BAB II TINJAUAN TEORITIS ATAS HERMENEUTIKA
A. PENDAHULUAN Pertama-tama kita perlu memberikan ulasan soal bentuk-bentuk pembahasan atas hermeneutika itu sendiri, yaitu ketika pada saat ini kita juga bermaksud untuk melakukan hal yang sama: “Tinjauan Teoritis atas Hermeneutika”; yang juga menuntut suatu ketegasan bentuk penjelasan yang dipilihnya. Dalam karya-karya yang membahas hermeneutika terdapat sejumlah fokus dan pendekatan bahasan yang bila dipetakan antara lain meliputi: 1) berdasarkan perbedaan-perbedaan konsepsi tentang hermeneutika, adalah merupakan bentuk pembahasan bagi karya-karya kontemporer hermeneutika, seperti Contemporary Hermeneutics, karya J. Bleicher (1980) yang membagi hermeneutika menjadi tiga bagian yaitu: hermenutical theory, hermenutic philosophy dan hermeneutics critic. Bentuk pembahasan seperti ini juga mendasari Three Faces of Hermenetics; An Introduction to Current Theories of Understanding, karya Roy J. Howard (2000). 2) Berdasarkan aspek kronologis historis, yaitu yang menyajikan bahasan hermeneutika berdasarkan proses kemunculannya berikut perkembangannya. Dalam pendekatan ini hermeneutika dibagi antara lain menjadi: hermeneutika klasik, modern, dan kontemporer. Dan ada juga yang membaginya menjadi: hermeneutika pada tataran umum, hermenutika pada tataran filsafati, dan hermeneutika yang berorintasi pada aspek praktis dan ilmiah. Contoh bentuk terakhir ini seperti Interpretasi karya Poespoprodjo (1987). Dan 3) penjelasan yang terfokus pada aspek tertentu saja dari
semua pembedaan di atas, seperti pada Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat karya E. Sumaryono (1999) yang menjelaskan aspek metodologis hermeneutika dalam wacana filsafat, yaitu dalam karyanya. Dalam kesempatan ini, pertama kita akan mencoba menyajikan dan mencari kaitan bentuk pembahasan pertama dan kedua untuk memberikan penjelasan tentang “hermeneutika umum”, yaitu dengan mengacu antara lain pada J. Bleicher, Roy J. Howard dan Poespoprodjo. Sedang untuk membahas “hermeneutika khusus”, yaitu sebagai yang dipilih untuk maksud pembahasan yang lebih mendalam dan kemudian yang diharapkan dapat digunakan untuk menyelidiki objek penelitian kita “Amsal al Quran” dengan butir-butir persoalan sebagaimana yang telah dirumuskan, kita akan berupaya menerobos dan melebar sedalam dan seluas mungkin baik berdasarkan kerangka yang ditawarkan bentuk pembahasan pertama maupun yang kedua. Pembahasan ini sekaligus akan memuat tentang pengertian, aliran-aliran dan tokohtokoh hermeneutika. Tetapi sebelum itu kita akan membahas soal “Perujukan terminologi hermeneutika” itu sendiri, yaitu untuk membantu terciptanya suatu sikap dan wawasan yang luas tentang hermeneutika.
B. PERUJUKAN TERMINOLOGI HERMENEUTIKA Sejumlah bahasan tentang hermeneutika ternyata lebih direpotkan pada upaya pengkaitan-pengkaitan seperti antara lain atas hermeneutika dengan strukturalisme (Ricouer dan para pembahas karyanya), hermeneutika dengan filsafat analitik Wittgenstein
(von
Wright),
“pemahaman” sebagaimana yang dilihat oleh
Geisteswissenschaften dengan “pemahaman” yang dilihat oleh linguistik (Karl-Otto
Apel), dan bahkan merupakan niat J. Howard sendiri untuk menjadikan topik bahasan jangka panjang dari karyanya Tiga Wajah Hermenutika; sebuah Pengantar Teoriteori Kontemporer, yaitu bagaimana membantu membongkar dinding batasan-batasan tersebut. Dan nampaknya Roy J. Howard (2000: 15) sendiri telah memulai upaya itu sejak karya yang kita bicarakan ini, yaitu ketika ia memetakan bentuk penelaahan sezaman atas filsafat hermeneutika, -di bagian pengantar- berikut penjelasannya: Ada dua cara umum di mana rekan-rekan sezaman kita mengkaji dan menelaah filsafat hermeneutika. Kedua cara ini dibedakan dalam sumber utama insprasi yang menyertai. Pendekatan pertama bersumber pada linguistik. Tradisi ini dipelopori oleh karya revolusioner Ferdinand de Saussure, yang dipengaruhi oleh kajiankajian formal sarjana Rusia dan Cekoslovakia, dan memiliki gaung yang simpatik dalam karya Noam Chomsky. Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai “hermeneutika”, melainkan “strukturalisme”. Pendekatan lain berakar pada filsafat yang lebih eksplisit, dalam tradisi Hegel dan Marx, fenomenologi, dan kajian linguistik.
Selanjutnya Karl-Otto Apel misanya, mengungkapkan, “Ada suatu kejelasan dan kedalam hubungan, antara masalah kajian pemahaman bahasa dan masalah pemahaman
sebagaimana
dilihat
oleh
Geisteswissenschaften
(humaniora)
[Kontinental]” (Howard, 2000: 16-17). Selanjutnya Goerg Henrik von Wright, ahli filsafat
Finlandia,
pengikut
tradisi
Wittgenstein
atau
tradisi
analitik,
Ia
mengemukakan bahwa penggunaan kata “hermeneutik (a)” mestinya dapat menyertakan pendukung Wittgenstein yang anti-positivistik atau aliran Wittgenstein terakhir, yang digunakan untuk mempertajam perbedaan kajian antara kubu positivisme dan anti positivisme, serta untuk bertindak “lebih adil pada morfologi yang mempunyai kecenderungan dalam pemikiran kontemporer”, dari pada membatasi kata hermeneutika tersebut hanya pada berbagai variasi fenomenologis
murni (Howard, 2000: 17). Maka menurut Howard (2000: 17), adalah merupakan salah satu kelemahan filsafat kontemporer, yang membuat batasan antara filsafat Anglo-Amerika dan filsfat Kontinental. Dan dengan analisis di atas mestinya batasan tersebut bisa diperkecil. Hal seperti dijelaskan di atas terjadi adalah lantaran kenyataan pada pandangan umum, terminologi hermeneutika lebih dirujukkan pada sekumpulan gagasan dan sekelompok pemikir yang secara langsung terkait dengan karya-karya awal hermenutika di abad modern yang lebih muncul terutama sebagai wacana Hegelian dan fenomenologis, serta pada yang menggunakan peristilahan-peristilahan khas dalam karya-karya tersebut, seperti “hermeneutika”, “verstehen”, “dialogi” dan lain-lain. Maka oleh karena itu dalam karya-karya hermenutika pada umumnya tidak termasuk dalam daftar katalog hermeneutnya ahli-ahli seperti Wittgenstein pada awalnya dan pengikutnya, Marx, mazhab Kant dan F. de Saussure dan penerusnya dan lain-lain. Padahal bagi sejumlah orang yang pernah secara sungguh-sungguh menelusuri gagasan-gagasan F. de Saussure misalnya, bisa jadi akan memandang remeh rumusan yang paling diandalkan sekalipun dalam wacana fenomenologi tentang konsep yang sama yaitu “pemahaham”. Tetapi seorang strukturalis yang sungguh-sungguh lagi tidak sempit tentunya sekaligus dapat menunjukkan dan menghargai keutamaan-keutamaan yang ada pada bentuk-bentuk wacana yang lain. Levi Strauss misalnya, dalam sebuah dialog yang diangkat dari majalah Spiegel, menegaskan suatu kekeliruan ganda yang terdapat dalam tuduhan Sartre dan beberapa pengikut Marx lainnya yang mencela Levi-Strauss karena strukturalisme menurut
mereka mengandung suatu sikap yang berpaling dari humanisme. Levi Strauss (1997: 59) memberi tanggapan sebagai berikut: Saya berpendapat bahwa celaan tersebut didasarkan pada suatu kekeliruan ganda, yaitu kekeliruan teoritis dan kekeliruan praktis. Kekeliruan teoritisnya ialah bahwa saya belum pernah menyangkal siapa pun untuk untuk mempelajari manusia pada tingkat penelitian yang dipilihnya. Namun, yang saya bantah adalah pendirian yang disebut monopilistik itu, yakni manusia hanya dapat didefinisikan dan dipelajari pada suatu tingkat tunggal saja (LeviStrauss, 1997: 58). …. Cukuplah mengenai soal kekeliruan teoritis. Namun, masih terdapat aspek kedua, yaitu aspek praktis. Akhirnya, kita harus memberi pertanggungjawaban tentang soal bahwa sikap humanistik yang absolut dan yang meraja sejak sejak zaman Renaisans, dan rupanya berasal dari agam-agama besar di Barat, membawa akibat yang sangat katastrofal. Selama beberapa abad Humanisme menyebabkan peperangan, pemusnahan, kamp konsentrasi, dan pembasmian berbagai jenis makhluk hidup. Kita mempermiskin alam. Sikap yang berlebih-lebihan itulah yang mengancam manusia sendiri, yaitu sikap percaya bahwa dengan sewenang-wenang ia dapat memiliki dan menguasai segal-galanya.
Dan selanjutnya Levi-Strauss juga menegaskan soal ketidak-beralasanan celaan-celaan lainnya yang dilayangkan pada strukturalisme yaitu sebagai yang berupaya menyisihkan sejarah, yakni suatu usaha yang pada dasarnya tidak bersifat anti historis. Berikut penjelasan Levi Strauss (1997: 59) tentang hal ini: Celaan itu sama seperti celaan lainnya yang kurang beralasan. Kami kaum etnolog menelaah masyarakat yang sejarahnya sama panjang dengan sejarah masyarakat kita. Hanya masyarakat tradisional dan eksotik tidak memperhatikan sejarahnya. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki arsip lewat mana kita dapat menemukan kembali seluruh sejarah masyarakat itu. untuk mempelajarinya, kita menciptakan suatu metode yang dapt menggantikan ketiadaan sejarah tersebut. Itulah situasi yang dihadapi oleh seorang etnolog; ia merasa sungguh puas kalau dapat menggunakan unsurunsur sejarah yang masih tersisa. Namun, yang saya bantah ialah bahwa sejarah dianggap sebagai suatu hal istimewa di antara segala kemungkinan pengetahuan. Tentu saja sejarah merupakan suatu sarana pengetahuan yang istimewa, sejauh menyangkut tatanan masyarakat Barat modern ynag mendifinisikan diri terhadap sejarah. Saya tidak percaya kita dapat mengatakan bahwa hal itu biasanya demikian. Di sini perselisihan hanya dapat
muncul dengan mereka yang mengangkat metodenya sendiri sebagia satusatunya metode yang sah dan benar.
C. PENGKAJIAN ATAS HERMENEUTIKA 1. Pembahasan berdasarkan Perbedaan Konsepsi tentang Hermeneutika J. Bleicher menggunakan tiga bentuk kata tashrifan hermeneutika dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan tiga makna yang berbeda dan untuk dapat menegaskan perbedaan-perbedaan konsepsi atas hermeneutika itu sendiri (Bleicher, 1980: 3), yaitu: hermeneutics, hermeneutical dan hermeneutic. Dan Bleicher (1980: 3) telah memberikan penjelasan khusus berkaitan dengan penggunaan terminologiterminologi tersebut, adalah sebagai berikut: Pada bagian ini adalah perlu untuk menyisipkan/memasukkan sebuah ulasan tentang terminologi yang telah digunakan demikian jauh (dalam karyanya tersebut –pen). Saya telah memilih istilah hermeneutical dan hermeneutic yaitu untuk menandai/memberitahukan perbedaan-perbedaan konsepsi atas hermeneutics itu sendiri. Pilihan ini bukan lah merupakan suatu kesewenangan seseorang dalam hal bahwa saya berharap hermeneutical membawa/menyampaikan suatu orientasi metodologis sedangkan hermeneutic menunjukkan sesuatu yang lebih fundamental, soal filosofis. Sebuah pembedaan yang mirip menerapkan pada masing-masingnya dalam kaitannya dengan sejarah: pendekatan historical berusaha keras untuk pengetahuan objektif tentang kejadian-kejadian masa lalu, yang dikontraskan dengan arti historic-nya yaitu menunjuk pada interpretasi subjek hic et nunc.
Dengan pembedaan tersebut J. Bleicher telah dapat menyesuaikan perangkaiannya dengan tiga terminologi lain sebagai aspek-aspek yang berbeda dalam teori dan bentuk penggarapan hermeneutika, perangkaian tersebut adalah: “hermeneutical theory”, “hermeneutic philosophy”, dan “critical hermeneutics”; yaitu yang merupakan karakteristik “hermeneutika kontemporer” yang disebut oleh Bleicher sebagai tiga strands (helai, untai) yang dapat dipisahkan dengan tegas dari
perbedaan-perbedaan pandangan tentang “problem hermeneutika”, yaitu soal: bagaimanakah proses penafsiran sebagai sesuatu yang mungkin dan bagaimana memberikan laporan-laporan yang secara subjektif diharapkan sebagai makna yang objektif di hadapan kenyataan bahwa semua itu diperantarai oleh subjektifitas milik sang penafsir (Bleicher, 1980: 1). Berdasarkan penjelasan di atas maka penggunaan terminologi tersebut dalam karya ini akan diterapkan menjadi: “Hermeneutika”, “hermeneutikal” dan “hermeneutik”. Dengan cara yang sama kita dapat pula memahami persoalan lain yang penting untuk diketahui yaitu soal pembedaan: “filsafat hermeneutik” dan “hermeneutika filsafati”. Terminologi pertama dipakai dalam bentuk pembahasan hermeneutika yang pertama dan menunjuk pada aspek dan bentuk penggarapan metafisik hermeneutika. Sedang yang kedua digunakan dalam bentuk pembahasan kedua dan menunjuk pada persoalan meliputi epistemologi, logika metafika/ontologi, hingga estetika hermeneutika. Dan sekarang kita akan membicarakan tentang tiga strands itu sendiri. Bleicher (1980: 1) menjelaskan, teori hermeneutikal berfokus pada sesuatu yang merupakan persoalan teori umum interpretasi sebagai sebuah metodologi bagi ilmu humaniora (Geisteswissenschaften), yaitu—misalnya Betti—lewat analisis atas verstehen sebagai sebuah metode yang tepat untuk re-experiencing atau re-thinking atas apa yang secara original telah dirasakan atau dipikirkan oleh seorang pengarang, yang dengan itu Betti berharap dapat memperoleh sebuah pengetahuan yang mendalam dan dapat menjadi proses pemahaman yang umum, yaitu bagaimana kita
dapat mentranspos suatu makna yang kompleks yang diciptakan seseorang yang lain tentang diri kita dan dunia kita ke dalam pemahaman kita sendiri. Teori hermeneutikal sebagai epistemologi dan metodologi pemahaman, demikian lanjut Bleicher (1980: 1-2), lebih jauh dikembangkan oleh Dilthey pada peralihan abad ini. Ia menguraikan yang pertama - teori hermeneutikal sebagai epistemologi - dalam konteks Critique of Historical Reason, yang mengupayakan sebuah penyelidikan transendental atas kondisi-kondisi posibilitas pengetahuan historikal dengan mengikuti contoh yang ditetapkan oleh Kant dalam karyanya Critique of Pure Reason; (sedang yang terkemudian yaitu) aspek methodologis, disempitkan pada interpretasi dokumen-dokumen yang diatur secara linguistis yang menghadirkan suatu kasus spesifik dari penggunaan metode verstehen sebagai cara tepat kognisi dalam hal di mana hubungan subjek-objek adalah setempat; “hidup berjumpa dengan hidup” (life juga dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kehidupan”, dan “jiwa”). Dilthey pada awalnya berupaya untuk memecahkan persoalan hermeneutika, yang mengangkat “kesadaran historikal” (historis), dengan cara recurring (pengulangan-pengulangan) atas perhatian Romantisis terhadap live experience. Tetapi akhirnya Dilthey berbelok pada teori Hegel tentang jiwa objektif dan mengadopsi distingsi antara makna dan ekspresi yang diusulkan oleh Logical Investigations Husserl. Sedang “filsafat hermeneutik”, ia tidak mengarah pada pengetahuan objektif, yaitu yang lewat prosedur-prosedur metodologis, tetapi pada eksplikasi dan deskripsi fenomenologis atas human Dasein dalam hal keduniawiannya dan kesejarahannya
(Bleicher, 1980: 2). Dalam karyanya Bleicher antara lain membahas untuk ini yaitu Heidegger, Bultmann dan Gadamer. Selanjutnya “hermeneutika kritik”, yang disebut juga sebagai hermeneutical dispute (Bleicher, 1980: 4), antara lain diwakili oleh debat antara Gadamer dan Habermas. Habermas meragukan asumsi-asumsi idealis yang mendasari “teori hermeneutikal”
dan
“filsafat
hermeneutik”,
yaitu
dalam
hal:
pengabaian
mempertimbangkan faktor-faktor “ekstra-linguistik” yang justru juga membantu untuk dapat mengangkat konteks pemikiran dan kegiatan. Dan selanjutnya antara Betti dan Gadamer, yang berkisar sekitar kemungkinan interpretasi objektif, dan pertanyaan tentang apakah analisis Gadamer atas struktur-depan (fore-structure) pemahaman menunjukkan suatu bahaya pada gagasan Gadamer yang menekankan pada aturan esensial praanggapan dalam proses kognisi (Bleicher, 1980: 3-4). Terminologi “kritikal” di sini digunakan untuk pengertian terutama yaitu sebagai penilaian atas rumusan-rumusan yang ada tentang hal yang nampak dari standar-standar yang berasal dari pengetahuan tentang sesuatu yang lebih baik yang telah hadir sebagai sebuah potensial atau sebuah tendensi yang ada sekarang ini; yaitu yang dibimbing oleh prinsip akal sebagai yang menuntut terjadinya komunikasi yang tidak tertutup ataupun berdasarkan penentuan-sendiri (Bleicher, 1980: 4). Penjelasan ketiga perbedaan konsepsi di atas yang menyusun dan mempersiapkan bentuk-bentuk yang mungkin dari hermeneutika, selanjutnya menghantarkan Bleicher pada hermeneutika fenomenologis Ricouer, yaitu yang meskipun tidak mewakili sebuah strand manapun, tetapi menurut Bleicher ia membawa ketajaman bentuk dari ketiga bentuk strand tersebut, dan juga yang telah
berusaha untuk mengintegrasikan ketiga-tiganya kedalam kerangka kerja yang lebih besar. Ia tidak saja mendiskusikan tempat Freud dalam hubungannya dengan kritikkritik lain dari masyarakat modern, Marx dan Nietzche, tetapi ia juga bertindak sebagai mediator bagi pertentangan “hermeneutical” dan “hermeneutic”, yaitu dengan jalan mana ia sekaligus menyajikan tentang perlunya suatu penghargaan yang tinggi atas “aturan analisis strukturalis” atas suatu sistem tanda dalam kaitannya dengan interpretasi “hermeneutik (al)” atas suatu teks (Bleicher, 1980: 4-5).
2. Pembahasan Kronologis Historis Hermeneutika a. Hermeneutika pada tataran umum Pada bagian ini tidak banyak yang dapat digali. Di sini kita sekaligus mencoba menyajikan suatu rangkaian perkembangan hermeneutika, yaitu untuk membantu memahami bahasan-bahasan berikutnya. Roy
J.
Howard
(2000:
14-15)
menjelaskan
bahwa
sebelumnya
“hermeneutika” merujuk pada sebuah kemahiran yang diperoleh seseorang dengan belajar bagaimana menggunakan instrumen sejarah, filologi, manuskrip teologi, dan sebagainya. Kemahiran ini secara khas dikembangkan untuk memahami teks-teks yang tidak lepas dari persoalan karena pengaruh waktu, karena perbedaan-perbedaan kultural, atau karena kebetulan-kebetulan sejarah. Dengan sendirinya, hermeneutika bersifat “regional” dan “berkala” – sebuah subdisiplin dalam teologi, arkeologi, telaah-telaah sastra, sejarah seni, dan sebagainya. Akan tetapi, demikian Howard melanjutkan, dewasa ini istilah itu sudah mempunyai makna baru. Ia tidak hanya memunculkan suatu upaya yang bersifat
“membantu semata-mata”. Telah terjadi suatu lompatan besar yang bukan hanya “perbedaan gradual”, tapi suatu perbedaan yang “esensial”. Dalam pandangan banyak orang, sekarang hermeneutika seringkali dipraktikkan pada tataran umum yang jelas memandangnya sebagai suatu “persoalan filosofis” (Howard, 2000: 15). Dan selanjutnya pada tahap berikutnya terdapat juga penggarapan hermeneutika untuk kepentingan praktis. Sementara itu bagi kembara filsafat sendiri, demikian menurut Kaelan (1998: 297), hermeneutika baru muncul pada fasenya yang ke empat, yaitu fase logosentris, adalah fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang sering disebut pasca modern atau ‘postmodern’. Logosentrisme yang menandai berkembangnya filsafat ‘postmodernisme’
seiring
dengan
berkembangnya
strukturalisme
dan
pascastrukturalisme yang kemudian melahirkan filsuf-filsuf hermeneutika.
b. Hermeneutika filsafati Yang dicari dalam pengkajian filsafati hermeneutika adalah “bidang-bidang” mana atau apa saja yang terkait dengan “pemahaman”, - atau dalam istilah Howard yaitu “faktor-faktor konseptual” yang terlibat dalam penggunaan interpretasi (Howard, 2000: 36), berikut soal kaitan-kaitannya dan pengertiannya yang mendalam, bahkan hingga “skema” yang dapat menunjukkan keseluruhan bidangbidang yang terkait, pada tempatnya masing-masing dan dalam hubungan-hubungan dan fungsi-fungsi. Atau istilah ilmiahnya adalah kajian epistemologi, logika dan ontologi hermeneutika, bahkan juga persoalan estetikanya.
Pemikiran hermeneutika filsafati pertama-tama dicapai oleh Schleiermacher (1768-1834), dan diteruskan oleh gagasan Dilthey (1833-1911), Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (1900-), yang menurut penjelasan Poespoprodjo (1987: 40), pikiran mereka tentang hermeneutika filsafati tersebar di berbagai karya tulis, yang sering bersifat fragmentaris dan sangat rumit dan berselukbeluk. “Pemahaman (verstehen) merupakan masalah pokok semua bacaan (teks)”, demikian diungkapkan Poespoprodjo (1987: 41), ketika mendiskusikan pemikiran hermeneutika Friederich Schleiermacher, adalah seorang raksasa intelektual pada zamannya; sebagai seorang filsuf, Ia berpikir dalam konteks sistem idealisme Schelling, Fichte, dan Hegel. Metafisikanya adalah realisme idealistik sedangkan epistemologinya senantiasa Kantian, ahli teologi besar, ahli filologi klasik, dan budayawan yang berwibawa (Poespoprodjo, 1987: 40). Persoalan sedemikian merupakan sebuah “tanya” yang kepadanya menunjuk berbagai pemikiran Schleiermacher tentang “hermeneutika teks”, yang dinilai begitu prestatif. Melaluinya hermeneutik telah terangkat dari “taraf interpretasi sastra” ke “taraf filsafat”, khususnya epistemologi dan logika (Poespoprodjo, 1987: 46). Rumusan prinsip-prinsip hermeneutika teks Schleiermacher merupakan hasil komunikasi kritis dan penyempurnaan atas kontribusi dua ahli filologi yaitu Friederich Ast (1778-1841) dan Friederich August Wolf (1759-1824) (Poespoprodjo, 1987: 41). Friederich Ast mengajukan tiga buah bentuk pemahaman (verstehen), yaitu 1) pemahaman isi karya, 2) pemahaman bahasanya, dan 3) pemahaman jiwa pengarang dan zeitgeist (suatu jiwa kaitannya dengan keseluruhan) (Poespoprodjo,
1987: 42). Sementara Friederich August Wolf dengan menyingkirkan konsepsi geist dari Ast, mengajukan juga tiga tingkat hermeneutika, yaitu 1) interpretatio gramatika,
2)
interpretatio
historica,
dan
3)
interpretatio
philosophica
(Poespoprodjo, 1987: 43). Kemudian dalam rumusan Schleiermacher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi proses kreatif, bertolak dari “ekspresi” yang selesai diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan di mana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni “momen tata bahasa” dan “momen kejiwaan” (geist). Sedangkan prinsip yang menjadi tumpuan rekonstruksi dalam bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan adalah yang disebut “lingkaran hermeneutik” (Poespoprodjo, 1987: 43). Hermeneutika sebegini adalah yang berpangkal tolak pada bagaimana suatu ungkapan dalam bahasa tulis atau bahasa tutur de facto dipahami. Di sini lah muncul konsep “dialogi”. Situasi pemahaman adalah situasi suatu hubungan dialogis. Dan di dalam hubungan semacam itu senantiasa terdapat seorang pembicara yang menyusun kalimat guna mengungkapkan arti, dan seorang pendengar (Poespoprodjo, 1987: 43-44). Dalam situasi hubungan dialogis terjadi “proses divinasi” yang membuat seseorang dapat menangkap “arti” (unusual insight) itulah yang disebut “proses hermeneutika”. Dalam
rangka
mencapai
proses
hermeneutika
tersebut,
Schleiermacher
mengemukakan strateginya, adalah dengan merumuskan ulang masalah kaitan bagian dengan keseluruhan (idealisme Hegel!) dan keseluruhan dengan bagian-bagiannya (Poespoprodjo, 1987: 42). Adalah pengertian dari “lingkaran hermeneutika” yang disebut di atas. Berikut kita kutip Poespoprodjo (1987: 44-45) :
Bilamana seseorang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi, yakni dengan jalan membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Yang diketahui membentuk kesatuan-kesatuan sistematis atau juga membentuk lingkaran-lingkaran yang terdiri atas bagian-bagian. Lingkaran termaksud sebagai satu keseluruhan menentukan arti masingmasing bagian, dan bagian-bagian tersebut secara bersama membentuk lingkaran. Suatu kata ditentukan artinya lewat arti fungsionalnya dalam kalimat sebagai keseluruhan, dan kalimat ditentukan maknanya lewat arti satu per satu kata yang membentuknya. Jelas kiranya bahwa hermeneutika bersifat melingkar. Namun, logika biasa tidak mencukupi untuk memahami. Dibutuhkan suatu loncatan yang hakikatnya bersifat intuitif. Begitu asumsi Schleiermacher. De facto niscaya sudah terdapat bidang yang teralami secara bersama antara pembicara dan pendengar. Dan hanya dengan prapengetahuan tersebutlah seseorang dapat meloncat ke dalam lingkaran hermeneutika. Lewat unsur yang menyambung tersebut seluruh arah pikiran seseorang pengarang menjadi berbicara (terungkap). Dengan demikian nyatalah bahwa lingkaran hermeneutika tidak hanya beroperasi di bidang kebahasaan, tetapi juga di bidang “isi masalah” yang diperbincangkan.
Setelah Schleiermacher, wilayah persoalan pemahaman telah diperluas oleh penerus pekerjaannya, Wilhelm Dilthey, seorang empirisis (Poespoprodjo, 1987: 49), yaitu meliputi seluruh kajian Geisteswissenchaften, yakni semua ilmu sosial dan humanities, atau semua studi yang menafsirkan expresi kehidupan kejiwaan manusia (Poespoprodjo, 1987: 46). Hemeneutika sebagai metode Geisteswissenchaften (Poespoprodjo, 1987: 46). Dilthey melihat satu segi epistemologi yang sejak lama sudah senantiasa dilalaikan, yakni masalah “pemahaman” (das verstehen). Dengan seksama dan panjang lebar, Dilthey menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat mengetahui pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kehidupan pikiran (kejiwaan) orang lain. Pemikiran ini memunculkan berbagai sumbangannya bagi studi tentang metodologi, di antaranya kenyataan bahwa pengetahuan dapat tetap ilmiah namun insani (Poespoprodjo, 1987: 46). Dalam pemikiran Dilthey sifat “kesejarahan” (historikalitas) hidup senantiasa ditekankan. Mengabaikan hal tersebut
berarti menjurus ke dalam objektivitas ilusif, manusia yang cirinya sejarah tidak mungkin dipahami secara semestinya (Poespoprodjo, 1987: 67-68). Tujuan seluruh pemikiran Dilthey adalah mengembangkan metode memperoleh interpretasi “yang secara objektif-sah” tentang ekspresi kehidupan batin. Titik tolak dan titik akhirnya adalah “pengalaman kongkret”. Dilthey mencurigai teori-teori spekulatif. Ia melihat tugas filsafat untuk menggarap dan mengembangkan dasar-dasar epistemologis dan logis ilmu-ilmu kesejarahan menurut struktur Kant serta sejalan dengan epistemologi dan logika ilmu alam Kant sendiri (Poespoprodjo, 1987: 47-48). Pada bagian lain Poespoprodjo (1987: 157) mengungkapkan pandangan Hans Albert tentang Dilthey, “…tujuan hermeneutika Dilthey adalah untuk perkembangan teknologi interpretasi, jadi membutuhkan penjelasan teoritis bagi perkembangan selanjutnya”. Dan selanjutnya, di tangan Heidegger, Gadamer dan berikutnya, persoalan pemahaman telah diarahkan atau sudah merupakan sebagai metode untuk memahami seluruh existensi. Pengaruh Dilthey terhadap Heidegger, seorang fenomenolog, terlalu penting untuk diremahkan. Heidegger sepaham dengan Dilthey bahwa kenyataan hidup niscaya merupakan dasar keseluruhan pemikiran. Tetapi, apabila Dilthey mengembangkan teori pemahaman (verstehen) yang bersifat historikal (kesejarahan) guna diperlawankan dengan bentuk penangkapan ilmiah (dalam arti scientific),
Heidegger
mengembangkan
pemikiran
lebih
lanjut
dengan
mengemukakan bahwa semua pemahaman (verstehen) bersifat “kebahasaan”, “intensional”, dan “historikal”. Bagi Heidegger pemahaman (verstehen) bukan suatu proses mental, melainkan suatu proses ontologis, penguakan (penyingkapan)
segalanya yang riel pada manusia (Poespoprodjo, 1987: 68-69). Segi-segi pemikiran Heidegger yang penting bagi teori hermeneutika antara lain sebagai berikut: 1). Melampaui “metafisika”. Das Sein merupakan sasaran seluruh kegiatan fenomenologi-hermeneutika Heidegger (Poespoprodjo, 1987: 71). Seinsverstandnis (pemahaman ada) adalah hakikat berfikir, adalah menjadi manusia, adalah yang dapat membuat das sein keluar dari ketersembunyiannya, adalah keterbukaan terhadap das sein. Heidegger juga menggunakan konsep “lingkaran hermeneutika” (Poespoprodjo, 1987: 72). Pemikir tentang bahasa dan pikiran yang menjadi ciri manusia, “…….tanpa bahasa, manusia bukan manusia” (Poespoprodjo, 1987: 73). Heidegger terbentur gaya pemikiran metafisika, yaitu 1) dengan kategori subjek-objeknya dan 2) dengan gaya bahasanya. Dengan kategori subjek-objek, manusia diperlakukan sama dengan benda, jadi mengabaikan perbedaan ontologis. Maka Heidegger membuat perbedaan antara manusia (dasein), yang menjadi tempat (statte) beradanya sein (ada), dan benda (Poespoprodjo, 1987: 73). Heidegger menyebut “hakikat manusia” (dasein) dengan Existenz. Struktur Existenz disebutnya eksistensialia. Manusia sama sekali berbeda struktur dengan adanya benda yang cirinya disebut kategori. Dasein adalah satu-satunya seiende yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seiende lainnya (Poespoprodjo, 1987: 73-74). Langkah asasi yang mutlak dibutuhkan adalah Schritt zuruck, merupakan langkah kembali guna melampaui metafisika, adalah usaha meninggalkan vorstellende Denken, menggantinya dengan andekende Denken, dan metafisika dikembalikan pada hakikatnya, yang tidak lagi serba
menentukan dan serba merajai, adalah langkah kembali ke berpikir yang asli dan sesungguhnya yang disebut Heidegger wesentliche Denken (berpikir yang benarbenar), yaitu suatu dem horiges Denken (“berpikir mendengarkan ada”). Berpikir yang sesungguhnya adalah patuh pada masa Sein, manusia buka penguasa atas apa yang ada, melainkan “gembala” dan “penjaga” terhadapnya (Poespoprodjo, 1987: 74). Selanjutnya dengan bahasanya, berpikir dengan “bahasa metafisika” tidak mungkin lolos dari permasalahan. Bahasa yang kita pakai menentukan arah pikiran kita. Apabila bahasa metafisika tidak dilepaskan, maka pertanyaan tentang wesen de seins (hakikat ada) akhirnya mati, karena das methephysische Vorstellen menghalangi kita untuk merumuskan dan memikirkan pertanyaan di atas secara tepat (Poespoprodjo, 1987: 75). 2). Fenomenologi Hermeneutik. Heidegger dengan eksplisit menyebut “metode fenomenologi”-nya sebagai hermeneutika. Fenomenologi (kombinasi kata Yunani phainesthai dan logos) berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaiman adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Hal ini jelas berarti suatu arah kebalikan dari yang biasa. Bukan kita yang menunjuk benda, melainkan bendabenda itu sendiri yang menunjukkan dirinya pada kita. Jelas kiranya bukan maksudnya di sini hendak membangkitkan suatu bentuk animisme di dalam “epistemologi” dan atau di dalam “ontologi”, melainkan penegasan bahwa hakikat terinti pemahaman yang sebenarnya adalah pemahaman realitas yang dibimbing oleh kekuatan benda tersebut untuk membuat dirinya manifes.takdir das Sein,
yakni
mewujudnya das sein ke dalam bahasa, adalah perintah das sein yang memerintah pikiran dalam berpikir. Takdir tersebut yang merupakan tenaga dorong pemikiran, senantiasa mengundang, dan beserta tantangannya, ia mendorong geraknya pikiran, menahan jalannya pikiran dan sekaligus menentukan gerak dan jalannya pikiran (Poespoprodjo, 1987: 75-76). Metode sebegini akan sangat signifikan bagi “teori hermenutika” karena metode seperti di atas mencakup kenyataan bahwa interpertasi tidak didasarkan di dalam kesadaran manusia dan kategori-kategori buatan manusia, teatpi didasarkan di dalam kemenjelmaan realitas yang dijumpai, realitas yang datang menghampiri kita (Poespoprodjo, 1987: 76-77). Fenomenologi hermeneutika Heidegger de facto adalah ontologi, dan ontologi niscaya menjadi fenomenologi. Tanpa perkosaan yang bagaimana pun, dasein harus dibiarkan mengungkapkan diri setuntasnya. Hermeneutika Heidegger bukan metodologi filologis serta bukan pula metodologi Geisteswissenchaften menurut pola Dilthey. Hermeneutika bukan lagi sekedar pembinaan sikap (membuka diri, peningkatan kemampuan mendengar, menyingkirkan segala bentuk prasangka) atau keterampilan yang senantiasa harus ditingkatkan (kesanggupan membaca dengan kritis, kesanggupan menerapkan aturan hermeneutika), melainkan hermeneutika adalah ciri hakiki manusia. Fenomenologi adalah arkeologi, ilmu yang senantiasa mencari asal muasal sesuatu, mencari akar. Jalan ke akar (ke permulaan Sein) de facto adalah jalan dari hidup dalam faktisitasnya ke hidup dalam historisitasnya (kesejarahannya)
(Poespoprodjo,
1987: 77).
Filsafat
fenomenologis
adalah
“mengikuti”, “menyertai hidup itu sendiri” (Poespoprodjo, 1987: 78). Fenomenologi
menjadi hermeneutik apabila bertolak dari Dasein yang memahami ada (Sein). Oleh karena fenomenologi hermeneutik dari pertanyaan tentang arti ada, Dasein mencoba menjangkau pertanyaan tentang arti ada, maka Arti primer hermeneutika adalah analitik eksistensialitas eksistensi (Poespoprodjo, 1987: 79). Sementara itu Gadamer, seorang fisul maha guru pada universitas tertua di Jerman, yakni Universitas Heidelberg, seorang raksasa pemikir di abad XX yang memilki latar belakang pendidikan formal dalam bidang studi bahasa-bahasa dan kebudayaan klasik serta dalam bidang studi filsafat, pikirannya tentang masalah hermeneutika pada dasarnya dalam banyak hal sudah implisit di dalam pikiran Heidegger. Konsepsi Heidegger tentang pikiran, bahasa, sejarah, dan pengalaman manusia merupakan tumpuan pokok pikiran gadamer. Yang baru adalah tekanan pada segi spekulatif dan dialektisnya masalah (yang mewujudkan “hermeneutika dialektik” Gadamer) serta pengembangan implikasi ontologi Heidegger bagi estetika dan interpretasi teks. Gadamer membawa masalah hermeneutika pada suatu lingkup yang luas (Poespoprodjo, 1987: 93) Gadamer telah menancapkan tonggak teramat penting dalam bidang studi hermeneutika di abad XX. Tujuan penelitiannya bukan menyusun suatu teori umum interpretasi, bukan suatu Methodenlehre. Hermeneutika dipandang sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman (verstehen) sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman (verstehen) bukan suatu proses subjektif manusia yang dihadapkan kepada suatu objek, bukan suatu metode objektifikasi. Pemahaman adalah modus existendi manusia. Gadamer berusaha mengkaitkan hermeneutika dengan “estetika” dan dengan filsafat pemahaman
historikal. Bahkan hermeneutika ditingkatkan menjadi masalah kebahasaan. Hemeneutika adalah suatu perjumpaan dengan das Sein lewat bahasa (Poespoprodjo, 1987: 94). Bagi Gadamer, semua dan setiap “pemahaman” senantiasa merupakan “peristiwa
historikal”,
“peristiwa
dialektik”
dan
“peristiwa
kebahasaan.
Hermeneutika” adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Pengalaman bukan pengetahuan. Dialektika bukan metodologi. Metode dipandangnya sebagai bukan jalan ke arah kebenaran. Kebenaran mengelak terhadap orang yang mendekatinya dengan menggunakan metode. Kebenaran seyogyanya tidak dicapai secara metodik, tetapi secara dialektik. Pendekatan dialektik merupakan antitesis metode. Metode sendiri ditemukan tidak lewat metode, tetapi secara dialektik, yakni lewat kegiatan menanggapi sekaligus mempertanyai kenyataan yang dijumpai. Dalam metode de facto subjek peneliti yang main sendiri, dialah yang menuntun si objek, mengendalikan dan memanipulasi. Tujuan dialektika adalah realitas yang dijumpai mengungkap diri (Poespoprodjo, 1987: 95). Demikianlah pengkajian hermeneutika filsafati. Bila tumpuan-tumpuan pokok pikiran hermeneutika di atas ditabelkan, adalah sebagai berikut: Tabel 1. Tumpuan Pokok Pikiran Hermeneutika
No. 1
Hermeneut Friederich Ast
Bidang-bidang yang terkait dengan pemahaman Teks - Bahasa – Jiwa Pengarang dan zeitgeist
2
Friederich Wolf
Gramatika – Historikal – Filsafati
3
Schleiermacher
Dialogi > pembicara – pendengar > proses divinasi/hermeneutika > momen tata bahasa – momen kejiwaan > lingkaran hermeneutika > strategi > kaitan bagian dengan keseluruhan – kaitan keseluruhan dengan bagian > analogi > bidang yang sudah teralami bersama > bidang kebahasaan
–
bidang
isi
masalah
yang
diperbincangkan 4
W. Dilthey
Rumusan
Schleiermacher
ditambah
historikal
sebagai yang ditekankan 5
Heidegger
Kebahasaan – pikiran - intensional – historikalitas
6
Gadamer
Kebahasaan – historikalitas – dialektik – spekulasi
Sebetulnya bila kita amati secermat-cermatnya, F. de Saussure (1875-1913) di satu sisi, yaitu dengan sebagian besar penjelasan linguistik umumnya, adalah termasuk tahap filsafati. Dan adalah yang mencapai bintangnya. Untuk merumuskan linguistik umumnya, F. de Saussure juga mencari bidang-bidang yang dianggap terkait dengan pemahaman, tetapi yang lebih pokok untuk dijadikan titik tolak adalah “skema”, yang diangkat dari fenomena keseluruhan, yaitu yang dapat menunjukkan tempat-tempat, kaitan-kaitan, fungsi-fungsi (pengertian-pengertian) dari bidangbidang tersebut. Bila dalam penjelasan di atas adalah Schleiermacher yang dapat
menunjukkan bidang-bidang penting hermeneutika pertama-tama dan sekaligus hampir memadai - yaitu tercapainya konsep setengah dialogi dan bidang-bidang lain adalah menjadi bagian dari konsep tersebut -,
maka F. de Saussure justru
menyempurnakannya, dan bahkan menskemakannya. F. de Saussure betolak dari fenomena umum, “skema wicara” dan ditambah “seorang pengamat wicara”. Dalam wicara terjadi suatu dialog yang lengkap, karena di sana terjadi kesalingan, yaitu saling bicara dan saling mendengar. Sedang pengamat adalah posisi hermeneut yang semestinya, agar semua bidang betul-betul dapat teramati seluruhnya. Seluruh distingsi F. de Saussure –yang jelas memiliki kematangan tersendiri ketimbang hermeneut yang lain baik dalam hal bidang-bidang yang dicakupnnya maupun perumusannya - dapat ditemukan dari skema wicaranya. Jadi bila ditabelkan tumpuan pokok pikiran hermeneutika F. de Saussure adalah sebagai berikut: Tabel 2. Tumpuan Pokok Pikiran Hermeneutika F. de Saussure
No.
Hermeneut
Bidang-bidang yang terkait dengan pemahaman
7
F. de Saussure
Fenomena Keseluruhan > Skema wicara (Dialogi lengkap) – Pengamat; dalam wicara dapat ditemukan seluruh distingsi F. de Saussure.
Tetapi F. de Saussure dengan sejumlah penjelasan lainnya dalam PLU – seperti penjelasan fonologi - serta dengan strukturalismenya tentu saja termasuk tahap hermeneutika praktis.
c. Hermeneutika ilmiah praktis Pada tahap berikut ini bidang-bidang yang terkait dengan pemahaman di atas tidak lagi menjadi satu-satunya fokus garapan yang utama, boleh dikatakan hanya ditambahkan sedikit-sedikit, ataupun sambil dikritisi. Pada tahap ini, suatu tahap berat bagi terangkatnya taraf hermenutika ke satu tahap yang lebih tinggi, yaitu taraf filsafati dianggap sudah terpenuhi; dimulai oleh Schleiermacher dan diperkuat antara lain oleh Dilthey, Heidegger dan Gadamer. Bukan kesempurnaan mutlak teorisasi yang jadi pokok, tetapi tercapainya kekokohan status filsafatinya; yaitu bahwa hermenutika telah sebagai sesuatu yang dibicarakan pada tataran filsafati. Maka pada tahap ini selanjutnya yang jadi fokus adalah bagaimana teori filsafati hermeneutika itu dibenturkan pada keperluan praktis. Dengan demikian tantangan para hermeneut bukan lagi soal bagaimana hermeneutika dapat menjadi salah satu persoalan pokok bagi filsafat, tetapi bagaimana ia bermanfaat untuk yang praktis-praktis. Dari upaya ini tak pelak sejumlah gagasan teoritis tersebut ada yang diabaikan dan menjadi dipandang tak relevan, dan kemudian dipilih sejumlah gagasan yang dapat membantu keperluan praktis tersebut. Tetapi hal itu tentu saja tergantung hermeneut yang memandangnya. Pada tahap ini tuntutan kriteria ilmiah yang menjadi tantangan. Ibarat bagi perbedaan hermeneutika filsafati dengan hermeneutika praktis (ilmiah, kritik) di atas adalah: yang menjadi masalah bukan lagi menggagas dan merintis
berdirinya dan terkonstruksinya suatu kapal ilmu, tetapi bagaimana kapal itu dalam kenyataan memang dapat berlayar dan menjelajahi lautan samudra objek yang dituju. Bukan lagi gagasan mendalam tentang bumi adalah bulat, tetapi bagaimana gagasan itu terbukti secara ilmiah dan bagaimana pula implikasi-implikasi dari bentuk bulatnya tersebut. Dengan demikian tahap ini tentu saja teramat penting. Berbagai gagasan teoritis niscaya dalam rangka diuji kekuatan dan keampuhannya, dan sekaligus “tersempurnakan” kekurangan-kekurangannya. Poespoprodjo mengungkapkan, sejak terbitnya karya “Hermeneutik” dari tangan E. Fuch (1954), masalah hermeneutika semakin menjadi “persoalan ilmiah tingkat tinggi”, membara di Jerman, dan semakin menyebar ke pelbagai negara seperti Amerika, Prancis, Belanda, dan Italia (Poespoprodjo, 1987: 146). Bahasa dunia pemikiran metafisik berbeda dari bahasa pemikiran ilmiah modern (Poespoprodjo, 1987: 147). Dalam hermeneutika ini, sifat hermeneutika jelas untuk “kepentingan praktis”, namun telah ditunjukkan keterhubungan antara bidang-bidang tumpuan pokok pikiran hermeneutika filsafati dengan realitas. Pada kesempatan lain Betti misalnya, mencari yang “praktis”, langsung dapat dipakai dalam interpretasi, mencari pertengahan antara unsur objektif dan subjektif semua pemahaman (Poespoprodjo, 1987: 150), ke arah hakikat interpretasi objektif (Poespoprodjo, 1987: 148). Selanjutnya oleh K. Popper dan Hans Albert, hermeneutika muncul dari jurusan “metode rasionalisme kritis”. Metode tersebut bertumpu pada pandanganpandangan yang ketat tentang metodologi ilmu-ilmu empiris yang perlahan-lahan meluas menjadi suatu pandangan tentang persoalan-persoalan aktual masyarakat.
Yang dicari bukan titik Archimedes, bukan dasar yang pasti secara mutlak, tetapi adalah pengujian secara kritis dan perbaikan penyelesaian masalah kita di segala bidang (Poespoprodjo, 1987; 152). Rasionalisme kritis adalah paradigma suatu metode rasional dalam memecahkan persoalan (Poespoprodjo, 1987: 152). Popper yakin akan perlunya cara penanganan yang baru terhadap banyak masalah. Manusia dapat memebebaskan diri dari tabu-tabu tradisi, tidak hanya dengan mencampakkan tradisi, tetapi juga dengan menerimanya secara “kritis”. Tradisi adalah suatu gejala kehidupan sosial (Poespoprodjo, 1987: 153). Sebagaimana teori-teori ilmu alam, semuanya itu tetap merupakan percobaan-percobaan yang secara prinsip terbuka terhadap kritik dan perubahan. Fungsi kedua tradisi adalah menawarkan sesuatu pada kita upon which we can operate, secara kritis (Poespoprodjo, 1987: 154). Maka itulah Popper melawan determinisme (yakni; hari depan dunia empiris sudah lengkap, telah ditentukan hingga detailnya yang terkecil oleh keadaannya yang sekarang). Baginya determinisme tidak dapat dipertahankan. Determiniosme niscaya disingkirkan dari tradisi rasionalistis. Masalah pokok dalam teori filsafat tentang tahu dan pengetahuan adalah masalah the growth of knowledge. Sedangkan rasionalisme deterministis tidak mampu memberika pertanggungjawaban akan pertumbuhan atau kemajuan tahu dan pengetahuan tersebut (Poespoprodjo, 1987: 154). Tugas ilmu dan filsafat adalah meneliti teori-teori sekritis dan dan serasional mungkin guna melihat sejauh mana dan di mana teori-teori tersebut dapat difalsifikasikan (Poespoprodjo, 1987: 154). Selanjutnya Poespoprodjo mengemukakan, dengan tujuan menghancurkan rasionalisme deterministik, Popper merancangkan bahwa teori niscaya disusun sedemikian rupa sehingga tetap merupakan percobaan-percobaan yang secara prinsip
terbuka terhgadap kritik dan perubahan, terbuka terhadap bantahan pengalaman. Masalahnya di sini bukan untuk memperoleh “kebenaran” apalagi kebenaran dalam arti kata memperoleh kepastian definitif lewat suatu proses pengumpulan pengamatan-pengamatan elementer panca indera. “Tolok ukur semua teori” adalah “memperkokoh pegangan kita pada kenyataan”. Hal ini berarti bahwa teori secara prinsip mengandung ciri percobaan, dimaksudkan untuk memberikan suatu ketertiban, yang sifatnya senantiasa sementara di dalam suatu kenyataan yang tidak mudah dilihat secara keseluruhan, kurang-lebih amat kacau yang terkadang bahkan tampil sebagai ancaman bagi kita. Banyak teori sering juga terlibat dalam suatu adu kekuatan dengan teori-teori saingannya, yang tidak pernah secara definitif pasti. Dalam hal ini kepastian tidak pernah dapat bertumpu pada pencerapan inderani sebagai jaminan kebenaran terakhir. Satu-satunya penjernihan yang sesungguhnya yang dapat dicapai dalam masalah di atas ialah dengan menggunakan prosedur falsifikasi. Dan falsifikasi adalah suatu teori yang disusun sebagai suatu stelsel ungkapan universal sah (lain dari “benar”), diuji dengan mencari contoh-contoh tandingan, sehingga akhirnya dengan cara demikian kejernihan masalah dapat diperoleh. Prinsip logikanya modus tollens, sedangkan prinsip metodiknya trial and error, yakni kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri. Dengan semuanya itu kita dapat memberikan bentuk-bentuk baru pada masalah-masalah manusia. Dan seluruh proses rasional kritis di atas adalah yang dikualifikasikan Karl Popper sebagai hermeneutika. Dunia ini bersifat “amat kacau”, berubah-ubah tidak tentu, maka terbuka, menanti aktivitas rasional kita untuk memberi struktur, suatu aktivitas yang dapat terbuka, dan senantiasa dapat dibuka kembali dalam suatu adu
kekuatan baru berkat kenyataan bahwa data empiris tidak pernah definitif (Poespoprodjo, 1987: 156). Selanjutnya Hans Albert, ia melihat bahwa tujuan hermeneutika Dilthey adalah untuk perkembangan “teknologi interpretasi”, dan bahwa dalam pikiran Karl Otto Apel dan Jurgen Habermas, hermeneutika jelas digarap dalam rangka “perbaikan praksis
kemasyarakatan”. Tetapi
hermeneutika
modern
(sebagaimana pada
Heidegger, Gadamer, Apel, Habermas), begitu Hans Albert, disibukkan oleh “hal-hal yang kurang cerah”. Hal-hal tersebut dipandang sebagai rintangan esensial bagi perkembangan hermeneutika (Poespoprodjo, 1987: 157). Sementara itu Paul Ricoer, ia menjelaskan, hermeneutika adalah semua displin ilmu yang bekerja dengan menggunakan interpretasi. Sedangkan interpretasi adalah kegiatan “membedakan” arti tersembunyi (sens cache) di dalam arti yang jelas dapat dilihat (sens apparent). Tugas hermeneutika adalah “membandingkan” pemakaian yang berbeda-beda dari arti rangkap dan fungsi yang berbeda-beda dari interpretasi lewat disiplin yang juga berbeda-beda seperti misalnya semantika, psikoanalisis, fenomenologi, sejarah perbandingan agama, kritik sastra, dan sebagainya (Poespoprodjo, 1987: 158). Dipengaruhi oleh filsafat eksistensi (Gabriel Marcel, Karl Jaspers, Heidegger II), demikian Pospoprodjo menjelaskan, dengan memungut selengkapnya segala koreksi serta petunjuk psikoanalisis dan semiologi, dan dengan menggunakan metode berpikir filsafat fenomenologi Husserl, Ricoeur dengan filsafat refleksifnya, yang mencakup suatu arkeologi dan eskatologi, menyelidiki secara “kritis” segala realitas, memperbandingkan
untuk
menguji
keteguhannya
dan
lebih-lebih
untuk
“menafsirkan” serta “dengan berani mewujudkan suatu hermeneutika ‘aku berada’ agar cogito idealistik, subjektivistik, solipsistik dapat diatasi” (Poespoprodjo, 1987: h. 158). Manusia dengan pertolongan bahasanya (Ricoeur memandang langue, yakni bahasa, sebagai sistem tidak terlepas dari parole, yakni bahasa sebagai kegiatan berbahasa) senantiasa mencari penjelasan dan pandangan. Pandangan-pandangan tersebut dibutuhkan manusia karena ia harus hidup dengan realitas (yang bersifat pribadi, publik, psikis, dan kultural) yang serba teka-teki, berliku-liku dan berbahaya. Karenanya semua pandangan sebagaimana terdapat di dalam mitologi, ideologi, kebudayaan, religi, patut diteliti, diuraikan dan ditafsirkan kembali (Poespoprodjo, 1987: 158-159). Ricoeur menentang
sejumlah hal yang oleh banyak kalangan
dipandang sebagai tuntutan para strukturalis, seperti desentrasi manusia (hanya struktur dan korelasi-korelasinya yang penting, manuasia sekedar ditambahkan), dominasi realitas taksadar, pengetahuan tanpa subjek, teori tanpa identitas, dico ergo non sum, tidak untuk menemukaan “aku”, tetapi untuk menemuka il y a; manusia terkunci di dalam dunia aturan, di dalam dunia sebagai partitur (Levi-Strauss), di dalam suatu peraturan lambang-lambang (Lacan). Ketergantungan para strukturalis tentang dunia budaya terlalu sudah pasti, terlalu ditentukan struktur dalam, terlalu “gramatikal”, sudah tentu repertoire-nya (Roman Jacobson). Sedangkan menurut Ricoeur, lambang senantiasa menyembunyikan maksud rangkap (….le symbole recele dans sa visee une intentionnalite double) (Poespoprodjo, 1987: 159). Selanjutnya, pandangan strukturalisme filsafati dan praktis yang “begitu berseluk-beluk” antara lain terungkap dalam pikiran-pikiran/karya-karya LeviStrauss, Michael Fouchoult, Lacan, Althusser, Barthes dan Derrida, yang disebut-
sebut sebagai tokoh-tokohnya, yang pandangan-pandangan mereka menurut Poespoprodjo (1987: 140), mutlak bagi menyadari “nuansa diskusi sezaman” tentang hermeneutika dalam kaitan melihat relevansi hermeneutika filsafati bagi teori interpretasi. Tetapi kita di sini hendak mengemukakan bahwa pada tahap selanjutnya strukturalisme telah menjadi jembatan utama bagi kemunculan pascastrukturalisme, dan bersama-sama dengan bentuk-bentuk hermeneutika yang sebelumnya kini kita sudah berada dalam wacana intelektual postmodernisme, yang kaitannya dengan bahasan ini, dalam definisi B. Sugiharto (1996: 16), ia adalah yang “memayungi” seluruh bentuk pemikiran yang ada saat ini.
D. PENDALAMAN SUATU BENTUK HERMENEUTIKA Di belantara dan berseluk-beluknya kajian hermeneutika sebagaimana dijelaskan di atas, dengan berbagai aliran filsafat yang demikian berbeda-beda prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita dituntut untuk menentukan pilihan pada salah satu bentuk hermeneutika yang akan dibahas secara mendalam di sini, yaitu yang hendak dijadikan sebagai pendekatan untuk mengkaji objek penelitian kita “Amsal al Quran”. Dalam hal ini kita sangat terbantu dengan pengelompokan Howard atas cara pengkajian hermeneutika (lihat Bagian B). Tetapi di sini, berdasarkan penjelasan kita yang sudah lebih luas, yaitu, di samping strukturalisme perlu ditambahkan sebagai yang
juga
tercakup
dalam
pendekatan
pertama
yaitu
postrukturalisme,
neostrukturalisme, dan panstrukturalisme. Aliran-aliran ini dengan cara yang berbeda-beda masih mengakar pada linguistik modern. Dari kedua cara pengkajaian tersebut, di sini kita selanjutnya hanya akan menguraikan dan secara lebih mendalam tentang pendekatan yang pertama, yaitu “strukturalisme”. Berbagai pendekatan lain, yang terkumpul pada pendekatan kedua, pada dasarnya juga menyediakan seperangkat metode yang juga dapat menjelaskan, dengan caranya masing-masing, butir-butir persoalan objek kajian kita. Oleh karena itu alasan pemilihan ini perlu ditambahkan sesuatu yang bersifat subjektif. Fichte pernah menyatakan demikian, “Jenis filsafat yang dipilih seseorang bergantung pada watak orang itu. suatu sistem filsafat bukanlah kumpulan barang rongsokan tak bernyawa yang dapat dibuang atau dipertahankan dalam perilaku. Akan tetapi, ia dihidupkan oleh jiwa manusia yang memegangnya” (Howard, 2000: 21). Sebuah kasus yang khusus tentang ini terjadi misalnya dalam antropologi yang antara lain sebagaimana dijelaskan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra, ia menyatakan keyakinannya atas pengaruh ‘analisis struktural’ yang masih tetap terus terasa dan masih akan banyak digunakan dan diasah terus oleh para ahli antropologi dari generasi setelah Levi-Strauss (Octavia Paz, 1997: x). Dan selanjutnya ia menyatakan: Dewasa ini, dalam jagad pemikiran antropologi telah hadir pemikiranpemikiran baru lagi, yang banyak diantaranya lahir sebagai reaksi dan kritik terhadap strukturalisme, namun juga sekaligus memperoleh inspirasi darinya. Bagaiamanapun juga, suatu pemikiran yang pernah muncul baik dalam filsafat, ilmu kemanusiaan (humaniora), maupun ilmu sosial, tidak akan pernah selamanya ditinggalkan. Sejarah telah membuktikannya. Hingga kini pemikiran-pemikiran lama yang berasal dari dari ahli-ahli filsafat Yunani kuno masih terus dan masih akan selalu dibaca dan dikaji ulang kembali. Pemikiran-pemikiran tersebut masih terus saja mampu memberikan inspirasi
berharga pada generasi pemikir berikutnya, bagaikan sebuah mata air jernih yang terus-menerus mengalirkan airnya yang sejuk ke ladang-ladang filsafat dan menumbuhkan benih-benih pemikiran di atasnya menjadi pohon-pohon pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan” (Octavia Paz, 1997: x-xi).
Itu pun kita masih mesti menegaskan bahwa strukturaklisme yang dimaksud di sini adalah “strukturalisme Prancis”, karena kita tahu strukturalisme pun memilki beberapa bentuk, sebagaimana yang dijelaskan oleh K. Bertens (1996: 176-178) dan Jean Piaget (1995: 1-2). Untuk mencapai bahasan ini kita tidak hendak memilih bentuk bahasan yang ketiga, tetapi berupaya sedapat mungkin bergerak kesegala arah atau bagian dari kerangka yang disajikan bentuk bahasan yang pertama dan kedua.
E. HERMENEUTIKA STRUKTURALISTIS Terdapat sejumlah ‘fokus’ kajian atas strukturalisme. K. Bertens (1996 : 177) dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX ; Prancis, telah membahas strukturalisme dengan fokus pada strukturalisme sebagai sekelompok pemikir yang menarik perhatian di Prancis pada tahun 60-an. Karya ini secara cukup luas menggambarkan bagaimana penampilan sekelompok pemikir dalam cakrawala filsafat Prancis yang menjadikan prinsip-prinsip dasar linguistik F. de Saussure sebagai model pemikiran mereka, dan
membahas pula beberapa tema yang dipermasalahkan oleh
strukturalisme yang juga hakiki bagi aliran-aliran filsafat sebelumnya serta soal kritik-kritik terhadap strukturalisme. Fokus lainnya adalah kajian atas strukturalisme sebagai reaksi atau perlawanan atas fenomenologi-existensialisme (K. Bertens, 1996 : 177) dan marxisme humanitis (Levi-Strauss, 1997: 16), atau terhadap sikap-sikap lain
(yang berseberangan dengan strukturalisme) (Piaget, 1995: 2). Sementara itu, dalam ‘Le Structuralisme’ Jean Piaget (1995 : 2), mengkaji strukturalisme dengan fokus strukturalisme sebagai yang dapat menangkap sifat-sifat positif ide “struktur”. Kajian Jean Piaget tersebut antara lain memunculkan dua aspek yang menurutnya biasa terdapat pada setiap bentuk strukturalisme, yaitu 1) di satu pihak, terdapat suatu gagasan atau harapan-harapan terhadap pemahaman intrinsik, berdasarkan postulat bahwa sebuah struktur itu mencukupi dirinya sendiri dan dapat dipahami tanpa segala macam unsur di luar sifatnya sendiri, dan 2) di lain pihak, tampak pula perwujudan gagasan tersebut, sejauh mana orang berhasil mencapai struktur-struktur tertentu secara efektif dan sejauh mana penggunaannya memperjelas beberapa sifat umum (Piaget, 1995 : 2-3). Dan terdapat pula kajian atas strukturalisme tentang perihal pandangan
dan
kecenderungan
sekelompok
pemikir
untuk
menganggap
strukturalisme sebagai sebuah “ideologi”. Penjelasan tentang ini antara lain dapat ditemukan pada karya K. Bertens, ‘Filsafat Barat Abad XX ; Prancis’ halaman 226230, dan karya Poespoprodjo, ‘Interpretasi’ halaman 163, dan lain-lain. Adanya sejumlah fokus kajian tentang strukturalisme tersebut, menunjukkan bahwa terdapat beberapa segi pada strukturalisme yang penting dan telah menarik perhatian sejumlah pemikir/penulis, yang beberapa segi tersebut memang juga tak akan mudah atau mungkin tidak akan relevan bila dikaji dan dibahas secara bersamaan dalam suatu maksud bahasan yang mendalam. Dan oleh karena itu dalam mengamati berbagai diskusi tentang strukturalisme, akan terbuka bagi kemungkinan adanya segi-segi yang menarik dan penting lainnya.
Salah satu kemungkinan fokus lain dalam pengkajian atas strukturalisme yang hendak diupayakan pada kesempatan kali ini, adalah berdasarkan pengamatan atas sejumlah referensi yang mendiskusikan “strukturalisme” di satu sisi, dan “hermeneutika” di sisi yang lain. Adapun fokus kajian dan bahasan kita adalah Strukturalisme sebagai sebuah "Hermeneutika"; yaitu “Hermeneutika Strukturalistis”. Di sini strukturalisme ditempatkan sebagai salah satu aliran hermeneutika. Adalah Roy J. Howard, dalam karyanya Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer Hermeneutika, yang mengangkat kita dari hipotesa menjadi sebuah gagasan yang ternyata juga diakui dalam diskusi filsafati hermeneutika, yaitu bahwa strukturalisme merupakan salah satu aliran darinya, meskipun Howard sendiri dalam karyanya tersebut justru memilih untuk membahas aliran hermeneutika yang lain. Sebagaimana pernyataannya, “Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai ‘hermeneutika’, melainkan ‘strukturalisme’ ” (Howard, 2000: 15). Sebelumnya gagasan tersebut hanya kita temukan –dalam bahan pustaka yang juga terbatas- secara tersirat pada karya-karya lain seperti pada Poespoprodjo, K. Bertens, Octavia Paz, Richard C. Martin, Josef Bleicher dan lain-lain.
E.1. Jejak-jejak, Asal-usul dan Latar Belakang Umum Strukturalisme Strukturalisme, sebagai sebuah gaya berpikir yang memiliki masa kejayaan pada tahun 60-an (K. Bertens, 1996: 177). Dan menurut Levi-Strauss, bapak antropologi struktural Prancis, geneologinya di Eropa di dunia modern dapat ditelusuri jejak-jejak dan asal-usulnya sampai ke zaman Renaisans atau bahkan lebih
jauh (Levi-Strauss, 1997: 16). Berikut pernyataannya dalam diskusi dengan Majalah Spiegel: Levi-Strauss: …Dan sebagaimana anda ketahui, strukturalisme sebenarnya memang berasal dari Jerman. Spiegel: Apakah anda dapat menjelaskan pikiran itu secara lebih rinci?. Levi-Strauss: orang selalu berkata kepada saya bahwa di Jerman orang merasa sangat segan terhadap strukturalisme. Namun, apabila kita berusaha menelusuri proses perkembangan, hingga pada saatnya yang paling awal, di manakah strukturalisme berawal di dunia modern? Di Eropa, Duerer merupakan awalnya. Dengan terbitnya Vier Buecher von menschlicher Proportion (1528) dan dengan gagasan bahwa kita dapat bertolak dari satu bentuk wajah dan mencapai bentuk wajah yang lain melalui transformasi (pengubahan bentuk) geometris, maka strukturalisme berawal. Dan oleh Goethe. Dalam karyanya tentang morfologi tumbuhan (1790), dijelaskan bahwa daun dan bunga terbentuk berdasarkan transformasi antara yang satu terhadap yang lainnya, dan pikiran itu bersifat strukturalitis (Levi-Strauss, 1997: 64).
Menurut pengamatan kita, gaya berpikir ini, bila kita memahami gagasangagasan dasar yang diperbincangkannya, sebetulnya ia dapat muncul dari siapa pun. Karena realitas yang ditangkapnya memang dialami oleh siapapun di dunia ini, seperti bahasa, adat istiadat, tempat kediaman, hubungan antar manusia, dialog dan lain-lain. Tetapi di dunia modern dan khususnya di Eropa, Levi-Strauss (1997: 64) berpandangan bahwa stukturalisme sebenarnya berasal dari Jerman, yaitu Duerer dengan terbitnya Vier Buecher von menschlicher Proportion (1528) dan dengan gagasan bahwa kita dapat bertolak dari satu bentuk wajah dan mencapai bentuk wajah yang lain melalui transformasi (pengubahan bentuk) geometris. Dan oleh Goethe. Dalam karyanya tentang morfologi tumbuhan (1790), dijelaskan bahwa daun dan bunga terbentuk berdasarkan transformasi antara yang satu terhadap yang lainnya, pikiran itu bersifat strukturalitis.
Sementara itu pendapat lain, yaitu oleh J. Bleicher (1980: 222), ia berkesimpulan
bahwa
pelopor
analisis
struktural
adalah
Husserl,
berikut
pernyataanya: Husserl dapat, agaknya, dianggap sebagai pelopor analisis struktural. Pekerjaannya yang belakangan telah berupaya untuk menyusun suatu prasarat-prasyarat bagi filsafat sebagai sebuah sains yang ketat dengan menganalisis kecenderungan/tabiat objek-objek pengetahuan dalam kesadaran. Selama tugas ini ia telah sampai pada struktur-struktur dan menunjukkan karakter penting struktur-struktur tersebut, (dan) sebagai suatu konsekuensi, telah membuka kemungkinan bagi pengetahuan nomological dalam wilayah-wilayah yang begitu jauh telah membatasi atas pendekatan verstehen.
Bila Levi-Strauss dapat menunjukkan di dunia modern tahap yang lebih awal dari perkembangan strukturalisme, sementara J. Bleicher merasa terpelopori oleh Husserl, maka kita sendiri dalam proses penelaahan ini justru pertama-tama terinspirasi dan dihantarkan pada strukturalisme yaitu lewat Schleiermacher. Pada Schleiermacher terdapat gagasan-gagasan yang bercorak struktural. Meskipun secara keseluruhan sebetulnya gagasan-gagasannyanya tak terbatas pada satu corak itu saja. Dari yang telah kita sebutkan di atas, yang bercorak struktural antara lain yaitu tentang: “proses hermeneutika” (proses divinasi), yang dicapai dengan “strategi hermeneutika” yaitu soal kaitan bagian-bagian dengan keseluruhan dan keseluruhan dengan bagian-bagian. Dan kaitan-kaitan itu selanjutnya disebut dengan “lingkaran hermeneutika”, yang penjelasannya dan sebagai hal kesamaannya dengan strukturalisme adalah sebagai berikut: 1) bilamana seseorang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan “analogi”, yakni dengan jalan “membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya”, dan seterusnya (Poespoprodjo, 1987, h. 44); ini
dalam rumusan linguistik F. de Saussure merupakan “bentuk hubungan asosiatif tanda”. 2) suatu kata ditentukan artinya lewat “arti fungsional”-nya dalam kalimat sebagai keseluruhan, dan kalimat ditentukan maknanya lewat arti satu-per satu kata yang membentuknya (Poespoprodjo, 1987, h. 44); ini merupakan bentuk hubungan sintagmatis. 3) namun, logika biasa tidak mencukupi untuk memahami. Dibutuhkan suatu loncatan yang hakikatnya bersifat intuitif. De facto niscaya sudah terdapat “bidang” yang teralami secara bersama antara pembicara dan pendengar. Dan hanya dengan “prapengetahuan” tersebutlah seseorang dapat meloncat ke dalam “lingkaran hermeneutika”. Lewat unsur yang menyambung tersebut seluruh arah pikiran seseorang pengarang menjadi berbicara (terungkap) (Poespoprodjo, 1987, h. 44-45); ini sesuai dengan rumusan tentang sistem dan sifatnya yang sosial dan merupakan prapengetahuan serta konstitusi yang secara sempurna hanya ada dalam sosial. 4) Dengan demikian nyatalah bahwa lingkaran hermeneutika tidak hanya beroperasi di bidang kebahasaan, tetapi juga di bidang “isi masalah” yang diperbincangkan (Poespoprodjo, 1987, h. 45); dan ini adalah gagasan yang lebih sempurna dapat kita temukan dalam semiologi. Dan selanjutnya ketika kita menyadari bahwa pemaknaan-pemaknaan amsal al Quran seperti yang telah dipaparkan di “Latar Belakang Masalah” adalah terkait dengan suatu “logika hubungan” dan “kaidah taraf-taraf”, sesungguhnya di sana sudah dirumuskan sebuah sistem struktural, dan bahkan sudah dalam rangka penggunaannya untuk penafsiran. Tegasnya, gagasan struktur itu dengan demikian sudah digarap sejak para teoritisi besar Islam, dan lebih jauh lagi bahkan sumber inspirasinya terdapat dalam al Quran sendiri, seperti dalam surat an-Nur: 35.
Dan akhirnya kenyataan adanya perbedaan-perbedaan di atas menghantarkan kita pada Jean Peageat yaitu yang menegaskan bahwa: sebetulnya “… ‘struktur itu sendiri bersifat mandiri’ dan perumusannya dapat diterjemahkan langsung ke dalam persamaan logika matematis atau melalui suatu model sibernetik” (J. Piaget, 1995: 3). Dan sebagai tambahan, struktur dapat juga divisualisasikan, yaitu berupa: skema, bagan, diagram, rumus, kode, gambar beserta garis-garis petunjuknya, peta, dan lain sebagainya. Tetapi disamping itu, strukturalisme memiliki sebuah “latar belakang umum”, yaitu “linguistik modern”, yang dipelopori dan dibapaki oleh F. de Saussure (18571913), di mana kita tidak mungkin memahami strukturalisme dengan baik jika makna dan arti yang dikandung di dalamnya tidak dihubungkan dengan latar belakang tersebut (Poepoprodjo, 1987: 161). Linguistik modern de Saussure merupakan sumber inspirasi utama bagi strukturalisme (Howard, 2000: 15), dan pengikat utama yang mempersatukan para strukturalis
dalam aliran yang sama, sebagai titik
persamaan diantara berbagai perbedaan yang ada pada para strukturalis yaitu bahwa mereka semua mempunyai kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik de Saussure (K. Bertens, 1996: 178). Berkenaan dengan ini, K. Bertens (1996: 178-179) bahkan menyatakan, “Karena itu, tidak jarang dapat didengar bahwa strukturalisme Prancis pada dasarnya tidak berbuat lain daripada menggunakan linguistik Saussure sebagai model dan menerapkannya pada bidang-bidang lain di luar bahasa”. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa rumusan F. de Saussure atas suatu bentuk objek dan pendekatan yang dimaksud oleh strukturalisme adalah yang memiliki
kematangan
tersendiri
dan
mendasar
dibanding
pemikir-pemikir
sebelumnya. Rumusan F. de Saussure juga dilengkapi dengan sejumlah peristilahan dan distingsi yang memang khas. Dengan rumusan tersebut, F. de Saussure sekaligus telah mengawali analisis struktural dalam linguistik. Disamping itu, dalam PLU ia juga telah menyatakan bagaimana fenomena langue dan tanda juga dapat ditemukan pada fakta-fakta manusia yang lain, selain bahasa (lihat PLU, 1988: 82-84), dan kemestian hadirnya semiologi, yaitu suatu ilmu yang akan mengkaji kehidupan tandatanda itu, terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut, dan hukum apa saja yang mengatur mereka (Saussure, 1988, h. 82-83). Dan lebih jauh menyatakan bahwa linguistik dapat menjadi model bagi semiologi (Saussure, 1988, h. 83). Berdasarkan semua itu, F. de Saussure sekaligus memang layak disebut sebagai pelopor strukturalisme.
E.2. Objek Hermeneutika Strukturalistis Hermeneutika
strukturalistis
merumuskan
pertama-tama struktur
dari
objeknya. Dan selanjutnya struktur tersebut diselidiki untuk memperoleh penafsiranpenafsiran tentang objeknya, tegasnya semua penafsiran atas objek didasarkan pada rumusan struktur yang dicapai. Dengan demikian objek hermeneutika strukturalistis adalah 1) struktur dari objek dan 2) penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada struktur objek yang dicapai. Yang pertama, “struktur”, dalam “kalangan ilmiah” istilah ini (begitupun strukturalisme) banyak dipakai dan tidak selalu dalam arti yang sama (K. Bertens, 1996: 176). Hal ini menjadi salah satu sebab kesulitan utama bagi yang ingin mempelajari aliran filsafat Prancis ini. Ditambah lagi karena kebanyakan “penalar
strukturalis” ternyata tidak berminat menggarap dengan sungguh-sungguh pengertian dan definisi struktur (Poespoprodjo, 1987: 162). Kekacauan arti pengertian struktur seiring dengan semenjak Levi Strauss –lewat definisi Roman Jakobson yang menguraikan struktur sebagai suatu keseluruhan hubungan tetap antara anasir yang saling dapat ditukar dari satu repertoire tertentu - berhasil membuktikan keampuhannya untuk dapat mengungkapkan berbagai hal, seperti mitos, totem, buku masakan, denah tanah desa, dan lain-lain yang membuat
istilah ini laku keras
(Poespoprodjo, 1987: 162). Istilah tersebut (begitupun strukturalisme) telah dipakai dalam bidang matematika, logika, fisika, biologi, psikologi, sosiologi, ilmu bahasa, dan ilmu manusia lainnya (K. Bertens, 1996: 176). Dan K. Bertens (1996: 176). menyatakan: Dan kalau sebentar lagi akan dikatakan bahwa strukturalisme Prancis mempunyai hubungan dengan suatu perkembangan dalam ilmu bahasa, harus diperhatikan juga bahwa dalam ilmu bahasa pun kata “strukturalisme” dipakai dengan pelbagai cara; misalnya di situ terdapat apa yang disebut “strukturalisme Amerika” (Fr. Boas, E. Sapir, B. Whrof) yang tidak berkaitan dengan apa yang dimaksudkan dengan “strukturalisme” di Prancis.
Di samping itu struktur itu sendiri memang keberadaan dan wujudnya tidak mudah dikenali. Hal itu disebabkan antara lain karena sifatnya abstrak sehingga ia luput dari perhatian kita dan ditambah lagi karena kompleksitas persoalan yang diliputinya, yang menyebabkan ia sulit ditunjukkan, disamping sekaligus ia sendiri memiliki keberadaan tersendiri betapapun sejumlah peneltiti telah mengatakan menunjukkan dan merumuskannya, sebagaimana dinyatakan oleh J. Piaget (1995: 3), “…sementara struktur sendiri bersifat mandiri”, dan, “…sejauh mana seseorang dapat mencapai struktur secara efektif”. Maka wajar lah bila J. Piaget menegaskan bahwa
perumusan struktur itu sendiri adalah merupakan pekerjaan seorang teoritikus, “Hanya perlu diingat betul bahwa perumusan ini merupakan pekerjaan seorang teoritikus” (Peageat, 1995, h. 3). Dan Van Peursen (1988: 179) menyatakan, “Tidak sembarang orang dapat menunjukkan struktur-struktur, diperlukan pengetahuan cukup mendalam mengenai objek-objek kajiannya”. Atau tepatnya, ia hanya dapat ditunjukkan oleh ahli-ahli dalam bidangnya dan yang sekaligus telah memahami rumusan dan sifat-sifat objek dan pendekatan yang struktural. Sedang yang kedua, yaitu penafsiran, kemungkinannya sebetulnya tersebar di berbagai penjelasan tentang strukturalisme maupun objeknya. Dan ini telah menjadi salah satu fokus kita sejak awal, dan akan diupayakan lebih lanjut dalam bahasanbahasan berikutnya. Tetapi sebelumnya akan kita bahas latar belakang istilah struktur itu sendiri.
E.2.1. Latar belakang istilah struktur Sebagaimana dijelaskan terdahulu, bahwa linguistik modern telah menjadi latar belakang umum bagi strukturalisme. Maka “penamaan” serta “pengertian objek” dan “pendekatan” dalam strukturalisme adalah di antara hal yang dapat kita telusuri dari latar belakang tersebut. Tetapi di sini kita hanya akan menjelaskan yang pertama, dan kemudian akan diteruskan pada penjelasan yang lebih luas dalam sub pembahasan yang berikutnya. Menurut penjelasan K. Bertens (1996: 185), dalam uraian tentang prinsipprinsip linguistik De Saussure – dan dalam “Kursus tentang Linguistik Umum”istilah “struktur” belum dipakai. Baru sesudah F. de Saussure istilah “Struktur”
mulai dipakai dalam linguistik. Keterangan serupa juga dapat dijumpai dalam Contemporary Hermeneutics, Bleicher (1980: 233) yang menyebutkan, “Teori linguistik Saussure tidak memakai term ‘structur’ tetapi hanya menunjuk kepada ‘sistem’”. Dan K. Bertens (1996: 185) lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut: Konon istilah itu tampil untuk pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag tahun 1928. Bagaimanapun juga, tidak sulit untuk dimengerti bahwa kata “struktur” spontan tampil ke muka, bila orang berpikir menurut prinsip-prinsip Saussure. Kata “struktur” mudah dikaitkan dengan penjelasan Saussure tentang bahasa sebagai sistem. Tetapi kata struktur itu sendiri belum cukup untuk memahami maksud dan jangkauan strukturalisme, karena sebagaimana telah dijelaskan, kata itu dipakai dalam konteks ilmiah yang berlain-lainan. Maka pemakaian kata “struktur” dalam strukturalisme menurut K. Bertens (1996: 185) disertai oleh seluruh konteks yang diuraikan tadi: signifiant-signifie, parole-langue, sinkroni-diakroni. K. Bertens mendasari pandangannya pada pernyataan salah seorang tokoh strukturalisme Prancis, Roland Barthes: “Untuk menjelaskan perbedaan strukturalisme dengan aliran-aliran pemikiran lain, pasti kita harus kembali kepada pasangan-pasangan seperti umpsamanya signifiant-signifie dan sinkroni-diakroni” (K. Bertens, 1996: 185). Bila penjelasan di atas diskemakan, tetapi dengan mengambil informasi dari K. Bertens dan J. Bleicher, adalah sebagai berikut:
Skema Kemunculan Istilah Struktur
Dalam uraian tentang prinsip-prinsip Linguistik De Saussure
“Sistem=hub. asosiatif dan sintagmatis”
Dalam diskusi Linguistik setelah De Saussure
Pertemuan Jacobson dengan Levi-Strauss
“Struktur=meliputi seluruh distingsi F. de S.”
“Struktur” Dalam konteks Strukturalisme=meliputi seluruh distingsi F. de S.
Penerapan Pendekatan Struktural Atas Bahasa (Fonologi)
Penerapan Pendekatan Struktural Atas Selain Bahasa (Antropologi)
Sementara itu, bila kita mengamati terjemahan karya F. De Saussure, Pengantar Linguistik Umum, istilah struktur sebetulnya sudah dipakai di sana, namun memang tidak untuk memasukkannya ke dalam bagian rumusan linguistiknya itu sendiri, dan justru dalam rangka mengkritisinya (lihat PLU, 1988: 298).
E.2.2. Rumusan struktur Bila dalam sejumlah bahasan, penjelasan linguistik umum F. de Saussure direduksikan sebagai distingsi-distingsi de Saussure atas lingustik, ada yang mengemukakan tiga distingsi sepeti K. Bertens (lihat Filsafat Barat Abab XX jilid II, 1996: 179, 185), dan yang lain lima distingsi seperti Harimurti Kridalaksana (lihat PLU, 1988: 4), dan juga seperti dalam penjelasan Ricouer, sebagaimana dipaparkan oleh J. Bleicher, lihat Contemporary Hermeneutics halaman 223. Dan bahkan Ricouer sekaligus mengajukan rancangan tentang bagaimana kita dapat menerapkan
distingsi-distingsi F. de Saussure pada wilayah di luar linguitstik, berikut kita kutip dari karya J. Bleicher (1980: 223): Penerapan pola ini (sistem tertutup tanda-tanda -pen) pada wilayah diluar linguistik telah berhasil tercapai – kalaupun penerapan itu dapat dibatasi, menurut Ricouer, pada kasus-kasus di mana kasus tersebut menjadi mungkin untuk bekerja pada sebuah sistem tertutup, lakukan inventarisasi-inventarisasi elemen-elemen, tempatkan elemen-elemen tersebut dalam relasi dan oposisi dan bangun suatu kalkulus yang memungkinkan kombinasi-kombinasi. Sebaliknya dari itu, maka kita justru hendak bertolak dari skema wicara de Saussure, yang diangkatnya dari “fenomena umum/keseluruhan” yang justru dari situ de Saussure dapat menunjukkan tempat langue dalam peristiwa/himpunan langage, dan sekaligus seluruh distingsi lainnya meliputi bidang-bidang: parole, sinkroni dan diakroni, tanda yang hakiki dan lain-lain, hingga bagian-bagian yang bukan lagi merupakan objek atau tugas penyelidikan ahli bahasa, seperti bagian fisiologis, fisik dan luar. Dan dari situ pula lah kita menjadi mungkin untuk dapat merumuskan objek kajian kita sebagaimana yang “analog” dengan rumusan objek linguistik, dan sebagai yang siap dikaji secara memuaskan secara struktural. Tegasnya F. de Saussure sesungguhnya bertolak dari “fenomena keseluruhan”, dan selanjutnya fenomena tersebut dicari/diwujudkan dalam bentuk sebuah “skema wicara”. Dengan pendekatan yang begini, maka yang kita kemukakan sebagai titik tolak bukanlah suatu hasil “reduksionistis” atas karya F. de Saussure, melainkan adalah sebagai hasil pengamatan “strukturalistis” atas karya tersebut. Yang dicari bukan lah istilah-istilah kunci, melainkan suatu skema yang dapat menunjukkan tempat-tempat, kaitan-kaitan dan fungsi-fungsi (pengertian-pengertian) dari istilah-istilah kunci tersebut, berikut berbagai bagian lainnya antara yang perlu dan yang tidak perlu. Berdasarkan itu dan
bila kita mengamati penjelasan rancangan Ricouer di atas dapat disimpulkan bahwa cara kerja yang diajukan Ricouer adalah bersifat “rekonstruktif” ketimbang “strukturalistis”. Poespoprodjo (1987: 165) mengungkapkan, “Levi-Strauss berulang kali menekankan bahwa usaha strukturalistik untuk menemukan “pengaturan” fenomena jangan disamakan dengan meletakkan ke dalam realitas suatu pengaturan yang dipikir-pikirkan dan dikonstruksikan sebelumnya”. Berdasarkan itu, sekarang kita akan mencoba mengajukan secara lebih lengkap tentang rancangan kegiatan perumusan “objek”, “pendekatan” dan “penafsiran” hermeneutika strukturalistis, yaitu suatu upaya menunjukkan: 1. Fenomena umum/keseluruhan: Langage. 2. Skema wicara F. de S., lihat PLU h. 77:
3. Bidang-bidang dan bagian-bagian skema wicara F. de S.: 1) Sirkuit: Titik tolak sirkuit, tanda yang hakiki, gejala psikis, proses fisiologis, proses fisik murni. 2) Bagian-bagian: psikis, non psikis > [fisik-fisiologis], bagian luar, bagian aktif, bagian pasif. 3) Bidang-bidang: Pengamat dan posisinya, Langage > [langue] > [sinkroni-diakroni], parole > [ujaran-ujaran].
4. “Tempat-tempat”, “kaitan-kaitan” dan “fungsi-fungsi” (pengertian-pengertian) bidang-bidang dan bagian-bagian serta skema secara keseluruhan. Yang pertama dan kedua, dapat dilihat dari skema, sedang fungsi-fungsi (dan begitupun soal tempat-tempat dan kaitan-kaitan lebih lanjut) masingmasingnya dapat ditemukan di berbagai bagian penjelasan dalam PLU F. de Saussure. 5. Yang perlu dan yang tidak perlu dari skema bagi tugas penyelidikan. Yang tidak perlu yaitu sejumlah bagian non psikis seperti dalam bagian fisik dan fisiologis berserta proses-prosesnya. Sedang yang selainnya adalah termasuk yang perlu. 6. Yang didahulukan dan yang dikemudiankan dari yang perlu pada skema dalam proses pengamatan. Yang didahulukan yaitu langue sinkronik atas (yang dikemudiankan) langue diakronik dan atas parole. Tentnag ini dapat kita lihat dari skema F. de Saussure yang lain, lihat PLU halaman 185; yaitu bentuk penalaran yang harus diikuti dalam studi linguistik: Sinkroni
L ang ue
D iakroni
L angage
Parole
7. Bagian mana pertama-tama dan yang selanjutnya dari skema bagi pengamatan yang dapat menghantarkan kita pada “perumusan” bidang-bidang yang perlu dan yang didahulukan dan “pendekatan” bagaimana yang sesuai dan efektif untuk digunakan. Bagian pertama-tama yaitu ujaran, dari ujaran kemudian
dicari dan dirumuskan hal-hal sinkronik yaitu sistem tanda (langue); yaitu meliputi: maujud konkrit (satuan-satuan tanda), identitas-realitas-valensi, hubungan sintagmatis-hubungan asosiatif, analogi dan mekanisme langue, dan maujud abstrak. Sedang pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan sinkronis. Kapan sebuah “sistem tanda bahasa” dapat diamati dan dirumuskan aspek-aspek strukturalnya dapat kita lihat dari skema berikut (berdasarkan pengamatan atas uraian K. Berten, 1996):
Unsur-unsur Extra-Lingual
Objek Linguistik
Pendekatan Struktural
Dimensi waktu
8. Bagaimana perumusan-perumusan tersebut berperan dan berkaitan erat dengan bidang dan bagian yang lainnya serta dengan skema secara keseluruhan. Dan hingga ditunjukkan aspek-aspek penting yang dimiliki bidang dan bagian yang dikemudiankan, serta “pendekatan” bagaimana yang sesuai dan efektif untuk digunakan atasnya: Dari rumusan langue sinkronis selanjutnya kita meninjau aspek langue
yang lain dengan pendekatan
diakronis, yang dicari dan dirumuskan yaitu antara lain: soal perubahan bunyi
dan konsekuensinya bagi tata bahasa, soal analogi dan evolusi yang ditimbulkannya, soal etimologi, soal aglutinasi, dan soal satuan-identitas dan realitas diakonis. Dan selanjutnya kita mengarahkan atau mencurahkan perhatian kita pada “aneka keunikkan” dalam parole. F. de Saussure tidak sempat memberikan penjelasan tentang parole, tetapi F. de Saussure sempat mengatakan janjinya kepada pendengar kuliah ketiga, “strudi tersebut (linguistik parole) seharusnya mendapat tempat terhormat di dalam kuliahkuliah selanjutnya” (Saussure, 1988: 58). Tetapi ahli-ahli linguistik terkemudian telah mencoba mewujudkannya dengan nama bidang disiplin “sosiolinguistik”. Perlu ditegaskan bahwa dengan penguraian seperti di atas, kita
tidak
bermaksud
untuk
menyatukan
langue
sinkronik—langue
diakronik—parole di bawah satu jurusan. 9. “Penafsiran menyeluruh” atas objek, yaitu berdasarkan baik atas rmusan bidang dan bagian yang didahulukan maupun yang dikemudiankan. Sejak awal kita sudah serba sebagai berkegiatan menafsirkan atas objek kita, namun secara
umum atau atas bidang dan bagian tertentu dan terus meningkat
hingga pada bagian ini secara detail dan menyeluruh. 10. Pe-“model”-an seluruh poin di atas bagi objek-objek dan kegiatan-kegiatan pengamatan kita, yaitu atas sesuatu yang selain bahasa. Di sinilah kita melakukan suatu “kegiatan analogi” di satu sisi, dan “pengamatan langsung” atas objek di sisi yang lain. Yang pertama (analogisasi) adalah menunjukkan suatu “jati diri transendental” kita sebagai pengamat/hermeneut, sedang yang ke dua adalah merupakan “jati diri empiris”-nya (mengacu pada kategori
Kant, lihat Howard, 2000: 32). Sebagai cacatan tambahan, pe-“model”-an pada rumusan linguistik F. de Saussure dan lengkapnya linguistik modern adalah sebagai yang utama dan dipertamakan, sedang selain itu kita masih dapat menambahnya dengan dengan mengambil rumusan yang lain sebagai model, seperti yang sering disebut, yaitu al jabar Boubarki, dan lain-lain. 11. “Dan seterusnya”.
Hingga di sini, kita telah melewati suatu kegitan perenungan dan pencurahan gagasan yang sungguh berat - meskipun hanya untuk sejumlah poin, dan meskipun bisa jadi poin-poin itu perlu ditambahi atau dikritisi lagi pada saat yang lain -, dan sekaligus berisiko tinggi. Tetapi yang mendasar dari rancangan tersebut adalah soal “model pola”nya dan poin-poinnya, dan bukan kemutlakkan kesempurnaannya. Untuk dapat menampilkan poin-poin di atas dalam suatu hubungan-hubungan dan fungsi-fungsi, kita akan mem-“visualisasi”-kan “pola” tersebut berupa sebuah “skema”, tetapi perlu ditambahkan terminologi “analogistis” dalam rangkaian nama skema tersebut. Analogi sebetulnya sejak awal sudah menyatu dengan pendekatan struktural. Tetapi terminologi analogististis di sini perlu dikemukakan, karena sifat analogi yang lebih jauh telah memungkinkan wujud skema semacam ini; yaitu sifat “kesamaan dan dapat terus menyebar dan mengembang ke segala arah – disimbolkan dengan “= dst.” (dan seterusnya)”, dengan cara yang juga khas; yaitu analogistis. Sebetulnya sifat analogis yang begini baru disadari saat penerapan analisis struktural atas objek kita “Amsal al Quran” (di Bab III) telah mencapai tahap tertentu dari pengamatan dan
perumusannya. Dan lebih jauh, skema ini sesungguhnya telah
menggambarkan “keseluruhan kegiatan hermeneutika strukturalistis analogistis”, adalah sebagai berikut:
Skema Kegiatan Hermeneutika Strukturalistis Analogistis Pengamat /Hermeneut 1 Fenomena UmumBahasa, ...... 9 8 Jati Diri Transendental Hermeneut Struktural Analogistis (Model)
2 3
7 4
6 5
Pe-model-an /Analogisasi
11
[Pengamat]-an Langsung 1 Fenomena Umum............ 9
Jati Diri Empiris Hermeneut Struktural Analogistis (Tiruan atau Ciptaan)
8
2 3
7 4
6 5
Skema di atas terdiri atas: 1. Bagian jati diri transendental hermeneut strukturalistis analogistis atau bagian “model”. Pada bagian ini bidang no. 1 (9) dengan redaksi, “Fenomena umum bahasa, ….”, yaitu untuk menunjukkan bahwa rumusan bahasa lah pertamatama yang diutamakan sebagai model. Sementara titik-titiknya untuk menunjukkan rumusan struktural selanjutnya selain bahasa, tetapi dalam skema ini, rumusan selain bahasa itu barulah dapat dijadikan model ketika bagian jati diri empiris hermeneut strukturalistis analogistis telah terlewati minimal satu kali. Selanjutnya garis lingkaran yang menghubungan poin-poin dari no. 1-9 (baik pada bagian jati transendental maupun bagian jati diri empiris) menunjukkan bahwa titik tolak pengamatan hermeneut yang berawal pada fenomena umum pada akhirnya kembali kepada fenomena umum lagi. 2. Bagian jati diri empiris hermeneut strukturalistis analogistis atau bagian “tiruan/ciptaan analogis”. Pada bagian ini bidang no. 1 (9) dengan redaksi, “Fenomena umum ….” yaitu untuk menunjukkan bahwa ia senantiasa merupakan pengamatan atas sesuatu yang baru yang selain dari yang ada pada bagian transendental, oleh karena itu ia senantiasa kurang satu hal dalam rangkaian redaksinya dibanding redaksi bidang no. 1 (9) pada bagian jati diri transendental. 3. Garis lingkaran luar: yang tidak terputus-putus, adalah menunjukkan bahwa setelah seorang hermeneut selesai dalam kegiatan pengamatan langsungnya atas suatu hal, maka selanjutnya rumusan strukturalnya atas suatu hal tersebut akan atau dapat menjadi menduduki posisi jati diri transendental. Sedang garis
yang terputus-putus, garis ini hanya untuk menegaskan jalur kebersambungan sirkuit kegiatan hermeneutika strukturalistis analogistis, karena sebetulnya jalur yang sebenarnya adalah lewat bidang no. 10; yaitu pe-“model”-an. Selanjutnya no. 11, yaitu “dan seterusnya” atau kita simbolkan dengan “dst.”, berada pada garis ini, yaitu untuk menunjukkan keberterusan penyebarannya dan peralihan posisi-posisi bagian transedental dan empiris. 4. Bagian pe-“model”-an, adalah bidang yang menghubungkan jati diri transendental dengan jati diri empiris hermeneut strukturalistis analogistis. Bagian ini akan disimbolkan dengan “=”, tetapi yang dimaksud adalah “sama dengan analogis”; yaitu yang di dalamnya terkandung sekaligus baik aspek kesamaan maupun perbedaan/keunikkan (tentang pengertian analogi seperti ini lihat Anton Baker h. 257-278). Rumus analogi yang digunakan dalam pe-“model”-an (analogisasi) ini adalah: a. Dari rumus dari yang sederhana yaitu: A = Sesuatu selain A Berdasarkan rumus ini definisi analogi adalah sesuatu sama dengan (dan sekaligus berbeda/unik dari) sesuatu yang lain. b. Selanjutnya rumus analogi F. de S., lihat PLU h. 275, 278, 280, yaitu : oratorem: orator = honorem: x x = honor c. Kemudian penambahan atas rumus analogi F. de S., atau penguraian atas rumus yang sederhana, yaitu ketika unsur “x” terdiri dari lebih dari satu variabel, seperti:
Bahasa : tanda bahasa : penanda akustik : ujaran : dst. = Tempat kediaman : x1 : x2 : x3 : dst. x1 = tanda bahasa x2 = penanda visual X3 = hunian d. Dan
selanjutnya
yaitu
penambahan
unsur
“dst.”
Untuk
menghubungkan bidang yang pertama dengan bidang kedua (yaitu yang di sisi lain telah dihubungkan oleh “=”), maka menjadi sebagai berikut:
dst.
Pada bagian lain dalam PLU F. de S., yaitu halaman 282, dikemukakan rumus analogi sebagai berikut: Pardonner : impardonnable, dan sebagainya = decorer : x x = indecorable Rumus ini adalah sama dengan rumus no. C yaitu bila redaksi “dan sebagainya” di sana dimaksudkan sebagai rincian beriktnya dari pardonner yaitu sebagaimana impardonnable, tetapi bila redaksi itu dimaksudkan pada kata lain yang sama posisinya dengan pardonner maka rumus ini adalah hampir sama dengan no. D, kecuali kurangnya yaitu tidak adanya garis penghubung keberterusan.
Sebagai catatan, perlu ditegaskan bahwa, semua rumus analogi di atas dari yang paling sederhana hingga yang berikut-berikutnya, sama-sama dapat
digunakan,
sebab
yang
satu
terhadap
yang
lain
hanya
bersifat
menyempurnakan; dapat dikatakan sebagai taraf-taraf rumus analogi.
Kita di sini tidak bermaksud me-“resume” PLU de Saussure (terjemahan Rahayu S. hidayat dan suntingan Harimurti Kridalaksana, 1988), karena karya itu sendiri sudah sangat/lebih memuaskan bila dirujuk langsung, dan di samping itu upaya “penjelasan reduktif” pun sudah dilakukan oleh banyak pembahas karya tersebut; yaitu soal pengertian-pengertian terminologi dari distingsi-distingsi F. de Saussure. Oleh karena itu lebih baik kita melakukan sesuatu yang “lebih produktif”, seperti yang telah kita mulai di atas. Ada sejumlah persoalan penting yang rumit bagi kita, antara lain yang utama yaitu: 1) soal “jangkauan” analisis struktural, 2) soal “perujukan” terminologi dan “pengertian” struktur dan parole, dan 3) soal contoh penerapan yang sistematis dan utuh dari analisis struktural. Pertama, berdasarkan skema kegiatan hermenutika strukturalistis kita di atas, objek analisis struktural bertolak dari fenomena keseluruhan dan skema wicara, kemudian mendahulukan bidang langue sinkonik, hingga memahami “mekanisme langue”, atau sebagaimana Levi Strauss yang dapat menunjukkan “…bagaimana suatu mitos bekerja,…” (Bleicher, 1980: 223). Tetapi selanjutnya terus menjelajah ke bidang langue diakronik dan hingga ke parole, dan akhirnya kembali ke fenomena keseluruhan secara detail. Dengan demikian jangkauan hermeneutika strukturalistis analogistis sesungguhnya tidak terbatas hingga struktur sebagai (pada taraf) sistem tanda (langue) –—tentang taraf-taraf perujukan terminologi struktur ini akan kita
kemukakan setelah bahasan objek dan jangkauan analisis struktural ini—. Setelah seorang strukturalis selesai merumuskan suatu sistem tanda, ia akan segera mencurahkan perhatiannya pada “aneka keunikkan fakta” dalam langue diakronik dan “keunikkan pribadi” dalam parole, dan seterusnya. Bagi F. de S. sendiri persoalan parole ini sebagaimana diungkapkan dalam bagian “Prakata” PLU, “Dijanjikan kepada pendengar kuliah ketiga, bahwa studi tersebut (linguistik parole) seharusnya mendapat tempat terhormat di dalam kuliah-kuliah selanjutnya” (Saussure, 1988: 58). Berdasarkan itu pernyataan, “Dengan strukturalisme, sejarah pemikiran dapat dikatakan beralih dari subtansi ke struktur” (Poespoprodjo, 1987, h. 161) perlu dipertegas menjadi, “Penyelidikan yang bertolak dari subtansi ke yang bertolak dari struktur”. Kedua, yaitu soal perbedaan-perbedaan perujukan terminologi struktur (dan sejumlah terminologi lain yang terkait erat dengan struktur). Berikut akan kita kemukakan sejumlah pandangan yaitu oleh: Benny H. Hoed, Kaelan, Verhar, K. Bertens dan Jean Piaget, tetapi secara skematis agar lebih efektif, dan selanjutnya kita mencoba menganalisisnya. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: Benny H. Hoed Struktur Sistem 1. Adalah sebuah bangunan yang 1. ––– terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lain berkaitan (Piaget, 1995: ix). 2. (Adalah) hubungan (relasi) 2. (Adalah) hubungan asosiatif: sintagmatis: hubungan antarunsur hubungan antarunsur yang terjadi yang tersusun dalam kombinasi dalam pikiran manusia yang (gabungan) (Piaget, 1995: ix). mengetahuinya. Hubungan asosiatif membentuk sistem (Piaget, 1995: x). 3. Analisis hubungan sintagmatis atau 3. Analisis hubungan asosiatif atau
struktural adalah analisis sistemis adalah analisis klasifikasi pemenggalan (Piaget, 1995: x) (Piaget, 1995: x) 4. Struktur/parole (Piaget, 1995: xi) 4. Sistem/langue (Piaget, 1995: xi)
Kaelan Struktur 1. Bahasa sebagai bentuk (=sebagai 1. struktur; lihat Kaelan 1998: 287): Pada abad XX teori-teori kebahasan yang terkenal banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu subtansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara “empiris”. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa bukanlah merupakan suatu subtansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk (Kaelan, 1998: 266). Maka bahasa bukanlah merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui bunyi ujaran bahasa. 2. Pemikiran ini dikembangkan oleh 2. paham strukturalisme yang ekstrem antara lain strukturalisme bahasa yang berkembang di Amerika di bawah Bloomfield dan aliran Glossematik yang sebenarnya keduanya berakar pada konsep pemkiran Ferdinand de Saussure (Kaelan, 1998: ).
Subtansi Bahasa sebagai subtansi : Bahasa sebagai subtansi (substance) menunjuk pada perwujudan “bunyi ujaran” (=pada parole) khas manusia (Saussure, 1916: 11-16) (Kaelan, 1998: 263). Perwujudan bunyi tersebut dalam pengembangan teori-teori bahasa dibahas dalam bidang fonologi (Kaelan, 1998: 264).
–
Bahasa sebagai isi dan bentuk sekaligus 1. Walaupun Saussure sebagai tokoh pelopor dan peletak dasar aliran strukturalisme pada ilmu bahasa modern, namun Saussure tidak hanya mendasarkan bahwa bahasa pada hakikatnya hanya sebagai bentuk saja. Melainkan juga sebagai subtansi (Kaelan, 1998: ). J. W. M. Verhaar Struktur
Sistem
1. Istilah “struktur” lazimnya adalah nama susunan tuturan (atau konstituen di dalamnya) “dari kiri ke kanan”, yaitu, sebagai susunan segmen-segmen (?). misalnya, dalam bahasa tertentu tidak mungkin adanya gugusan konsonan tiga atau lebih dan sifat itu menyangkut struktur (fonologis) kata. Demikian pula dalam bahasa tertentu kata itu harus berakhir dengan vokal, bukan konsonan, dan itu pun menyangkut struktur kata dalam bahasa yang bersangkutan. Kesatuan struktur lazimnya dinamai “segmen”, atau “konstituen” (Verhaar, 2001: 369). 2. Pokonya struktur terdiri atas segmen atau konstituen dari suatu tuturan.
3. Struktur inklusif dan struktur eksklusif: Dalam linguistik biasanya tidak ada kesulitan dengan kedua istilah “struktur” dan “sistem” itu, kecuali satu: bahwa “struktur” acap kali tidak diartikan hanya sebagai susunan dari kiri ke kanan saja (jadi dengan tidak mencakup sistem) melainkan dalam arti yang mencakup baik “struktur” maupun “sistem”. Misalnya bila kita berbicara tentang “struktur bahasa X”, maksudnya tidak hanya susunan struktural (misalnya, susunan beruntun Subjek, verba, Objek; struktur sintaksis), tetapi juga sistem bahas tersebut (misalnya, paradigma nominal dan verbal). Pendek kata, istilah “struktur” dapat dipakai secara “inklusif” (mencakup sistem juga) dan secara “eksklusif” (Verhaar, 2001: 370). Verhaar menyebutkan istilah lain
1. Sebaliknya, istilah “sistem” sering dipakai untuk menamai setiap hubungan antara bentuk-bentuk yang termasuk dalam salah satu keseluruhan, tetapi tidak secara “struktural” (tidak sebagai susunan segmental, dari kiri ke kanan). Misalnya dalam bahasa tertentu ada sistem kasus nominal, atau sistem kala verbal, atau sistem kata bilangan. ……. Kesatuan sistem lazimnya dinamai “unsur” (Verhaar, 2001: 369).
2. Sebaliknya, sistem terdiri unsur-unsur yang dapat, atau dapat, mengganti salah konstituen dalam struktur (Verhaar, 2001: 369). 3. ––
dari tidak satu tadi
untuk menyebut struktur inklusif yang meliputi baik “struktur ekslusif” maupun “sistem” tersebut, yaitu dengan istilah “sistematik”. Bentuk ajektivalnya adalah “sistematis”, dan bentuk ajektival dari “sistem” adalah “sistemis” (Verhaar, 2001: 370).
K. Bertens Struktur = Bahasa sebagai sistem 1. Kata “struktur” mudah dikaitkan dengan penjelasan Saussure tentang bahasa sebagai sistem (Bertens, 1996: 185). 2. Kata “struktur” itu sendiri belum cukup untuk mengerti maksud dan jangkauan strukturalisme, karena kata itu dipakai dalam konteks ilmiah yang berlainlainan. Pemakaian kata “struktur” dalam strukturalisme disertai oleh seluruh konteks yang diuraikan tadi: signifiant-signifie, parole-langue, sinkronidiakroni (Bertens, 1996: 185).
Jean Piaget Struktur = Sistem transformasi 1. Struktur adalah sistem transformasi, yang mengandung kaidah seabagai sistem (sebagai lawan dari sifat unsur-unsur) dan yang melindungi diri atau memperkaya diri melalaui peran transformasi-transformasinya itu, tanpa keluar dari batasnya atau menyebebkan masuknya unsur-unsur luar. Pendek kata, sebuah struktur mencakup tiga sifat yakni: totalitas, transformasi, dan pengaturan diri (Piaget, 1995: 3).
Di sini kita bermaksud memberikan semacam penafsiran. Dalam skemaskema di atas, kita melihat bahwa selain perujukkan yang berbeda-beda, ada juga yang bertumpang tindih antara struktur dengan sistem seperti struktur inklusif (oleh Verhaar) dengan sistem transformasi (oleh J. Piaget), yaitu struktur adalah sama dengan “sistem” sesuatu. Dan juga ada yang bertolak belakang, seperti bila Benny H. Hoed akhirnya berpendapat struktur adalah parole, ini bertentangan dengan Kaelan yang menyebutkan parole adalah “subtansi”.
Untuk
dapat
memecahkan
persoalan
ini,
pertama-tama
kita
akan
mengemukakan apakah objek analisis struktural itu sendiri, adalah pengaturan (Poespoprodjo, 1987: 165), sifat-sifat umum (Piaget, 1995: 3), relasi fungsional (Levi Strauss, 1997: 156), kode-kode fundamental (Poespoprodjo, 1987: 160), suatu keseluruhan “hubungan tetap” antara anasir (unsur, sesuatu yang menjadi bagian dari keseluruhan) (Poespoprodjo, 1987: 162), aturan-aturan komposisi (Poespoprodjo, 1987: 168), tatanan, “Untuk menemukan tatanan tertentu di balik semua yang tampil sebagai hal yang kacau balau bagi kita atau yang tampaknya tidak memiliki aturan dan agak kacau balau
(Levi Strauss, 1997: 52) dan “…struktur adalah tatanan
fakta…” (Octavia, 1997: 7), dan “… struktur: aturan-aturan yang mengeram di dasar kesadaran manusia namun tidak dirasakan” (Octavia, 1997: v). Dan selanjutnya, beberapa penjelasan dalam PLU (1988), yaitu sub judul “Aturan Sinkronis dan Aturan Diakronis” ––perlu dikemukakan bahwa bagian-bagian yang kita kutip diberi catatan kaki no. 193 yang menyatakan bahwa khususnya bagian ini adalah sebagai hasil olahan penyunting (Ch. Bally dan Alb. Sechehaye) antara edisi 1916 dan 1922: Aturan sinkonis umum sifatnya, tetapi tidak mengharuskan” (Saussure, 1988: 178). ….kalau kita bicara tentang aturan sinkronis, kita bicara tentang pengaturan, tentang prinsip keteraturan” (Saussure, 1988: 178). Diakroni sebaliknya mengharuskan adanya faktor dinamis yang menghasilkan suatu dampak, suatu yang dikerjakan. Tetapi ciri yang mengharuskan ini tidak cukup untuk menerapkan istilah aturan pada faktafakta evolutif; kita hanya dapat berbicara soal aturan apabila sekumpulan fakta mengikuti aturan yang sama. Meskipun terdapat beberapa kesan yang sebaliknya, peristiwa-peristiwa diakronis selalu bersifat kebetulan dan khusus (Saussure, 1988: 178). Mari kita ringkaskan: fakta-fakta sinkronis, apa pun bentuknya, menunjukkan suatu keteraturan, yang sama sekali tidak mengharuskan. Fakta-
fakta diakronis sebaliknya, dipaksakan pada langue, tetapi tidak pernah bersifat umum” (Saussure, 1988: 1180). Dan berikutnya soal hal apa saja yang dibicarakan atau yang terdapat dalam sebuah struktur. Abdul Chaer (1994: 206) misalnya mengemukakan, “…struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis”. Sebuah struktur yaitu meliputi hal-hal yang tercakup dalam linguistik sinkronik: ciri-ciri umum tanda, maujud konkrit, hubungan sintagmatis, hubungan asosiatif, tata bahasa, dan lain-lain. Tegasnya yaitu: nilai-nilai dan hubungan-hubungan yang hadir bersama. Tegasnya pada kutipan dan penjelasan di atas, setidaknya terdapat tiga hal, yaitu: 1) padanan istilah struktur, seperti: pengaturan, relasi fungsional, kode-kode fundamental, dan seterunya, 2) sifat-sifat struktur, antara lain yaitu bersifat: umum, teratur, tidak mengharuskan, dan tetap ––masih ada sejumlah sifat sifat struktur yang lain seperti bersifat totalitas, transformatif dan pengaturan diri (Piaget, 1995: 3), dan sifat cara mengadanya pada manusia atau dalam realitas yaitu “di bawah sadar” (Levi Strauss, 1997: 49), abstrak (K. Bertens, 1996: ), sebagaimana objek ilmu alam yang berupa “benda” (Saussure, 1988: 5), di luar pengarahan manusia (Poespoprodjo, 1987: 161), dan lain-lain—, yang kedua ini dilawankan dengan yang bersifat: khusus dan kebetulan, tidak teratur, memaksa, dan senantiasa berubah, dan seterusnya. Dan 3) isi dari struktur. Sebetulnya di sini kita dapat mengemukakan berbagai kutipan –dan terutama dari PLU F. de S sendiri—dan analisis yang lebih memuaskan, tetapi waktu kita tidak mencukupi untuk saat ini. Maka kita mengupayakan jalan ringkas saja; yaitu memberikan gambaran umum tentang persoalan perujukan struktur, dan begitupun
sejumlah istilah lain yang terkait. Dan meski begitu kita akan mencoba mengemukakan “jalan keluar”-nya. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, untuk menilai “sesuatu” sebagai struktur, persoalannya adalah sejauh mana kita dapat menunjukkan ketiga hal di atas terdapat pada “sesuatu” tersebut. Berdasarkan syarat ini, pandangan Benny H. Hoed bahwa parole adalah struktur perlu diragukan. Sebab parole tidak memiliki sifat yang tetap dan umum, realitasnya konkrit, dan faktanya bersifat mengharuskan. F. de Saussure (1988: 221) menjelaskan bahwa sintagma tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari parole. ciri khas parole adalah adanya kebebasan dalam mengkombinasi. Jadi, patut dipertanyakan apakah semua sintagma memang bebas. F. de Saussure (1988: 222) mengemukakan lagi, “Semua tipe sintagma yang dibangun dari bentuk-bentuk yang teratur harus dimasukkan dalam langue dan bukan dalam parole”. Tetapi dengan pemecahan ini, pada kenyataannya baik hubungan sintagmatis maupun asosiatif, baik struktur eksklusif maupun inklusif, misalnya, pada semuanya dapat ditemukan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu kita memerlukan gagasan selanjutnya, di samping penunjukkan ketiga hal di atas kita mesti menggunakan konsep “taraf-taraf perujukan”. Istilah eksklusif dan inklusif (oleh Verhaar) sendiri sesungguhnya sudah menunjukkan taraf-taraf. Tetapi pembagiannya terlalu besar, sementara struktur menunjuk kepada sejumlah bentuk. Kalaupun pembagian itu digunakan, maka mesti dijelaskan lagi apalagi selain yang dikemukakan Verhaar yang termasuk baik dalam struktur ekslusif maupun yang inklusif. Selanjutnya kita terinspirasi oleh pernyataan
K. Bertens, yaitu soal struktur yang dapat menjangkau maksud dan tujuan strukturalisme (Prancis), yaitu adalah pengertian struktur yang mencakup seluruh konteks distingsi F. de Saussure. Dengan konsep taraf-taraf struktur, maka yang dimaksud oleh K. Bertens tentulah suatu taraf struktur yang lebih matang atau yang memiliki kematangan tersendiri. Bila kita urut dari taraf struktur yang lebih rendah, maka dapat disebutkan di dalam bahasa terdapat 1) dalam langue yaitu: struktur pada tingkat fonem, seperti rumus F. de S. yaitu “>” (tertutup) dan “<” (terbuka) (lihat PLU h.
), dan tingkat
morfem yaitu dengan rumus “V” (vokal) dan “K” (konsonan), dan sintaksis yaitu seperti SPOK (subjek, predikat, objek.dan keterangan), dan 2) skema wicara, yaitu yang meliputi baik langue maupun parole. Bila dalam penjelasan kita dapat menyajikan secara terpisah hubungan sintagmatis (struktur ekslusif) dengan hubungan asosiatif (sistem), tetapi secara konseptual sebetulnya ia senantiasa bersatu. Ketika seseorang membuat kalimat, disamping memperhatikan soal pola sintaksis yang harus dipakainya, juga soal tanda mana saja yang dapat dan sebaiknya masuk ke dalam pola dan kalimat yang ia bentuk. Berdasarkan ini, kita bisa menyebut “struktur inklusif” dengan istilah “sistem struktural”. Hal penting lainnya yang hendak dikemukakan adalah dengan pemecahan ini kita dapat mengerti ketika sebuah skema, bagan – diagram (seperti yang berbentuk pohon, maupun yang lainnya), gambar beserta garis-garis penunjuknya, peta, rumus, kode dan lain sebagainya yang sejenis, adalah juga disebut sebagai struktur. Semua itu adalah merupakan “visualisasi” dari baik bentuk hubungan sintagmatis ataupun
hubungan asosiatif. Sebuah skema memiliki sifat hubungan sintagmatis, karena menjelaskan kepada kita soal fungsi, kategori dan peran bidang-bidang yang dimuatnya. Dan selanjutnya ketika kita mengemukakan tanda-tanda yang dapat dimasukkan ke dalam skema tersebut, maka kita berhadapan dengan persoalan hubungan asosiatif, selanjutnya soal satuan-satuan dan lain sebagainya. Claude LeviStrauss misalnya, “….memetakan (baik secara logis redaksional maupun visual -pen) seluruh proses berpikir yang tak disadari dalam sejumlah macam kegiatan “sosiobudaya”, seperti adat istiadat kekerabatan, klasifikasi, totemisme, dan mitos” (Levi Strauss, 1997: 15). Konsep inilah yang antara lain mendasari kesimpulan kita soal jangkauan analisis struktural. Sejak awal F. de S. mengemukakan sebuah skema/diagram/gambar
yang
merupakan
bentuk
sederhana dari “fenomena
keseluruhan” bahasa, yaitu berupa skema wicara. Dalam skema tersebut tercakup berbagai bidang yang bahkan lebih lengkap dibanding konteks struktur yang dikemukakan oleh K. Bertens. Selanjutnya disamping dapat di-“visualisasi”-kan, ada soal lain yaitu perumusan struktur dapat di-“terjemah”-kan langsung ke dalam persamaanpersamaan logika matematis atau melalui suatu model sibernetik (J. Piaget, 1995: 3). Bila
secara
mandiri
struktur
tersebut
penerjemahannya oleh seorang teoritikus juga
memiliki
taraf-taraf,
maka
soal
bertaraf-taraf, berikut penjelasan
J. Piaget (1995: 3), “Oleh karena itu terdapat berbagai macam tingkatan perumusan yang mungkin tergantung kepada teoritikus yang bersangkutan”. Persoalan serupa juga menimpa terminologi parole, maka dengan konsep taraf-taraf pemaknaan, parole adalah sebagai ujaran, sebagai tindak seorang individu,
dan sebagai tindak tiap-tiap individu. Dan selanjutnya “bahasa”, maka kita dapat menerapkan istilah bahasa pada parole, langue dan langage. Dan di dalam parole terdapat bahasa sebagai ujaran, sebagai wicara dan lain sebagainya. Sementara dalam langue terdapat bahasa sebagai fonem, morfem dan sintaksis. Ketiga, untuk memperjelas banyak hal dari pemahaman teoritis kita, maka perlu diupayakan sesuatu yang praktis; yaitu berupa contoh penerapan hermeneutika strukturalistis analogistis—dan akan banyak membantu kita untuk perumusan Bab III, baik
soal
tahapan
penerapannya
maupun
soal
objek
kita
sendiri
(Amsal/perumpamaan-perumpamaan) yang akan membutuhkan banyak contohcontoh “analogian”. Di sini akan kita coba menerapkannya pada “Tempat Kediaman” (TK). Fenomena umum. Di rumah-rumah, di kampus, di jalan, di asrama-asrama kecil maupun besar, di kost-an, di stadion, di mana-mana bertebaran manusia menempati ruang-ruang dan tempat tertentu, ada yang terkesan lebih teratur, seperti di ruang kelas, tetapi segera beraneka ragam ketika kita melihat bentuk posisi guru murid di berbagai ruang kelas/pada berbagai sekolah, misalnya di ITB yang posisi duduk mahasiswanya berbentuk setengah lingkaran (ini memiliki keserupaan dengan bagaimana dialog itu sendiri secara alami membentuk posisi yang sedemikian, dan analog dengan apa yang diakibatkan oleh gaya kutub positif dan negatif); atau psosisi-posisi duduk pada sistem-sistem pesantren sorogan (yang sebetulnya mirip dengan yang di ITB). Lalu bagi kita yang belum paham bertanya-tanya kenapa bentuknya/penataannya seperti itu, dan lain sebagainya. Dan penghunian yang lebih kacau balau seperti di lingkungan kampus: di lorong-lorong dan teras-teras bangunan,
di jalan-jalannya, di depan al Jamiah dan begitu pun di jalan-jalan raya, di pasar dan sebagainya. Fenomena-fenomena di atas, dan masih banyak lagi yang lain, sering mengusik kita dan terlintas: kenapa begini kenapa begitu, kenapa orang-orang berkumpul di tempat-tempat tertentu seperti di ruang tengah rumah dan teras-teras kampus, apakah kegiatan berkumpul kumpul semacam itu produktif atau tidak, begitupun soal sisi positif-negatif bagi yang terjebak dalam kesendirian, dan soal semacam kendala yang dialami/dihadapi seorang penghuni baru: bagaimana caranya hidup yang wajar di tempat baru, dapat bersosial, dapat memanfaatkan ruang-ruang yang ada secara leluasa, mengelola orang lain yang masuk atau berkumpul di kamar sendiri, dan sejumlah persoalan lainnya yang bagi penghuni lama pada umumnya justru tidak dirasakan terlalu berat lagi, dan soal memilih tempat kost-an dan lainlain. Skema wicara TK, istilah wicara sebetulnya untuk fenomena bahasa, tetapi kita pakai di sini karena kita belum memiliki istilah khusus untuk fenomena TK. Untuk mendapatkan skema wicara TK, syarat minimalnya adalah terdapat dua orang yang menempati ruang pada posisi yang masih saling terjangkau dalam pengamatan antara yang satu dengan yang lain, sehingga dapat digambarkan suatu sirkuit penghunian. Kesalingan (sirkuit) tersebut itulah (antara lain) yang menghantarkan kita pada aspek sosial tanda TK, sebab kegiatan saling menempati, sebagaimana fenomena saling bicara, menunjukkan adanya saling memahami kegiatan penghunian, dan adanya saling memahami tersebut berarti hal-hal yang ditunjukkan oleh masingmasing penghuni telah diprasaranai oleh suatu pranata sosial, yaitu prapengetahuan
tentang penghunian. Berikut skemanya (konstruksinya diambil dari sebuah rumah di sebuah komplek perumahan):
RG RJ
RK
RTi-2
Penghuni-1
Rte RTi-1
Penghuni-2
Teras-2 Teras-1
Taman
Skema di atas terdiri atas: 1. Ruang: a. Terbuka: Teras, taman dan ruang jemuran (RJ). b. Tertutup: Ruang tengah (Rte), ruang tidur/ruang pribadi (Rti-1, Rti-2), ruang kakus (RK), ruang dapur (RD) dan ruang gudang (RG). 2. Penghuni: Penghuni-1 dan penghuni-2.
3. Sirkuit wicara TK: Garis-garis lintasan sirkuit cukup dibayangkan saja, yaitu bertitik tolak di otak penghuni-1 sebuah tanda TK tampil, dan penghuniannya sendiri di ruang tengah, kemudian sampai ke mata penghuni-2 dan terus tampil di otaknya, sambil ia sendiri juga sedang melakukan penghunian di ruang pribadi, yang juga sampai/ditangkap oleh penglihatan penghuni-1. Dan rincian bagian-bagian dari sirkuit ini pada dasarnya kerangkanya sama saja dengan poin-poin penjelasan skema wicara bahasa F. de S.. Oleh karena itu kita akan membahas hal-hal tertentu saja yang khas pada fenomena TK, seperti soal bentuk pengungkapan penanda TK, dan lain-lain.
Tanda TK, terdiri atas petanda (konsep) dan penanda (gambaran yang tampil). Penanda TK adalah berupa “gambaran visual”, karena yang tampil di dalam otak adalah sebagai kesan atau hasil tangkapan indra penglihatan atas “ruang”, baik yang tertutup maupun terbuka. Dengan istilah ruang kita bermaksud menunjukkan ekspresi penghuni yang betapapun luasnya suatu tempat tetapi masih menggoreskan soal batas-batasnya di dalam otak. Kesan itulah yang mendekam di dalam otak/mental semua orang, baik soal bentuk dan jenisnya dan terutama soal penataan, kaitan-kaitan dan fungsi-fungsinya. Kegiatan menghuni, hasil kegiatan menghuni dan satuan hasil kegiatan menghuni—ketiga hal ini dalam bahasa adalah bicara (“pengujaran”), “ujaran” dan “satuan tanda (yang terdapat dalam ujaran)”. Untuk TK kita akan mengistilahkannya masing-masing dengan “penghunian”, “hunian” dan “hunieme”—yang terakhir adalah sebagaimana Levi Strauss memberi nama mithemes atas satuan myths, yaitu
dalam penganalogian atas phonemes, morphemes dan semantemes
pada bahasa
(Bleicher, 1980, h. 223). Penghunian dan hunian adalah bagian paling kongkrit yang teramati setelah wicara, yang dari situ kita berupaya mengangkat dan merumuskan sistem struktural tempat kediaman. Perumusan awal sistem struktural TK, untuk mencapai ini kita akan bertolak dari “rumah sederhana” yaitu sebagai “data” yang memiliki syarat-syarat minimal soal bentuk, jenis, jumlah dan penataan hunieme, dan tentunya ditambah minimal dua orang penghuni; adalah sebagaimana yang sekaligus telah ditunjukkan dalam skema kita di atas. Dari situ kita kemudian mengamati berbagai gejalanya untuk mencapai “entri” satuan-satuan dan sistem strukturalnya. Pada gambar di atas soal jenis tidak tervisualisasikan, tetapi kalau kita mau sebetulnya dapat secara imaginatif dibayangkan. Gejala yang diamati pertama adalah soal kegiatan penghunian. Dalam fenomena bahasa, untuk dapat menginventarisir seluruh fonem pada suatu bahasa tertentu, kita membutuhkan pengujaran atau ujaran dalam jumlah yang banyak. Dan membutuhkan lebih banyak lagi bila kita bermaksud untuk menyusun sebuah kamus morfem yang dimilikinya, dan itupun akan sambil menguji atau menambahi fonemfonem yang telah diinventarisir. Begitupun untuk TK, tetapi kita pertama-tama akan memulainya hanya dari yang ada pada rumah sederhana seperti yang ditunjukkan pada skema di atas. Fonem. Fonem didasari beberapa prinsip, antara lain, 1) ia hanya “berfungsi” atau “bermakna” dalam satuan bahasa yang lebih besar, seperti dalam kata dan seterusnya. Kita kutip Ahimsa-Putra––saat mendiskusikan Levi-Strauss dan R. Jakobson—:
Fonem merupakan unit bahasa terkecil yang tidak mengandung makna namun menjadi wahana yang turut menentukan makna. Misalnya saja fonem [t] dan [th] dalam bahasa Jawa. Antara kata ‘kutuk’ dengan ‘kuthuk’ terdapat perbedaan semantis yang sangat besar. Kalau ‘kutuk’ adalah nama suatu jenis ikan yang hidup di sungai, maka ‘kuthuk’ adalah anak ayam” (Octavia, 1997: xvii). dan 2) Kita baru dapat “mencapai fonem-fonem” dari kesan kita atas pembunyiannya dalam ujaran dan kemudian rangkaian pembunyiannya yang linier telah dipenggal hingga mencapai penggalan terkecil –tentang metode pemenggalan ini lihat Saussure, 1988: 195. Sebagaimana kita ketahui bahwa F. de Saussure menggagaskan bahasa hakikatnya atau pertamanya adalah bunyi dan bukan tulisan atau aksara. F. de Saussure telah membuktikan sejumlah kekeliruan atau kekurangan aksara untuk dapat mewakili tanda bahasa (lihat Saussure, 1988: 92-101). Kesan bunyi [a]-lah, misalnya, yang tampil di otak, dan kemudian dengan kesan itu seseorang dapat menangkap fonem tersebut sebagai terdapat atau tidak terdapat di berbagai tindak pengujaran. Saat kita bicara yang dilakukan adalah penunjukkan kesan, sedang saat mendengar ( dan juga membaca) yang dilakukan adalah upaya menangkap kesan. 3) Fonem bersifat terbatas (atau lebih terbatas) di banding morfem apalagi sintaksis, dengan sifat ini maka satuan-satuan yang lebih tinggi tarafnya tiada lain adalah sebagai gabungan fonem-fonem yang terbatas tersebut. 4) Kegiatan pembunyian fonem dan apalagi penggabungan fonem-fonem hingga menjadi sebuah kata sesungguhnya “membutuhkan waktu”, dan lebih terasa bila kita hendak membuat sebuah kalimat, sebuah alinea, sebuah ceramah dan seterusnya. Fonem itu sendiri bersifat sinkronik, tetapi kegiatan pembunyiannya senantiasa terkait dengan soal waktu.
Ruangeme. Ketika kita memasuki sebuah rumah, secara tak sadar kita berupaya menangkap/membaca kesan-kesan yang ditampilkan oleh rumah tersebut, seperti oleh tata letak ruangnya. Dengan itulah kemudian kita dapat memahami ini ruang tengah, yang lain ruang tidur dan seterusnya. Kesan itu sudah ada secara transendental di dalam otak dan mental kita; sebagai produk sosial. Sistem kesan itu telah terbangun sebelum orang dapat membuat sebuah rumah. Saat orang masih tinggal di hutan belantara atau di goa-goa, orang sudah dapat mengidentifikasi mana ruang untuk bersama dan berkomusikasi antar anggota penghuni, mana ruang untuk pribadi, mana ruang untuk buang hajat dan seterusnya. Kesan-kesan itulah yang lebih lanjut diterjemahkan dalam otak kita sebagai fungsi-fungsi ruang. Lebih lanjut, fungsi-fungsi itu dicoba ditangkap di berbagai tempat yang dikunjungi, fungsi-fungsi itu tersebar di berbagai tempat: di rumah sederhana hingga yang mewah, di komplek kampus, di pasar dan lain sebagainya. Berdasarkan itu, “ruangeme” adalah kesan yang tampil dalam otak atas “hunian-hunian” (hasil kegiatan penghunian), sedang rumah adalah sama dengan aksara di dalam bahasa. Untuk menangkap suatu ruang sebagai ruang tengah, misalnya, aksara TK berupa rumah tidak selalu dapat menunjukkan dengan tepat. Di rumah-rumah di kota-kota, ruang tengah kebanyakkan betul-betul berada diposisi tengah, dikelilingi kamar tidur, dapur ruang tamu dan sebagainya. Tetapi di banyak tempat di desa-desa di Sumatra Barat misalnya, meskipun di rumah-rumah yang besar dan mewah, ruang tengahnya berada di samping –sebagaimana posisi kamar tidur yang langsung bersebelahan dengan dunia luar—dan depan (posisi seperti ini juga dapat ditemukan di sejumlah rumah di kota, seperti ditunjukkan oleh skema wicara TK di atas). Di sana kita akan sulit (atau
jarang) menemukan posisi ruang tengah sebagaimana yang ada dalam rumah-rumah di kota. Tetapi dengan kesan visual yang ditampilkan hunian-hunian (baik sebagai yang telah ada dalam otak kita, maupun yang baru kita tangkap dari rumah-rumah di Sumatra tersebut) kita menjadi dapat mengenal ruang tengah tersebut. Lebih jauh, pola hidup sosial orang desa (misalnya yang cenderung untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar/sekitarnya) dan kota (seperti yang cenderung berorientasi ke dalam) barangkali dapat diamati dari fenomena tata ruang (khususnya ruang tengah) seperti ini, tetapi di sini kita belum bermaksud untuk mencakup bahasan ini. Kesan ruang tengah telah ditangkap sebagai yang memiliki fungsi tempat komunikasi antar anggota penghuni atau sebagai tempat bersama-sama, berkumpulkumpul, berbaur atau tempat hiburan keluarga. Maka fasilitas yang terdapat di runag tengah, pada kondisi lazimnya, juga adalah hal-hal yang untuk dapat digunakan oleh bersama, seperti TV, tempat duduk untuk sejumlah orang, dan lain sebagainya. Dan sebaliknya, tempat tidur, meja belajar, lemari baju, lazimnya disimpan di ruang-ruang pribadi. Fungsi ini secara tidak sadar telah diidentifikasi orang-orang ketika berada di kampus, di asrama-asrama, dan lain sebagainya. Di kampus IAIN, misalnya, di luar jam belajar, mahasiswa-mahasiswa cenderung berkumpul-kumpul di teras-teras, ketimbang di dalam kelas atau ketimbang di lorong-lorong yang ada dalam suatu bangunan, yaitu yang memisahkan kelas-kelas yang saling berhadapan. Selanjutnya di asrama ar Rohmah (Patal Cipadung) misalnya, yang tidak disediakan ruang tengah khusus, kita dari hari ke hari melihat penghuni-penghuni berkumpul-kumpul di dalam atau di depan kamar-kamar tertentu. Dan di waktu yang lain pindah ke depan kamarkamar yang lain. Dan perpindahan itu mengikuti sejauh mana sebuah kamar, entah itu
dari segi penghuni kamar tersebut ataupun dari segi fasilitas yang dimilikinya, dapat memenuhi syarat fungsi ruang tengah. Di tengah-tengah asrama ar Rohmah terdapat sebuah ruang tetapi sejak awal diperuntukkan untuk berfungsi sebagai mushola, dan ini tidak dapat menjadi daya tarik bagi menjadikannya secara lazim sebagai tempat yang sama fungsinya dengan ruang tengah. Tetapi di asrama an Nur (asrama putri di Permai) misalnya, di sana disediakan sebuah ruang tengah dilengkapi fasilitas televisi, telepon dan sejumlah tempat duduk. Gejala penghunian di sini menjadi sama sekali berbeda dengan yang kita temui di asrama ar Rohmah. Di asrama an Nur, kegiatan berkumpul-kumpul lebih lazim ditemui di ruang tengah yang disediakan tersebut, dan kita jarang menemukan dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama mereka berkumpul-kumpul di depan kamar-kamar tertentu. Dengan demikian pola hidupnya cenderung lebih tetap. Dan dengan demikian, “penyediaan” dan “peniadaan” sebuah “ruangeme” begitupun soal penataannya akan mempengaruhi, membagi-bagi pikiran dan ikut mengendalikan penghuni. Hingga di sini kita telah mencapai sebuah “ruangeme” (adalah yang sejajar dengan fonem), yaitu “ruang tengah”. Di manapun orang-orang berada, semakin lama ia menetap di tempat tersebut, semakin ia secara tak sadar berupaya mengidentifikasi posisi ruang tengah, baik yang mereka tempati itu adalah kampus, asrama, bahkan di hutan sekalipun. Prinsip pemakaian “waktu” di TK sama dengan pada bahasa sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya di atas. Ketika orang berjalan melintasi tempat-tempat, atau ketika naik bus, kesan keberadaan ruang tengah menjadi berkurang. Tetapi bila kita naik bus dari Bandung ke Sumatra, atau ke Bali, misalnya, yang membutuhkan perjalanan berhari-hari, fenomenanya akan lain.
Penunpang-penumpang akan mulai mengidentifikasi ruang tersebut. Minimal mereka akan berkomunikasi dengan teman duduknya sendiri, tetapi lebih jauh, sejumlah tempat duduk tertentu telah menjadi tempat perhatian karena di sana ada penumpang yang dapat berkomunikasi atau menyajikan canda-canda yang menghibur. Hingga pada durasi waktu yang lebih lama, kegiatan penempatan-penempatan itu telah mewujud secara lebih tegas sebagai sebuah “kesepakatan bersama”. Tetapi sebagaiman telah kita bicarakan, kesepakatan semacam itu lebih awal sesungguhnya sudah tampil dalam otak setiap orang. Dengan demikian, di dalam bus akhirnya ruangeme-ruangeme telah bergabung untuk membentuk sebuah satuan yang lebih besar; yaitu yang sama tarafnya dengan sebuah rumah, atau sebuah morfem dalam bahasa. Dan selanjutnya dalam fenomena yang telah lebih tegas itulah kita dapat menangkap fungsi-fungsi atau memberi arti makna-maka “ruangeme”. Dan pada tahap ini orang-orang secara tak sadar sudah dikendalikan oleh kesepakatan tersebut. Tetapi tentu saja tidak bersifat memaksa (ini telah kita bahas pada penjelasan ‘perujukan struktur’), kreatifitas penumpang lain (parole), di lain waktu dapat merubah kesepakatan tersebut, tetapi tidak akan selalu berhasil hingga mencapai suatu kesepakatan sosial. Untuk mencapai seluruh “ruangeme”, itu tidak mungkin tercakup dalam kesempatan ini. Jumlah fonem bahasa Indonesia yaitu 26 buah adalah sudah merupakan jumlah yang sangat besar, dan membutuhkan ujaran yang sangat banyak untuk dapat memakai seluruh fonem tersebut. Maka di sini kita tidak bermaksud untuk tugas sebesar itu, di sini kita hanya menunjukkan prinsip-prinsip dasarnya dan lebih lagi soal bagaimana penerapan analisis struktural analogistis itu sendiri. Tetapi
dari skema wicara TK, kita dapat menunjukkan ruangeme selain ruang tengah antara lain, “ruang pribadi”, “ruang kakus”, “ruang dapur”, “ruang jemuran”, dan “ruang gudang”. Rumah yang kita skemakan di atas, adalah sebuah aksara kata pada bahasa. Sejumlah rumah ditambah jalan, lapangan, sekolah dan lain-lain membentuk sebuah desa (aksara yang sejajar dengan sintaksis), dan seterusnya. Tetapi hunieme-hunieme yang menyusunnya tetap saja adalah sejumlah ruangeme yang terbatas. Dan nampaknya ruangeme berupa “ruang tengah” dan “ruang pribadi” adalah yang lebih banyak dipakai dalam hunian-hunian. Atau selanjutnya, ruangeme-ruangeme yang terdapat pada sebuah rumah sederhana pada umumnya selalu terdapat pada rumahrumah mewah. Cukuplah soal satuan TK (hunieme), meskipun kita belum sampai pada visualisasi rumus-rumus hubungan sintagmatisnya atau menginventarisir dan menunjukkan hubungan-hubungan asosiatif tanda-tandanya. Kendala gramatikal TK. Jadi, sesuatu yang membuat seseorang berada di suatu tempat atau ruang, atau yang membuat orang-orang berada di berbagai tempat adalah fungsi ruang. Di dalam rumah, berbagai ruang yang ada dalam rumah tersebut, berkaitan satu sama lain dan beserta pola penataannya menampilkan fungsi-fungsi kepada penghuni. Pilihan-pilihan pribadi atas penghunian (parole) besinergi dengan mekanisme sistem struktural TK (langue) sebagai fakta warisan dan kembali mewujud sebagai kesepakatan-kesepakatan sosial di masa kini dan selanjutnya. Kegiatan identifikasi ruangeme atau kegiatan penghunian itu lah yang menunjukkan adanya suatu kendala gramatikal.
Parole. Fenomena parole antara lain yaitu berupa persentase ––misalnya dalam satu hari—pemakaian/pengisian masing-masing ruang yang berbada-beda untuk setiap penghuni. Penafsiran sejumlah fenomena dalam kegiatan penghunian TK. Dari pengamatan atas sistem TK yang telah kita rumuskan di atas, kita dapat memahami sejumlah fenomana dalam kegiatan penghunian, tapi di sini kita hanya akan memberikan penjelasan singkat dan untuk beberapa soal saja: 1. Jawaban dari kenapa orang berkumpul di suatu ruang tertentu. Dalam konteks sistem TK (sebagaimana yang telah dijelaskan di atas) hal itu disebabkan oleh perbedaan-perbedaan fungsi masing-masing ruang. 2. Pola kegiatan penghunian yang wajar (tidak dalam suasana konflik) pada dasarnya analog dengan kegiatan berbahasa, yaitu kedua-duanya diaplikasikan dalam bentuk-bentuk yang mestinya dapat dipahami oleh seluruh penghuni dalam suatu TK. Dan pola itu berbeda dengan permaianan catur yang justru diharapkan saling tidak memahami antara para pemain. 3. Bagi orang yang terbiasa tinggal di rumah akan lebih mudah secara mentalitas mengidentifikasi berbagai ruang di mana pun ia berada, di banding yang tinggal di asrama-asrama pada umumnya. Karena di rumah pengadaan dan penataan ruang-ruangnya pada umumnya lebih baik ketimbang di asrama sehingga dapat melatih para penghuni secara lebih baik mengenali tanda-tanda TK, serta untuk menerjemahkannya ke berbagai TK selain rumah yang dihuninya dan bentuk-bentuk TK lainnya.
Pengamatan atas TK khusus: Gasibu. Bila kita duduk pada minggu pagi di anak tangga yang disediakan di sebelah utara lapang Gasibu, maka apa yang kita lihat. Pertama-tama, mata dan perhatian kita mungkin terarah pada orang-orang yang sedang melakukan senam aerobik di tengah lapang Gasibu yang dipandu seorang/lebih instruktur di panggung di sebelah barat lapangan. Tetapi sekarang coba alihkan penglihatan kita ke bola-bola yang naik-turun, kesan pemandangan unik tertentu dapat hadir di benak kita. Dan soal posisi bola-bola dan pemain-pemainnya yang berada di sekitar orang-orang yang senam. Kemudian alihkan lagi mata kita ke orang-orang yang lari di sekitar yang senam dan yang bermain bola; yaitu di jalur yang mengitari lapang, dan teru ke yang nonton/istirahat dan yang berjualan. Selanjutnya, coba kita lihat fenomena lapang Gasibu secara keseluruhan, soal penataan tempat-tempatnya, soal jenis-jenis olah raga dan kegiatan serta ruang-ruang yang ditempati bagi masing-masingnya, dan berbagai gejala lainnya. Secara tertulis tidak ada aturan yang mengharuskan orang bersenam di tengah, bermain bola di pinggir, dan berlari di jalur yang mengitari lapang, yang berdagang di sebelah luarnya lagi, dan seterusnya. Tetapi “bentuk-bentuk” dan “tata letak ruang” Gasibu ternyata ditangkap sebagai “fungsi-fungsi tersendiri” hingga mencapai semacam kesepakatan soal pemakaian-pemakaiannya. Karya arsitektur ini tidak disertai oleh aturan-aturan tertulis, tetapi rancangannya secara praktis telah berperan dan diterjemahkan sebagai aturan-aturan tersebut, dan yang kemudian mengendalikan secara tak sadar kegiatankegiatan pengunjung. Di moment-moment lain, seperti hari ulang tahun Indosiar ke-7, demo masak nasi goreng, demanstrasi-demontrasi mahasiswa, kampanye partai politik,
kampanye
anti
NARKOBA,
dan
lain-lain,
fungsi-fungsi
tersebut
diterjemahkan secara agak berbeda, misalnya dengan posisi panggung di sebelah selatan lapang, dan seterusnya, hingga bentuk-bentuk pemakaian itu tampil sebagai fenomena yang umum/lazim. Tetapi sekarang coba kita amati tempat dan ruang yang di belakang kita (dari posisi duduk kita di tangga dan dipisahkan jalan). Di sana kita tidak menyaksikan kegiatan dan pemakaian tempat yang serapih di lapang di depan kita. Lebih sebagai agak berserakan ketimbang yang pertama. Gejala yang terjadi di sini adalah kegiatan mengidentifikasi-identifikasi sendiri ruang-ruang (beserta fungsi-fungsinya) yang ada di lapang Gasibu. Tegasnya, sebagai kegiatan analogi: lapang Gasibu dijadikan model untuk dapat diterapkan di sini. Tetapi lantaran tata ruangnya sejak awal tidak disesuaikan untuk tujuan sebagiamana di Lapang Gasibu, maka di sini lebih rentan terjadi perubahan. Sekali waktu bagian tertentu digunakan untuk bersenam, tetapi diwaktu lain untuk berdagang, dan seterusnya.
D.3. Pendekatan Hermeneutika Strukturalistis Persoalan pendekatan sebetulnya telah banyak disinggung sebelumnya. Oleh karena itu di sini kita akan mengemukakan lebih jauh sejumlah hal atau yang belum dicakup oleh pembahasan yang lalu.
d. 3. 1. Hakikat pendekatan struktural
Pada bagian ini kita hanya akan menyoroti empat sifat menonjol dari pendekatan struktural, adalah: 1) mikroskopik, 2) struktural, 3) analogistis, dan 4) eksploratif (secara khas). Pertama,
analisis
struktural
pada
hakikatnya
mikroskopik,
adalah
sebagaimana ungkapan Levi Strauss (1997): ……cara pendekatan metodis strukturalismenya sebagai semacam ‘mikroskopi masyarakat’ yang memilki berbagai tingkat kemampuan pembesaran (Levi Strauss, 1997: 32). Jika Anda mamandang suatu tetes air dengan mata telanjang, anda tidak akan melihat apa-apa. Namun jikallau anda menempatkan setetes air itu di bawah sebuah mikroskop elektron yang membesarkannya 50.000 kali, Anda akan melihat hal-hal yang berbeda sama sekali. Demikian pula halnya dengan usaha mempelajari manusia. Mereka yang menamakan dirinya humanis memandang manusia menurut sudut pandangan sama seperti orang memandang setetes air yang diperbesar sedikit. Tampaklah sejumlah binatang kecil sebagai makhluk hidup yang memang ada, saling memerangi dan saling mencintai. Namun, kita tahu bahwa ilmu hanya ada karena kita telah mengerti bahwa sejumlah fenomena tidak bisa dipandang dari satu tingkat saja (zf: ini senada dengan Saussure dan Bleicher). Kemampuan pembesaran yang tinggi menyebabkan bahwa makhluk hidup tadi hilang sama sekali. Lantas yang kelihatan hanyalah molekul-molekul saja. Jika pembesaran mikroskop ditingkatkan lagi, Anda dapat mengamati sejumlah atom di balik molekulmolekul tadi (Levi Strauss, 1997: 59). Selanjutnya: Strukturalisme menyatakan apa yang sudah lama dimengerti para pakar ilmu fisika dan ilmu pasti sebelum kami memulai usaha ini, yakni bahwa kita dapat mencapai realitas hanya apabila kita melakukan penyederhanaan. Di tengah-tengah keanekaragaman fenomena, kita harus membatasi sejengkal wilayah kecil di mana akan muncul kemungkinan untuk menyelami sejumlah variabel. Untuk pertama kalinya usaha itu berhasil dalam bidang bahasa yang dengan baik sekali dapat dibatasi (dengan menggunakan distingsi Saussure). Kemudian, saya berusaha memperluas metode penelitian itu pada berbagai bidang lainnya, seperti ikatan kekerabatan, analisis terhadap mitos dan ritus, analisis terhadap fenomena klasifikasi yang diadakan dalam tatanan masyarakat eksotik atau secara umum, serta studi terhadap masyarakatmasyarakat asli yang sangat kecil (Levi Strauss, 1997: 62). Metode penelitian struktural ditopang oleh keyakinan epistemologisontologis bahwa terdapat suatu tatanan tak kelihatan yang tersembunyi di balik permukaan keanekaragaman fenomena kenyataan yang tampak sebagai
hal yang kacau balau, tidak beraturan dan tidak masuk akal (Levi Strauss, 1997: 33). Kedua, pendekatan ini pada prinsipnya sebagai struktural, yaitu sebagaimana telah dijelaskan pada bahaasn-bahasan sebelumnya, karena yang dicarinya pertama dan utama sebelum berbagai hal lain atau sebelum penafsiran-penafsiran, adalah suatu skema, hubungan sintagmatis dan asosiatif, satuan-satuan dan lain sebagainya. Di sinilah pendekatan struktural tentang bahasa mendapat arti: “Pendekatan yang menganggap bahasa sebagai sistem…” (K. Bertens, 1996: 185). Dan prinsip ini merupakan cara kerja pendekatan struktural, sebagaimana Levi Strauss (1997: 51) mengungkapkan: Ilmu pengetahuan hanya memiliki dua cara kerja: entah secara reduksionistis atau secara strukturalistis. Ilmu pengetahuan bekerja secara reduksionistis, apabila ditentukan bahwa fenomena yang sangat kompleks dari suatu tingkat tertentu dapat direduksikan ke dalam sejumlah fenomena yang sederhana dari suatu tingkat yang lain. Misalnya, dalam hidup terdapat banyak hal yang dapat direduksikan pada proses-proses fisika-kimia yang sebagian dapat menjelaskan hal tersebut, kendati tidak seluruhnya. Namun apabila berhadapan dengan fenomena yang karena tingkat kompleksitasnya tidak dapat direduksikan pada fenomena dari suatu tingkat yang lebih rendah, kita dapat mendekati seluruh fenomena komplek itu hanya dengan mempelajari segala hubungan yang terdapat di antara semua fenomena tersebut. Dengan demikian, kita mencoba mengerti bagaimana keadaan sistem awalnya.
Ketiga, pendekatan struktural hakikatnya adalah sebagai kegiatan analogisasi. Ahimsa-Putra mengungkapkan: Dalam usaha memahami pemikiran Levi-Strauss kita perlu mengetahui bahwa Levi-Strauss banyak sekali menggunakan “analogi”, dan ini karena dia dapat dengan mudah melihat persamaan antar fenomena-fenomena yang mungkin di mata orang lain sama sekali tidak memiliki kemiripan apa-apa. Dalam memandang fenomena larangan insest misalnya, Levi-Strauss sedikit banyak dipengaruhi oleh Roman Jacobson, seorang ahli linguistik struktural yang dikenalnya ketika dia sedang berada dalam pengungsiannya di New
York, ditahun 1942-1943. Dia antara lain mengatakan bahwa fenomena larangan insest mengingatkannya pada fenomena fonem dalam bahasa.(Octavia, 1997: xvii) Tentang bentuk penafsiran Levi-Strauss yang selalu sangat cermat dan ketat, dan kadang-kadang amat-sangat pintar itu, saya tidak akan panjang lebar. Saya hanya ingin mengemukakan bahwa metodenya lebih didasarkan pad “analogi” daripada identitas (Octavia, 1997: 10-11). Dalam analogisasi yang dilakukan adalah kegiatan mengalihbahasakan: “apa yang diungkapkan dalam suatu bahasa tertentu –atau dalam suatu kode tertentu-, jika anda lebih menyukainya, tetapi kata bahasa sebenarnya sudah cukup- hendak diterapkan dalam suatu bahasa yang lain” (Levi Strauss, 1997: 51). Dan Poespoprodjo 1987: 161) menjelaskan, “Berbagai tulisan yang dikandung di dalamnya (Antropologie Structurale) meliput seluruh bidang perilaku sosio-budaya manusia yang ditinjau dari segi bahasa dan tanda (semiologi)”. Dan Ahimsa-Putra di tempat lain mengungkapkan bahwa berbagai “asumsi” dan “model” di dalam pendekatan atau paradigma baru yang dikembangkan Levi Strauss, yaitu strukturalisme, banyak diambil dari disiplin linguistik dan komunikasi (Octavia, 1997: xiv). Faktor yang memungkinkan analogisasi tersebut adalah karena adanya aspek kesamaan (Octavia, 1997, h. xvii) antara lain dalam hal sifat arbitrer dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa maupun tanda-tanda bukan bahasa” (Kridalaksana/De Saussure, 1988: 26-27), yang semua itu (dalam disiplin ilmu humaniora) pada dasarnya terlahir dari tabiat dan bakat manusia untuk bersimbol. Berkenaan dengan hal ini K. Bertens (1996: 188) menyebutkan, “Hal itu dimungkinkan, sebab manusia – bertentangan dengan hewan – adalah makhluk yang berbakat simbolik”. Maka
bahasa, kekerabatan dan mitologi adalah merupakan
sistem-sistem simbolis. Begitu pun musik, kesenian pada umumnya dan segala yang
berupa kultur, sebagaimana disebutkan K. Bertens (1996: 188), “Kultur terdiri dari sistem-sistem simbolis”. Dan di antara
sistem-sistem tersebut, bahasa dianggap
sebagai yang paling penting dan yang menjadi dasar bagi semua sistem simbolis yang lainnya (Bertens, 1996: 188). Karena itulah sistem-sistem semacam itu dapat dipelajari dengan metode yang sama seperti metode yang dipergunakan dalam studi strukturalistis tentang bahasa (K. Bertens, 1996: 188). Keempat. Dengan ketiga sifat yang telah disebutkan di atas, hermeneutika strukturalistis sekaligus telah lahir sebagai pendekatan yang terus dapat menjelajah keberbagai arah, vertikal dan horizontal. Perumusan linguistik umum F. de Saussure disebutkan oleh Kridalaksana sebagai yang dipengaruhi/terinspirasi antara lain oleh teori Emil Durkheim (18581917) (Saussure, 1988: 5). Selanjutnya di salah satu penjelasan rumusan linguistik umumnya, F. de Saussure menegaskan soal tempat langue fakta-fakta manusia selain bahasa atau soal hak bagi kehadiran semiologi (Saussure, 1988: 82-84), sambil perumusan linguistiknya itu sendiri telah melebar ke mana-mana, namun secara rapih dan khas, yaitu ke berbagai bidang dari fenomena umum, ke berbagai hal-hal yang setaraf, serta hal-hal di berbagai taraf. Selanjutnya, strukturalisme telah mewujudkan gagasan F. de Saussure tersebut, sebagaimana diungkapkan K. Bertens (1996: 189), “Dengan adanya strukturalisme, ramalan Saussure itu sudah terpenuhi”, yang meliputi berbagai objek ilmu humaniora. Wilayah strukturalisme diteruskan lagi oleh antara lain J. Piaget yang dapat menunjukkan struktur-struktur dalam sejumlah ilmu alam.
Mode eksplorasi hermeneutika strukturalistis yang khas tersebut—yaitu yang didasari oleh keriga prinsip pertama—, telah memungkinkan Levi-Strauss menyusun karyanya Mythologiques dengan 2000 halaman (Levi Strauss, 1997: 65). Belum lagi karya-karya lainnya. Lebih detail soal wilayah kajian hermeneutika strukturalistis ini, akan kita bahas pada sub bahasan selanjutnya. Tetapi soal sifat eksploratif itu sendiri baru akan semakin jelas bila kita suda dapat mencapai perumusan tentang amsal al Quran (Bab III); yaitu ketika kita telah dapat merumuskan hakikat analogi itu sendiri.
d. 3. 2. Wilayah kajian hermeneutika strukturalistis Bila dengan jangkauan yang kita maksud adalah kedalaman kajian hermeneutika strukturalistis, maka dengan wilayah kita akan membahas tentang keluasan kajiannya. Menurut K. Bertens (1996: 186), pada awal abad ke-20 di Rusia telah dilakukan analisis-analisis atas karya-karya sastra dengan cara yang dekat dengan metode De Saussure, yaitu oleh sejumlah sarjana yang antara lain adalah Roman Jacobson (1896-1982) yang menerapkan metode mereka atas puisi dan Vladimir Propp (1895-1970) atas dongeng. Di antara bentuk kedekatan dengan F. de Saussure adalah anggapan mereka bahwa karya sastra otonom dan hanya memperhatikan relasi-relasi internnya, terlepas dari riwayat hidup pengarang atau lingkungan sosialnya (K. Bertens, 1996: 186). Salah satu semboyan mereka adalah, “Dalam karya sastra, segala sesuatu adalah bentuk (K. Bertens, 1996: 186).
Pada masa berikutnya, yaitu beberapa tahun sesudah revolusi komunis (1917), Jacobson dan beberapa temannya berpindah ke Praha dan di sana terbentuk apa yang disebut “Mazhab Praha” (K. Bertens, 1996: 186). Mazhab Praha merupakan suatu gerakan dalam perkembangan linguistik modern setelah F. de Saussure yang penting dan tak boleh dilewatkan. Sebab, gerakan inilah yang telah berhasil mengangkat linguistik ke taraf ilmu yang obyektif sehingga memperoleh kedudukan istimewa dalam ilmu pengetahuan manusia. Dua tokoh dari mazhab ini yang paling berperan adalah Jacobson dan N. Trubetzkoy (1890-1938), yaitu berkat usaha mereka yang telah menerapkan prinsip-prinsip F. de Saussure atas fonologi (cabang ilmu bahasa yang memiliki fonem-fonem dalam bahasa) dan dengan demikian mereka berdua telah meletakkan dasar bagi fonologi modern (K. Bertens, 1996: 186). Dengan kemunculan linguistik sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan keobyektivitasan cara maupun hasilnya, yaitu sebagaimana yang ditunjukkkan oleh Jacobson dan Trubetzkoy, dan sementara linguistik merupakan salah satu ilmu pengetahuan manusia (humaniora), maka terbuka lah kemungkinan untuk mempelajari realitas-relitas manusiawi lainnya dengan cara yang sama. K. Bertens menyebutkan, “Karena sukses yang gemilang itu dapat dimengerti bahwa linguistik seakan-akan menjadi “Model” bagi ilmu-ilmu manusia yang lain. Linguistik menjadi kunci untuk mempelajari wilayah manusia pada umumnya”. Poespoprodjo (1987: 163) mengungkapkan analisis struktural ternyata berhasil juga di bidang sistem arti di dalam kesastraan, sistem hukum perkawinan, di dalam seni, film, periklanan persuratkabaran, fashion, juga di dalam sistem filsafat dan teologi
sebagaimana yang disuguhkan oleh kitab suci”. Di tempat lain, Agus Cremers dan John de Santo dalam ‘Prakata’ buku Mitos, Dukun dan Sihir mengatakan: Mahasiswa antropologi budaya (dan sosiologi) dapat menemukan bahwa profesi ilmiah mereka merupakan suatu “panggilan” dan upaya istimewa yang mengasyikkan, yang mengajak untuk melampaui batas-batas sempit spesialisialisme profesi serta menuntut pemikiran tegas dan lugas. Para lingui dapat melihat bagaimana metode dan gagasan linguistik secara kreatif diterapkan pada bidang ilmu kemanusiaan lainnya (Levi Strauss, 1997: 7).
Selanjutnya Jean Piaget (1995: 4) dalam Strukturalisme telah menjelaskan struktur-struktur di samping yang terdapat dalam humaniora juga yang terdapat pada ilmu alam, seperti dalam fisika, biologi dan lain-lain. Berikut pernyataannya soal karyanya tersebut, “Dalam karya kecil ini kami hanya membatasi diri pada strukturalisme dalam berbagai ilmu, pekerjaan yang sudah cukup berbahaya, dan untuk mengakhirinya akan dikemukakan sejumlah gerakkan filsafat yang diilhami, dalam kadar yang berbeda-beda, oleh strukturalisme yang berasal dari ilmu-ilmu sosial”. Namun demikian J. Piaget merasa perlu membatasi strukturalisme di semua bidang tersebut, yaitu dengan ungkapannya: Pengertian transformasi memungkinkan kita langsung membatasi persoalannya, karena kalau seluruh formalisme dengan semua pengertian istilah itu harus dimasukkan ke dalam ide struktur tersebut, strukturalisme sebenarnya akan mencakup segala teori falsafah yang tidak sepenuhnya empiris dalam berbagai bentuk atau esensi, dari Plato sampai husserl, dan tentunya juga Kant, bahkan mencakup beberapa jenis empirisme tertentu seperti “positivisme logis” yang membutuhkan bentuk-bentuk sintaksis dan semantis untuk menjelaskan logika. Padahal dalam arti yang baru saja didefinisikan, logika itu sendiri tidak selalu mengandung “struktur” baik sebagai struktur-struktur himpunan maupun transformasi: logika tetap berada pada aspek-aspek kecil yang bergantung kepada suatu atomisme yang cukup kuat dengan demikian strukturalisme logis barulah merupakan awalnya saja (Peageat, 1995: 3-4).