawab Sosial Perusahaan/Dunia Usaha adalah sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab dunia usaha terhadap masyarakat. Merujuk kepada Schermerhorn (1993) dalam Suharto (2007), mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. Secara konseptual, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah sebuah pendekatan, dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis
dan
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela dan kemitraan. Konsep Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TSP) seringkali diidentikan dengan Pengembangan Masyarakat (Community Development), yang akhir-akhir ini banyak diterapkan
oleh perusahaan dengan istilah Comdev. Sesungguhnya
Community Development (Comdev) merupakan salah satu dimensi dari Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Resposibility/CSR), karena CSR ini terdiri atas tujuh dimensi yaitu : Pengembangan Masyarakat (Community Development), Keberagaman (Diversity), Lingkungan (Environment), Hubungan Internasional
(International
Relationship),
Marketplace
Practices,
Fiscal
Responsibility, dan Tanggung jawab (Accountability). Menurut Suharto (2007), Kalau ditelaah secara seksama, tujuan utama dari Pengembangan masyarakat (Community Development)
adalah bukan sekedar
membantu atau memberi sesuatu kepada masyarakat, melainkan berusaha agar masyarakat memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya
18
sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev
adalah pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan Comdev biasanya diarahkan pada proses pemberkuasaan, peningkatan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima pelayanan. Pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan, yang biasa dikemas dalam program Corporate Social Responsibility, Menurut Budimanta (2003) dalam Rudito (2003) bertujuan untuk : 1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik disekitar wilayah perusahaan 2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat 3. Membantu
pemerintah
dalam
rangka
pengentasan
kemiskinan
dan
pengembangan ekonomi wilayah. Pada dasarnya, sejalan dengan semangat Otonomi Daerah, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan upaya strategis untuk mendukung pelaksanaan pembangunan sosial, dimana permasalahannya semakin beragam dan kompleks sehingga diperlukan dukungan dari Dunia Usaha/Perusahaan. Hal tersebut harus disadari, bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha itu sendiri. Persolannya adalah bagaimana kepedulian dan tindakan dunia usaha untuk ikut berperan dalam pembangunan sosial. Tujuan dari pembangunan sosial menurut pandangan ESCAP dalam Adi (2001) pada dasarnya adalah ”development of the well being of the people” (untuk membangun atau mengembangkan taraf hidup manusia). Berdasarkan tujuan tersebut, maka ESCAP melihat bahwa penekanan dari pembangunan sosial pada dasarnya ada pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), yaitu upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan itu sendiri. Sehubungan dengan adanya pandangan betapa pentingnya kepedulian dan keterlibatan dunia usaha/perusahaan dalam pembangunan sosial, maka tanggung jawab sosial dunia usaha adalah merupakan etika bisnis yang menjadi panduan perilaku atau tindakan dunia usaha/perusahaan untuk menjalankan usaha bisnisnya itu sendiri dengan tetap memperhatikan norma, budaya masyarakat, dan budaya perusahaan yang berpihak pada lingkungan sekitarnya.
19
Tanggung jawab dunia usaha/perusahaan (CSR) dilaksanakan dalam suatu tindakan-tindakan tertentu atau cara-cara tertentu dalam melayani kepentingankepentingan, baik internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Tindakan atau cara-cara tersebut biasanya direncanakan dan dilaksanakan dalam bentuk suatu program. Menurut Johanes (2004) Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsbility (CSR) lahir dengan latar belakang beberapa hal, seperti : 1) Adanya kesenjangan antara dunia usaha dengan lingkungan sosial, sehingga memicu
disharmonisasi
yang
dapat
menimbulkan
inattentive
(kurang
diperhatikan), suspicious (curiga), hearthbuming (rasa iri hati yang mendalam) serta conflict of interest pada kedua belah pihak; 2) Harmonisasi yang tidak terpelihara, sangat rawan bagi kalangan dunia usaha, karena sewaktu-waktu dapat mengancam keberlanjutan investasi bisnis yang dikelola; 3) Orientasi bisnis selalu menginginkan agar usaha yang dijalankan dapat berjalan tanpa hambatan; 4) Kepedulian sosial dari kalangan dunia usaha terhadap wrga masyarakat disekitarnya, akan menjadi langkah awal yang baik guna memelihara social relationship yang selaras, serasi dan langgeng. Keselarasan hubungan sosial ini diwujudkan melalui kepeduliaan dunia usaha untuk ikut secara aktif menangani berbagai permasalahan sosial. Berdasarkan kondisi obyektif yang ada, menunjukkan bahwa tidak ada perusahaan/dunia usaha yang mampu tumbuh dan berkembang tanpa dukungan dan kepercayaan dari masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan. Untuk itu, demi keberlangsungan perusahaan yang bersangkutan harus terdapat kesediaan untuk turut serta memikul tanggung jawab sosial yang dituntut oleh masyarakat. Jika suatu perusahaan keberadaannya ingin diakui dan didukung oleh masyarakat sekitarnya, maka sebaiknya jangan bersikap eksklusif dan bersikap arogan dalam menghadapi lingkungannya. Menurut Suharto (2005), bahwa Tanggungjawab Sosial Perusahaan merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu 3P : 1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
20
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program TJSP/CSR, seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat. 3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberkelanjutan hayati. Beberapa program TJSP/CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, dan pengembangan pariwisata (ekoturisme) Saidi dan Abidin (2004) dalam Suharto (2005), menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda dari mulai munculnya TJSP/CSR hingga sekarang ini. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan.
Tahap
kedua
adalah
corporate
philantrophy,
yakni
dorongan
kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Di dalamnya mulai mengedepankan pemberdayaan masyarakat. Merujuk
pada
Wahyutomo
(2004)
berdasarkan
pengamatan
dan
pengalaman, menunjukkan bahwa terdapat paling sedikit lima wujud kepedulian sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut : 1) Penggunaan tenaga kerja setempat dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan perusahaan, sepanjang tenaga kerja lokal memeuhi berbagai persyaratan administrasi dan perundang-undangan, termasuk jumlah dan mutunya. 2) Pemanfaatan masyarakat sekitar perusahaan sebagai pemasok bahan yang diperlukan oleh perusahaan, baik dalam arti bahan mentah maupun bahan setengah jadi, tanpa mengabaikan keharusan terjaminnya mutu dari bahan tersebut. 3) Keterlibatan dalam aktivitas sosial yang berlangsung di masyarakat sekitar seperti perayaan hari-hari besar nasional dan keagamaan, apacara khitanan, upacara pernikahan, olahraga dan berbagai kegiatan sosial lainnya. 4) Penyediaan sarana dan prasarana umum dan sosial, termasuk pembuatan jalan dan pemeliharaannya, fasilitas olahraga, tempat-tempat ibadah, pelayanan dan kesehatan seperti klinik dan apotik, bahkan jika mungkin rumah sakit, yang
21
kesemuanya dapat di akses oleh warga masyarakat sekitar dan tidak hanya diperuntukkan bagi karyawan perusahaan dan para anggota keluarganya. 5) Berperan
aktif
dalam
membangun
masyarakat
sekitar
sehingga
dapat
menjadikan masyarakat yang mandiri dengan kemampuan yang semakin tinggi. Salah satu caranya ialah dengan memberikan bantuan untuk membangun sarana pendidikan dan bantuan keuangan berupa beasiswa bagi anak-anak yang hidup disekitar perusahaan yang memiliki potensi untuk mengembangkan kreativitasnya, tetapi dengan kemampuan finansial orang tua yang sangat terbatas. Sejatinya, setiap perusahaan dalam menunaikan kewajiban sosialnya yang diaplikasikan dalam bentuk program-program Corporate Social Responsibility (CSR), bukanlah karena pertimbangan yang altruistik semata-mata, akan tetapi juga dalam rangka menjaga dan memelihara citra positif
perusahaan yang pada gilirannya
mengejawantah dalam bentuk dukungan dan kepercayaan masyarakat sekitar. Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pemberdayaan masyarakat disekitar perusahaan, tidak saja akan memberi manfaat terhadap kelangsungan hidup perusahaan, tapi juga akan mengurangi resiko perusahaan. Untuk memastikan bahwa CSR dilakukan dengan benar, maka perusahaan harus menggali potensi daerah dan masyarakat. Keberhasilan CSR bukanlah hanya pada perbaikan kondisi ekonom atau peningkatan penghasilan masyarakat, tapi juga pada peningkatan kemampuan (capabilities) dasar masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehingga pada gilirannya masyarakat dapat mandiri.
2.6. Tinjauan tentang Pekerjaan Sosial Menurut Zastrow (1999) dalam Suharto (2005), pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi
sosial dan
menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam konferensi Dunia di Montreal Kanada, Juli tahun 2000, International Federation of Socisl Workers (IFSW) Tan dan Envall (2000) dalam Suharto (2005), mengunkapkan tentang pekerjaan sosial sebagai berikut : ”Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teoriteori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial
22
melakukan intervensi pada situasi di mana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial” Secara umum pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator, fasilitator atau pendamping, pembimbing, perencana, dan pemecah masalah. Kinerja pekerja sosial dalam melaksanakan peningkatan keberfungsian sosial dapat dilihat dari beberapa strategi pekerjaan sosial sebagai berikut (Dubois dan Miley : 2005 dalam Suharto : 2006) : 1. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah yang dialaminya. 2.
Menghubungkan orang dengan sistem dan jaringan sosial yang memungkinkan mereka menjangkau atau memperoleh
berbagai sumber, pelayanan dan
kesempatan. 3. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial sehingga mampu memberikan pelayanan sosial secara efektif, berkualtas dan berperikemanusiaan. 4. Merumuskan dan mengembangkan perangkat hukum dan peraturan yang mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi tercapainya kemerataan ekonomi dan keadilan sosial. Menurut Suharto (2005), secara garis besar, dalam pekerjaan sosial ada tiga metoda utama yang termasuk kedalam pendekatan makro, yaitu communitywork – yang populer dengan nama ”pengembangan masyarakat” atau community development, manajemen pelayanan kemanusiaan (human service management) dan analisis kebijakan sosial (socisl policy analysis). Perbedaan dari ketiganya yaitu, dua metode pertama merupakan pendekatan dalam praktek langsung (direct practice) dengan kliennya, maka analisis kebijakan sosial merupakan metode dalam praktek tidak langsung (indirect practice). Pusat perhatian pengembangan masyarakat adalah orang-orang dan sumber-sumber kemasyarakatan yang biasanya bermatra lokal. Program-program peningkatan pendapatan masyarakat seperti usaha ekonomi produktif, kelompok usaha bersama (KUBE), kredit mikro, adalah contoh konkrit penerapan metode pengembangan masyarakat. Sementara itu, sasaran analisis kebijakan sosial lebih luas lagi, yaitu pada keberfungsian sistem yang mempengaruhi masyarakat yang akan dibantu. Perumusan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan sosial, jaminan sosial, dan pemerataan pendapatan adalah contoh konkrit pendekatan analisis kebijakan sosial.
23
Kaitan antara TJSP/CSR dengan Pekerjaan Sosial, Tanggungjawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Resposibility (CSR) merupakan salah satu model dari tipologi
pelayanan pekerjaan sosial
Straussner
(1989)
dalam
Suharto
industri. Seperti yang diungkapkan oleh (2007),
bahwa
satu
cara
untuk
mengkonseptualisasikan beragam pelayanan sosial yang diberikan pekerja sosial beserta peranan dan keterampilan yang dijalankannya adalah dengan membuat sebuah tipologi model setting Pekerjaan Sosial Industri (PSI), yaitu sebagai berikut : 5. Model pelayanan sosial bagi pegawai (the employee service model); 6. Model pelayanan sosial bagi majikan atau organisasi perusahaan (the employerwork organization service model); 7. Model pelayanan sosial bagi konsumen (the consumer service model); 8. Model Tanggungjawab sosial perusahaan (the corporate social responsibility model) 9. Model kebijakan publik di bidang kepegawaian (work related public policy model). Pekerjaan Sosial Industri (PSI) dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik pekerjaan
sosial
yang
secara
khusus
menangani
kebutuhan-kebutuhan
kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan kerja. Dalam konteks ini, pSI dapat menangani beragam kebutuhan individu dan keluarga, relasi dalam perusahaan, serta relasi yang lebih luas antara tempat kerja dan masyarakat (NASW : 1987 dalam Suharto : 2007), yang dikenal dengan istilah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) (Suharto : 2007). Konsep TJSP/CSR seringkali oleh perusahaan diidentikan dengan metoda Pengembangan masyarakat, yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh perusahaan dengan istilah ComDev. Dalam pengembangan masyarakat terkait erat dengan pemberdayaan masyarakat. Suatu pengembangan masyarakat tanpa adanya pemberdayaan masyarakat secara maksimal, maka tidak akam membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Menurut Suharto (2005), pemberdayaan masyarakat dalam ComDev, didasari oleh pendekatan yang partisipatoris, humanis, dan emansipatoris yang berpijak pada beberapa prinsip sebagai berikut : 1. Bekerja bersama berperan serta 2. Membantu rakyat agar mereka dapat membantu drinya sendiri dan orang lain. 3. Pemberdayaan bukan kegiatan satu malam
24
4. Kegiatan diarahkan bukan saja untuk mencapai hasil, melainkan juga agar menguasai prosesnya. 5. Agar berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas lokal, melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kebijakan sosial. Masih menurut Suharto (2005), fokus utama pekerjaan sosial adalah meningkatkan keberfungsian sosil (social functioning) melalui
intervensi yang
bertujuan atau bermakna. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerjaan sosial. Suharto dan kawan-kawan, mendefinisikan
keberfungsian sosial
sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar, menjalankan peranan sosial serta menghadap goncangan dan tekanan sosial (Suharto, 2005). Mengacu pada Parson, Jorgensen dan Hernandez (1994) dalam Suharto (2005), ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial, yaitu sebagai berkut : 1, Fasilitator Menurut Barker (1987) dalam Suharto (2005), mendefinisikan fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu seseorang menjadi mampu menangani tekanan situasional
atau transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai
tujuan tersebut meliputi : pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya.
2. Broker Seperti halnya dipasar modal, seorang broker berusaha memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Namun demikian, pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Selain itu, seorang broker berusaha menghubungkan klien dengan barang-barang dan pelayanan serta mengontrol kualitas barang dan pelayanan tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu : menghubungkan (linking), barang-barang dan pelayanan (goods and service), dan pengontrolan kualitas (quality control).
25
Dalam melaksanakan peran sebagai broker, ada dua pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh pekerja sosial, yaitu - Pengetahuan dan ketrampilan melakukan assessmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment) - Pengetahuan dan ketrampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi.
3. Mediator Peran mediator terutama diperlukan pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) dalam Suharto (2005) memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat memerankan sebagai ” fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi : kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik.
4. Pembela Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekerja sosial harus memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994) dalam Suharto (2005), bahwa peran pembelaan dapat dibagi dua : advokasi kasus (case advocacy) ditujukan untuk pembelaan terhadap individu dan advokasi kausal (cause advocacy) ditujukan untuk pembelaan terhadap sekelompok anggota masyarakat.
5. Pelindung Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pendukung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai pelindung
(guardian role), pekerja sosial bertindak
berdasarkan kepentingan korban, calon korban dan populasi yang beresiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial
26
2.7. Kerangka Pemikiran Kajian Pada dasarnya masyarakat memiliki potensi yang harus digali dan dikembangkan. Adapun potensi yang senantiasa ada dalam lingkungan masyarakat yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi. Potensipotensi ini pada kenyataannya seringkali memiliki keterbatasan, baik sumberdaya manusia (pendapatan, pendidikan, kesehatan dan kemampuan), sumberdaya alam (dalam pemanfatan dan pengembangannya) maupun sumberdaya ekonomi. Melalui program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, meningkatkan kemampuan, meningkatkan akses dan menjadi percaya diri untuk ikut terlibat aktif dalam suatu kegiatan pembangunan. Melalui program pemberdayaan ini, diharapkan pada gilirannya nanti akan tercipta kemandirian
dan
peningkatan
kemampuan
sehingga
masyarakat
dapat
melaksanakan keberfungsian sosialnya dengan baik dan terciptanya kesejahteraan sosial. Kaitannya dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
terhadap
masyarakat
disekitar
perusahaan, yang kesemuanya dikemas dalam bentuk program-program dalam Corporate Social Responsibility (CSR). Untuk bisa terlaksananya program-program tersebut, haruslah melalui suatu perencanaan yang di dalamnya meliputi pembiayaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan pelaporan. Tetapi apakah masyarakat dilibatkan dalam prosesnya secara langsung ? Berbagai jenis program dalam Corporate Social Responsibility yang sudah dilaksanakan oleh PT. Aqua Golden Mississipi, tetapi hingga sekarang belum diketahui secara pasti bagaimana manfaatnya terhadap masyarakat. Untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat, dibutuhkan penilaian secara langsung dari masyarakat terhadap program-program tersebut. Oleh karenanya perlu dikaji lebih jauh untuk mengetahui bagaimana sebenarnya persepsi masyarakat dengan adanya program-program tersebut. Persepsi seseorang terhadap suatu obyek dipengaruh oleh faktor personal dan lingkungan, dimana dalam hal ini lingkungan dilaksanakan.
Dengan
adanya
kedua
faktor
tempat program
tersebut
akan
CSR
memunculkan
pengetahuan masyarakat terhadap program CSR sehingga masyarakat penerima program dapat memberikan penilaian terhadap manfaat program. Selanjutnya dapat dirancang perbaikan program agar manfaatnya berkelanjutan. Tentunya perbaikan program tersebut dipengaruhi pula oleh kebijakan perusahaan. Untuk lebih jelasnya,
27
berikut
skema
kerangka
pemikiran
untuk
perbaikan
program
kedepannya
berdasarkan persepsi masyarakat terhadap program-program CSR yang telah diterimanya :
Faktor personal : - Pendidikan, pekerjaan dan usia
Faktor Lingkungan : - Akses terhadap informasi program - Akses terhadap keterlibatan dalam program.
Pengetahuan terhadap program CSR, meliputi : - Penumbuhan Ekonomi Lokal - Pendidikan - Kesehatan - Bimbingan dan Pelatihan - Pelestarian Lingkungan
Persepsi terhadap manfaat Program CSR : - Peningkatan akses terhadap sumber : pendidikan, kesehatan, modal, kesempatan berusaha dan bekerja - Peningkatan Kemampuan - Semakin terlibat aktif dalam pembangunan (perencanaan dan pelaksanaan) - Meningkatnya jejaring dalam berusaha - Kualitas dan kuantitas air tetap terjaga
Rancangan perbaikan terhadap Program CSR
Kebijakan Perusahaan
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Rancangan Perbaikan Program berdasarkan persepsi masyarakat terhadap Program CSR