BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1.Kesetaraan Gender Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Menurut Sudirja (2007), terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan, yaitu : 1. Kesejahteraan; perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator keadaan gizi, angka kematian dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuan tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat mensyaratkan akses perempuan atas sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan maju ke tahap berikutnya. 2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya, termasuk memperoleh akses yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah tangga komunitas dan masyarakat. 3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu “normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ini
merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan, yang menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju keadilan dan kesetaraan perempuan. 4. Partisipasi; konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara terhadap laki-laki untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam sebuah proyek pembangunan, partisipasi dapat berarti bahwa perempuanperempuan diwakili oleh perempuan dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi masalah, perencanaan proyek, manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak mudah diperoleh. Mobilisasi perempuan yang meningkat akan menghasilkan meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang berhak mengambil keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi-posisi penting dalam komunitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus menjadi sumbangan potensial bagi peningkatan upaya pemberdayaan perempuan. 5. Kontrol; partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan keputusan akan berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil bagi perempuan jika partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat pula atas faktor-faktor produksi. Kesetaraan dalam hal kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada satu pihak pun berada di bawah dominasi yang lainnya. Ini berarti perempuan mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya dengan memiliki kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap sumberdaya dan karenannya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Kesetaraan dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita mau membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan.
2.2.Konsep Pemberdayaan Perempuan Hasil temuan secara umum bahwa konsep pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan dipahami berbeda oleh aparat pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah tempat penelitian.
Pemahaman mereka tentang pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan ternyata berbeda dengan ‘empowerment’ yang selama ini dianggap sebanding dengan istilah ‘pemberdayaan’. Bedanya adalah pemahaman terhadap istilah ‘pemberdayaan’ pada umumnya tidak dikaitkan dengan unsur ‘kekuasaan’ atau fenomena adanya ‘relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan lak-laki’, tetapi dipahami sebagai sebuah upaya meningkatnya akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya (ekonomi, politik, social, budaya) dan meningkatnya kemampuan perempuan di berbagai bidang (pendidikan, keterampilan). Sedangkan empowerment dari kata empower artinya memberkuasa, atau makna yang dipahami adalah peningkatan kapasitas untuk membuat keputusan mandiri yang mengubah hubungan kekuasaan-kekuasaan yang tidak dikehendaki (Pranarka dan Moeljarto, 1996: 44-45). Sekalipun demikian, pemberdayaan “yang berbasis” kesetaraan gender baru “terasa” pasca reformasi 1998. Karena itu, tahun 1999 masa pemerintah reformasi isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dipahami sebagai salah satu hambatan proses pembangunan dan istilah ‘pemberdayaan perempuan’ muncul. Namun kenyataan adanya fakta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender sepertinya dipahami setengah hati, artinya analisis pemerintah terhadap keadaan tersebut adalah dikarenakan rendahnya kapasitas perempuan, seperti yang selalu disampaikan oleh aparat pemerintah dalam setiap kesempatan wawancara. Mereka belum melihat dan mengakui (atau mungkin enggan melihat dan enggan mengakui) ada satu hal lain yang cukup penting yaitu kenyataan adanya relasi kekuasan yang timpang antara perempuan dan lak-laki di segala bidang. Pemahaman ‘setengah hati’ tersebut tentu berdampak pada implementasi kebijakan atau program-program pemberdayaan perempuan di tingkat yang paling rendah yaitu di komunitas tingkat desa. Di sisi lain, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007: 2-6), pemberdayaan (empowerment) merupakan suatu “proses menjadi”, bukan suatu “proses instan”. Sebagai “proses", pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Tahap pertama, adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam
bentuk pemberian
penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu. Tahap kedua, adalah pengkapasitasan. Inilah yang disebut “capacity building”, atau dalam bahasa yang lebih sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dulu. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu: (1)
Pengkapasitasan
manusia dalam arti memampukan manusia baik dalam konteks individu
maupun kelompok. (2) Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut, organisasi, dan sistem nilai. (3) Pengkapasitasan sistim nilai. Setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan, sistem nilainya pun demikian. Sistem nilai adalah “aturan main”. Tahap ketiga, adalah pemberian daya itu sendiri atau pemberdayaan (empowerment) dalam makna sempit. Pada tahap ini kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
2.2.1.
Peran Serta Perempuan Terbatas
Program pemberdayaan perempuan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak didasarkan pada kebutuhan perempuan yang sesungguhnya, pengalaman mengikuti pertemuan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) oleh peneliti dan narasumber membuktikan hal itu. Musrenbangdes sebagai satu-satunya forum pemerintah di tingkat terendah yang menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat sebagai bahan awal pemerintah di tingkat Nasional (Bappenas) merancang pembangunan sulit diakses oleh perempuan. Hampir setiap tahun ketika rapat ini diselenggarakan tidak pernah ada kelompok perempuan yang diundang hadir, aparat desa biasanya mengundang kepala keluarga yang sudah tentu para suami atau laklaki. Jika pun ada perempuan, bisanya diwakili oleh pengurus PKK, dan tidak ada persiapan khusus untuk itu, sehingga keberadaan perempuan disitu hanya sebagai pelengkap ‘asal ada perempuan’ (PTO PNPM, 2008).
2.2.2.
Keterbatasan Dalam Pengembangan Potensi Diri
Program pemberdayaan perempuan pada umumnya hanya terfokus pada akses perempuan terhadap sumberdaya tertentu dan peningkatan kapasitas perempuan terhadap keterampilan tertentu. Untuk program pemberdayaan perempuan terkait dengan peningkatan keterampilan misalnya, keterampilan yang biasanya dikhususkan bagi perempuan adalah keterampilan yang berhubungan dengan peran perempuan dalam keluarga atau peran domestic dengan maksud supaya perempuan memiliki keterampilan yang lebih baik dalam bidang pengasuhan keluarga, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi perempuan sebagai individu supaya mandiri dan dapat membuat keputusan mandiri yang mengubah relasi kekuasaan
yang timpang baik yang terjadi dalam lingkup rumah tangga maupun dalam lingkup masyarakat sekitar (Asry, 2011).
2.2.3.
Ketimpangan Gender
Terkait dengan akses misalnya, menurut catatan kami masih ada program-program pemberdayaan masyarakat yang sulit diakses oleh perempuan, seperti yang terjadi di desa Winumuru kecamatan Paberiwai kabupaten Sumba Timur, untuk program peningkatan ekonomi berupa pinjaman uang secara bergulir kecenderungannya hanya diperuntukkan untuk para kepala keluarga yang notabene laki-laki. Hal ini senada dengan yang dikatakan Moeljarto (1996:135) bahwa pemberdayaan juga merupakan proses pematahan (breakdown) dari hubungan atau relasi antara subjek dan objek, termasuk dikotomi laki-laki-perempuan. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subjek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis besar proses ini mengutamakan mengalirnya daya (flow of power) dari subjek ke objek. Atau dengan kata lain dari “mengalirnya daya dari laki-laki ke perempuan”. Dalam hal ini perempuan menjadi objek pemberdayaan.
2.2.4.
Prioritas Program Simpan Pinjam Perempuan(SPP) Tidak Merata
Untuk program pemberdayaan perempuan yang dikhususkan bagi perempuan, pada kenyataannya tidak semua perempuan dapat mengakses program tersebut. Kecenderungan yang terjadi adalah perempuan dari golongan tertentu saja yang dapat menikmati. Kelompok Simpan Pinjam Perempuan(SPP) sebagai satu-satunya kelompok perempuan di desa yang dianggap memiliki kepengurusan jelas dari mulai tingkat desa adalah satu-satunya organisasi perempuan yang selalu dipercaya untuk mengelola program ini. Namun, pada kenyataannya tidak semua perempuan di desa menjadi pengurus, anggota atau Kelompok Simpan Pinjam Perempuan(SPP), seperti yang diungkapkan oleh narasumber bahwa program pemberdayaan perempuan yang masuk ke desa biasanya hanya dapat dinikmati oleh perempuan tertentu, yang diistilahkan oleh mereka ‘perempuan yang dekat dengan pemerintahan desa’. Perempuan lain yang ‘tidak dekat dengan pemerintahan desa’ atau diistilahkan oleh mereka ‘perempuan biasa’ sudah hampir dapat dipastikan tidak dapat atau jarang menikmati programprogram tersebut. Informasi lain yang kami temukan terkait dengan fenomena ini adalah dikarenakan sulitnya ‘perempuan biasa’ diajak untuk terlibat dalam program pemberdayaan
perempuan. Meskipun demikian seharusnya ada tindakan khusus oleh pemerintah untuk mendorong kelompok perempuan seperti ini dapat mengakses dan menikmati program pemberdayaan perempuan atau ada tindakan afirmasi (affirmative action) bagi kelompok perempuan yang dianggap sulit diajak terlibat ini. Namun kenyataannya baik pemerintah desa maupun kabupaten jarang atau tidak pernah melakukan tindakan khusus semacam ini, terkesan kepentingan mereka hanya program pemberdayaan perempuan ini selesai dilaksanakan dan ada laporan pelaksanaan kegiatan yang dianggap sebagai alat pertanggungjawaban penggunaan keuangan Negara, tanpa harus susah-susah melalui proses afirmasi (affirmative action) bagi perempuan tertentu (Asry, 2011).
2.3.Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan 2.3.1.
Konsep Perempuan dan Pembangunan dalam Perspektif Gender
Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan dalam pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan‐persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan jender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat. Dalam implementasinya, terjadi kerancuan dalam memahami jender dan seks. Hal ini terjadi karena sifat, peran, kedudukan yang ada pada jenis kelamin tertentu terjadi akibat proses sosial yang panjang, sehingga sering dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat dipertukarkan dari laki‐laki ke perempuan, atau sebaliknya. Misalnya, mendidik dan merawat anak, menjaga kebersihan rumah, dan memasak seolah‐olah menjadi kodrat perempuan. Sedangkan laki‐laki harus kuat secara fisik agar bisa melakukan pekerjaan‐pekerjaan kasar dan dianggap lebih kuat dari perempuan. Padahal kegiatan‐kegiatan tersebut juga dapat dipertukarkan (Hunga, 2013). Perbedaan‐perbedaan gender ini tidak menjadi masalah selama tidak merugikan salah satu pihak. Akan tetapi seringkali perbedaan ini menimbulkan ketidakadilan gender, seperti: marginalisasi, subordinasi, steriotipe dan kekerasan, serta bias gender dalam program pembangunan.
2.3.2.
Aspek Legal Perempuan dalam Pembangunan
Secara normatif, Undang‐Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa setiap warga negara (laki‐laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan. Sudirja (2007:4-5) mengemukakan bahwa secara normatif, Undang‐Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa setiap warga negara (laki‐laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan. Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian “serius” dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam Garis‐garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga Menteri Peranan Wanita pada tahun yang sama (yang berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, dimana sebagai mitra sejajar pria, perempuan dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh‐sungguh melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, agar: a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat; b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal mungkin; c. Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang dan proses pembangunan, utamanya berpartisipasi di bidang‐bidang non tradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan). 2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku, dan pandangan masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan keluarga dan rumah tangga. 3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik. Secara formal kesetaraan antara perempuan dan laki‐laki mendapat pengesahan dengan diterbitkannya: a. Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan.”
b. Keputusan
Menteri
Negara
02/Kep/MENUPW/IV/1991
tentang
Urusan
Peranan
“Pengesahan
Wanita
Pedoman
Nomor
Pelaksanaan
Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa di Pusat dan Daerah.” c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 1995 tentang “Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah”. d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 1996 tentang “Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pengelolaan
Program
Peningkatan
Peranan
Wanita
dalam
Pembangunan di Daerah”.
2.3.3.
Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi Keluarga
Keadaan suatu masyarakat sebagian besar ditentukan orang-orang yang ada dalam masyarakat itu. Mengingat keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil, maka keluarga berperan penting dalam menentukan keadaan masyarakat. Keluarga sejahtera memberikan pengaruh positif terhadap anggota-anggotanya, dan menjadi wadah pembentukan kader penerus yang baik, inilah harapan setiap anggota keluarga. Dalam hal ini suami bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Selain suami yang notabene sebagai kepala rumah tangga, isteri juga merupakan salah satu unsur penting dan berperan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, baik sebagai ibu rumah tangga maupun pencari nafkah bagi keluarga. Partisipasi perempuan dalam peningkatan sosial ekonomi keluarga tidak kalah penting dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan mampu melakukan banyak hal baik bersifat reproduksi yang tidak menghasilkan materi maupun bekerja mencari nafkah yang langsung menghasilkan (income earning work) guna kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga. Perempuan atau isteri terlibat dalam pekerjaan adalah didorong oleh pendapatan suami yang rendah, sehingga mereka bekerja sebagai petani, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, buruh, karyawan dan lain sebagainya. Jadi, perempuan turut berpartisipasi mencari penghasilan dengan merubah perannya dari sektor domestik ke sektor publik1, disebabkan oleh dua hal utama, yakni: tekanan ekonomi keluarga, dan keinginan untuk meningkatkan harga diri,
1
Munandar1989(dalamhttp://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf)
persamaan hak yang biasanya terdapat pada perempuan berpendidikan dan perempuan perkotaan (Hunga, 2012). Motivasi tekanan sosial ekonomi suami yang rendah seperti yang telah disinggung sebelumnya, merupakan kekurangmampuan yang disebabkan banyak faktor. Akan tetapi secara umum dapat dijelaskan, faktor yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, profesionalisme, pengalaman kerja yang pada dasarnya menentukan besar kecilnya penghasilan suami2. Selain itu, Munandar (1998) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi isteri dalam membangun ekonomi keluarga, yakni: pendidikan, sosio-kultural, sosio-psikologis, sosio-phisik dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut dikatakannya sebagai yang memotivasi perempuan untuk bekerja di luar rumah tangga, yakni3:
a). Untuk menambah penghasilan
keluarga; b). Untuk ekonomi, tidak tergantung kepada suami; c). Untuk menghindari rasa kebosanan dan mengisi waktu kosong; d). Karena ketidakpuasan dalam perkawinan; e). Karena mempunyai minat dan keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan; f). Untuk memperoleh status; dan g). Untuk mengembangkan diri. Jadi jelaslah bahwa partisipasi perempuan pada sektor publik selain menguntungkan secara ekonomi, perempuan juga mendapat pengalaman yang berguna untuk membina rumah tangga. Dengan demikian kedudukan dan peranan perempuan dalam keluarga, masyarakat semakin nyata. Mely G. Tan (2011) menekankan bahwa pemberdayaan adalah juga sebagai sebuah proses menantang hubungan kekuasaan yang ada dan memperoleh penguasaan yang lebih besar atas sumber-sumber kekuasaan. Pemberdayaan terwujud sebagai re-distribusi (pembagian kembali) kekuasaan, apakah antar negara, klas, kasta, etnis, gender dan individu. Seiring dengan pemahaman tersebut maka tujuan pemberdayaan perempuan sekurang-kurangnya adalah: a. Untuk menantang ideologi patriarkhi, yaitu dominasi laki-laki atas perempuan; b. Mengubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidaksamaan social (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan, media, proses politik, model-model pembangunan, dan pranata pemerintah)
2
Sajogyo 1985 (dalam http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf) Munandar1989(dalam http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf)
3
c. Memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses kepada dan penguasaan terhadap sumber-sumber material maupun informasi. Sebagai contoh yang juga merupakan temuan penelitian dikaitkan dengan pandangan ini tentang konsep pemberdayaan, memberi kemampuan ekonomis tidak dengan sendirinya meningkatkan posisi sosial perempuan. Kenyataan empiris memperlihatkan bahwa perempuan yang mapan dari segi pendidikan dan mempunyai pekerjaan dengan upah yang baik masih tetap bias mengalami perlakuan pelecehan, bahkan penganiayaan oleh suami. Oleh karena itu yang perlu diperjuangkan adalah memperbaiki keadaan maupun posisi kaum perempuan itu sendiri bukan hanya memperbaiki kapasitas.
2.4.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Upaya untuk menanggulanginya harus menggunakan pendekatan multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan. Pemberdayaan yang tepat harus memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan. Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Bagan Alur Tahapan PNPM Mandiri Perdesaan
Sumber: PTO PNPM, 2008
2.4.1.
Visi dan Misi PNPM Mandiri Perdesaan
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
2.4.2.
Tujuan PNPM Mandiri Pedesaan
Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Tujuan khususnya meliputi: a. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan. b. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya local. c. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif. d. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat. e. Melembagakan pengelolaan dana bergulir. f. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). g. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan
2.4.3.
Keluaran Program
Keluaran program PNPM Mandiri perdesaan diupayakan dalam konteks pencapaian pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang melingkupi:
a. Terjadinya peningkatan keterlibatan Rumah tangga miskin (RTM) dan kelompok perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian. b. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa. c. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif. d. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi masyarakat. e. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan social dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM. f. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan. g. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan
2.4.4.
Prinsip Dasar PNPM Mandiri Perdesaan
Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilainilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi: a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Pengertian prinsip bertumpu pada pembangunan manusia adalah masyarakat hendaknya memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata. b. Otonomi. Pengertian prinsip otonomi adalah masyarakat memiliki hak dan kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar c. Desentralisasi. Pengertian prinsip desentralisasi adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat.
d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Pengertian prinsip berorientasi pada masyarakat miskin adalah segala keputusan yang diambil berpihak kepada masyarakat miskin. e. Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill. f. Kesetaraan dan keadilan gender. Pengertian prinsip kesetaraan dan keadilan gender adalah masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan program dan dalam menikmati manfaat kegiatan pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik. g. Demokratis. Pengertian prinsip demokratis adalah masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyawarah dan mufakat h. Transparansi dan Akuntabel. Pengertian prinsip transparansi dan akuntabel adalah masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif i. Prioritas. Pengertian prinsip prioritas adalah masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan kemanfaatan untuk pengentasan kemiskinan. j. Keberlanjutan. Pengertian prinsip keberlanjutan adalah bahwa dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya.
2.4.5.
Sasaran PNPM Mandiri Perdesaan
Sasaran PNPM Mandiri Perdesaan diperuntukan bagi dua hal, yakni lokasi sasaran dan kelompok sasaran. Tahun 2009, lokasi sasaran PNPM Mandiri Perdesaan meliputi seluruh kecamatan dan perdesaan di Indonesia yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Untuk tahun 2008, ketentuan pemilihan lokasi sasaran berdasarkan ketentuan: a). Kecamatankecamatan yang tidak termasuk kategori “kecamatan bermasalah dalam PPK,”, dan b). Kecamatan-kecamatan yang diusulkan oleh pemerintahan daerah dalam skema kontribusi pendanaan. Sedangkan kelompok sasaran, meliputi: a). Rumah Tangga Miskin (RTM) di perdesaan; b). Kelembagaan masyarakat di perdesaan; dan c). Kelembagaan pemerintahan lokal.
2.4.6.
Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan
Pelaku-pelaku yang berkedudukan dan berperan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan pada tingkat desa, sesuai dengan (PTO PNPM, 2008) meliputi: a. Kepala Desa (Kades) Peran Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di desa. Bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa menyusun peraturan desa yang relevan dan mendukung terjadinya proses pelembagaan prinsip dan prosedur PNPM Mandiri Perdesaan sebagai pola pembangunan partisipatif, serta pengembangan dan pelestarian aset PNPM Mandiri Perdesaan yang telah ada di desa. Kepala Desa juga berperan mewakili desanya dalam pembentukan forum musyawarah atau badan kerja sama antar desa. b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD atau sebutan lainnya) Dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, BPD (atau sebutan lainnya) berperan sebagai lembaga yang mengawasi proses dari setiap tahapan PNPM Mandiri Perdesaan, termasuk sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian di desa. Selain itu juga berperan dalam melegalisasi atau mengesahkan peraturan desa yang berkaitan dengan pelembagaan dan pelestarian PNPM Mandiri Perdesaan di desa. BPD juga bertugas mewakili masyarakat bersama Kepala Desa dalam membuat persetujuan pembentukan badan kerja sama antar desa. c. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Tim Pengelola Kegiatan (TPK) terdiri dari anggota masyarakat yang dipilih melalui musyawarah desa yang mempunyai fungsi dan peran untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di desa dan mengelola administrasi, serta keuangan PNPM Mandiri Perdesaan. TPK sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Bendahara, dan Sekretaris. d. Kelompok Masyarakat (Pokmas)
Kelompok Masyarakat (Pokmas) adalah kelompok masyarakat yang terlibat dan mendukung kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan, baik kelompok sosial, kelompok ekonomi maupun kelompok perempuan. Termasuk sebagai kelompok masyarakat misalnya kelompok arisan, pengajian, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP), kelompok usaha ekonomi, kelompok pengelola air, kelompok pengelola pasar desa.
2.5.Kerangka Pikir Penelitian Sejauh ini telah banyak program pemerintah yang dikeluarkan untuk menangani masalah kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan merupakan program pemerintah yang hadir di tengah-tengah masyarakat perdesaan dengan ekonomi lemah. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Salah satu dari program PNPM Mandiri perdesaan tersebut adalah Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) ini mendorong anggota untuk aktif terlibat pada setiap tahapan kegiatan. Tingkat partisipasi dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu: (1) Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan (perencanaan); (2) Partisipasi dalam tahap pelaksanaan; dan (3) Partisipasi pada menikmati hasil kegiatan; dan (4) Partisipasi dalam tahap evaluasi. Partisipasi perempuan diduga berhubungan dengan faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Umur anggota; (2) Pekerjaan; (3) Tingkat pendapatan; dan (4) Tingkat pendidikan; sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh peran Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Kepala Desa, dan Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Kedua faktor ini diduga berkontribusi pada tingkat partisipasi perempuan dan representasi sosial dalam program SPP-PNPM. Karena itu, kerangka pikir penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Bagan Kerangka Pikir Penelitian PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Winumuru Partisipasi Perempuan pada Program PNPM Mandiri Perdesaan
Partisipasi Perempuan
Faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan perempuan
Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan
Budaya
Usaha: Membuka kios Jualan, beternak dll
Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP)
Ekonomi
Pendidikan n
Lainnya