1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nations Educational and Cultural Organization
(UNESCO) pada 29 Juni tahun 2012 (Kemendikbud,
2013:7; Windia dan Wiguna, 2013:205). Lebih jauh Windia dan Wiguna (2013:205) menyatakan bahwa penetapan subak sebagai WBD, masuk dalam katagori bentang budaya dengan judul “The Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy” (Lansekap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak Sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana). Penetapan subak sebagai WBD di bawah UNESCO menjadi kebanggaan masyarakat Bali khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya. Namun dibalik kebanggaan tersebut, sesungguhnya juga merupakan sebuah tantangan yang sangat besar bagi masyarakat Bali, karena Bali merupakan salah satu destinasi wisata penting di dunia. Menjadi tantangan, karena ada kewajiban bagi masyarakat Bali untuk melestarikan sistem subak, yang telah ditetapkan sebagai WBD. Padahal Wiguna (2008) menyatakan bahwa luas lahan sawah di Bali selalu berkurang, yang mencapai rata-rata 1.000 ha per tahun, karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, terutama disebabkan oleh berkembangnya sektor pariwisata. Sejalan dengan Windia (dalam Antara 2013), yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun terakhir mencapai 5.000 hektar, atau rata-rata 1.000
1
2
hektar setiap tahun. Nampak dengan jelas bahwa pengembangan pariwisata di Bali telah banyak berkontribusi terhadap berkurangnya lahan pertanian yang merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem subak. Di kawasan Seminyak, Kabupaten Badung, misalnya ratusan hektar lahan pertanian sawah telah beralih fungsi menjadi fasilitas pariwisata seperti hotel, vila, bungalow, café, dan art shop. Pembangunan fasilitas pariwisata tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah mengganggu sistem distribusi air irigasi dalam sistem subak. Padahal sistem distribusi air irigasi merupakan bagian yang sangat penting dalam keberlanjutan sistem subak. Karena tidak ada subak tanpa air irigasi, dan melalui sistem subak petani mengembangkan budidaya pertanian yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Bali, sebagai masyarakat agraris. Berkembangan sektor pariwisata, tidak tertutup kemungkinannya akan menyebabkan hilangnya salah satu budaya warisan leluhur masyarakat Bali. Karena menurut Windia dan Wiguna (2013:32) bahwa subak yang diperkirakan lahir pada abad ke-11, merupakan sebuah warisan masyarakat Bali yang memiliki nilai budaya yang sangat luar biasa. Melihat kenyataan tersebut, maka harus ada solusi yang dapat mensinergiskan pembangunan pariwisata dan pertanian, terlebih pada kawasan subak yang masuk dalam WBD Provinsi Bali. Sinergisme pembangunan sektor pariwisata dan pertanian sebagai sebuah budaya masyarakat Bali akan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, pelestarian budaya dan lingkungan (Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali). Desa Mengesta Kabupaten Tabanan merupakan salah satu desa yang terletak di dalam kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Provinsi Bali, sebagai bagian
3
dalam lansekap Catur Angga Batukaru. Lansekap Catur Angga Batukaru, merupakan kawasan dengan luas 17.336 ha yang mencakup Danau Buyan, Danau Tamblingan di sisi paling utara, hutan lindung di sekitar gunung tertinggi kedua di Bali yaitu Gunung Batukau (2.276 m), kawasan hutan dan kebun di lereng selatan hingga hamparan sawah bertingkat-tingkat dari subak Jatiluwih hingga subak Rejasa. Terdapat 14 subak yang masuk dalam lansekap Catur Angga Batukaru, 5 pura sebagai kawasan suci umat Hindu, 12 desa pekraman dan 4 desa dinas sebagai kawasan pemukiman dan pengembangan ekonomi (Kemenbudpar, 2010:10). Sebagai salah satu bagian lansekap Catur Angga Batukaru dalam kawasan WBD, Desa Mengesta memiliki berbagai potensi alam dan budaya, termasuk sistem subak yang perlu mendapatkan perlindungan. Perlindungan dan pengelolaan subak sebagai WBD perlu dilakukan dengan baik dan berkelanjutan, agar memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat serta terjaganya pelestarian alam dan budaya. Potensi dan daya tarik wisata Desa Mengesta yang berlokasi di dalam situs WBD, harus dikelola secara baik dan bijaksana untuk membangun kesejahteraan generasi masa kini maupun generasi mendatang, sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang (Brundtland Report dalam United Nations Conference on Environment and Development, UNCED).1 Terkait dengan hal
1
Bandung Magazine.com. 8 Juni 2014. “Pembangunan Berkelanjutan, Gagasan, Implementasi dan Kecenderungan Realitas di Indonesia" [diunduh 22 Desember 2014]. Sumber: http://www.bandungmagazine.com/analysis/pembangunan-berkelanjutan gagasan-implementasi-dan-kecenderungan-realitas-di-indonesia
4
tersebut maka pengelolaan dan pemanfaatan kawasan WBD harus mengacu pada kaidah-kaidah warisan dunia yaitu dengan tetap menjaga keaslian (authenticity) dan keberlanjutan (sustainability). World Tourism Organization (WTO) telah menggariskan
kebijakan
pengembangan
pariwisata
berkelanjutan
yang
menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak budaya lokal, alam lingkungan, terutama lahan pertanian. Warisan Budaya Dunia (WBD) memiliki makna yang sangat penting bagi umat manusia dan sebagai sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Situs warisan dunia adalah suatu tempat budaya dan alam, serta benda yang sangat berarti bagi umat manusia sehingga menjadi warisan bagi generasi berikutnya.2 Adanya predikat Warisan Budaya Dunia bagi subak di Bali, diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya bagi masyarakat lokal di sekitar kawasan. Seperti yang terjadi di kawasan wisata Jatiluwih, jumlah kunjungan wisatawan meningkat cukup signifikan sejak ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO tahun 2012. Sebelum tahun 2012, jumlah kunjungan wisatawan ke Jatiluwih tidak lebih dari 200 orang per hari, namun setelah ditetapkan menjadi WBD, jumlah kunjungan terus meningkat dan kini telah mencapai rata-rata lebih dari 450 orang per hari. Pada periode Januari-Desember 2014, jumlah kunjungan wisatawan ke Jatiluwih mencapai 165.144 orang atau rata-rata 452 orang per hari. Dari jumlah kunjungan
2
Wikipedia. “Situs Warisan Dunia UNESCO”. [diunduh 22 Desember 2014] Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO
5
wisatawan tersebut telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp.3.184.051.500,(Badan Pengelola DTW Jatiluwih, 2015). Kunjungan wisatawan tersebut, mulai memberikan manfaat bagi masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Bendesa Adat Jatiluwih, Wayan Yasa bahwa sejak beroperasinya Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata Jatiluwih pada 1 Januari 2014, pendapatan Desa Adat Jatiluwih mencapai Rp.9.000.000,- per bulan antara Januari-Juni 2014. Pendapatan tersebut meningkat menjadi 20 juta rupiah per bulan antara Juli dan Desember 2014.3 Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata Jatiluwih tersebut ditetapkan oleh Bupati Tabanan melalui Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Tabanan Nomor 84 tahun 2013. Berdasarkan Perbup tersebut pendapatan masyarakat Jatiluwih dari sektor pariwisata, mulai meningkat. Pendapatan tersebut telah didistribusikan ke berbagai pihak termasuk subak yang berperan dalam pembangunan pariwisata di kawasan Jatiluwih sebagai bagian WBD Provinsi Bali. Oleh karena itu pengembangan pariwisata di kawasan Desa Mengesta, juga memiliki peluang yang cukup besar karena Mengesta juga merupakan bagian dari WBD Provinsi Bali. Melalui pariwisata maka potensipotensi lain yang ada di kawasan tersebut juga akan memperoleh peluang untuk berkembang sebagai kelengkapan penting dalam suatu sistem industri pariwisata.4
3
4
Pos Bali. 12 Desember 2014. “ WBD Jatiluwih Menjanjikan”. [diunduh 23 Des 2014]. Sumber: http://posbali.com/wbd-jatiluwih-menjanjikan/ Pariwisata sebagai Pilihan Bentuk Pemanfaatan Warisan Budaya Situs Trowulan: Sebuah Gagasan Awal. [Diunduh 13 November 2013]. Sumber: http://www.duniaesai. com/index.php?option=com_content&view=article&id=88: pariwisata-sebagai-pilihan -bentuk-pemanfaatan-warisan-budaya-situs-trowulan-sebuah-gagasan-awal&catid =35:arkeologi-&Itemid=93
6
Berdasarkan potensi, maka Desa Mengesta berpeluang untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata berbasis pertanian (agriculture based tourism). Petani sebagai pelaku utama, dengan modal kesederhanaan dan keunikan kehidupan keseharian serta adat budayanya dapat menjadi daya tarik pariwisata, sehingga petani akan mendapat nilai tambah (value added) dalam kehidupan ekonominya. Melalui pendekatan ini diharapkan pembangunan kepariwisataan akan lebih diterima dan mampu memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya masyarakat serta lingkungan. Masyarakat atau komunitas lokal, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata (Damanik dan Weber, 2006:8). Oleh karena itu pengembangan pariwisata di Desa Mengesta harus bersinergi dengan pembangunan sektor pertanian, khususnya sistem subak sebagai salah satu potensi dan daya tarik wisata. Pengembangan pariwisata berbasis pertanian (agrowisata) merupakan model pengembangan pariwisata yang memiliki keterkaitan erat antara pertanian dan pariwisata.5
Pengembangan
agrowisata
(agrotourism)
merupakan
model
pengembangan yang tepat dan melengkapi model pengembangan pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali. Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, dengan memanfaatkan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata. Selain itu pemanfaatan hasil-hasil pertanian seperti beras,
5
Pariwisata Bali. “Sinergisme Pertanian dengan Pariwisata”. [Diunduh 13 November 2014). Sumber: http://asti-astiti.blogspot.com/2011/08/sinergikan-pertaniandengan-
pariwisata.html
7
sayur dan buah untuk keperluan industri pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata juga merupakan bagian dari pengembangan agrowisata. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap berhasil tidaknya sebuah agrowisata, khususnya yang terkait dengan manajemen pengelolaan. Objek agrowisata yang tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal agrowisata, operasional agrowisata, kegiatan tur, dan sumber daya manusia serta pemasaran, merupakan faktor penting dalam mengelola sebuah objek agrowisata. Gagalnya objek Agrowisata Sibetan misalnya, disebabkan oleh faktor pemasaran yang belum dilakukan secara maksimal oleh manajemen pengelolanya, sehingga kurang dikenal oleh para operator tur yang menjual paket-paket wisata di Bali. Kegagalan tersebut juga disebabkan oleh rendahnya peran pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem dalam mempromosikan agrowisata melalui media masa, televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen pemasaran, maka kerjasama antar stakeholder pariwisata seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat lokal, industri pariwisata, dan akademisi juga sangat penting untuk keberhasilan sebuah agrowisata. Oleh karena itu agrowisata sebagai wujud sinergisme pertanian dengan pariwisata harus dilakukan dengan komitmen yang kuat dari seluruh stakeholder pariwisata. Komitmen tersebut sangat perlu dalam menerapkan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan berbasiskan sumber daya alam dan sosial budaya, sehingga akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Manfaat dan tantangan subak sebagai warisan budaya dunia berbeda-beda dialami dalam tiap kawasan WBD. Kondisi tersebut menimbulkan berbagai
8
pendapat, yang sering dikemukakan masyarakat melalui mass media. Sebagian masyarakat merasa senang dan bersyukur dengan penetapan subak menjadi WBD oleh UNESCO, sebagian lainnya, khususnya petani atau anggota subak di sekitar kawasan belum merasa manfaat. Seperti yang ditulis dalam Tempo, di kawasan Jatiluwih, yang termasuk dalam kawasan WBD, bagaikan simalakama. Niat baik UNESCO untuk melestarikan subak, justru oleh pemerintah lokal/kabupaten dimanfaatkan untuk promosi daya tarik dan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Kunjungan dan retribusi wisatawan semakin meningkat dan petani mulai merasakan nilai tambah pendapatan. Akan tetapi pelestarian ekosistem subak kurang mendapat perhatian, seperti perbaikan irigasi, pemberdayaan petani atau peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM).6 Fakta yang terjadi di lapangan, sebagian besar warga desa setempat khususnya petani belum mendapatkan hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Kondisi tersebut terjadi karena tur operator yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung menyediakan sendiri pemandu wisata (tour guide). Keperluan makanan dan minuman juga disediakan oleh pihak tour travel masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan keuntungan. Sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa sampah dan jejak kaki para wisatawan
6
Tempo. 19 Juni 2014. “Simalakama Penetapan Warisan Budaya Dunia”. [Diunduh 20 November 2014]. Sumber: http://indonesiana.tempo.co/read/17841/2014/06/ 19/ antonemus/simalakama-penetapan-warisan-budaya-dunia
9
yang justru sering merusak pematang persawahan.7 Kondisi ini telah berlangsung lama jauh sebelum penetapan warisan budaya dunia. Semestinya, para operator tour yang menjual obyek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar tetap melakukan aktivitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang dikeluarkan petani. Tidak adanya kontribusi dari sektor pariwisata kepada petani, menyebabkan beberapa petani mengembangkan usaha peternakan ayam, untuk menutupi kekurangan biaya dalam usaha tani di lahan sawah. Kondisi tersebut mengurangi keindahan di objek wisata di Jatiluwih dan mencemari udara akibat bau kotoran ayam. Padahal pariwisata mengandalkan modal utamanya pada lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Oleh karena itu unsur-unsur ekologi yang menjadi modal utama pariwisata harus dipelihara dan dijaga kelestariannya agar dapat berfungsi secara berkelanjutan. Desa Mengesta sesuai dengan karakter kawasannya yang masih alami dan bercirikan pedesaan menawarkan keseluruhan suasana keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, budaya, adat istiadat, maupun lingkungan ekologis yang khas, serta peninggalan arkeologi memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai komponen pariwisata. Desa Mengesta juga memiliki daya tarik wisata alam dan budaya, khususnya panorama alam pegunungan yang terhampar dalam persawahan berterasering dengan hasil pertaniannya yang khas yaitu tanaman padi lokal beras
7
Artikel Pariwisata. 22 Pebruari 2009. Artikel Pariwisata: Pariwisata dan Pertanian”. [Diunduh 15 November 2014]. Sumber: “http://artikelpariwisata.blogspot. com/2009/ 02/artikel
10
merah organik. Desa Mengesta juga memiliki obyek wisata sumber air panas yang bermanfaat bagi kesehatan, serta terdapat kerukunan beragama diantara masyarakat. Desa Mengesta juga memiliki berbagai peninggalan sejarah seperti arca Ganesa, arca Lingga Yoni yang terdapat di Pura Luhur Batu Panes. Masyarakat Desa Mengesta juga masih menjalankan kehidupan pertanian dan ritualnya secara berkelanjutan (Wingarta, 2006:149). Semua potensi alam dan budaya tersebut sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi objek wisata, yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Keindahan alam dan aktivitas budaya pertanian yang dilakukan oleh petani atau masyarakat dapat menjadi daya tarik yang diminati wisatawan. Atraksi pertanian seperti: membajak sawah dengan ternak, menanam padi, panen, trekking untuk menikmati pemandangan sawah dengan ATV atau berjalan kaki dapat menjadi komoditas industri pariwisata yang memiliki keunikan dan menjadi pilihan wisatawan. Komoditas industri pariwisata tesebut akan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dan terkoordinasi serta melibatkan masyarakat lokal. Sebagian besar kegiatan wisata yang telah berjalan di Desa Mengesta masih dikelola secara pribadi oleh pemiliki usaha, tanpa melibatkan masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat kurang merasakan manfaat pembangunan pariwisata. Padahal pengelolaan kegiatan wisata akan sangat baik jika melibatkan dan memberdayakan masyarakat. Sebaliknya tanpa memberdayakan masyarakat sekitar, maka keuntungan yang diperoleh tidak akan dirasakan oleh masyarakat, sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat setempat.
11
Lokasi Desa Mengesta juga strategis karena dekat dengan situs kawasan suci Pura Luhur Batukaru dan kawasan Jatiluwih yang sudah sangat dikenal wisatawan. Keberadaan obyek wisata Jatiluwih sesungguhnya dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi Desa Mengesta, karena wisatawan tidak hanya terkonsentrasi di Jatiluwih, tetapi juga dapat berkunjung ke Desa Mengesta sebagai tujuan wisata dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan Jatiluwih sebagai bagian dari kawasan Warisan Budaya Dunia. Tantangan ke depan adalah bagaimana menjamin pelestarian kawasan WBD yang selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan komitmen dan tanggungjawab semua pihak baik swasta, masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah sebagai inisiator, penggerak sekaligus fasilitator dan masyarakat sebagai partisipan aktif harus selalu berkoordinasi dalam setiap proses pengembangan pariwisata, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga ke tingkat evaluasi. Pengembangan pariwisata dan upaya pelestarian kawasan bisa lebih maksimal melalui keterlibatan atau partisipasi aktif masyarakat. Sementara dengan pengembangan pariwisata yang tidak terarah dapat merusak pelestarian kawasan serta mencederai masyarakat sekitar dan berpotensi memunculkan konflik sosial. Pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi solusi terbaik untuk dapat menanamkan arti penting pelestarian sekaligus untuk memberdayakan dan mendukung ekonomi masyarakat setempat. Sesungguhnya
predikat
WBD
memiliki
manfaat
strategis
dalam
pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis pertanian di Desa Mengesta. Pembangunan pariwisata yang terintegrasi dengan pertanian, sejalan dengan
12
pelestarian budaya subak serta upaya melibatkan masyarakat dalam pengembangan sektor pariwisata di Desa Mengesta. Upaya tersebut di satu sisi akan mampu memperkecil dampak yang kurang menguntungkan dalam pengembangan sektor pariwisata, seperti terjadinya alih fungsi lahan pertanian, khususnya subak yang telah ditetapkan menjadi WBD. Di sisi lain akan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis subak sebagai bagian Warisan Budaya Dunia di Desa Mengesta Kabupaten Tabanan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi atau masukan bagi semua pihak khususnya masyarakat dan pemerintah yang terlibat dalam pengembangan pariwisata di Desa Mengesta, Kabupaten Tabanan. 1.2 Rumusan Masalah Terdapat tiga masalah yang dirumuskan dalam penelitian tentang Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Subak Sebagai Bagian Warisan Budaya Dunia di Desa Mengesta Kabupaten Tabanan, antara lain: 1) Bagaimanakah posisi subak sebagai basis agrowisata dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta sebagai bagian dari WBD? 2) Seberapa besar manfaat Warisan Budaya Dunia bagi masyarakat dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta? 3) Bagaimanakah peran pemerintah setelah penetapan subak sebagai WBD dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta?
13
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis subak sebagai bagian Warisan Budaya Dunia di Desa Mengesta Kabupaten Tabanan yang telah ditetapkan UNESCO pada tanggal 29 Juni 2012. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian tentang Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Desa Mengesta Kabupaten Tabanan Sebagai Bagian dari Warisan Budaya Dunia, adalah untuk menganalisis dan mengetahui: 1) Posisi subak sebagai basis agrowisata dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia. 2) Manfaat Warisan Budaya Dunia bagi masyarakat dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta. 3) Peran pemerintah setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia Provinsi Bali dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi, wawasan dan tambahan ilmu pengetahuan tentang peran subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Bali, maupun di daerah lainnya. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan rujukan dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan di waktu mendatang.
14
1.4.2 Manfaat Praktis 1). Untuk Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan pengembangan pariwisata yang dapat mendukung subak dan pertanian Bali, khususnya di Desa Mengesta sebagai bagian WBD. Selanjutnya akan mendorong terbangunnya sinergisme antar komponen pariwisata untuk bekerjasama dalam menunjang pembangunan pariwisata berkelanjutan di Desa Mengesta. 2). Untuk Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan berpartisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata Desa Mengesta, sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan serta tetap terjaganya pelestarian sumber daya alam dan warisan budaya lokal. 3). Untuk Industri Pariwisata Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu industri pariwisata dalam memberikan informasi dan dukungan untuk mempromosikan pariwisata di Desa Mengesta. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat meningkatkan keragaman destinasi pariwisata di Bali, yang bermanfaat bagi masyarakat Bali umumnya dan masyarakat Desa Mengesta khususnya.