BAB II TINJAUAN TENTANG WARISAN BUDAYA DUNIA 1.1.
Pengertian Warisan Budaya Dunia Warisan budaya merupakan sebuah istilah yang telah mengalami perubahan
arti, budaya mengalami pergeseran arti yang jauh berbeda dalam beberapa dekade terakhir. Sebagian besar perubahan tersebut karena adanya instrumen yang dikembangkan oleh UNESCO. Warisan budaya tidak lagi berakhir pada monumen dan koleksi benda-benda, warisan budaya juga termasuk dalam tradisi atau ekspresi hidup yang diwarisi dari nenek moyang dan diteruskan kepada keturunannya, seperti tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, acara meriah, pengetahuan dan praktek tentang alam dan alam semesta atau pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional. Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Adanya budaya, memberikan pemahaman dalam kedua proses transformasi antara alam dan manusia dan bentuk hasil transformasi antara alam dan manusia. Pelestarian pusaka budaya membantu masyarakat tidak hanya melindungi aset fisik bernilai ekonomis, tetapi juga melestarikan praktik, sejarah, dan lingkungan, dan rasa kontinuitas dan identitas. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan cipta, rasa dan karsa manusia1. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan merupakan 2: “………… keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar “. Menurut Roger M. Keesing, budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka 3. Menurut Edward Burnett Tylor yang menyatakan budaya adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat 4. Menurut Binford, budaya adalah semua cara yang bentuk-bentuknya tidak langsung berada di bawah kontrol genetik yang bekerja untuk menyesuaikan individu-individu dan kelompok ke dalam komuniti ekologi mereka 5. Pendapat-pendapat diatas memiliki garis besar bahwa kebudayaan adalah berbagai bentuk hasil karya manusia baik berupa pola-pola ataupun sistem yang berwujud ataupun tidak berwujud dari hasil budi dan akal manusia yang diperoleh dari proses kehidupan untuk menghadapi lingkungannya dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dari zaman ke zaman. Kebudayaan
1
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta. Hlm. 181. 2 Koentjaraningrat. 1981. Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional. Tidak Diterbitkan. Hlm. 180-181. 3 Roger M. Keesing. Teori-Teori Tentang Budaya. Kumpulan Tulisan Antropologi 50. Hlm. 3. 4 Jokilehto. J. 2005. Definition od Cultural Heritage References to Documents in History. ICCROM Working Group “Heritage and Society”. Page 4. 5 Binford, L. 1968. Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed. L.R. Binford dan S.R. Binford. Chicago: Aldine. Page 313.
merupakan sebuah ciri dari suatu bangsa dan sebagai bentuk warisan dari para pendahulu bangsa atau leluhur. UNESCO di dalam Draft Medium Term Plan 1990-1995, mendefinisikan warisan budaya sebagai 6: … the entire corpus of material signs – either artistic or symbolic – handed on by the past to each culture and, therefore, to the whole of humankind. As a constituent part of the affirmantion and enrichment of cultural identities, as a legacy belonging to all human kind, the culture heritage gives each particular place its recognizable features and is the storehouse of human experience. The preservation and the presentation of the cultural heritage are therefore a corner-stone of any cultural policy. Hal diatas, dapat diartikan bahwa warisan budaya sebagai penanda budaya sebagai suatu keseluruhan, baik dalam bentuk karya seni maupun simbolsimbol, yang merupakan materi yang terkandung di dalam kebudayaan yang dialihkan oleh generasi manusia di masa lalu kepada generasi muda berikutnya, merupakan unsur utama yang memperkaya dan menunjukkan ikatan identitas suatu generasi dengan generasi sebelumnya, merupakan pusaka bagi seluruh umat manusia. Warisan budaya memberikan penanda identitas kepada setiap tempat dan ruang, dan merupakan gudang yang menyimpan informasi tentang pengalaman manusia. Menurut Ardika, warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya 7. Warisan budaya (cultural heritage) yaitu sebagai harta pusaka budaya baik berwujud atau tidak 6 7
Ibid. Hlm 4-5. Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan, Denpasar. Hlm. 19
berwujud dan bersumber dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan kembali untuk generasi yang akan datang secara berkesinambungan atau berkelanjutan. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahuntahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. UNESCO memberikan definisi “heritage’’ sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Menurut situs resmi UNESCO, warisan budaya adalah monumen, kelompok bangunan atau situs sejarah, estetika, arkeologi, ilmu pengetahuan, etnologis atau antropologi nilai. Dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia dideklarasikan di Ciloto 13 Desember 2003, heritage disepakati sebagai pusaka. Pusaka (Heritage) Indonesia adalah : a. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa b. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. c. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu 8. Banyak pendapat yang menyatakan cagar budaya sama dengan warisan budaya, tetapi pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yaitu berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air 8
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Hlm. 2
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Warisan Budaya Dunia telah diatur di dalam beberapa Konvesi UNESCO yaitu : 1. Convention on the Protection of Natural and Cultural Heritage 1972 2. Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage 2003 3. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions 2005 Perlindungan warisan budaya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat dunia, keinginan untuk melindungi warisan budaya dunia makin berkembang, instrumen hukum internasional diikutsertakan sebagai peranan penting dalam perlindungan kekayaan budaya dunia. Warisan budaya dunia adalah suatu tempat budaya dan alam serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Warisan budaya dunia adalah bentuk warisan turun-temurun yang dimiliki setiap negara dalam bentuk budaya yang berbeda-beda, memiliki ciri khas masing-masing dan hanya dimiliki oleh satu negara tersebut dan perlu untuk dijaga dan dipertahankan kelestariannya.
1.2.
Jenis Warisan Budaya Dunia Menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
dalam Convention Concerning The Protection of The World Cultural and Natural
Heritage (Adopted by the General Conference at its seventeenth session Paris, 16 november 1972), menyatakan dalam article 1 tentang Definition of The Cultural and Natural Heritage menjelaskan bahwa berikut ini yang dianggap sebagai warisan budaya adalah : 1. Monumen (monuments) Berupa karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 2. Kelompok bangunan (group of buildings) Kelompok yang terpisah atau bangunan terhubung yang, karena arsitektur mereka, homogenitas mereka atau tempat mereka di lanskap, adalah dari nilai-nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 3. Situs (sites) Karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologis pandang. Warisan budaya dunia pada awalnya hanya berpusat pada bangunan, monumen, atau benda-benda peninggalan leluhur (nenek moyang) umat manusia yang nyata (tangible). Hal ini mulai bergeser dimana tidak semua warisan budaya berbentuk tangible. Pada tahun 1990-an adanya perubahan konsep mengenai warisan budaya yaitu adanya warisan budaya tak benda (intangible). Pada tahun
2001, UNESCO mengadakan survei yang melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional untuk mencapai kesepakatan mengenai cakupan World Intangible Cultural Heritage dan diresmikan tahun 2003 dalam bentuk Konvensi yaitu Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage. 2.2.1. Warisan Budaya Tangible Warisan Budaya Tangible adalah warisan budaya benda atau warisan budaya fisik yang berwujud, dalam dokumen UNESCO tahun 1972 pada Warisan Budaya Dunia, warisan diwujudkan dalam bentuk yang nyata, terutama bangunan dan situs bersejarah. Warisan budaya tangible diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu : a. Warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka terdiri dari situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan / atau bersejarah, patung-patung pahlawan 9. b. Warisan budaya bergerak (movable heritage) Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film 10. Sebuah warisan fisik atau nyata adalah salah satu yang dapat disimpan dan fisik menyentuh. Ini termasuk barang-barang yang diproduksi oleh kelompok budaya seperti pakaian tradisional, peralatan (seperti manik-manik, kapal air), atau 9
Galla. 2001. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation. Hall and jones Advertising, Brisbane. Hlm. 8 10 Ibid. Hlm 10
kendaraan (seperti kereta lembu). Warisan tangible meliputi monumen besar seperti kuil, piramida, dan monumen publik. Meskipun warisan nyata dapat punah, umumnya lebih jelas bagaimana hal itu dapat dilestarikan dari warisan intangible yang memiliki risiko lebih besar dan bisa hilang untuk selamanya. Secara historis, kebijakan nasional baik di Indonesia dan dunia telah memberikan lebih banyak perhatian untuk melestarikan bangunan buatan leluhur terdahulu sebagai warisan berharga, daripada mengelola konservasi dan pemanfaatan warisan budaya takbenda. 2.2.2. Warisan Budaya Intangible Warisan budaya intangible atau warisan budaya takbenda diwariskan dari generasi ke generasi dan terus-menerus, diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok-kelompok, dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam, dan sejarah mereka. Hal ini yang memberikan rasa identitas dan keberlanjutan pada pewaris warisan budaya, dan mempromosikan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia. Warisan budaya takbenda adalah budaya yang ada intelektual dalam budaya. Ini bukan barang fisik atau nyata. Warisan budaya takbenda meliputi lagu, mitos, kepercayaan, takhayul, puisi lisan, serta berbagai bentuk pengetahuan tradisional seperti pengetahuan etnobotani. Etobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan tumbuhan. The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage mendefinisikan bahwa warisan budaya intangible adalah sebagai praktik, representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan (termasuk instrumen,
obyek, artefak, ruang budaya), bahwa masyarakat, kelompok dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian warisan budaya mereka. Bagi individu yang menyatakan dirinya sebagai warisan budaya disebut warisan budaya hidup. UNESCO mengklasifikasi warisan budaya intangible dengan beberapa kategori sebagai berikut : 4. Tradisi lisan dan ekspresi, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tak benda 5. Seni pertunjukan 6. Praktek Sosial, Ritual dan Festival 7. Pengetahuan dan praktek tentang alam dan alam semesta 8. Keahlian tradisional.
2.3.
Perlindungan Hukum Terhadap Warisan Budaya di Indonesia Indonesia adalah negara yang terdiri dari adat, suku, dan budaya yang
beraneka ragam dengan kreatifitas, kearifan lokal dan budaya adi luhur ini menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya akan warisan budaya. Keanekaragaman budaya Indonesia atau yang disebut dengan “cultural diversity” merupakan keanekaragaman budaya yang terjadi akibat adanya masyarakat yang majemuk. Budaya Indonesia adalah pertemuan dari berbagai kebudayaan dari kelompok suku bangsa yang berbeda-beda. Menurut Van Vollenhoven yang membagi Indonesia ke dalam 19 daerah suku bangsa, yaitu 11 : 11
Syarif Moeis. 2009. Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia. FPIPS UPI Bandung. Hlm. 15
1. Aceh 2. Gayo – alas dan Batak, Nias dan Batu 3. Minangkabau, Mentawai 4. Sumatera Selatan 5. Melayu 6. Bangka dan Belitung 7. Kalimantan 8. Minahasa – Sangir – Talaud 9. Gorontalo 10. Toraja 11. Sulawesi Selatan 12. Ternate 13. Ambon – Kepulauan Barat Daya 14. Irian 15. Timor 16. Bali dan Lombok 17. Jawa Tengah dan Jawa Timur 18. Surakarta dan Yogyakarta 19. Jawa Barat Keanekaragaman kebudayaan tumbuh di dalam masyarakat yang mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang berbeda-beda (bervariasi), mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, daratan rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Budaya Indonesia juga tidak lepas dari adanya akulturasi budaya, pertemuanpertemuan budaya asli Indonesia dengan masuknya kebudayaan luar atau asing mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah keanekaragaman jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Cerminan dari keanekaragaman tersebut memberikan berbagai macam bentuk warisan budaya tangible maupun intangible. Keanekaragaman budaya di Indonesia perlu mendapat dilindungi dan dilestarikan dengan adanya perlindungan secara hukum baik di tingkat nasional maupun internasional. Negara Indonesia yang berkonsep negara hukum melindungi kekayaan budaya Indonesia atau warisan budaya Indonesia. Warisan budaya di Indonesia
secara yuridis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Pada pasal 32 angka 1 UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa : 1. Pasal 32 ayat 1 : negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya. 2. Pasal 32 ayat 2 : negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Bentuk produk hukum yang di keluarkan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara khusus Indonesia mengatur perlindungan warisan budaya di dalam dua perlindungan yaitu: a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (tangible) b. Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for The Safeguarding og The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda) Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Indonesia mengatur masalah warisan budaya di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 menekankan tentang perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya, seperti di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 menyatakan bahwa
pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah. Setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 dalam tingkat pelaksanaannya dikeluarkan : 1.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1992 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya
2.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya. Keputusan ini berisikan perlindungan, pemeliharaan, peneguran, dan pembinaan dilakukan berdasarkan Direktur Jenderal Kebudayaan.
Pengaturan cagar budaya juga diatur dalam lampiran Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2005-2025 Bab II.3 Poin 3 yang menyatakan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia merupakan sumber daya yang potensial bagi pembangunan nasional Bangsa Indonesia. Kebudayaan menjadi salah satu sasaran pembangunan jangka panjang 2005-2025 seperti yang tertuang dalam Bab IV Huruf H poin 1 lampiran Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Budaya masyarakat setempat di Pulau Bali juga secara adat mengatur perlindungan warisan budaya di dalam perarem atau awig-awig Desa Pakraman setempat. Menurut Peraturan Daeran Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pasal 1 angka 11 juga menyatakan bahwa Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman / banjar pakraman masing-masing. Definisi cagar budaya menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya berupa : 1. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. 2. Bangunan adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. 3. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 4. Situs Cagar Budaya
adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 5. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Perlindungan dan pelestarian dilakukan baik di darat dan atau di air sesuai dengan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Pemerintah Provinsi Bali sebagai Pemerintah Daerah yang dimana daerahnya hidup dari sektor pariwisata khususnya pariwisata budaya, berdedikasi untuk melindungi warisan budaya di dalam Peraturan Daerah (PERDA). Definisi cagar budaya dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, Pasal 1 angka 36 menyatakan bahwa kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas. Perlindungan cagar budaya dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali juga terdapat dalam Pasal 20 angka 13 yang menyatakan bahwa kriteria penetapan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan mencakup :
a. Tempat di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi b. Situs purbakala c. Kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk kepentingan sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 juga dengan tegas melindungi dan melestarikan cagar budaya di dalam Paragraf 3 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Strategis dalam pasal 13 angka 6 menyatakan bahwa strategi pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan warisan budaya mencakup : 1. Melestarikan
keaslian
fisik
serta
mempertahankan
keseimbangan
ekosistemnya 2. Meningkatkan kepariwisataan daerah yang berkualitas 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Melestarikan warisan budaya 5. Melestarikan lingkungan hidup
2.4.
Lanskap Budaya Provinsi Bali Sebagai Warisan Budaya Dunia Lanskap adalah potensi suatu bangsa dimana pengelolaan yang tepat akan
mendorong kuatnya daya saing bangsa. Simonds mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni dan alami untuk
memperkuat karakter lanskapnya12. Lanskap adalah keseluruhan elemen fisik secara kompleks di suatu daerah. Setiap lanskap di dunia hari ini, mulai dari kutub utara sampai kutub selatan merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam. Menurut UNESCO, lanskap budaya adalah suatu bentukan lanskap hasil interaksi antara manusia dengan sistem alam yang terjadi dalam rentang waktu panjang hingga membentuk suatu lanskap tertentu. Interaksi ini berasal dan menyebabkan pengembangan pada nilai-nilai budaya. Menurut Melnick, terdapat tiga belas komponen yang merupakan identitas atau karakter lanskap budaya. Komponen tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yaitu konteks, organisasi, dan elemen yaitu 13: 1. Lanskap budaya dalam kelompok konteks a. Sistem organisasi lanskap budaya b. Kategori penggunaan lahan secara umum c. Aktivitas khusus dari penggunaan lahan 2. Lanskap budaya dalam kelompok organisasi a. b. c. d.
Hubungan bentuk bangunan dari elemen mayor alami Sirkulasi jaringan kerja dan polanya Batas pengendalian elemen Penataan tapak
3. Lanskap budaya dalam kelompok elemen a. Hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. Tipe bangunan dan fungsinya c. Bahan dan teknik konstruksi d. Skala kecil dari elemen e. Makam atau tempat simbolik lainnya 12 13
Eckbo. 1998. People in a Landscape. Prentice- Hall Inc, New Jersey. Page.1
Melnick, R. Z. 1983. Protecting Rural Cultural Landscapes: Finding Value in the Countryside. Landscape Journal 2. Page. 2
f. Pandangan sejarah dan kualitas persepsi The U.S. Department of the Interior, National Park Service mendefinisikan lanskap budaya sebagai wilayah geografis (termasuk sumber daya baik alam dan budaya dan satwa liar atau hewan domestik di dalamnya) yang terkait dengan peristiwa bersejarah, kegiatan, atau orang atau menunjukkan nilai-nilai budaya atau estetika lainnya. Definisi lanskap budaya menjadi empat kategori: (1) terkait dengan peristiwa bersejarah (2) terkait dengan kegiatan bersejarah (3) terkait dengan orang bersejarah, dan (4) memiliki nilai budaya atau estetika lainnya 14. Lanskap budaya adalah salah satu manifestasi dari pengelolaan alam terkait budaya masyarakat setempat yang terbukti lebih berkesinambungan dan tahan terhadap krisis. Sistem irigasi tradisional di Bali merupakan bagian dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali sudah dikenal pada 882 Masehi, sistem irigasi tradisional tersebut dikenal dengan nama Subak. Subak merupakan lanskap budaya dimana lanskap budaya adalah hubungan antara manusia dengan tanah yang berjalan dari waktu ke waktu, hubungan tersebut diwariskan dalam setiap kehidupan manusia. Lanskap Budaya Provinsi Bali pada umumnya berbentuk atau tersusun atas petak sawah yang bertingkat-tingkat atau berundak-undak menyerupai anak tangga dengan ukuran yang tidak beraturan. Keadaan sawah seperti itu disebut sawah berteras atau terasering (terracing). 14
Charles A. Birnbaum with Christine Capella Peters. 1996. U.S. Department of the Interior, National Park Service. The Secretary of the Interior’s Standards for the Treatment of Historic Properties with Guidelines for the Treatment of Cultural Landscapes, ed., Washington, DC. Page.4.
Menurut pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2012 tentang Subak, Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi Subak juga terdapat di dalam beberapa peraturan lain yaitu sebagai berikut : a. Menurut Peraturan Daerah No.2/PD/DPRD/1972 Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah. b. Menurut Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi Subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani. Diadopsi dari Rekomendasi No. R (95) dari Komite Menteri ke Negara Anggota pada Konservasi Budaya Lanscape pada tahun 1995 dalam Komite Warisan Budaya Dunia dan International Council on Monuments and Site (ICOMOS) tentang wilayah sebagai bagian dari kebijakan lanskap, mengacu pada lanskap kawasan budaya adalah sebagai bagian topografi dibatasi spesifik lanskap, dibentuk
oleh
berbagai
kombinasi
lembaga
manusia
dan
alam,
yang
menggambarkan evolusi manusia, pemukiman dan karakter masyarakat dalam ruang dan waktu dan yang telah memperoleh nilai-nilai sosial dan budaya diakui di
berbagai tingkat wilayah, karena adanya sisa-sisa fisik yang mencerminkan penggunaan lahan di masa lalu dan kegiatan, keterampilan atau tradisi khas, atau penggambaran dalam karya sastra dan seni, atau fakta bahwa peristiwa bersejarah terjadi di sana. Perlindungan lanskap budaya dipandang sangat perlu dengan mengurangi berbagai ancaman terhadap bentang alam dan meningkatkan peran bentang alam bagi kesejahteraan manusia. Lanskap Budaya Bali yang dikenal secara internasional sebagai CULTURAL LANSCAPE OF BALI PROVINCE : The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana merupakan sebuah warisan budaya berwujud budaya fisik (tangible) dan warisan budaya non fisik (intangible). Nilai tangible value dapat dilihat dalam Pura, Lontar, hasil pertanian, dan persawahan terasering sedangkan nilai intangible value dapat terlihat dalam Tri Hita Karana, Awig-Awig, Subak, sistem pertanian. Hal yang harus ditekankan di dalam pewarisan budaya mengenai Lanskap Budaya Provinsi Bali : Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Tri Hita Karana adalah sistem irigasi Subak dan lanskap budaya yaitu lanskap budaya berupa warisan budaya yang perlu dilestarikan dan merupakan warisan budaya asli maryarakat Bali, berbeda dengan organisasi Subak, organisasi Subak berisikan individu-individu pemilik lahan persawahan yang dialiri oleh irigasi dan organisasi Subak bukan merupakan warisan budaya. Menurut Bhisana PHDIP Tahun 1994, yang dimaksud kawasan suci adalah gunung, danau, campuhan (pertemuan air sungai dengan air laut, pertemuan dua sungai), pantai, laut, dan tempat-tempat yang diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Perlindungan terhadap kawasan suci terkait dengan perwujudan Tri Hita
Karana yang diladasi oleh penerapan ajaran Sad Kertih, Sad Kertih adalah enam jenis upacara yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan alam beserta isinya. Menurut Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali, Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun
keseimbangan dan keharmonisan
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Culture Lanscape of Bali : The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana memiliki nilai kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan. Tri Hita Karana terdiri dari 15: a. Parahyangan Parahyangan adalah hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah ciptaan Tuhan maka manusia wajib berterima kasih dengan berbakti kepada Tuhan. Implementasi Parahyangan terlihat pada adanya Pura di setiap sistem irigasi Subak. b. Pawongan Pawongan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Manusia merupakan mahluk sosial sehingga tidak dapat hidup sendiri, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lainnya untuk 15
Tri Rahayu Wulansari dkk. 2014. Perbandingan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Tradisional di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli dengan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Formal. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB Bandung. Hlm. 5
memenuhi tercapainya kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan. Implementasi Pawongan terlihat pada adanya Krama Subak di dalam sistem irigasi Subak. c. Palemahan Palemahan berasal dari kata “lemah” yang berarti nyata. Palemahan adalah hubungan harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Unsur Palemahan dalam subak mencakup benda mati, mahkluk hidup dan lanskap Subak. Lanskap Budaya Provinsi Bali yaitu berupa sistem Subak sebagai manisfestasi perwujudan dari Tri Hita Karana ditetapkan sebagai warisan budaya dunia karena dianggap masih orisinil dalam menunjukkan ciri-ciri penting dari sistem Lanskap Budaya Provinsi Bali. Karakteristik warisan budaya bali ada 3 konsep yaitu : a. Korelasi warisan budaya dengan pendukung kebudayaan, ruang tempat, dan waktu saat kebudayaan diciptakan, dipelihara, dan dikembangkan b. Kebudayaan Bali sebagai kebudayaan komunitas c. Warisan budaya sebagai living heritage atau non-living heritages Implementasi Tri Hita Karana merupakan ciri budaya terpenting dalam Lanskap Budaya Bali yaitu sistem Subak. Subak masih melestarikan dan mempraktekkan
hubungan
yang
harmonis
antara
manusia
dan
Tuhan
(Parahyangan), antar sesama manusia (Pawongan), antar manusia dan lingkungan (Palemahan). Lanskap Budaya Provinsi Bali merupakan warisan budaya karena
merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa masyarakat setempat dalam bertani dan bertahan hidup. Lanskap Budaya Bali tergolong sebagai kawasan cagar budaya, dimana di dalam Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Upaya pertama yang dilakukan pemerintah dalam melindungi Lanskap Budaya Bali adalah mengadakan join mission antara Pemerintah Indonesia dengan pihak UNESCO dan pihak World Bank (Bank Dunia) pada tahun 2000. Pengusulan culture lanscape dilakukan dengan single nomination yang terdiri dari three cluster or serial site yaitu : a. Situs Jatiluwih b. Situs Taman Ayun c. Situs Kintaman, Batur, dan Pejeng (DAS Pakerisan dan DAS Petanu) Upaya kedua yang dilakukan yaitu Pemerintah Provinsi Bali melalui Pemerintah Pusat pada tahun 2002 mengusulkan Landskap Budaya Provinsi Bali sebagai warisan budaya dunia (World Culture Heritage) kepada UNESCO dengan judul pengajuan yaitu “ CULTURE LANSCAPE OF BALI PROVINCE : The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana”. Pada tahun 2000 culture lanscape dibagi dalam tiga bagian atau three cluster, tetapi pada tahun 2002 dibagi menjadi lima bagian atau five cluster yaitu : a. Sawah berteras Jatiluwih
b. Pura Taman Ayun c. Pura-pura yang berada disepanjang DAS Pakerisan d. Pura-pura di DAS Petanu e. Taman Nasional Bali Barat Upaya ketiga pada tahun 2004, nominasi The Cultural Landscape of Bali Province diterima oleh pihak UNESCO dengan memberikan nomor sementara yaitu C 1194. Taman Nasional Bali Barat dicoret dari nomonation list of UNESCO. Masih banyak kekurangan di dalam dokumen (dossier) yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia, perubahan judul dossier dalam penyempurnaannya menjadi The Cultural Landscape of Bali Province, The Sites of Balinese Cosmology. Perubahan ini disempurnakan pada tahun 2005 dan dikirimkan lagi kepada pihak UNESCO tetapi pengiriman dokumen mengalami keterlambatan. Perubahan nama ditolak karena tidak sesuai dengan awal pengusulan. Upaya keempat pada tahun 2006 mengalami kemajuan dimana UNESCO World Heritage and Cultural mendatangkan Mr. Feng Jing dengan tujuan yaitu : 1. Membantu finalisasi dossier sesuai dengan persyaratan teknis UNESCO 2. Sosialisasi dengan masyarakat Bali 3. Menyertakan tentative list sesuai dengan operational guidline 2005 Pada Tahun 2007, dossier dianggap memenuhi peryaratan operational guidline 2005 dan dossier dilakukan evaluasi serta verifikasi dari expert ICOMOS. Perjuangan Pemerintah Indonesia masih terus berlangsung dari tahun 2007 sampai
Tahun 2009. Dossier dianggap tidak lengkap kembali, hal ini dikarenakan dossier tidak dilengkapi dengan : a. Peta dengan batas-batas yang harus jelas dari kawasan yang masuk dalam nominasi (nominated propertis) b. Nama, luas, lokasi dalam peta, terhadap subak yang diusulkan c. Sistem jaringan irigasi d. Sistem jaringan dan hubungan antara Subak dengan pura yang ada di dalamnya e. Sistem pengelolaan yang telah dan akan dilakukan untuk konservasi kawasan yang diusulkan f. Stakeholder yang terlibat dan berperan dalam sistem pengelolaan tersebut g. Bukti-bukti bahwa kawasan yang diusulkan tersebut mendapat persetujuan dari masyarakat yang ada di dalamnya Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Pusat dengan melakukan perubahan dimana judul dossier tidak dirubah tetapi sisi hampir 80% berubah. Konsep hubungan situs yang awalnya berupa cluster menjadi satu kesatuan yaitu : a. Situs Pura Ulun Danu dan Danau Batur b. DAS Pakerisan c. Pura Taman Ayun d. Kawasan Catur Angga Batukaru Upaya terakhir yang dilakukan Pemerinta Indonesia akhirnya berbuah manis dimana usulan Pemerintah Indonesia yaitu Cultural Lanscape of Bali
Province : Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana, dalam sidang tahunan UNESCO pada tanggal 29 Juni 2012 di St. Petersberg diresmikan sebagai Warisan Budaya Dunia. Lanskap Subak dianggap sudah memenuhi syarat dan patut untuk dilindungi sebagai warisan budaya dunia. Pemerintah Provinsi Bali, Perwakilan UNESCO dan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO memberikan plakat sebai bukti peresmian di setiap lokasi situs dan penyerahan sertifikat Warisan Budaya Dunia. Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dan UNESCO dalam melindungi Lanskap Budaya Provinsi Bali adalah membagi kawasan warisan budaya dunia dengan sistem zonasi. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Zonasi mengatur ketentuan tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya disusun untuk setiap blok / zona dimana peruntukan yang penetapan zona dalam rencana rinci tata ruang di setiap daerah. Penataan zonasi dibuat sesuai dengan keadaan Warisan Budaya, pengaturan zonasi akan berbeda-beda dalam setiap warisan budaya dunia yang dimiliki Indonesia. Peraturan zonasi terdiri dalam teks zonasi dan peta zonasi sesuai dengan Pasal 157 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010. Menurut Pasal 73 Undang – Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, penetapan sistem zonasi terdiri dari : a. Zona inti
Zona Inti (Protection Zone) adalah kawasan atau area yang dibutuhkan untuk pelindungan langsung bagi suatu Cagar Budaya untuk menjamin kelestarian cagar budaya. b. Zona Penyangga Zona Penyangga (Buffer Zone) adalah suatu kawasan/ruang tambahan yang melingkupi Cagar Budaya yang diatur dengan peraturan tambahan, baik berupa larangan adat maupun hukum formal, dalam rangka memperkuat upaya pelindungan terhadap Cagar Budaya terebut. c. Zona Pengembangan Zona Pengembangan (Development Zone) adalah suatu kawasan atau area yang berada tidak jauh dari tempat keberadaan Cagar Budaya dan ditentukan secara khusus sebagai tempat untuk pengembangan Cagar Budaya atau untuk pembangunan umumnya yang terkendali. d. Zona Penunjang Zona penunjang (Supporting Zone) adalah suatu kawasan atau area di dekat tempat keberadaan Cagar Budaya yang diperuntukan bagi pendirian fasilitas penunjang aktivitas pelestarian situs. Berdasarkan penjabaran luas zona inti dan zona penyangga Lanskap Budaya Bali, apabila diakumulasikan maka luas Lanskap Budaya Bali yang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia adalah seluas 20.720,2 Hektar. Penetapan Cultural Lanscape of Bali Province : Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO didasarkan pada penilaian
kriteria yang memenuhi di dalam Operational Guidelines for The Implementation of The World Heritage Convention tahun 1972 yaitu : Kriteria I.
Tradisi Budaya yang membentuk Lanskap Budaya Bali sejak sekitar abad ke-12, adalah konsep filosofis masa lampau yaitu Tri Hita Karana. Kumpulan pura Subak, yang menjadi pusat pengelolaan pengairan Lanskap Budaya Bali yaitu sistem irigasi Subak, bertujuan mempertahankan hubungan selaras dengan alam dan dunia parhyangan / spiritual, melalui sejumlah ritual perayaan, persembahan dan pertunjukan seni yang begitu elok.
Kriteria II.
Kawasan Lanskap Budaya Bali tersebut merupakan bukti sistem Subak yang luar biasa, sebuah sistem demokratis dan egaliter yang berpusat pada pura Subak dan pengelolaan irigasi yang telah membentuk lansekapnya selama ribuan tahun. Sejak abad 11 jaringan pura subak telah mengelola lingkungan ekologis sawah terasering dalam skala yang mencakup seluruh daerah aliran sungai. Pura subak merupakan solusi unik menghadapi tantangan dalam mendukung populasi pulau vulkanis yang padat dan masih bertahan di Bali.
Kriteria III.
Pura subak Bali merupakan suatu lembaga yang unik, dimana selama ribuan tahun terinspirasi dari sejumlah tradisi keagamaan masa lampau yaitu ajaran Hindu Saivasiddhanta dan Samky, ajaran Buddha Vajrayana dan kosmologi Austronesia. Berbagai ritual
perayaan yang mengkaitkan pura subak dengan perannya dalam pelaksanaan pengelolaan pengairan merupakan perwujudan filosofi Tri
Hita
Karana
yang
mengangkat
hubungan
selaras
antara parhyangan, umat manusia dan alam sekitarnya. Hubungan ide-ide tersebut dapat dikatakan sebagai nilai luar biasa dan secara langsung terwujud dalam bagaimana lansekap tersebut telah dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat setempat dalam suatu sistem subak. Indonesia sudah beberapa kali memegang peranan penting dalam pelestarian warisan budaya dunia. Indonesia mendapat empat kali kesempatan menyandang gelar warisan budaya dunia dengan empat tempat berbeda-beda yaitu: 1. Borobudur Temple Compound, 1991, Ref. C. 592 2. Prambanan Temple Compound, 1991, Ref. C. 642 3. Sangiran Early Man Site, 1996, Ref. C 593 4. Cultural Landscape of Bali Province, 2012, Ref. C 1194 Hal ini memberi cerminan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kebudayaan tinggi dan peradaban yang amat saat luhur sehingga begitu banyak dan beraneka ragamnya budaya Indonesia yang mampu bersaing di kancah Internasional dan memiliki keunikan yang tidak ada di negara-negara lain di dunia. Lanskap budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia yaitu Cultural Lanscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana memiliki kawasan yang sangat luas dengan letak yang cukup berjauhan antara satu dengan yang lainnya tetapi sebenarnya merupakan satu
kesatuan yang mencerminkan bagaimana sistem Subak dari hulu sampai hilir dilestarikan. Filosofi dari Subak sebagai manifestasi dari Tri Hita Karana adalah16: a. Parahyangan Pura or religious structure; subak members have to honor God, since all things they need for their lives are coming from Him; ritual activities for honoring God are part of everyday life of subak members b. Palemahan Rice fields; subak members are living in an environment with enough natural resources for their material life. Consequently, subak members have to take care of the environment c. Pawongan Subak members as human beings created by God, who have to behave in accordance with their pawongan status that does not allow any iniquitous action Apabila diterjemahkan sebagai berikut : 1. Parahyangan Pura atau struktur keagamaan; Anggota subak harus menghormati Tuhan, karena semua hal yang mereka butuhkan untuk hidup mereka yang datang dari-Nya; Kegiatan ritual untuk menghormati Tuhan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari anggota subak 2. Palemahan Sawah; anggota subak hidup dalam lingkungan dengan sumber daya yang cukup alami untuk kehidupan material mereka. Akibatnya, anggota subak harus mengurus lingkungan 3. Pawongan Anggota subak sebagai manusia diciptakan oleh Tuhan, yang harus berperilaku sesuai dengan statusnya pawongan mereka yang tidak memungkinkan tindakan bengis Terdapat empat situs yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yaitu : 1. Kawasan Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur 2. Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan 3. Kawasan Pura Taman Ayun 16
Jan Hendrik Peters, dkk. 2013. Tri Hita Karana (The Spirit of Bali). Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Hlm. 208.
4. Kawasan Catur Angga Batukaru
2.2.1. Kawasan Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur Pura Ulun Danu terletak di ketinggian 900 meter diatas permukaan laut, terletak di Desa Kalanganyar, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Pura Ulun Danu adalah tempat pemujaan kepada Dewi Bhatari Ulun Danu dan Ulun Danu sendiri bermakna penguasa danau. Danau Batur secara geografis terletak pada 115°22ʹ′42,3ʺ″ dan 115°25ʹ′33,0ʺ″ Bujur Timur dan 8°13ʹ′24,0ʺ″ dan 8°17ʹ′13,3ʺ″ Lintang Selatan dengan luas mencapai 11.787 Ha (Hektar). Kawasan di sekitar Pura Ulun Danu dan Danau Batur (Gunung Batur dan sekitarnya) disebutsebut sebagai kawasan resapan air di Bali. Oleh karena itu kelestarian Pura Ulun Danu dan Danau Batur harus dijaga karena kerusakannya akan berdampak buruk atau berakibat buruk bagi Kintamani dan Bali secara keseluruhan. Pura Ulun Danu dan Danau Batur merupakan hulu (pusat mata air) di dalam jejaring sistem irigasi Subak dalam lansekap Subak. Danau Batur memiliki sungai bawah tanah yang mengalir ke empat penjuru angin yaitu : a. Sungai bawah tanah arah timur laut mengalir sampai Desa Les di Buleleng b. Sungai bawah tanah arah tenggara sampai Tukad Telaga Waja di Karangasem c. Sungai bawah tanah arah barat daya sampai Tukad Yeh Sungi di perbatasan Kabupaten Badung dan Tabanan
d. Sungai bawah tanah barat laut sampai kawasan sekitar Seririt Kabupaten Buleleng Empat hal diatas telah meyakinkan bahwa hulu mata air Bali berada di Danau Batur. Gambar. 1 Kawasan Danau Batur dan Pura Ulun Danu
2.2.2. Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Luas situs kedua 884,88 hektar yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputi beberapa pura peninggalan para raja jaman Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelah hilirnya. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029, Pasal 1 angka 63 menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS, adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Empat Pura yang dilindungi dalam DAS Pakerisan sebagai Warisan Budaya Dunia yang terletak di Kecamatan Tampaksiring adalah : 1. Pura Tirta Empul 2. Pura Mengening 3. Pura Pegulingan 4. Pura Gunung Kawi Tiga kawasan Subak yang dilindungi dalam DAS Pakerisan sebagai Warisan Budaya Dunia yang terletak di Kecamatan Tampaksiring adalah : 1. Subak Pulagan 2. Subak Kumba Atas
3. Subak Kumba Bawah Gambar. 2 DAS Pakerisan
2.2.3. Kawasan Pura Taman Ayun Lanskap budaya Pura Taman Ayun terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung. Pura ini dibangun pada tahun 1632 oleh arsitek bernama Ing Khang Ghoew dan diresmikan pada tahun 1634. Pura Taman Ayun ini dilengkapi dengan taman yang asri serta dikelilingi oleh sebuah kolam besar yang memiliki persediaan air yang cukup. Taman di kawasan pura memiliki luas 100 x 250 meter dan merupakan satu kesatuan pura yang menyatu dengan lingkungan di sekelilingnya. Kolam yang mengelilingi Pura Taman Ayun memberikan manfaat bagi pengairan persawahan di daerah sekitarnya. Keberadaan kolam di Taman Ayun yang mengaliri lebih dari 100 hektar tanah pertanian di tiga Subak yang meliputi Subak Batan Badung, Batan Asem dan Subak Beringkit.
Pura Taman Ayun memiliki tiga fungsi yaitu apabila dikaitkan ke dalam Tri Hita Karana yaitu : a. Fungsi Sosio Religius Sebagai penyawangan atau pengayatan, dalam artian dimana masyarakat di wilayah Kecamatan Mengwi pada zaman dahulu tidak sempat melakukan persembahyangan ke pura-pura besar seperti Besakih, Batukaru dan Batur, masyarakat menggantinya dengan melakukan persembahyangan di Pura Taman Ayun b. Fungsi Pemersatu Artinya semua lapisan masyarakat Bali yang terdiri dari berbagai garis keturunan
(semua
orang
tanpa
terkecuali)
semua
bisa
melakukan
persembahyangan di Pura Taman Ayun. c. Fungsi Sosial Ekonomi Pura Taman Ayun memiliki kolam di dalam dan di luar pura yang tidak saja berfungsi estetika dan mengatur ekosistem, tapi juga sebagai irigasi karena air yang ada di kolam tersebut mengairi sekitar ratusan hektare sawah yang ada di seputar Pura Taman Ayun dan di selatan Mengwi.
Gambar. 3 Pura Taman Ayun
2.2.4. Kawasan Catur Angga Batukaru Situs cagar budaya dalam kawasan Catur Angga Batukaru merupakan situs yang paling luas cakupannya. Luas kawasan mencapai 17.106,58 hektar. Kawasan
Catur Angga Batukaru meliputi Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng. Adapun penjabarannya sebagai berikut : a. Terdiri dari 14 Subak 1. Subak Bedugul seluas 102,85 hektar di Desa Gunumg Sari 2. Subak Jatiluwih seluas 305,80 hektar di Desa Jatiluwih 3. Subak Kedampal seluas 139,34 hektar di Desa Kedampal 4. Subak Keloncing seluas 104,26 hektar di Desa Kedampal 5. Subak Penatahan seluas 192,81 hektar di Desa Penatahan 6. Subak Pesagi seluas 130,02 hektar di Desa Pesagi 7. Subak Piak seluas 156,52 hektar di Desa Piak 8. Subak Piling seluas 173,18 hektar di Desa Piling 9. Subak Puakan seluas 169,51 hektar di Desa Piling 10. Subak Rejasa seluas 262,31 hektar di Desa Rejasa 11. Subak Sangketan seluas 175,18 hektar di Desa Sengketan 12. Subak Tegalinggah seluas 64,90 hektar di Desa Tegalinggah 13. Subak Tengkudak seluas 161,84 hektar di Desa Tengkudak 14. Subak Wongaya Betan seluas 38,97 hektar di Desa Mangesta b. Terdiri dari 5 Pura Pura yang termasuk Catur Angga Batukaru adalah Pura Luhur Batukaru, Pura Luhur Pucak Petali, Pura Besikalung, Pura Muncaksari dan Pura Tambawaras. 1. Pura Luhur Batukaru
Pura Luhur batukaru terletak di Desa Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Pura yang berlokasi di lereng Gunung Batukaru. 2. Pura Luhur Puncak Petali Pura Luhur Pucak Petali terletak di Desa Jatiluwih Kecamatan, Penebel Kabupaten Tabanan. 3. Pura Luhur Tambawaras Pura Tambawaras termasuk dalam wilayah Desa Adat Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Mandala Pura Tambawaras sebagai zona inti lanskap budaya memiliki luas 0,25 hektar. 4. Pura Luhur Muncak Sari Pura Luhur Muncak Sari dalam wilayah Desa Adat Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Lanskap budaya Pura Luhur. 5. Pura Luhur Besi Kalung Pura Luhur Besikalung berlokasi di sebelah tenggara Pura Luhur Batukaru, dan berada dalam wilayah di Desa Adat Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. 6. Terdiri dari 2 Danau •
Danau Buyan
•
Danau Tamblingan
Danau Buyan dan Danau Tamblingan seluas 1029,53 hektar di Kecamatan Sukasada Buleleng, kawasan hutan mulai Danau Tamblingan sampai Gunung Batukaru seluas 9386,63 hektar.
Gambar. 4 Catur Angga Batukaru