BAB II TINJAUAN TEORI TERKAIT
A. Teori Terkait i.
Teori Para Ahli Oleh para ahli, tahap–tahap perkembangan anak di bedakan menjadi sebagai berikut: a. Perkembangan Emosi (John Piaget ) (Sarwono, 2009) 1. Tahap Sensori Motor ( 0–2 tahun) Tahap sensori berjalan dengan baik sejak bayi dilahirkan sampai menginjak umur 2 tahun. Mereka hanya tertarik pada sesuatu yang ada pada saat itu, setelah benda tersebut dijauhkan dari pandangannya mereka akan segera melupakannya dan hal ini berlangsung sampai anak berumur 8 bulan. 2. Tahap Pra–Operasional (2–7 tahun) Pada tahap ini dibagi kembali menjadi 2 tahapan yaitu tahap Pra konseptual (2–4 tahun) dan tahap intuitif (4–7 tahun). 8
3. Tahap
Operasional
Konkrit
(7–12
tahun) Hal terpenting dalam tahap ini yaitu, konservasi dan seriasi. 4. Tahap Operasional Formal (mulai usia 12 tahun) Pada tahap ini anak mulai memiliki pemikiran yang fleksibel dan mulai memandang persoalan dari sudut yang berbeda. b. Perkembangan Moral ( Hurlock) 1. Tahap Pra konvensional (Pra Moral) a. Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan b. Tahap 2: Orientasi instrumental 2. Tahap Konvensional a. Tahap 3 b.
Tahap
: Orientasi Anak Baik 4:
Orientasi
mempertahankan sistem 3. Tahap Purna Konvensional a. Tahap 5 : Orientasi Kontak Sosial
9
b. Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal c. Perkembangan Psikososial ( Erickson) 1. Basic Trust vs Basic Mistrust (0–1 tahun) Konflik yang timbul pada tahap ini adalah kebutuhan rasa aman dan ketidakberdayaan. 2. Autonomy vs Shame & Doubt (2–3 tahun) Organ tubuh pada usia ini sudah mulai lebih matang dan terkoordinasi. Anak dapat melakukan aktivitas secara lebih luas dan bervariasi. 3. Initiative vs Guilt (3 – 6 tahun) Apabila pada tahap sebelumnya anak sudah mulai menunjukkan percaya diri, maka ia akan mulai berani mengambil inisiatif. 4. Industry vs Inferiority (6–11 tahun) Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melakukan pemikiran logis dan
10
anak sudah mulai duduk dibangku sekolah. 5. Identity vs Role Confusion (mulai 12 tahun) Pada tahap ini anak dihadapkan pada harapan–harapan dan dorongan yang kuat untuk lebih mengenal dirinya. 6. Intimacy vs isolation Pada masa ini individu sudah mulai mencari–cari pasangan hidup. 7. Generativy vs Self–Absorbtion Krisis yang dialami individu dalam masa ini adalah adanya tuntutan untuk membantu
orang
lain
diluar
keluarganya, pengabdian masyarakat, dan manusia pada umumnya. 8. Ego integrity vs Despair Pada
tahap
ini
kepuasaan
akan
prestasi,dan tindakan–tindakan yang dilakukan
masa
lalu
menimbulkan perasaan puas.
11
akan
d. Perkembangan Psikoseksual (Sigmund Freud) 1. Fase Oral (0–1 tahun) Anak
memperoleh
kepuasan
dan
kenikmatan yang berasal dari mulutnya. 2. Fase Anal (1–3 tahun) Pada fase ini kepuasan yang diperoleh anak terpusat pada anus terutama pada saat buang air besar. 3. Fase Falik (3–5 tahun) Pada fase ini anak mulai memiliki daerah erogen
dan
kenikmatan
mulai yang
merasakan
diperoleh
dari
rangsangan seksualnya. 4. Periode Laten (5–12 tahun) Pada fase ini merupakan masa tenang bagi anak. Kecemasan dan ketakutan timbul pada masa–masa sebelumnya ditekan pada fase ini. 5. Fase Genital ( 12 tahun keatas) Pada fase ini alat–alat reproduksi sudah mulai
12
matang
dan
bekerja.
Pusat
kepuasan berada pada daerah alat kelamin. ii.
Fase Falik Pada rangsangan
masa
ini
otoerotik,
anak yaitu
mulai
melakukan
meraba-raba
dan
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogen (bagian tubuh yang mudah membangkitkan dorongan seksual). Titik kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling nikmatnya adalah masturbasi ( Boeree, 2008). Dorongan
seksualitas
tersebut
kemudian
ditujukan pada orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda. Pada fase inilah terjadi peristiwa yang dinamakan “oediphus complex”, yaitu: Kateksis seksual (emosi yang dihubungkan secara berarti dengan objek seksual) terhadap orang tersebut yang berlainan jenis kelamin serta kateksis permusuhan terhadap orang tua berjenis kelamin sama. Anak laki-laki ingin memiliki ibu dan
mengusir
ayah
atau
sebaliknya.
Oediphus
complex, kelak menjadi kekuatan vital kepribadian individu selama hidupnya, seperti sikap terhadap jenis kelamin lain dan tokoh pemegang otoritas.
13
Perbedaan oediphus complex pada laki dan perempuan menurut Hall dan Lindzey (2000) adalah sebagai berikut: Pada awalnya sama-sama mencintai ibunya karena dari ibu segala kebutuhan terpenuhi, sedangkan
ayah
merupakan
pesaing
dalam
memperebutkan cinta kasih ibu. Perasaan mencintai ibu dan memusuhi ayah pada anak laki-laki tetap selama
hayatnya,
sedangkan
pada
perempuan
berubah. Pada anak laki-laki terjadi incet (relasi seksual antar lawan jenis yang sangat dekat ikatan darahnya) terhadap ibu dan kebencian terhadap ayah sehingga
timbul
konflik.
Anak
laki-laki
mengkhayalkan ayah akan melukai organ genitalnya yang
merupakan
sumber
kenikmatan,
disertai
ancaman dan suka memberi hukuman. Oleh karena itu, ketakutan kastrasi anak, menekan keinginan seksualnya terhadap ibu dan menekan rasa permusuhan dengan ayah. Akibatnya anak laki-laki akan mengidentifikasi dirinya dengan ayah dan memperoleh manfaat penting, yaitu: secara tidak langsung anak laki-laki mendapat pemuasan dorongan seksual terhadap ibu, dan pada saat yang sama rasa erotisnya yang membahayakan terhadap 14
ibu, ditutupi dengan sikap penurut dan sayang terhadap
ibu.
Complex
Oediphus
pada
laki
mewariskan super ego sebagai barier terhadap incet dan agresi. Berlawanan dengan anak laki-laki, objek cinta anak perempuan dialihkan kepada ayah. Perubahan objek
cinta
tersebut
sebagai
reaksi
terhadap
kekecewaannya, ketika ia mengetahui bahwa anak laki-lakinya mempunyai alat kelamin yang menonjol, sedangkan dirinya tidak sehingga timbul iri hati terhadap pria yang disebut iri penis (penis envy). Keadaan yang dialami anak perempuan seperti pengebiran (kastrasi). Anak perempuan beranggapan bahwa keadaan dirinya yang berbeda dengan laki-laki menjadi tanggung jawab ibu sehingga melemahkan kateksis (penanaman libido pada diri sendiri, pribadi lain, atau objek lain) terhadap ibu. Anak perempuan mengalihkan cintanya kepada ayah karena ayah memiliki organ yang dia inginkan. Perbedaan sifat oediphus complex serta kastrasi menjadi dasar perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut Freud (1856–1939) setiap orang pada
dasarnya
biseksual, 15
artinya
tertarik
jenis
kelamin yang sama dan berlainan. Ketertarikan terhadap jenis kelamin yang sama ini menjadi dasar homoseksualitas,
dan
pada
kebanyakan
orang,
impuls ini tetap laten. Sifat biseksual ini diperkuat pula bahwa pada laki-laki maupun perempuan memiliki
kelenjar
hormon
seks
endokrin
yang
masing-masing.
menghasilkan
Freud
memiliki
keyakinan bahwa perkembangan psikologi dipicu oleh kekuatan dari dalam, terutama kematangan biologis. Meskipun demikian, kekuatan yang berasal dari lingkungan sosial juga berperan pada proses kematangan individu, terutama berkaitan dengan energi seksual dan agresivitas ( Pratisti, 2008 ). Menurut Yustinus (2011), Pada periode ini anak laki–laki akan mulai menyadari situasi yang sebenarnya bahwa adanya perbedaan antara laki– laki dan perempuan. Perbedaan yang bukan hanya sekedar mengenai panjang rambut dan pakaian saja. Akan
tetapi,
melalui
perspektif
yang
polos,
perbedaannya adalah anak laki–laki memiliki penis, sedangkan anak perempuan tidak. Muncul ketakutan dari anak laki–laki jika kehilangan penisnya. Anak laki–laki mulai menyadari bahwa ayahnya lebih kuat 16
dari dirinya dan adanya kekuatiran akan penisnya sendiri, kemudian dia akan beralih pada pertahanan– pertahanan ego. Dia akan mengganti keinginan seksualnya
terhadap
ibunya
menjadi
keinginan
terhadap anak perempuan. Begitu juga dengan yang dialami anak perempuan, mereka mulai menyadari perbedaan antara laki–laki dan perempuan, serta menyadari kekurangan pada dirinya. Mereka juga ingin memiliki penis dan seluruh kekuatan yang diasosiasikan dengannya. Anak perempuan menyadari bahwa keinginan memiliki penis tersebut tidaklah mungkin, maka dia menggantinya dengan hal lain. Anak perempuan kemudian mengganti sosok ayah dengan anak laki–laki kemudian dengan pria dewasa dan mengidentitifikasi diri dengan ibu, seorang wanita yang telah mendapatkan pria yang dia inginkan. Menurut Freud (1856–1939), wanita tidak terlalu memiliki kecemasan seperti pria, karena wanita tidak terlalu tergantung pada heteroseksual dan tidak terlalu peduli dengan moral dibanding pria. Perkembangan berpengaruh
pada pada 17
masa
kanak–kanak
perkembangan
akan
masa–masa
selanjutnya, bahkan gangguan yang terjadi pada masa
dewasa
dapat
dirunut
ke
sumber
permasalahannya, yang berasal dari masa kanak– kanak (Pratisti, 2008). Pada masa kanak–kanak, terdapat tiga area yang sangat peka terhadap rangsangan, yaitu oral (mulut), anal (anus), dan genital (alat kelamin). Area tersebut akan menjadi pusat minat seksual pada anak ketika menjalani tahap–tahap perkembangannya. Kepribadian orang dewasa terbentuk berdasarkan konflik antara ketiga area kenikmatan tersebut dengan realitas. Apabila konflik yang terjadi tidak mendapatkan pemecahan yang memuaskan maka akan
terjadi
fiksasi
pada
tahap
tertentu
perkembangan (Pratisti, 2008). iii.
Pola Asuh Orang tua Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut
mereka
dalam
mendidik
anak.
Untuk
mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua 18
mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.(Sokolova,dkk ; 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ivanova & Brown (2010) di United Kingdom, menyatakan bahwa pola asuh orang tua didalam survei yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
pengalaman
pengetahuan
orang
orang
tua
tua
serta
mendidik
anak,
hal–hal
yang
mendukung pola asuh orang tua. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan Jepang, pada tahun 2011, Fujiwara, Kato & Sanders
melakukan
penelitian,
dari
hasil
penelitiannya menyatakan bahwa di Jepang memiliki resiko tinggi penganiayaan terhadap anak oleh orang tua dalam memberikan pola asuhnya. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan moral pada anak di Jepang.
Anak
akan
tumbuh
dengan
memori
kekerasan yang dilakukan orang tua mereka dan tumbuh menjadi anak yang suka akan kekerasan serta ditumbuhi rasa takut setiap melihat orang tuanya selama mereka hidup.
19
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Yin, Li, & Su (2012) di Central South University. Mereka menyatakan bahwa di China, anak–anak biasanya patuh kepada orang tua mereka, akan tetapi timbul keinginan mereka untuk lepas dari orang tuanya yang meningkat sehingga pola asuh yang diberikan oleh ayah dengan kontrol yang tinggi tapi memberikan perawatan yang rendah membuat anak marah dan menentang orang tua. iv.
Peran Serta Orang Tua Setiap Orang tua perlu mengetahui tugastugas perkembangan anak sesuai dengan usianya. Hal
ini
untuk
mempermudah
penerapan
pola
pendidikan dan mengetahui kebutuhan optimalisasi perkembangan anak. Orang tua diharapkan dapat lebih mengenal pertumbuhan dan perkembangan anak–anaknya dan sedini mungkin menemukan adanya
kemungkinan–kemungkinan
munculnya
kelainan/penyimpangan dalam perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orangtua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikologi anaknya (Latipun, 2007).
20
Didalam perkembangan anak, apabila orang tua dan lingkungan memberi cukup kebebasan dan kesempatan pada anak untuk melakukan kegiatan, orang tua mau menjawab segala pertanyaan– pertanyaan
yang
diberikan
anak
dan
tidak
menghambat fantasi dan kreasi dalam bermain, maka akan membuat daya inisiatif anak akan berkembang. Orang tua yang terlalu mengutamakan segi
mental
(kecerdasan)
menyebabkan
anak
dibesarkan dalam suasana yang penuh dengan aturan–aturan, tuntutan–tuntutan, kegiatan–kegiatan yang
semuanya
ditujukan
untuk
menunjang
keberhasilan di bidang intelektual. Akan tetapi, orang tua terkadang kurang memperhatikan kondisi fisik, kehidupan emosi, dan sosial dari anak tersebut. Pada umur 18 bulan, biasanya bayi mulai menginjak tahap munculnya kebutuhan rasa otonomi, kebanggaan akan prestasi– prestasinya dan ingin melakukan sesuatu sendiri, sehingga hal ini dibutuhkan hubungan kerja sama dengan orang yang lebih dewasa, terutama orang tua. Apabila orang tua tidak memahami akan hal ini, biasanya dikarenakan orang tua kurang sabar / 21
terlalu
banyak
membantu
anak,
maka
akan
menimbulkan ketegangan dan perasaan gagal pada diri anak, sehingga akan menimbulkan rasa ragu dan malu pada jiwa anak. Pada pembahasan yang dilakukan oleh Graff & Rademakers (2011) di The Netherlands Institute Of Health Services Research menyatakan bahwa pada mulai usia 2 tahun anak mampu diwawancarai mengenai beberapa aspek mengenai seksualitas (pengetahuan tentang alat kelamin dan reproduksi) Akan tetapi, banyak orangtua bergantung pada pendidikan seks di sekolah, baik karena mereka belum memiliki kesempatan untuk berbicara dengan anak–anak mereka atau karena mereka takut untuk melakukannya (Scherrer & Klepacki, 2006 : 76 ). Pada
hakekatnya,
kesibukan
sosial/
kesibukan karena bekerja, tidak selalu secara mutlak menimbulkan akibat yang buruk pada perkembangan anak, yang terpenting dari hal ini adalah corak dan kualitas hubungan antara anak dan orang tua. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk berperan aktif dan tidak membiarkan anak tumbuh dan berkembang 22
sendiri, tidak terkecuali juga bertanggung jawab untuk memberikan
pendidikan
sebaik–baiknya
kepada
anak. Melalui pengasuhan di rumah dan pergaulan sosial sehari–hari anak dapat belajar bagaimana berinteraksi
dengan
orang
lain,
bagaimana
ia
menemukan identitas diri dan peran jenis kelaminnya, bagaimana melatih otonomi, sikap mandiri dan berinisiatif (Pratisti, 2008). Menurut Scherrer & Klepacki (2006 : 74) orangtua adalah pendidik seks utama bagi anak– anak mereka. Orangtua dianggap sebagai figur otoritas utama dalam kehidupan anak, tetapi nilai– nilainya sering kali berdasarkan pada penelitian sosial terhadap nilai budaya saat ini. Menurut Boeree (2008 : 55), jika anak laki– laki merasa tidak diperhatikan ibunya dan terancam dengan kegagahan ayahnya, dia tidak akan memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuannya sendiri, terutama
dalam
persoalan
seksualitas.
Mereka
mungkin akan merasa terancam dan tersiksa ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya, beralih jadi kutu buku, tidak menyenangi hal–hal yang bersifat laki–laki dan lebih suka hidup seperti perempuan. 23
Akan tetapi, bagi anak laki–laki yang terlalu diperhatikan ibunya dan tidak dibiarkan dekat dan meniru ayahnya, dia akan menganggap dirinya tidak bisa hidup tanpa ibunya, dikarenakan tidak ada di dunia ini yang menyainginya seperti ibu yang menyayanginya.
Sehingga
dia
pun
tidak
akan
berusaha mengidentifikasi diri dengan ayahnya. Begitu pula dengan anak perempuan yang tidak memperoleh perhatian dari ayahnya dan merasa terancam oleh sisi feminim ibunya, ia tidak akan peka terhadap potensi dirinya sendiri, sehingga kepribadiannya berkembang menjadi tomboy (kelaki –lakian).
Sedangkan bagi anak perempuan yang
terlalu dimanja dan diperhatikan oleh ayahnya, maka hal ini mengakibatkan fungsi ibu tidak terlalu dominam dalam hidupnya dan mereka akan tumbuh menjadi gadis yang manja, keras kepala, egois, dan tomboy. B. Penelitian Terkait Pada pembahasan akan teori Delphi yang dilakukan oleh Vosmer, Hacket, & Callanan (2009) dari United Kingdom menyatakan bahwa rata–rata anak–anak yang menonton
24
pornografi hampir tinggi. Tinggi nya konsensus akan perilaku seksual ini diperoleh dari beberapa item. Pada fase falik, salah satu hal yang mendukung tingkah
laku
anak
dalam
memperoleh
kenikmatan
seksualnya adalah dari tontonan yang berhubungan dengan pornografi. Hal ini juga sangat membahayakan bagi anak dalam
masa
emasnya
perkembangannya.
mulai
meniru
semua
Anak hal
pada yang
periode
dilihat
di
lingkungannya. Seperti saat mereka melihat tontonan yang belum pantas dilihat, mereka akan meniru hal tersebut tanpa mengetahui dampak serta maksud dari apa yang dilihatnya. Selain faktor diatas pada tahun 2010 di Kanada, Lussier & Healey melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan pada anak laki–laki usia sekolah yang memiliki karakteristik penghasilan keluarga yang kurang memiliki tingkatan agresi fisik dan perilaku seksual yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan hasil penelitian yang ditulis oleh Zhang (2012) di China. Zhang berpendapat bahwa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua tidak hanya terkait pada kualitas hubungan keluarga, tetapi juga untuk tumbuh kembang anggota keluarga. Pada anak laki–laki yang mengalami fase falik, ibu merupakan objek seksual yang dicarinya. Ia merasa ibu 25
memiliki suatu hal yang mampu memberikan kepuasan oediphus complex. Ini juga terdapat dalam jurnal yang ditulis oleh
Jain (2009) di USA menyatakan bahwa ibu telah
memberikan energi erotisnya kepada anak, sehingga anak tidak mudah untuk membebaskan ibu sebagai obyek yang menjadi cinta utamanya. Apabila ibu menolak tindakan anak, maka anak akan beranggapan bahwa ibu merupakan ‘ibu yang buruk‘ dan memiliki agresi seksual yang membuat anak menjadi meninggalkan perasaannya kepada ibu dan beralih dengan mencintai yang lain. Pada fase falik, anak akan mulai mengetahui perbedaan jenis kelaminnya, akan tetapi hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Johnson, Lurye, Tassinary (2010) di Los Angeles yang menyatakan bahwa pada anak berusia 4 dan 6 tahun terjadi kebingungan akan kategori keanggotaan seksualnya.
26